Khalifah Umat Islam Adalah Ahlul Bait
Posted on Mei 25, 2008 by secondprince
https://secondprince.wordpress.com/2008/05/25/khalifah-umat-islam-adalah-ahlul-bait/
Masalah Kekhalifahan adalah masalah yang sangat penting dalam Islam.
Masalah ini adalah dasar penting dalam penerapan kehidupan keislaman,
setidaknya begitu yang saya tahu :mrgreen:
. Kata Khalifah sendiri menyiratkan makna yang beragam, bisa sesuatu
dimana yang lain tunduk kepadanya, sesuatu yang menjadi panutan, sesuatu
yang layak diikuti, sesuatu yang menjadi pemimpin, sesuatu yang
memiliki kekuasaan dan mungkin masih ada banyak lagi ;)
Saat Sang Rasulullah SAW yang mulia masih hidup maka tidak ada alasan
untuk Pribadi Selain Beliau SAW untuk menjadi khalifah bagi umat Islam.
Hal ini cukup jelas kiranya karena sebagai sang Utusan Tuhan maka Sang
Rasul SAW lebih layak menjadi seorang Khalifah. Sang Rasul SAW adalah
Pribadi yang Mulia, Pribadi yang selalu dalam kebenaran, dan Pribadi
yang selalu dalam keadilan. Semua ini sudah jelas merupakan konsekuensi dasar yang logis bahwa Sang Rasulullah SAW adalah Khalifah bagi umat Islam.
Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul SAW wafat? siapakah Sang
Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru kekhalifahan itu sendiri
menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa sangat panjang dan bagi
sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan asumsi bahwa kekhalifahan
akan terus ada maka Sang khalifah setelah Rasulullah SAW bisa berupa
- Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW
- Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam
Kedua Premis di atas masih mungkin terjadi dan tulisan ini belum akan
membahas secara rasional premis mana yang benar atau lebih benar.
Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan adanya suatu riwayat dimana Sang
Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis :mrgreen:
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian
dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang
antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak
akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182,
Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa
hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam
Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid
jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga
disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan
beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.)
Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus
menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya
dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan :mrgreen:
Salam Damai
Catatan : Sengaja Metode Penulisan Agak sedikit berbeda, sesuai dengan kebutuhan ;) .Siap-siap menunggu hujatan :mrgreen:
- WordPress.com
- https://secondprince.wordpress.com/2010/05/15/tragedi-kamis-kelabu-mengungkap-kedustaan-salafy/
Posted on Mei 15, 2010 by
secondprince
Tragedi
Kamis Kelabu : Mengungkap Kekeliruan Salafy
Salah
satu situs salafy telah berpanjang lebar membahas tentang “Tragedi Kamis
Kelabu”. Setelah kami baca maka kami dapati bahwa apa yang ia tulis adalah
pembahasan liar yang tidak objektif dan hanya bertujuan membantah setiap apa
yang dikatakan Syiah. Begitu bersemangatnya situs itu menulis bantahan terhadap
Syiah sehingga ia terjerumus ke dalam kedustaan [yang mungkin ia sadari atau
mungkin juga tidak]. Pembahasan yang kami tulis ini tidak dalam rangka membela
apa yang menjadi hujjah Syiah melainkan untuk meluruskan kedustaan [yang
selanjutnya akan kami sebut dengan kekeliruan] atau talbis yang terdapat dalam
pembahasan situs salafy tersebut.
Kekeliruan
pertama situs tersebut adalah perkataannya bahwa Nabi SAW pingsan atau tidak
sadarkan diri dalam “tragedi kamis kelabu”. Berikut perkataan keliru yang ia
tulis
Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta kertas dan tinta untuk menuliskan
(mendiktekan) beberapa nasehat agama bagi kaum muslimin. Tetapi, tiba-tiba
setelah meminta kertas dan tinta, Nabi pingsan dan tidak sadarkan diri. Ketika
Nabi terbaring tidak sadar, seseorang bangkit mengambil kertas dan tinta,
tetapi Umar bin Khattab memanggil kembali orang tersebut. Umar merasa bahwa
mereka seharusnya tidak mengganggu Nabi dengan meminta beliau untuk menuliskan
nasehat, tetapi mereka seharusnya membiarkan beliau untuk mendapatkan kesadaran
beliau kembali, beristirahat, dan menjadi pulih kembali. Oleh karena itu, Umar
berkata kepada kaum Muslimin yang lain : “Nabi sedang sakit parah dan kalian
mempunyai Al-Qur’an, Kitabullah sudah cukup buat kita”.
Bukti
kekeliruan perkataan ini adalah tidak ada satupun riwayat shahih yang
menunjukkan bahwa Nabi SAW tidak sadarkan diri atau pingsan seperti
yang dikatakan penulis tersebut. Bahkan riwayat-riwayat shahih menunjukkan
kalau Nabi SAW benar-benar dalam keadaan sadar.
عن ابن عباس قال لما حضر رسول الله صلى الله عليه و سلم وفي
البيت رجال فيهم عمر ابن الخطاب فقال النبي صلى الله عليه و سلم ( هلم أكتب لكم
كتابا لا تضلون بعده ) فقال عمر إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قد غلب عليه
الوجع وعندكم القرآن حسبنا كتاب الله فاختلف أهل البيت فاختصموا فمنهم من يقول
قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه و سلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول
ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند رسول الله صلى الله عليه و سلم قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم ( قوموا ) قال عبيدالله فكان ابن عباس يقول إن
الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه و سلم وبين أن يكتب لهم ذلك
الكتاب من اختلافهم ولغطهم
Dari
Ibnu Abbas yang berkata “Ketika ajal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
sudah hampir tiba dan di dalam rumah beliau ada beberapa orang diantara mereka
adalah Umar bin Khattab. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “berikan kepadaku, aku akan menuliskan untuk kalian wasiat,
agar kalian tidak sesat setelahnya”. Kemudian Umar berkata “sesungguhnya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dikuasai sakitnya dan di sisi kalian
ada Al-Qur’an, cukuplah untuk kita Kitabullah” kemudian orang-orang di dalam
rumah berselisih pendapat. Sebagian dari mereka berkata, “berikan apa yang
dipinta Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam Agar beliau menuliskan bagi kamu
sesuatu yang menghindarkan kamu dari kesesatan”. Sebagian lainnya mengatakan
sama seperti ucapan Umar. Dan ketika keributan dan pertengkaran makin bertambah
di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata “menyingkirlah
kalian” Ubaidillah berkata Ibnu Abbas selalu berkata “musibah
yang sebenar-benar musibah adalah penghalangan antara Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam dan penulisan wasiat untuk mereka disebabkan keributan
dan perselisihan mereka” [Shahih Muslim no 1637]
ابن عباس رضي الله عنهما يقول يوم الخميس وما يوم الخميس، ثم
بكى حتى بل دمعه الحصى، قلت يا أبا عباس ما يوم الخميس؟ قال اشتد برسول الله صلى
الله عليه وسلم وجعه، فقال (ائتوني بكتف أكتب لكم كتابا لا تضلوا بعده أبدا).
فتنازعوا، ولا ينبغي عند نبي تنازع، فقالوا ما له أهجر استفهموه؟ فقال (ذروني،
فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه)
Ibnu
Abbas RA berkata “hari kamis, tahukah kamu ada apa hari kamis itu?. Ibnu Abbas
menangis hingga air matanya mengalir seperti butiran kerikil. Kami berkata “hai
Abul Abbas ada apa hari kamis?. Ia menjawab “Hari itu sakit Rasulullah SAW
semakin berat, kemudian Beliau SAW bersabda “Berikan
kepadaku kertas, aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian agar kalian tidak
akan tersesat setelahnya selama-lamanya. Kemudian mereka berselisih,
padahal tidak sepantasnya terjadi perselisihan di sisi Nabi. Mereka berkata
“beliau sedang menggigau, tanyakan kembali tentang ucapan beliau tersebut?.
Namun Rasulullah SAW bersabda “Tinggalkanlah aku. Sebab keadaanku lebih baik
daripada apa yang kalian ajak” [Shahih Bukhari no 2997]
Kedua
hadis di atas dan hadis-hadis lainnya membuktikan bahwa Nabi SAW benar-benar
dalam keadaan sadar ketika terjadi peristiwa tersebut. Setelah Nabi SAW meminta
kertas dan terjadi perselisihan diantara sahabat Nabi, Rasulullah SAW saat itu
masih sadar sehingga beliau SAW menyuruh mereka keluar karena tidak
pantas terjadi perselisihan di sisi Nabi SAW. Begitu pula ketika sebagian
sahabat mengatakan Nabi SAW menggigau dan meminta untuk menanyakan kembali
kepada Nabi SAW. Nabi SAW malah menjawab mereka agar mereka menyingkir dan
mengatakan bahwa keadaan Beliau lebih baik dari apa yang mereka serukan.
[Memang perkataan “menggigau” sangat tidak pantas dalam peristiwa ini]
Penulis
yang “aneh” itu malah menghiasi kekeliruannya dengan basa-basi untuk mengecoh
kaum awam. Ia membuat analogi untuk kisah ini yaitu seorang guru yang
tiba-tiba pingsan setelah meminta muridnya agar membawa kapur tulis.
Menurutnya tidak masuk akal ketika guru siuman, sang murid menyodorkan kapur
tulis. Kami katakan bahwa argumen ini jelas argumen yang skizofrenik. Membuat
asumsi sendiri kemudian mencari-cari analogi untuk asumsi yang ia buat sendiri.
Rasulullah SAW memang dalam kondisi sakit tetapi Beliau SAW dalam kondisi
sadar, Beliau mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat beliau sedang
berkumpul di sisi Beliau. Beliau dalam kondisi sadar saat mengatakan “aku akan
menuliskan sesuatu untuk kalian agar kalian tidak akan tersesat setelahnya”.
Beliau dalam kondisi sadar sehingga dengan jelas mengetahui perselisihan yang
terjadi sehingga menyuruh mereka keluar. Beliau SAW dalam kondisi sadar untuk
menjawab mereka yang mengira beliau menggigau dan dengan jelas beliau
mengatakan keadaan beliau lebih baik dari apa yang mereka katakan. Maka kita
lihat betapa batilnya analogi yang diserupakan penulis tersebut. Penulis itu
juga berkata
Sesudah
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta kertas dan tinta, beliau
pingsan dengan tiba-tiba dan itulah sebabnya Umar ra meminta kepada orang-orang
untuk tidak jadi mengambil kertas dan tinta karena Nabi sedang dalam keadaan
sakit berat. Itu adalah merupakan pendapat Umar ra (dan tentunya kami
sependapat dengan beliau), adalah merupakan sebuah kejahatan mengganggu Nabi
dalam keadaan seperti itu.
Penulis
ini terlalu bersemangat mensucikan kesalahan Umar sehingga ia tidak menyadari
betapa perkataannya telah menuduh para sahabat lain. Jika ia beranggapan
merupakan sebuah kejahatah mengganggu Nabi dalam keadaan seperti itu, maka
bagaimana dengan sebagian sahabat yang memang ingin memenuhi permintaan Nabi.
Apakah perbuatan sebagian sahabat itu bisa disebut “kejahatan”. Ditambah lagi
orang lain pun bisa berbasa-basi, Kalau memang kondisi Nabi SAW sakit berat
sehingga beliau tidak sadar dan pingsan atau membutuhkan banyak istirahat maka
mengapa mereka para sahabat berkumpul di rumah Nabi SAW. Bukankah kalau
menuruti gaya berbasa-basi penulis, orang yang sakit membutuhkan istirahat yang
tenang, lihat saja di rumah sakit jumlah pengunjung yang membesuk saja dibatasi
dan tidak boleh membuat keributan. Jadi bukankah seharusnya para sahabat
membiarkan Nabi SAW beristirahat dengan tenang bukannya berkerumun sampai
akhirnya maaf terjadi keributan.
Sudah
jelas pemicu keributan itu adalah perkataan Umar. Seandainya Umar diam dan para
sahabat memenuhi permintaan Nabi maka tidak akan ada keributan. Memenuhi
permintaan Nabi SAW itu jelas tidak membuat kesusahan bagi Nabi SAW. Saat itu
Nabi SAW dalam kondisi sadar sehingga beliau bisa berbicara dengan jelas, jadi
jika para sahabat membawakan kertas dan tinta maka mungkin beliau akan
mendiktekan sesuatu dan meminta salah seorang sahabat menuliskannya. Mendiktekan
sesuatu sama halnya dengan berbicara, jika Nabi SAW bisa berbicara “meminta
kertas dan tinta” atau “mengusir para sahabat keluar” atau “membantah
mereka yang mengatakan beliau menggigau” maka Nabi SAW jelas bisa berbicara
untuk mendiktekan wasiat Beliau SAW.
Dan
yang paling lucu adalah analogi yang dibuatnya yaitu ketika seorang ayah
mendapat serangan jantung setelah meminta anaknya membawakan remote TV. Ya
ampun betapa lucunya talbis yang ia buat. Dari analogi ini ia menginginkan
perkataan
Secara
akal sehat, permintaan Nabi akan kertas dan tinta tidak relevan lagi, sebagai
mana faktanya ketidaksadaran beliau harus diambil tindakan terlebih dahulu
daripada permintaan beliau tersebut. Jika Nabi dalam keadaan sehat, dan meminta
diambilkan kertas dan tinta, tetapi orang-orang menolaknya, maka situasi akan
berbeda. Tetapi di sini, Nabi tidak sadarkan diri setelah permintaan tersebut
dan itu merubah situasi seluruhnya.
Kita
telah tunjukkan bahwa perkataannya soal Nabi SAW tidak sadarkan dirihanyalah
perkataan yang dibuat-buat. Menurut akal sehatnyapermintaan Nabi SAW itu
sudah tidak relevan dan dengan ini yang ia inginkan adalah menunjukkan
bahwa apa yang dilakukan Umar adalah perbuatan yang terbaik saat itu.
Salafy memang terlalu bersemangat dalam membela sahabat bahkan demi membela
sahabat mereka tidak segan-segan mengatakan “permintaan Nabi SAW sudah tidak
relevan lagi”. Alhamdulillah akal sehat kami tidaklah seperti akal sehat
penulis tersebut, bagi kami perkataan Nabi SAW itu adalah bentuk kecintaan
Beliau kepada umatnya dan perkataan Umar adalah perkataan yang keliru dan tidak
pantas karena pada akhirnya perkataan Umar malah menyulut terjadinya
perselisihan dan keributan. Kami tidaklah ghuluw dalam membela sahabat Umar,
kami tidaklah membenci sahabat Umar tetapi kami menyikapi sahabat secara
objektif. Jika sahabat menyelisihi Rasul SAW maka kami memilih Rasulullah SAW.
Pembaca
yang tanggap seharusnya mempertimbangkan bahwa pada hari Kamis Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam mengalami sakit yang lebih parah daripada sebelumnya, dan
mungkin hal ini sebabnya sehingga beliau meminta untuk dibawakan kertas dan
tinta karena beliau sedang mengalami kesulitan bicara dengan keras dan beliau
menghendaki untuk mendikte dengan pelan apa yang mesti ditulis oleh orang yang
paling dekat dengan beliau sehingga mereka dapat menyampaikannya kepada
yang lain. Kita melihat bahwa saat itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang
mengalami sakit yang tak tertahankan dan tidak dapat berbicara melainkan dengan
rasa sakit dan tidak nyaman; itulah alasan mengapa Umar bin Khattab ra berharap
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbicara seperti itu agar beliau tidak
perlu merasakan sakit.
Pembaca
yang tanggap akan melihat bahwa baru sebentar saja penulis itu sudah mengalami
tanaqudh. Sekarang ia mengatakan bahwa Nabi SAW mengalami sakit tak
tertahankan dan tidak dapat berbicara melainkan dengan rasa sakit dan tidak
nyaman sehingga ini menjadi alasan bagi Umar untuk menolak permintaan Nabi
SAW. Padahal sebelumnya dengan lugas sekali, penulis berkata
Umar
bin Khattab berpikir – dan ini adalah benar – bahwa permintaan akan
kertas dan tinta tidak berlaku lagi sekarang karena Nabi sedang pingsan. Umar
merasa mereka seharusnya membiarkan Nabi beristirahat.
Sungguh
mengagumkan betapa penulis ini benar-benar mengetahui baik apa yang
dipikirkan Umar atau apa yang benar-benar dirasakan Nabi SAW. Semua
perkataan penulis hanya bertujuan untuk membela Umar, ia tidak sedikitpun
memikirkan apakah perkataannya saling bertentangan satu sama lain.
Umar
merasa – dan kami setuju dengannya – bahwa permintaan Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam tidak dapat dilakukan lagi sehubungan dengan kenyataan Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang tak sadarkan diri. Ini bukan masalah
ketidaktaatan tetapi merupakan ijtihad sederhana Umar bahwa permintaan Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi dapat dilakukan dalam situasi seperti
itu (Nabi sedang tidak sadarkan diri). Lebih jauh, posisi Umar adalah
berdasarkan cintanya yang dalam kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana dia tidak suka melihat beliau dalam keadaan kesakitan dan
menderita.
Perkataan
ini hanyalah basa-basi yang tidak sedikitpun bernilai hujjah. Kita yakin bahwa para
sahabat mencintai Nabi SAW tidak hanya Umar. Kalau kita berbicara soal
benar atau tidak maka tidak cukup hanya mengandalkan “cinta yang dalam”.
Apakah para sahabat yang ingin memenuhi permintaan Nabi SAW tidak memiliki “cinta
yang dalam” kepada Nabi SAW?. Kami yakin mereka juga punya dan karena
kecintaan mereka yang begitu besarlah mereka ingin memenuhi permintaan Nabi
SAW. Tidak sedikitpun mereka ingin menyusahkan Nabi, mereka akan berusaha agar
permintaan Nabi SAW dipenuhi tanpa menyusahkan Beliau SAW.
Untuk
menguatkan hujjahnya bahwa Nabi SAW pingsan atau tidak sadarkan diri, dengan
terpaksa penulis itu berhujjah atau memanfaatkan kitab Syiah yang biasa ia
dustakan. Sungguh betapa mengagumkan. Kenapa? Tentu saja karena ia tidak bisa
menemukan bukti dalam kitab yang menjadi rujukannya. Kami perhatikan, penulis
ini sangat lemah sekali dalam metodologi tetapi benar-benar bersemangat dalam
berbasa-basi. Kami lihat ia dengan mudahnya mengutip riwayat tanpa membuktikan
apakah riwayat yang ia kutip shahih atau tidak. Diantaranya ia mengutip kitab Tarikh
At Tabari, Sirah Ibnu Ishaq dan kitab Al Irsyad. Apakah semua
riwayat dalam kitab tersebut shahih? Apalagi nukilannya dari kitab Syiah? Kami
heran bagaimana menyikapinya. Kalau sekedar asal menukil maka siapapun bisa,
bahkan cukup banyak nukilan yang akan membatalkan semua hujjahnya diantaranya
عن عمر بن الخطاب قال كنا عند النبي صلى الله عليه وسلم وبيننا
وبين النساء حجاب فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم اغسلوني بسبع قرب وأتوني
بصحيفة ودواة أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده أبدا فقال النسوة ائتوا رسول الله صلى
الله عليه وسلم بحاجته قال عمر فقلت اسكتهن فإنكن صواحبه إذا مرض عصرتن أعينكن
وإذا صح أخذتن بعنقه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم هن خير منكم
Dari
Umar bin Khattab yang berkata “kami berada di sisi Nabi shallalahu ‘alaihi
wassalam dan terdapat hijab diantara kami dan para wanita. Rasulullah shallalahu
‘alaihi wassalam bersabda “basuhlah aku dengan tujuh kantung air dan bawakan
kepadaku kertas dan tinta, aku akan tuliskan sesuatu untuk kalian agar kalian
tidak tersesat setelahnya selama-lamanya. Para wanita berkata “penuhilah
permintaan Rasulullah shallalahu ‘alaihi wassalam. Umar berkata “diamlah kamu
seperti wanita Yusuf, jika Beliau sakit kamu menangisinya, dan jika Beliau
sehat kamu membebaninya. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda
“mereka [para wanita] lebih baik dari kamu” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 2/371]
Adakah
dari nukilan diatas Nabi SAW pingsan atau tidak sadar?..Bahkan Nabi SAW membela
para wanita dan mengatakan kalau mereka lebih baik dari Umar dan sahabat yang
sependapat dengan Umar. Kenapa? Karena para wanita tersebut mengatakan
“penuhilah permintaan Nabi SAW”. Kalau cuma sekedar kutip-mengutip riwayat maka
kami katakan akan ada banyak sekali kutipan yang membatalkan semua hujjah
penulis tersebut..Keanehan lain dari penulis salafy itu adalah pembahasan kata
“menggigau”. Kami melihat apa yang ia katakan soal “menggigau” hanyalah
basa-basi yang tidak sedikitpun bernilai hujjah.
dalam
konteks hadits, kata tersebut digunakan dalam memaknai seseorang yang pergi
atau berangkat dari keadaan pikirannya yang asli; lebih spesifik, istilah ini
dikenakan kepada orang yang memisahkan diri dari manusia dan dunia, seperti
dalam keadaan kehilangan kesadaran. Dengan kata lain, orang yang bertanya
“apakah Nabi mengigau” tidak berarti bahwa Nabi berbicara tanpa akal sehat atau
beliau telah gila. Tetapi, lelaki tersebut hanya bertanya apakah Nabi dalam
keadaan sadar atau tidak, dan kita tahu dari cerita syaikh Mufid mengenai
kejadian tersebut bahwa Nabi dalam keadaan tidak sadar.
Telah
disebutkan dalam riwayat shahih bahwa Nabi SAW dalam kondisi sadar ketika
mengucapkan permintaan Beliau “Berikan kepadaku kertas, aku akan menuliskan
sesuatu untuk kalian agar kalian tidak akan tersesat setelahnya selama-lamanya”.
Setelah Nabi SAW berkata seperti ini maka diantara sahabat muncul berbagai
respon diantaranya Mereka yang ingin memenuhi permintaan Nabi SAW dan mereka
yang terpengaruh dengan perkataan Umar bahwa Nabi SAW dikuasai sakitnya dan
cukuplah Kitab Allah. Diantara mereka yang terpengaruh ucapan Umar itu ada
yang mengatakan Nabi SAW menggigau dan mau menanyakan kembali kepada Nabi SAW
عن سعيد بن جبير عن ابن عباس أنه قال يوم الخميس وما يوم
الخميس ثم جعل تسيل دموعه حتى رأيت على خديه كأنها نظام اللؤلؤ قال قال رسول الله
صلى الله عليه و سلم ( ائتوني بالكتف والدواة ( أو اللوح والدواة ) أكتب لكم كتابا
لن تضلوا بعده أبدا ) فقالوا إن رسول الله صلى الله عليه و سلم يهجر
Dari
Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA berkata “hari kamis, tahukah kamu ada apa
hari kamis itu kemudian Ibnu Abbas menangis hingga aku melihat air matanya
mengalir seperti butiran mutiara. Ibnu Abbas berkata Rasulullah SAW bersabda
“Berikan kepadaku tulang belikat dan tinta aku akan menuliskan sesuatu untuk
kalian agar kalian tidak akan tersesat setelahnya selama-lamanya. Kemudian
mereka berkata Rasulullah SAW sedang menggigau
[Shahih Muslim 3/1257 no 1637]
Riwayat
di atas menunjukkan dengan jelas bahwa diantara para sahabat memang ada yang
mengatakan “Rasulullah SAW menggigau” oleh karena itu sebagian sahabat
lain menjadi terpengaruh dan berkata “tanyakan kembali kepada Rasul SAW”.
Mendengar perkataan ini Rasulullah SAW berkata “Tinggalkanlah aku. Sebab
keadaanku lebih baik daripada apa yang kalian ajak”. Perkataan Rasul SAW
ini menjadi bukti bahwa Beliau dalam kondisi sadar dan Beliau tidak sedang
menggigau.
Orang
tersebut berkata “Tanya kepada beliau” dan “coba belajar dari beliau” dimana
artinya bahwa dia berharap kepada mereka untuk melihat apakah Nabi sedang dalam
keadaan sadar. Dalam dunia medis, dokter secara rutin menggunakan “Glasgow Coma
Scale” (GCS Exam) untuk mengetes tingkat kesadaran pasien. Tes GCS dilakukan
dengan menanyai pasien dengan berbagai pertanyaan untuk melihat respon si
pasien, dan respon dari pasien menunjukkan tingkat kesadaran pasien tersebut.
Dalam bahasa Inggris yang artinya untuk mengecek apakah seseorang dalam keadaan
sadar atau tidak, hal terbaik yang dilakukan adalah bertanya kepadanya apakah
dia baik-baik saja. Pada kenyataannya, ini adalah langkah pertama dari CPR:
untuk mengecek apakah pasien dalam keadaan sadar atau tidak, hal pertama yang
dilakukan adalah dia akan bertanya “are you OK?” (kamu baik-baik saja?) jika
dia menjawab baik-baik saja, maka tidak ada masalah, tetapi jika tidak,
tindakan CPR segera dilakukan.
Ucapan
ini sungguh membuat kami tersenyum geli. Memang benar GCS digunakan untuk
menilai kesadaran pasien dan memang benar bertanya “are you OK?” adalah langkah
pertama CPR tetapi semua ini benar-benar tidak nyambung dengan keadaan
Rasulullah SAW saat itu. GCS dilakukan jika memang keadaan pasien mengalami
penurunan kesadaran. Jika pasien tersebut masih sadar dalam arti ia mengenal
siapa dirinya, dimana dirinya dan mengenal lingkungan sekitarnya maka tidak ada
gunanya memakai GCS walaupun orang tersebut sakit berat. Sakit yang berat tidak
selalu diiringi penurunan kesadaran. Apalagi saat itu Rasulullah SAW mengatakan
sesuatu dengan jelas “aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian agar kalian
tidak akan tersesat setelahnya selama-lamanya”. Perkataan ini memiliki
struktur kalimat yang jelas dengan makna yang jelas pula, dan ini menunjukkan
bahwa Rasulullah SAW dalam keadaan sadar akan dirinya dan orang-orang
sekitarnya serta menyadari apa yang Beliau SAW katakan.
Apalagi
jika dianalogikan dengan CPR betapa jauhnya pengandaian itu. Misalnya nih ada
si A tiba-tiba terjatuh atau mengalami kecelakaan di tengah jalan, nah kemudian
ada si B yang lewat menolong A. A itu masih sadar dan berkata “tolong
pindahkan aku dari tengah jalan dan tolong telepon ambulans”. Perkataan si
A ini menunjukkan bahwa ia dalam kondisi sadar dan jelas tidak ada gunanya jika
si B mau melakukan CPR. Lha CPR itu dilakukan kalau orang tersebut tidak sadar
mengalami henti napas atau henti jantung, orang yang bisa berkata-katadengan
struktur kalimat yang jelas dan makna yang jelas maka napas dan jantung orang
tersebut bisa dibilang belum ada masalah [setidaknya gak perlu CPR]. Atau
contoh lain si A pengusaha kaya yang sedang sakit keras, tiba-tiba ketika
anak-anaknya berkumpul disisinya, ia berkata “tolong ambilkan kertas, aku
mau menuliskan wasiat soal warisan sehingga nanti kalian tidak akan ribut
sepeninggalku”. Tentu saja anak-anak yang mendengar ini akan memenuhi
permintaan ayahnya. Justru terasa ganjil jika mendengar perkataan ayahnya ini,
ada anak yang berkata “apakah ayah menggigau” atau dengan konyolnya si anak
siap-siap melakukan CPR. Kami sungguh heran dengan ulasan penulis tersebut yang
makin tidak karuan.
Kemudian
penulis tersebut membawakan riwayat dari Syaikh Mufid untuk mendukung
pandangannya. Anehnya kami justru melihat ada yang aneh dalam caranya memahami
riwayat tersebut. Inilah riwayat Syaikh Mufid yang kami ambil dari tulisannya
[kami tidak berhujjah dengan riwayat ini kecuali hanya menunjukkan kekeliruan
pemahaman salafy tersebut]
Beliau
[Nabi] tak sadarkan diri [pingsan] karena kelelahan yang menimpa beliau dan
kesedihan yang dirasakan oleh beliau. Beliau tidak sadar dalam waktu yang
singkat sementara kaum muslimin menangis dan istri-istri beliau serta para
wanita, anak-anak kaum muslimin dan semua yang hadir berteriak meratap.
Rasulullah kembali sadar dan melihat mereka. Kemudian beliau bersabda :
“Ambilkan tinta dan kertas (dari kulit) sehingga aku dapat menulis untuk
kalian, dan setelah itu kalian tidak akan tersesat”. Kembali beliau tidak
sadarkan diri dan satu dari mereka yang hadir bangkit mencari tinta dan kertas.
“Kembalilah”, Umar memerintahnya [orang tersebut]. “beliau mengigau.” Orang
tersebut kembali. Orang-orang yang hadir menyesalkan kelalaian [yang telah
mereka tunjukkan] dalam mengambil tinta dan kertas dan bertengkar satu sama
lain. Mereka selalu mengatakan: “Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami
akan kembali, tetapi kita menjadi cemas akan kedurhakaan kita kepada
Rasulullah, semoga Allah memberkati beliau dan keluarga beliau” Ketika beliau
(Nabi) shalallahu ‘alaihi wa sallam kembali sadar… [Kitab Al-Irsyad,
oleh Syaikh Mufid, hal 130]
Setelah
membawakan atsar ini, penulis yang aneh itu berkata
Dari
cerita ini menjadi jelas bahwa kata-kata “apakah beliau mengigau” diucapkan
ketika Nabi sedang tidak sadarkan diri (sebelum beliau kembali sadar)! Apakah
seorang yang sedang tidak sadar (pingsan) dapat bicara? tentu tidak! Ini adalah
pukulan telak atas argument Syi’ah, dan dimanapun syi’ah membuat kehebohan
tentang kata-kata “apakah beliau mengigau”, maka kita akan langsung ke bagian
ini.
Silakan
perhatikan kata-kata dalam riwayat Syaikh Mufid “Rasulullah
kembali sadar dan melihat mereka. Kemudian
beliau bersabda : “Ambilkan tinta dan kertas (dari kulit) sehingga aku dapat
menulis untuk kalian, dan setelah itu kalian tidak akan tersesat”.
Kembali beliau tidak sadarkan diri dan satu dari mereka yang hadir bangkit
mencari tinta dan kertas. “Kembalilah”, Umar memerintahnya [orang tersebut].
“beliau mengigau.”. Dari kalimat ini dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW
dalam keadaan sadar ketika meminta kertas dan pena, kemudian setelah itu beliau
tidak sadarkan diri. Salah seorang sahabat ingin mengambilkan kertas dan
tinta tetapi Umar mencegahnya dan mengatakan beliau menggigau. Siapapun yang
punya sedikit akal pikiran akan mengerti kalau ucapan Umar “menggigau”
itu ditujukan terhadap perkataan Rasulullah SAW “ambilkan kertas dan tinta”
oleh karena itulah Umar mencegah sahabat yang mau mengambil kertas dan tinta.
Seolah-olah Umar mengatakan tidak perlu mengambil kertas dan tinta karena
Rasulullah SAW sedang menggigau. Dan kita tahu dari riwayat Syaikh Mufid bahwa
ucapan “ambilkan kertas dan tinta” diucapkan Rasulullah SAW dalam
keadaan sadar. Jadi sungguh aneh sekali jalan pikiran penulis itu, apalagi
dengan ngawurnya malah berkata
Jika
kata-kata “apakah beliau mengigau” diucapkan ketika Nabi sedang dalam keadaan
tidak sadarkan diri, maka tidak ada yang namanya “bicara meracau” sebagaimana
seorang yang sedang tidak sadarkan diri (pingsan) tidak dapat berbicara,
apalagi berbicara meracau. Dengan kata lain, yang dimaksud dari kata “mengigau”
sebenarnya adalah sebuah gangguan kesadaran. Jadi pengertiannya adalah;
seseorang yang sedang tidur dalam ketidaksadaran dikatakan sebagai “berangkat”
(hajara) dari manusia dan dunia ini.
Sudah
jelas yang dimaksudkan “menggigau” oleh Umar adalah perkataan “ambilkan
kertas dan tinta” oleh karena itu Umar mencegah sahabat yang mau membawakan
kertas dan tinta dengan mengatakan kalau Rasulullah SAW menggigau jadi tidak
perlu mengambil kertas dan tinta. Silakan pembaca memahaminya dan kami yakin
tidak perlu akal yang brilian untuk memahaminya. Siapapun yang punya sedikit
akal pikiran akan mampu memahami bahasa mudah yang seperti ini. Penulis itu
sudah terjebak oleh nafsu pembelaannya yang terkesan mengkultuskan Umar
sehingga ia membuat semua “pembelaan bergaya pengacara” untuk melindungi
image sahabat Umar. Kami hanya ingin menunjukkan kepada pembaca sekalian jika
penulis itu tidak memiliki kemampuan untuk memahami bahasa yang mudah seperti
ini maka apa jadinya untuk bahasa yang lebih rumit dari ini.
Secara
metodologi, penulis salafy itu sungguh tidak memiliki nilai sama sekali. Inti
pembelaan dalam tulisannya adalah hujjahnya bahwa Nabi SAW tidak sadar
dalam situasi tersebut dan satu-satunya bukti bagi hujjahnya ini adalah riwayat
Syaikh Mufid yang tidak diketahui apakah shahih atau tidak. Anehnya ini
adalah sumber syiah yang biasanya ia dustakan lantas mengapa sekarang ia
berhujjah dengannya. Mana perkataan basa-basinya “mengambil hadis sunni yang
mu’tabar”. Kita lihat wajah aslinya, ketika ia tidak menemukan hujjah untuk
pembelaannya dari sumber sunni yang ia sebut mu’tabar [bahkan sumber mu’tabar
justru mengancam image idolanya] maka tidak segan-segan ia mengambil dari
sumber yang ia dustakan sendiri.
Yang
membuat metodenya lebih lucu lagi adalah ia menolak kalau orang yang berkata
menggigau itu adalah Umar padahal kalau ia berhujjah dengan riwayat Syaikh
Mufid maka sungguh jelas yang berkata “menggigau” adalah Umar. Dan sebenarnya
tidak hanya syiah yang menyatakan kalau yang berkata “menggigau” adalah Umar,
Ibnu Taimiyyah syaikhnya salafiyyun ternyata juga mengatakan kalau yang berkata
“menggigau” adalah Umar [Minhaj As Sunnah 6/202]. Sepertinya penulis salafy itu
memang tidak berniat “berpegang pada dalil”, yang ia inginkan hanyalah
mencari-cari pembelaan apapun caranya. Mau tanaqudh atau bertentangan atau
berbasa-basi itu tidak menjadi masalah, karena mungkin sekali ia tidak mengerti
bagaimana cara berhujjah dengan benar.
Kekeliruan
kedua kedua situs tersebut adalah perkataannya bahwa yang dimaksud dengan tragedi
dalam perkataan Ibnu Abbas itu adalah perselisihan para sahabat di hadapan Nabi.
Berdasarkan riwayat-riwayat shahih justru yang dimaksud Ibnu Abbas dengan
tragedi adalah penghalangan antara Nabi SAW dan wasiat yang akan Beliau SAW
tulis. Hal ini tampak jelas dalam riwayat berikut
عن ابن عباس قال لما اشتد بالنبي صلى الله عليه وسلم وجعه قال
(اتئوني بكتاب أكتب لكم كتابا لا تضلوا من بعده). قال عمر إن النبي صلى الله عليه
وسلم غلبه الوجع، وعندنا كتاب الله حسبنا. فاختلفوا وكثر اللغط، قال (قوموا عني،
ولا ينبغي عندي التنازع). فخرج ابن عباس يقول: إن الرزية كل الرزية ما حال بين
رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين كتابه
Dari
Ibnu Abbas yang berkata ketika sakit Nabi SAW semakin parah, Beliau bersabda
“Berikan kepadaku kertas, aku akan tuliskan untuk kalian tulisan yang kalian
tidak akan sesat setelahnya”. Umar berkata”Sesungguhnya Nabi SAW telah
dikalahkan oleh sakitnya dan kita sudah memiliki Kitabullah dan cukuplah itu
bagi kita. Lalu mereka berselisih dan terjadi keributan. Nabi SAW pun
berkata”Menyingkirlah kalian dari-Ku, tidak sepantasnya terjadi perselisihan di
hadapan-Ku”. Maka Ibnu Abbas berkata “Sesungguhnya
bencana yang sebenar-benar bencana adalah penghalangan antara Rasulullah SAW
dan penulisan wasiatnya” [Shahih Bukhari no 114]
Dari
riwayat Ibnu Abbas tersebut diketahui dengan jelas bahwa yang dimaksud bencana
oleh Ibnu Abbas itu adalah “penghalangan antara Rasulullah SAW dan penulisan
wasiatnya”. Nabi SAW tidak jadi menuliskan wasiatnya itulah yang disesalkan
oleh Ibnu Abbas. Dan memang yang menyebabkan Rasulullah SAW tidak jadi
menuliskan wasiatnya adalah disebabkan perselisihan dan keributan dihadapan
Nabi.
فكان ابن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله
صلى الله عليه و سلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم
I
bnu
Abbas selalu berkata “musibah yang sebenar-benar musibah adalah penghalangan
antara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan penulisan wasiat untuk
mereka disebabkan keributan dan perselisihan mereka” [Shahih Muslim no 1637]
Dan
disebutkan dalam riwayat shahih bahwa penyebab terjadi perselisihan karena
sebagian sahabat ingin memenuhi permintaan Nabi SAW dan sebagian yang lain
menginginkan seperti apa yang dikatakan Umar RA. Jadi pemicu terjadinya
keributan adalah perkataan Umar RA. Seandainya Umar diam atau memenuhi
permintaan Nabi SAW untuk mengambilkan kertas dan tinta maka insya Allah tidak
akan terjadi pertengkaran dan keributan sampai akhirnya wasiat tersebut
dituliskan.
فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه و سلم
كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند
رسول الله صلى الله عليه و سلم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( قوموا )
Sebagian
dari mereka berkata, “berikan apa yang dipinta Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam Agar beliau menuliskan bagi kamu sesuatu yang menghindarkan kamu dari
kesesatan”. Sebagian lainnya mengatakan sama seperti ucapan Umar. Dan ketika
keributan dan pertengkaran makin bertambah di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam, Beliau berkata “menyingkirlah kalian” [Shahih Muslim no 1637]
Ringkasnya
adalah sebagai berikut
- Umar berkata “Nabi SAW dikuasai oleh sakitnya dan cukuplah kitab Allah bagi kita”. Sebagian sahabat mengikuti perkataan Umar dan sebagian lain ingin memenuhi permintaan Nabi SAW
- Terjadi perselisihan dan keributan di hadapan Nabi SAW
- Nabi SAW tidak jadi menuliskan wasiatnya [dan inilah yang dimaksud bencana oleh Ibnu Abbas]
Jadi
perkataan penulis salafy tersebut
Apa
yang kami temukan adalah bahwa Ibnu Abbas menyebut kejadian tersebut sebagai
musibah tidak berkaitan dengan penolakan Umar, melainkan berkaitan dengan
kenyataan bahwa sahabat saling berselisih pendapat di hadapan Nabi.
Adalah
keliru, bagaimana mungkin dikatakan itu tidak ada kaitannya dengan
penolakan Umar. Justru penolakan Umarlah yang memicu terjadinya
perselisihan sahabat di hadapan Nabi karena yang berselisih itu adalah sebagian
sahabat yang mengikuti ucapan Umar dan sebagian sahabat yang ingin memenuhi
permintaan Nabi SAW. Posisi yang benar dalam hal ini adalah sahabat yang ingin
memenuhi permintaan Nabi SAW. Karena sebagai umat islam, para sahabat
diharuskan untuk mentaati perintah Nabi SAW terutama yang berkaitan dengan
syariat apalagi apa yang ingin disampaikan Nabi SAW adalah sesuatu yang sangat
penting dimana Beliau SAW berkata “berikan kepadaku, aku akan menuliskan
untuk kalian wasiat, agar kalian tidak sesat setelahnya”.
Perkataan
Ibnu Abbas yang menganggap penghalangan antara Nabi SAW dan wasiat Beliau SAW
sebagai bencana justru mengisyaratkan bahwa Ibnu Abbas sangat
mengharapkan agar wasiat tersebut dituliskan. Dan kami yakin Ibnu Abbas
adalah sahabat yang sangat mencintai Nabi SAW, disinipun sebenarnya sangat
jelas bahwa Nabi SAW itu dalam keadaan mampu menuliskan wasiat tersebut dalam
arti Beliau SAW dalam kondisi sadar. Menurut Ibnu Abbas, Nabi SAW tidak jadi
menuliskan wasiat tersebut karena penghalangan antara Nabi SAW dan kertas yang
dipinta oleh Nabi SAW. Tidak hanya Ibnu Abbas RA, sahabat lain seperti Jabir RA
menyatakan dengan jelas kalau Umar-lah yang menyelisihi perintah Nabi SAW dan
menolak permintaan Nabi SAW
عن جابر أن النبي صلى الله عليه و سلم دعا عند موته بصحيفة
ليكتب فيها كتابا لا يضلون بعده قال فخالف عليها عمر بن الخطاب حتى رفضها
Dari
Jabir bahwa Nabi SAW menjelang wafatnya meminta lembaran dimana Beliau akan
menuliskan tulisan agar tidak ada yang tersesat setelahnya kemudian Umar
menyelisihi-nya sampai Rasulullah SAW menolaknya [Musnad Ahmad 3/346 no
14768]
Atsar
di atas dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth “shahih lighairihi”
karena di dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah yang dhaif pada dhabitnya tetapi
riwayat Ibnu Lahi’ah memiliki mutaba’ah sebagaimana yang disebutkan dalam
Musnad Abu Ya’la 3/394 no 1871 dan berkata Syaikh Husain Salim Asad [pentahqiq
kitab Musnad Abu Ya’la] “para perawinya perawi shahih”.
Dari
atsar di atas diketahui bahwa Jabir RA justru menyatakan bahwa yang
menyelisihi dan menolak Nabi SAW ketika beliau SAW wafat adalah Umar bin
Khattab. Pernyataan ini menggugurkan logika basa-basi penulis salafy
soal . Kami tidak menafikan kalau Umar mencintai Nabi SAW dan begitu pula
sahabat Nabi yang lain yaitu Ibnu Abbas dan Jabir tetapi hal itu tidak berarti apa
yang dikatakan Umar menjadi benar. Penolakan Umar adalah keliru apapun
alasan yang mendasarinya baik itu karena kecintaan ataupun alasan lainnya.
Perkataan Jabir ini menjadi bukti bahwa perkataan salafy soal Nabi SAW
yang tidak sadar memang hanyalah bualan belaka. Jika memang Nabi SAW
dalam keadaan tidak sadar maka mengapa Jabir RA mengatakan kalau Umar
menyelisihi dan menolak Nabi SAW. Kalau memang Nabi SAW tidak sadar tentu para
sahabat juga akan memaklumi sikap Umar dan tidak akan mengatakan “Umar menolak
Nabi SAW”.
Permainan
kata-kata lainnya dari penulis salafy itu yang maaf saja menentang perkatannya
sendiri adalah
Logikanya,
jika Nabi ingin menyampaikan pesan, maka beliau seharusnya mengatakan “pergi”
hanya untuk orang-orang yang mencegah beliau dari hal itu, dan beliau
seharusnya mengatakan “tetap tinggal” kepada mereka yang berharap memenuhi
permintaan beliau. Apa yang mencegah Nabi untuk mengatakan hal yang mudah “Umar
pergi” atau “pergi” ditujukan kepada kelompok yang menolak permintaan beliau?
Memang
benar Rasulullah SAW mengatakan “pergi” dikarenakan para sahabat berselisih dan
bertengkar di hadapan Nabi SAW. Perselisihan dan keributan di sisi Nabi SAW itu
memang sungguh tidak pantas dan seharusnya yang dilakukan oleh para sahabat
Nabi SAW adalah bersama-sama memenuhi permintaan Nabi SAW dengan mengambilkan
kertas dan tinta agar Nabi SAW bisa mendiktekan wasiatnya. Sayangnya Umar dan
sahabat lain menolak permintaan Nabi sehingga terjadi perselisihan. Sekarang
perhatikanlah perkataan penulis salafy “Apa yang
mencegah Nabi untuk mengatakan hal yang mudah “Umar pergi” atau “pergi”
ditujukan kepada kelompok yang menolak permintaan beliau?” dan
bandingkan dengan perkataannya sebelumnya “Kita
melihat bahwa saat itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengalami sakit
yang tak tertahankan dan tidak dapat berbicara melainkan dengan rasa sakit dan
tidak nyaman; itulah alasan mengapa Umar bin Khattab ra berharap Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbicara seperti itu agar beliau tidak
perlu merasakan sakit”. Bagaimana bisa sekarang untuk membela
Umar ia berkata “apa yang mencegah Nabi mengatakan hal yang mudah?”. Padahal
sebelumnya ia berkata untuk membela Umar “Nabi SAW tidak dapat berbicara
melainkan dengan rasa sakit dan tidak nyaman”. Sungguh betapa anehnya
فتنازعوا، ولا ينبغي عند نبي تنازع، فقالوا ما له أهجر
استفهموه؟ فقال (ذروني، فالذي أنا فيه خير
مما تدعونني إليه
Kemudian
mereka berselisih, padahal tidak sepantasnya terjadi perselisihan di sisi Nabi.
Mereka berkata “beliau sedang menggigau, tanyakan kembali tentang ucapan beliau
tersebut?. Namun Rasulullah SAW bersabda “Tinggalkanlah aku. Sebab keadaanku
lebih baik daripada apa yang kalian ajak” [Shahih Bukhari no 2997]
Jika
kita memperhatikan riwayat ini, maka sebab lain yang membuat Rasululullah SAW
menyuruh mereka pergi adalah perkataan sebagian sahabatnya soal “menggigau”.
Dan yang mengatakan ini hanyalah para sahabat dari kelompok Umar dan yang
sependapat dengannya. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW
tidak menyukai perkataan kelompok Umar dan para sahabat yang mengikuti Umar.
Betapa
banyaknya perkataan basa-basi yang diucapkan oleh penulis salafy yang membuat
dirinya sendiri tidak menyadari kalau perkataannya telah merendahkan salah
seorang sahabat. Perhatikan perkataannya
Jika
Nabi telah menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah atas kaum muslimin, maka
masyarakat luas akan merasa bahwa itu adalah tindakan seorang Tirani. Kebiasaan
bangsa Arab saat itu dalam memilih pemimpin mereka sendiri adalah melalui
musyawarah dan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pendapat beberapa ulama,
penarikan pengetahuan mengenai penunjukkan Abu Bakar ditarik kembali untuk
kepentingan umat, sehingga mereka dapat memilih pemimpin mereka sendiri yang
hal tersebut terlihat lebih adil.
Fakta
sejarah menunjukkan kalau Abu Bakar malah menunjuk Umar sebagai khalifah atas
kaum muslimin. Tentu dengan logika salafy itu maka masyarakat luas [yaitu para
sahabat] akan merasa bahwa tindakan Abu Bakar itu adalah tindakan seorang
tirani karena kebiasaan bangsa Arab dalam memilih pemimpin mereka adalah
melalui musyawarah. Perkataan salafy itu menunjukkan kalau para sahabat
menganggap Abu Bakar melakukan tindakan tirani, naudzubillah.
Apa
yang dikatakan Umar sebenarnya hanyalah sebatas rasa kasihan dia terhadap
kondisi nabi yang parah saat itu dan tidak lebih, Umar merasa orang-orang
mengganggu Nabi yang sedang sakit parah dan susah untuk mengucapkan kata-kata,
apalagi digambarkan juga oleh sumber Syi’ah bahwa saat itu Nabi dalam keadaan
sebentar pingsan sebentar kemudian sadar lagi, hal ini sangat jelas dari
perkataan tulus Umar tanpa ada tendensi apapun “sesungguhnya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit parah dan di sisi kalian ada
Al-Qur’an, cukuplah Kitabullah untuk kita”.
Perkataannya
kalau Umar merasa orang-orang mengganggu Nabi yang sedang sakit parah
adalah perkataan yang aneh. Kalau memang Nabi SAW sedang sakit parah dan merasa
terganggu oleh orang-orang maka untuk apa para sahabat termasuk Umar
berduyun-duyun datang kepada Nabi SAW. Dimana perasaan Umar, bukankah bisa saja
dikatakan Nabi SAW sedang sakit dan membutuhkan istirahat yang tenang. Kami
tidak menafikan Nabi SAW sedang sakit dan silakan saja kalau ada orang yang mau
mengatakan Umar sangat mencintai Nabi, tidak ada masalah karena sahabat lain
pun tidak kalah kecintaannya kepada Nabi. Yang dipermasalahkan disini adalah tidak
pada tempatnya Umar menolak perkataan atau permintaan Nabi SAW apalagi dengan
alasan “cukuplah Kitab Allah”. Bukankah kitab Allah memerintahkan agar kita
mentaati perintah Rasulullah SAW, jadi sungguh aneh sekali orang yang
mengatakan “cukuplah Kitab Allah” untuk menyelisihi Nabi SAW.
Begitu
pula dengan alasan “Nabi SAW dikuasai sakitnya”. Justru Nabi SAW yang sakit
harus diperlakukan dengan hati-hati dan dipenuhi permintaannya. Apalagi
permintaan Nabi SAW tersebut disebabkan kecintaan Beliau SAW yang sangat besar
kepada umatnya. Bukankah justru dengan perkataan Umar malah memicu terjadinya
keributan yang benar-benar mengganggu Nabi SAW. Telah kami katakan sebelumnya Nabi
SAW dalam keadaan sadar dan mampu berbicara, saat itu Beliau SAW
menginginkan untuk mewasiatkan sesuatu agar umat tidak tersesat setelahnya.
Coba bayangkan betapa besarnya keinginan Nabi SAW tersebut mengalahkan sakit
yang Beliau derita. Sangat wajar jika Nabi SAW mengharapkan agar para sahabat
memenuhi permintaan Beliau SAW. Tetapi faktanya muncul penolakan, perselisihan
dan keributan. Dapatkah para pembaca merasakan apa yang dirasakan oleh Nabi
SAW? Yang kami dapati Nabi SAW begitu tidak menyukai perselisihan itu sehingga
menyuruh mereka pergi.
Apa
salahnya jika para sahabat termasuk Umar bersepakat mengambilkan kertas dan
tinta?. Nabi SAW memang sakit parah tetapi Beliau SAW masih mampu untuk
berbicara dengan jelas. Bagi kami yang diinginkan Nabi SAW saat itu adalah
Beliau akan mendiktekan wasiatnya dan meminta salah seorang sahabat untuk menuliskannya
di hadapan para sahabat lain. Nabi SAW memang sedang sakit tetapi saat itu
Beliau SAW bisa berbicara dengan jelas. Jika memang sakitnya Nabi SAW
dipermasalahkan maka para sahabat bisa meminta Beliau SAW untuk berbicara
dengan pelan. Riwayat yang shahih justru menunjukkan kalau Nabi SAW dalam
keadaan sadar dan bisa berbicara dengan jelas. Beliau SAW mampu berbicara
“meminta kertas dan tinta” bahkan Beliau pun bisa berbicara menyuruh para
sahabat pergi ketika mereka berselisih atau ketika Beliau SAW menjawab sebagian
sahabat yang bicara soal “menggigau”. Jadi tidak diragukan lagi kalau kondisi
Nabi SAW saat itu adalah dalam kondisi mampu untuk menyampaikan wasiat. Oleh
karena itulah Ibnu Abbas menyayangkan penghalangan antara Nabi SAW dan wasiatnya
dan begitu pula sahabat Jabir RA yang menyatakan kalau Umar telah menyelisihi
dan menolak Nabi SAW.
Bukan
berarti Umar menyepelekan Nabi atau menganggap apa yang akan
dituliskan/didiktekan Nabi itu tidak penting, tetapi karena keadaan Nabi saat
itulah yang membuat Umar berkata seperti itu, hal itu dia lakukan karena rasa
sayangnya kepada Sang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mungkin anda sekalian
mengetahui kisah bagaimana Umar seperti orang yang “kehilangan akal sehatnya”
karena kesedihan yang begitu dalam ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
dikhabarkan telah wafat, yang akhirnya disadarkan oleh Abu Bakar dengan
dibacakan Al-Qur’an.
Kami
tidak ada masalah untuk menerima kalau Umar mencintai Nabi SAW. Tetapi hal itu
tidak mencegah kami untuk mengatakan kalau Umar RA keliru. Penolakannya disini
tidak pada tempatnya apalagi terjadi ketika Nabi SAW sedang sakit berat. Kami
juga merasa aneh dengan perkataan salafy “Umar seperti kehilangan akal
karena kesedihan yang mendalam atas wafatnya Nabi SAW”. Para pembaca pasti
akan tahu jika seseorang sangat mencintai kekasihnya dan merasakan kesedihan
yang mendalam atas wafatnya kekasih yang ia cintai maka orang tersebut pasti
akan berada di sisi kekasihnya untuk melepaskan jasad kekasihnya sampai ke
liang kubur. Orang tersebut tidak akan terpalingkan oleh hal-hal lain karena
akan terasa berat baginya berpisah dengan kekasih yang dicintai. Silakan
pembaca memperhatikan apa yang terjadi pada Abu Bakar dan Umar ataupun sahabat
Anshar lainnya, jasad Nabi SAW belumlah dikuburkan mereka telah berselisih di
saqifah soal kepemimpinan. Apakah mereka tidak bisa bersabar sampai pemakaman
Nabi SAW selesai?. Yang kami dapati pihak yang sangat besar kecintaannya kepada
Nabi SAW adalah Ahlul Bait Beliau SAW yang dengan setia tetap mengurus
pemakaman Nabi SAW sampai selesai.
Apa
tepatnya wasiat Nabi SAW tersebut?. Kami katakan tidak ada yang mengetahuinya
dengan pasti. Yang bisa dilakukan adalah mengira-ngira apa tepatnya yang akan
disampaikan Nabi SAW. Ada dua kemungkinan,
- pertama yang akan disampaikan Nabi SAW adalah sesuatu yang baru atau
- kedua sesuatu yang pernah disampaikan Nabi SAW sebelumnya, sehingga penekanan untuk dituliskan memiliki arti penting bahwa hal itu benar-benar sangat berat.
Kami
memilih yang kedua karena bagi kami tidak mungkin Nabi SAW tidak jadi
memberitahukan sesuatu yang baru jika memang itu dapat mencegah kesesatan bagi
umatnya. Jadi wasiat Nabi SAW kemungkinan sudah pernah beliau sampaikan
sebelumnya dan melihat redaksinya “tidak akan tersesat setelahnya” maka kami
berpandangan bahwa wasiat tersebut adalah hadis Tsaqalain yaitu perintah agar
umat berpegang teguh pada Kitabullah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW.
يا أيها الناس ! إني قد تركت فيكم ما إن أخذتم به لن تضلوا ,
كتاب الله وعترتي أهل بيتي
Wahai
manusia, sungguh aku tinggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang
teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah dan Itrah-ku
Ahlul Bait-ku [Silsilah Ahadits Ash Shahihah no 1761]
Begitu
beratnya wasiat ini hingga sekarang kita melihat ada orang-orang yang
mengaku umatnya Rasulullah SAW tetapi menolak Ahlul Bait sebagai pedoman
bagi umat islam. Kami menyebut mereka ini sebagai orang-orang yang terpengaruh
dengan virus nashibi. Kami melihat mereka mengaku-ngaku mencintai Ahlul Bait
tetapi aneh bin ajaib mereka menolak keutamaan Ahlul Bait sebagai pedoman umat
islam, mereka membela bahkan menyanjung orang-orang yang menyakiti Ahlul bait
dan mereka menuduh dusta kepada pengikut Syiah yang sangat mencintai Ahlul
Bait. Tidak hanya itu mereka bahkan dengan mudah menuduh orang yang mencintai
Ahlul Bait sebagai Syiah Rafidhah. Anehnya dengan sikap-sikap seperti itu
mereka mengklaim [dengan tidak tahu malu] kalau merekalah yang benar-benar
mencintai Ahlul Bait. Sungguh cinta yang aneh kalau tidak mau dikatakan penuh
kepalsuan.
MANA YANG BENAR..?
Apa
Isi wasiat Nabi saat Nabi sakit ?
https://alfanarku.wordpress.com/2010/03/23/apa-isi-wasiat-nabi-saat-nabi-sakit/
March 23, 2010 by alfanarku
Nabi
ingin berwasiat tetapi tidak jadi, mengapa Nabi tidak jadi berwasiat? Apa yang
ingin disampaikan Nabi dalam wasiatnya? Episode yang tak pernah diungkap oleh
syiah. Banyak peristiwa yang terjadi saat Nabi sakit. Ada peristiwa yang
diekspose, dan ada pula yang sengaja ditutupi. Agar mendapat gambaran yang
utuh, pembaca harus menelaah seluruh riwayat yang ada.
Salah
satunya adalah peristiwa wasiat hari kamis. Di mana pada hari itu Nabi ingin
berwasiat, dan meminta untuk diambilkan pena dan kertas, tapi ahlulbait yang
saat itu berada di sekitar Nabi, tidak beranjak mentaati perintahNya. Akhirnya
Nabi pun tidak jadi wasiat. Nabi tidak jadi berwasiat bukan karena takut pada
Umar, atau pada siapa pun juga.
Meski
tidak ada bukti apa pun, dan Nabi tidak jadi berwasiat, ada juga yang mengklaim
bahwa Nabi hendak menuliskan wasiat pengangkatan Ali bin Abi Thalib. Sekali
lagi, klaim ini tidak memiliki bukti. Di sini kita bertanya-tanya lagi, mengapa
teman-teman syiah kali ini kehilangan sikap kritisnya.
Peristiwa hari kamis terjadi
menjelang wafatnya Nabi. Jauh hari sebelumnya, saat Nabi tinggal di mekkah,
Nabi tetap berdakwah menjelaskan kesesatan kaum Quraisy. Seperti syiah yang
marah ketika hakekat kesesatannya diungkap, kaum Quraisy pun murka pada Nabi, berusaha
sekuat tenaga agar bisa membungkam mulut Nabi yang membuat repot mereka. Mereka
ingin membungkam mulut Nabi yang melaksanakan perintah Allah, agar tidak
menjelaskan kesesatan kaum Quraisy lagi. Tetapi upaya itu gagal total. Nabi
tetap melaksanakan perintah Allah untuk menyampaikan Islam, meski dihadapi oleh
gangguan dan serangan dari kaum Quraisy, dari mulai psywar dengan isu-isu
sampai dengan serangan fisik. Sebagian peristiwa itu direkam oleh baris-baris
buku sejarah kehidupan Nabi.
Apakah Nabi yang tetap teguh
menjelaskan kesesatan Quraisy meski menghadapi gangguan, tidak jadi
menyampaikan wasiatnya hanya karena Umar bin Khattab? Dalam gambaran
teman-teman syiah, Umar bin Khattab sengaja menghalangi Nabi agar tidak jadi
berwasiat. Padahal, yang dikatakan Umar hanyalah : Nabi telah sakit parah,
cukup bagi kami Kitab Allah.
Ini
yang sering kita dengar dan kita baca. Namun ada riwayat yang tidak pernah
tereskpos, tentang peristiwa yang terjadi pada hari-hari terakhir kehidupan
Nabi, saat Nabi sakit menjelang wafatnya. Riwayat ini tercantum dalam kitab
shahih Muslim. Kitab yang juga memuat riwayat peristiwa hari kamis. Tetapi
hadits ini selalu dilupakan. Hadits ini membuat kita memiliki pemahaman yang
utuh. Tanpa data yang lengkap, hasil kesimpulan kita akan keliru. Data yang
lengkap adalah syarat mutlak agar kesimpulan kita pas.
عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ
لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى مَرَضِهِ « ادْعِى لِى أَبَا بَكْرٍ
وَأَخَاكِ حَتَّى أَكْتُبَ كِتَابًا فَإِنِّى أَخَافُ أَنْ يَتَمَنَّى مُتَمَنٍّ
وَيَقُولَ قَائِلٌ أَنَا أَوْلَى. وَيَأْبَى اللَّهُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلاَّ
أَبَا بَكْرٍ ».
Dari Az Zuhri, dari Urwah dari
Aisyah mengatakan : Rasulullah berkata padaku saat sakitnya : panggillah
Abubakar dan saudaramu agar aku menulis tulisan wasiat, karena aku takut ada
yang berangan-angan, dan ada yang mengatakan : aku lebih layak, Allah dan orang
beriman enggan kecuali pada Abubakar.
Ternyata
bukan di hari kamis saja Nabi ingin berwasiat. Ada lagi saat-saat Nabi ingin
berwasiat. Tapi kali ini isi wasiat jelas. Nabi takut jika ada yang merasa
lebih dari Abubakar. Nabi takut ada orang yang merasa lebih berhak dari
Abubakar. Tetapi Nabi tidak jadi berwasiat, karena berita dari langit telah
turun, menyebutkan bahwa kelak Abubakar yang akan menjadi khalifah. Allah dan
orang beriman enggan kecuali Abubakar yang menjadi khalifah.
Ini
bukti kuat yang melemahkan seluruh pendapat syiah. Ketika Allah dan orang
beriman enggan kecuali Abubakar yang menjadi khalifah, seluruh orang syiah
menghendaki Ali yang menjadi khalifah. Dan yang terjadi adalah kehendak Allah,
bukan kehendak syiah. Namun syiah sampai hari ini masih belum bisa menerima
ketentuan Allah. Kalimat yang disampaikan oleh Nabi adalah kalimat berita, yang
memberitahu kita tentang apa yang terjadi di hari depan. Namun kalimat berita
ini mengandung perintah, yaitu perintah untuk mengikuti apa yang diridhai
Allah, dan perintah untuk selalu bersama orang beriman, dan tidak menyimpang
dari jalan mereka. Allah mengancam orang yang menyimpang dari jalan kaum
beriman:
Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. QS. an-Nisa’ (4) : 115
Syiah
bukan lagi menyimpang dari jalan kaum mukminin yang meridhai Abubakar, tetapi
mengkafirkan sahabat Nabi karena tidak membaiat Ali menjadi khalifah. Ketika orang
mukmin dianggap kafir, maka sesungguhnya yang menganggap kafir itulah yang
kafir.
Meski
tercantum dalam shahih Muslim, riwayat ini tidak pernah terungkap pada
pembahasan saat-saat akhir kehidupan Nabi, apalagi pada pembahasan kamis
kelabu. Karena jelas riwayat ini mementahkan seluruh argumen syiah tentang
wasiat Nabi. Syiah tidak suka dengan keputusan Allah, yang disampaikan oleh
Rasul dan diikuti oleh orang-orang beriman saat itu. Selain itu, hadits ini
juga menunjukkan dengan jelas bahwa para sahabat adalah kaum beriman.
hakekat.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar