Wong Solo dalam Pusaran G30S
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=6660297917839456177#editor/target=post;postID=8902977246954734680
Pengantar:
Kota Solo (yang
saya maksudkan Solo disini yaitu daerah wilayah eks Kariesidenan Surakarta,
Subosuka Wonosraten; Surakarta, Boyolali,
Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen,
dan Klaten )adalah kota yang
fenomenal. Kota ini dan warganya juga yang turut mempegaruhi perkembangan
politik di Indonesia sampai saat ini. Sebagai contoh yang paling mudah adalah
Joko Widodo. Hampir semua orang Indonesia mengenal sepak terjangnya. Tetapi
Kota Solo dan orang-orangnya tidak melulu hanya dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat positif saja. Dalam sisi negatif pun, ada pengaruhnya. Contohnya pada
beberapa kasus terorisme yang mengatasnamakan agama (bahkan gembong teroris
Noordin M Top pun tewas ditembak di Solo). Hal ini membuat Kota Solo juga identik
dengan sebutan “kota teroris”.
Itu beberapa
catatan pada jaman ini. Pada jaman yang lampau, khususnya pada tahun 1965, kota
ini merupakan kota merah, karena merupakan basis kaum komunis. Beberapa tokoh
komunis, maupun yang dituduh komunis, lahir atau dibesarkan di kota ini.
Catatan saya kali ini mencoba mengungkapkan kembali fakta-fakta tentang “Wong
Solo” dalam keterkaitannya dalam peristiwa G30S (tanpa embel-embel PKI). Sebuah
fakta menarik yang saya temukan, orang-orang ini terlibat sebagai pelaku,
penumpas, dan juga korban dari peristiwa yang menjadi awal kehancuran
pemerintahan Presiden Sukarno tersebut.
Beberapa tokoh
saya tuliskan secara personal, dan beberapa tokoh juga saya gabungkan,
mengingat peranan dan keterlibatan mereka di pusaran G30S. Pemilihan urutan
semata-mata hanya berdasarkan kemenarikan kisah dan fakta yang ditemukan, tidak
bengan pendekatan dikotomi; sipil-militer, komunis-anti komunis, pelaku-korban,
dll. Karena sampai saat ini belum jelas siapa dalang di balik tragedi
kemanusiaan tersebut. Jika saja kita mau jujur terhadap sejarah, tidak ada
dalang tunggal dalam peristiwa yang begitu rumit ini. Presiden Sukarno dalam
pidatonya “Nawaksara” sebenarnya sudah memaparkan kesimpulannya, sayangnya
orang-orang MPRS yang saat itu sudah diisi oleh orang-orang Suharto menolaknya,
kemungkinan untuk menutupi kedoknya. Menurut Presiden Sukarno, dalang G30S ada
3, yaitu: keblingernya pemimpin PKI
(kemungkinan yang dimaksud adalah D.N Aidit), subversi nekolim (kemungkinan
yang dimaksud adalah CIA dan konco-konconya),
serta yang terakhir adalah oknum-oknum yang tidak benar (kemungkinan yang
dimaksud adalah jendral-jendral yang
tidak benar, dimana Suharto termasuk salah satunya). Percaya tidak percaya,
itulah penjelasan yang sebenarnya paling logis dan dapat diterima, paling tidak
masih relevan sampai saat ini.
Catatan saya
ini mungkin masih jauh dari kata lengkap, dan mungkin juga belum banyak orang
yang tahu. Mengingat isu peristiwa 1965 adalah isu yang sensitif, banyak
catatan-catatan yang unpublished.
Catatan saya ini hanya sekedar rangkuman, dan saya berharap hal-hal yang unpublished tersebut tidak dilupakan,
atau malah dihilangkan.
Berikut ini
catatan saya tentang Wong Solo dalam
pusaran G30S, selamat membaca.
· D.N. Aidit
Walaupun
sempat menjadi orang nomor 1 di Partai Komunis terbesar ketiga di dunia setelah
RRT & Uni Soviet, Aidit datang dari keluarga bukan komunis, tetapi dari
keluarga santri. Aidit lahir di Pangkalpinang, Belitung pada 30 Juli 1923 dari
pasangan Abdullah Aidit dan Mailan. Aidit terlahir dengan nama Ahmad Aidit, dan
oleh adik-adiknya kemudian dipanggil Bang Amat. Bapaknya adalah seorang mantri
kehutanan, jabatan yang cukup bergengsi saat itu, sedangkan ibunya datang dari
keluarga ningrat Bangka Belitung. Karena datang dari keluarga terpandang, sosoknya
mudah bergaul dengan siapapun, mulai dari polisi di tangsi, tionghoa di pasar,
sampai none-none di perusahaan tambang timah milik Belanda. Masa kecilnya
dihabiskan seperti anak-anak inlander lainnya,
tumbuh dalam keluarga yang taat beribadat. Melihat gaya hidup para tuan Belanda
befoya-foya di societiet yang kontras
dengan kehidupan buruh yang menderita menumbuhkan bibit-bibit anti Belanda
dalam dirinya. Dan ketika memasuki masa remaja, saat berumur 13 tahun, Achmad
Aidit memutuskan untuk cabut ke Batavia untuk melanjutkan sekolahnya. Orangtuanya
mengijinkan karena Achmad sudah memenuhi 4 syarat: bisa memasak sendiri, bisa
mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah khatam mengaji.
Di
Batavia, Achmad terpaksa harus puas melanjutkan pendidikan di sekolah dagang di
jalan Sabang, tidak seperti cita-citanya untuk sekolah di MULO. Di Batavia
juga, Achmad menjadi semakin militan mengorganisasi rekan-rekannya. Dirinya
mengganti nama Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit melalui birokrasi
resmi, di hadapan notaris, walaupun ayahnya sebenarnya kurang setuju. Saat
Jepang datang , kiriman uang dari Belitung macet. Mau tidak mau dia harus
bekerja. Dan hal ini bukan menjadi soal yang susah karena dia sudah terbiasa. Kesempatan
ini juga ia gunakan untuk menjalin relasi dengan tokoh-tokoh pergerakan. Dia
sempat menjadi murid kursus politik Sukarno-Hatta di sebuah tempat di Jalan
Menteng Raya 31 yang kini dikenal dengan nama Gedung Joang 45.
Saat
revolusi meletus, Aidit menjadi Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI
Solo dan mengelola majalah Bintang Merah
di Jalan Purwosari Solo (sekarang Jl. Slamet Riyadi). Pada masa inilah dirinya
berkenalan dengan Soetanti, mahasiswa Perguruan Tinggi Kedokteran. Soetanti
bukanlah orang biasa, karena masih keturunan ningrat Mangkunegaran. Kakeknya pernah menjadi Bupati Tuban dan bapaknya
seorang kepala polisi di Semarang. Sekolah Soetanti dibiayai oleh R.M.
Soesalit, anak kandung R.A Kartini yang masih kerabat ayahnya. Mereka akhirnya
menikah di Solo. Setelah menikah, Aidit aktif di partai dan Soetanti membuka
praktek dokter. Soetanti adalah dokter Indonesia pertama yang menguasai
akupuntur. Pernikahan ini membuahkan 5 anak : Ibraruri Putra Alam, Ilya Aidit,
Iwan Aidit, dan si kembar Ilham-Irfan Aidit.
Setelah
gerakan Madiun gagal dengan meninggalnya tokoh-tokoh senior seperti Muso, Amir
Syarifudin, & Maruto Darusman, Aidit membangun PKI bersama kawan-kawan
mudanya. Tokoh-tokoh tua disingkirkan, dan diganti dengan tokoh-tokoh muda yang
tak kalah militan. Hingga muncullah Thre
Musketeers di PKI: Dipa Nusantara Aidit, Mohammad Hakim Lukman, dan Njoto. Dibawah
pimpinan 3 orang muda ini PKI menjadi partai keempat terbesar pada pemilu 1955.
Aidit dengan background lambang PKI
Juli
1965, seiring dengan merebaknya kabar kesehatan Presiden Sukarno yang semakin
menurun, suhu politik semakin panas. Seiring itu pula merebak rumor tentang
Dewan Jendral yang berusaha untuk merebut kekuasaan dari tangan Presiden
Sukarno. Aidit termakan rumor tersebut. Sebelum didahului, ia memilih untuk
mendahului mengantam Dewan Jendral. Masalahnya, PKI tak punya kekuatan
bersenjata. Akhirnya, melalui orang kepercayaannya di Biro Chusus (sebuah
oraganisasi rahasia di luar struktur organisasi resmi PKI, yang dikendalikan
sepenuhnya oleh Aidit), Sjam Kamaruzamman, ia menyusun rencana penculikan
tokoh-tokoh Dewan Jendral. Sebenarnya targetnya ada 10 orang: Nasution, Yani,
Suprapto, Haryono, Parman, Panjaitan, Sutoyo, Sukendro, Chairul Saleh, dan
Mohammad Hatta. Soekendro batal diculik karena saat itu sedang mengikuti acara
di Peking, begitu juga Chairul Saleh. Nama Hatta akhirnya dicoret karena
pertimbangan cerdik Aidit. Supaya terlihat operasi militer dalam ruang lingkup
internal Angkatan Darat, maka target semuanya adalah tokoh militer dari
Angkatan Darat.
Dibawah
pimpinan Letkol Untung Sjamsuri & Brigjen Mustafa Sjarif Supardjo gerakan
ini dilaksanakan. Hasilnya, Nasution lolos, dan semua target lain terbunuh.
Ironisnya, gerakan ini gagal di hari pertama, walaupun mereka sempat menguasai
RRI dan kantor telekomunikasi. Aidit sendiri akhirnya buron, meninggalkan
Jakarta menuju Yogyakarta, dan akhirnya tiba di Solo. Dalam pelariannya di
Solo, Aidit tertangkap di daerah Sambeng, dekat Stasiun Solo Balapan oleh
pasukan Brigif 4 Kostrad dibawah pimpinan Letkol Yasir Hadibroto.
Aidit tertangkap di Sambeng, Solo
Aidit
kemudian ditahan di Loji Gandrung (kini rumah dinas Walikota Solo). Aidit
sebenarnya minta dipertemukan dengan Presiden Sukarno, tetapi Yasir menolak.
Yasir kuatir Aidit akan memutarbalikkan fakta. Keesokan paginya, Yasir membawa
Aidit meninggalkan Solo menuju ke arah Semarang dengan tiga jip, dengan Aidit
bersama Yasir di mobil terakhir. Sampai di Boyolali, mobil Yasir membelok ke
markas Batalyon 444 (sekarang menjadi kompleks Kodim Boyolali). Kepada Mayor
Trisno, komandan batalion Yasir bertanya “ada sumur?”. Mayor Trisno pun
menunjuk ke sebuah sumur tua di belakang rumahnya. Yasir membawa Aidit kesana
dan mempersilakan Aidit mengucapkan pesan terakhir, tetapi Aidit malah
berpidato berapi-api. Akhirnya dengan senapan Kalashnikov Yasir memberondong
Aidit hingga habis peluru 1 magasen. Dan Aidit pun masuk ke sumur di komplek
tersebut. “Makam” Aidit sekarang terletak di sekitar bangunan Bank Jateng,
bersebelahan dengan Kodim Boyolali.
Yasir Hadibroto (kanan)
24
November 1965, Yasir bertemu Suharto di Gedung Agung Yogyakarta. Setelah
melaporkan pekerjaannya, termasuk keputusannya membunuh Aidit, Yasir
memberanikan diri bertanya pada Suharto: “Apakah yang Bapak maksudkan dengan
bereskan itu seperti sekarang ini Pak?”. Dan Suharto pun tersenyum.
Sepenginggal
Aidit, keluarganya pun terpencar-pencar. Soetanti menghilang dengan
meninggalkan tiga anak lelakinya yang masih kecil. Belakangan diketahui, Tanti
menyusul ke Boyolali, tetapi tidak berhasil menemui suaminya. Soetanti sendiri
akhirnya ditangkap dan berpindah dari satu penjara ke penjara lainnya hingga
tahun 1980. Anak-anak Aidit pun terpencar. Ibraruri dan Ilya yang saat itu
disekolahkan di Moskow, tidak dapat kembali ke Indonesia. Iwan, Ilham, dan
Irfan diasuh oleh saudara Soetanti, Johanes Mulyana di Bandung. Suatu hari
datang tentara dengan senjata terkokang menemui Mulyana, mereka diperintahakan
untuk mengamankan anak Aidit. Mereka
bertanya kepada Mulyana, apa benar dia memelihara anak-anak Aidit, dan Mulyana
pun membenarkan. Saat itu Iwan sedang keluar, yang di rumah hanya si kembar
Ilham-Irfan yang sedang bermain kelereng. Setelah tentara tahu bahwa target
mereka ternyata hanya anak-anak kecil, mereka akhirnya mengurungkan niatnya,
dan selamatlah jiwa anak-anak itu. Iwan melanjutkan pendidikan di ITB, dan saat
ini menjadi warga negara Kanada. Ilham sekolah di SMA Kanisius Jakarta dan
Universitas Parahyangan, sekarang menjadi arsitek. Irfan sempat belajar di
fakultas kedokteran, dan saat ini menetap di Cimahi. Soetanti sendiri meninggal
tahun 1991. Ilham melukiskan momen itu, “ Saat ibu meninggal, orang kampung
melayat sambil membawa ayam dan kelapa”.
· Untung Sjamsuri
Pria berbadan gempal dengan postur
tidak begitu tinggi itu terlahir dengan nama Koesman di Desa Sruni,
Kedungbajul, Kebumen pada tanggal 3 Juni 1926. Koesman kemudian diangkat anak
oleh pamannya, Sjamsuri, dan pindah ke Solo. Sjamsuri, paman Koesman, bekerja
sebagai buruh batik di Kampung Keparen, Jayengan, Solo (sekarang letaknya di
sebelah selatan Pasar Singosaren, yang oleh warga sekitar lebih dikenal dengan
nama “Matahari Singosaren”). Di kampungnya, Koesman gemar bermain bola dan
tergabung menjadi anggota Keparen Voetball Club.
Kampung Keparen, tempat Koesman kecil dibesarkan
Pendidikan Koesman hanyalah di Sekolah Dagang di daerah Ketelan Solo, tetapi itu pun tidak selesai karena Jepang keburu datang dan sekolahnya dibubarkan. Koesman kemudian bergabung dengan Heiho, tentara sukarelawan bentukan Jepang. Heiho tidak sementereng PETA, karena tugasnya hanya membantu tentara Jepang di medan perang, tetapi tidak mengoperasikan senjata, maka Heiho sering disebut tentara kuli. Selepas proklamasi kemerdekaan, Koesman bergabung dalam dinas ketentaraan, menjadi anggota batalyon Sudigdo, dan berdinas di daerah Wonogiri. Akhir 1948, ketika gerakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) di bawah pimpinan Musso dan Amir Syarifudin melawan pemerintah RI, Koesman ikut menyeberang ke Madiun dan bergabung dengan FDR, walaupun saat itu batalyonnya sudah digeser oleh Komandan Brigade, Letkol Ignatius Slamet Riyadi, ke arah Gunung Merbabu, jauh dari Madiun. Ia sempat tertangkap, tetapi kemudian dilepaskan karena Belanda datang menggempur Yogyakarta, ibukota Indonesia, sehingga para tawanan dibebaskan dan disatukan untuk melawan Belanda.
Setelah dilepaskan, Koesman kembali ke dunia ketentaraan dan mengganti identitasnya. Namanya sekarang berganti menjadi Untung Sjamsuri. Ia sempat bertugas di Resimen 15 Solo, dan akhirnya bergabung di Batalyon 454 Kodam Diponegoro yang lebih dikenal dengan nama “Banteng Raiders”. Di Banteng Raiders, karir Untung melesat cemerlang. Ia pernah ditugaskan dalam operasi penumpasan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Batusangkar, Sumatra Barat pada tahun 1950-an. Pada tahun 1962, Untung yang saat itu sudah berpangkat Kapten menjadi Komandan Batalyon 454. Bersama batalyonnya, Untung diterjunkan dalam operasi jayawijaya, komando mandala perebutan Irian Barat pimpinan Mayjen Suharto.
Suharto saat menjabat panglima Komando Mandala
Ia memimpin pasukan serigala yang diterjunkan di daerah Sorong. Saat operasi jayawijaya, ada 2 perwira yang terkenal, Kapten Benny Moerdani dari RPKAD yang memimpin pasukan naga mendarat di Merauke, dan Kapten Untung Sjamsuri dari Banteng Raiders yang memimpin pasukan serigala yang diterjunkan di Sorong. Tugas mereka berhasil dan Irian Barat tetap menjadi bagian dalam koridor NKRI.
Selepas dari Irian, Untung, Benny, dan pasukannya mendapatkan penghargaan khusus dari Presiden Sukarno. Mereka mendapat Bintang Sakti, penghargaan tertinggi bagi prajurit Angkatan Darat, dan pangkat mereka dinaikkan satu tingkat, Untung dan Benny mendapat pangkat mayor. Dalam sambutannya, presiden Sukarno memberikan pidato penuh puji-pujian. Bunga mawar tidak pernah mempropagandakan harum semerbaknya. Dengan sendirinya harum semerbak itu tersebar di sekelilingnya. Pahlawan sejati tidak membanggakan diri.
Untung Sjamsuri (kanan) bersama Benny Murdani (memakai baret)
Dalam biografi Benny Moerdani
dituliskan, bahwa pada tahun 1965, Bung Karno memanggil dirinya. Bung Karno
berencana untuk mengangkat Benny menjadi Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan
Resimen Tjakrabirawa, menggantikan Letkol Ali Ebram. Benny, perwira muda dengan
latar belakang keluarga terpandang dan intelektual yang lebih dari cukup,
dengan segala keberanian, menyampaikan penolakannya. Bung Karno awalnya sempat
tersinggung, tetapi akhirnya mampu memahami penjelasan Benny. Akhirnya pilihan
jatuh kepada Mayor Untung. Walaupun latar belakang keluarganya bukan orang
terpandang, dan intelektualitasnya biasa-biasa saja, tetapi sosoknya terkenal
sebagai perwira lapangan yang berani.
Untung Sjamsuri, Komandan Batalyon 454 Banteng Raiders
Untung juga punya kedekatan dengan
Suharto. Selepas Madiun Affair,
Untung yang kembali berdinas dengan identitas baru bertugas di Resimen 15 Solo,
dimana Komandannya saat itu adalah Suharto. Saat Komando Mandala, panglimanya
kebetulan juga Suharto. Ketika Untung menikah di Kebumen, sebuah tempat
terpencil (saat itu) di ujung selatan Jawa Tengah, Suharto menyempatkan hadir
bersama istrinya. Dan ketika mendengan Untung ditarik ke Tjakrabirawa, Suharto
sempat marah-marah, karena sedianya Untung akan ditarik ke Kostrad.
.
Menjelang G30S, Untung termakan provokasi Sjam Kamaruzaman, orang kepercayaan Aidit yang disusupkan ke militer. Untung akhirnya didapuk menjadi komandan operasi yang bertugas membereskan Dewan Jendral. Mengingat posisinya sebagai anggota Tjakrabirawa, pasukan pengamanan presiden, Untung termakan provokasi bahwa tugas ini adalah untuk menyelamatkan Presiden Sukarno dari tindakan Dewan Jendral yang kontra revolusioner. Untung termakan omongan Sjam, dan seperti kita ketahui, G30S akhirnya berantakan.
Untung kemudian buron. Ia lari ke Jawa Tengah dengan bis malam “mudjur”. Sampai di Tegal, ketika ada pemeriksaan oleh tentara yang marak setelah G30S, Untung yang kuatir identitasnya diketahui memilih untuk lari hingga ia dikejar warga karena dikira copet. Untung, komandan batalyon lintas udara (airborne) dengan pengalaman operasi militer segudang ini ternyata nasibnya tidak beruntung alias tidak mujur. Ia tertangkap dan dihajar warga.
Untung Sjamsuri setelah tertangkap dan sempat dihajar massa
Untung Sjamsuri tertangkap
Untung kemudian ditahan di Cimahi. Selama persidangan, ia tidak menampakkan rasa penyesalannya, karena ia merasa bahwa tugasnya adalah untuk menjamin keselamatan presiden. Walaupun digambarkan sosok yang kejam dan dingin, tetapi sebenarnya ia adalah sosok komandan yang bertanggung jawab. Saat operasi peculikan Dewan Jendral, ada anak buahnya yang salah melepaskan tembakan, Untung menyempatkan untuk menulis permintaan maaf kepada keluarga korban tersebut. Untung sendiri akhirnya dieksekusi pada tahun 1966. Sebelum dieksekusi, kalimat yang terlontar dari mulutnya adalah HIDUP BUNG KARNO ! ! !
Untung Sjamsuri saat diajukan ke pengadilan Mahmilub
·
Suradi Prawirohardjo, Mukidjan bin Sanawi, Gijadi , Surono bin Kartodimejo, Sukardjo, Wisnuradji, Pramuko Sudarmo
Nama-nama
berikut ini tidak banyak orang yang mengenal, karena mereka selama ini ada di
posisi “pemberontak”. Walaupun mereka adalah eksekutor, namun bagaimanapun juga
mereka adalah prajurit, tentara. Apa yang mereka lakukan pada hakekatnya adalah
melaksanakan perintah atasan. Dan fakta yang saya dapatkan, ternyata mereka
berasal dari Solo dan sekitarnya. Tetapi, nasib mereka pun sampai saat ini
masih simpang siur, kemungkinan besar mereka sudah dieksekusi.
Kapten
Suradi Prawirohardjo kelahiran Klaten 4 Juli 1928. Saat G30S terjadi dirinya
menjabat sebagai Pasi I Brigif I Djaja Sakti, anak buah Kolonel Latif (di buku
karangan Julius Pour menuliskan Suradi anggota Batalyon 530 Brawidjaja). Oleh
para pimpinan G30S, Suradi bertugas mempimpin Satgas Bimasakti. Satgas ini
bertugas menjadi pasukan teritorial ketika Satgas Pasopati bertugas menculik
para jendral dari rumah mereka.
Pengangkatan Jenazah korban penculikan G30S
Peltu
Mukidjan bin Sanawi lahir di Boyolali 12 Agustus 1930. Saat Gerakan 30
September meletus, Mukidjan bergabung di Brigif I Djaja Sakti, anak buah
Kolonel Latief. Oleh Komandan Pasukan Pasopati (pasukan penculik Dewan Djendral),
Lettu Doel Arief, Mukidjan mendapat tugas memimpin pasukan menculik target
kakap, Menpangad saat itu, Letjen A.Yani di rumahnya, di ujung Jalan
Lembang-Latuharhary, Menteng.
Serda
Gijadi Kelahiran Solo, 3 Juli 1927. Saat G 30 S meletus, ia bertugas di
Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, anak buah Letkol Untung. Oleh
Doel Arief, ia ditugaskan menjadi anak buah Mukidjan menculik A. Yani. Gijadi
lah yang memberondongkan senapan, hingga pelurunya menembus pintu kaca dan
membunuh A.Yani. saat saya mengunjungi rumah A. Yani yang sekarang menjadi
museum Sasmita Loka, ditunjukkan oleh guide
senapan yang menewaskan A.Yani. Sejauh yang saya tahu, senapan itu adalah
M3 Grease Gun buatan Amerika. Tetapi sang guide
tetap ngotot bahwa senapan itu adalah
Thompson (padahal Thompson dan Grease Gun jelas berbeda). Ada lagi kejanggalan,
kaca di pintu yang diberondong Gijadi seolah-olah disusun lagi dan membentuk
kaca yang pecah oleh peluru. Padahal, jika kita belajar tentang ilmu material,
kaca merupakan material yang getas, kalau patah kemungkinan besar ya hancur dan
susah disusun kembali (apalagi diberondong senapan otomatik dari jarak dekat),
tapi de facto saya menangkap ada
sedikit unsur melebih-lebihkan sekaligus menutup-nutupi di museum itu.
Foto prajurit Tjakrabirawa (kemingkinan dari Batalyon II/ dari KKO AL)
Serma
Surono bin Kartodimejo kelahiran Solo, tahun 1929. Saat peristiwa G30S, dirinya
bertugas di Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, anak buah Letkol
Untung Syamsuri. Surono ditunjuk oleh Doel Arief mempimpin pasukan untuk
menculik Brigjen Sutoyo Siswomiharjo di rumahnya di Jalan Sumenep, Menteng.
Tugasnya berhasil karena Jendral Sutoyo dapat diambil dalam keadaan hidup dan tanpa ada perlawanan yang berarti.
Patung prajurit Tjakrabirawa di Monumen Pancasila Sakti
Menurut seorang narasumber saya yang kebetulan bertetangga dengan keluarga
Surono, Surono asli solo dan tinggal di kawasan Pucangsawit. Bapak dari
narasumber saya tersebut kebetulan juga tentara dan sempat berada dalam pasukan
yang sama dengan Surono, Batalyon 454 Kodam Diponegoro yang lebih dikenal
dengan nama Banteng Raides, bermarkas di Srondol, Semarang. Mereka berpisah
ketika Surono bergabung dengan Untung ke Tjakrabirawa. Anak-anak Surono pun
masih tinggal di Solo. Setelah peristiwa G30S, keluarganya tercerai-berai.
Seperti anak-anak Aidit, anak-anak Surono pun dititipkan ke keluarganya. Dengan
demikian, identitas asli orang tua mereka susah terlacak sehingga beberapa dari
mereka bisa di terima menjadi PNS. Di jaman Suharto, andai saja identitas asli
mereka diketahui, sudah pasti nasib mereka akan berubah, karena dianggap “tidak
bersih lingkungan”.
Penulis Biografi Sukarno, Cindy Adams, berfoto bersama prajurit Tjakrabirawa
Serda
Sukardjo kelahiran Wonogiri, 31 Maret 1928. Tidak jelas dimana tugasnya saat
peristiwa G30S. Di “buku putih” tentang G30S pun rancu. Pada bagian depan ditulis bahwa Sukardjo
merupakan anak buah Kapten Kuntjoro (berarti dari Batalyon 454 Kodam
Diponegoro), tetapi di bagian belakang ditulis bahwa Sukardjo adalah anggota
Brigif I Djaja Sakti (suatu kemustahilan jika pada saat yang bersamaan dia
bertugas di dua tempat berbeda). Tetapi yang pasti, oleh Doel Arief Sukardjo
ditugaskan memimpin pasukan menculik Brigjen D.I Panjaitan. Rumah Panjaitan
saat itu letaknya paling jauh dari central komando (Cenko). Ketika target
jendral-jendral lain rumahnya ada di sekitar daerah Menteng, rumah Panjaitan
terletak di daerah Kebayoran Baru (sekarang dekat Blok M). Penculikan terhadap
Panjaitan bisa dikatakan yang paling brutal. Karena sempat terjadi perlawanan
dari dalam rumah. Panjaitan sendiri akhirnya ditembak di rumahnya. Tak hanya
Panjaitan, 2 keponakannya yang ikut tinggal disana juga terkena tembakan
pasukan Sukardjo.
Mayor
Wisnuradji kelahiran Wonogiri, 9 Agustus 1926. Saat G30S terjadi menjabat
komandan batalion L Kodam Diponegoro yang bermarkas di Kentungan Yogyakarta.
Atas perintahnya, anak buahnya kemudian menjemput Komandan Korem Yogyakarta,
Kolonel Katamso dan Kepala Stafnya, Letkol Sugiyono. Mereka berdua kemudian
dibunuh dan dikuburkan di sekitar markas mereka di daerah Kentungan,
Yogyakarta.
Mayor
KKO Pramuko Sudarmo kelahiran Solo 23 Maret 1933. Saat G30S terjadi menjabat
komandan kesatrian KKO Gunung Sahari. Bisa jadi Pramuko Sudarmo tidak terlibat
dalam G30S. Tetapi KKO adalah salah satu unsur pendukung Sukarno, dan oleh
Suharto mereka dianggap musuh dan dituduh komunis. Oleh orde baru, Pramuko
Sudarmo dituduh sebagai anggota biro chusus pimpinan Sjam Kamaruzamman yang
disusupkan ke dalam Angkatan Laut, khususnya KKO. Pramuko Sudarmo sendiri
akhirnya harus menjalani masa pembuangan di Pulau Buru bersama orang-orang lain
yang dituduh komunis.
·
Mangil Martowidjojo
Selama orde baru berkuasa, tuduhan bahwa Presiden Sukarno terlibat G30S selalu dihembuskan penguasa. Dan sampai Sukarno meninggal tidak ada keputusan resmi pemerintah tentang keterlibatan Sukarno dalam G30S. Orang yang paling dekat dengan Sukarno saat itu justru bukanlah istrinya atau anak-anaknya, tetapi justru seorang yang bernama Mangil Martowidjojo.
Mengil lahir di Wuryantoro Wonogiri pada 23 Agustus 1924. Tahun 1945 ia menjadi anggota polisi istimewa bentukan Jepang, Kesatuan Polisi Istimewa (Tokomu Kosamu Tai), atau yang lebih dikenal dengan nama polisi macan. Mangil tinggal di asrama Jl. Pegangsaan Timur no 45, persis di depan rumah Sukarno. Pada 17 Agustus 1945 Mangil diperintahkan komandannya, Said Sukanto, untuk menjaga Bung Karno, karena akan ada “acara penting”. Dan “acara penting” itu ternyata adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sejak saat itu Mangil selalu ikut mengawal Bung Karno, termasuk saat rapat raksasa di Lapangan Ikada, dan ketika Presiden serta Wakil Presiden pindah ke Yogyakarta.
Pada 19 Desember 1948, tentara Belanda yang terdiri dari prajurit-prajurit Korps Speciale Troepen menyerbu ibukota RI di Yogyakarta. Mereka berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa pejabat penting. Mangil ikut ditawan, tetapi tidak diasingkan seperti pemimpin-pemimpin RI saat itu, ia “hanya” ditahan di penjara Wirogunan Yogyakarta. Setelah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta, ia kembali bertugas mengawal Presiden Sukarno.
Tahun 1950-an dan 1960-an, Mangil menjadi saksi percobaan pembunuhan terhadap Sukarno. Beberapa diantaranya adalah penggranatan Cikini dan Penembakan di sholat Idul Adha. Sukarno selamat. Untuk menjamin keselamatan presiden, dibentuklah pasukan pengamanan, yang bernama Resimen Tjakrabirawa.
Cover Majalah Tjakrabirawa
Lambang Resimen Tjakrabirawa
Baret Tjakrabirawa dan lambang Detasemen Kawal Pribadi
Resimen Tjakrabirawa terdiri dari 4 Batalyon yang diberi nama Batalyon Kawal Kehormatan (KK) dan terdiri dari unsur 4 angkatan. Batalyon I KK diambil dari prajurit raiders Angkatan Darat, batalyon II dari prajurit Korps Komando (KKO) Angkatan Laut, batalyon III dari Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara, dan batalyon IV dari Resimen Pelopor (Menpor) kepolisian. Mangil sendiri tergabung dalam Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Resimen Tjakrabirawa.
Mangil (depan tengah), bersama anggota DKP Tjakrabirawa
Presiden Sukarno dikawal Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, Maulwi Saelan
Saat G30S terjadi, prajurit Tjakrabirawa di bawah pimpinan Untung yang terlibat sebenarnya hanya 100-an orang saja, dari 3.000 prajurit Tjakrabirawa. Tetapi Suharto dan kroninya menuduhkan bahwa Tjakrabirawa lah pelakunya di balik semua ini. Sebuah insiden di bundaran air mancur akhirnya yang memacu Suharto membubarkan Tjakrabirawa.
Konvoi Mobil Kepresidenan Presiden Sukarno
Ketika iring-iringan mobil presiden yang dikawal Mangil hendak melewati bundaran air mancur di dekat monas, mereka dicegat oleh pasukan RPKAD sambil mengacung-acungkan senapan AK-47. Komandan pasukan itu minta rombongan diperiksa. Mangil segera keluar dan melepas kunci senapan AR-15 yang dibawanya. Mangil berkata bahwa rombongan ini adalah rombongan presiden Sukarno. Kapten RPKAD tersebut ngotot bahwa rombongan tetap harus diperiksa.
Pasukan Tjakrabirawa bersenjatakan senapan serbu AR-15
Akhirnya Mangil
mempersilahkan untuk memeriksa, dengan catatan sebelum memeriksa kalian (RPKAD)
harus kami tembak. Akhirnya rombongan dipersilahkan lewat tanpa diperiksa.
Namun seminggu sesudahnya, Tjarabirawa dibubarkan Suharto. Mangil sendiri
akhirnya ditahan tahun 1968 dan baru dibebaskan tahun 1971 tanpa pernah
disidang sama sekali. Ketika bebas, seketika itu pula ia dipensiunkan. Mangil
wafat pada tahun 1996.
Mangil (kiri) masih mengawal Bung Karno setelah Tjakrabirawa dibubarkan· Suharto
Sebuah
analisa mengatakan, bisa jadi, Suharto adalah tokoh kunci dalam peristiwa G30S.
Tokoh kunci disini belum tentu bahwa dialah dalang dari peristiwa G30S, tetapi
dialah orang yang mendapatkan informasi paling banyak dan lengkap tentang
peristiwa tersebut. Oleh karena itu, dia pulalah yang dapat menentukan strategi
yang paling tepat untuk memukul pasukan G30S, sampai akhirnya melebar dan melakukan pembunuhan massal,
bahkan memukul dan menjatuhkan
Presiden Sukarno.
Suharto
lahir di Yogyakarta, 8 Juni 1921 (ulang
tahunnya hanya berselisih 2 hari dengan Sukarno). Masa kecilnya dilalui dengan
masa yang sulit sekaligus muram, karena keluarganya broken home. Bapak-ibunya bercerai dan kemudian bapaknya kawin lagi
(dari perkawinan ini lahirlah Probosutedjo). Pengalaman traumatik ini mungkin
yang membuat Suharto ketika dewasa menjadi pengalaman untuk mengarungi
perjalanan hidup berkeluarga. Suharto terkenal dengan sosoknya yang family man (hingga tak
tanggung-tanggung, anaknya pun dijadikan menteri, tanpa melihat latar belakang
pendidikan dan kompetensinya). Istrinya, Siti Hartinah masih keturunan ningrat
Mangkunegaran. Sebuah fakta unik saya temukan di sini, bahwa istri-istri dari
Aidit, Suharto, dan Njoto, semuanya masih keturunan ningrat mangkunegaran
(secara tak langsung mereka sebenarnya masih “bersaudara”).
Awal
karir militer Suharto diawali pada tahun 1940, dimana ia menjadi seorang kopral
KNIL. Pada masa pendudukan Jepang, Suharto bergabung dengan PETA. Dan setelah
kemerdekaan ia bergabung dengan TKR yang kelak berganti nama menjadi TNI. Saat
serbuan Belanda ke Yogya, Suharto menjabat Komandan Brigade X dengan pangkat
Letnan Kolonel dan bertanggung jawab atas daerah Yogya dan sekitarnya.
Pada
masa pemerintahannya sebagai presiden, Suharto membesar-besarkan
kepemimpinannya saat terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949. Jika dilogika, saat
sebelum serangan umum tersebut, Suharto dan pasukannya berada di hutan. Jaman
itu belum ada radio transistor dengan baterei, bagaimana mungkin ia bisa
menerima kabar dari luar di tengah hutan dengan segala keterbatasannya. Lagi pula,
Suharto tidak dikenal fasih berbahasa Inggris. Kemungkinan yang paling logis,
serangan itu digagas oleh Sultan Hamengkubuwono IX, dan Suharto menjadi
komandan operasinya.
Memasuki
jaman tenang, Suharto sempat memimpin pasukan untuk menumpas gerakan separatis
di Sulawesi Selatan. Kemudian ia menjadi komandan Resimen 15 (sekarang
setingkat Korem) dengan markasnya di Kleco, Solo. Kemungkinan dari sinilah
terjadi perkenalan antara Suharto dengan Untung Sjamsuri. Dari Solo, Suharto
kemudian menjadi Pangdam Diponegoro dengan pangkat Kolonel. Pada saat ini, ia
terkenal karena kasus penyelundupan dan kerjasamanya dengan Liem Soe Liong
(Sudomo Salim), yang kelak menjadi besannya. Para personil di Markas Besar
Angkatan Darat (MBAD) yang mengetahui kejadian ini murka. Jendral Nasution
sempat nyaris memecatnya. Dan secara kebetulan, para perwira yang murka kepada
Suharto tersebut kelak termasuk dalam anggota “Dewan Djendral”. Suharto
kemudian dicopot dari jabatannya dan “dijinakkan” dengan cara disekolahkan di
Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, sekarang bernama Seskoad).
Suharto (kanan) semasa menjadi Pangdam Diponegoro
Selepas
dari SSKAD, Suharto dipindahkan ke Kostrad (Komando Tjadangan Strategis
Angkatan Darat). Pada masa itu, jabatan sebagai panglima KOSTRAD termasuk
kategori kurang bergengsi, karena membawahi “pasukan cadangan”. Meskipun jumlah
personilnya cukup banyak, tetapi di markas besarnya tidak tersedia pasukan yang
cukup dan combat ready, karena
pasukan-pasukan tersebut tersebar di seluruh Indonesia, dan jika suatu saat
dibutuhkan siap dipanggil. Pada masa ini, presiden Sukarno menunjuknya sebagai Panglima Komando Mandala
dalam perebutan Irian Barat. Dan tugas ini pun dapat dilaksanakannya dengan
baik.
Menjelang
G30S, posisi Suharto sebagai Pangkostrad termasuk kurang diperhitungkan dan tidak
termasuk dalam kategori “Dewan Djendral”, walaupun pangkatnya saat itu sudah
Mayor Jendral. Semua anggota Dewan Djendral adalah anggota Staf Umum Angkatan
Darat (SUAD), dimana Suharto tidak termasuk di dalamnya. Oleh para penggerak
G30S, keberadaan Suharto dianggap cukup potensial, karena ia memiliki pasukan
dalam jumlah banyak, dan secara kebetulan, Suharto baru saja mengirim radiogram
kepada batalyon-batalyon KOSTRAD di daerah; Batalyon 530 Brawidjaja, Batalyon
454 Diponegoro, dan Batalyon 328 Siliwangi untuk datang ke Jakarta pada akhir
September 1965, dalam rangka peringatan hari ABRI ke 20 pada 5 Oktober 1965. Yang
menganehkan, dalam radiogram tersebut, seluruh pasukan diminta hadir ke Jakarta dengan perlengkapan
tempur garis pertama, peluru tajam, dan pakaian ganti untuk 2 minggu, kecuali
Batalyon 328 Siliwangi.
Ada
dugaan, Suharto sudah menyiapkan operasi tersebut. Pasukan G30S, pada 30
September 1965 malam, diwakili oleh Kolonel Abdul Latief (anak buah Suharto di
Yogya) melaporkan bahwa mereka akan bergerak pada 1 Oktober dinihari. Suharto
hanya menanyakan, siapa yang bertugas menjemput, dan Latief menjawab akan
dijemput oleh pasukan Tjakrabirawa. Setelah itu Latief pamit. Suharto yang
mengetahui informasi ini hanya mendiamkan saja, bahkan tidak berusaha
melaporkan kejadian tersebut pada atasannya langsung, Letnan Jendral A. Yani,
yang juga termasuk dalam daftar Dewan Djendral.
Ketika
peristiwa penculikan terjadi, seharusnya Suharto tidak kaget, karena malam
sebelumnya ia sudah dilapori Latief. Bahkan Suharto sudah mengirimkan
utusannya, Kolonel Yoga Sugama, untuk menemui Kepala Dinas Intelejan AD, Mayor
Jendral S. Parman, memberitahukan bahwa akan ada penculikan terhadap sejumlah
jendral SUAD. Jendral Parman hanya menjawab, jika informasi hanya dari 1
sumber, berarti itu belum valid. Dari sini Suharto tahu, bahwa para target
belum mengetahui rencana gerakan. Bagaimanapun ia akan tetap pada posisi
sebagai pemenang. Jika saja Jendral Parman cs selamat, ia akan mendapat
penghargaan, karena sudah memberi early
warning. Tetapi jika mereka terbunuh, Suharto mempunyai kesempatan untuk menggebuk pasukan G30S. Dan akhirnya
kemungkinan kedua yang terjadi.
Berhubung
ia tidak mempunyai pasukan, ia kemudian memanggil RPKAD di bawah pimpinan
Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Ia menunggu semua pasukan siap, dan baru pada
malamnya ia perintahkan merebut gedung RRI dan telekomunikasi. Setelah itu, ia
perintahkan RPKAD menyerbu Halim. Berhubung ialah yang paling banyak
mengumpulkan informasi, maka ialah yang paling siap untuk menentukan keputusan
yang paling matang, hingga akhirnya para korban Dewan Djendral tadi diketemukan
jenazahnya.
Suharto bersama Sarwo Edhie Wibowo
Dengan
meninggalnya para perwira tinggi AD, Suharto berada di atas angin, karena tidak
mempunyai pesaing lagi. Secara perlahan, ia merangkak
untuk merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno. Dan ini terbukti, ia akhirnya
bisa menjadi presiden, setelah berhasil “menumpas PKI” dengan cara pembunuhan
massal terhadap “orang-orang komunis” atau mereka yang “diindikasikan sebagai
komunis”.
Suharto bersama Komandan Tjakrabirawa, Moh Sabur
Setelah
berkuasa, orang-orang yang dulu pernah berjasa membantunya ke puncak kekuasaan
mulai dilupakan. Sebagian dibuang ke tempat yang jauh dari Jakarta, atau
di-dubes-kan ke luar negeri. Ia berkuasa 32 tahun dan akhirnya membawa
Indonesia sebagai negara kulit, karena dari luar kelihatan baik-baik saja,
tetapi di dalamnya penuh kebusukan.
Suharto (kiri) saat menjabat sebagai Menpangad
Jika
para diktaktor seperti Muamar Khadafi atau Husni Mubarak harus menerima nasib
buruk setelah kekuasaannya berakhir, Suharto masih lebih beruntung. Ia tidak
pernah diseret ke meja hijau, dan masih sempat mendapat perawatan yang sangat
layak (jauh sekali jika dibandingkan dengan perlakuan kepada Sukarno setelah
tidak menjadi presiden). The Smilling
General yang sangat njawani ini
(di depan tampak tersenyum lebar, tetapi di punggungnya sudah ada senjata
terkokang, siap tembak untuk menghabisi lawannya) akhirnya wafat pada 27
Januari 2008 di Jakarta.
Suharto dan Siti Hartinah
Keluarganya memilih untuk tidak memakamkannya di Taman
Makam Pahlawan (bisa jadi ini adalah pengakuan keluarga yang “tidak sengaja”,
bahwa Suharto memang bukanlah seorang pahlawan), dan ia pun dimakamkan di
sebelah istrinya di Giribangun, Matesih, Karanganyar.
· Chalimi Imam Santoso
Nama
Chalimi Iman Santoso, yang lebih beken disebut C.I. Santoso, melejit setelah
Mayor Benny Murdani (yang notabene
orang Solo juga) dipindahkan dari RPKAD ke Kostrad oleh Menpangad Letjen
A.Yani. Karena terlalu berani mengkritik
atasannya di RPKAD, Kolonel Moeng Parhadimulyo, Benny dipindahkan ke Kostrad.
Jabatan Benny sebagai komandan Batalyon II RPKAD kemudian diserahkan kepada
C.I. Santoso. Sebenarnya Benny dan Santoso adalah kawan seperjuangan. Di masa
remaja mereka bergabung dalam Tentara Pelajar di Solo, anak buah Mayor Ahmadi.
Setelah perang melawan Belanda selesai, Benny dan Santoso melanjutkan pendidikan
di SPI (Sekolah Pelatih Infanteri) di Cimahi.
Chalimi Imam Santoso
Cimahi saat itu masuk dalam
Kesatuan Komando (Kesko) Tentara Teritorium III/ Siliwangi dimana Alex Evert
Kawilarang menjadi panglimanya. Alex kemudian memunculkan ide membentuk pasukan
komando, sebagian personelnya diambil dari lulusan SPI. Pasukan tersebut
akhirnya berkembang menjadi Korps Komando Angkatan Darat (KKAD), Resimen
Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), dan tahun 1960-an menjadi Resiman Para
Komando Angkatan Darat (RPKAD). Santoso dan Benny terus berada dalam lingkaran
RPKAD sampai akhirnya berpisah setelah Benny dipindah ke Kostrad.
Saat G30S terjadi, Mayor C.I.
Santoso menjadi Komandan Batalyon I RPKAD. Oleh atasannya, Kolonel Sarwo Edhie
Wibowo, pasukannya mendapat tugas merebut kantor RRI & Telkom yang sempat
dikuasai pasukan Dewan Revolusi.
Suharto dan C.I Santoso
Tugas ini berhasil dijalankan dengan baik. Dan
setelah selesai tugas selanjutnya adalah merebut Pangkalan Halim Perdanakusuma.
Sampai akhirnya jenasah korban G30S ditemukan.
Foto prajurit RPKAD tahun 1965, jaket loreng darah mengalir dipadu celana hijau
Setelah peristiwa G30S selesai,
nama Santoso mulai tenggelam perlahan-lahan. Sempat menjadi Komandan Korem di
kota kelahirannya, Solo, kemudian menjadi Pangdam Udayana di Bali, dan Pangdam
di Irian. Nama Santoso mulai dijauhkan dari lingkaran kekuasaan di Jakarta sampai
wafatnya.
·
Omar Dani
& Sri Muljono Herlambang
Omar
Dani dan Sri Muljono Herlambang merupakan dua toko yang menarik. Keduanya
sama-sama berasal dari Solo, keduanya sama-sama merintis karir sebagai
penerbang, keduanya sama-sama pernah menjadi pimpinan tertinggi di Angkatan
Udara, Menpangau (sekarang KSAU), keduanya sama-sama pernah ditahan atas
perintah Suharto, dan keduanya sama-sama mengalami rasanya bebas dari tahanan
(walaupun tidak bebas bersama-sama).
Bangsa
ini tidak fair menghargai para
pendahulunya. Di Museum Dirgantara Yogyakarta saat masa orde baru (tidak tahu
sekarang apakah masih sama), terpampang foto Daftar KSAU dari masa ke masa.
Lucunya, setelah foto KSAU pertama, di sebelahnya ada pigura kosong, dan di
sebelah pigura kosong tersebut dipampang foto KSAU ketiga. Pigura kosong
tersebut seharusnya berisi foto Omar Dani. Omar Dani (saat itu) dianggap
menjadi aib, sehingga fotonya pun tidak pantas dipasangkan.
Omar Dani dalam pangkat Laksamana Madya Udara, Menpangau
Omar
Dani lahir di Solo, 23 Januari 1924. Omar Dani terlahir sebagai anak dari
keluarga terpandang. Saat ia lahir, ayahnya adalah Asisten Wedana di
Gondangwinangun, Klaten, maka ia pun mempunyai kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan yang layak pada jaman itu. Ia sempat bersekolah di HIS Klaten, Christelijke
MULO di Solo (sekarang mungkin komplek SMP & SMK Kristen di Banjarsari,
Solo), kemudian AMS B di Yogyakarta, tetapi tidak selesai karena kedatangan
Jepang. Kemudian ia bersekolah di Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Manahan Solo
(kemungkinan sekarang menjadi daerah komplek sekolah di Manahan Solo dengan bangunan
SMA 4 & SMK 2 menjadi pusatnya). Ia pernah menjadi penyiar radio dalam
siaran berbahasa Inggris di RRI Solo yang dipimpin Maladi (pernah menjabat
menteri penerangan dan namanya sekarang diabadikan untuk nama Stadion di Solo,
menggantikan nama Stadion Sriwedari). Ia juga sempat menjadi informan di
Jakarta bagi MBT (Markas Besar Tentara) sambil nyambi bekerja, karena saat itu pososinya sebagai informan, yang
setara dengan sukarelawan.
Tahun
1950, Omar Dani mendaftar di Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) yang saat itu
berada di Jalan Merdeka Barat (sebelum dipindah ke Tanah Abang). Kemudian
setelah diterima sebagai anggota AU, ia dikirimkan sebagai kadet penerbang ke
sekolah penerbang TALOA Amerika Serikat bersama rekan-rekannya seperti Ignatius
Dewanto, Sri Muljono Herlambang, Leo Wattimena, dan Wisnu Djajengminardo. Dari sana karirnya sebagai penerbang melesat
bak pesawat tempur.
Tahun
1962, ketika terjadi peristiwa Laut Aru yang mengakibatkan gugurnya deputi
KSAL, Yosaphat Sudarso, muncul suara miring yang memojokkan AURI, mengapa
mereka tidak mengirimkan bantuan udara. Hal ini mengakibatkan KSAU saat itu,
Surjadi Surjadarma mengundurkan diri sebagai KSAU. Posisinya kemudian
digantikan oleh Omar Dani. Dalam 12 tahun masa dinasnya, ia sudah menjadi orang
nomor satu di AURI. Saat itu kekuatan udara Indonesia menjadi salah satu yang
ditakuti di Asia dengan pesawat-pesawat Uni Soviet yang terkenal hebat daya
hajarnya.
Omar
Dani adalah loyalis Sukarno. Peristiwa G30S yang melibatkan sejumlah prajurit
AU menjadi alasan bagi Suharto untuk mendepak Omar Dani dan menuduhnya terlibat
G30S. Sukarno berusaha melindungi dengan mencopotnya “sementara”, dan
menugaskannya ke Kamboja. Sukarno paham, bahwa sasaran Suharto cs adalah
dirinya, Omar Dani adalah sasaran semu, maka ia bermaksud menyelamatkannya. Tetapi
darah ningrat Omar Dani menurunkan jiwa ksatria. Ia memilih kembali ke
Indonesia, walaupun ia tahu, ia pasti akah dipenjara. Dan benar saja, Omar Dani
dipenjara, disidang, dan divonis mati pada malam Natal 24 Desember 1966, dengan
tuduhan makar. Ia baru dibebaskan pada tahun 1995, setelah hampir 30 tahun
dipenjara. Omar Dani akhirnya bisa berkumpul dengan keluarganya kembali, sampai
wafatnya pada 24 Juli 2009.
Sri
Muljono Herlambang adalah pilot seangkatan Omar Dani, kelahiran Solo, 9
November 1930. Ia mengawali karir militernya saat revolusi fisik sebagai
pengawal Letkol Ignatius Slamet Riyadi, dan kemudian menjadi penerbang AU
seangkatan dengan Omar Dani.
Sri Muljono Herlambang (kiri) bersama Wisnu Djajengminardo (tengah) Komandan Halim
Saat G30S meletus, jabatannya adalah menteri
negara, yang artinya ia sudah tidak lagi ngurusi
Angkatan Udara, walaupun masih terdaftar sebagai anggota Angkatan Udara.
Saat G30S terjadi, ia sedang berada di Medan, bersama rombongan kabinet yang
dipimpin Dr Subandrio, Waperdam I, dimana wakil PKI Njoto juga termasuk di
dalamnya. Setelah mendengar kabar dari Jakarta, ia memutuskan kembali. Di atas
Tebet, pesawatnya sempat ditembaki, namun akhirnya selamat juga dan mendarat di
Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma. Saat penyerbuan RPKAD ke Halim yang
akhirnya dapat berjalan damai, walaupun sempat terjadi kontak senjata, Sri
Muljono lah saat itu anggota AURI dengan pangkat tertinggi, hal ini yang
mengakibatkan rasa curiga pihak Suharto.
Saat
Omar Dani dicopot “sementara” oleh Presiden Sukarno, penggantinya adalah Sri
Muljono Herlambang. Tetapi pilihan Sukarno ini ternyata tidak didukung sebagian
anggota AURI. Namanya dipersoalkan karena selama ini ia lebih banyak bertugas
di lingkungan istana, sehingga “kebersihan” dirinya diragukan. Dimasa transisi
ini, polemik di lingkungan AURI justru semakin tidak karuan, terlebih lagi oleh
intervensi Angkatan Darat, termasuk dikirimnya panser KOSTRAD untuk mengepung
markas AURI. Sri Muljono akhirnya mengundurkan diri pada 23 Maret 1966, setelah
itu ia ditahan. Omar Dani sempat berjumpa dengannya ketika sama-sama ditahan di
Inrehab Nirbaya, walaupun hanya dalam bentuk lambaian tangan. Jabatannya
dipreteli dan ia dijadikan tahanan militer, walaupun kemudian dibebaskan.
Selepas dari penjara, ia kemudian menjadi pengusaha. Dan Sri Muljono wafat di
Jakarta pada 21 Mei 2007. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata dengan Upacara
Militer.
Sri Muljono Herlambang di masa tuanya
· Njoto
Pria
bernama singkat ini terlahir dengan nama yang bagus, Kusumo Digdoyo, yang
berarti bunga yang bertuah. Pria kelahiran Jember, 17 Januari 1927 ini lebih
suka dipanggul Njoto, yang artinya nyata, sejati, dan tidak pura-pura. Njoto
terlahir dari keluarga priyayi blasteran
Solo-Jember. Bapaknya, Raden Sosro Hartono masih keturunan ningrat Solo,
sedangkan ibunya, Masalmah, asli Jember. Raden Sosro Hartono adalah seorang
pengusaha yang mempunyai toko Yosobusono, berjualan blangkon dan jamu.
Masa
kecil Njoto termasuk beruntung dibandingkan dengan anak-anak seumurannya.
Kondisi keluarganya yang berkecukupan memungkinkan Njoto mendapatkan pendidikan
yang layak pada jaman itu. Selain itu, Njoto juga gemar berolah fisik. Bermain
sepatu roda dan sepak bola merupakan beberapa kegiatan yang digemarinya. Sejak
kecil, Njoto sudah tidak menyukai struktur sosial yang bertingkat dan cenderung
kaku, inilah yang menjadi benih-benih simpatinya pada komunisme. Ia kurang
nyaman menyaksikan suasana feodal Jawa saat Hari Raya Idul Fitri. Ketika sanak
kerabat dan para pegawai sowan ke rumah Pak Raden di Bondowoso, Njoto memilih cabut dari rumah, bersepeda, dan nongkrong di permandian umum Tasnan.
Bapak
Njoto bukan orang sembarangan, selain sebagai pengusaha, ia juga termasuk
anggota pergerakan. Rekan-rekannya adalah kaum aktivis yang pernah dibuang
Belanda di Digul, Papua. Oleh anak-anaknya, rekan-rekan itu dipanggil Om Digul. Selepas kemerdekaan, aktivitas
pergerakannya tidak berkurang, hingga pemerintah Belanda menangkapnya. Sosro
Hartono kemudian dipenjara di Bondowoso, tetapi kemudian dipindahkan dengan
kereta ke penjara Kalisosok, Surabaya. Pemindahan tahanan dengan kereta tanpa
ventilasi selama 15 jam inilah yang kemudian terkenal dengan nama “gerbong
maut”. Sosro Hartono selamat sampai Surabaya, tetapi kondisinya sangat lemah,
dan akhirnya wafat di rumah sakit tanpa didampingi anak-anaknya.
Selepas
HIS, Njoto melanjutkan pendidikan di MULO Jember. Namun karena Jepang datang,
sekolah ini kemudian ditutup. Oleh ayahnya, Njoto kemudian melanjutkan
pendidikan di Solo, dan tinggal di rumah keluarga dari pihak ayah, di kampung
Kemlayan Solo. Di Solo, Njoto terkenal pintar bergaul. Bakatnya di bidang
tulis-menulis juga lebih terkenal daripada di olahraga. Tulisannya saat itu
termasuk berani dan pemikirannya out of
the box. Ketika rekan-rekan yang lain membuat karangan dengan tema
biasa-biasa saja, Njoto malah membuat karangan tentang penjudi sepakbola yang
kecewa, dan karangan ini dibacakan guru di depan kelas.
Foto Njoto dalam suasana informal
Njoto
juga gemar bermusik. Ia piawai memainkan beberapa alat musik. Salah satu
lagunya berjudul Wanita Asia, yang memuji ketegaran para wanita Asia dan
menyanjung kebesaran Jepang melibas Belanda. Lagu ini sempat direkam dalam
piringan hitam, namun setelah Jepang hengkang, lagu ini dilarang.
Njoto
gemar membaca sejak muda, bahkan buku-buku dalam bahasa asing. Ia kemudian menceburkan diri dalam dunia politik
pada usia yang masih muda, walaupun secara sembunyi-sembunyi karena tidak
bercerita kepada keluarganya. Hingga akhirnya terdengar kabar ia sudah menjadi anggota
KNIP, wakil dari PKI Banyuwangi, pada usia 16 tahun ! Walaupun PKI sempat
digoyang dengan Madiun Affair pada
1948, ia bersama rekan-rekan mudanya, D.N. Aidit dan M.H Lukman, membangun
kembali PKI menjadi partai yang militan, sehingga meraih suara terbanyak
keempat pada pemilu 1955. Kehilangan tokoh-tokohnya yang dieksekusi justru
membuat para pemimpin muda ini matang karena pengalaman, karena tidak ada
tempat untuk bertanya, membuat mereka berguru pada pengalaman.
Njoto (kanan) bersama D.N Aidit
Dalam
kehidupan asmaranya, Njoto diperkenalkan pada seorang gadis yang masih
keturunan nigrat Mangkunegaran. Gadis itu bernama Sutarni, dan mereka
berkenalan di Desa Palur (daerah ini tempat saya kecil dan dibesarkan). Mereka
kemudian menikah di Solo dan dikaruniai 7 anak; Svetlana Dayani, Ilham Dayawan,
Timur , Risalina Dayana, Irina Dayasih , Fidelia Dayatun, dan Esti Dayati.
Setiap anaknya diberi nama “Daya”, yang merupakan nama kecil Njoto, Kusumo
Digdoyo.
Njoto bersama keluarga
Sutarni, istri Njoto di hari tuanya
Njoto
menampilkan sosok komunis yang berbeda. Sementara banyak tokoh komunis
cenderung kaku, ia tampil sebaliknya. Ia seorang komunis, tetapi tidak anti
agama. Ia pernah mengusahakan seseorang untuk dapat naik haji, padahal ketika
itu setiap orang yang berduit belum tentu bisa naik haji. Ia juga pandai
bermain musik, berolahraga, dan gampang bergaul. Sosoknya yang demikian membuat
ia mudah dekat dengan orang lain, termasuk Presiden Sukarno himself. Dalam beberapa hal, ia mirip
Sukarno. Sukarno juga sempat memintanya menjadi penulis pidato dalam rangka
peringatan hari kemerdekaan RI. Pidato presiden pada 17 Agustus 1965 yang
berjudul “Tjapailah Bintang-Bintang di
Langit” merupakan karya Njoto.
Saat
G30S terjadi, Njoto ikut rombongan kabinet mengunjungi Sumatra Utara. Kemudian
ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan sempat mengikuti sidang kabinet yang
dipimpin Presiden Sukarno. Setelah itu ia menghilang tak diketahui rimbanya,
kemungkinan besar ia dibunuh. Dan sejak saat itu keluarganya melalui hari-hari
panjang yang berat dan berliku. Sutarni ditahan bertahun-tahun, dan
anak-anaknya terpencar, dititipkan kepada saudara-saudaranya. Sekarang mereka
berkumpul kembali, minus sang ayah. Namun semangat Njoto tetap meletup-letup,
semangat muda dan militan, yang benar-benar nyata.
· Hartono
Walaupun
tak terlibat langsung di sekitar peristiwa Dewan Jendral, nama Hartono adalah
salah satu korban pembersihan oleh
Suharto dan Orde baru. Kesalahan Hartono sebenarnya satu (dari sudut pandang
orde baru), yaitu loyalis Sukarno. Dan inilah yang menjadi alasan mengapa
sosoknya harus disingkirkan.
Hartono
lahir di Solo, 1 Oktober 1927. Menurut putrinya, Mbak Nenny Hartono, yang saya
kenal secara tidak sengaja lewat facebook,
ayahnya asli Solo, dari daerah Margorejo (setahu saja, daerah Margorejo di Solo
itu terletak di sebelah timur Stasiun Solo Balapan). Hartono lahir dari
keluarga priyayi, sehingga mendapat pendidikan yang cukup layak pada jamannya,
dari HIS, MULO, SMP, STM, dan Sekolah Pelayaran Tinggi (bisa jadi seangkatan
dengan Slamet Riyadi, karena Slamet Riyadi juga pernah menempuh pendidikan
pelayaran bersama beberapa rekan-rekan dari Solo, dan mengingat Slamet Riyadi
juga kelahiran tahun 1927, bisa jadi ia adalah rekan Hartono). Dari biografi
Slamet Riyadi yang pernah mendapatkan pendidikan AL bersama beberapa rekan dari
Solo, maka tak heran jika banyak tokoh AL, khususnya dari KKO, yang berasal
dari Solo, walaupun sebenarnya Solo bukanlah daerah di maritim. Yang sudah
pasti adalah Suyoto (teman masa kecil Hartinah Suharto, yang akhirnya mengikuti
jejak Slamet Riyadi di AD). Beberapa kawan lainnya bisa jadi adalah Hartono (kelak menjabat
Panglima KKO), Saminu (kelak menjabat Komandan Batalyon II Tjakrabirawa, dari
KKO AL), dan Pramuko Sudarmo (kelak menjabat Komandan Kesatrian KKO Gunung
Sahari).
Karirnya
melesat cemerlang. Tanggal 15 November 1961 Hartono diangkat menjadi panglima
pasukan komando angkatan laut (KKO AL). Selepas
G30S, berbagai pihak, khususnya pihak Suharto, terus memojokkan Sukarno. Letjen
KKO Hartono dan pasukannya terkenal menjadi loyalis Sukarno, yang membela
Sukarno mati-matian. Kalimat bersayap yang terkenal yang pernah diucapkan
Letjen KKO Hartono untuk menunjukkan loyalitasnya adalah “Hitam Komando Bung Karno, Hitam tindakan KKO. Putih Komando Bung Karno,
Putih tindakan KKO. Pasukan KKO tetap kompak dan akan selalu berdiri di
belakang Bung Karno”.
Hartono (kiri) bersama Sofjan Wanandi (Lim Bian Koen)
Hartono
sebenarnya sudah menyiapkan 30 ribu pasukan tempur untuk menaklukkan jakarta
yang dikuasai Kostrad. Selain itu AU sudah siap membantu, tetapi Presiden
Sukarno tidak pernah mengeluarkan komando yang mereka tunggu-tunggu tersebut. KKO
juga secara provokatif pada hari ulang tahun Bung Karno, 6 Juni 1966 mengadakan
konvoi berkeliling Surabaya dengan pasukan sepanjang 30 kilometer. Saat
melewati depan rumah dinas Pangdam Brawijaya mereka berteriak-teriak “Bung
Karno jaya...Bung Karno jaya”. Hartono juga menugaskan 2 batalyon KKO
mendirikan pos taktis di Yogya yang dikuasai Kostrad dan RPKAD, sebuah
tantangan terbuka untuk Suharto.
Perintah Harian Letjen KKO Hartono
15
Maret 1966, Dubes AS untuk Indonesia, Marshall Green mengirim laporan rahasia
ke washington. Isinya menyatakan bahwa Suharto berharap Menpangal Martadinata,
Panglima KKO Hartono, dan Menpangak Sutjipto akan dipinggirkan, selambat-lambatnya pada sidang istimewa MPRS. Ramalan
Marshal Green menjadi kenyataan. Martadinata didubeskan ke Pakistan, Hartono ke
Korea Utara, dan Sutjipto ke Jerman Barat.
Pada
Desember 1970, Hartono bertemu Muljadi, mantan KSAL pengganti Martadinata yang
kemudian juga di-dubeskan. Mereka membicarakan operasi lumba-lumba, sebuah
operasi intelejen yang bertujuan untuk membersihkan AL dari tokoh-tokoh pro
Sukarno dengan tuduhan “komunis”. Hartono kemudian tiba di Jakarta dan sejak
itu jadwalnya selalu penuh, menemui penguasa-penguasa seperti Maraden
Panggabean, Sumitro, Ali Murtopo, Yoga Sugama, Sutopo Juwono, dan Sudomo, dan
tak lupa juga Suharto di rumahnya di Jalan Cendana. Tak lupa, Hartono
menunjukkan tiket “kepulangannya” ke Pyongyang, 6 Januari 1971 jam 09.55 dengan
pesawat MSA dari Kemayoran.
Menjelang
kepulangannya, ibunda Hartono melihat anaknya sedang berbincang-bincang dengan
2 orang tamu berbaret biru. Tak lama kemudian terdengar suara kaca pecah.
Ibunya lari ke depan dan yang ditemuinya Hartono terduduk di kursi bersimbah
darah di belakang kepala, di sampingnya kaca jendela pecah berantakan terkena
tembakan, dan kedua tamunya sudah tidak ada disitu.
Jenazah
Hartono oleh polisi militer kemudian diangkut ke RSPAD. Menjelang siang,
jenazahnya dibawa kembali ke rumah, dalam sebuah peti jenazah yang tidak boleh
dibuka. Hari itu juga Letjen KKO Hartono dimakamkan di TMP Kalibata dalam
upacara militer, dengan komandan upacara Kolonel KKO Bambang Widjanarko (ayah
artis Inggrid Widjanarko) dan inspektur upacara Laksamana Madya Sudomo. Yang
perlu diketahui, Bambang Widjanarko dan Sudomo adalah “orang-orangnya Suharto”.
Letjen KKO Hartono dan keluarganya
Istri
Hartono, Ny Grace Barbara Walandouw, tiba bersama keempat puterinya yang masih
kecil beberapa hari sesudahnya. Saat tiba, Ny Grace mengenakan baju hitam dan
membalut lehernya dengan selendang phasmia
warna ungu, warna kebanggaan KKO. Kedatangannya ke Jakarta ternyata menjadi
awal masa-masa sulit bagi keluarganya. Tidak pernah ada visum dan akte atas
kematian Letjen Hartono. Meski dimakamkan di Kalibata, sosoknya menjadi The Man Who Never Was. Semua data
mengenai dirinya tidak dapat diperoleh dan gambar Hartono diturunkan dari Mabes
AL dan semua markas KKO.
AL
dan KKO menutup diri, dan bahkan tidak pernah memberikan bantuan. Bahkan rumah
yang ditinggali yang menurut pesan almarhum sudah dibayar, disita oleh negara.
Ny Grace dan keempat anaknya terpaksa meninggalkan rumah tersebut dan kemudian
menyewa satu kamar, hidup berdesak-desakan tanpa mempunyai penghasilan tetap.
Tinggal tersuruk jauh dalam kampung di wilayah Pamulang, Tangerang Selatan.
Sejak
awal kematiannya, sudah timbul kontroversi. Muncul pertanyaan, jika bunuh diri,
apakah perlu menembak kaca dahulu untuk mencoba tembakan pistolnya baru
kemudian bunuh diri. Kemudian juga, mengapa jenazah langsung dibawa ke RSPAD,
bukan ke RSPAL yang jauh lebih dekat letaknya dari rumah, dan mengingat bahwa
Hartono adalah anggota TNI AL aktif. Termasuk juga mengapa barang-barang
pribadi disita dan juga tidak diberikan akte kematian
Menurut
versi pemerintah, Hartono meninggal
karena pendarahan otak. Titik. Ini merupakan keterangan resmi pemerintah dan
sudah tidak akan ada penjelasan-penjelasan lain. Ny Grace pernah mengajukan untuk bisa ikut
membeli rumah di kompleks AL bersama Ny Martadinata dan Ny Muljadi. Permintaan
janda Martadinata dan Muljadi dikabulkan pemerintah, sementara permintaan Ny
Grace, jangankan ditolak, dijawab saja tidak pernah.
Ketika
tahun 2004 Trans TV menayangkan program Lacak,
mempersoalkan tentang kematian Hartono, mantan Gubernur Jakarta, Letjen KKO Ali
Sadikin menyatakan bahwa ia mendapat informasi, Hartono dibunuh akibat
konspirasi tingkat tinggi. Beberapa hari setelah acara tersebut, Ny Grace
mendapat telepon dari TNI AL, yang menyatakan bahwa TNI AL bersedia menyediakan
sejumlah dana untuk pembelian rumah guna membantu keluarga almarhum. Ny Grace
menjawab bahwa keluarga sudah menemukan rumah dengan 4 kamar seharga 300 juta
rupiah. Beberapa hari kemudian jawaban keluar, harganya terlalu tinggi melebihi
jatah yang dianggarkan. Akhirnya keluarga setuju dengan rumah berkamar 2 dan 1
kamar mandi, seharga 100 juta, tinggal dengan 2 anak dan 2 cucu.
Tanggal
8 Februari 2008, Mayjen Marinir Nono Sampono mengundang Ny Grace Hartono.
Ternyata hari itu Ny. Grace diundang untuk meresmikan penggantian nama Kesatrian Marinir Cilandak menjadi Kesatrian Marinir Hartono. Air mata Ny.
Grace menetes, mengingat jejak perjuangan almarhum suaminya. Ny Grace berbisik,
“Hartono, sejak hari ini, meski terlambat
hampir empat puluh tahun, kehormatanmu telah dikorbankan”. Ny Grace juga
tidak lupa kata-kata seorang cucunya, Alesandro, yang setiap kali diajak
berziarah ke Kalibata selalu memeluk nisan Hartono sambil berkata, “Opa sepuh, kalau sudah besar, aku harus jadi
Marinir, menegakkan kebenaran dan keadilan..”
Berdasarkan
diskusi saya via dunia maya dengan beberapa rekan, Mas Benny Antares, Mas Dondi
Agung Pramono, Mas Budi Nurtjahjo Djarot, dan Om Peter Apolonius Rohi
menyimpulkan sebuah pembicaraan yang menarik. Mas Benny, Mas Dondi, dan Mas Bud
adalah putra prajurit KKO/Marinir, sedangkan Om (atau mungkin lebih pas disebut
opa) Peter Rohi adalah mantan prajurit KKO yang memilih keluar ketika KKO
dikecilkan personilnya oleh Suharto, dan diganti namanya menjadi Marinir, dan
lambang keris samudra KKO diganti jangkar yang lebih mirip ke USMC. Om Peter
kemudian menjadi wartawan yang vokal terhadap Suharto, sampai pernah diberi
paket berisi kepala manusia. Dari pembicaraan itu mas Benny menyimpulkan, bahwa
“dihidupkannya kembali Hartono dengan penamaan Hartono sebagai nama sebuah
tempat kesatrian, menunjukkan ungkapan maaf dari TNI AL, dan secara tidak
langsung, pengakuan Hartono sebagai tokoh yang berjasa (dan mungkin juga
sebagai pahlawan) bagi keluarga besar KKO/ Marinir. Jika demikian, secara tidak
langsung dapat ditarik sebuah kesimpulan, terhadap penyebab kematian Letjen KKO
Hartono, yang namanya diabadaikan sebagai “pahlawan”, tidak pernah ada pahlawan
yang mati bunuh diri.
· Utomo Ramelan , Rewang , Suadi , Ahmadi , Sudigdo
Tokoh-tokoh
berikut ini sebenarnya adalah korban dari provokasi Jendral Suharto yang
membabi-buta memukul orang-orang yang dituduh “kiri”. Sebagaian dari mereka
memang orang “kiri”, tetapi sebagian pula hanyalah pengikut setia Presiden
Sukarno.
Utomo
Ramelan kelahiran Solo tahun 1919. Dirinya masih bersaudara kandung dengan
Utari Suryadarma, istri KSAU pertama Suryadi Suryadarma. Saat G30S terjadi
Utomo Ramelan adalah Walikota Solo yang berasal dari PKI.
Utari Suryadarma (kiri), dalam pakaian sukarelawan menjelang Dwikora
Menurut salah satu
nara sumber saya, gebrakannya saat itu termasuk revolusioner, salah satunya
adalah mendirikan lokalisasi dan merelokasi para PSK di sebuah lokalisasi yang
terkenal dengan nama Silir. Ketika G30S meletus, Utomo mendukung Dewan
Revolusi.
Selebaran yang berisi dukungan kepada G30S di Solo
Saat G30S berhasil dipadamkan dan tentara bergerak menuju Solo, Utomo
Ramelan diciduk. Menurut nara sumber saya, saat itu ia melihat, ketika para
tahanan PKI diikat, dan dibariskan oleh tentara (mungkin menuju tempat
eksekusi), Utomo Ramelan diperlakukan lain. Dirinya diikat dan dimasukkan ke
dalam kandang semacam kandang hewan di kebun binatang. Nasibnya tak jelas,
kemungkinan besar dieksekusi. Setelah era Utomo Ramelan, dan Suharto berkuasa.
Walikota Solo tidak pernah dijabat oleh orang partai, selalu merupakan “orang
pusat”. Setelah Suharto lengser, barulah Walikota Solo dijabat kembali oleh
orang partai, dan sampai saat ini selalu dari PDIP. Dimulai oleh Slamet
Suryanto, dilanjutkan oleh Joko Widodo, dan sekarang ini FX Hadi Rudyatmo.
Rewang
merupakan salah satu tokoh PKI, tepatnya anggota Politbiro CC PKI. Pria
kelahiran Solo tahun 1928 ini sempat melarikan diri ke Blitar, tertangkap, dan akhirnya
divonis seumur hidup. Ia menjalani masa tahanan, salah satunya bersama Kolonel
Latif. Tahun 1991 Rewang dibebaskan. Hal inilah yang membuat Kolonel Latif
sempat protes.
Rewang (paling kiri)
Alasannya sederhana, jika menurut pemerintah (saat itu) G30S
didalangi oleh PKI, mengapa Rewang yang jelas-jelas tokoh PKI dibebaskan,
sedangkan Latif yang merupakan prajurit dan tidak bergabung dengan PKI, justru
tidak dibebaskan. Dan faktanya Kolonel Latif baru dibebaskan setelah Suharto
turun. Rewang sendiri akhirnya kembali ke kota kelahirannya, Solo, sampai wafat
di RS PKU Muhammadiyah Solo pada 30 Oktober 2011.
Pemakaman Rewang
Suadi
Suromiharjo adalah salah satu jendral asal Solo. Namanya terkenal semenjak
perang kemerdekaan dan memimpin pasukan Resimen 26 TRI, kemudian menjadi
Komandan Brigade V Komando Pertempuran Panembahan Senopati (KPPS) pimpinan
Kolonel Sutarto. Setelah Kolonel Sutarto ditembak mati di depan rumahnya
(tuduhan saat itu pelakunya mengarah ke pasukan Siliwangi yang hijrah ke Solo),
Suadi mengambil alih pimpinan KPPS. Saat peristiwa Madiun 1948 Suadi termasuk
yang bersimpati kepada FDR hingga membuat Jendral Sudirman kuatir. Sudirman
kemudian mengutus Suharto dan Slamet Riyadi untuk memanggil Suadi “pulang” dan
kemudian mengangkatnya sebagai pengawalnya. Di beberapa foto Sudirman tampak
Suadi (dan Supardjo Rustam) selalu berdiri di dekatnya sambil menenteng
senapang M1 Carbine.
Dari kiri ke kanan: Suadi (membawa senapan), Sudirman, Suharto, Supardjo Rustam
Saat G30S terjadi dan setelahnya, Suadi terkenal pro
Sukarno dan sempat menjabat sebagai duta besar di Ethiopia. Menjelang
Supersemar, Suadi pula lah yang mengabarkan kepada Sukarno bahwa ada pasukan
liar yang hendak menyerbu istana saat sidang kabinet berlangsung. Surat ini
ditulis tangan dengan bahasa Jawa halus (kromo
inggil) ketika Suadi berdinas di SUAD. Saat Suharto berkuasa, Suadi sempat
menjadi Komandan Pasukan Garuda I di Kongo, duta besar Australia, dan terakhir
sebagai Gubernur Lemhanas. Walaupun tidak cocok dengan Suharto, Suadi tidak
dipenjara karena faktor kedekatannya dengan almarhum jenderal Sudirman dan bawahannya yang menjadi pejabat Orde
Baru, yaitu Letjen Tjokropranolo dan Letjen Supardjo Rustam.
Dari kiri ke kanan: Slamet Riyadi, Suharto, Suadi, Sarbini, Gatot Subroto, Bachrun, A.Yani
Nama
Ahmadi sudah terkenal di Solo sejak perang kemerdekaan. Bersama Slamet Riyadi,
mereka terkenal sebagai 2 pemimpin pemuda militan, yang menggerakkan para
pemuda untuk melawan Belanda. Ahmadi menjadi orang kepercayaan Presiden
Sukarno, dan saat G30S meletus pangkatnya mayor jendral dengan jabatan menteri
penerangan. Saat Suharto berkuasa, Ahmadi termasuk dalam menteri yang ikut
“dibersihkan” dan ditahan. Tetapi kemudian dibebaskan. Walaupun pernah dicap
“komunis” tetapi orang Solo tidak pernah melupakan jasa-jasanya. Pada tahun
2000-an dibangunlah Monumen Mayor Ahmadi (pangkat Ahmadi ketika memimpin
Tentara Pelajar di Solo) dengan patung dirinya membawa buku dengan pistol di
pinggang.
Ahmadi (kanan) bersama Slamet Riyadi
Sudigdo,
tokoh ini adalah atasan Untung Syamsuri saat Peristiwa Madiun berlangsung. Pada
tahun 1948 Sudigdo merupakan anak buah Suadi di Brigade V KPPS, menjabat
sebagai komandan batalyon yang bertugas di wilayah Wonogiri. Di dalam
batalyonnya itulah ada seorang sersan mayor yang bernama Koesman. Saat
Peristiwa Madiun, batalyon ini menyeberang ke Madiun dan bergabung dengan FDR
melawan pemerintah RI. Mereka sempat tertangkap, tetapi kemudian dibebaskan
lagi, karena Belanda melancarkan agresi militer II ke Yogya. Seluruh kekuatan
nasional harus digabungkan melawan Belanda, maka Sudigdo dan anak buahnya
kemudian dilepas. Koesman akhirnya berganti nama menjadi Untung Syamsuri,
sedangkan Sudigdo melanjutkan karirnya sebagai prajurit di lingkungan Kodam
Diponegoro. Setelah meletus G30S, Sudigdo yang saat itu sudah berpangkat
kolonel diciduk dan dituduh terlibat. Dirinya sempat ditahan di Inrehab Nirbaya
bersama Omar Dani, dan setelah itu tidak diketahui nasibnya.
Referensi
Anwar, Rosihan. (2007). Sukarno, Tentara, PKI.
Jakarta: Obor.
Atmojo, Heru. (2004). Gerakan 30 September: Kesaksian Letkol (Pnb) Heru
Atmodjo. Jakarta: Hasta Mitra Pustaka.
Conboy, Ken. (2003). Kopassus: Inside Indonesia Special Forces.
Jakarta: Equinox.
Dani, Omar. (2001). Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku.
Jakarta: ISAI.
Luhulima, James. (2007). Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965.
Jakarta: Kompas.
Matanasi, Petrik. (2011). Hantu Laut: KKO-Marinir Indonesia.
Yogyakarta: Matapadi.
Matanasi, Petrik. (2012). Sang Komandan. Yogyakarta: Trompet.
Matanasi, Petrik. (2012). Untung, Cakrabirawa, dan G30S.
Yogyakarta: Trompet.
Panjaitan, Sintong. (2009). Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.
Jakarta: Kompas.
Pour,
Julius. (2007). Benny; Tragedi Seorang Loyalis. Jakarta: Kata Mitra
Pustaka.
Pour,Julius. (2009). Doorstoot Naar Djokdja. Jakarta: Kompas
Pour, Julius. (2013). G30S; Fakta atau Rekayasa? Jakarta: Kata
Mitra Pustaka.
Pour, Julius. (2010). Gerakan 30 September; Pelaku, Pahlawan, &
Petualang, . Jakarta: Kompas.
Pour, Julius. (2008). Ignatius Slamet Riyadi, dari Mengusir Kenpetai
sampai Menumpas RMS. Jakarta: Gramedia.
Rossa, John. (2008). Dalih Pembunuhan Massal. Jakarta: Hasta Mitra
Pustaka.
Sekretariat Negara Republik Indonesia.(1994). Gerakan 30 September/PKI.
Jakarta: Setneg RI.
TEMPO.
(2010). Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
TEMPO. (2010). Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara . Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
TEMPO. (2010). Sjam: Lelaki dengan 5 Nama Alias . Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Saturday, 8 July 2017
Rezim Kristen Fitnah Ummat Islam Sebagai Islam Radikal yang Hancurkan NKRI?
http://cahyono-adi.blogspot.co.id/2017/07/indonesian-free-press-tulisan-berikut.html#.WZ5-3bgXFJk
Indonesian Free Press -- Tulisan berikut ini dicopas dari Fanpage
Pendukung Setia Prabowo Subianto (PSPS). Tidak perlu dipercaya
sepenuhnya, namun perlu untuk menjadi bahan renungan dan kajian tentang
yang terjadi di negeri ini dan masa depan anak cucu kita kelak.
----
Ada Jendral yg atur negara ini:
1. Luhut atur pemerintahan. The Real President
2. Gories Mere atur Polri. Tangkapi ulama
3. Lumintang atur Kopassus Salib. Bisa jadi Teror Sniper oleh pasukan Teror Salibis ini
4. Hendro P dan anaknya Diaz atur Intelijen negara
1. Luhut atur pemerintahan. The Real President
2. Gories Mere atur Polri. Tangkapi ulama
3. Lumintang atur Kopassus Salib. Bisa jadi Teror Sniper oleh pasukan Teror Salibis ini
4. Hendro P dan anaknya Diaz atur Intelijen negara
Jenderal Salibis ini didukung Gereja, 9 Naga, CSIS, dan Media Kompas, Detik, dan MetroTivu
Jenderal itu difasilitasi bisnis puluhan trilyun oleh para naga.
Luhut punya 16 perusahaan senilai lebih dari rp 16 trilyun yg di antaranya di bidang batubata.
Gories dan Hendro juga begitu.
Dgn uang itu mereka kuasai jenderal2 di Polri dan TNI yg aktif.
Jenderal itu difasilitasi bisnis puluhan trilyun oleh para naga.
Luhut punya 16 perusahaan senilai lebih dari rp 16 trilyun yg di antaranya di bidang batubata.
Gories dan Hendro juga begitu.
Dgn uang itu mereka kuasai jenderal2 di Polri dan TNI yg aktif.
9 Naga yang mendukungnya adalah Agung Podomoro, Tomi Winata (SCBD),
James Riady (Lippo), Salim (BCA dan Indofood), Robert Budi Hartono
(Rokok Djarum), Tahir, Sofjan Wanandi, Jacob Soetojo (CSIS), Edward
Soeryadjaya.
Di bawah Rezim Kristen ini, ummat Islam ditindas. Dicap sebagai Islam
Radikal yang mau menghancurkan NKRI. Ulama diusulkan harus pakai
sertifikat. Para pengurus masjid diberi edaran oleh polisi bahwa untuk
mengadakan pengajian harus mengajukan Izin Keramaian dsb. Kebebasan
berpendapat dibelenggu. Jika ummat Islam berdemo hingga lewat jam 6
sore, langsung mereka bubarkan dan diserang dgn gas air mata. Tapi jika
orang Kristen yang demo, meski larut malam menyalakan lilin mereka
biarkan.
Soeharto yang hutangnya sedikit (Rp 1200 trilyun) selama 32 tahun dan
rakyatnya makmur, sembako dan PTN murah serta mudah cari kerja, mereka
cap sebagai korup.
Sementara Rezim Kristen yang hutangnya Rp 1700 trilyun dalam waktu
2,5 tahun dan rakyatnya melarat, sembako, listrik, dan BBM mahal, mereka
bilang sebagai bersih. Tidak korup. Padahal semua proyek dikerjakan
oleh Cina dan pekerja Cina serta dikelola dan dikuasai Cina. Mereka
antek Penjajah Cina (9 Naga).
Siapa Saja 9 Naga?
1. SOFJAN WANANDI
Sofjan Wanandi dikenal
dekat dengan Jusuf Kalla. Tidak heran karena keduanya sudah kenal baik
sejak lama. Bahkan, seorang petinggi PDIP mengaku Sofjan sudah sejak
lama melobi Megawati untuk memasangkan Kalla dengan Jokowi. Sejak tahun
2013, Sofjan di berbagai kesempatan menyatakan bakal mengeluarkan Rp 2
triliun bila sekondanya, Jusuf Kalla, dipasangkan dengan Jokowi. Sofjan
sendiri tercatat memiliki kekayaan lebih dari Rp 3 triliun. Sofjan kini
memimpin Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).
2. TAHIR
Tahir tak lain ipar James Riady. Rosy Riady, isteri
Tahir, adalah putri dari Mochtar Riady. Majalah Forbes menyebut,
kekayaan Tahir per Maret 2013 sekitar US$ 2 miliar. Dia berada di
peringkat ketujuh orang terkaya di Indonesia. Tahir sukses dengan Grup
Mayapada.
3. RUSDI KIRANA
Rusdi Kirana bersama kakaknya, KUSNAN KIRANA,
tercatat sebagai orang kaya ke-29 menurut majalah Forbes pada November
2013. Keduanya sukses mendirikan maskapai penerbangan Lion Air, Wings
Air, dan Batik Air. Dengan kekayaan yang mencapai US$ 1 miliar, Rusdi
bergabung dengan tim pemenangan Jokowi-JK sebagai anggota Dewan
Pengarah.
4. JACOB SOETOYO
Direktur PT Gesit Sarana Perkasa ini mempunyai
jaringan yang kuat untuk lobi-lobi internasional. Jacob, yang juga
menjadi Dewan Pengawas Center of Strategic and International Studies
(CSIS), menyediakan rumahnya di Permata Hijau untuk pertemuan Jokowi
dengan perwakilan asing di Jakarta, antara lain dengan Dubes Amerika
Serikat (AS) Robert O’ Blacke, Duta Besar Myanmar, Meksiko, Turki,
Norwegia dan Vatikan. Sebelumnya, Jacob juga sudah memfasilitasi
pertemuan antara Jokowi dengan mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir
Mohammad di rumah Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
5. JAMES RIYADI alias Li Bái
adalah seorang misionaris Kristen
fundamentalis. Ia pernah terlibat dalam kasus sponsorship pemilihan
presiden Amerika Serikat yang memenangkan Bill Clinton. James Riyadi
merupakan bos Group Lippo yang menguasai bermain di pasar perbankan,
properti, dan rumah sakit. Ia menjadi pendukung Joko Widodo sejak
pemilihan gubernur Jakarta. Namun, ia ditengarai bersaing pengaruh pada
Jokowi dengan Jacob Soetoyo yang Katolik.
6. ANTHONY SALIM alias Liem Hong Sien
merupakan salah satu orang
yang masuk ke dalam 10 Tokoh Bisnis yang paling berpengaruh pada tahun
2005 oleh Warta Ekonomi. Predikat itu diberikan karena dirinya berhasil
membangun kembali Group Salim yang saat itu mengalami kegagalan yang
diakibatkan oleh krisis ekonomi tahun 1998. Saat krisis 1988 Salim Group
banyak mempunyai hutang hingga mencapai 55 Trilyun rupiah. Anthony
Salim yang memegang kekuasaan pada Salim Group akhirnya harus melunasi
hutangnya dengan cara menjual beberapa perusahaan yang dimilikinya yaitu
PT Indocement Tunggal Perkasa, PT BCA, dan PT Indomobil Sukses
Internasional. Meskipun demikian, Anthony Salim masih mempunyai beberapa
perusahaan besar yang tidak dia jual. Perusahaan tersebut antara lain
adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk dan PT Bogasari Flour Mills. Kedua
perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil mie instant dan tepung
terigu terbesar di dunia.
7. TOMMY WINATA
Tommy Winata merupakan pemilik Grup Artha Graha
atau Artha Graha Network. Usahanya terutama bergerak dalam bidang
perbankan, properti dan infrastruktur. Disamping usaha bidang komersiil,
TW juga dikenal sebagai pendiri Artha Graha Peduli, sebuah Yayasan
sosial, kemanusiaan dan lingkungan yang sering turun membantu masyarakat
di banyak daerah di Indonesia. Sesaat setelah Jokowi melantik menteri,
Tommy Winata terlihat dekat dengan Menteri Susi Pudjiastuti.
8. EDWARD SOERYADJAYA alias Tjia Han Pun
adalah pemilik Ortus
Group, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang otomotif. Hubungan
antara Edward dengan Jokowi sangat dekat, apalagi Edward pernah
mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat besar dari koceknya sendiri
untuk proyek monorel. Ortus Group juga bahkan tengah dalam proses untuk
mengakuisisi saham PT JM hingga 90% atau mayoritas.
9. ROBERT BUDI HARTONO alias Oei Hwie Tjhong
adalah pemilik
perusahaan rokok Djarum. Saat ini ada sebuah tren baru di dunia maju
untuk menekan industri rokok. Baik iklan maupun sponsor rokok pada
sejumlah kegiatan mulai dibatasi. Misalnya, Marlboro yang pasarnya di
Amerika mulai mendapat tekanan sehingga mencari pasar baru, salah satu
lahan basah tersebut adalah Indonesia. Inilah sebabnya Robert Budi
Hartono mendukung Jokowi untuk mengamankan bisnis dan pasarnya di
Indonesia. (sed)
Utang Riba Negara Tak kan Dapat Makmurkan Rakyat Indonesia
http://www.tribunislam.com/2017/08/ada-riba-hutang-negara-tidak-akan-pernah-dapat-memakmurkan-rakyat-indonesia.html#more
Jangan mudah percaya pernyataan pemerintah yang menyatakan hutang negara dapat membuat sejahtera rakyatnya. Justru malah sebaliknya karena dapat membuat susah negara dan tentunya rakyat sendiri.
“Utang luar negeri Indonesia tidak mungkin memakmurkan rakyat. Utang itu riba/rentenir yang menyusahkan negara dan rakyat Indonesia,” tulis MS Ka’ban dalam melalui akun media sosial Twitter, Selasa (22/8).
Menurut Ka’ban, hutang negara yang terus membengkak sekarang ini akan menjadi senjata makan tuan apabila utang yang banyak itu tidak dapat dibayar.
“Besar pasak daripada tiang itu hampir sama dengan utang luar negeri lebih besar dari kemampuan bayar. Ini isyarat kebangkrutan. Piye iki Pak Presiden? Tega?,” tulis Ka’ban melanjutkan
Menurut Ka’ban, seorang pemimpin bukan malah membuat rakyatnya susah, dan membuat negara malah makin susah untuk berdiri dan berkembang.
“Apalah arti jika jadi pemimpin/Presiden kalau rakyat makin susah dan utang luar negeri semakin bejibun,” pungkas Ka’ban. [www.tribunislam.com]
Sumber : eramuslim.com