Dipetik dari; http://ummatiummati.wordpress.com
Hempher mata-mata
InggrisHempher mata-mata Inggris
Walaupun Ibn
Abdul-Wahhab dianggap sebagai Bapak Wahabisme, namun aktualnya Kerajaan
Inggeris-lah yang membidani kelahirannya dengan gagasan-gagasan Wahabisme dan
merekayasa Ibn Abdul-Wahhab sebagai Imam dan Pendiri Wahabisme, untuk tujuan
menghancurkan Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat
di Turki. Seluk-beluk dan rincian tentang konspirasi Inggeris dengan Ibn
Abdul-Wahhab ini dapat Anda temukan di dalam memoar Mr. Hempher :
“Confessions of a British Spy” 3]
Selagi di Basra,
Iraq, Ibn Abdul-Wahhab muda jatuh dalam pengaruh dan kendali seorang mata-mata
Inggeris yang dipanggil dengan nama Hempher yang sedang menyamar
(undercover), salah seorang mata-mata yang dikirim London untuk negeri-negeri
Muslim (di Timur Tengah) dengan tujuan menggoyang Kekhalifahan Utsmaniyyah dan
menciptakan konflik di antara sesama kaum Muslim. Hempher pura-pura menjadi
seorang Muslim, dan memakai nama Muhammad, dan dengan cara yang licik, ia
melakukan pendekatan dan persahabatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dalam waktu yang
relatif lama.
Hempher, yang memberikan
Ibn Abdul-Wahhab uang dan hadiah-hadiah lainnya, mencuci-otak Ibn Abdul-Wahhab
dengan meyakinkannya bahwa : Orang-orang Islam mesti dibunuh, karena mereka telah
melakukan penyimpangan yang berbahaya, mereka – kaum Muslim – telah keluar dari
prinsip-prinsip Islam yang mendasar, mereka semua telah melakukan
perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik.
Hempher juga
membuat-buat sebuah mimpi liar (wild dream) dan mengatakan bahwa dia bermimpi
Nabi Muhammad Saw mencium kening (di antara kedua mata) Ibn Abdul-Wahhab, dan mengatakan kepada
Ibn Abdul-Wahhab, bahwa dia akan jadi orang besar, dan meminta kepadanya untuk
menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari berbagai bid’ah dan takhayul.
Setelah mendengar mimpi
liar Hempher, Ibn Abdul-Wahhab jadi ge-er (wild with joy) dan menjadi
terobsesi, merasa bertanggung jawab untuk melahirkan suatu aliran baru di dalam
Islam yang bertujuan memurnikan dan mereformasi Islam.
Di dalam memoarnya,
Hempher menggambarkan Ibn Abdul-Wahhab sebagai orang yang berjiwa “sangat tidak
stabil” (extremely unstable), “sangat kasar” (extremely rude), berakhlak
bejat (morally depraved), selalu gelisah (nervous), congkak (arrogant), dan
dungu (ignorant).
Mata-mata Inggeris ini,
yang memandang Ibn Abdul-Wahhab sebagai seorang yang bertipikal bebal/dungu
(typical fool), juga mengatur pernikahan mut’ah bagi Ibn Abdul Wahhab dengan
2 wanita Inggeris yang juga mata-mata yang sedang menyamar.
Wanita pertama adalah
seorang wanita beragama Kristen dengan panggilan Safiyya. Wanita ini tinggal
bersama Ibn Abdul Wahhab di Basra. Wanita satunya lagi adalah seorang wanita
Yahudi yang punya nama panggilan Asiya. Mereka menikah di Shiraz, Iran. 4]
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI
PERTAMA : 1744-1818
Setelah kembali ke Najd
dari perjalanannya, Ibn Abdul-Wahhab mulai “berdakwah” dengan gagasan-gagasan
liarnya di Uyayna. Bagaimana pun, karena “dakwah”-nya yang keras dan kaku, dia diusir
dari tempat kelahirannya. Dia kemudian pergi berdakwah di dekat
Dir’iyyah, di mana sahabat karibnya, Hempher dan beberapa mata-mata Inggeris
lainnya yang berada dalam penyamaran ikut bergabung dengannya. 5]
Dia juga tanpa ampun
membunuh seorang pezina penduduk setempat di hadapan orang banyak dengan cara
yang sangat brutal, menghajar kepala pezina dengan batu besar 6]
Padahal, hukum Islam
tidak mengajarkan hal seperti itu, beberapa hadis menunjukkan cukup dengan
batu-batu kecil. Para ulama Islam (Ahlus Sunnah) tidak membenarkan
tindakan Ibn Abdul-Wahhab yang sangat berlebihan seperti itu.
Walaupun banyak orang
yang menentang ajaran Ibn Abdul-Wahhab yang keras dan kaku serta
tindakan-tindakannya, termasuk ayah kandungnya sendiri dan saudaranya Sulaiman
Ibn Abdul-Wahhab, – keduanya adalah orang-orang yang benar-benar memahami
ajaran Islam -, dengan uang, mata-mata Inggeris telah berhasil
membujuk Syeikh Dir’iyyah, Muhammad Saud untuk mendukung Ibn Abdul-Wahhab. 7]
Pada 1744, al-Saud
menggabungkan kekuatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dengan membangun sebuah aliansi
politik, agama dan perkawinan. Dengan aliansi ini, antara keluarga
Saud dan Ibn Abdul-Wahhab, yang hingga saat ini masih eksis, Wahhabisme
sebagai sebuah “agama” dan gerakan politik telah lahir!
Dengan penggabungan ini
setiap kepala keluarga al-Saud beranggapan bahwa mereka menduduki posisi Imam
Wahhabi (pemimpin agama), sementara itu setiap kepala keluarga Wahhabi
memperoleh wewenang untuk mengontrol ketat setiap penafsiran agama (religious
interpretation).
Mereka adalah
orang-orang bodoh, yang melakukan kekerasan, menumpahkan darah, dan teror untuk
menyebarkan paham Wahabi (Wahhabism) di Jazirah Arab. Sebagai hasil
aliansi Saudi-Wahhabi pada 1774, sebuah kekuatan angkatan perang kecil yang
terdiri dari orang-orang Arab Badui terbentuk melalui bantuan para mata-mata
Inggeris yang melengkapi mereka dengan uang dan persenjataan. 8]
Sampai pada waktunya,
angkatan perang ini pun berkembang menjadi sebuah ancaman besar yang pada
akhirnya melakukan teror di seluruh Jazirah Arab sampai ke
Damaskus (Suriah), dan menjadi penyebab munculnya Fitnah Terburuk di
dalam Sejarah Islam (Pembantaian atas Orang-orang Sipil dalam jumlah yang
besar).
Dengan cara ini,
angkatan perang ini dengan kejam telah mampu menaklukkan hampir seluruh Jazirah
Arab untuk menciptakan Negara Saudi-Wahhabi yang pertama.
Sebagai contoh, untuk
memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai syirik dan bid’ah yang dilakukan
oleh kaum Muslim, Saudi-Wahhabi telah mengejutkan seluruh dunia Islam
pada 1801, dengan tindakan brutal menghancurkan dan menodai kesucian makam Imam
Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad Saw) di Karbala, Irak. Mereka juga
tanpa ampun membantai lebih dari 4.000 orang di Karbala dan merampok lebih dari
4.000 unta yang mereka bawa sebagai harta rampasan. 9]
Sekali lagi, pada 1810,
mereka, kaum Wahabi dengan kejam membunuh penduduk tak berdosa di sepanjang
Jazirah Arab. Mereka menggasak dan menjarah banyak kafilah peziarah dan sebagian
besar di kota-kota Hijaz, termasuk 2 kota suci Makkah dan Madinah.
Di Makkah, mereka
membubarkan para peziarah, dan di Madinah, mereka menyerang dan menodai Masjid
Nabawi, membongkar makam Nabi, dan menjual serta membagi-bagikan
peninggalan bersejarah dan permata-permata yang mahal.
Para teroris
Saudi-Wahhabi ini telah melakukan tindak kejahatan yang menimbulkan kemarahan
kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk Kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul.
Sebagai penguasa yang
bertanggung jawab atas keamanan Jazirah Arab dan penjaga masjid-masjid suci
Islam, Khalifah Mahmud II memerintahkan sebuah angkatan perang Mesir
dikirim ke Jazirah Arab untuk menghukum klan Saudi-Wahhabi.
Pada 1818, angkatan
perang Mesir yang dipimpin Ibrahim Pasha (putra penguasa Mesir) menghancurkan Saudi-Wahhabi
dan meratakan dengan tanah ibu kota Dir’iyyah .
Imam kaum Wahhabi saat
itu, Abdullah al-Saud dan dua pengikutnya dikirim ke Istanbul dengan
dirantai dan di hadapan orang banyak, mereka dihukum pancung. Sisa
klan Saudi-Wahhabi ditangkap di Mesir.
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI
KE-II : 1843-1891
“Walaupun kebengisan
fanatis Wahabisme berhasil dihancurkan pada 1818, namun dengan bantuan Kolonial
Inggeris, mereka dapat bangkit kembali. Setelah pelaksanaan hukuman mati
atas Imam Abdullah al-Saud di Turki, sisa-sisa klan Saudi-Wahhabi memandang
saudara-saudara Arab dan Muslim mereka sebagai musuh yang sesungguhnya (their
real enemies) dan sebaliknya mereka menjadikan Inggeris dan Barat sebagai
sahabat sejati mereka.” Demikian tulis Dr. Abdullah Mohammad Sindi *]
Maka ketika Inggeris
menjajah Bahrain pada 1820 dan mulai mencarai jalan untuk memperluas area
jajahannya, Dinasti Saudi-Wahhabi menjadikan kesempatan ini untuk memperoleh
perlindungan dan bantuan Inggeris.
Pada 1843, Imam Wahhabi,
Faisal Ibn Turki al-Saud berhasil melarikan diri dari penjara di Cairo dan
kembali ke Najd. Imam Faisal kemudian mulai melakukan kontak dengan Pemerintah Inggeris.
Pada 1848, dia memohon kepada Residen Politik Inggeris (British Political
Resident) di Bushire agar mendukung perwakilannya di Trucial Oman. Pada
1851, Faisal kembali memohon bantuan dan dukungan Pemerintah Inggeris. 10]
Dan hasilnya, Pada 1865, Pemerintah
Inggeris mengirim Kolonel Lewis Pelly ke Riyadh untuk mendirikan sebuah kantor
perwakilan Pemerintahan Kolonial Inggeris dengan perjanjian (pakta) bersama
Dinasti Saudi-Wahhabi.
Untuk mengesankan
Kolonel Lewis Pelly bagaimana bentuk fanatisme dan kekerasan Wahhabi, Imam
Faisal mengatakan bahwa perbedaan besar dalam strategi Wahhabi : antara
perang politik dengan perang agama adalah bahwa nantinya tidak akan ada
kompromi, kami membunuh semua orang . 11]
Pada 1866, Dinasti
Saudi-Wahhabi menandatangani sebuah perjanjian “persahabatan” dengan Pemerintah
Kolonial Inggeris, sebuah kekuatan yang dibenci oleh semua kaum Muslim,
karena kekejaman kolonialnya di dunia Muslim.
Perjanjian ini serupa
dengan banyak perjanjian tidak adil yang selalu dikenakan kolonial Inggeris
atas boneka-boneka Arab mereka lainnya di Teluk Arab (sekarang dikenal dengan :
Teluk Persia).
Sebagai pertukaran atas
bantuan pemerintah kolonial Inggeris yang berupa uang dan senjata, pihak
Dinasti Saudi-Wahhabi menyetujui untuk bekerja-sama/berkhianat dengan pemerintah
kolonial Inggeris yaitu : pemberian otoritas atau wewenang kepada pemerintah kolonial
Inggeris atas area yang dimilikinya.
Perjanjian yang
dilakukan Dinasti Saudi-Wahhabi dengan musuh paling getir bangsa Arab dan Islam
(yaitu : Inggeris), pihak Dinasti Saudi-Wahhabi telah membangkitkan
kemarahan yang hebat dari bangsa Arab dan Muslim lainnya, baik
negara-negara yang berada di dalam maupun yang diluar wilayah Jazirah
Arab.
Dari semua penguasa
Muslim, yang paling merasa disakiti atas pengkhianatan Dinasti Saudi-Wahhabi
ini adalah seorang patriotik bernama al-Rasyid dari klan al-Hail di
Arabia tengah dan pada 1891, dan dengan dukungan orang-orang Turki, al-Rasyid
menyerang Riyadh lalu menghancurkan klan Saudi-Wahhabi.
Bagaimanapun, beberapa
anggota Dinasti Saudi-Wahhabi sudah mengatur untuk melarikan diri; di
antara mereka adalah Imam Abdul-Rahman al-Saud dan putranya yang masih
remaja, Abdul-Aziz. Dengan cepat keduanya melarikan
diri ke Kuwait yang dikontrol Kolonial Inggeris, untuk mencari perlindungan dan
bantuan Inggeris.
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI
KE III (SAUDI ARABIA) : Sejak 1902
Ketika di Kuwait, Sang
Wahhabi, Imam Abdul-Rahman dan putranya, Abdul-Aziz menghabiskan waktu mereka
“menyembah-nyembah” tuan Inggersi mereka dan memohon-mohon akan uang, persenjataan serta
bantuan untuk keperluan merebut kembali Riyadh. Namun pada akhir penghujung
1800-an, usia dan penyakit nya telah memaksa Abdul-Rahman untuk mendelegasikan Dinasti
Saudi Wahhabi kepada putranya, Abdul-Aziz, yang kemudian menjadi Imam
Wahhabi yang baru.
Melalui strategi licin
kolonial Inggeris di Jazirah Arab pada awal abad 20, yang dengan cepat
menghancurkan Kekhalifahan Islam Utsmaniyyah dan sekutunya klan al-Rasyid secara
menyeluruh, kolonial Inggeris langsung memberi sokongan kepada Imam
baru Wahhabi Abdul-Aziz.
Dibentengi dengan dukungan
kolonial Inggeris, uang dan senjata, Imam Wahhabi yang baru, pada 1902 akhirnya
dapat merebut Riyadh. Salah satu tindakan biadab pertama Imam baru
Wahhabi ini setelah berhasil menduduki Riyadh adalah menteror penduduknya
dengan memaku kepala al-Rasyid pada pintu gerbang kota. Abdul-Aziz dan para
pengikut fanatik Wahhabinya juga membakar hidup-hidup 1.200 orang sampai mati.
12]
Imam Wahhabi Abdul-Aziz
yang dikenal di Barat sebagai Ibn Saud, sangat dicintai oleh majikan
Inggerisnya. Banyak pejabat dan utusan Pemerintah Kolonial Inggeris di wilayah
Teluk Arab sering menemui atau menghubunginya, dan dengan murah-hati mereka
mendukungnya dengan uang, senjata dan para penasihat. Sir Percy
Cox, Captain Prideaux, Captain Shakespeare, Gertrude Bell, dan Harry Saint John
Philby (yang dipanggil “Abdullah”) adalah di antara banyak pejabat dan
penasihat kolonial Inggeris yang secara rutin mengelilingi Abdul-Aziz demi
membantunya memberikan apa pun yang dibutuhkannya.
Dengan senjata, uang dan
para penasihat dari Inggeris, berangsur-angsur Imam Abdul-Aziz dengan
bengis dapat menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab di bawah panji-panji
Wahhabisme untuk mendirikan Kerajaan Saudi-Wahhabi ke-3, yang saat ini disebut
Kerajaan Saudi Arabia.
Ketika mendirikan
Kerajaan Saudi, Imam Wahhabi, Abdul-Aziz beserta para pengikut
fanatiknya, dan para “tentara Tuhan”, melakukan pembantaian yang mengerikan,
khususnya di daratan suci Hijaz. Mereka mengusir penguasa Hijaz, Syarif, yang
merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw.
Pada May 1919, di
Turbah, pada tengah malam dengan cara pengecut dan buas mereka menyerang
angkatan perang Hijaz, membantai lebih 6.000 orang.
Dan sekali lagi, pada
bulan Agustus 1924, sama seperti yang dilakukan orang barbar, tentara
Saudi-Wahabi mendobrak memasuki rumah-rumah di Hijaz, kota Taif, mengancam
mereka, mencuri uang dan persenjataan mereka, lalu memenggal kepala anak-anak
kecil dan orang-orang yang sudah tua, dan mereka pun merasa terhibur dengan
raung tangis dan takut kaum wanita. Banyak wanita Taif yang segara meloncat ke
dasar sumur air demi menghindari pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan
tentara-tentara Saudi-Wahhabi yang bengis.
Tentara primitif
Saudi-Wahhabi ini juga membunuhi para ulama dan orang-orang yang sedang
melakukan shalat di masjid; hampir seluruh rumah-rumah di Taif diratakan dengan
tanah; tanpa pandang bulu mereka membantai hampir semua laki-laki yang mereka
temui di jalan-jalan; dan merampok apa pun yang dapat mereka bawa. Lebih
dari 400 orang tak berdosa ikut dibantai dengan cara mengerikan di Taif.
11]
The end
http://sk-sk.facebook.com/topic.php?uid=80383792636&topic=11768
http://kommabogor.wordpress.com/2007/12/22/latar-belakang-berdirinya-kerajaan- saudi-arabia-dan-paham-wahabi-bag-i/
________________________________________
* Dr. Abdullah
Mohammad Sindi adalah seorang profesor Hubungan Internasional
(professor of International Relations) berkebangsaan campuran Saudi-Amerika.
Dia memperoleh titel BA dan MA nya di California State University, Sacramento,
dan titel Ph.D. nya di the University of Southern California. Dia juga seorang
profesor di King Abdulaziz University di Jeddah, Saudi Arabia. Dia juga
mengajar di beberapa universitas dan college Amerika termasuk di : the
University of California di Irvine, Cal Poly Pomona, Cerritos College, and
Fullerton College. Dia penulis banyak artikel dalam bahasa Arab maupun bahasa
Inggeris. Bukunya antara lain : The Arabs and the West: The Contributions and
the Inflictions.
Catatan Kaki :
[1] Banyak orang-orang
yang belajar Wahabisme (seperti di Jakarta di LIPIA) yang
menjadi para pemuja syekh-syekh Arab, menganggap bangsa Arab lebih unggul
dari bangsa lain. Mereka (walaupun bukan Arab)
mengikuti tradisi ke-Araban
atau lebih tepatnya Kebaduian
(bukan ajaran Islam), seperti memakai jubah panjang,
menggunakan kafyeh, bertindak dan berbicara dengan gaya orang-orang Saudi.
[2] Alexei Vassiliev,
Ta’reekh Al-Arabiya Al-Saudiya [History of Saudi
Arabia], yang diterjemahkan dari bahasa Russia ke
bahasa Arab oleh Khairi al-Dhamin dan Jalal al-Maashta
(Moscow: Dar Attagaddom, 1986), hlm. 108.
[3] Untuk lebih
detailnya Anda bisa mendownload “Confessions of a British Spy”
: http://www.ummah.net/Al_adaab/spy1-7.html
Cara ini juga dilakukan Imperialis Belanda ketika mereka menaklukkan
kerajaan- kerajaan Islam di Indonesia lewat Snouck Hurgronje
yang telah belajar lama di Saudi Arabia dan mengirinmnya ke
Indonesia. Usaha Snouck berhasil gemilang, seluruh kerajaan Islam
jatuh di tangan Kolonial Belanda, kecuali Kerajaan Islam Aceh. Salah satu
provokasi Snouck yang menyamar sebagai seorang ulama
Saudi adalah menyebarkan
keyakinan bahwa hadis Cinta pada Tanah Air adalah lemah!
(Hubbul Wathan minal Iman). Dengan penanaman keyakinan ini
diharapkan Nasionalisme bangsa
Indonesia hancur, dan memang akhirnya banyak
pengkhianat bangsa bermunculan.
[4] Memoirs Of
Hempher, The British Spy To The Middle East, page 13.
[5] Lihat “The
Beginning and Spreading of Wahhabism”, http://www.ummah.net/Al_adaab/wah-36.html
[6] William
Powell, Saudi Arabia and Its Royal Family (Secaucus, N.J.:
Lyle Stuart Inc., 1982), p. 205.
[7] Confessions of a
British Spy.
[8] Ibid.
[9] Vassiliev, Ta’reekh,
p. 117.
[10] Gary
Troeller, The Birth of Saudi Arabia: Britain and the Rise of the House
of Sa’ud (London: Frank Cass, 1976), pp.
15-16.
[11] Quoted in Robert
Lacey, The Kingdom: Arabia and the House of Saud (New
York: Harcourt Brace Jovanovich, 1981), p. 145.
Share this:
Walaupun Ibn Abdul-Wahhab dianggap sebagai Bapak Wahabisme, namun aktualnya
Kerajaan Inggeris-lah yang membidani kelahirannya dengan gagasan-gagasan
Wahabisme dan merekayasa Ibn Abdul-Wahhab sebagai Imam dan Pendiri Wahabisme, untuk tujuan
menghancurkan Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat
di Turki. Seluk-beluk dan rincian tentang konspirasi Inggeris dengan Ibn
Abdul-Wahhab ini dapat Anda temukan di dalam memoar Mr. Hempher :
“Confessions of a British Spy” 3]
Selagi di Basra, Iraq, Ibn Abdul-Wahhab muda jatuh dalam pengaruh
dan kendali seorang mata-mata Inggeris yang dipanggil dengan nama Hempher yang
sedang menyamar (undercover), salah seorang mata-mata yang dikirim London untuk
negeri-negeri Muslim (di Timur Tengah) dengan tujuan menggoyang Kekhalifahan
Utsmaniyyah dan menciptakan konflik di antara sesama kaum Muslim. Hempher
pura-pura menjadi seorang Muslim, dan memakai nama Muhammad, dan dengan cara
yang licik, ia melakukan pendekatan dan persahabatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dalam
waktu yang relatif lama.
Hempher, yang memberikan Ibn Abdul-Wahhab uang dan hadiah-hadiah lainnya,
mencuci-otak Ibn Abdul-Wahhab dengan meyakinkannya bahwa : Orang-orang Islam
mesti dibunuh, karena mereka telah melakukan penyimpangan yang berbahaya, mereka – kaum
Muslim – telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar, mereka semua
telah melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik.
Hempher juga membuat-buat sebuah mimpi liar (wild dream) dan mengatakan
bahwa dia bermimpi Nabi Muhammad Saw mencium kening (di antara kedua mata) Ibn
Abdul-Wahhab, dan mengatakan kepada Ibn Abdul-Wahhab, bahwa dia akan jadi orang besar,
dan meminta kepadanya untuk menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari
berbagai bid’ah dan takhayul.
Setelah mendengar mimpi
liar Hempher, Ibn Abdul-Wahhab jadi ge-er (wild with joy) dan menjadi
terobsesi, merasa bertanggung jawab untuk melahirkan suatu aliran baru di dalam
Islam yang bertujuan memurnikan dan mereformasi Islam.
Di dalam memoarnya, Hempher menggambarkan Ibn Abdul-Wahhab sebagai orang
yang berjiwa “sangat tidak stabil” (extremely unstable), “sangat kasar”
(extremely rude), berakhlak bejat (morally depraved), selalu gelisah (nervous),
congkak (arrogant), dan dungu (ignorant).
Mata-mata Inggeris ini, yang memandang Ibn Abdul-Wahhab sebagai seorang
yang bertipikal bebal/dungu (typical fool), juga mengatur pernikahan mut’ah
bagi Ibn Abdul Wahhab dengan 2 wanita Inggeris yang juga
mata-mata yang sedang menyamar.
Wanita pertama adalah seorang wanita beragama Kristen dengan panggilan
Safiyya. Wanita ini tinggal bersama Ibn Abdul Wahhab di Basra. Wanita satunya
lagi adalah seorang wanita Yahudi yang punya nama panggilan Asiya. Mereka
menikah di Shiraz, Iran. 4]
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI PERTAMA : 1744-1818
Setelah kembali ke Najd dari perjalanannya, Ibn Abdul-Wahhab mulai
“berdakwah” dengan gagasan-gagasan liarnya di Uyayna. Bagaimana pun,
karena “dakwah”-nya yang keras dan kaku, dia diusir dari tempat
kelahirannya. Dia kemudian pergi berdakwah di dekat Dir’iyyah, di mana
sahabat karibnya, Hempher dan beberapa mata-mata Inggeris lainnya yang berada
dalam penyamaran ikut bergabung dengannya. 5]
Dia juga tanpa ampun membunuh seorang pezina penduduk setempat di hadapan
orang banyak dengan cara yang sangat brutal, menghajar kepala pezina dengan
batu besar 6]
Padahal, hukum Islam tidak mengajarkan hal seperti itu, beberapa hadis
menunjukkan cukup dengan batu-batu kecil. Para ulama Islam (Ahlus
Sunnah) tidak membenarkan tindakan Ibn Abdul-Wahhab yang sangat berlebihan
seperti itu.
Walaupun banyak orang yang menentang ajaran Ibn Abdul-Wahhab yang keras dan
kaku serta tindakan-tindakannya, termasuk ayah kandungnya sendiri dan
saudaranya Sulaiman Ibn Abdul-Wahhab, – keduanya adalah orang-orang yang
benar-benar memahami ajaran Islam -, dengan uang, mata-mata
Inggeris telah berhasil membujuk Syeikh Dir’iyyah, Muhammad Saud untuk
mendukung Ibn Abdul-Wahhab. 7]
Pada 1744, al-Saud
menggabungkan kekuatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dengan membangun sebuah aliansi
politik, agama dan perkawinan. Dengan aliansi ini, antara keluarga
Saud dan Ibn Abdul-Wahhab, yang hingga saat ini masih eksis, Wahhabisme
sebagai sebuah “agama” dan gerakan politik telah lahir!
Dengan penggabungan ini setiap kepala keluarga al-Saud beranggapan bahwa
mereka menduduki posisi Imam Wahhabi (pemimpin agama), sementara itu setiap
kepala keluarga Wahhabi memperoleh wewenang untuk mengontrol ketat setiap
penafsiran agama (religious interpretation).
Mereka adalah orang-orang bodoh, yang melakukan kekerasan, menumpahkan
darah, dan teror untuk menyebarkan paham Wahabi (Wahhabism) di Jazirah Arab. Sebagai hasil
aliansi Saudi-Wahhabi pada 1774, sebuah kekuatan angkatan perang kecil yang
terdiri dari orang-orang Arab Badui terbentuk melalui bantuan para mata-mata
Inggeris yang melengkapi mereka dengan uang dan persenjataan. 8]
Sampai pada waktunya, angkatan perang ini pun berkembang menjadi sebuah
ancaman besar yang pada akhirnya melakukan teror di seluruh Jazirah
Arab sampai ke Damaskus (Suriah), dan menjadi penyebab munculnya
Fitnah Terburuk di dalam Sejarah Islam (Pembantaian atas Orang-orang Sipil
dalam jumlah yang besar).
Dengan cara ini, angkatan perang ini dengan kejam telah mampu menaklukkan
hampir seluruh Jazirah Arab untuk menciptakan Negara Saudi-Wahhabi yang
pertama.
Sebagai contoh, untuk memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai syirik
dan bid’ah yang dilakukan oleh kaum Muslim, Saudi-Wahhabi telah
mengejutkan seluruh dunia Islam pada 1801, dengan tindakan brutal menghancurkan
dan menodai kesucian makam Imam Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad Saw) di
Karbala, Irak. Mereka juga tanpa ampun membantai lebih dari 4.000
orang di Karbala dan merampok lebih dari 4.000 unta yang mereka bawa sebagai
harta rampasan. 9]
Sekali lagi, pada 1810, mereka, kaum Wahabi dengan kejam membunuh penduduk
tak berdosa di sepanjang Jazirah Arab. Mereka menggasak dan menjarah banyak
kafilah peziarah dan sebagian besar di kota-kota Hijaz, termasuk 2 kota suci
Makkah dan Madinah.
Di Makkah, mereka membubarkan para peziarah, dan di Madinah, mereka
menyerang dan menodai Masjid Nabawi, membongkar makam Nabi, dan menjual serta
membagi-bagikan peninggalan bersejarah dan permata-permata yang mahal.
Para teroris Saudi-Wahhabi ini telah melakukan tindak kejahatan yang
menimbulkan kemarahan kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk Kekhalifahan
Utsmaniyyah di Istanbul.
Sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas keamanan Jazirah Arab dan
penjaga masjid-masjid suci Islam, Khalifah Mahmud II memerintahkan
sebuah angkatan perang Mesir dikirim ke Jazirah Arab untuk menghukum klan
Saudi-Wahhabi.
Pada 1818, angkatan perang Mesir yang dipimpin Ibrahim Pasha (putra
penguasa Mesir) menghancurkan Saudi-Wahhabi dan meratakan dengan tanah ibu kota
Dir’iyyah .
Imam kaum Wahhabi saat itu, Abdullah al-Saud dan dua pengikutnya
dikirim ke Istanbul dengan dirantai dan di hadapan orang banyak, mereka dihukum
pancung. Sisa klan Saudi-Wahhabi ditangkap di Mesir.
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE-II : 1843-1891
“Walaupun kebengisan fanatis Wahabisme berhasil dihancurkan pada 1818,
namun dengan bantuan Kolonial Inggeris, mereka dapat bangkit kembali. Setelah
pelaksanaan hukuman mati atas Imam Abdullah al-Saud di Turki, sisa-sisa klan
Saudi-Wahhabi memandang saudara-saudara Arab dan Muslim mereka sebagai musuh
yang sesungguhnya (their real enemies) dan sebaliknya mereka menjadikan
Inggeris dan Barat sebagai sahabat sejati mereka.” Demikian tulis Dr.
Abdullah Mohammad Sindi *]
Maka ketika Inggeris menjajah Bahrain pada 1820 dan mulai mencarai jalan
untuk memperluas area jajahannya, Dinasti Saudi-Wahhabi menjadikan
kesempatan ini untuk memperoleh perlindungan dan bantuan Inggeris.
Pada 1843, Imam Wahhabi, Faisal Ibn Turki al-Saud berhasil melarikan diri
dari penjara di Cairo dan kembali ke Najd. Imam Faisal kemudian mulai melakukan
kontak dengan Pemerintah Inggeris. Pada 1848, dia memohon kepada Residen
Politik Inggeris (British Political Resident) di Bushire agar mendukung
perwakilannya di Trucial Oman. Pada 1851, Faisal kembali memohon
bantuan dan dukungan Pemerintah Inggeris. 10]
Dan hasilnya, Pada 1865, Pemerintah Inggeris mengirim Kolonel Lewis
Pelly ke Riyadh untuk mendirikan sebuah kantor perwakilan Pemerintahan Kolonial
Inggeris dengan perjanjian (pakta) bersama Dinasti Saudi-Wahhabi.
Untuk mengesankan Kolonel Lewis Pelly bagaimana bentuk fanatisme dan
kekerasan Wahhabi, Imam Faisal mengatakan bahwa perbedaan besar dalam strategi
Wahhabi : antara perang politik dengan perang agama adalah bahwa
nantinya tidak akan ada kompromi, kami membunuh semua orang . 11]
Pada 1866, Dinasti Saudi-Wahhabi menandatangani sebuah perjanjian
“persahabatan” dengan Pemerintah Kolonial Inggeris, sebuah kekuatan
yang dibenci oleh semua kaum Muslim, karena kekejaman kolonialnya di dunia Muslim.
Perjanjian ini serupa dengan banyak perjanjian tidak adil yang selalu
dikenakan kolonial Inggeris atas boneka-boneka Arab mereka lainnya di Teluk
Arab (sekarang dikenal dengan : Teluk Persia).
Sebagai pertukaran atas bantuan pemerintah kolonial Inggeris yang berupa
uang dan senjata, pihak Dinasti Saudi-Wahhabi menyetujui untuk
bekerja-sama/berkhianat dengan pemerintah kolonial Inggeris yaitu
: pemberian otoritas atau wewenang kepada pemerintah kolonial Inggeris atas
area yang dimilikinya.
Perjanjian yang dilakukan Dinasti Saudi-Wahhabi dengan musuh paling getir
bangsa Arab dan Islam (yaitu : Inggeris), pihak Dinasti Saudi-Wahhabi
telah membangkitkan kemarahan yang hebat dari bangsa Arab dan Muslim lainnya,
baik negara-negara yang berada di dalam maupun yang diluar wilayah
Jazirah Arab.
Dari semua penguasa Muslim, yang paling merasa disakiti atas pengkhianatan
Dinasti Saudi-Wahhabi ini adalah seorang patriotik bernama al-Rasyid
dari klan al-Hail di Arabia tengah dan pada 1891, dan dengan dukungan orang-orang
Turki, al-Rasyid menyerang Riyadh lalu menghancurkan klan Saudi-Wahhabi.
Bagaimanapun, beberapa anggota Dinasti Saudi-Wahhabi sudah mengatur
untuk melarikan diri; di antara mereka adalah Imam Abdul-Rahman
al-Saud dan putranya yang masih remaja, Abdul-Aziz. Dengan
cepat keduanya melarikan diri ke Kuwait yang dikontrol Kolonial
Inggeris, untuk mencari perlindungan dan bantuan Inggeris.
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE III (SAUDI ARABIA) : Sejak 1902
Ketika di Kuwait, Sang Wahhabi, Imam Abdul-Rahman dan putranya, Abdul-Aziz
menghabiskan waktu mereka “menyembah-nyembah” tuan Inggersi mereka dan
memohon-mohon akan uang, persenjataan serta bantuan untuk keperluan
merebut kembali Riyadh. Namun pada akhir penghujung 1800-an, usia dan penyakit
nya telah memaksa Abdul-Rahman untuk mendelegasikan Dinasti Saudi
Wahhabi kepada putranya, Abdul-Aziz, yang kemudian menjadi Imam
Wahhabi yang baru.
Melalui strategi licin kolonial Inggeris di Jazirah Arab pada awal abad 20,
yang dengan cepat menghancurkan Kekhalifahan Islam Utsmaniyyah dan sekutunya klan
al-Rasyid secara menyeluruh, kolonial Inggeris langsung memberi
sokongan kepada Imam baru Wahhabi Abdul-Aziz.
Dibentengi dengan dukungan kolonial Inggeris, uang dan senjata,
Imam Wahhabi yang baru, pada 1902 akhirnya dapat merebut Riyadh. Salah
satu tindakan biadab pertama Imam baru Wahhabi ini setelah berhasil menduduki
Riyadh adalah menteror penduduknya dengan memaku kepala al-Rasyid pada pintu
gerbang kota. Abdul-Aziz dan para pengikut fanatik Wahhabinya juga membakar
hidup-hidup 1.200 orang sampai mati. 12]
Imam Wahhabi Abdul-Aziz yang dikenal di Barat sebagai Ibn Saud, sangat
dicintai oleh majikan Inggerisnya. Banyak pejabat dan utusan Pemerintah
Kolonial Inggeris di wilayah Teluk Arab sering menemui atau menghubunginya, dan
dengan murah-hati mereka mendukungnya dengan uang, senjata dan para
penasihat. Sir Percy Cox, Captain Prideaux, Captain Shakespeare,
Gertrude Bell, dan Harry Saint John Philby (yang dipanggil “Abdullah”) adalah
di antara banyak pejabat dan penasihat kolonial Inggeris yang secara rutin
mengelilingi Abdul-Aziz demi membantunya memberikan apa pun yang
dibutuhkannya.
Dengan senjata, uang dan para penasihat dari Inggeris, berangsur-angsur Imam
Abdul-Aziz dengan bengis dapat menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab di bawah
panji-panji Wahhabisme untuk mendirikan Kerajaan Saudi-Wahhabi ke-3, yang saat
ini disebut Kerajaan Saudi Arabia.
Ketika mendirikan Kerajaan Saudi, Imam Wahhabi, Abdul-Aziz beserta
para pengikut fanatiknya, dan para “tentara Tuhan”, melakukan pembantaian yang
mengerikan, khususnya di daratan suci Hijaz. Mereka mengusir penguasa
Hijaz, Syarif, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw.
Pada May 1919, di Turbah, pada tengah malam dengan cara pengecut dan buas
mereka menyerang angkatan perang Hijaz, membantai lebih 6.000 orang.
Dan sekali lagi, pada bulan Agustus 1924, sama seperti yang dilakukan orang
barbar, tentara Saudi-Wahabi mendobrak memasuki rumah-rumah di Hijaz,
kota Taif, mengancam mereka, mencuri uang dan persenjataan mereka, lalu memenggal
kepala anak-anak kecil dan orang-orang yang sudah tua, dan mereka pun
merasa terhibur dengan raung tangis dan takut kaum wanita. Banyak wanita Taif
yang segara meloncat ke dasar sumur air demi menghindari pemerkosaan dan
pembunuhan yang dilakukan tentara-tentara Saudi-Wahhabi yang bengis.
Tentara primitif Saudi-Wahhabi ini juga membunuhi para ulama dan
orang-orang yang sedang melakukan shalat di masjid; hampir seluruh rumah-rumah
di Taif diratakan dengan tanah; tanpa pandang bulu mereka membantai
hampir semua laki-laki yang mereka temui di jalan-jalan; dan merampok apa pun
yang dapat mereka bawa. Lebih dari 400 orang tak berdosa ikut dibantai
dengan cara mengerikan di Taif. 11]
The end
http://sk-sk.facebook.com/topic.php?uid=80383792636&topic=11768
http://kommabogor.wordpress.com/2007/12/22/latar-belakang-berdirinya-kerajaan- saudi-arabia-dan-paham-wahabi-bag-i/
________________________________________
* Dr. Abdullah Mohammad Sindi adalah seorang profesor
Hubungan Internasional (professor of International Relations) berkebangsaan
campuran Saudi-Amerika. Dia memperoleh titel BA dan MA nya di California State
University, Sacramento, dan titel Ph.D. nya di the University of Southern
California. Dia juga seorang profesor di King Abdulaziz University di Jeddah,
Saudi Arabia. Dia juga mengajar di beberapa universitas dan college Amerika
termasuk di : the University of California di Irvine, Cal Poly Pomona, Cerritos
College, and Fullerton College. Dia penulis banyak artikel dalam bahasa Arab
maupun bahasa Inggeris. Bukunya antara lain : The Arabs and the West: The
Contributions and the Inflictions.
Catatan Kaki :
[1] Banyak orang-orang yang belajar Wahabisme (seperti di Jakarta di LIPIA)
yang menjadi para pemuja syekh-syekh Arab, menganggap
bangsa Arab lebih unggul dari bangsa lain. Mereka
(walaupun bukan Arab) mengikuti tradisi ke-Araban atau
lebih tepatnya Kebaduian (bukan ajaran Islam), seperti memakai jubah
panjang, menggunakan kafyeh, bertindak dan
berbicara dengan gaya orang-orang Saudi.
[2] Alexei Vassiliev, Ta’reekh Al-Arabiya Al-Saudiya [History of Saudi
Arabia], yang diterjemahkan dari bahasa Russia ke
bahasa Arab oleh Khairi al-Dhamin dan Jalal al-Maashta
(Moscow: Dar Attagaddom, 1986), hlm. 108.
[3] Untuk lebih detailnya Anda bisa mendownload “Confessions of a British
Spy” : http://www.ummah.net/Al_adaab/spy1-7.html
Cara ini juga dilakukan Imperialis Belanda ketika mereka menaklukkan
kerajaan- kerajaan Islam di Indonesia lewat Snouck Hurgronje
yang telah belajar lama di Saudi Arabia dan mengirinmnya ke
Indonesia. Usaha Snouck berhasil gemilang, seluruh kerajaan Islam
jatuh di tangan Kolonial Belanda, kecuali Kerajaan Islam Aceh. Salah satu
provokasi Snouck yang menyamar sebagai seorang ulama
Saudi adalah menyebarkan
keyakinan bahwa hadis Cinta pada Tanah Air adalah
lemah! (Hubbul Wathan minal
Iman). Dengan penanaman keyakinan ini
diharapkan Nasionalisme bangsa
Indonesia hancur, dan memang akhirnya banyak
pengkhianat bangsa bermunculan.
[4] Memoirs Of Hempher, The British Spy To The Middle East,
page 13.
[5] Lihat “The Beginning and Spreading of Wahhabism”, http://www.ummah.net/Al_adaab/wah-36.html
[6] William Powell, Saudi Arabia and Its Royal Family (Secaucus,
N.J.: Lyle Stuart Inc., 1982), p. 205.
[7] Confessions of a British Spy.
[8] Ibid.
[9] Vassiliev, Ta’reekh, p. 117.
[10] Gary Troeller, The Birth of Saudi Arabia: Britain and the Rise
of the House of Sa’ud (London: Frank
Cass, 1976), pp. 15-16.
[11] Quoted in Robert Lacey, The Kingdom: Arabia and the House of
Saud (New York: Harcourt Brace
Jovanovich, 1981), p. 145. Hempher mata-mata Inggris
Walaupun Ibn Abdul-Wahhab dianggap sebagai Bapak Wahabisme, namun aktualnya
Kerajaan Inggeris-lah yang membidani kelahirannya dengan gagasan-gagasan
Wahabisme dan merekayasa Ibn Abdul-Wahhab sebagai Imam dan Pendiri Wahabisme, untuk tujuan
menghancurkan Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat
di Turki. Seluk-beluk dan rincian tentang konspirasi Inggeris dengan Ibn
Abdul-Wahhab ini dapat Anda temukan di dalam memoar Mr. Hempher :
“Confessions of a British Spy” 3]
Selagi di Basra, Iraq, Ibn Abdul-Wahhab muda jatuh dalam pengaruh
dan kendali seorang mata-mata Inggeris yang dipanggil dengan nama Hempher yang
sedang menyamar (undercover), salah seorang mata-mata yang dikirim London untuk
negeri-negeri Muslim (di Timur Tengah) dengan tujuan menggoyang Kekhalifahan
Utsmaniyyah dan menciptakan konflik di antara sesama kaum Muslim. Hempher
pura-pura menjadi seorang Muslim, dan memakai nama Muhammad, dan dengan cara
yang licik, ia melakukan pendekatan dan persahabatan dengan Ibn Abdul-Wahhab
dalam waktu yang relatif lama.
Hempher, yang memberikan Ibn Abdul-Wahhab uang dan hadiah-hadiah lainnya,
mencuci-otak Ibn Abdul-Wahhab dengan meyakinkannya bahwa : Orang-orang Islam
mesti dibunuh, karena mereka telah melakukan penyimpangan yang berbahaya, mereka – kaum
Muslim – telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar, mereka semua
telah melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik.
Hempher juga membuat-buat sebuah mimpi liar (wild dream) dan mengatakan
bahwa dia bermimpi Nabi Muhammad Saw mencium kening (di antara kedua mata) Ibn
Abdul-Wahhab, dan mengatakan kepada Ibn Abdul-Wahhab, bahwa dia akan jadi orang besar,
dan meminta kepadanya untuk menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari
berbagai bid’ah dan takhayul.
Setelah mendengar mimpi
liar Hempher, Ibn Abdul-Wahhab jadi ge-er (wild with joy) dan menjadi
terobsesi, merasa bertanggung jawab untuk melahirkan suatu aliran baru di dalam
Islam yang bertujuan memurnikan dan mereformasi Islam.
Di dalam memoarnya, Hempher menggambarkan Ibn Abdul-Wahhab sebagai orang
yang berjiwa “sangat tidak stabil” (extremely unstable), “sangat kasar”
(extremely rude), berakhlak bejat (morally depraved), selalu gelisah (nervous),
congkak (arrogant), dan dungu (ignorant).
Mata-mata Inggeris ini, yang memandang Ibn Abdul-Wahhab sebagai seorang
yang bertipikal bebal/dungu (typical fool), juga mengatur pernikahan mut’ah
bagi Ibn Abdul Wahhab dengan 2 wanita Inggeris yang juga
mata-mata yang sedang menyamar.
Wanita pertama adalah seorang wanita beragama Kristen dengan panggilan
Safiyya. Wanita ini tinggal bersama Ibn Abdul Wahhab di Basra. Wanita satunya
lagi adalah seorang wanita Yahudi yang punya nama panggilan Asiya. Mereka
menikah di Shiraz, Iran. 4]
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI PERTAMA : 1744-1818
Setelah kembali ke Najd dari perjalanannya, Ibn Abdul-Wahhab mulai
“berdakwah” dengan gagasan-gagasan liarnya di Uyayna. Bagaimana pun,
karena “dakwah”-nya yang keras dan kaku, dia diusir dari tempat
kelahirannya. Dia kemudian pergi berdakwah di dekat Dir’iyyah, di mana
sahabat karibnya, Hempher dan beberapa mata-mata Inggeris lainnya yang berada
dalam penyamaran ikut bergabung dengannya. 5]
Dia juga tanpa ampun membunuh seorang pezina penduduk setempat di hadapan
orang banyak dengan cara yang sangat brutal, menghajar kepala pezina dengan
batu besar 6]
Padahal, hukum Islam tidak mengajarkan hal seperti itu, beberapa hadis
menunjukkan cukup dengan batu-batu kecil. Para ulama Islam (Ahlus
Sunnah) tidak membenarkan tindakan Ibn Abdul-Wahhab yang sangat berlebihan
seperti itu.
Walaupun banyak orang yang menentang ajaran Ibn Abdul-Wahhab yang keras dan
kaku serta tindakan-tindakannya, termasuk ayah kandungnya sendiri dan
saudaranya Sulaiman Ibn Abdul-Wahhab, – keduanya adalah orang-orang yang
benar-benar memahami ajaran Islam -, dengan uang, mata-mata
Inggeris telah berhasil membujuk Syeikh Dir’iyyah, Muhammad Saud untuk
mendukung Ibn Abdul-Wahhab. 7]
Pada 1744, al-Saud
menggabungkan kekuatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dengan membangun sebuah aliansi
politik, agama dan perkawinan. Dengan aliansi ini, antara keluarga
Saud dan Ibn Abdul-Wahhab, yang hingga saat ini masih eksis, Wahhabisme
sebagai sebuah “agama” dan gerakan politik telah lahir!
Dengan penggabungan ini setiap kepala keluarga al-Saud beranggapan bahwa
mereka menduduki posisi Imam Wahhabi (pemimpin agama), sementara itu setiap
kepala keluarga Wahhabi memperoleh wewenang untuk mengontrol ketat setiap
penafsiran agama (religious interpretation).
Mereka adalah orang-orang bodoh, yang melakukan kekerasan, menumpahkan
darah, dan teror untuk menyebarkan paham Wahabi (Wahhabism) di Jazirah Arab. Sebagai hasil
aliansi Saudi-Wahhabi pada 1774, sebuah kekuatan angkatan perang kecil yang
terdiri dari orang-orang Arab Badui terbentuk melalui bantuan para mata-mata
Inggeris yang melengkapi mereka dengan uang dan persenjataan. 8]
Sampai pada waktunya, angkatan perang ini pun berkembang menjadi sebuah
ancaman besar yang pada akhirnya melakukan teror di seluruh Jazirah
Arab sampai ke Damaskus (Suriah), dan menjadi penyebab
munculnya Fitnah Terburuk di dalam Sejarah Islam (Pembantaian atas Orang-orang
Sipil dalam jumlah yang besar).
Dengan cara ini, angkatan perang ini dengan kejam telah mampu menaklukkan
hampir seluruh Jazirah Arab untuk menciptakan Negara Saudi-Wahhabi yang
pertama.
Sebagai contoh, untuk memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai syirik
dan bid’ah yang dilakukan oleh kaum Muslim, Saudi-Wahhabi telah
mengejutkan seluruh dunia Islam pada 1801, dengan tindakan brutal menghancurkan
dan menodai kesucian makam Imam Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad Saw) di
Karbala, Irak. Mereka juga tanpa ampun membantai lebih dari 4.000
orang di Karbala dan merampok lebih dari 4.000 unta yang mereka bawa sebagai
harta rampasan. 9]
Sekali lagi, pada 1810, mereka, kaum Wahabi dengan kejam membunuh penduduk
tak berdosa di sepanjang Jazirah Arab. Mereka menggasak dan menjarah banyak
kafilah peziarah dan sebagian besar di kota-kota Hijaz, termasuk 2 kota suci
Makkah dan Madinah.
Di Makkah, mereka membubarkan para peziarah, dan di Madinah, mereka
menyerang dan menodai Masjid Nabawi, membongkar makam Nabi, dan menjual serta
membagi-bagikan peninggalan bersejarah dan permata-permata yang mahal.
Para teroris Saudi-Wahhabi ini telah melakukan tindak kejahatan yang
menimbulkan kemarahan kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk Kekhalifahan
Utsmaniyyah di Istanbul.
Sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas keamanan Jazirah Arab dan
penjaga masjid-masjid suci Islam, Khalifah Mahmud II memerintahkan
sebuah angkatan perang Mesir dikirim ke Jazirah Arab untuk menghukum klan
Saudi-Wahhabi.
Pada 1818, angkatan perang Mesir yang dipimpin Ibrahim Pasha (putra
penguasa Mesir) menghancurkan Saudi-Wahhabi dan meratakan dengan tanah ibu kota
Dir’iyyah .
Imam kaum Wahhabi saat itu, Abdullah al-Saud dan dua pengikutnya
dikirim ke Istanbul dengan dirantai dan di hadapan orang banyak, mereka dihukum
pancung. Sisa klan Saudi-Wahhabi ditangkap di Mesir.
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE-II : 1843-1891
“Walaupun kebengisan fanatis Wahabisme berhasil dihancurkan pada 1818,
namun dengan bantuan Kolonial Inggeris, mereka dapat bangkit kembali. Setelah
pelaksanaan hukuman mati atas Imam Abdullah al-Saud di Turki, sisa-sisa klan
Saudi-Wahhabi memandang saudara-saudara Arab dan Muslim mereka sebagai musuh
yang sesungguhnya (their real enemies) dan sebaliknya mereka menjadikan
Inggeris dan Barat sebagai sahabat sejati mereka.” Demikian tulis Dr.
Abdullah Mohammad Sindi *]
Maka ketika Inggeris menjajah Bahrain pada 1820 dan mulai mencarai jalan
untuk memperluas area jajahannya, Dinasti Saudi-Wahhabi menjadikan
kesempatan ini untuk memperoleh perlindungan dan bantuan Inggeris.
Pada 1843, Imam Wahhabi, Faisal Ibn Turki al-Saud berhasil melarikan diri
dari penjara di Cairo dan kembali ke Najd. Imam Faisal kemudian mulai melakukan
kontak dengan Pemerintah Inggeris. Pada 1848, dia memohon kepada Residen
Politik Inggeris (British Political Resident) di Bushire agar mendukung
perwakilannya di Trucial Oman. Pada 1851, Faisal kembali memohon bantuan
dan dukungan Pemerintah Inggeris. 10]
Dan hasilnya, Pada 1865, Pemerintah Inggeris mengirim Kolonel Lewis
Pelly ke Riyadh untuk mendirikan sebuah kantor perwakilan Pemerintahan Kolonial
Inggeris dengan perjanjian (pakta) bersama Dinasti Saudi-Wahhabi.
Untuk mengesankan Kolonel Lewis Pelly bagaimana bentuk fanatisme dan
kekerasan Wahhabi, Imam Faisal mengatakan bahwa perbedaan besar dalam strategi
Wahhabi : antara perang politik dengan perang agama adalah bahwa
nantinya tidak akan ada kompromi, kami membunuh semua orang . 11]
Pada 1866, Dinasti Saudi-Wahhabi menandatangani sebuah perjanjian
“persahabatan” dengan Pemerintah Kolonial Inggeris, sebuah kekuatan
yang dibenci oleh semua kaum Muslim, karena kekejaman kolonialnya di dunia
Muslim.
Perjanjian ini serupa dengan banyak perjanjian tidak adil yang selalu
dikenakan kolonial Inggeris atas boneka-boneka Arab mereka lainnya di Teluk
Arab (sekarang dikenal dengan : Teluk Persia).
Sebagai pertukaran atas bantuan pemerintah kolonial Inggeris yang berupa
uang dan senjata, pihak Dinasti Saudi-Wahhabi menyetujui untuk
bekerja-sama/berkhianat dengan pemerintah kolonial Inggeris yaitu
: pemberian otoritas atau wewenang kepada pemerintah kolonial Inggeris atas
area yang dimilikinya.
Perjanjian yang dilakukan Dinasti Saudi-Wahhabi dengan musuh paling getir
bangsa Arab dan Islam (yaitu : Inggeris), pihak Dinasti Saudi-Wahhabi
telah membangkitkan kemarahan yang hebat dari bangsa Arab dan Muslim lainnya,
baik negara-negara yang berada di dalam maupun yang diluar wilayah
Jazirah Arab.
Dari semua penguasa Muslim, yang paling merasa disakiti atas pengkhianatan
Dinasti Saudi-Wahhabi ini adalah seorang patriotik bernama al-Rasyid
dari klan al-Hail di Arabia tengah dan pada 1891, dan dengan dukungan
orang-orang Turki, al-Rasyid menyerang Riyadh lalu menghancurkan klan
Saudi-Wahhabi.
Bagaimanapun, beberapa anggota Dinasti Saudi-Wahhabi sudah mengatur
untuk melarikan diri; di antara mereka adalah Imam Abdul-Rahman
al-Saud dan putranya yang masih remaja, Abdul-Aziz. Dengan
cepat keduanya melarikan diri ke Kuwait yang dikontrol Kolonial
Inggeris, untuk mencari perlindungan dan bantuan Inggeris.
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE III (SAUDI ARABIA) : Sejak 1902
Ketika di Kuwait, Sang Wahhabi, Imam Abdul-Rahman dan putranya, Abdul-Aziz
menghabiskan waktu mereka “menyembah-nyembah” tuan Inggersi mereka dan
memohon-mohon akan uang, persenjataan serta bantuan untuk keperluan
merebut kembali Riyadh. Namun pada akhir penghujung 1800-an, usia dan penyakit
nya telah memaksa Abdul-Rahman untuk mendelegasikan Dinasti Saudi
Wahhabi kepada putranya, Abdul-Aziz, yang kemudian menjadi Imam
Wahhabi yang baru.
Melalui strategi licin kolonial Inggeris di Jazirah Arab pada awal abad 20,
yang dengan cepat menghancurkan Kekhalifahan Islam Utsmaniyyah dan sekutunya klan
al-Rasyid secara menyeluruh, kolonial Inggeris langsung memberi
sokongan kepada Imam baru Wahhabi Abdul-Aziz.
Dibentengi dengan dukungan kolonial Inggeris, uang dan senjata,
Imam Wahhabi yang baru, pada 1902 akhirnya dapat merebut Riyadh. Salah
satu tindakan biadab pertama Imam baru Wahhabi ini setelah berhasil menduduki
Riyadh adalah menteror penduduknya dengan memaku kepala al-Rasyid pada pintu
gerbang kota. Abdul-Aziz dan para pengikut fanatik Wahhabinya juga membakar
hidup-hidup 1.200 orang sampai mati. 12]
Imam Wahhabi Abdul-Aziz yang dikenal di Barat sebagai Ibn Saud, sangat
dicintai oleh majikan Inggerisnya. Banyak pejabat dan utusan Pemerintah
Kolonial Inggeris di wilayah Teluk Arab sering menemui atau menghubunginya, dan
dengan murah-hati mereka mendukungnya dengan uang, senjata dan para
penasihat. Sir Percy Cox, Captain Prideaux, Captain Shakespeare,
Gertrude Bell, dan Harry Saint John Philby (yang dipanggil “Abdullah”) adalah
di antara banyak pejabat dan penasihat kolonial Inggeris yang secara rutin
mengelilingi Abdul-Aziz demi membantunya memberikan apa pun yang
dibutuhkannya.
Dengan senjata, uang dan para penasihat dari Inggeris, berangsur-angsur Imam
Abdul-Aziz dengan bengis dapat menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab di bawah
panji-panji Wahhabisme untuk mendirikan Kerajaan Saudi-Wahhabi ke-3, yang saat
ini disebut Kerajaan Saudi Arabia.
Ketika mendirikan Kerajaan Saudi, Imam Wahhabi, Abdul-Aziz beserta
para pengikut fanatiknya, dan para “tentara Tuhan”, melakukan pembantaian yang
mengerikan, khususnya di daratan suci Hijaz. Mereka mengusir penguasa
Hijaz, Syarif, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw.
Pada May 1919, di Turbah, pada tengah malam dengan cara pengecut dan buas
mereka menyerang angkatan perang Hijaz, membantai lebih 6.000 orang.
Dan sekali lagi, pada bulan Agustus 1924, sama seperti yang dilakukan orang
barbar, tentara Saudi-Wahabi mendobrak memasuki rumah-rumah di Hijaz,
kota Taif, mengancam mereka, mencuri uang dan persenjataan mereka, lalu
memenggal kepala anak-anak kecil dan orang-orang yang sudah tua, dan mereka
pun merasa terhibur dengan raung tangis dan takut kaum wanita. Banyak wanita
Taif yang segara meloncat ke dasar sumur air demi menghindari pemerkosaan dan
pembunuhan yang dilakukan tentara-tentara Saudi-Wahhabi yang bengis.
Tentara primitif Saudi-Wahhabi ini juga membunuhi para ulama dan
orang-orang yang sedang melakukan shalat di masjid; hampir seluruh rumah-rumah
di Taif diratakan dengan tanah; tanpa pandang bulu mereka membantai
hampir semua laki-laki yang mereka temui di jalan-jalan; dan merampok apa pun
yang dapat mereka bawa. Lebih dari 400 orang tak berdosa ikut dibantai
dengan cara mengerikan di Taif. 11]
The end
http://sk-sk.facebook.com/topic.php?uid=80383792636&topic=11768
http://kommabogor.wordpress.com/2007/12/22/latar-belakang-berdirinya-kerajaan- saudi-arabia-dan-paham-wahabi-bag-i/
________________________________________
* Dr. Abdullah Mohammad Sindi adalah seorang profesor
Hubungan Internasional (professor of International Relations) berkebangsaan
campuran Saudi-Amerika. Dia memperoleh titel BA dan MA nya di California State
University, Sacramento, dan titel Ph.D. nya di the University of Southern
California. Dia juga seorang profesor di King Abdulaziz University di Jeddah,
Saudi Arabia. Dia juga mengajar di beberapa universitas dan college Amerika
termasuk di : the University of California di Irvine, Cal Poly Pomona, Cerritos
College, and Fullerton College. Dia penulis banyak artikel dalam bahasa Arab
maupun bahasa Inggeris. Bukunya antara lain : The Arabs and the West: The
Contributions and the Inflictions.
Catatan Kaki :
[1] Banyak orang-orang yang belajar Wahabisme (seperti di Jakarta di LIPIA)
yang menjadi para pemuja syekh-syekh Arab, menganggap
bangsa Arab lebih unggul dari bangsa lain. Mereka
(walaupun bukan Arab) mengikuti tradisi ke-Araban atau
lebih tepatnya Kebaduian (bukan ajaran Islam), seperti memakai jubah
panjang, menggunakan kafyeh, bertindak dan
berbicara dengan gaya orang-orang Saudi.
[2] Alexei Vassiliev, Ta’reekh Al-Arabiya Al-Saudiya [History of Saudi
Arabia], yang diterjemahkan dari bahasa Russia ke
bahasa Arab oleh Khairi al-Dhamin dan Jalal al-Maashta
(Moscow: Dar Attagaddom, 1986), hlm. 108.
[3] Untuk lebih detailnya Anda bisa mendownload “Confessions of a British
Spy” : http://www.ummah.net/Al_adaab/spy1-7.html
Cara ini juga dilakukan Imperialis Belanda ketika mereka menaklukkan
kerajaan- kerajaan Islam di Indonesia lewat Snouck Hurgronje
yang telah belajar lama di Saudi Arabia dan mengirinmnya ke
Indonesia. Usaha Snouck berhasil gemilang, seluruh kerajaan Islam
jatuh di tangan Kolonial Belanda, kecuali Kerajaan Islam Aceh. Salah satu
provokasi Snouck yang menyamar sebagai seorang ulama
Saudi adalah menyebarkan
keyakinan bahwa hadis Cinta pada Tanah Air adalah
lemah! (Hubbul Wathan minal
Iman). Dengan penanaman keyakinan ini
diharapkan Nasionalisme bangsa
Indonesia hancur, dan memang akhirnya banyak
pengkhianat bangsa bermunculan.
[4] Memoirs Of Hempher, The British Spy To The Middle East,
page 13.
[5] Lihat “The Beginning and Spreading of Wahhabism”, http://www.ummah.net/Al_adaab/wah-36.html
[6] William Powell, Saudi Arabia and Its Royal Family (Secaucus,
N.J.: Lyle Stuart Inc., 1982), p. 205.
[7] Confessions of a British Spy.
[8] Ibid.
[9] Vassiliev, Ta’reekh, p. 117.
[10] Gary Troeller, The Birth of Saudi Arabia: Britain and the Rise
of the House of Sa’ud (London: Frank
Cass, 1976), pp. 15-16.
[11] Quoted in Robert Lacey, The Kingdom: Arabia and the House of
Saud (New York: Harcourt Brace
Jovanovich, 1981), p. 145.
Share this:
Share this:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar