Bahwa
ada agenda setting asing yang secara sistematis dan konsisten menyerang
Indonesia dengan isu-isu “Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Lingkungan
Hidup.” Dan sebagai catatan bahwa serangan Non Militer tidak akan
berjalan efektif bila tidak ada dukungan dari dalam negeri. Dukungan
para komprador, baik sipil maupun militer. Dan diluar semua itu ada
serangan Non Militer Amerika yang paling halus dan paling mematikan
yakni terpaan budaya gaya hidup hollywood dengan pornografinya.
Terpaan
budaya yang terus menerus berlangsung selama puluhan tahun nampaknya
berhasil menerobos ketahanan budaya dan kearifan lokal kita sehingga
berhasil melemahkan ipoleksosbudmil bangsa Indonesia. Ibarat Dracula,
Hollywood adalah Istana Dracula, siapa tersihir dia akan menjadi budak
setianya. Welcome to Hollywood!
SEKILAS PERANG NON MILITER DI INDONESIA
Kalau
kita membaca ulang berita politik di tanah air, kemudian kita buat
semacam framing tentang isu TNI – maka akan terlihat jelas bahwa ada
agenda setting pemberitaan di tanah air sejak dekade 1980-an yang begitu
sistematis dan masif menyerang TNI. Dalam bahasa jurnalisnya TNI adalah
aktor pelanggar HAM, jadi harus masuk “penjara” atau dibarakkan. Bahasa
demokrasinya TNI harus menjadi tentara profesional, artinya TNI harus
dijauhkan dari rakyat, dicabut dari akarnya dan diputus dari sejarah
kelahirannya. Dan berhasil!
Sesuai
dengan undang-undang yang berlaku setelah reformasi 1998, TNI dikirim
ke barak dan menjadi tentara profesional. Sebaliknya Polisi diberikan
tugas keamanan dan ketertiban yang seluas-luasnya dalam payung keamanan
nasional yang sebetulnya merupakan tugas TNI, seperti memberantas
terorisme, separatisme dan Perang Non Militer yang mengancam
disintegrasi bangsa. Jadi setelah reformasi 1998, Polisi seakan-akan
berperan ganda menjadi “TNI.”
Bila
dibaca sepintas, memang serangan Non Militer tersebut dipermukaan
jelas-jelas ditujukan kepada Presiden Soeharto yang distigmakan sebagai
rejim otoriter tetapi sasaran tembak sesungguhnya adalah TNI. Mengapa
TNI? Dimata AS, TNI adalah tulang punggung kekuatan Orde Baru sekaligus
lem perekat NKRI dengan “Sapta Marganya.” Oleh karena itu, untuk
melemahkan dan memecah belah Indonesia sebagai langkah strategis pertama
Amerika adalah melumpuhkan organ TNI dulu. Bahkan AS melalui Australia
secara terang-terang meminta Presiden Soeharto untuk membubarkan
Kopassus. Tapi tidak digubris.
Bila
kita renungkan, lepasnya Timor-Timur, Sipadan dan Ligitan adalah dampak
langsung dari Pengkerdilan Peran TNI secara sistematis tersebut. Sebab,
bila doktrin TNI berjalan, tidak mungkin ada wilayah NKRI yang
terlepas. Hal tersebut ditegaskan oleh Menhankam Jenderal TNI (Purn)
Ryamizard Ryacudu bahwa tidak akan ada lagi wilayah NKRI yang lepas.
Memang sudah menjadi keawajiban utama TNI untuk menjaga wilayah
perbatasan dan keutuhan wilayah kedaulatan Republik Indonesia tanpa
kompromi. NKRI harga mati.
Pilihan
mundur Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan pada peristiwa Reformasi
1998 adalah demi menjaga keutuhan NKRI – itulah cermin dari watak
seorang pemimpin besar juga seorang negarawan tulen. Presiden Soeharto
kala itu kalau mau bukan tidak mampu meredam gerakan Reformasi 1998.
Bila mau, hal tersebut mudah saja baginya. Tapi Presiden Soeharto sadar
dan berpikir jauh kedepan demi keutuhan NKRI, bila gerakan mahasiswa itu
diredam dengan skema Tiananmen misalnya – sudah pasti akan terjadi
pertumpahan darah sesama anak bangsa yang tidak berdosa dan tidak
mengerti persoalan. Bukan itu saja, Presiden Soeharto pasti akan dicap
sebagai pelanggar HAM berat – bahkan kriminal.
Bila
hal tersebut itu terjadi, Indonesia pasti diembargo oleh AS dan
sekutunya bahkan dunia internasional. Bila Indonesia diembargo, tentu
akan terjadi krisis dan pergolakan di dalam negeri yang digerakkan oleh
para komprador. Dan itu sama artinya dengan membuka pintu masuk
lebar-lebar bagi AS dan sekutunya untuk melancarkan operasi Non Militer
yang memang telah ditunggu-tunggu selama ini untuk mengintensifkan
bangkitnya nasionalisme sempit kedaerahan dan gerakan separatis di Benua
Nusantara. Jika hal itu berjalan, maka tercapailah proyek “Balkanisasi
Nusantara” sebagaimana skema yang direkomendasikan oleh RAND
Corporation, sebuah badan riset akademis yang khusus melayani
kepentingan Pentagon. Dalam taraf tertentu harus diakui bahwa Skema Rand
Corporation jelas berhasil di Indonesia dengan diberlakukannya
undang-undang Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus bagi Aceh dan Papua.
Tampaknya tinggal menyusul daerah lain bila dibiarkan.
YUGOSLAVIA KORBAN PERTAMA IMPERIALISME MILENIUM KETIGA
Sejak
tanggal 24 Maret 1999, kekuatan-kekuatan militer Pakta Pertahanan
Atlantik Utara (NATO), dipimpin oleh Amerika Serikat, telah menjadikan
Yugoslavia sebagai sasaran dari sebuah pemboman yang menghancurkan.
Menerbangkan lebih dari 15.000 misi pengeboman, NATO telah membom rata
kota-kota dan desa-desa Yugoslavia, menghantam pabrik-pabrik,
rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan-jembatan, depot-depot
minyak dan kantor-kantor pemerintah. Ribuan orang telah tewas dan
terlukai, termasuk penumpang-penumpang kereta api dan bus, dan
pekerja-pekerja di stasiun pemancar televisi dan stasiun-statiun
pemancar ulang. Perumahan penduduk sipil baik di Sebia dan Kosovo telah
dihantam.
Propaganda
pun dilancarkan untuk menyesatkan opini publik internasional. Dalam
kasus Yugoslavia, propaganda yang terus menerus dihembuskan oleh AS
adalah penggambaran perang pemurnian etnis di Yugoslavia oleh Slobodan
Milosevic. Sehingga dalam berita yang terpancar melalui media
pembantaian masal di Yugoslavia bukannya dilakukan oleh NATO sebagai
penyerang. Dan sesuai agenda setting propaganda ini hanya mengizinkan
media untuk menggambarkan Yugoslavia bukannya NATO sebagai penyerang.
Seperti
kita ketahui bersama, sejak berdirinya NATO pada 4 April 1949, di
Brussel, Belgia, yang ditandatangani oleh 12 negara, yakni Inggris,
Kanada, Amerika, Prancis, Italia, Portugis, Islandia, Luksemburg,
Belanda, Denmark, Norwegia, dan Portugis – baru pertama kali ini NATO
difungsikan dan langsung sebagai mesin pembunuh masyarakat sipil di
Eropa. Sebuah langkah strategis yang diambil AS untuk menekan negara
yang berani melawan kepentingannya. Dengan kata lain serangan NATO ini
telah mempertegas posisi AS sebagai penguasa dunia. Pada waktu yang
sama, ekspansi NATO ke Polandia, Hungaria dan Republik Czech adalah
sebuah bentuk perluasan pengaruh AS yang sangat berhasil di Eropa.
Perang
NATO sesungguhnya bisa digambarkan sebagai sebuah perang agresi
imperialis pertama terhadap negara bangsa dunia di milenium ketiga.
Yugoslavia adalah negara pertama yang ditaklukkan secara militer oleh
NATO. Sebagai sebuah istilah ilmiah, imperialisme merupakan perkembangan
sejarah dari istilah kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi dunia.
Namun wajah imperialisme tetap sama yakni: penindasan melalui persaingan
bebas konglomerasi raksasa yang memonopoli negara sekaligus
menghancurkan eksistensi negara bangsa dengan tujuan membuka akses jalan
ke pasar-pasar, bahan-bahan mentah dan sumber tenaga kerja baru atau
perbudakan gaya baru di seluruh dunia.
Dewasa
ini Imperialisme telah menciptakan jalan tol yang bernama globalisasi
dimana imperialisme dapat menjarah negara-negara berkembang tanpa
hambatan baik dimuka bumi maupun dunia maya. Kaum Imperialis kini telah
menjadi parasit yang menguasai Amerika bahkan dunia dengan Bank
Sentralnya, Federal Reserve. Melalui kedudukannya sebagai penguasa
keuangan dunia, The Fed menggunakan badan-badan keuangan raksasa sebagai
alat seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World
Bank), imperialisme berada dalam posisi untuk mendikte politik
negara-negara berkembang yang lebih kecil yang tergantung pada kredit
mereka. Sedangkan dengan Badan Perdagangan Dunia (WTO) imperialisme
telah menguasai pasar dan mengatur perdagangan dunia internasional
sekaligus membendung masuknya produk negara-negara berkembang ke negara
maju.
Melalui
hegemoni mereka atas pasar dunia, kekuatan-kekuatan imperialis menekan
harga semurah-murahnya untuk bahan-bahan mentah yang membuat
negara-negara lebih kecil tetap dalam kemiskinan. Semakin banyak
negara-negara ini meminjam, semakin mereka menjadi miskin dan
tergantung. Seperti halnya NATO di kosovo lebih menyerupai rejim
NATO–IMF yang memerintah Bosnia, sebuah bentuk pemerintahan negara dalam
negara. Hal ini menggabarkan sebuah ambisi kejam Bank Sentral AS dan
jaringannya dengan menggunakan tangan-tangan konglomerasi raksasa
transnasional untuk memperluas jangkauan mereka masuk lebih jauh ke
dalam Eropa supaya dapat memeras profit. Sejak penaklukan secara halus
dengan Marshal Plan pasca perang dunia kedua terhadap Eropa Barat, maka
peristiwa Yugoslavia tahun 1989-1991 menggambarkan uraian ikatan
tangan-tangan imperilaisme AS dalam gelanggang ini secara kasar dan
kejam. Perlahan tapi pasti Eropa Timur pun mulai dicengkeram.
Yugoslavia
adalah sebuah bukti nyata kekejaman dari gerakan imperialisme yang
telah terintegrasi dalam sistem keamanan global Amerika. Setelah
bubarnya Uni Soviet, Slobodan Milosevic dianggap sebagai musuh besar
oleh AS seperti halnya Saddam Hussein di Irak. Habis manis sepah
dibuang. Melalui Agenda Setting media yang luar biasa Presiden
Yugoslavia Slobodan Milosevic digambarkan sebagai setan, dengan
tuntutan-tuntutan yang tidak berdasar dan simpang-siur atas pembunuhan
massal dan kematian orang-orang Albania. Sebuah eksploitasi tuntutan
tanpa henti atas terjadinya “pemusnahan masal terhadap suatu bangsa,”
dan pemancaran berulang gambar-gambar televisi dari pengungsi-pengungsi
yang menderita dirancang lebih untuk melemahkan, membiasakan dan
menakuti-nakuti umum dari pada untuk menyakinkan melalui pemaksaan
argumen. Inilah yang kemudian menjadi argumen AS untuk menginvasi
Yugoslavia.
Dibalik hiruk-pikuk itu, ada sebuah catatan menarik dari keputusan Kongres AS bahwa Slobodan Milosevic dianggap sebagai “The Last Mohicans” Komunis.
Ya, Slobodan adalah “Kepala Suku” Komunis terakhir yang nasionalis.
Matikan api sebelum menjadi besar demikian keputusan Kongres AS.
Slobodan Milosevic harus disingkirkan. Dan seperti telah diuraikan
diatas Slobodan kemudian menjadi korban isu global sebagai gembong
pelanggar hak azasi manusia dari Balkan yang dipublikasikan
besar-besaran ke seluruh penjuru dunia oleh media massa.
Bukan
itu saja, tidak tanggung-tanggung, Yugoslavia dihancurkan dengan
konflik bersenjata akibat kebangkitan nasionalisme sempit – yang
kemudian kita kenal dengan istilah “Balkanisasi” sehingga terpecah belah
menjadi negara-negara kecil baru antara lain: Republik Serbia, Republik
Montenegro, Republik Kroasia, Republik Slovenia, Republik Makedonia dan
Bosnia Herzegovina.
Sambil
melakukan operasi pemboman, NATO juga mengamankan area-area yang
memiliki cadangan sumber daya alam untuk dijarah oleh korporasi
transnasional yang memang tidak tidak seberapa besar, seperti cadangan
mineral timah hitam, seng, perak dan emas, serta 17 milyar ton cadangan
batubara.
Melihat
besaran cadangan sumber daya alam yang ada jelas bukan menjadi target
utama serangan, tapi sebagai bahan bakar untuk merangsak lebih jauh lagi
ke Timur jelas lebih dari cukup. Jadi serangan NATO, sebetulnya lebih
kepada mengamankan posisi strategis untuk serangan selanjutnya menuju
wilayah yang memiliki SDA melimpah: Eropa Timur. AS dan NATO telah
mempunyai agenda besar sampai ke Laut Kaspia.
Yugoslavia
sendiri sejak dipimpin oleh Presiden Josep Broz Tito adalah sebuah
negara Komunis yang mandiri, sejahtera dan makmur rakyatnya. Dibawah
Presiden Tito, Yugoslavia bisa dibilang berkembang menjadi sebuah negara
industri yang cukup disegani di Eropa. Bahkan Yugoslavia konon termasuk
10 besar negara industri militer dunia dengan standar Pakta Warsawa dan
NATO yang harganya sangat kompetitif.
Bukan
itu saja, Yugoslavia dikenal sebagai pelopor Gerakan Non Blok (GNB)
yang berhasil menjaga keseimbangan pengaruh Amerika Serikat dan Uni
Soviet pada waktu itu. Boleh dibilang, Yugoslavia sebetulnya “teman”
Amerika dalam menghadapi pengaruh Uni Soviet. Gerakan Non Blok boleh
dibilang menguntungkan posisi AS dalam Perang Dingin (Cold War).
Namun apa mau dikata, AS dan The Fed punya kepentingan lain yang jauh
lebih besar untuk masuk ke Eropa Timur. Ketika Slobodan Milosevic
menolak dengan tegas “proposal” NATO, AS marah. Dan terjadilah bencana
itu.
Skema
Balkanisasi Nusantara yang dipicu dari Gerakan Reformasi 1998, gagal.
Namun kita mesti tetap waspada, karena Indonesia sudah masuk dalam
agenda besar kaum imperialis Timur dan Barat. Sebuah pelajaran menarik
dari kasus Balkan 1990 dan Nusantara 1998 adalah kemampuan AS
memprediksi masa depan suatu bangsa. AS mampu membaca tanda-tanda zaman
dari suatu bangsa jauh sebelum bangsa itu sendiri menyadari masa depan
bangsanya. Boleh dibilang AS sudah tahu masa depan satu bangsa bahkan
termasuk figur pemimpinnya. Sehingga AS bisa memprediksi masa depan
suatu bangsa bila dipimpin oleh figur yang pas atau sesuai dengan
ramalan sejarah bisa menjadi ancaman bagi kepentingan nasionalnya. Tidak
mengherankan bila Kongres AS kemudian sangat mengincar pelanjut Tito,
Presiden Slobodan Milosevic menjadi target prioritas utama yang harus
diamankan atau dibunuh. Slobodan dianggap sebagai “Satria Piningit
Komunis Baru” bukan dalam kerangka Federasi Yugoslavia tapi bagi
kebangkitan PAKTA WARSAWA BARU. Dengan kata lain, Slobodan tidak bisa
diajak bekerjasama untuk memperjuangkan kepentingan AS.
Belajar
dari Yugoslavia, kita bisa membaca ulang peristiwa Reformasi 1998, bila
kita cermati dan kita renungkan maka selain menjatuhkan Presiden
Soeharto dan memiskinkan Indonesia – sesungguhnya ada dua agenda
tersembunyi, hidden agenda serangan Non Militer yang gagal total.
Pertama, “Balkanisasi” NKRI. Dan kedua, menyingkirkan Prabowo Subianto
dari bumi ibu pertiwi karena dianggap sebagai “The Last Mohicans” Nusantara.
Nah,
yang kedua ini yang menarik. Mengapa Kongres AS begitu keras berusaha
menyingkirkan Prabowo Subianto sampai dilucuti karir militernya, dipaksa
pensiun dini dan diusir dari kesatuan dan tanah airnya oleh sesama
rekan TNI. Bukan itu saja, segala sesuatu yang berbau Prabowo Subianto
harus disingkirkan atau paling tidak dilemahkan, seperti KOPASSUS
misalnya yang langsung dipreteli kemampuan tempurnya dan dibatasi
peranannya. Termasuk lepasnya Timor Timur dari wilayah kedaulatan NKRI
sebetulnya masih berkaitan erat dengan Prabowo Subianto juga – namun
skema tersebut dibungkus dengan isu demokratisasi dan hak azasi manusia.
Sedangkan bagi Australia, kemerdekaan Timor Timur didorong oleh motif
lain, yakni “bonus” untuk menguasai sumber cadangan migas terbukti yang
mencapai 5 milyar barel di celah Timor. Jadi tidak mengherankan bila
Australia akhirnya nekat melepaskan Timor TImur dari Indonesia.
AS
melakukan tindakan pencegahan dini adalah demi menjaga stabilitas
kepentingan nasionalnya dimasa depan. Tidak mengherankan bila AS banyak
melakukan riset dengan memanfaatkan berbagai lembaga semacam “Rand
Corporation” untuk memonitor perkembangan peradaban suatu bangsa. Jadi
tidak mengherankan bila AS sangat menguasai sejarah suatu bangsa mulai
dari mitos atau legenda sampai antropologi-sosiologinya, sehingga AS
sangat menguasai watak dan karakter suatu bangsa – termasuk watak dan
karakter bangsa Indonesia.
Bagi
AS kebangkitan Indonesia Raya merupakan ancaman serius bagi kepentingan
nasionalnya. Oleh karena itu tidak boleh dibiarkan berkembang, harus
dicegah sebelum tumbuh. Dan memang tidak tanggung-tanggung, seperti kita
ketahui bersama dengan memanfaatkan momentum krisis moneter dunia 1997,
AS menggunakan tangan IMF membolduzer infra struktur ekonomi Indonesia
hingga rata dengan tanah. Indonesia langsung jatuh miskin. UUD 1945 di
amandeman menjadi liberal. Figur satrianya disingkirkan dari arena
politik nasional. TNI dipecah belah bahkan diadu domba sesama mereka.
Tapi NKRI masih utuh.
Oleh
karena itu, tampaknya sekarang perlu sebuah paradigma baru sebagai
Doktrin Sistem Pertahanan Kemanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) untuk
menghadapi ancaman Perang Non Militer. Maka Ketahanan Nasional yang
merupakan inti dari pertahanan terhadap Perang Non Militer harus segera
dibangun secara serius dan konsisten dalam waktu dekat sebagai bentuk
penjabaran kepentingan nasional Republik Indonesia sebagaimana tercantum
dalam pembukaan UUD 1945.
(Bersambung ke Bagian Ketiga)
Isu perang dunia 2015-Dvdfreian
Beranda
Internasional
Kepentingan Nasional
Analisis
Ekonomi & Bisnis
Industri Strategis
Hankam
Sosial Budaya
Iptek
» Perlu Kontra Skema Hadapi National Security Agency (NSA) di Bidang
Cyber Media » The US Federal Reserve Bank dan The London Connection »
Tol Laut Ditunda? (3/Habis) » AGENDA SETTING TERSEMBUNYI AMERIKA
SERIKAT: Perspektif Perang Non Militer Milenium Ketiga (Bagian Terakhir)
» Pentingnya Menegakkan Kedaulatan Laut Dalam Kerangka Supremasi
Maritim
Isu Hangat
14-03-2012
Dvdfreian Menaksir Cina: Bertarung di Perang Dunia III
Penulis : M Arief Pranoto dan Hendrajit, Peneliti Senior Global Future Institute
Latar belakang tulisan ini ialah pro-kontra prakiraan Perang Dunia
(PD) III yang semakin mengental auranya, entah di Jalur Sutra (Selat
Hormuz) atau bergeser di Laut Cina Selatan dan lainnya. Entahlah. Telah
banyak telaah tentang trend, mapping dan negara mana kelak terlibat di
dalamya. Global Future Institute (GFI), Jakarta perlu menurunkan artikel
tentang kekuatan para adidaya atau negara yang akan terlibat, baik sisi
peluang, ancaman, kekuatan maupun kelemahanya. Cina sebagai adidaya
baru dipastikan —baik langsung maupun tak langsung— bakal terlibat
secara masif dalam PD nanti. Dengan merujuk berbagai sumber pustaka baik
buku, diskusi-diskusi di internal GFI maupun data yang berserak di
dunia maya, maka inilah ulasan kami sesuai judul di atas
Mengurai Cina memang panjang, namun catatan ini dimulai sejak awal
abad ke-20, ketika ia mencoba melibatkan diri dalam kancah perdagangan
global, maka wilayah pesisir menjadi makmur sedangkan daerah pedalaman
—sekitar 160 km dari pantai dan 1.600 km arah barat— masih melarat.
Inilah persoalan mapping kependudukan yang mendasar. Keberadaan kaum
miskin sebagian besar di sebelah barat wilayah pesisir yang memang lebih
kaya. Perbedaan kekayaan ini berdampak pada “ketegangan sosial” antara
kaum pesisir dengan orang-orang dari pedalaman.
Sukses Cina kini tak lepas dari kiprah Mao Zedong dekade 1927-an. Ia
melakukan long march ke pedalaman-pedalaman guna mencairkan “ketegangan”
kedua golongan tersebut. Mao meningkatkan jiwa juang kaum pedalaman
untuk mampu bersaing dan “menaklukkan” wilayah pesisir. Pada akhirnya ia
pun mengambil keputusan menutup Cina dari dunia luar (perdagangan
internasional) agar lebih bersatu dan setara. Mungkin inilah titik awal
kenapa ia dijuluki sebagai Tirai Bambu, negeri yang tertutup bagi dunia
luar!
Agaknya untuk saat ini, pemerintah telah mempunyai format cocok
tentang kekayaan dalam mencapai stabilitas. Menurut George Friedman, ada
tiga kepentingan inti yang dianggap strategis oleh Cina karena bermuara
kepada perwujudan kesejahteraan (kepentingan nasional) di dalam negeri.
Stategi pertama ialah membangkitkan dan “membeli” loyalitas warganya
melalui kerja massal; rencana ekspansi industri dengan cara
memaksimalkan kerja sebagai tujuan namun sedikit pemikiran soal pasar,
karena pemasaran menjadi domain atau urusan negara; tabungan swasta
dimanfaatkan untuk membiayai industri, meninggalkan sedikit modal dalam
negeri untuk membeli output; dan terutama ekspor harus sesuai permintaan
pasar dunia.
Strategi kedua bahwa desain industri Cina berbasis produksi yang
lebih daripada kebutuhan (konsumsi) nasional. Artinya kegiatan ekspor
dilakukan setelah tercukupi dahulu konsumsi internal. Kemudian impor
bahan baku dilakukan manakala ia mengekspor barang-barang ke seluruh
dunia. Dengan demikian, Cina memastikan dahulu permintaan internasional
atas ekspornya, termasuk berbagai kegiatan investasi uang di
negara-negara konsumen guna membangun akses hingga ke jalur global.
Strategi ketiga ialah kontrol stabilitas atas empat “wilayah
penyangga” yang meliputi Mongolia Dalam, Manchuria, Xinjiang dan Tibet.
Mengamankan daerah penyangga identik dengan melindungi Cina dari
serangan Rusia, India atau negara lain di Asia Tenggara, kendati
rata-rata daerah penyangga telah memiliki “hambatan” baik hutan, gunung,
padang rumput maupun gurun Siberia —- dimana tercipta pertahanan secara
alami yang membuat setiap upaya penyerangan dari luar selalu dalam
posisi lemah.
Adapun urgensi wilayah penyangga berdasar mapping kependudukan,
selain suku Han yang mendominir Cina, ada empat suku lain non-Han yang
tersebar serta merupakan kelompok mayoritas di daerah penyangga.
Antara Krisis, Masalah Pedalaman dan Wilayah Peyangga
Tampaknya krisis ekonomi global yang menimpa Uni Eropa (EU) dan
Amerika Serikat (AS) selaku pelanggan utamanya, berimbas sangat negatif
terhadap ekspor barang di kedua kawasan tadi. Di satu sisi, ia belum
mampu secara maksimal meningkatkan permintaan domestik dan jaminan akses
global terutama melalui perairan, sedang di sisi lain intensitas
kepentingan AS terlihat mulai hilir-mudik dan “mancing-mancing” di Laut
Cina dan sekitarnya.
Tekanan ekonomi menjadi tantangan tersendiri bagi Cina. Misalnya
kekayaan laut yang melimpah pun ternyata tergantung dari perdagangan
yang kini mulai goyah. Maraknya kemiskinan di daerah pedalaman
membutuhkan banyak subsidi, tetapi karena pertumbuhan ekonomi melambat
secara substansial akibat krisis, maka bantuan pun sulit direalisasi.
Ada dua wilayah penyangga Cina yang hingga sekarang masih
dikategorikan “rawan”. Terdapat unsur-unsur perlawanan, di Tibet dan
Xinjiang gigih menentang “pendudukan” suku Han yang sengaja di-drop oleh
pusat. Dalam perspektif stabilitas, lepasnya kedua daerah ini dapat
menimbulkan gangguan bagi kedaulatan Cina. Misalnya, ancaman India
melalui utara Himalaya bisa menciptakan radikalisme Islam di Xinjiang;
Tibet pun berpotensi membuat “kegaduhan” internal dan lainnya.
Memang perang terbuka antara Cina dan India akan sulit terjadi karena
hambatan Himalaya. Dalam logika militer modern, droppinglogistik dalam
skala besar dalam peperangan relatif lama akan mengalami hambatan dengan
kondisi medan seperti itu. Bila kelak terjadi clash, maka
pertempuran-pertempuran kecil mungkin lebih efektif. Kedua negara telah
“saling mengancam”, apalagi coba-coba hendak membangun kekuatan militer
di sekitar gunung dan menyeberangi Himalaya.
Bagi India, gangguan akan muncul jika pasukan Cina memasuki Pakistan
dalam jumlah besar, sebaliknya bagi Cina gangguan timbul bila pasukan
India masuk melalui Tibet. Yang berlangsung sekarang ialah saling intip
dan waspada. Cina menciptakan “skenario” seolah-olah mengirim pasukan
via Pakistan, meskipun Pakistan sendiri sesungguhnya tidak memiliki
kepentingan dengan pendudukan Cina bila kelak ia mampu menduduki India.
Cina pun demikian, tidak ada minat untuk melakukan operasi keamanan di
Pakistan
Berbeda dengan Cina, justru India memiliki minat mengirimkan pasukan
ke Tibet bila terjadi revolusi nanti. Karena bagi India, kemerdekaan
Tibet tanpa kehadiran tentara Beijing akan menarik perhatian dunia.
Dalam perspektif hegemoni India, persoalan Tibet sebenarnya hanya
masalah pengelolaan saja. Dan disinyalir pemberontak-pemberontakan Tibet
mendapat dukungan dari India meski dalam skala minimal sehingga tidak
akan mengancam kendali Cina.
Persoalan dominasi suku Han di wilayah-wilayah penyangga sebenarnya
bisa direduksi dengan pengelolaaan yang baik melalui beberapa upaya
sehingga bisa memperbaiki reputasi Cina di forum internasional. Kuncinya
adalah stabilitas wilayah pedalaman. Tetapi bila porsi ini diserahkan
sepenuhnya kepada suku Han maka kontrol terhadap daerah penyangga justru
melonggar. Itulah dilematisnya.
Memelihara wilayah pedalaman memerlukan transfer berbagai sumberdaya.
Hal ini bermakna harus menumbuhkan ekonomi pesisir guna menghasilkan
modal untuk transfer (subsidi) daerah pedalaman. Cina memang jauh dari
revolusi namun dekade ini ketegangan sosial terus meningkat.
Mempertahankan kestabilan pedalaman merupakan tantangan besar. Ritme
antara model kerja, pasar profibialitas, sumberdaya dan jaringan antara
supply and demand mutlak harus dikendalikan. Faktor yang akan mengganggu
ialah inflasi karena meningkatnya subsidi bagi kaum pedalaman, otomatis
mengurangi daya saingnya terhadap eksportir lain di tingkat global.
Inilah tantangan strategis Cina. Tantangan yang hanya dapat diatasi
dengan meningkatkan profibilitas pada aktivitas ekonomi, sehingga
mustahil dihadapi dengan produk yang bernilai rendah. Solusinya
barangkali ialah memulai dengan manufaktur dan produk yang memiliki
nilai tambah (sepatu, motor, mobil dll). Tetapi konsekuensi yang muncul
perlu tenaga kerja terdidik dan terlatih. Selain butuh waktu yang
relatif lama juga akan bersaing secara langsung melawan negara-negara
industri mapan seperti Jepang, Jerman, AS dan lainnya. Inilah medan
tempur strategis bagi Cina yang mutlak harus direbutnya bila ingin
mempertahankan stabilitas.
Kelemahan dan Kekuatan Militer
Selain terdapat masalah ekonomi, persoalan militer pun tak kalah
pelik. Misalnya dari aspek geostrategi, sistem pertahanannya sangat
tergantung pada laut lepas, sedang konfigurasi Laut Cina Selatan dan
Laut Cina Timur sangat mudah diblokade dari luar. Laut Timur terbentang
di antara pulau-pulau Korea, Jepang dan Taiwan, kemudian Laut Cina
Selatan lebih tertutup lagi yakni pada bentangan antara Taiwan,
Filipina, Indonesia dan Singapura. Keprihatinan besar Beijing saat ini
adalah rencana blokade oleh AS yang akan berdampak signifikan terhadap
perekonomian Cina secara menyeluruh. Barangkali inilah shock and awe
yang tengah dijalankan oleh AS dalam rangka “melemahkan” Cina, belum
lagi bakal muncul ancaman dari Taiwan, Korea Selatan, Philipina dan
lainnya.
Dekade 2008-an kekuatan militernya memang terbesar kedua setelah AS,
namun pada tahun 2011-an Rusia mampu menyalip sehingga kini menempati
urutan ketiga. Menurut Dewi Fortuna Anwar dalam diskusi ASEAN-US
Relations: What Are the Talking Points? yang digelar di @america Mall
Pacific Place Jakarta, Senin (5/3/2012). “Hingga saat ini anggaran
militer AS jauh lebih besar dari jumlah anggaran sebagian negara-negara
besar,” katanya, sekalipun anggaran belanja militer sebagian
negara-negara besar seperti Jepang, Inggris, Rusia ditambah dengan
anggaran militer ke sepuluh negara ASEAN bahkan anggaran militer AS
masih tetap yang tertinggi.
Data 2011 anggaran militer AS berjumlah 692 milyar USD, bandingkan
dengan Cina sekitar 100 milyar USD, Rusia 56 milyar USD, India 36,030
milyar USD, atau Iran 9,174 milyar USD dan sebagainya
(www.globalfirepower.com).
Rincian selanjutnya adalah sebagai berikut. Saat ini, The People’s
Liberation Army (PLAN) memiliki 250.000 tentara yang didalamnya termasuk
35.000 tentara Coastal Defense Force (Pasukan Pertahanan Lepas Pantai).
Sedangkan infantri marinir lautnya berjumlah 56.000 tentara. Belum lagi
termasuk 56.000 Aviation Naval Air (Pasukan Unit Udara Angkatan Laut).
Bukan itu saja. Jumlah kapal selam milik PLAN pun boleh dibilang
cukup fantastis. Saat ini Cina memiliki 972 unit kapal selam. Kemajuan
yang sangat pesat mengingat sebelummnya PLAN hanya memiliki 35 unit
kapal selam. Sedangkan kapal pembawa rudal juga meningkat dari 20
menjadi 100 buah.
Dengan demikian, postur angkatan bersenjata Cina diprediksi akan
semakin meningkat, sehingga pada 2015 mendatang, Cina diyakini akan
memiliki anggaran militer dua kali lipat dari yang saat ini sebesar 100
miliar dolar AS. Suatu fakta yang tentunya mencemaskan bagi Amerika dan
Uni Eropa, apalagi bagi berbagai elemen yang meyakini prediksi Samuel
Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization. Dalam bukunya
tersebut, pakar politik Amerika dari Universitas Harvard tersebut
memprediksi akan meletus perang terbuka AS-Cina, dan melibatkan
polarisasi baru antara AS-Uni Eropa versus Cina-Negara-negara Islam.
Begitupun,dengan data yang tersaji tersebut di atas, tetap saja Cina
belum bisa dikatakan telah memiliki angkatan laut handal. Hingga saat
ini Cina masih dalam proses penyelesaian kapal induk pertama. Angkatan
lautnya tidak cukup kualitas, kuantitas dan pengalaman untuk bertempur
melawan militer AS dan sekutu. Sejak usai Perang Dunia II, geliat
militer Cina belum memiliki kelompok tempur kapal perang yang teruji dan
tidak pernah lagi memiliki laksamana tangguh seperti kisah Cheng Ho
dulu.
Strategi Kontra
Tampaknya Cina memahami masalah ini. Dalam rangka mencegah blokade
laut oleh AS, selain tahun ini (2012) menaikkan budget militernya hingga
11% lebih, ia juga membangun kapal selam besar sebagai strategi kontra.
Kemudian mengembangkan rudal anti kapal yang mampu menembus kapal
perang bahkan kapal induk sekalipun.
Pada satu sisi, Cina juga memiliki sistem rudal darat yang mampu
menangkis serangan rudal jelajah, kemudian kini mempunyai pesawat
terbang siluman, pesawat tanpa awak saat ini masih dalam pengembangan,
namun di sisi lain strategi rudal akan bekerja dengan baik bila memiliki
kemampuan intai efektif. Artinya rudal tidak dapat menghancurkan kapal
jika tidak tahu posisinya, lalu ia pun membangun teknologi smart satelit
sebagai supporting system dalam perang rudal kelak.
Selain itu kemampuan Cina dalam pertempuran jangka lama masih belum
teruji. Kendati kekalahannya sewaktu ia menyerang Vietnam tahun 1979-an
tidak boleh dijadikan patokan, karena kemampuan militernya telah melesat
jauh daripada sebelumnya, kini terbesar ketiga setelah AS dan Rusia.
Strategi kontra lain ialah berusaha mendapat akses pelabuhan di
beberapa negara di kawasan Lautan Hindia dengan membangun pelabuhan di
Myanmar, Pakistan, Kolombo dan Sri Lanka, termasuk membangun rel serta
sistem transportasi jalan sebagai infrastruktur menuju
pelabuhan-pelabuhan tersebut. Tetapi yang urgen ialah memelihara
hubungan politik dengan negara yang diakses terutama beberapa negara
yang memiliki kadar ketidakstabilan tinggi seperti di Myanmar, Pakistan
dan lainnya.
Inilah salah satu kepentingan stategis lagi fundamental bagi China.
Ia pun tidak boleh berasumsi bahwa dengan membangun sebuah pelabuhan
akan memberikan akses tak terbatas di negara tersebut, sebab jalan dan
jalur rel mudah disabotase gerilyawan suatu negara, atau mudah
dihancurkan melalui serangan udara. Dengan demikian, Beijing harus mampu
mengendalikan situasi politik di negara tuan rumah dalam waktu lama.
Dan jaminan atas kendali pada negara lain mutlak harus memiliki kekuatan
besar untuk memaksa akses ke pelabuhan dan sistem transportasi.
Semenjak Komunis mengambil alih kekuasaan, Cina jarang bahkan hampir
tidak pernah melakukan operasi militer secara ofensif. Hanya
sekali-sekali saja. Suksesnya invasi ke Tibet bukan jaminan kehebatan
militernya, karena daya tempur unsur-usur perlawanan memang tidak
maksimal. Demikian pula intervensi ke Korea mengalami kerugian karena
biaya relatif besar namun menemui jalan buntu. Hal ini membuat ia harus
berhati-hati di masa depan. Yang memalukan ketika ia menyerang Vietnam
tetapi menderita kekalahan (1979). Dengan demikian, setidaknya “bangunan
militer”-nya kini telah mengadopsi beberapa pengalaman tidak
menyenangkan di masa lalu.
Semenjak dekade 1980-an, Cina telah menyerahkan tanggung jawab
internalnya kepada polisi, pasukan perbatasan dan pasukan keamanan
internal lainnya yang telah diperluas serta terlatih dalam rangka
menangani ketidakstabilan sosial. Pengalaman atas konflik internal di
masa lalu telah meletakkan pula The Peoples’s Liberation Army (PLA) atau
Tentara Pembebasan Rakyat sebagai organ yang ditunjuk dalam rangka
mengendalikan konfigurasi sosial di dalam negeri hingga level terburuk.
PLA adalah secondery force selain militer, ia dipersiapkan dalam rangka
menghadapi tantangan pendudukan dari Myanmar, atau Pakistan misalnya,
intinya adalah mengendalikan situasi internal bukan untuk proyeksi
keluar.
Secara fisik ia mampu mengendalikan di dalam tetapi kontrol terhadap
negara-negara tetangganya sangat terbatas. Salah satu kelemahanya ialah
ketidakmampuan dalam penyediaan logistik perang jarak jauh dengan waktu
lama disebabkan faktor alam, infrastruktur transportasi, serta
dikelilingi oleh negara-negara yang secara politis berseberangan. Solusi
sederhana bagi Cina, terutama untuk kontrol eksternal ialah membuka
jalur-jalur laut dan metode gerilya bersenjatakan rudal, ranjau dan
kalal selam. Ini yang seharusnya dibangunnya.
Strategi Politik
Melihat fakta di atas, tampaknya Cina menghadapi masalah strategi
yang cukup signifikan. Sepertinya ia belum mampu jika melawan AS dan
sekutu di perairan. Kontra strategi yang diterapkan pun belum sepenuhnya
efektif mengingat biaya besar dan kondisi akses politik yang tidak
pasti di negara-negara di sekitar Lautan Hindia. Apa boleh buat.
Tuntutan menciptakan kekuatan guna mampu menjamin akses politik diluar,
justru bertentangan dengan persyaratan keamanan dalam negerinya sendiri.
Ya. Kekuatan dominan angkatan laut dunia saat ini adalah Paman Sam
beserta koalisi dengan puluhan kapal induk diiringi kapal freegat serta
ratusan kapal selam siap tempur, belum lagi pangkalan militer yang
tersebar di berbagai belahan dunia.
Upaya menetralisir kelemahan strateginya, Cina mencoba melibatkan
sebagai bagian yang urgen bagi AS itu sendiri. Misalnya surat utang
sebesar 1,107 triliun USD per September 2011 milik AS (CNBC, 2/2/2012)
yang dipegang oleh Cina memang bisa menjadi kartu truf dalam satu sisi,
kendati belum menjamin sepenuhnya terutama sisi politik global.
Pengalaman Libya merupakan contoh riil. Kepercayaan diri Gaddafi yang
berbasis keyakinan bahwa ia tidak akan diserang oleh AS dan NATO karena
disamping tengah menjalin konsesi minyak beberapa perusahaan minyak
milik Barat, juga Barat memiliki utang sekitar 600 milyar USD kepada
Libya. Dari aspek politik ternyata bertolak belakang. Resolusi PBB nomor
1973 tentang No Fly Zone merupakan jawaban fatal atas “kesalahan
keyakinan”-nya Gaddafi kepada Barat. Seri baru perang kolonial yakni
utang dibayar bom dan perampokan internasional berkedok pembekuan
aset-aset di luar negeri pun diterapkan oleh AS dan sekutu terhadap
Libya (baca: Perampok Internasional dan Utang Dibayar Bom, di http://www.theglobal-review.com). Libya kini porak-poranda.
Persepsi kebangkitan Cina memang tak bisa dipungkiri siapapun, namun
mengingat masih besarnya tantangan internal sementara postur militernya
tengah berformat mencari bentuk ideal merujuk geostrategi dan
geopolitik, maka dibutuhkan kajian secara mendalam oleh think-tank
Beijing jika memutuskan hendak melawan AS dan sekutu di wilayah
perairan.
Rekomendasi
“Setiap sistem dominasi tergantung kekuatan militer, tetapi selalu membutuhkan pembenaran ideologis” (Jean Bricmont).
Menaksir kemampuan Cina dari teori ini, tampaknya kedua elemen
sebagai syarat pokok yakni power militer dan senjata ideologis belum
dimilikinya. Jujur saja, Cina tidak punya citra ideologis guna
“menerobos” lorong-lorong politis negara lain dan juga belum memiliki
power militer dalam rangka akses politis di luar kendati kekuatan
militernya ketiga terbesar di dunia. Berbeda dengan AS yang mampu
menebar ideologis melalui paket demokrasi, HAM dan lingkungan (DHL)
serta para personel dan pangkalan militer, capacity building bahkan
doktrin militernya bertebaran di banyak negara.
Pendekatan asimetris (non militer) Cina dianggap luar biasa, bahkan
ditakuti oleh jajaran negara Barat di Afrika, Asia, Timor Leste dan
lainnya. Hal ini menjadikan Cina lebih populer daripada kelompok negara
Barat yang sering usil dengan urusan internal negeri lain. Namun langkah
asimetris bukanlah jaminan, selain tidak memiliki efek signifikan bila
terjadi perang terbuka nanti, niscaya akan mengendala ketika merambah
suatu negara yang secara ekonomi telah mapan serta sudah mampu mengelola
“jati diri”-nya secara berkelanjutan seperti Brazil, Venezuela,
Bolivia, Iran dan lainnya.
Namun demikian ada beberapa hal yang kiranya perlu mendapat perhatian
kita secara seksama terkait postur kekuatan angkatan bersenjata Cina
yang cenderung kian meningkat dari waktu ke waktu. Berdasarkan data
kekuatan militer Cina yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global
Future Institute(GFI), kekuatan angkatan bersenjata Cina bagaimanapun
juga tetap tidak boleh diremehkan, bahkan oleh Amerika Serikat
sekalipun.
Tentara Aktif berjumlah 2.255.000 (dua juta duaratus limapuluh lima
ribu) orang. Tentara cadangan, 800.000(delapan ratus ribu) orang.
Paramiliter aktif 3.969.000(tiga juta sembilanratus enampuluh sembilan
ribu) orang.
Angkatan Darat, Cina memiliki senjata berbasis darat sejumlah 31.300,
tank sejumlah 8200, kendaraan pengangkut pasukan sebesar 5000, meriam
sejumlah 14.000, senjata pendorong 1.700, sistem peluncur roket 2.400,
mortir sejumlah 16.000, senjata kendali anti tank 6500, dan senjata
anti-pesawat 7.700.
Di matra laut, Cina pun cukup berjaya. Kapal perang, berjumlah 760
unit, kapal pengangkut 1822 unit, pelabuhan utama 8, pengangkut pesawat 1
unit, kapal penghancur 21 unit, kapal selam 68 unit, fregat 42, kapal
patroli pantai 368 unit 6, kapal penyapu ranjau sekitar 39 unit, dan
kapal amphibi sekitar 121 unit.
Angkatan Udara, Cina punya jumlah pesawat 1900 unit. Cukup menakjubkan. Helikopter 491 unit, lapangan udara 67 unit.
Mengakhiri catatan ini, rekomendasi yang diberikan ialah agar
pancingan AS dan kelompok negara proxy-nya sekutu terhadap Cina supaya
masuk ke lingkaran tema PD III di Laut Cina Selatan sebaiknya dihindari
sementara —diulur-ulur waktu— sambil ia terus membangun kontra strategi
dan meningkatkan kemampuan “gerilya”-nya guna menaklukkan negara di
sekelilingnya. Akan tetapi rekomendasi ini boleh saja diabaikan apabila
telah ada komitmen jelas, bahwa Rusia pun terlibat langsung bersama-sama
Cina melawan AS dan sekutu. Itu baru imbang!
(Analisa ini disarikan dari berbagai sumber)
DATA TAMBAHAH TERKAIT KEKUATAN ANGKATAN BERSENJATA CINA TERKINI:
Total Navy Ships: 972
Merchant Marine Strength: 2,012 [2012]
Major Ports & Terminals: 8
Aircraft Carriers: 1 [2012]
Destroyers: 25 [2012]
Submarines: 63 [2012]
Frigates: 47 [2012]
Patrol Craft: 332 [2012]
Mine Warfare Craft: 52 [2012]
Amphibious Assault Craft: 233 [2012]NI;
Artikel Terkait
» Laut Cina Selatan: Medan Tempur Baru AS-Cina di Asia Tenggara
» India Galang Kekuatan Hadapi Cina Melalui Latihan Militer Bersama 14 Negara
» Skenario Amerika Serikat Perlemah ASEAN Melalui KTT ASEAN 17-19
November 2011. Hidupkan Kembali Gagasan Asia Pacific Union (APU) dan
East Asia Bloc?
4
Search :
Advance Search
Isu Hangat »
AGENDA SETTING TERSEMBUNYI AMERIKA SERIKAT: Perspektif Perang Non Militer Milenium Ketiga (Bagian Terakhir)
Melihat perkembangan cara berperang abad 21 yang lebih mengutamakan
Perang Non Militer mau tidak mau kita harus mengubah paradigma doktrin
pertahanan keamanan yang sudah ada. Tapi …
AGENDA SETTING TERSEMBUNYI AMERIKA SERIKAT: Perspektif Perang Non Militer Milenium Ketiga (Bagian Kedua)
AGENDA SETTING TERSEMBUNYI AMERIKA SERIKAT: Perspektif Perang Non Militer Milenium Ketiga (Bagian Pertama)
Perlunya Perubahan Tata Kelola Daerah Perbatasan
Kerjasama RI-Rusia Punya Nilai Strategis Bagi Kedua Negara (Ulasan Singkat Pertemuan Jokowi-Putin di Beijing 10 Oktober 2014)
Indonesia Negara Maritim, Bukan Sekadar Negara Kelautan (Menanggapi Visi Maritim Presiden Jokowi)
Lihat lainya »
Arsip
AS Pulihkan Hubungan dengan Kuba
TNI Terus Mencari Korban Tanah Longsor Banjarnegara
Misi Perdamaian PBB, 175 Prajurit TNI Siap Berangkat ke Kongo
Perlu Terpenuhinya Cita-Cita Trisakti Terlebih Dahulu
Kedutaan Inggris di Kairo Kembali Dibuka untuk Umum
AS Ingin Mesir Jadi Penguasa di Wilayah
Palestina Segera Ajukan Draf Resolusi, Akankah Berakhir Veto?
Tol Laut Ditunda? (3/Habis)
The US Federal Reserve Bank dan The London Connection
Pertemuan Lima Sepakati Rencana Penanganan Perubahan Iklim
Lihat lainya »
Bedah Buku
Pengarang :
Belum Ada Manfaatnya Obama Bagi Islam dan Kepentingan Indonesia
Judul : Obama, Islam dan Gaza
Penulis : Wawan H Purwanto
Penerbit : CMB Press
Tebal buku : 216 halaman termasuk biodata penulis
Peresensi : Muhammad Mubdi Kautsar-Dvdfreian
|
saya ingin berbagi dengan siapa pun di sini yang mencari pinjaman untuk bisnis atau pinjaman pribadi untuk menghubungi mr pedro di pedroloanss@gmail.com karena mr pedro dan perusahaan pinjamannya adalah semua yang saya percaya ketika datang ke solusi situasi keuangan jadi saya merekomendasikan ada yang mencari bantuan keuangan untuk menghubungi mr pedro dengan pinjaman 2 tingkat pengembalian tahunan, sekarang? Anda mengerti mengapa saya akan memilih pedro dengan perusahaan pinjamannya 100 keuangan asli.
BalasHapus