Kamis, 01 September 2022

 

Ukhty Wiwin-SNOUCK HURGRONJE-MATA2 BELANDA

 

1 hari  · 

*MENGKAJI ISLAM UNTUK MENIKAM ISLAM*

Oleh: Irkham Fahmi al-Anjatani

 

https://www.facebook.com/photo/?fbid=157798786851296&set=a.103614782269697

 


 

Sejarah mencatat bahwa dahulu pernah ada seorang tokoh yang mempelajari Islam dengan begitu mendalam. Sayangnya, ia belajar bukan untuk kejayaan Islam dan umatnya, melainkan untuk mempertahankan eksistensi Belanda dengan hegemoni penjajahannya.

Yang saya maksud disini adalah Snouck Hugronje, sarjana Belanda yang menulis tesis berjudul "Festival Mekah". Karena dinilai mempunyai pemahaman Islam yang mendalam, kemudian ia dilirik oleh Belanda yang saat itu sedang menjajah Indonesia. Hal tersebut dinilai akan sangat berguna dalam misi Belanda menduduki Nusantara. Konsulat Belanda di Jeddah pun menawarinya belajar Islam langsung di Mekah.

Pada 1885, mula-mula ia tinggal di Jeddah bersama bangsawan asal Pandeglang, Raden Aboe Bakr Djajadiningrat, yang darinya juga Snouck bisa belajar bahasa Melayu. Di tahun yang sama, Snouck mengungkapkan keinginannya untuk masuk Islam. Lalu ia pun bersyahadat di hadapan hakim bernama Isma'il Agha, berikut dua orang saksinya.

Pengetahuan Snouck yang dalam soal Islam semakin memuluskan langkahnya. Ketika berhasil menginjakan kaki di Masjidil Haram, ia menulis surat kepada temannya, Carl Bezold, membanggakan tentang betapa sumpah syahadatnya tak dipertanyakan. Dalam perjalanannya menyusup di Mekah sebagai mualaf, ia bahkan digelari berbagai sebutan seperti Mufti dan Sheikh al-Islam of Batavia.

Untuk tahu soal seluk beluk nusantara, ia belajar kepada Habib Abdoerahman Az-Zahir, ulama Mekah yang pernah pergi ke sana. Habib Abdoerahman bersedia menerima Snouck sebagai murid karena ia mengaku ingin membantu rakyat nusantara melawan penjajahan Belanda.

Gerilya Snouck dalam penyamarannya sebagai agen Belanda bersamaan dengan kian suburnya apatisme politik di kalangan umat Islam. Tak sedikit orang Islam yang menutup mata soal politik, mereka hanya memusatkan diri pada ritual ibadah semata, yang pastinya itu tidak dianggap sebagai ancaman oleh Belanda.

Dari situlah kemudian kehadiran Snouck Hugronje disambut luar biasa layaknya ulama besar. Ia mengeluarkan fatwa larangan umat Islam membaca Al-Qur'an dengan artinya. Termasuk juga fatwa wajibnya khotib-khotib jum'at menggunakan bahasa Arab.

Sebagian umat Islam patuh saja pada saat itu. Mereka menganggap bahwa Snouck yang kala itu berganti nama menjadi Abdul Ghofur sebagai ulama terkemuka. Padahal fatwa-fatwa yang dikeluarkannya itu dimaksudkan agar umat Islam tetap jumud dengan kondisinya, sehingga tidak ada gairah perlawanan terhadap penjajahan, karena mereka tidak mengerti makna Al-Qur'an dan isi khutbah yang khotib sampaikan.

Snouck Hugronje mengeluarkan fatwa-fatwa tersebut karena ia sudah belajar banyak tentang Islam, ia tau bahwa sumber kebangkitan umat Islam adalah manakala mereka paham makna kitab suci yang dibacanya. Tanpa itu semua mereka akan tetap pasrah dengan kondisinya yang terjajah.

Tampaknya semangat orientalisme semacam ini hingga kini masih tetap ada. Bahkan lebih menggurita. Betapa banyak saat ini orang yang belajar agama dengan beasiswa dari negara-negara barat. Pada akhirnya mereka kaji sejarah Islam untuk mencari titik kelemahannya. Mereka belajar bukan untuk kejayaan Islam, tetapi justru untuk menggugat aturan-aturan Islam itu sendiri.

Walhasil, ada yang mempermasalahkan praktik poligami, menggugat larangan eljibiti, menyerang ajaran Khilafah, hingga menentang kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang hak bagi manusia. Wajar saja apabila negara-negara barat, bahkan Yahudi dan kaum komunis tidak menganggapnya sebagai ancaman. Mereka tau bahwa orang-orang semacam itu tidak akan membangkitkan kejayaan Islam.

Itulah sebabnya kita dianjurkan untuk selalu membaca do'a selamat oleh para ulama, yang kalimat awalnya berbunyi "Allaahumma Innaa Nas'aluka Salaamatan fid Diin", Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu agar diselamatkan dalam beragama.

Agar tetap lurus, tidak terjerumus pada alur jahat kaum orientalis, yang belajar Islam tetapi justru menikam Islam. Aamin.

#KhilafahAjaranIslam

#ReturnTheKhilafah

Cirebon, 12 Juni 2019

 


 

https://tirto.id/siasat-snouck-hurgronje-menjinakkan-islam-politik-cMYw

 

26 Juni 1936 Siasat Snouck Hurgronje Menjinakkan Islam Politik Ilustrasi Mozaik Haji Abdul Gaffur. tirto.id/Sabit Penulis: Mustaqim Aji Negoro - 26 Jun 2021 00:00 WIB Dibaca Normal 2 menit Bagi Snouck Hurgronje, yang perlu dijinakkan adalah Islam sebagai aspirasi politik. tirto.id - Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah nama yang tak asing bagi banyak orang Indonesia yang belajar islamologi dan sejarah. Sebagai seorang orientalis, kepakarannya dalam studi Islam memang sangat diakui. Berasal dari keluarga Protestan taat, ia memulai karier akademik dengan belajar teologi di Universitas Leiden pada 1874, dan lulus sebagai doktor di kampus yang sama pada 1880 dengan disertasinya yang terkenal: Het Mekkaansche Feest (Perayaan Mekkah). Baca juga: Petualangan Haji Gofur di Mekkah Dalam narasi sejarah Indonesia, ia banyak dikonstruksikan sebagai “aktor jahat” di balik takluknya Aceh oleh pemerintah kolonial dalam perang yang berlangsung dari 1878 hingga 1908. Ia juga dianggap sebagai pembelah sekaligus pelemah Islam Indonesia. Segala macam sinisme dan pandangan negatif yang tercurah padanya tentu bukan tanpa dasar. Dalam The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1945 (1958), Harry J. Benda mengatakan, memang Snouck lah yang telah merumuskan untuk memisahkan Islam dari politik dengan memilahnya menjadi dua bagian, yakni Islam religius dan Islam politik. Kesimpulan ini ia peroleh setelah melakukan penelitian kesusastraan, sejarah, dan etnografi selama bertahun-tahun (hlm. 44-45). Baca juga: Nasihat Abdul Ghaffar kepada Pemerintah Kolonial Belanda Tak Pandang Bulu terhadap Islam Politik Sebelum kedatangan Snouck ke Hindia Belanda pada 1889, kebijakan yang diambil pemerintah kolonial terhadap Islam terkesan inkonsisten. Di satu sisi, mereka mengembangkan sikap tidak mau ikut campur dalam urusan-urusan ritual umat Islam, seperti saat ibadah salat, zakat, ataupun jika umat Islam hendak membangun masjid. Namun di sisi lain, mereka justru bersikap represif terhadap orang-orang Islam yang hendak menunaikan ibadah haji. Segala macam ketakutan dan kerancuan kebijakan terhadap Islam ini bukannya tanpa sebab. Pecahnya Perang Padri pada 1803-1838 serta Perang Jawa pada 1825-1830 sudah cukup menjadi pelajaran bagi pemerintah kolonial. Betapa dahsyatnya kekuatan politik Islam ini sebagai penyulut konflik jika sampai salah langkah lagi dalam mengantisipasinya. Selain itu, belum adanya pedoman ilmu pengetahuan yang memadai mengenai masalah Islam juga merupakan masalah lain yang harus segera dipecahkan. Sehingga, mau tak mau, pemerintah kolonial harus mengambil sikap defensif dan berhati-hati terhadap umat Islam. Mengetahui kebijakan para pendahulunya yang keliru, Snouck bergerak cepat. Melalui De Atjeher (1893), buku etnografinya tentang masyarakat Aceh, ia menawarkan solusi penyelesaian terhadap Perang Aceh yang berlarut-larut serta penanganan Islam di Hindia Belanda secara menyeluruh. Baca juga: Kejahatan Perang Belanda di Aceh Seperti diungkap Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda (1986), Snouck menegaskan bahwa pada dasarnya Islam di Hindia Belanda adalah agama yang damai. Namun, anak pendeta dari Oosterhout ini juga tak menutup mata terhadap kekuatan fanatisme politik dalam Islam. Maka ia mengatakan, yang menjadi musuh pemerintah kolonial bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik (hlm. 10-12). Snouck juga membagi golongan Islam menjadi tiga kategori pokok berdasarkan lapangan aktivitas, yakni Islam sebagai ritual keagamaan murni atau ibadat, Islam sebagai bidang kemasyarakatan, dan Islam dalam bentuk kenegaraan. Terhadap ketiga unsur Islam yang berbeda ini, ia menawarkan tiga pendekatan yang berbeda pula. Sebagaimana diungkap Benda, kepada yang pertama, pemerintah harus berlepas tangan atau tak usah ikut campur di dalamnya. Sedangkan terhadap yang kedua—jika memungkinkan—pemerintah justru harus memfasilitasi, seperti membantu dalam urusan ibadah haji. Tetapi untuk kelompok yang ketiga, pemerintah harus bersikap keras dan tak pandang bulu (hlm. 44-48). Secara umum, apa yang dimaksud Snouck adalah keberadaan orang Islam bukanlah ancaman terhadap keberlangsungan pemerintahan kolonial. Maka, toleransi kepada umat Muslim merupakan hal pokok yang harus dipenuhi untuk menjaga rust en orde (ketenteraman dan ketertiban). Penindasan terhadap mereka bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga tidak perlu. Malahan tidak terhormat bagi negara semacam Belanda, yang menjunjung tinggi asas kebebasan beragama. Baca juga laporan mendalam Tirto tentang sejarah haji: Kontroversi Makam Haji dan Destruksi Ajaran Wahabi Taktik Belanda Mengendalikan Islam Melalui Gelar Haji Tragedi dalam Sejarah Haji Catatan Perjalanan Para Haji Proses Menguburkan Jemaah Haji Tempo Dulu di Tengah Laut Derita Jemaah Haji Perempuan di Zaman Kolonial Warisan Akhir Warisan pemikiran Snouck bagi kebijakan Belanda terhadap Islam dapat dilacak dari lembaga yang lahir setelah memperoleh masukan darinya. Salah satunya mengenai pengangkatan penghulu di daerah-daerah sebagai pegawai negeri. Snouck mengatakan, fungsi penghulu adalah membantu tugas bupati dalam mengawasi kemunculan Islam politik. Selain digunakan sebagai alat kontrol, para penghulu ini juga bisa dimanfaatkan menjadi penghubung aspirasi umat Islam di akar rumput dengan pemerintah kolonial. Baca juga: Boikot Bayar Pajak di Zaman Hindia Belanda Warisan penting lain adalah pemikirannya tentang pendidikan di Indonesia. Snouck memimpikan kesatuan pendidikan antara Indonesia dan Belanda. Di dalamnya, kedua unsur itu bisa menjadi partner dalam kehidupan budaya dan sosial. Kebijakan semacam ini menurutnya akan mampu menutup jurang pemisah antara pemerintah dengan rakyat kebanyakan dan mencegah fanatisme Islam lewat pendidikan ala Eropa. Pada 26 Juni 1936, tepat hari ini 85 tahun lalu, Snouck Hurgronje meninggal dunia di Leiden. Gagasan sekaligus kontroversinya masih terus mewarnai wacana Islam politik Indonesia hingga hari ini. ========== Versi awal artikel ini ditayangkan pada 26 Juni 2018. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik. Baca juga artikel terkait ISLAM POLITIK atau tulisan menarik lainnya Mustaqim Aji Negoro (tirto.id - Humaniora) Penulis: Mustaqim Aji Negoro Editor: Ivan Aulia Ahsan

Baca selengkapnya di artikel "Siasat Snouck Hurgronje Menjinakkan Islam Politik", 
https://tirto.id/cMYw


 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar