Sabtu, 24 September 2022

Dalil al-Quran Allah SWT berfirman: ...... “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [Q.s. al-Baqarah [2]: 30].>> .....Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat Khalifah.” Bahkan, beliau kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat Khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” [Lihat, Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/264]. >>>> ....Dalil al-Quran lainnya, antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll [Lihat, Ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49]. >>> .....Dalil as-Sunnah Di antaranya sabda Rasulullah saw.: .... “Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” [Hr. Muslim]. Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49]. Nabi juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda saw. harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah Khulafa’, jamak dari Khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi]. Nabi bersabda: .... “Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [Hr. Muslim] >>> ... Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah al-Quran dan as-Sunnah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i. Para ulama’ ushul menyatakan, bahwa menolak ijmak sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi [w. 483 H] menegaskan: .... “Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini.” [Lihat, Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296]. Karena itu, Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan, atau dicampakkan seakan tidak berharga, karena bukan al-Qur’an atau as-Sunnah. Padahal, Ijmak Sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap [Lihat, as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124]. Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan: .... “Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” [Lihat, Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7]. Lebih dari itu, menurut Syaikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah: ..... “Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”.... >>> AJARAN KHILAFAH ADALAH WAJIB BAGI SETIAP MUSLIM DIMANAPUN BERADA >>> N MENDIRIKAN N MENEGAKKN AJARAN KHILAFAH WAJIB BAGI MUSLIMIN .. DEMI MNJAGA AQIDAH N DAKWAH N KEMANAN BAGI MUSLIMIN N KESEJAHTERAAN N KEAMANN N KEADILAN BAGI SETIAP UMAT MANUSIA ...>>> IN SYAA ALLAH AAMIIN ....>>>

 KHILAFAH AJARAN ISLAM

Oleh : Dr. Daud Rasyid, Lc., MA

https://www.facebook.com/?ref=tn_tnmn

 

Istilah Khilafah

Khilafah adalah isim syar’i [istilah syariah]. Artinya, Khilafah ini bukan istilah buatan manusia, karena istilah ini pertama kali digunakan dalam nash syariah dengan konotasi yang khas, berbeda dengan makna yang dikenal oleh orang Arab sebelumnya. Sebagaimana kata Shalat, Hajj, Zakat, dan sebagainya. [Lihat, al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz I/27-28]

Istilah Khilafah, dengan konotasi syara’ ini digunakan dalam hadits Nabi saw. sebagaimana yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal:

(تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ) [رواه أحمد]

“Ada era kenabian di antara kalian, dengan izin Allah akan tetap ada, kemudian ia akan diangkat oleh Allah, jika Allah berkehendak untuk mengangkatnya. Setelah itu, akan ada era Khilafah yang mengikuti Manhaj Kenabian.” [Hr. Ahmad]

Ini juga bukan merupakan satu-satunya riwayat, karena masih banyak riwayat lain, yang menggunakan kata Khilafah, dengan konotasi syara’ seperti ini. Lihat, Musnad al-Bazzar, hadits no 1282. Musnad Ahmad, hadits no 2091 dan 20913. Sunan Abu Dawud, hadits no 4028. Sunan at-Tirmidzi, hadits no. 2152. Al-Mustadrak, hadits no. 4438.

Adapun pemangkunya disebut Khalifah, jamaknya, Khulafa’. Ini juga disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah saw. Antara lain dalam hadits Abu Hurairah ra.

(كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَ بَعْدِيْ، وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ) [رواه مسلم]

“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [Hr. Muslim]

Tidak hanya di dalam hadits ini, tetapi juga banyak hadits lain yang menggunakan istilah Khalifah [jamaknya, Khulafa’]. Lihat, Shahih Bukhari, hadits no. 6682. Shahih Muslim, hadits no. 3393, 3394, 3395, 3396, 3397 dan 3398. Sunan Abu Dawud, hadits no. 3731 dan 3732. Musnad Ahmad, hadits no. 3394, 19901, 19907, 19943, 19963, 19987, 19997, 20019, 20032, 20041, , 20054, 20103 dan 20137. Sunan at-Tirmidzi, hadits no. 2149 dan 4194.

Karena itu, istilah Khilafah dan Khalifah, jamaknya Khulafa’, adalah istilah syariah, yang memang digunakan dalam nash syariah, bersumber dari wahyu. Bukan buatan manusia, baik generasi sahabat, tabiin, atba’ tabiin maupun para ulama’ setelahnya. Istilah ini kemudian diadopsi para ulama’ ushuluddin [akidah], fikih dan tsaqafah Islam yang lainnya dengan konotasi sebagaimana yang dimaksud oleh hadits Nabi di atas.

 

Makna Khilafah dan Khalifah

Dalam Mu’jam Musthalahat al-‘Ulum as-Syar’iyyah, istilah Khilafah ini didefinisikan dengan:

النِّيَابَةُ عَنِ النَّبِيِّ فِي حَرَاسَةِ الدِّيْنِ، وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَمِنْ أَمْثِلَتِهِ كَوْنُ أَبِيْ بَكْرٍ، وَمِنْ بَعْدِهِ مِنَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، وَنَحْوِهِمْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ خُلَفَاءَ عَنِ النَّبِيِّ فِيْ حَرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا.

“Menggantikan Nabi saw. dalam menjaga agama dan mengurus dunia, di antaranya seperti Abu Bakar, dan para Khulafa’ Rasyidin sepeninggalnya, dan yang lain seperti mereka, semoga Allah meridhai mereka, merupakan pengganti Nabi dalam menjaga agama dan mengurus dunia.” [Majmu’ah Muallifin, Mu’jam Musthalahat al-‘Ulum as-Syar’iyyah, hal. 756]

Karena itu, istilah Khilafah dan Khalifah, jamaknya Khulafa’ bukanlah istilah yang asing di kalangan ulama’ kaum Muslim, dan kaum Muslim di sepanjang zaman. Kecuali, orang yang jahil tentang Islam. Dalam kitab, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, karya Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dinyatakan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” [Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz IX/881].

Imam al-Mawardi [w. 450 H], dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, menyatakan, “Imamah [Khilafah] dibuat untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurus dunia.” [al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, hal. 3]. Sedangkan Ibn Khaldun [w. 808 H], menyatakan, “Menggantikan pemilik syariah [Nabi saw.] dalam menjaga agama, dan mengurus dunia dengannya.” [Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, hal. 98]

Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan, “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” [Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226]. Definisi ini adalah definisi yang sama, yang digunakan oleh al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dalam kitabnya, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam. [Lihat, an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, hal. 34]

Karena merupakan istilah syara’, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Bahkan, Nabi saw. tidak hanya menggunakan istilah ini dengan konotasi syariahnya, tetapi juga menambahkan dengan predikat, Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah [Khilafah yang mengikuti metode kenabian], yang berarti Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang dijalakan oleh para sahabat itu merupakan copy paste dari Nabi saw. Mereka tinggal melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Nabi saw.

Bahkan, Nabi saw. memerintahkan agar umatnya tidak hanya memegang teguh sunahnya, tetapi juga sunah para Khulafa’ Rasyidin. Nabi saw. bersabda:

(عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِيِّنَ مِنْ بَعْدِيْ، وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ) [رواه أبو داود والترمذي]

“Kalian wajib berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para Khalifah Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunah itu dengan gigi geraham.” [Hr. Abu Dawud dan at-Tirmidzi]

Perintah untuk terikat dengan sunah [tuntunan] mereka adalah perintah untuk mempertahankan Khilafah, sebagaimana yang diwariskan oleh Nabi saw. dan menegakkannya kembali, jika ia tidak ada.

Hukum Adanya Khilafah dan Menegakkannya

Semua ulama’ kaum Muslim sepanjang zaman sepakat, bahwa adanya Khilafah ini adalah wajib. Jika Khilafah tidak ada, hukum menegakkannya bagi seluruh kaum Muslim adalah wajib. Dasar kewajibannya tidak didasarkan pada akal atau kesepakatan manusia, tetapi wahyu. Berkaitan dengan ini, Imam as-Syafii menyatakan:

أَنَّ لَيْسَ لاَحَدٍ أَبَدًا أَنْ يَقُوْلَ فِي شَئْ حِلٌّ وَ لاَ حَرَمٌ إِلاَّ مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَجِهَةُ الْعِلْمِ الخَبَرُ فِي الْكِتَابِ أَوْ السُّنَةِ أَوْ الإِجْمَاعِ أَوْ الْقِيَاسِ

Seseorang tidak boleh menyatakan selama-lamanya suatu perkara itu halal dan haram kecuali didasarkan pada ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari al-Kitab (al-Quran), as-Sunnah (al-Hadis), Ijmak atau Qiyas.” [Lihat, Asy-Syafii, Ar-Risâlah, hlm. 39].

Senada dengan itu, Imam al-Ghazali juga menyatakan:

وَجُمْلَةُ الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ تَرْجِعُ إلَى أَلْفَاظِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ وَالِاسْتِنْبَاطِ

Keseluruhan dalil-dalil syariah merujuk pada ragam ungkapan yang tercantum dalam al-Kitab (al-Quran), as-Sunnah (al-Hadis), Ijmak dan Istinbâth (Qiyas).” [Lihat, Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, Juz II/273].

Karena itulah, para ulama’ kaum Muslim sepakat mengenai kewajiban adanya Khilafah, dan kewajiban untuk menegakkannya, ketika ia tidak ada. Dasarnya adalah wahyu, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya, baik berupa Ijmak Sahabat maupun Qiyas.

 

1. Dalil al-Quran

Allah SWT berfirman:

﴿وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [Q.s. al-Baqarah [2]: 30].

Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat Khalifah.” Bahkan, beliau kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat Khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” [Lihat, Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/264].

Dalil al-Quran lainnya, antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll [Lihat, Ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49].

2. Dalil as-Sunnah

Di antaranya sabda Rasulullah saw.:

(مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً) [رواه مسلم]

“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” [Hr. Muslim].

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49].

Nabi juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda saw. harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah Khulafa’, jamak dari Khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi]. Nabi bersabda:

(كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَ بَعْدِيْ، وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ) [رواه مسلم]

“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [Hr. Muslim]

3. Dalil Ijmak Sahabat

Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah al-Quran dan as-Sunnah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i. Para ulama’ ushul menyatakan, bahwa menolak ijmak sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi [w. 483 H] menegaskan:

وَمَنْ أَنْكَرَ كَوْنَ الإِجْمَاعُ حُجَّةً مُوْجِبَةً لِلْعِلْمِ فَقَدْ أَبْطَلَ أَصْلَ الدِّيْنِفَالْمُنْكِرُ لِذَلِكَ يَسْعَى فِي هَدْمِ أَصْلِ الدِّيْنِ.

“Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini.” [Lihat, Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296].

Karena itu, Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan, atau dicampakkan seakan tidak berharga, karena bukan al-Qur’an atau as-Sunnah. Padahal, Ijmak Sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap [Lihat, as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124].

Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:

أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ .

“Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” [Lihat, Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7].

Lebih dari itu, menurut Syaikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Sudah diketahui, bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah Khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dasar atas kewajiban menegakkan Khilafah [Lihat, Syaikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49].

 

4. Kesepakatan Ulama Aswaja

Berdasarkan dalil-dalil di atas —dan masih banyak dalil lainnya— yang sangat jelas, seluruh ulama’ Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya Khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan,

إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ

“Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].

Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].

Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn [Lihat, Imam Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248].

Ulama Nusantara, Syaikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.

Bukti Historis Khilafah

Bukti tak terbantahkan tentang adanya Khilafah dalam sejarah kehidupan umat Islam telah diabadikan dalam kitab-kitab Tarikh yang ditulis oleh para ulama’ terdahulu hingga ulama’ mutakhir. Sebut saja, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, karya at-Thabari [w. 310 H], al-Kamil fi at-Tarikh, karya Ibn Atsir [w. 606 H], al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibn Katsir [w. 774 H], Tarikh Ibn Khaldun, karya Ibn Khaldun [w. 808 H], Tarikh al-Khulafa’, karya Imam as-Suyuthi [w. 911H], at-Tarikh al-Islami, Mahmud Syakir.

Dalam rentang sejarah, selama 14 abad, tidak pernah umat Islam di seluruh dunia tidak mempunyai seorang Khalifah, dan Khilafah, kecuali setelah runtuhnya Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924 M. Mereka adalah:

 

A. Khilafah Rasyidah

1. Abu Bakar ash-Shiddiq ra (tahun 11-13 H/632-634 M)

2. ’Umar bin khaththab ra (tahun 13-23 H/634-644 M)

3. ’Utsman bin ‘Affan ra (tahun 23-35 H/644-656 M)

4. ‘Ali bin Abi Thalib ra (tahun 35-40 H/656-661 M)

5. ‘Al-Hasan bin Ali ra (tahun 40 H/661 M)

 

B. Khilafah Umayyah

6. Mu’awiyah bin Abi Sufyan (tahun 40-64 H/661-680 M)

7. Yazid bin Mu’awiyah (tahun 61-64 H/680-683 M)

8. Mu’awiyah bin Yazid (tahun 64-68 H/683-684 M)

9. Marwan bin Hakam (tahun 65-66 H/684-685 M)

10. ’Abdul Malik bin Marwan (tahun 66-68 H/685-705 M)

11. Walid bin ‘Abdul Malik (tahun 86-97 H/705-715 M)

12. Sulaiman bin ‘Abdul Malik (tahun 97-99 H/715-717 M)

13. ’Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (tahun 99-102 H/717-720 M)

14. Yazid bin ‘Abdul Malik (tahun 102-106 H/720-724 M)

15. Hisyam bin Abdul Malik (tahun 106-126 H/724-743 M)

16. Walid bin Yazid (tahun 126 H/744 M)

17. Yazid bin Walid (tahun 127 H/744 M)

18. Ibrahim bin Walid (tahun 127 H/744 M)

19. Marwan bin Muhammad (tahun 127-133 H/744-750 M)

 

C. Khilafah ‘Abbasiyyah

20. Abul ‘Abbas al-Safaah (tahun 133-137 H/750-754 M)

21. Abu Ja’far al-Mansyur (tahun 137-159 H/754-775 M)

22. Al-Mahdi (tahun 159-169 H/775-785 M)

23. Al-Hadi (tahun 169-170 H/785-786 M)

24. Harun al-Rasyid (tahun 170-194 H/786-809 M)

25. Al-Amiin (tahun 194-198 H/809-813 M)

26. Al-Ma’mun (tahun 198-217 H/813-833 M)

27. Al-Mu’tashim Billah (tahun 218-228 H/833-842 M)

28. Al-Watsiq Billah (tahun 228-232 H/842-847 M)

29. Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah (tahun 232-247 H/847-861 M)

30. Al-Muntashir Billah (tahun 247-248 H/861-862 M)

31. Al-Musta’in Billah (tahun 248-252 H/862-866 M)

32. Al-Mu’taz Billah (tahun 252-256 H/866-869 M)

33. Al-Muhtadi Billah (tahun 256-257 H/869-870 M)

34. Al-Mu’tamad ‘Ala al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)

35. Al-Mu’tadla Billah (tahun 279-290 H/892-902 M)

36. Al-Muktafi Billah (tahun 290-296 H/902-908 M)

37. Al-Muqtadir Billah (tahun 296-320 H/908-932 M)

38. Al-Qahir Billah (tahun 320-323 H/932-934 M)

39. Al-Radli Billah (tahun 323-329 H/934-940 M)

40. Al-Muttaqi Lillah (tahun 329-333 H/940-944 M)

41. Al-Musaktafi al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M)

42. Al-Muthi’ Lillah (tahun 335-364 H/946-974 M)

43. Al-Thai’i Lillah (tahun 364-381 H/974-991 M)

44. Al-Qadir Billah (tahun 381-423 H/991-1031 M)

45. Al-Qa’im Bi Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M)

46. Al-Mu’tadi Biamrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M)

47. Al-Mustadhhir Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M)

48. Al-Mustarsyid Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M)

49. Al-Rasyid Billah (tahun 530-531 H/1135-1136 M)

50. Al-Muqtafi Liamrillah (tahun 531-555 H/1136-1160)

51. Al-Mustanjid Billah (tahun 555-566 H/1160-1170 M)

52. Al-Mustadhi’u Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M)

53. An-Naashir Liddiinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M)

54. Adh-Dhahir Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M)

55. Al-Mustanshir Billah (tahun 623-640 H/1226-1242 M)

56. Al-Mu’tashim Billah ( tahun 640-656 H/1242-1258 M)

57. Al-Mustanshir billah II (taun 660-661 H/1261-1262 M)

58. Al-Haakim Biamrillah I ( tahun 661-701 H/1262-1302 M)

59. Al-Mustakfi Billah I (tahun 701-732 H/1302-1334 M)

60. Al-Watsiq Billah I (tahun 732-742 H/1334-1354 M)

61. Al-Haakim Biamrillah II (tahun 742-753 H/1343-1354 M)

62. Al-Mu’tadlid Billah I (tahun 753-763 H/1354-1364 M)

63. Al-Mutawakkil ‘Alallah I (tahun 763-785 H/1363-1386 M)

64. Al-Watsir Billah II (tahun 785-788 H/1386-1389 M)

65. Al-Mu’tashim (tahun 788-791 H/1389-1392 M)

66. Al-Mutawakkil ‘Alallah II (tahun 791-808 H/1392-14-9 M)

67. Al-Musta’in Billah (tahun 808-815 H/ 1409-1426 M)

68. Al-Mu’tadlid Billah II (tahun 815-845 H/1416-1446 M)

69. Al-Mustakfi Billah II (tahun 845-854 H/1446-1455 M)

70. Al-Qa’im Biamrillah (tahun 754-859 H/1455-1460 M)

71. Al-Mustanjid Billah (tahun 859-884 H/1460-1485 M)

72. Al-Mutawakkil ‘Alallah (tahun 884-893 H/1485-1494 M)

73. Al-Mutamasik Billah (tahun 893-914 H/1494-1515 M)

74. Al-Mutawakkil ‘Alallah OV (tahun 914-918 H/1515-1517 M)

 

D. Khilafah Utsmaniyyah

75. Salim I (tahun 918-926 H/1517-1520 M)

76. Sulaiman al-Qanuni (tahun 916-974 H/1520-1566 M)

77. salim II (tahun 974-982 H/1566-1574 M)

78. Murad III (tahun 982-1003 H/1574-1595 M)

79. Muhammad III (tahun 1003-1012 H/1595-1603 M)

80. Ahmad I (tahun 1012-1026 H/1603-1617 M)

81. Musthafa I (tahun 1026-1027 H/1617-1618 M)

82. ‘Utsman II (tahun 1027-1031 H/1618-1622 M)

83. Musthafa I (tahun 1031-1032 H/1622-1623 M)

84. Murad IV (tahun 1032-1049 H/1623-1640 M)

85. Ibrahim I (tahun 1049-1058 H/1640-1648 M)

86. Mohammad IV (1058-1099 H/1648-1687 M)

87. Sulaiman II (tahun 1099-1102 H/1687-1691M)

88. Ahmad II (tahun 1102-1106 H/1691-1695 M)

89. Musthafa II (tahun 1106-1115 H/1695-1703 M)

90. Ahmad II (tahun 1115-1143 H/1703-1730 M)

91. Mahmud I (tahun 1143-1168/1730-1754 M)

92. ‘Utsman III (tahun 1168-1171 H/1754-1757 M)

93. Musthafa II (tahun 1171-1187H/1757-1774 M)

94. ‘Abdul Hamid (tahun 1187-1203 H/1774-1789 M)

95. Salim III (tahun 1203-1222 H/1789-1807 M)

96. Musthafa IV (tahun 1222-1223 H/1807-1808 M)

97. Mahmud II (tahun 1223-1255 H/1808-1839 M)

98. ‘Abdul Majid I (tahun 1255-1277 H/1839-1861 M)

99. ‘Abdul ‘Aziz I (tahun 1277-1293 H/1861-1876 M)

100. Murad V (tahun 1293-1293 H/1876-1876 M)

101. ‘Abdul Hamid II (tahun 1293-1328 H/1876-1909 M)

102. Muhammad Risyad V (tahun 1328-1339 H/1909-1918 M)

103. Muhammad Wahiddin II (tahun 1338-1340 H/1918-1922 M)

104. ‘Abdul Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M

 

Dalam sepanjang sejarah Khilafah, tidak ada satu pun hukum yang diterapkan, kecuali hukum Islam. Dalam seluruh aspek kehidupan, baik sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri, semuanya merupakan sistem Islam. Inilah Khilafah yang diakui oleh kaum Muslim di seluruh dunia sebagai negara mereka.

Karena itu, menurut Syaikh Dr. Musthafa Hilmi, dalam tesis masternya di Universitas Alexandria, Mesir, Nadhariyyatu al-Imamah ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah [1387 H/1967 M], setelah memaparkan fakta Negara Islam sejak zaman Nabi, Khilafah Rasyidah, Umayyah, ‘Abbasiyah hingga ‘Utsmaniyyah, akhirnya sampai pada kesimpulan:

Pertama, pemikiran Sunni menentang penghapusan Khilafah. Karena itu, Ahlussunnah wal jamaah memegang teguh pendirian mereka, dengan cara yang sama sejak awal, membela dan mempertahankan Islam menghadapi berbagai gempuran yang berlangsung dalam rentang sejarah panjang umat Islam.

Kedua, Khilafah yang menerapkan Islam tetap ada hingga runtuhnya Khilafah ‘Utsmaniyah. Inilah yang menjadi alasan utama permusuhan Barat terhadap Khilafah ‘Utsmaniyah, sebab selama ia masih ada, maka sistem Islam pun tetap ada. Dengan adanya sistem pemerintahan Islam ini, maka suatu saat bisa kembali menguasai dunia, sehingga Eropa pun takut sejarah kejayaan umat Islam akan kembali dalam naungan Khilafah. Karena itu, hanya ada satu kata, menghilangkan Khilafah, dan menghalangi tegaknya kembali. [Lihat, Dr. Musthafa Hilmi, Nidzam al-Khilafah fi al-Fikri al-Islami, hal. 457]

 

Khatimah

Jadi, jelas Khilafah adalah ajaran Islam. Hizbut Tahrir Indonesia hanya menyampaikan apa yang menjadi ajaran Islam, yang dilupakan oleh kaum Muslim. Sebagai bagian dari ajaran Islam, Khilafah jelas bukan merupakan ancaman bagi Indonesia. Justru, Khilafah ingin menjaga dan menyelamatkan negeri Muslim terbesar ini, agar terbebas dari segala bentuk penjajahan yang hingga kini masih menderanya.[]

3

Suka

Komentari

Bagikan

0 Komentar

Aktif

 

Tulis komentar...

·          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar