Ukhty Wiwin-SNOUCK HURGRONJE-MATA2
BELANDA
1 hari ·
*MENGKAJI ISLAM UNTUK MENIKAM ISLAM*
Oleh: Irkham Fahmi al-Anjatani
https://www.facebook.com/photo/?fbid=157798786851296&set=a.103614782269697
Sejarah mencatat bahwa dahulu pernah ada seorang tokoh
yang mempelajari Islam dengan begitu mendalam. Sayangnya, ia belajar bukan
untuk kejayaan Islam dan umatnya, melainkan untuk mempertahankan eksistensi
Belanda dengan hegemoni penjajahannya.
Yang saya maksud disini adalah Snouck Hugronje,
sarjana Belanda yang menulis tesis berjudul "Festival Mekah". Karena
dinilai mempunyai pemahaman Islam yang mendalam, kemudian ia dilirik oleh
Belanda yang saat itu sedang menjajah Indonesia. Hal tersebut dinilai akan
sangat berguna dalam misi Belanda menduduki Nusantara. Konsulat Belanda di
Jeddah pun menawarinya belajar Islam langsung di Mekah.
Pada 1885, mula-mula ia tinggal di Jeddah bersama
bangsawan asal Pandeglang, Raden Aboe Bakr Djajadiningrat, yang darinya juga
Snouck bisa belajar bahasa Melayu. Di tahun yang sama, Snouck mengungkapkan
keinginannya untuk masuk Islam. Lalu ia pun bersyahadat di hadapan hakim
bernama Isma'il Agha, berikut dua orang saksinya.
Pengetahuan Snouck yang dalam soal Islam semakin
memuluskan langkahnya. Ketika berhasil menginjakan kaki di Masjidil Haram, ia
menulis surat kepada temannya, Carl Bezold, membanggakan tentang betapa sumpah
syahadatnya tak dipertanyakan. Dalam perjalanannya menyusup di Mekah sebagai
mualaf, ia bahkan digelari berbagai sebutan seperti Mufti dan Sheikh al-Islam
of Batavia.
Untuk tahu soal seluk beluk nusantara, ia belajar
kepada Habib Abdoerahman Az-Zahir, ulama Mekah yang pernah pergi ke sana. Habib
Abdoerahman bersedia menerima Snouck sebagai murid karena ia mengaku ingin
membantu rakyat nusantara melawan penjajahan Belanda.
Gerilya Snouck dalam penyamarannya sebagai agen
Belanda bersamaan dengan kian suburnya apatisme politik di kalangan umat Islam.
Tak sedikit orang Islam yang menutup mata soal politik, mereka hanya memusatkan
diri pada ritual ibadah semata, yang pastinya itu tidak dianggap sebagai
ancaman oleh Belanda.
Dari situlah kemudian kehadiran Snouck Hugronje
disambut luar biasa layaknya ulama besar. Ia mengeluarkan fatwa larangan umat
Islam membaca Al-Qur'an dengan artinya. Termasuk juga fatwa wajibnya
khotib-khotib jum'at menggunakan bahasa Arab.
Sebagian umat Islam patuh saja pada saat itu. Mereka
menganggap bahwa Snouck yang kala itu berganti nama menjadi Abdul Ghofur
sebagai ulama terkemuka. Padahal fatwa-fatwa yang dikeluarkannya itu
dimaksudkan agar umat Islam tetap jumud dengan kondisinya, sehingga tidak ada
gairah perlawanan terhadap penjajahan, karena mereka tidak mengerti makna
Al-Qur'an dan isi khutbah yang khotib sampaikan.
Snouck Hugronje mengeluarkan fatwa-fatwa tersebut
karena ia sudah belajar banyak tentang Islam, ia tau bahwa sumber kebangkitan
umat Islam adalah manakala mereka paham makna kitab suci yang dibacanya. Tanpa
itu semua mereka akan tetap pasrah dengan kondisinya yang terjajah.
Tampaknya semangat orientalisme semacam ini hingga
kini masih tetap ada. Bahkan lebih menggurita. Betapa banyak saat ini orang
yang belajar agama dengan beasiswa dari negara-negara barat. Pada akhirnya mereka
kaji sejarah Islam untuk mencari titik kelemahannya. Mereka belajar bukan untuk
kejayaan Islam, tetapi justru untuk menggugat aturan-aturan Islam itu sendiri.
Walhasil, ada yang mempermasalahkan praktik poligami,
menggugat larangan eljibiti, menyerang ajaran Khilafah, hingga menentang
kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang hak bagi manusia. Wajar saja
apabila negara-negara barat, bahkan Yahudi dan kaum komunis tidak menganggapnya
sebagai ancaman. Mereka tau bahwa orang-orang semacam itu tidak akan
membangkitkan kejayaan Islam.
Itulah sebabnya kita dianjurkan untuk selalu membaca
do'a selamat oleh para ulama, yang kalimat awalnya berbunyi "Allaahumma
Innaa Nas'aluka Salaamatan fid Diin", Ya Allah, sesungguhnya kami meminta
kepada-Mu agar diselamatkan dalam beragama.
Agar tetap lurus, tidak terjerumus pada alur jahat
kaum orientalis, yang belajar Islam tetapi justru menikam Islam. Aamin.
Cirebon, 12 Juni 2019
https://tirto.id/siasat-snouck-hurgronje-menjinakkan-islam-politik-cMYw
26 Juni 1936 Siasat Snouck Hurgronje
Menjinakkan Islam Politik Ilustrasi Mozaik Haji Abdul Gaffur. tirto.id/Sabit
Penulis: Mustaqim Aji Negoro - 26 Jun 2021 00:00 WIB Dibaca Normal 2 menit Bagi
Snouck Hurgronje, yang perlu dijinakkan adalah Islam sebagai aspirasi politik.
tirto.id - Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah nama yang tak asing bagi banyak
orang Indonesia yang belajar islamologi dan sejarah. Sebagai seorang
orientalis, kepakarannya dalam studi Islam memang sangat diakui. Berasal dari
keluarga Protestan taat, ia memulai karier akademik dengan belajar teologi di
Universitas Leiden pada 1874, dan lulus sebagai doktor di kampus yang sama pada
1880 dengan disertasinya yang terkenal: Het Mekkaansche Feest (Perayaan
Mekkah). Baca juga: Petualangan Haji Gofur di Mekkah Dalam narasi sejarah
Indonesia, ia banyak dikonstruksikan sebagai “aktor jahat” di balik takluknya
Aceh oleh pemerintah kolonial dalam perang yang berlangsung dari 1878 hingga
1908. Ia juga dianggap sebagai pembelah sekaligus pelemah Islam Indonesia.
Segala macam sinisme dan pandangan negatif yang tercurah padanya tentu bukan
tanpa dasar. Dalam The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the
Japanese Occupation, 1942-1945 (1958), Harry J. Benda mengatakan, memang Snouck
lah yang telah merumuskan untuk memisahkan Islam dari politik dengan memilahnya
menjadi dua bagian, yakni Islam religius dan Islam politik. Kesimpulan ini ia
peroleh setelah melakukan penelitian kesusastraan, sejarah, dan etnografi
selama bertahun-tahun (hlm. 44-45). Baca juga: Nasihat Abdul Ghaffar kepada
Pemerintah Kolonial Belanda Tak Pandang Bulu terhadap Islam Politik Sebelum
kedatangan Snouck ke Hindia Belanda pada 1889, kebijakan yang diambil
pemerintah kolonial terhadap Islam terkesan inkonsisten. Di satu sisi, mereka
mengembangkan sikap tidak mau ikut campur dalam urusan-urusan ritual umat
Islam, seperti saat ibadah salat, zakat, ataupun jika umat Islam hendak
membangun masjid. Namun di sisi lain, mereka justru bersikap represif terhadap
orang-orang Islam yang hendak menunaikan ibadah haji. Segala macam ketakutan
dan kerancuan kebijakan terhadap Islam ini bukannya tanpa sebab. Pecahnya
Perang Padri pada 1803-1838 serta Perang Jawa pada 1825-1830 sudah cukup
menjadi pelajaran bagi pemerintah kolonial. Betapa dahsyatnya kekuatan politik
Islam ini sebagai penyulut konflik jika sampai salah langkah lagi dalam
mengantisipasinya. Selain itu, belum adanya pedoman ilmu pengetahuan yang
memadai mengenai masalah Islam juga merupakan masalah lain yang harus segera
dipecahkan. Sehingga, mau tak mau, pemerintah kolonial harus mengambil sikap
defensif dan berhati-hati terhadap umat Islam. Mengetahui kebijakan para
pendahulunya yang keliru, Snouck bergerak cepat. Melalui De Atjeher (1893),
buku etnografinya tentang masyarakat Aceh, ia menawarkan solusi penyelesaian
terhadap Perang Aceh yang berlarut-larut serta penanganan Islam di Hindia
Belanda secara menyeluruh. Baca juga: Kejahatan Perang Belanda di Aceh Seperti
diungkap Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda (1986), Snouck
menegaskan bahwa pada dasarnya Islam di Hindia Belanda adalah agama yang damai.
Namun, anak pendeta dari Oosterhout ini juga tak menutup mata terhadap kekuatan
fanatisme politik dalam Islam. Maka ia mengatakan, yang menjadi musuh
pemerintah kolonial bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai
doktrin politik (hlm. 10-12). Snouck juga membagi golongan Islam menjadi tiga
kategori pokok berdasarkan lapangan aktivitas, yakni Islam sebagai ritual
keagamaan murni atau ibadat, Islam sebagai bidang kemasyarakatan, dan Islam
dalam bentuk kenegaraan. Terhadap ketiga unsur Islam yang berbeda ini, ia
menawarkan tiga pendekatan yang berbeda pula. Sebagaimana diungkap Benda,
kepada yang pertama, pemerintah harus berlepas tangan atau tak usah ikut campur
di dalamnya. Sedangkan terhadap yang kedua—jika memungkinkan—pemerintah justru
harus memfasilitasi, seperti membantu dalam urusan ibadah haji. Tetapi untuk
kelompok yang ketiga, pemerintah harus bersikap keras dan tak pandang bulu
(hlm. 44-48). Secara umum, apa yang dimaksud Snouck adalah keberadaan orang
Islam bukanlah ancaman terhadap keberlangsungan pemerintahan kolonial. Maka,
toleransi kepada umat Muslim merupakan hal pokok yang harus dipenuhi untuk
menjaga rust en orde (ketenteraman dan ketertiban). Penindasan terhadap mereka
bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga tidak perlu. Malahan tidak terhormat
bagi negara semacam Belanda, yang menjunjung tinggi asas kebebasan beragama.
Baca juga laporan mendalam Tirto tentang sejarah haji: Kontroversi Makam Haji
dan Destruksi Ajaran Wahabi Taktik Belanda Mengendalikan Islam Melalui Gelar
Haji Tragedi dalam Sejarah Haji Catatan Perjalanan Para Haji Proses Menguburkan
Jemaah Haji Tempo Dulu di Tengah Laut Derita Jemaah Haji Perempuan di Zaman
Kolonial Warisan Akhir Warisan pemikiran Snouck bagi kebijakan Belanda terhadap
Islam dapat dilacak dari lembaga yang lahir setelah memperoleh masukan darinya.
Salah satunya mengenai pengangkatan penghulu di daerah-daerah sebagai pegawai
negeri. Snouck mengatakan, fungsi penghulu adalah membantu tugas bupati dalam
mengawasi kemunculan Islam politik. Selain digunakan sebagai alat kontrol, para
penghulu ini juga bisa dimanfaatkan menjadi penghubung aspirasi umat Islam di
akar rumput dengan pemerintah kolonial. Baca juga: Boikot Bayar Pajak di Zaman
Hindia Belanda Warisan penting lain adalah pemikirannya tentang pendidikan di
Indonesia. Snouck memimpikan kesatuan pendidikan antara Indonesia dan Belanda.
Di dalamnya, kedua unsur itu bisa menjadi partner dalam kehidupan budaya dan sosial.
Kebijakan semacam ini menurutnya akan mampu menutup jurang pemisah antara
pemerintah dengan rakyat kebanyakan dan mencegah fanatisme Islam lewat
pendidikan ala Eropa. Pada 26 Juni 1936, tepat hari ini 85 tahun lalu, Snouck
Hurgronje meninggal dunia di Leiden. Gagasan sekaligus kontroversinya masih
terus mewarnai wacana Islam politik Indonesia hingga hari ini. ========== Versi
awal artikel ini ditayangkan pada 26 Juni 2018. Redaksi melakukan penyuntingan
ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik. Baca juga artikel terkait
ISLAM POLITIK atau tulisan menarik lainnya Mustaqim Aji Negoro (tirto.id -
Humaniora) Penulis: Mustaqim Aji Negoro Editor: Ivan Aulia Ahsan
Baca selengkapnya di artikel "Siasat Snouck
Hurgronje Menjinakkan Islam Politik", https://tirto.id/cMYw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar