Fakta Sejarah Pancasila, Piagam
Jakarta dan UUD 1945
https://fuadnasar.wordpress.com/2016/05/31/fakta-sejarah-pancasila-piagam-jakarta-dan-uud-1945/
Date: May 31, 2016Author: fuadnasar 0 Comments
Oleh
M. Fuad Nasar
Sejarah
lahirnya Pancasila sebagai landasan falsafah negara sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dipisahkan dari peran dan sumbangan pemikiran
Ir. Soekarno. Betapa pun orang berbeda pendapat dan pendirian dengan beliau di
bidang politik semasa hidupnya, namun semua mengakui jasa Bung Karno
sebagai Perintis Kemerdekaan, Proklamator dan Presiden RI Pertama, serta
Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, di samping Bung Hatta. Bung Karno mempunyai
peran besar dalam membentuk Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
berdasarkan Pancasila.
Membicarakan
peran Bung Karno, sebetulnya bukan hanya pada 1 Juni 1945. Sejarah mencatat
Bung Karno adalah Ketua Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan penanda-tangan Piagam Jakarta tanggal 22
Juni 1945. Selain itu, pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari setelah
proklamasi juga tidak lepas dari peran Bung Karno sebagai Ketua PPKI.
Pertanyaannya,
apakah penggunaan istilah “Pancasila 1 Juni 1945” sudah memadai untuk
menghargai jasa-jasa Bung Karno? Dalam konteks mengenang peran Bung Karno
sebagai “penggali pancasila” tidak ada masalah. Tetapi, perlu diketahui fondasi
negara Pancasila yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dan menempatkan agama sebagai
unsur penting dalam kehidupan bernegara belum mengkristal pada tanggal 1 Juni
1945. Sejarah Pancasila melalui tiga fase penting, yaitu: Pertama,
dimulai dari 1 Juni 1945. Kedua, tanggal 22 Juni 1945, dan Ketiga,
mencapai bentuk final pada 18 Agustus 1945.
Sejarah
mencatat PPKI dalam sidangnya hari Sabtu 18 Agustus 1945 mengambil keputusan,
(1) mensahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, (2)
Ir. Soekarno dipilih sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil
Presiden dari Negara Republik Indonesia, dan (3) pekerjaan Presiden untuk
sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
***
Pancasila
1 Juni 1945 adalah pidato Bung Karno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945
di Gedung Tyuuoo Sangi-In, sekarang Gedung Pancasila, Kementerian
Luar Negeri Jln. Pejambon, Jakarta. Bung Karno sebagai anggota BPUPKI
mengajukan usulan lima prinsip dasar negara Indonesia yaitu, Kebangsaan
Indonesia, Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, Mufakat
atau Demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan.
Bung
Karno menyebut lima prinsip yang dikemukakannya dengan “Panca Dharma”.
Menurutnya atas saran seorang ahli bahasa, konon adalah Mr. Muhammad Yamin,
dianggap lebih tepat dengan istilah “Pancasila”. Ketika itu Bung Karno
menawarkan kemungkinan Pancasila diperas menjadi “Trisila” dan masih dapat
diperas lagi menjadi “Ekasila”, yaitu gotong royong.
Lima
prinsip yang diucapkan Bung Karno merupakan gagasan awal Pancasila dan
belum menjadi konsep resmi. Pancasila 1 Juni 1945 berbeda rumusannya
dengan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus
1945 dan berlaku sampai sekarang.
Sebelum
Bung Karno mendapat kesempatan menyampaikan pidato tentang dasar negara, sidang
BPUPKI tanggal 29 Mei dan 31 Mei 1945 telah mendengarkan pidato dari para
anggota lainnya, seperti Mr. Muhammad Yamin dan pidato yang bernas dari Ki
Bagus Hadikusumo. Ki Bagus mengemukakan agar negara Indonesia baru yang akan
datang itu berdasarkan agama Islam, di atas petunjuk-petunjuk Al Quran dan
Hadits, agar menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah itu mengingatkan bahwa sudah enam abad Islam
menjadi agama kebangsaan Indonesia dan tiga abad sebelum Belanda menjajah
disini, hukum Islam sudah berlaku di Indonesia.
Pada
tanggal 31 Mei 1945 sidang BPUPKI menyimak pidato tentang rancangan dasar
negara dari Mr. Soepomo. Adapun pidato Mr. Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI
tanggal 29 Mei 1945 mengemukakan lima asas sebagaimana dimuat dalam bukunya Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu peri kebangsaan, peri ketuhanan,
kesejahteraan rakyat, peri kemanusiaan, dan peri kerakyatan. Dalam pidato Bung
Karno tanggal 1 Juni 1945, sepuluh kali ia mengutip pidato Ki Bagus Hadikusumo
yang diucapkan sebelumnya di muka sidang BPUPKI 31 Mei 1945.
BPUPKI
membentuk Panitia Kecil atau dikenal sebagai Panitia Sembilan untuk mendapatkan
satu modus vivendi, satu persetujuan, antara golongan Islam dan golongan
kebangsaan di dalam satu rancangan pembukaan hukum dasar negara. Dalam
rancangan pembukaan (preambule) Undang-Undang Dasar hasil musyawarah
Panitia Sembilan yang Ketua-nya adalah juga Bung Karno, rumusan “Pancasila”
tanggal 1Juni 1945 disempurnakan. Prinsip kelima, yaitu “Ketuhanan” ditempatkan
menjadi urutan pertama dan beberapa perubahan lainnya.
Mengutip
penjelasan Bung Hatta, Panitia Sembilan mengubah urutan fundamen Pancasila itu,
meletakkan fundamen moral di atas, fundamen politik di bawahnya. “Dengan
meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahannya memperoleh
dasar yang kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan,
kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam. Dengan politik
pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan tercapainya
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” demikian Bung Hatta.
***
Sidang
BPUPKI tanggal 22 Juni 1945 mengambil keputusan menerima rumusan Panitia
Sembilan sebagai rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar. Mr. Muhammad Yamin
mengusulkan nama “Piagam Jakarta”. Rumusan “Pancasila” dalam Piagam Jakarta
ialah: Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prof.
Mr. Kasman Singodimedjo, seorang tokoh Islam dan mantan anggota PPKI dalam
ceramah Ramadhan tanggal 17 Agustus 1979 di Masjid Arief Rahman Hakim Kampus UI
di Salemba Jakarta mengatakan, “Kemerdekaan RI dicetuskan tanggal 17 Agustus
1945 jam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Apa yang tersedia pada tanggal 17 Agustus 1945 itu? Yang tersedia adalah
Rancangan UUD dan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), karena piagam sudah dibuat
pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan.”
Mengenai
Piagam Jakarta, saya kira penting digaris-bawahi keterangan dari Prof. Dr. Mr.
H. Muhammad Yamin, salah satu tokoh pendiri negara Republik Indonesia dan
Pahlawan Nasional Mahaputra dalam bukunya berjudul Proklamasi dan Konstitusi
Republik Indonesia. Menurut Yamin, “Piagam Jakarta berisi garis-garis
pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fascisme, serta memuat dasar
pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari
Piagam Perdamaian San Franscisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus
1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan
Konstitusi RI. Piagam Jakarta itulah yang menjadi Mukaddimah (preambule)
Konstitusi RI serta Undang-Undang Dasar 1945, disusun menurut filosofi-politik
yang ditentukan di dalam piagam persetujuan itu. Piagam Jakarta berisi pula
kalimat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dinyatakan tanggal 17 Agustus
1945 itu. Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi.”
Piagam
Jakarta merupakan konsensus nasional tentang dasar negara. Pancasila lahir dari
perbedaan pendapat dan keterbukaan wakil-wakil rakyat Indonesia yang duduk
dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Prawoto
Mangkusasmito dalam buku Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah
Proyeksi menulis. “Pancasila sebagai dasar negara untuk pertama
kali mendapatkan rumusnya yang lengkap pada tanggal 22 Juni 1945 dalam satu
dokumen yang disusun dan ditandatangani oleh sebuah panitia terdiri dari 9
orang anggota Badan Penyelidik, yaitu Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr.
A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Mudzakkir, Haji Agus Salim,
Mr. Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Panitia kecil
dibentuk oleh rapat yang dihadiri 38 anggota Badan Penyelidik yang ada di
Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 itu dan rapat tersebut dipimpin Ir. Sukarno.
Rumusan Pancasila yang pertama itu kemudian terkenal dengan nama Piagam Jakarta
atau Jakarta Charter.”
Tulisan Wakil Perdana Menteri RI dan Ketua Umum (Terakhir)
Partai Masyumi itu mempertegas kedudukan Piagam Jakarta sebagai dokumen
historis dan dokumen politik. Piagam Jakarta memuat gentlemen’s agreement
(istilah dari Dr. Soekiman Wirjosanjojo) atau istilah Bung Karno “persetujuan
antara pihak Islam dan pihak kebangsaan” tentang dasar negara Republik
Indonesia. Menurut Dr. H. Anwar Harjono, SH, “Jiwanya Pancasila dan UUD 45 ada
pada Piagam Jakarta, bukan dari yang lain.”
***
Seperti
diutarakan di atas, Piagam Jakarta merupakan rumusan kompromi antara golongan
Islam (nasionalis islami) yang menginginkan negara Indonesia dibangun di atas
dasar-dasar ajaran Islam dan golongan kebangsaan (nasionalis sekuler) yang
menginginkan negara nasional dengan pemisahan secara mutlak agama dari
kehidupan bernegara. Dalam konteks ini Piagam Jakarta merupakan “jantung”
cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dan dokumen kesepakatan tertinggi para founding
father mengenai dasar negara Republik Indonesia.
Menurut
fakta sejarah yang disampaikan Bung Hatta, sore hari 17 Agustus 1945 beliau
menerima tamu seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Tamu itu
menyampaikan suatu hal yang amat penting bagi Indonesia. Opsir dimaksud, Bung
Hatta sendiri lupa namanya, mengaku datang sebagai utusan Kaigun untuk
memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai
oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan terhadap bagian dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar yang berbunyi: “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Jika bagian kalimat itu ditetapkan
juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Dalam
buku Sekitar Proklamasi, Bung Hatta mengungkapkan bahwa ia tidak
menerima begitu saja keberatan dimaksud, “Saya katakan bahwa itu bukan suatu
diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam.
Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta
dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22
Juni ia ikut menanda-tanganinya.” tulis Bung Hatta.
Singkat
cerita akhirnya Bung Hatta menerima keberatan dimaksud dan berjanji akan
menyampaikan kepada sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, esok harinya.
Pagi hari 18 Agustus 1945 menjelang dimulainya sidang PPKI dengan agenda
pengesahan Undang-Undang Dasar, Bung Hatta melobi tiga orang anggota PPKI yang
ada ketika itu mewakili golongan Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman
Singodimedjo, dan Teuku M. Hasan. Dalam keterangan Prawoto, K.H.A.Wahid Hasjim
tidak hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945 karena sedang perjalanan ke Jawa
Timur.
Bung
Hatta meminta tiga tokoh Islam itu bersedia menghapus tujuh kata dalam
rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah, satu-satunya
eksponen perjuangan Islam yang paling senior pada waktu itu semula keberatan,
mengingat rumusan kalimat mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya merupakan hasil musyawarah-mufakat dalam sidang BPUPKI
22 Juni 1945. Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan membujuk Ki Bagus agar
menerima saran Bung Hatta karean keputusan terakhir ada pada Ki Bagus
Hadikusumo.
Dalam
buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo mengemukakan, “Perubahan
tujuh kata rumus “Ke-Tuhanan” itu amat penting, karena “Yang Maha Esa”
menentukan arti dari Ketuhanan. Pancasila yang kini secara geruisloos menjadi
filsafat negara kita itu, tidak mengenal Ke-Tuhanan sembarang ketuhanan. Sekali
lagi bukan ketuhanan sembarang ketuhanan, tetapi yang dikenal oleh Pancasila
ialah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus
1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali
Allah.”
Kesediaan
Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata terkait dengan syariat Islam
menjadi “kunci” pengesahan Pembukaan UUD 1945 yang memuat prinsip-prinsip dasar
negara Pancasila. Bung Hatta yang bertanggungjawab atas dihapusnya “tujuh kata”
pada Piagam Jakarta agar Indonesia tidak pecah sebagai bangsa menjelaskan, “Pada
waktu itu kami dapat menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap
dengan menghilangkan perkataan ‘Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang
Maha Esa’.”
Prawoto
Mangkusasmito beberapa tahun kemudian bertanya kepada Ki Bagus Hadikusumo
tentang arti istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jawab Ki Bagus singkat saja,
yaitu “Tauhid”. Hal yang sama dikonfirmasi pula kepada Mr. Teuku M. Hasan,
saksi sejarah yang hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945, tokoh asal Aceh itu
tidak membantahnya.
Konsiderans
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali Kepada UUD 1945 menyatakan:
“bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai
Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan
konstitusi tersebut.”
Tokoh
Islam dan mantan Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri dalam Kata Pengantar buku Piagam
Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari mengemukakan, “Piagam Jakarta tidak
kehilangan fungsinya maupun peranannya sebagai alat pemersatu seluruh bangsa
Indonesia seperti yang pernah diucapkan oleh Presiden Soekarno dalam rapat
peringatan lahirnya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1965 di Istora Jakarta. Dan,
9 tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta itu sendiri pun merupakan
perekat persatuan bangsa Indonesia.”
Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila, merefleksikan amanat
perjuangan umat Islam dan elemen bangsa lainnya. Umat Islam, – kata Mohammad
Natsir, Pahlawan Nasional dan Perdana Menteri RI tahun 1950-1951 – sejak awal
kemerdekaan sadar bahwa kita hidup dalam masyarakat yang majemuk
(pluralistik) dan umat Islam Indonesia tidak pernah menohok teman seiring.
Dalam kaitan itu, H. Alamsjah Ratu Perwiranegara semasa menjabat Menteri Agama
mengeluarkan pernyataan, “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat
Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.”
Dalam
kaitan ini pengesahan Undang-Undang Dasar tanggal 18 Agustus 1945 merupakan
tonggak paling bersejarah bagi bangsa Indonesia setelah proklamasi. Tanggal
tersebut ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Konstitusi dengan Keputusan
Presiden No 18 Tahun 2008.
Sumber
Pustaka:
Anshari,
Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Bandung: Perpustakaan
Salman ITB, 1981.
Fatwa,
A.M., Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa. Jakarta: The Fatwa
Center, 2010.
Hakiem,
Lukman, editor, Dari Muhammadiyah Untuk Indonesia; Pemikiran dan Kiprah Ki
Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan KH Abdul Kahar Mudzakkir.
Jakarta: PP Muhammadiyah, 2013.
Hakiem,
Lukman, “Dasar Negara Pancasila Dari 29 Mei 1945 Hingga 22 Juli 1959”, lampiran
dalam buku A. M. Fatwa, Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa. Jakarta:
The Fatwa Center, 2010.
Hatta,
Mohammad, “Menuju Negara Hukum”, pidato pada penerimaan gelar Doctor Honoris
Causa dari Universitas Indonesia tanggal 30 Agustus 1975, di dalam buku
Mohammad Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia. Jakarta: Inti Idayu Press,
1985.
Hatta,
Mohammad, Pengertian Pancasila. Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.
Hatta,
Mohammad, Sekitar Proklamasi. Djakarta: Tintamas, 1970.
Mangkusasmito,
Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi.
Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Panitia
Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun.
Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Raliby
Osman, Documenta Historica, Jilid 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1953.
Sekretariat
Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Jakarta: 1995.
Yamin,
Muhammad, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Djakarta:
Djambatan, 1952.
Salika Jannah added 2 new photos.
Mari belajar sejarah :)
https://www.facebook.com/salika.jannah/posts/10203338590741141
Mengapa tanggal 17 Agustus
*Proklamasi, ternyata didahului oleh perdebatan hebat antara golongan
pemuda dengan golongan tua. Baik golongan tua maupun golongan muda,
sesungguhnya sama-sama menginginkan secepatnya dilakukan Proklamasi
Kemerdekaan dalam suasana kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah
Jepang. Hanya saja, mengenai cara melaksanakan proklamasi itu terdapat
perbedaan pendapat. Golongan tua, sesuai dengan perhitungan politiknya,
berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika
tetap bekerjasama dengan Jepang.
Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas sama sekali dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan tua yang mendorong mereka melakukan “aksi penculikan” terhadap diri Soekarno-Hatta (lihat Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:77-81)
Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi (1984:58); Ahmad Soebardjo (1978:85-87) sebagai berikut:
" Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !" kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. " Kita harus segera merebut kekuasaan !" tukas Sukarni berapi-api. " Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !" seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; " Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari ."
Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: " Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !". Hatta kemudian memperingatkan Wikana; "... Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?"
Namun, para pemuda terus mendesak; " apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam 'Perang Sucinya '!". " Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?". Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; "... kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri ". Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi "penculikan" itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi (1984:60). Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA (Pembela Tanah Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15 km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; " Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu ...". " Lalu apa ?" teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; " Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 ". " Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?" tanya Sukarni. " Saya seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia ". Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi (1984:61).
Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta (Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:82-83).
Merumuskan Teks Proklamasi
Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung
menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah
lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah
Laksamada Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi
karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung
Karno dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo
(1978:60-61) melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda
tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu, karena
perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat Indonesia.
Sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia ini dari rata-rata seorang perwira Angkatan Darat , ia mempunyai pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang militer yang agak sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia adalah pejabat yang bertanggungjawab atas Bukanfu di Batavia; kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi diri hanya pada tugas-tugas militernya saja, tetapi agar dirinya dapat terbiasa dengan suasana di Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di tempat yang sama yang pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui kantor inilah, yang menuntut biaya yang tidak sedikit baginya, ia mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari yang didapatnya dari buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru untuk mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia berhasil mengambil hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting bagi masa depan bangsanya.
Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco (kepala pemerintahan umum), Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah menyatakan menyerah kepada Sekutu, maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang diharuskan tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis kebi jakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde kaan. Melihat kenyataan ini, Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Mereka hanya berharap agar pihak Jepang tidak menghalang-ha langi pelaksanaan proklamasi kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri (Hatta, 1970:54-55).
Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.
Menurut Soebardjo (1978:109) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam, rumusan teks Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun. Soekarno menuliskan konsep proklamasi pada secarik kertas. Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosakai , sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.
Setelah kelompok yang menyendiri di ruang makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul di ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep. Soebardjo (1978:109-110) melukiskan suasana ketika itu: “ Sementara teks Proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima kembali teks yang telah ditik, kami semuanya menuju ke ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam ruangan. Saya bercampur dengan beberapa anggota Panitia di tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri di samping saya. Hatta berdiri mendampingi Sukarno menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka pertemuan dini hari itu dengan beberapa patah kata.
"Keadaan yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing". Kepada mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia . Saran itu diperkuat oleh Mohammad Hatta dengan mengambil contoh pada "Declaration of Independence " Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang tidak setuju kalau tokoh-tokoh golongan tua yang disebutnya "budak-budak Jepang" turut menandatangani naskah proklamasi. Sukarni mengusulkan agar penandatangan naskah proklamasi itu cukup dua orang saja, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni itu diterima oleh hadirin.
Naskah yang sudah diketik oleh Sajuti Melik, segera ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan timbul mengenai bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan kepada rakyat di seluruh Indonesia , dan juga ke seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus diselenggarakan? Menurut Soebardjo (1978:113), Sukarni kemudian memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondong-bondong ke lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Akan tetapi Soekarno menolak saran Sukarni. " Tidak ," kata Soekarno, " lebih baik dilakukan di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing insiden ? Lapangan IKADA adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi ." Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi
Hari
Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945
memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun.
Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana
Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi
hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan
kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan
Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta
sempat berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan
kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan
menyebarkannya ke seluruh dunia (Hatta, 1970:53).
Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.
Sementara itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus menerus dan baru tidur setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.
Marwati Djoened Poesponegoro (1984:92-94) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA, segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.
"Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami: PROKLAMASI; Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu". (Koesnodiprojo, 1951).
Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: " lebih baik seorang prajurit ," katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.
Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.
Setelah upacara pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi (1984:77) mengemukakan bahwa ada sepasukan barisan pelopor yang berjumlah kurang lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki halaman rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang penuh kecewa S. Brata meminta agar Bung Karno membacakan Proklamasi sekali lagi. Mendengar teriakan itu Bung Karno tidak sampai hati, ia keluar dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar keterangan itu Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno memberi amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi. Selesai upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.
Tidak lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga orang pembesar Jepang. Mereka diperintahkan menunggu di ruang belakang, tanpa diberi kursi. Sudiro sudah dapat menerka, untuk apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya. Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk, sehingga terpaksa berpakaian lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan Jepang dengan Bung Karno: " Kami diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi ." " Proklamasi sudah saya ucapkan," jawab Bung Karno dengan tenang. " Sudahkah ?" tanya utusan Jepang itu keheranan. " Ya, sudah !" jawab Bung Karno. Di sekeliling utusan Jepang itu, mata para pemuda melotot dan tangan mereka sudah diletakkan di atas golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang itu pun segera pamit. Sementara itu, Latief Hendraningrat tercenung memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari PFN untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang plat filmnya tinggal tiga lembar (saat itu belum ada rol film). Sehingga dari seluruh peristiwa bersejarah itu, dokumentasinya hanya ada tiga; yakni sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran bendera, dan sebagian foto hadirin yang menyaksikan peristiwa itu.
Penutup
Peristiwa besar bersejarah yang
telah mengubah jalan sejarah bangsa Indonesia itu berlangsung hanya
satu jam, dengan penuh kehidmatan. Sekalipun sangat sederhana, namun ia
telah membawa perubahan yang luar biasa dalam perjalanan sejarah
bangsa Indonesia . “Gema lonceng kemerdekaan” terdengar ke seluruh
pelosok Nusantara dan menyebar ke seantero dunia. Para pemuda,
mahasiswa, serta pegawai-pegawai bangsa Indonesia pada jawatan-jawatan
perhubungan yang penting giat bekerja menyiarkan isi proklamasi itu ke
seluruh pelosok negeri. Para wartawan Indonesia yang bekerja pada kantor
berita Jepang Domei , sekalipun telah disegel oleh pemerintah Jepang,
mereka berusaha menyebarluaskan gema Proklamasi itu ke seluruh dunia.
Dirgahayu Indonesiaku <3
Dirgahayu Indonesiaku <3
#DAFTARPUSTAKA
Ahmad Soebardjo (1978).
Lahirnya Republik Indonesia .
Jakarta : Kinta.
Koesnodiprodjo (1951).
Himpunan Undang-Undang, Peraturan-Peraturan, Penetapan-Penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1945.
Jakarta .
Lasmidjah Hardi (1984). Samudera Merah Putih 19 September 1945 . Jilid 1. Jakarta : Pustaka Jaya.
Marwati Djoened Poesponegoro et. al. (1984). Sejarah Nasional Indonesia . Jilid 6. Jakarta : Balai Pustaka.
Mohammad Hatta (1970). Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 . Jakarta : Tinta Mas.
Nugroho Notosusanto (1976). Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik. Jakarta : Pusat Sejarah ABRI.
Soekarno (1963 ). Sarinah; Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia . Jakarta : Panitia Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno.
#DirgahayuRepublikIndonesiaAhmad Soebardjo (1978).
Lahirnya Republik Indonesia .
Jakarta : Kinta.
Koesnodiprodjo (1951).
Himpunan Undang-Undang, Peraturan-Peraturan, Penetapan-Penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1945.
Jakarta .
Lasmidjah Hardi (1984). Samudera Merah Putih 19 September 1945 . Jilid 1. Jakarta : Pustaka Jaya.
Marwati Djoened Poesponegoro et. al. (1984). Sejarah Nasional Indonesia . Jilid 6. Jakarta : Balai Pustaka.
Mohammad Hatta (1970). Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 . Jakarta : Tinta Mas.
Nugroho Notosusanto (1976). Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik. Jakarta : Pusat Sejarah ABRI.
Soekarno (1963 ). Sarinah; Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia . Jakarta : Panitia Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno.
17 Agustus besok yang ke 72
PENGERTIAN DASAR NEGARA INDONESIA
https://kikidengok.wordpress.com/2009/02/13/pengertian-dasar-negara-indonesia/
1. Pengertian Dasar Negara
Dasar Negara
adalah fandemen yang kokoh dan kuat serta bersumbar dari pandangan
hidup atau falsafah(cerminan dari peradaban, kebudayaan, keluhuran budi
dan kepribadian yang tumbuh dalam sejarah perkembangan Indonesia) yang
diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
2. Proses Penyusunan dan Penetapan dasar Negara
a. Tahap Pembentukan BPUPKI
BPUPKI
dibentuk pada tanggal 29 April 1945 dan dilantik tanggal 28 Mei
1945.Pembentukan BPUPKI memberi kesempatan secara legal kepada Indonesia
untuk mempersiapkan kemerdekaan dan merancang UUD yang berisi dasar
negara.
b. Tahap Penyusunan Konsep Rancangan Dasar Negara dan UUD
· Sidang Pertama BPUPKI(29 Mei s/d 1 Juni 1945)
Pada sidang ini K.R.T Radjiman Widyodiningrat(ketua
BPUPKI), menyampaikan tentang dasar falsafah yang akan dibentuk bagi
bangsa Indonesia.Usulan-usulan dasar Negara RI yang muncul pada sidang
ini, antara lain:
o Mr. Moh. Yamin
Secara lisan;
1) Peri Kebangsaan
2) Peri Kemanusiaan
3) Peri Ketuhanan
4) Peri Kerakyatan
5) Kesejahteraan Rakyat
Secara tertulis;
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kebangsaan Persatuan Indonesia
3) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5) Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
o Prof. Dr. R. Soepomo
1) Paham negara persatuan
2) Hubungan negara dan agama
3) Sistem badan permusyawaratan
4) Sosialisme negara
5) Hubungan antar bangsa
o Ir. Soekarno
Pancasila;
1) Kebangsaan Indonesia
2) Internasionalisme atau perikemanusiaan
3) Mufakat atau demokrasi ekonomi negara bersifat kekeluargaan
4) Kesejahteraan sosial
5) Ketuhanan yang berkebudayaan
Dapat diperas menjadi Trisila;
1) Sosionalisme
2) Sosiodemokratis
3) Ketuhanan
Dapat diperas lagi menjadi Ekasila;
1) Gotong royong
Pada sidang pertama BPUPKI belum tercapai kesepakatan tentang dasar Negara.Kemudian dibentuk panitia Sembilan.
· Panitia Sembilan
Anggota Panitia Sembilan adalah:
Ir. Soekarno
|
Abikusno Tjokrosoejoso
|
Drs. Moh. Hatta
|
H. Agus Salim
|
Mr. A.A. Maramis
|
Mr. Ahmad Soebarjo
|
K.H. Wahid Hasyim
|
Mr. Moh. Yamin
|
Abd. Kahar Muzakir
|
Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan berhasil merumuskan dasar Negara Indonesia yang dikenal dengan Jakarta Charter(Piagam Jakarta).
Rumusan Dasar Negara Menurut Jakarta Charter
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusian yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
c. Sidang BPUPKI Kedua(10 s/d 16 Juli 1945)
Pada sidang kedua ini membicarakan tentang rancangan UUD Negara Indonesia dengan membentuk panitia kecil, yaitu;
· Panitia Kecil yang dipimpin oleh Ir. Soekarno
Ø Bertugas merumuskan rancangan Pembukaan UUD yang berisi tujuan dan asas Negara Indonesia.
· Panitia Kecil yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mr. R. Soepomo
Ø Bertugas merumusakan rancangan batang tubuh UUD dan naskah proklamasi.
Pada
tanggal 14 Juli 1945 telah diterima rancangan dasar Negara sebagaimana
tersebut dalam Piagam Jakarta yang dicantumkan dalam Pembukaan dari
rencana UUD yang sedang disiapkan.
d. Penetapan UUD 1945
Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan:
1. Mengesahkan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.
2. Memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden RI yang pertama.
3. Untuk sementara waktu, pekerjaan presiden sehari-hari dibantu oleh BP-KNIP.
Rumusan dasar Negara yang disahkan dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut;
a. Ketuhanan Yang Maha Esa
b. Kemanusuaan yang adil dan beradab
c. Persatuan Indonesia
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
e. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
3. Pancasila Ditinjau dari Tekstualnya
Ditunaju
dari tekstual, bahwa Pancasia sebagai dasar Negara Republik Indonesia
tercantum dalam konstitusi Negara,yakni pada Pembukaan UUD 1945 alinea 4
(merupakan landasan konstitusional dan ideology Negara).
Dasar Negara Indonesia
Posted by RuDe
http://webbelajar23.blogspot.co.id/2014/11/dasar-negara-indonesia.html
1. Pengertian Dasar Negara
Dasar Negara adalah fandemen yang kokoh dan kuat serta bersumbar dari pandangan hidup atau falsafah(cerminan dari peradaban, kebudayaan, keluhuran budi dan kepribadian yang tumbuh dalam sejarah perkembangan Indonesia) yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Baca juga Sekilas tentang Magetan
2. Proses Penyusunan dan Penetapan dasar Negara
a. Tahap Pembentukan BPUPKI
BPUPKI dibentuk pada tanggal 29 April 1945 dan dilantik tanggal 28 Mei 1945.Pembentukan BPUPKI memberi kesempatan secara legal kepada Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaan dan merancang UUD yang berisi dasar negara.
b. Tahap Penyusunan Konsep Rancangan Dasar Negara dan UUD
· Sidang Pertama BPUPKI(29 Mei s/d 1 Juni 1945)
Pada sidang ini K.R.T Radjiman Widyodiningrat(ketua BPUPKI), menyampaikan tentang dasar falsafah yang akan dibentuk bagi bangsa Indonesia.Usulan-usulan dasar Negara RI yang muncul pada sidang ini, antara lain:
Dasar Negara adalah fandemen yang kokoh dan kuat serta bersumbar dari pandangan hidup atau falsafah(cerminan dari peradaban, kebudayaan, keluhuran budi dan kepribadian yang tumbuh dalam sejarah perkembangan Indonesia) yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Baca juga Sekilas tentang Magetan
2. Proses Penyusunan dan Penetapan dasar Negara
a. Tahap Pembentukan BPUPKI
BPUPKI dibentuk pada tanggal 29 April 1945 dan dilantik tanggal 28 Mei 1945.Pembentukan BPUPKI memberi kesempatan secara legal kepada Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaan dan merancang UUD yang berisi dasar negara.
b. Tahap Penyusunan Konsep Rancangan Dasar Negara dan UUD
· Sidang Pertama BPUPKI(29 Mei s/d 1 Juni 1945)
Pada sidang ini K.R.T Radjiman Widyodiningrat(ketua BPUPKI), menyampaikan tentang dasar falsafah yang akan dibentuk bagi bangsa Indonesia.Usulan-usulan dasar Negara RI yang muncul pada sidang ini, antara lain:
o Ir. Soekarno
Pancasila;
1) Kebangsaan Indonesia
2) Internasionalisme atau perikemanusiaan
3) Mufakat atau demokrasi ekonomi negara bersifat kekeluargaan
4) Kesejahteraan sosial
5) Ketuhanan yang berkebudayaan
Dapat diperas menjadi Trisila;
1) Sosionalisme
2) Sosiodemokratis
3) Ketuhanan
Dapat diperas lagi menjadi Ekasila;
1) Gotong royong
o Prof. Dr. R. Soepomo
1) Paham negara persatuan
2) Hubungan negara dan agama
3) Sistem badan permusyawaratan
4) Sosialisme negara
5) Hubungan antar bangsa
o Mr. Moh. Yamin
Secara lisan;
1) Peri Kebangsaan
2) Peri Kemanusiaan
3) Peri Ketuhanan
4) Peri Kerakyatan
5) Kesejahteraan Rakyat
Secara tertulis;
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kebangsaan Persatuan Indonesia
3) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5) Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan berhasil merumuskan dasar Negara Indonesia yang dikenal dengan Jakarta Charter(Piagam Jakarta).
Pada sidang pertama BPUPKI belum tercapai kesepakatan tentang dasar Negara.Kemudian dibentuk panitia Sembilan.
· Panitia Sembilan
Anggota Panitia Sembilan adalah:
Ir. Soekarno
· Panitia Sembilan
Anggota Panitia Sembilan adalah:
Ir. Soekarno
Drs. Moh. Hatta
Abikusno Tjokrosoejoso
H. Agus Salim
Mr. A.A. Maramis
Mr. Ahmad Soebarjo
K.H. Wahid Hasyim
Mr. Moh. Yamin
Abd. Kahar Muzakir
Rumusan Dasar Negara Menurut Jakarta Charter
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusian yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
c. Sidang BPUPKI Kedua(10 s/d 16 Juli 1945)
Pada sidang kedua ini membicarakan tentang rancangan UUD Negara Indonesia dengan membentuk panitia kecil, yaitu;
· Panitia Kecil yang dipimpin oleh Ir. Soekarno
Ø Bertugas merumuskan rancangan Pembukaan UUD yang berisi tujuan dan asas Negara Indonesia.
· Panitia Kecil yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mr. R. Soepomo
Ø Bertugas merumusakan rancangan batang tubuh UUD dan naskah proklamasi.
Pada tanggal 14 Juli 1945 telah diterima rancangan dasar Negara sebagaimana tersebut dalam Piagam Jakarta yang dicantumkan dalam Pembukaan dari rencana UUD yang sedang disiapkan.
d. Penetapan UUD 1945
Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan:
1. Mengesahkan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.
2. Memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden RI yang pertama.
3. Untuk sementara waktu, pekerjaan presiden sehari-hari dibantu oleh BP-KNIP.
Rumusan dasar Negara yang disahkan dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut;
a. Ketuhanan Yang Maha Esa
b. Kemanusuaan yang adil dan beradab
c. Persatuan Indonesia
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
e. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
NB: Jika ada kesalahan mohon dimaklumi,Saya juga masih belajar
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Tentang AGAMA dalam UUD 1945
http://pujisejati.blogspot.co.id/2011/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Pasal 29 :
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Relevansi antara kedua ayat
Dari bunyi pasal 29 ayat 1 telah di jelaskan bahwa ideologi awal dasar
negara indonesia ini adalah Ketuhanan yang Maha Esa, akan tetapi ayat
ini menjadi berkontraski ketika bunyi pasal 29 ayat 2 amat bertentangan
dengan ayat sebelumnya, keterkaitan antara ayat di pasal ini menjadi
terputus dan subtansi dari masing- masing ayat menjadi kabur. Prinsip
ketuhanan yang ditanamkan dalam UUD 1945 oleh the founding parents
merupakan suatu perwujudan akan pengakuan keagamaan. Dalam perspektif
Islam, hal ini memberikan pengakuan terhadap eksistensi Agama Islam
Sebagai agama resmi dan Hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di
Indonesia.
DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959
https://search.yahoo.com/search?ei=utf-8&fr=tightropetb&p=dekrit+presiden+5-7-59&type=25237_012317
Sejarah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setalah konstituante gagal menetapkan
undang-undang Dasar 1945 menjadi Konstitusi Republik Indonesia. Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di istana
merdeka pada tanggal 5 Juli 1959, pukul 17.00. Sejarah dekrit presiden 5 Juli
1959.
Alasan Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
· Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum
berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan
sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan
masyarakat Indonesia.
· Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga
membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan
hukum yang mantap.
· Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.
· Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah
gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.
· Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional
· Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara
sulit sekali untuk.
· Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala
cara agar tujuan partainya tercapai.
Tujuan Dekrit 5 Juli 1959
Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang
semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan Negara
Isi Dekrit 5 Juli 1959
Adapun isi dari dekrit presiden 5 Juli 1959 adalah:
· Pembubaran Konstituante;
· Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950;
· Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini mendapat dukungan dari lapisan masyarakat
Indonesia. Kasad (kepala staf Angkatan Darat) memerintahkan kepada segenap
personil TNI untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Mahkamah Agung
membenarkan dekrit tersebut. DPR dalam sidangnya tertanggal 22 Juli 1959 secara
aklamasi menyatakan kesediaannya untuk terus bekerja dengan berpedoman pada UUD
1945.
Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mendapat sambutan positif dari
seluruh lapisan masyarakat yang sudah jenuh melihat ketidakpastian nasinal yang
mengakibatkan tertundannya upaya pembangunan nasional. Dukungan spontan
tersebut menunjukkan bahwa rakyat telah lama mendambakan stabilitas politik dan
ekonomi. Semenjak pemerintah Republik Indonesia menetapkan dekrit presiden 5 Juli
1959, indonesia memasuki babak sejarah baru, akni berlakunya kembali UUD 1945
dalam kerangka Demokrasi terpimpin.
Menurut UUD 1945, Demokrasi terpimpin mengandung pengertian
kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Yang dimaksud permusyawaratan/perwakilan adalah MPR sebagai pemegang
kedaulatan. Dengan demikian harus dimaknai bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat
dan tehnisnya sepenuhnya dilaksanakan oleh MPR.
Dalam perkembangan selanjutnya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ditindak
lanjuti dengan penataan bidang politik, sosial-ekonomi dan pertahanan keamanan.
Sebagai realisasinya, pada tanggal 20 Agustus 1959, Presiden Soekarno
menyampaikan surat No. 2262/HK/59 kepada DPR yang isinya menekankan kepada
kewenangan presiden untuk memberlakukan peraturan negara baru. . atas dasar
peraturan tersebut, Presiden soekarno kemudian membentuk lembaga-lembaga
negara, seperti MPRS, DPAS, DPR-GR, Kabinet kerja dan Front nasional.
Dampak Dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959
Dampak Positif
Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah
sebagai berikut.
· Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
· Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
· Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga
tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda
pembentukannya.
Dampak Negatif
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959, adalah sebagai berikut.
· Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45
yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan
pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.
· Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi
negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai
Orde Baru.
· Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak
Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani.
Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
Demikianlah artikel sederhana tentang sejarah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini, semoga menambah wawasan kesejarahan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar