Terkonfirmasi, Kwik Kian Gie Jelaskan Kasus yang Diduga Melibatkan Boediono ke KPK
Selasa, 02 April 2013 , 19:55:00 WIB
Laporan: Wahyu Sabda Kuncahyo
http://www.rmol.co/read/2013/04/02/104828/Terkonfirmasi,-Kwik-Kian-Gie-Jelaskan-Kasus-yang-Diduga-Melibatkan-Boediono-ke-KPK-
RMOL. Tujuan kedatangan mantan Menteri Perekonomian Kwik Kian Gie ke Komisi Pemberantasan Korupsi terjawab sudah.
Juru Bicara KPK Johan Budi SP menjelaskan, pihaknya meminta keterangan pakar ekonomi itu terkait penanganan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Kwik Kian Gie dimintai keterangan dalam kaitan dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam lanjutan penyelesaian BLBI yaitu pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas)," katanya saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Selasa (2/4).
KPK mulai menyelidiki kasus yang diduga melibatkan Boediono itu dengan memanggil Kwik Kian Gie sebagai saksi ahli. Sebelumnya, tanpa memberitahu materi penyelidikan, Kwik mengaku dimintai keterangan sebagai saksi ahli.
Pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada sejumlah obligor BLBI merupakan kebijakan kriminal. SKL yang diterbitkan pemerintah sarat dengan rekayasa untuk menyelamatkan pemilik bank yang telah merampas uang negara agar bebas dari kejahatan yang dibuatnya.
Pada bulan Desember 1998, Bank Indonesia menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Audit BPK menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun. Ketika itu Boediono menjabat sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Dugaan keterlibatan Boediono di balik BLBI itu belakangan ini kembali diperbincangkan menyusul terungkapnya putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 977/K/PID/2004; No. 979/K/PID/2004; dan No. 981/K/PID/2004.
Dalam putusan tersebut, disebutkan bahwa pada tanggal 15 dan 20 Agustus 1997, Boediono bersama anggota Direksi BI lainnya telah membuat Keputusan Direksi mengenai pemberian fasilitas saldo debet bagi 18 bank yang mengalami saldo negatif/overdrat. Dalam keputusan itu tidak ditentukan berapa jumlah maksimal saldo debet yang dapat diberikan serta indikator kesehatan bank tersebut.
Dalam Putusan Kasasi No. 979/K/PID/2004 dan No. 977/K/PID/2004 dua dari direksi BI yakni Hendrobudiyanto dan Heru Supraptomo dihukum dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 20 juta. Mereka didakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan dilakukan sebagai perbuatan berlanjut, dimana negara telah dirugikan sebesar Rp 18 triliun.
Secara khusus, dugaan keterlibatan Boediono terungkap dalam Putusan Kasasi MA No. 981/K/PID/2004 yang menyatakan bahwa pada tanggal 21 Agustus 1997 Paul Soetopo dan Boediono telah menyetujui dan memberikan fasilitas saldo debet kepada tiga bank, yakni Bank Harapan Sentosa, Bank Nusa Internasional dan Bank Nasional. MA dalam putusan kasasi telah menghukum Paul Soetopo dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 20 juta. [zul]
Juru Bicara KPK Johan Budi SP menjelaskan, pihaknya meminta keterangan pakar ekonomi itu terkait penanganan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Kwik Kian Gie dimintai keterangan dalam kaitan dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam lanjutan penyelesaian BLBI yaitu pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas)," katanya saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Selasa (2/4).
KPK mulai menyelidiki kasus yang diduga melibatkan Boediono itu dengan memanggil Kwik Kian Gie sebagai saksi ahli. Sebelumnya, tanpa memberitahu materi penyelidikan, Kwik mengaku dimintai keterangan sebagai saksi ahli.
Pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada sejumlah obligor BLBI merupakan kebijakan kriminal. SKL yang diterbitkan pemerintah sarat dengan rekayasa untuk menyelamatkan pemilik bank yang telah merampas uang negara agar bebas dari kejahatan yang dibuatnya.
Pada bulan Desember 1998, Bank Indonesia menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Audit BPK menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun. Ketika itu Boediono menjabat sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Dugaan keterlibatan Boediono di balik BLBI itu belakangan ini kembali diperbincangkan menyusul terungkapnya putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 977/K/PID/2004; No. 979/K/PID/2004; dan No. 981/K/PID/2004.
Dalam putusan tersebut, disebutkan bahwa pada tanggal 15 dan 20 Agustus 1997, Boediono bersama anggota Direksi BI lainnya telah membuat Keputusan Direksi mengenai pemberian fasilitas saldo debet bagi 18 bank yang mengalami saldo negatif/overdrat. Dalam keputusan itu tidak ditentukan berapa jumlah maksimal saldo debet yang dapat diberikan serta indikator kesehatan bank tersebut.
Dalam Putusan Kasasi No. 979/K/PID/2004 dan No. 977/K/PID/2004 dua dari direksi BI yakni Hendrobudiyanto dan Heru Supraptomo dihukum dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 20 juta. Mereka didakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan dilakukan sebagai perbuatan berlanjut, dimana negara telah dirugikan sebesar Rp 18 triliun.
Secara khusus, dugaan keterlibatan Boediono terungkap dalam Putusan Kasasi MA No. 981/K/PID/2004 yang menyatakan bahwa pada tanggal 21 Agustus 1997 Paul Soetopo dan Boediono telah menyetujui dan memberikan fasilitas saldo debet kepada tiga bank, yakni Bank Harapan Sentosa, Bank Nusa Internasional dan Bank Nasional. MA dalam putusan kasasi telah menghukum Paul Soetopo dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 20 juta. [zul]
Tinggalkan KPK, Kwik Kian Gie Bawa Rahasia
Selasa, 02 April 2013 , 18:44:00 WIB
Selasa, 02 April 2013 , 18:44:00 WIB
http://politik.rmol.co/read/2013/04/02/104826/Tinggalkan-KPK,-Kwik-Kian-Gie-Bawa-Rahasia-
Laporan: Wahyu Sabda Kuncahyo
RMOL. Mantan
Menteri Perekonomian Kwik Kian Gie tetap merahasiakan materi
penyelidikan baru yang sedang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dia langsung meninggalkan kantor KPK setelah dimintai keterangannya selama kurang lebih sembilan jam.
Dia langsung meninggalkan kantor KPK setelah dimintai keterangannya selama kurang lebih sembilan jam.
"Jadi
betul-betul rahasia," kata Kwik seraya meninggalkan kantor KPK, Jalan
Rasuna Said, Kuningan Jakarta, Selasa (2/4) dengan Toyota Alphard
miliknya.
Kwik yang mengenakan kemeja putih lengan panjang mengungkapkan bahwa penyelidikan KPK kali ini begitu krusial sehingga tidak dapat sembarangan dibuka ke publik.
"Undangannya rahasia dan pertanyaannya juga rahasia," kata mantan menteri era Presiden Megawati Soekarnoputri itu.
Saat tiba di kantor KPK tadi pagi, Kwik sempat mengaku bakal diperiksa sebagai saksi sebuah kasus korupsi baru yang masih berada di tingkat penyelidikan. Namun, pakar ekonomi ini enggan mengungkapkan kasus yang sedang diselidiki KPK.
"Di penyelidikan saksi ahli," singkatnya.[dem]
Kwik yang mengenakan kemeja putih lengan panjang mengungkapkan bahwa penyelidikan KPK kali ini begitu krusial sehingga tidak dapat sembarangan dibuka ke publik.
"Undangannya rahasia dan pertanyaannya juga rahasia," kata mantan menteri era Presiden Megawati Soekarnoputri itu.
Saat tiba di kantor KPK tadi pagi, Kwik sempat mengaku bakal diperiksa sebagai saksi sebuah kasus korupsi baru yang masih berada di tingkat penyelidikan. Namun, pakar ekonomi ini enggan mengungkapkan kasus yang sedang diselidiki KPK.
"Di penyelidikan saksi ahli," singkatnya.[dem]
Ternyata Skema Penyelesaian Utang Jangka Panjang BLBI Sedot ABPN Capai Rp 14 Ribu T
Selasa, 19 Februari 2013 , 14:13:00 WIB
Selasa, 19 Februari 2013 , 14:13:00 WIB
http://www.rmol.co/read/2013/02/19/99036/Ternyata-Skema-Penyelesaian-Utang-Jangka-Panjang-BLBI-Sedot-ABPN-Capai-Rp-14-Ribu-T-
Skema penyelesaian jangka panjang BLBI membutuhkan anggaran 14 ribu triliun. Oh..Tuhan!!
Setiap tahun pajak rakyat digunakan untuk membayar utang para obligor BLBI senilai 60-80 triliun. Tidak ada kepastian sampai kapan rakyat harus menanggung beban utang sedemikian besar. Beban utang yang menyandera APBN yang menyebabkan negara kehilangan kemampuan untuk membiayai sektor publik dan kesejahteraan rakyat.
Berapa yang harus dibayarkan untuk BLBI?
Tidak ada angka yang pasti. Namun tiga staf sekretariat BPPN, yaitu Gatot Arya Putra, Ira Setiati dan Damayanti dipecat karena melakukan pengembangan analisa mereka termuat di majalah BPPN pada tahun 2002. Yaitu enam skenario obligasi yang harus dilunasi pemerintah dari skenario tepat waktu sebesar Rp1.030 triliun hingga skenario terlama pelunasan mencapai Rp14.000 triliun. (Penelitian IGJ, 2012).
Terindikasi tidak adanya niat baik pemerintah untuk menuntaskan BLBI dari akarnya, yaitu pelunasan hutang dan penuntasan hukum terkait penyalahgunaaan BLBI. Bahkan para konglomerat semakin sukses melebarkan sayap bisnis hasil perampokan BLBI. Mereka para konglomerat adalah orang orang terdekat SBY, ikut membiayai dan menopang rezim ini.
Boediono yang menjadi dalang dibalik semua utang negara yang super besar dan menjerat leher rakyat ini, justru menjadi Wakil Presiden pada Pemilu 2009, dan tidak tersentuh hukum sama sekali.
Boediono telah diputuskan dan dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) pada bulan Juni tahun 2005, namun yang bersangkutan masih santai di kursi Wapres.
Oleh: Lim Mei Ming
Peneliti Indonesia for Global Justice
Senin, 23 Februari 2015 | 07:33 WIB
Skandal BLBI, Kwik Kian Gie Pernah 'Ngedumel' ke Megawati
Ratusan massa berunjukrasa di Gubeng
Pojok, Surabaya. (10/11). Mereka menuntut pemerintah tuntaskan kasus
Bank Century dan BLBI,
Berantas mafia peradilan dan tolak kriminalisasi
KPK. TEMPO/Fully Syafi
PO.CO, Jakarta
- Suatu ketika, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif) Abraham
Samad pernah menumpahkan uneg-unegnya kepada Syamsuddin Alimsyah,
sahabatnya yang juga Direktur Komite Pemantau Legislatif. Kata
Syamsuddin menirukan Samad, mantan pengacara itu mengaku sudah sejak
tahun lalu dibidik sebelum ia menjadi tersangka kasus dugaan pemalsuan
dokumen kependudukan.
Samad dijerat dengan sangkaan memalsukan dokumen administrasi kependudukan dengan terlapor Feriyani Lim, Senin pagi, 9 Februari 2015 pagi. Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, Komisaris Besar Endi Sutendi, Samad dituduh membantu Feriyani membuat dokumen administrasi kependudukan palsu berupa kartu keluarga dan kartu tanda penduduk saat hendak mengurus paspor di Makassar pada 2007.
Syamsuddin menjelaskan, sangkaan terhadap Samad tak lebih hanya kriminalisasi di tengah langkah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi dan suap di Mabes Polri selama menjabat Kepala Biro Pembinaan dan Karier dan jabatan lainnya di Mabes Polri sejak 2006-2010. Belakangan, penetapan tersangka ini dibatalkan oleh hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Mari lihat peristiwa awalnya yakni adanya kebijakan percepatan kasus besar,” ujar Syamsuddin di Makassar, Kamis, 18 Februari 2015. Ia menegaskan, Samad dan pimpinan KPK lainnya hendak menuntaskan tiga kasus dugaan mega-korupsi di akhir periodenya, salah satunya skandal pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepad. “Siapa terlibat di kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)? Itu kan temannya Budi. Kalau BLBI disorot habislah semuanya.”
Tanda-tanda adanya skenario lain di balik penetapan tersangka terhadap pimpinan KPK sudah terbaca sepekan sebelum Samad tersangka. Badan Reserse dan Kriminal tampak buru-buru ingin menuntaskan sejumlah perkara pimpinan KPK yang dilaporkan ke Polri, termasuk kasus Samad. Selasa, 3 Februari 2015, Mabes Polri mengutus Direktur Reserse Umum Polda Yogyakarta, Komisaris Besar Karyoto, untuk menyerahkan permintaan berkas itu.
Karyoto membenarkan datang ke kantor KPK. “Kebetulan saya sedang di Jakarta dan diminta mengantar surat tersebut,” ujar Karyoto kepada Tempo. Surat permintaan data yang dibawa Karyoto, menurut sejumlah sumber, berisi peringatan: jika KPK tak memberikannya hingga Kamis, 5 Februari 2015, kantor KPK akan digeledah. Pada saat yang hampir sama, penyidik Polri meminta surat penetapan penyitaan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Sebagai upaya paksa, tak bisa ujuk-ujuk kami datang menggeledah,” kata Karyoto. Salah satu dari tiga dokumen yang hendak diminta oleh Mabes Polri tersebut adalah perkara kucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang masih dalam tahap penyelidikan di KPK. Para penyelidik KPK berfokus pada penjualan aset grup milik Sjamsul Nursalim oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Grup itu ditengarai masih berutang Rp 3,8 triliun lantaran asetnya tak cukup melunasi tunggakannya, tapi pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001-2004) malah menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) pada Maret 2004. Budi Gunawan ajudan Megawati selama menjabat presiden. Akhir Desember 2014, sumber penegak hukum menengarai ada praktek curang antara pihak penerbit SKL dengan pihak Sjamsul yang sama-sama mengerek nilai aset milik Sjamsul menjadi bernilai tinggi.
“Dalam definisi Kwik, justru dialah yang neolib. Di jaman Kwik menjadi ketua Bapenas hutang tak berkurang. Justru faktanya Tim ekonomi sekarang lebih mampu menurunkan hutang…”Jadi kalau Kwik ingin berdebat dengan Boediono, dari segi apapun tak ada celah bagi Kwik untuk bisa membuktikan bahwa dia lebih mengerti ekonomi jika ukurannya adalah hasil kerja ketika menjabat“. [sumber]
**********
Dan pada tanggal 14 Maret 2002,
Kwik secara lugas tetap menolak perampokan uang rakyat dalam penjualan
saham BCA bersama obligasi rekap yang disetujui oleh seluruh menteri
yang ikut rapat pada 13 Maret 2002.
Samad dijerat dengan sangkaan memalsukan dokumen administrasi kependudukan dengan terlapor Feriyani Lim, Senin pagi, 9 Februari 2015 pagi. Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, Komisaris Besar Endi Sutendi, Samad dituduh membantu Feriyani membuat dokumen administrasi kependudukan palsu berupa kartu keluarga dan kartu tanda penduduk saat hendak mengurus paspor di Makassar pada 2007.
Syamsuddin menjelaskan, sangkaan terhadap Samad tak lebih hanya kriminalisasi di tengah langkah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi dan suap di Mabes Polri selama menjabat Kepala Biro Pembinaan dan Karier dan jabatan lainnya di Mabes Polri sejak 2006-2010. Belakangan, penetapan tersangka ini dibatalkan oleh hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Mari lihat peristiwa awalnya yakni adanya kebijakan percepatan kasus besar,” ujar Syamsuddin di Makassar, Kamis, 18 Februari 2015. Ia menegaskan, Samad dan pimpinan KPK lainnya hendak menuntaskan tiga kasus dugaan mega-korupsi di akhir periodenya, salah satunya skandal pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepad. “Siapa terlibat di kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)? Itu kan temannya Budi. Kalau BLBI disorot habislah semuanya.”
Tanda-tanda adanya skenario lain di balik penetapan tersangka terhadap pimpinan KPK sudah terbaca sepekan sebelum Samad tersangka. Badan Reserse dan Kriminal tampak buru-buru ingin menuntaskan sejumlah perkara pimpinan KPK yang dilaporkan ke Polri, termasuk kasus Samad. Selasa, 3 Februari 2015, Mabes Polri mengutus Direktur Reserse Umum Polda Yogyakarta, Komisaris Besar Karyoto, untuk menyerahkan permintaan berkas itu.
Karyoto membenarkan datang ke kantor KPK. “Kebetulan saya sedang di Jakarta dan diminta mengantar surat tersebut,” ujar Karyoto kepada Tempo. Surat permintaan data yang dibawa Karyoto, menurut sejumlah sumber, berisi peringatan: jika KPK tak memberikannya hingga Kamis, 5 Februari 2015, kantor KPK akan digeledah. Pada saat yang hampir sama, penyidik Polri meminta surat penetapan penyitaan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Sebagai upaya paksa, tak bisa ujuk-ujuk kami datang menggeledah,” kata Karyoto. Salah satu dari tiga dokumen yang hendak diminta oleh Mabes Polri tersebut adalah perkara kucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang masih dalam tahap penyelidikan di KPK. Para penyelidik KPK berfokus pada penjualan aset grup milik Sjamsul Nursalim oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Grup itu ditengarai masih berutang Rp 3,8 triliun lantaran asetnya tak cukup melunasi tunggakannya, tapi pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001-2004) malah menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) pada Maret 2004. Budi Gunawan ajudan Megawati selama menjabat presiden. Akhir Desember 2014, sumber penegak hukum menengarai ada praktek curang antara pihak penerbit SKL dengan pihak Sjamsul yang sama-sama mengerek nilai aset milik Sjamsul menjadi bernilai tinggi.
Dengan Fakta, Kwik Kian Gie Sudah Menang Debat Boediono
https://nusantaranews.wordpress.com/2009/05/26/secara-fakta-kwik-kian-gie-sudah-menang-debat-boediono/
Mei 26, 2009
Tulisan Faisal Basri (FB) “Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal” dan “Hantu : Neoliberalisme vs Ekonomi Kerakyatan”
yang berusaha menyangkal seraya membela bahwa kebijakan Boediono tidak
pernah membela kepentingan IMF di Indonesia tentu mendapat penyangkalan
kembali oleh mereka yang pernah duduk bersama dengan Boedionjo. Tulisan
FB tersebut seolah memberi sinyal bahwa “idealisme Faisal Basri” telah
dibeli oleh “politik” atau dengan bahasa nakalnya “FB sudah bosan
melarat”.
Dr. Drajad H. Wibowo, satu-satunya
anggota DPR yang tidak memberi suara kepada Boediono sebagai Gubernur BI
dengan perbandingan suara 45 dari 46 anggota komisi. Drajad H Wibowo
paham betul adanya sumbangsih kebijakan Boediono dalam BLBI ketika ia
duduk di BI, penjualan bank-bank BPPN bersama obligasi rekap, dan
agenda privatisasi 48 BUMN di tahun 2004. Dan terakhir adalah Kwik Kian
Gie, Kwik menantang cawapres Boediono untuk berdebat mengenai neoliberalisme dan prakteknya di Indonesia selama ini untuk membuktikan kemana komitmen ekonomi Boediono yang sebenarnya.
Pernyataan Kwik untuk menantang debat dengan Boediono disambut Tim Sukses SBY-Boediono, Andi Arif
(mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik – PRD) mengatakan Kwik
lebih neolib daripada Boediono. Ia bahkan mengatakan Kwik tidak berbuat
apa-apa ketika menjadi Menteri, “Alias
makan gaji buta dalam bahasa kasarnya karena tidak mampu membangun
kreatifitas. Kwik hanyalah bertipe birokrat ketimbang ekonom ketika
memimpin Bappenas. Sebagai orang yg pernah gagal, seharusnya Kwik tidak
layak berkomentar,. Ia menambahkan:
“Dalam definisi Kwik, justru dialah yang neolib. Di jaman Kwik menjadi ketua Bapenas hutang tak berkurang. Justru faktanya Tim ekonomi sekarang lebih mampu menurunkan hutang…”Jadi kalau Kwik ingin berdebat dengan Boediono, dari segi apapun tak ada celah bagi Kwik untuk bisa membuktikan bahwa dia lebih mengerti ekonomi jika ukurannya adalah hasil kerja ketika menjabat“. [sumber]
Begitu juga Tim Sukses Boediono, M Chatib Basri,
ia mengatkaan bahwa Kwik tidak layak berdebat karena ia melihat sepak
terjang Kwik selama menduduki orang nomor satu di Bappenas, tidak ada
satupun kebijakan yang pro terhadap rakyat kecil. “Jadi
untuk Pak Kwik nggak perlu berhari-hari karena dari awal sudah selesai.
Pak Kwik gimana selama di Bappenas, counter kebijakannya seperti apa.
Atau jangan-jangan nggak ngerti neo liberal itu seperti apa….. “Privatisasi
sebagian besar masih dimiliki negara, Pertamina, dan PLN. Jadi tidak
ada argumen yang menyatakan kita serahkan semuanya kepada pasar“[sumber]
[update]
Begitu juga pernyataan Rizal Mallarangeng (juru bicara tim sukses pasangan SBY-Boediono) pada 26 Mei 2009 “Itu
kan Kwik lagi bingung antara neolib atau Neozep (obat sakit kepala).
Kwik lagi pusing saja, jadi berkunang-kunang harusnya kan minum Neozep,
tetapi kok ngomong-nya neolib,” [kompas] **[Andy..M. ternyata tdk menunjukkan kapasitasnya yg konon jago dan ahli politik yg jujur..?? nyatanya dia ngomongnya ngacoo.. n tanpa memberi fakta .. apa yg dia mampu lakukan.....?? nggak terbukti smart dan ahli dalam nenberikan respon terhada KKG..? Apa memang dia kalah debat.. dan ilmunya cetek..??]
**********
Oke, saya akan berusaha menjawab pernyataan mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik dan Ekonom M Chatib Basri dan mantan capres independen Rizal Mallarangeng [abangnya Andi Mallarangen]. Mari kita flash back era tahun 1990-an, kemudian tahun 1998, lalu tahun 2000-an, 2002 dan kemudian 2004 dimana Kwik terlibat banyak hal. Sebelum menjadi menteri, Kwik sudah berkiprah dalam dunia tulis menulis di harian Kompas. Di era Gus Dur ia menjadi Menko Ekuin dan selalu memberi bargaining dalam setiap keputusan dengan IMF serta bertahap melepas dikte IMF dengan enggan menekan kontrak LoI IMF. Prinsip ekonomi yang tidak ingin bergantung dengan asing menyebabkan rumor negatif berkembang dirinya, dan akhirnya ia terpaksa mengundurkan diri dari kabinet Gus Dur.
Oke, saya akan berusaha menjawab pernyataan mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik dan Ekonom M Chatib Basri dan mantan capres independen Rizal Mallarangeng [abangnya Andi Mallarangen]. Mari kita flash back era tahun 1990-an, kemudian tahun 1998, lalu tahun 2000-an, 2002 dan kemudian 2004 dimana Kwik terlibat banyak hal. Sebelum menjadi menteri, Kwik sudah berkiprah dalam dunia tulis menulis di harian Kompas. Di era Gus Dur ia menjadi Menko Ekuin dan selalu memberi bargaining dalam setiap keputusan dengan IMF serta bertahap melepas dikte IMF dengan enggan menekan kontrak LoI IMF. Prinsip ekonomi yang tidak ingin bergantung dengan asing menyebabkan rumor negatif berkembang dirinya, dan akhirnya ia terpaksa mengundurkan diri dari kabinet Gus Dur.
Setelah Megawati menjadi Presiden, Kwik
dipercayai mengemban tugas sebagai kepala Bappenas. Prinsip ideologi
nasionalisme yang melekat terhadap dirinya untuk membangun bangsa yang
berdirikari menyebabkan ia selalu “dijauhi” dengan tim ekonomi era
Megawati. Dan salah satu fakta realita yang menjadi pertanyaan besar
bagi Mantan Ketum PRD dan M. Chatib Basri adalah penjualan saham-saham
Bank BPPN yang menyebakan kerugian ratusan triliun bagi rakyat Indonesia
serta menguntungkan ratusan triliun bagi para pemegang saham baru,
obligor, bankir dan kapatilis asing.
**********
Tulisan mengenai penjualan saham bank
BPPN serta utang swasta yang disulap menjadi utang negara (utang najis)
sudah saya tulis di Presiden Mega dan SBY : Pembuat & Pembayar Utang Najis dan Utang Najis : Belajarlah dari Argentina!.
Penjualan saham 51% saham BCA pada 14 Maret 2002 serta saham-saham
bank-bank BPPN lain seperti Niaga, Permata, Danamon, Lippo, telah
menyebabkan kerugian yang sangat besar.
Berikut kesaksian Kwik dihadapan Panja BLBI [berita 27 Sept 2007]
yang dibentuk DPR untuk mencari klarifikasi penyelesaian BLBI dan salah
satunya adalah masalah penjualan saham di tahun 2002. Dalam RDP
tersebut, undangan yang hadir hanyalah Kwiek Kian Gie dan Rizal Ramli
yang pernah menjabat menjadi Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian.
Sementara 3 orang lain yang diundang yaitu Boediono, Bambang Subiyanto
dan Dorodjatun Kuntjorojakti tidak hadir dengan alasan berhalangan.
“Satu hari sebelum BCA dijual [13 Maret 2002] ada sidang kabinet yang dipimpin Megawati (Presiden) sama sekali tidak membicarakan penjualan BCA, tidak ada di agendanya. Tapi setelah sidang kabinet selesai jam 12 adalah Bapak Jusuf Kalla yang sebagai orang yang mengetahui ekonomi dan perdagangan dengan inisiatif mengumumkan, saudara-saudara urusan penjualan BCA merupakan urusan yang penting oleh karena itu saya sarankan supaya para menteri ini pulang makan dan jam 3 kumpul lagi Depkes, khusus mengenai masalah ini supaya tidak diketahui wartawan. Terjadilah diskusi, dan tentu terjadi perdebatan 1 lawan semua, saya tidak setuju bahwa BCA dijual besok dengan harga 5 triliun untuk 51 persen saham, di dalamnya ada tagihan pemerintah 60 triliun“.
“Argumentasi saya ditentang oleh semua yang hadir, termasuk Boediono sebagai Menkeu, Dorodjatun sebagai Menko Perekonomian, SBY sebagai Menkopolkam, Jusuf Kalla Menko Kesra. Jam 6 kita belum selesai rapat, Dorodjatun bilang akhiri. Laksamana (Menneg BUMN) bersama-sama dengan dia ke Megawati bilang bahwa BCA bisa dijual, saya tidak bisa mengendalikan emosi saya, dan marah mengatakan kalian bagaimana dan yang menenteramkan saya SBY, jadi yang menyetujui adalah Megawati dan ini menjadi saksi hidup sampai duduk di dalam kabinet,” paparnya. [detikfinance]
**********Catatan : Kwik menyampaikan ini pada tahun 2007, 2 tahun sebelum deklarasi SBY-Boediono. Dan kita bisa melihat siapa yang tetap konsisten. Dan Kwik Kian Gie diteror ketika memberi pengakuan kembali hal ini dalam Today Dialogue Mei 2008 [sumber]
Tiga menteri itu menyetujui agar BCA
segera dijual sementara Kwik tidak setuju. Alasan Kwik kalau BCA harus
dijual, maka obligasi rekap pemerintah di BCA harus terlebih dulu
dikeluarkan. Hal itu penting, karena dalam pandangan Kwik, semua
obligasi itu hanya digunakan sebagai instrumen bukan obligasi yang
sebenarnya. Obligasi rekap adalah salah satu klausul letter of intent yang disodorkan oleh Dana Moneter Internasional, IMF kepada Indonesia.
Jelas Kwik sebagai menteri tidak
menyetujui penjualan saham-saham BPPN seperti BCA yang merugikan negara
hingga ratusan triliun, transaksi yang akan menyengsarakan rakyat hingg
saat ini.
Bagaimana mungkin para menteri yang dianggap pro-rakyat bisa menyetujui
penjualan 51% saham BCA ke Farallon Capital Partners (total 97%) yang
merugikan negara paling sedikit 50 triliun? Bayangkan, pemerintah
menjual 51% saham BCA seharga Rp 5 triliun yang di dalamnya terdapat
Obligasi rekap atau surat utang pemerintah sebesar Rp 60 trilyun. IMF
memaksa menjualnya kepada swasta dengan harga yang ekuivalen dengan Rp
10 trilyun untuk 100% saham. Jadi BCA harus dijual dengan harga Rp 10
trilyun, dan yang memiliki BCA dengan harga itu serta merta mempunyai
tagihan kepada pemerintah sebesar Rp 60 trilyun dalam bentuk OR yang
dapat dijual kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Seharusnya, bank-bank pesakit di masa
krisis 97-98 mendapat obligasi rekap sementara, dan bila banknya sudah
sehat, obligasi pemerintah bisa ditarik kembali. Namun rupanya setelah
bank-bank itu sudah sehat dan bebas dari kredit macet, IMF mendesak
bank-bank yang sudah sehat itu termasuk BCA harus dijual bersama
obligasinya. Penjualan saham yang merugikan negara ini terjadi tanpa
sepengetahuan Kwik. Kwi baru tahu keesokan harinya, ketika mayoritas
saham BCA telah dijual kepada Farallon seharga Rp 1.775 per lembar saham
atau total Rp 5,3 triliun meski di dalamnya terdapat tagihan pemerintah
Rp 60 trilun. Melalui penjualan 51% saham BCA dan begitu juga Bank BPPN
lainnya, berarti para menteri ini secara langsung telah membuat utang
swasta (dalam obligasi rekap) menjadi utang negara. Itulah yang harusnya
Andi Arif mengerti mengapa utang negara pada saat itu meningkat pesat??
Meski sudah tahu penjualan saham BCA tak bisa dihalangi lagi, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie menegaskan sekali lagi, ketidaksetujuannya tentang divestasi bank BCA, jika obligasi pemerintah yang melekat pada bank tersebut belum dikeluarkan.
**********“Bukan hanya divestasi BCA saja, tapi juga bank-bank lainnya,” kata Kwik usai sidang kabinet terbatas di Gedung Utama Sekretariat Negara Jakarta, siang ini. Kwik mengatakan, sejak dulu selalu menolak divestasi saham pemerintah yang ada di bank-bank sebelum obligasi yang ada di bank bersangkutan dibersihkan. [sumber]
Saya tidak akan mengupas lebih jauh
mengenai BLBI atau privatisasi antara Kwik Kian Gie dan Boediono.
Bagaimana Boediono ketika menjabat sebagai Menkeu memiliki agenda luar
biasa dalam privatisasi yang menjadi harapan besar bagi para agen
neolib, IMF atau WordBank. Pada 28 April 2004, di depan Komisi IX
DPR-RI, Boediono mengajukan usulan agar pada tahun 2004 ini dilakukan
privatisasi 28 BUMN untuk dijual dan tujuh diantaranya diminta
diprioritaskan pada tahun itu juga. Ketujuh BUMN itu adalah Bank
Mandiri, BNI, Tambang Timah, Aneka Tambang, Tambang Batubara Bukit
Asam, PTPN III, dan PT Merpati Nusantara Airlines. Ambisi menjual BUMN
Boediono kandas oleh para anggota DPR. [referensi]
Tidak hanya di era Megawati, di era
Pemerintah SBY, Menko Ekonomi Boediono yang masuk dalam tim inti ekonomi
mengagendakan pemerintah SBY-JK menprivatisasi 44 BUMN di tahun 2008.
Jika tidak ada tokoh nasional dan politik yang membendung penjualan 44
BUMN yang sebagiannya adalah BUMN Strategis, maka ini akan menjadi
agenda privatisasi terbesar sepanjangan sejarah Indonesia. [referensi]
Seharusnya, M Chatib Basri mendokumentasi agenda-agenda privatisasi
Boediono ini yang ditentang oleh para tokoh nasional? Meskipun pada
akhirnya hanya sedikit BUMN yang berhasil dijual, namun kita harus lihat
agenda-nya yang ditentang oleh khalayak ramai? Mungkin Bung Chatib
Basri masih ingat bagaimana Krakatau Steel mau dijual, namun akhirnya
kandas?
Dari fakta realita diatas, maka seharusnya Tim Sukses Boediono M Chatib Basri atau Tim Sukses SBY-Boediono Andi Arif atau
Rizal Malaranggeng Faisal Basri menjawab dulu, apakah mereka yang
mendukung penjualan 51% saham BCA merupakan kebijakan pro-rakyat? Dan
apakah mereka yang menolak penjualan BCA bersama Obligasi rekap adalah
orang yang berpaham neo-lib? Sebagai orang partai ataupun ahli hitung
menghitung, sangatlah ganjil bahwa menjual 51% saham berobligasi rekap
58 triliun hanya senilai 5.3 Triliun. Dan perjuangan Kwik menolak
penjualan saham 51% saham BCA yang merugikan negara dikatakan menerima
gaji buta dan neolib? Sedangkan mereka yang mendukung penjualan 51%
saham BCA yang merugikan negara justru orang pro-rakyat? Rakyat yang
mana pak?
Tahukah bahwa dengan menjual 51% saham
BCA bersama obligasi rekapnya, maka secara sah para pejabat negara
menjadikan utang para bankir/obligor/kapitalis menjadi utang negara?
Mengapa utang najis ini harus dibayar oleh rakyat miskin? Mari kita
timang-timang, siapa yang lebih pro-rakyat dan mana yang lebih
mementingkan kepentingan asing? Dari nama-nama diatas, maka siapakah
diantara Kwik Kian Gie, Boediono, JK, SBY, Megawati, Dorodjatun,
Laksamana Sukardi yang paling pro-rakyat hingga paling pro-kepentingan
IMF/asing?
Justru saya akan membalik pernyataan ekonom M Chatib Basri “Jadi
untuk Pak Boediono nggak perlu berhari-hari karena dari awal sudah
selesai. Pak Boediono gimana selama di Menkeu, kebijakannya seperti apa.
Fakta dan realitas berbicara. Atau jangan-jangan Pak Chatib nggak
ngerti penjualan 51% BCA itu seperti apa dan tidak tahu bahwa negara
dirugikan triliunan rupiah”. Dan yang pastinya, kebijakan Tim
Ekonomi baik di era Mega maupun SBY dalam menangani utang najis, IMF,
privatisasi jauh berbeda dengan seorang Néstor Kirchner, Sang Presiden Argentina.
Salam Perubahan,
ech-nusantaraku, 26 Mei 2009
Kwik adalah mantan Menko Perekonomian era Gus Dur dan Mantan Kepala
Bappenas era Megawati. Ia juga mantan Ketua Litbang DPP PDIP. Baca juga
wawancara Kwik oleh Warta Bisnis : IMF Digunakan untuk Menekan Presiden [Agustus 2003] dan tulisan Kwik: Apa Neo Liberalisme (NEOLIB) Itu? Bagian1 dan Biografi Kwik Kian Gie : Ekonom NasionalisKategori Follow Us!
BLUNDER DAN MALAPETAKA TERBESAR
TERKAIT BLBI: O.R. Artikel 5)
http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/blunder-dan-malapetaka-terbesar-terkait-blbi-o-r-artikel-5/
PENERBITAN SURAT UTANG PEMERINTAH SEJUMLAH RP. 430 TRILYUN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BUNGA SEBESAR RP. 600 TRILYUN
Bank-bank yang tidak ditutup dinilai oleh IMF. Yang kecukupan
modalnya atau Capital Adequacy Ratio (CAR)-nya antara minus 25 % atau
lebih baik harus dinaikkan sampai menjadi 8 % sesuai dengan ketentuan
Bank for International Settlement (BIS) di Bazel, Swiss.
Caranya ialah menaikkan modal ekuitinya, karena CAR adalah Modal
Ekuiti dibagi dengan Asset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Karena
pemerintah tidak mempunyai uang tunai untuk menaikkan Ekuiti, maka
sebagai penggantinya diterbitkan Surat Utang yang diinjeksikan kepada
bank-bank tersebut sampai CAR-nya mencapai 8%.
Jumlah keseluruhan Rp. 430 trilyun. Surat utang yang khusus
diterbitkan untuk meningkatkan CAR bank-bank sampai memenuhi persyaratan
yang ditentukan oleh BIS dan diwajibkan oleh IMF ini disebut Obligasi
Rekapitalisasi Perbankan atau Obligasi Rekap (OR).
Sebagaimana layaknya surat utang, OR juga mengandung kewajiban
pembayaran bunga. Bunga yang dibayarkan kepada bank-bank yang memiliki
OR ini juga dimaksud untuk memberi subsidi kepada bank-bank yang sedang
menderita kerugian.
Jadi OR mempunyai dua fungsi. Yang pertama yalah meningkatkan
kecukupan modal atau solvency. Yang kedua untuk memperoleh pendapatan
bunga, agar bank tidak menderita kerugian. Segera saja timbul
pertanyaan, apakah OR yang dimaksud untuk meningkatkan kecukupan modal
sampai 8 % sesuai dengan formula yang ditetapkan oleh BIS dengan
sendirinya akan memberikan pendapatan bunga, sehingga rugi/laba bank
impas? Tidak rugi dan tidak untung? Jelas tidak. Masalah ini akan saya
bahas tersendiri.
OR MEMBANGKRUTKAN KEUANGAN NEGARA
Kalau setiap lembar dari OR dibayar tepat pada waktunya oleh
pemerintah, kewajiban pembayaran bunganya sebesar Rp. 600 trilyun. Maka
pemerintah tidak dapat menghindar dari kewajiban pembayaran utang OR
yang diciptakan beserta kewajiban pembayaran bunga yang melekat pada OR
tersebut. Bagaimana kalau pada tanggal jatuh temponya OR ternyata tidak
dapat dibayar karena pemerintah tidak cukup mempunyai uang?
Pembayarannya akan ditunda dengan menerbitkan surat utang baru untuk
membayar OR yang sudah jatuh tempo. Bagaimana gambarannya?
3 staf sekretariat dari BPPN, yaitu Gatot Arya Putra, Ira Setiati dan
Dan Damayanti di tahun 2002 mengembangkan sebuah skenario dalam tiga
buah tulisan. Yang pertama dan kedua sempat dimuat dalam Bulletin resmi
BPPN berjudul “Analisa Ekonomi”. Yang ketiga dilarang terbit. Namun
mereka mengirimkannya kepada saya selaku Kepala Bappenas dengan nama
pengirim “Kami yang peduli kepada bangsa ini”. Saya gandakan dan bagikan
kepada para anggota DPR dan pers. Mereka bertiga langsung dipecat. Apa
yang ditulis oleh mereka sehingga dilarang terbit, dan kemudian dipecat?
Seperti dikatakan tadi, dengan jumlah kewajiban pembayaran yang
demikian besarnya, juga besar kemungkinannya bahwa pemerintah tidak akan
mempunyai cukup uang untuk membayarnya tepat pada tanggal jatuh
temponya. Atas dasar ini, ketiga staf BPPN tersebut mengembangkan enam
buah skenario tentang sampai berapa besar membengkaknya kewajiban
pemerintah membayar cicilan utang pokok beserta bunganya.
Skenario terbaik ialah kalau setiap lembar OR dapat dibayar tepat
pada waktunya. Dalam hal ini, kewajiban pemerintah sebesar Rp. 1.030
trilyun, yaitu Rp. 430 trilyun utang pokok dan Rp. 600 trilyun bunga.
Skenario terburuk ialah kalau setiap lembar OR yang jatuh tempo
ditunda pembayarannya dengan satu tenor yang sama, yaitu ditunda dengan
jangka waktu yang sama dengan yang pertama kalinya diterbitkan. Dalam
hal ini, bunganya akan membengkak luar biasa besarnya, sehingga jumlah
kewajiban pembayarannya akan mencapai Rp. 14.000 trilyun.
Menteri Keuangan ketika itu, Boediono telah mencapai kata sepakat
dengan DPR tentang penataan ulang jadwal pemerintah membayar OR yang
disebutnya dengan istilah reprofiling. Kesimpulannya, dengan reprofiling
tersebut, kewajiban pembayaran oleh pemerintah akan membesar dengan Rp.
860 milyar per tahun selama 8 tahun.
Bagaimana hasilnya sampai sekarang sama sekali tidak jelas. Yang kita
baca ialah diterbitkannya surat utang negara terus menerus. Posisi
utang negara, terutama yang berkaitan dengan OR tidak pernah diumumkan
dengan jelas.
Seperti kita ketahui, yang sangat memberatkan keuangan negara
sehingga boleh dikatakan sudah bangkrut ialah porsi pembayaran cicilan
utang pokok dan bunga yang rata-rata 25 % dari APBN.
JALAN PIKIRAN YANG KONYOL DALAM MENGEJAR SOLVENCY
DAN RENTABILITAS SEKALIGUS
Seperti telah ditulis tadi, apakah penerbitan OR dengan jumlah yang
dimaksud untuk memenuhi kecukupan modal atau CAR sampai 8 % dengan
sendirinya juga memenuhi kebutuhan menutup kerugian bank sampai jumlah
yang tidak berlebihan atau kekurangan ?
Ternyata tidak. Secara teoritis dan logis saja bisa dikatakan bahwa
tidak mungkin sama. Kalaupun pernah sama, itu sebuah kebetulan yang luar
biasa.
Penyuntikan bank dengan OR dimaksud untuk memperbaiki kecukupan modal
dengan surat utang. Maka jumlah dari keseluruhan surat utangnya yang
bernama OR ditentukan sebesar angka yang membuat CAR 8 %. Tingkat suku
bunga yang berlaku buat OR ditentukan yang sesuai dengan tingkat suku
bunga yang berlaku. Apakah tingkat suku bunga ini lantas mesti
menghasilkan pendapatan bunga yang impas dengan kerugian bank supaya
bank tidak merugi atau istilahnya IMF ketika itu, bank tidak “bleeding”
lagi?
Saya membuat analisis dari Neraca per 31 Desember 2002 dari 10 bank
yang menerima OR paling banyak. Setelah tanggal tersebut analisis sangat
sulit dibuat, karena laporan keuangan bank-bank yang menerima OR
mengkaburkan pendapatan bunga dari OR. Artinya dicampur aduk dengan
pendapatan-pendapatan lainnya, sehingga tidak bisa diperoleh angka yang
khusus merupakan pendapatan bunga dari OR.
Analisis dalam bentuk Tabel adalah sebagai berikut.
Kerugian Bank-Bank Rekap Bila Bunga O.R Dicabut
(per 31 Desember 2002)
(1) | (2) | (3) | (4) | (5) |
No | Bank | Laba(Rugi) Bersih (dalam jutaan) |
Bunga O.R (dalam jutaan) |
Laba(Rugi) Tanpa Bunga O.R (dalam jutaan) |
1 | Bank Mandiri | 5.809.970 | 21.434.822 | (15.624.852) |
2 | Bank Negara Indonesia | 2.510.653 | 7.537.490 | (5.026.837) |
3 | Bank Rakyat Indonesia | 1.469.670 | 3.735.770 | (2.266.100) |
4 | Bank Tabungan Negara | 303.043 | 1.844.796 | (1.541.753) |
5 | Bank Internasional Indonesia | 131.876 | 2.207.806 | (2.075.930) |
6 | Bank Danamon | 989.284 | 3.331.297 | (2.342.013) |
7 | Bank Permata | (847.855) | 1.106.363 | (1.954.218) |
8 | Bank Niaga | 76.593 | 1.134.047 | (1.057.454) |
9 | Bank Lippo | 192.564 | 739.755 | (547.191) |
10 | Bank Central Asia | 3.400.066 | 8.591.568 | (5.191.502) |
Jumlah | 14.035.864 | 51.663.714 | (37.627.850) |
Kita lihat bahwa dari sepuluh bank yang menerima OR sampai kecukupan
modalnya memenuhi syarat ternyata pendapatan bunga yang diperoleh
kelebihan banyak kalau sekedar hanya dimaksud untuk menutup kerugian
supaya impas, atau supaya bank berhenti bleeding.
Kita lihat Bank Mandiri dari Tabel ini. Perolehan pendapatan bunga
dari OR yang disuntikkan sebesar Rp. 21,435 trilyun. Kerugiannya Rp.
15,625 trilyun. OR yang disuntikkan kepada Bank Mandiri tidak hanya
membuat Bank Mandiri berhenti bleeding, tetapi memperoleh laba sebesar
Rp. 5,810 trilyun, karena disubsidi sebesar Rp. 21,435 trilyun dalam
bentuk bunga OR.
Sekarang kita perhatikan BCA (no. 10 dalam Tabel). BCA merugi Rp.
5,192 trilyun. Tetapi injeksi OR sebesar Rp. 60 trilyun membuahkan
pendapatan bunga sebesar Rp. 8,592 trilyun, sehingga akhirnya membukukan
laba sebesar Rp. 3,4 trilyun. Bank ini akhirnya dijual dengan nilai
sebesar Rp. 10 trilyun saja. Tentang ini saya bahas tersendiri.
KEKONYOLAN FORMULA MENGHITUNG KECUKUPAN MODAL DAN AKIBATNYA
Kecukupan Modal atau yang dinamakan CAR adalah Modal Ekuiti dibagi
dengan Asset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Komponen dari ATMR
bermacam-macam, dan karena itu, resikonya juga bermacam-macam. Caranya
BIS menentukan resiko buat Indonesia sangat aneh.
Semua asset berupa pemberian kredit kepada perusahaan resikonya
dianggap 100 % tanpa peduli seberapapun bonafidnya perusahaan yang
memperoleh kredit.
Akibatnya, semakin bank yang disehatkan oleh pemerintah berhasil, semakin memburuk CAR-nya. Penjelasannya sebagai berikut.
Andaikan pada satu waktu tertentu ATMR sebesar Rp. 1,25 trilyun dan
modal ekuitinya Rp. 100 milyar. Kalau dihitung, CAR-nya 8 %, yaitu Rp.
100 milyar dibagi dengan Rp. 1,25 trilyun dikali 100 %. Setelah ini,
ceteris paribus, bank berhasil menarik deposito dan tabungan sebesar Rp.
5 trilyun yang seluruhnya disalurkan dalam bentuk kredit kepada
perusahaan-perusahaan sangat bonafid. Modal ekuiti tidak bertambah,
tetapi ATMR ketambahan Rp. 5 trilyun, sehingga perhitungan CAR menjadi
Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 6,25 trilyun, yaitu ATMR lama sebesar
Rp. 1,25 trilyun ditambah dengan pemberian kredit baru sebesar Rp. 5
trilyun. CAR-nya menjadi Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 6,25 trilyun
dikali 100 % atau 1,6 %. Memang ini kondisi ceteris paribus, sedangkan
kenyataannya tidak. Laba bersih ditambahkan pada modal ekuiti yang
dampaknya memperbesar CAR. Betul, tetapi membutuhkan waktu, terjadi time
lag, sedangkan penarikan deposito dan tabungan berjalan terus yang
harus sesegera mungkin disalurkan ke sektor produktif, bukannya
dibelikan SBI atau apa saja yang dijamin oleh pemerintah kalau mau
dikatakan sehat.
Maka bank-bank tidak mau memberi kredit, maunya membeli SBI, karena
SBI dan sejenisnya dianggap resikonya nol, sehingga tidak menurunkan
CAR. Herankah kalau Loan to Deposit Ratio (LDR) setelah sekian lamanya
tetap saja rendah? Dan herankah kalau di masa mendatang keuangan negara
akan tetap saja sangat-sangat berat?
Sudah konyol seperti ini, Bank Indonesia yang independen merasa perlu
terus menerus menerbitkan SBI dengan tingkat suku bunga yang menarik.
Kecuali memberikan pendapatan kepada bank-bank yang mempunyai likuiditas
tanpa bekerja, BI juga mengeluarkan sangat banyak uang untuk membayar
bunga SBI. Berapa seluruhnya juga sangat sulit ditelusuri, karena BI
tidak pernah pro aktif memberikan angka-angkanya secara transparan.
Yang memberatkan APBN kita itu perbankan yang prinsip-prinsip
pengelolaannya didasarkan atas resep-resep IMF dan ketentuan-ketentuan
BIS, bukan naiknya harga minyak dunia ! Jadi subsidi terbesar diberikan
kepada perbankan. Pertama BLBI, lantas OR beserta bunganya, blanket
quarantee, penentuan CAR yang asetnya beresiko nol kalau ada dukungan
dari pemerintah dalam bentuk apa saja. Kenaikan harga minyak dunia tidak
berdampak sama sekali pada pengeluaran pemerintah. Yang benar kalau
diperdebatkan apakah harga BBM di Indonesia tidak terlalu murah ? Ini
sangat berlainan dengan mengatakan bahwa semakin tinggi harga minyak
dunia, semakin besar pengeluaran tunai pemerintah! Pengeluaran
pemerintah tidak ada, sebaliknya, tengok APBN. Semua pos migas kalau
digabung menunjukkan angka surplus. Inilah nasibnya bangsa yang tidak
merdeka lagi dalam berpikir !
LAGI-LAGI PIKIRAN YANG BENAR DAN BAIK TIDAK DIGUBRIS
Penerbitan OR untuk memenuhi persyaratan BIS dalam CAR memang
dipaksakan oleh IMF. Akibatnya adalah kewajiban pembayaran utang OR
beserta bunganya yang boleh dikatakan membangkrutkan keuangan negara
entah sampai kapan.
Sedikit orang yang mengerti dan memahaminya telah berbuat sekuat
tenaga untuk menghindarinya. Semua upaya mereka gagal karena kuatnya
pengaruh Berkeley Mafia. Yang pertama menyadari adalah Prof. Bambang
Sudibyo selaku Menteri Keuangannya Gus Dur dan saya sendiri selaku Menko
EKUIN-nya.
Kami berdua telah sepakat bahwa OR ditarik kembali oleh pemerintah
tanpa membuat banknya bangkrut sebelum dijual kepada swasta atau
diprivatisasi, yang juga merupakan persyaratan IMF.
OR adalah piutang dari bank-bank yang telah menjadi milik pemerintah
kepada pemerintah. Atau pemerintah berutang kepada bank-bank yang
dimiliki oleh pemerintah sendiri. Jadi ibaratnya utang dari kantong kiri
kemeja satu orang kepada kantong kanan dari kemeja yang sama. Maka
urusannya hanya bagaimana tekniknya. Teknik atau cara penarikannya
termasuk domain sub ilmu pengetahuan yang sama sekali tidak dipahami
oleh para teknokrat Berkeley Mafia maupun teknokrat IMF. Atau mungkin
mereka memahaminya, tetapi sengaja mau mengobral bank-bank dengan harga
murah seraya membangkrutkan keuangan negara.
Cara mengeluarkannya yang pertama kali disepakati antara Menkeu
(ketika itu) Bambang Sudibyo dan KKG secara diam-diam adalah mengganti
OR dengan apa yang kami namakan zero coupon bond (ZCB). Ini adalah
dokumen semacam obligasi yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Isinya
jaminan pemerintah bahwa CAR senantiasa memenuhi persyaratan BIS. Tetapi
ZCB tidak mengandung kewajiban pembayaran bunga. Isinya hanya angka
yang harus dianggap sebagai Modal Ekuiti agar CAR-nya 8 %. Jadi ZCB
adalah dokumen jaminan pemerintah untuk membawa solvency bank pada
persyaratan IMF. Tetapi ZCB sama sekali tidak mengandung kewajiban
membayar bunga kepada pemegangnya. Bank yang merugi atau bleeding dibuat
impas dengan subsidi tunai oleh pemerintah setiap bulannya yang
jumlahnya persis sama dengan kerugiannya.
Semua bank diberi tenggang waktu 5 tahun untuk menjadi sehat atas
kekuatan sendiri. Kalau tidak ditutup, dan kalau sudah sehat atas
kekuatan sendiri, ZCB ditarik. Kalau penyehatan harus dicapai melalui
privatisasi lebih baik. Tetapi ini berarti bahwa pembeli bank harus
menginjeksi dengan uang segar yang tunai untuk secara riil meningkatkan
modal ekuitinya.
Setelah itu, para ahli dalam bidang keuangan dan perbankan
berdasarkan idealisme mengembangkan 6 (enam) alternatif solusi menarik
OR sebelum bank dijual berikut OR-nya. Kesemua pikiran ini dimuat di
Kompas tanggal 26 dan 27 Agustus 2002. Setelah itu dibukukan dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang dibagikan kepada semua anggota
DPR, Bank Dunia, para Menteri dan Pers. Tim para ahli ini terdiri dari
Dr. Dradjat Wibowo sebagai koordinator dan para anggotanya adalah :
Anthony Budiawan, Dandossi Matram, Djoko Retnadi, Eko B. Supriyanto,
Elvyn G. Masassya, Ito Warsito dan Lenny Sugihat.
Semuanya tidak digubris walaupun akibatnya kita rasakan sendiri
sampai sekarang, yaitu mengeluarkan uang sebesar sekitar 25 % dari APBN
entah sampai kapan. Motifnya hanya satu, yaitu patuh pada IMF secara
mutlak dan habis-habisan.
Prinsip dan inti pikiran Zero Coupon Bond yang sama sekali tidak
diugbris sebagai cara untuk menarik kembali OR adalah sama dengan
Capital Maintenance Note yang berasal dari pikirannya Paul Volcker yang
diterapkan untuk menyelesaikan masalah sengketa BLBI antara BI dan
Menteri Keuangan. Apa lagi sebabnya kalau bukan mental inlander yang
hanya bisa menerima pikiran orang berkulit putih?
BANK-BANK DIJUAL DENGAN OR DI DALAMNYA
Akhirnya tanpa ada selembarpun OR yang ditarik kembali, bank-bank eks
swasta yang di dalamnya masih mengandung OR atau tagihan kepada
pemerintah dalam jumlah besar dijual kepada swasta. Banyak swasta asing
yang membelinya dengan harga murah.
OR-nya segera dijual kepada publik, sehingga pemerintah sudah tidak bisa mengenali lagi kepada siapa berutang.
Contoh yang paling spetakuler adalah penjualan BCA dengan nilai Rp.
10 trilyun. Pembelinya memiliki BCA yang mempunyai tagihan dalam bentuk
OR kepada pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun.
Sekarang setelah telat mikir sekitar 7 tahun, seperti halnya dengan
perhatian terhadap BLBI beserta malapetakanya, orang baru menyadari
betapa tidak masuk akal dan betapa pemerintah dirugikan dengan penjualan
BCA, yang sangat bisa dihindari
Kategori Follow Us!
wikkiangie.com/v1/2011/03/interpelasi-blbi-kasus-bdni-artikel-4/
Seperti
BCA, masalah BLBI BDNI beserta keseluruhan rentetannya yang merugikan
keuangan negara menjadi fokus penelitian atau penyidikan oleh Kejaksaan
Agung.
Maka kasus BDNI saya sajikan dalam satu artikel tersendiri. Segala
sesuatu yang tercantum dalam artikel ini berdasarkan angka-angka tahun
2002. Tidak jelas apakah setelah data dan angka yang tercantum dalam
artikel ini ada pekembangan angka-angka yang baru.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia(BLBI)
Utang mantan pemilik BDNI Syamsul Nursalim (SN) dalam bentuk BLBI sebesar Rp. 30,9 trilyun.
Bagaimana cara penyelesaian BLBI ini tidak begitu jelas bagi saya.
Sebagai perbandingan, dalam hal BCA, utang BLBI kelompok Salim dibayar
dengan 93% dari pemilikan BCA.
Nampaknya modal ekuiti BDNI sudah negatif, sehingga tidak ada
nilainya sama sekali. Maka utang BLBI menjadi bagian dari keseluruhan
utang SN yang harus dilunasi.
MODAL EKUITI BDNI SUDAH NEGATIF
BPPN menerbitkan buku berjudul “Shareholders settlement. An outline of its concepts and objectives”, tertanggal 3 Februari 2000
Di halaman 13 tercantum “Consolidated balance sheet of BDNI before
and after adjustment based on Indonesian GAAP” dengan tanda bintang.
Tanda bintangnya berarti ada catatan di bawah yang mengatakan “Source :
ADDP Ernst and Young”. Kepanjangan ADDP adalah Accepted Due Diligence
Process dan kepanjangan GAAP adalah General Accepted Accounting
Principle.
Jumlah asset yang unadjusted Rp. 33,572 trilyun. Dengan sebutan “GAAP
adjustment” asset ini dikurangi dengan Rp. 27,994 trilyun, sehingga
menurut Ernst and Young assetnya tinggal Rp. 5,578 trilyun.
Jumlah kewajibannya (liabilities) yang tercantum sebesar Rp. 32,275
trilyun dikoreksi dengan tambahan Rp. 15,882 trilyun, sehingga
kewajibannya yang benar menurut Ernst and Young sebesar Rp. 48,157
trilyun.
Dengan demikian, menurut Ernst and Young Modal Ekuitinya negatif sebesar Rp. 42,579 trilyun.
Rekapitulasinya sebagai berikut :
(dalam trilyun rupiah)
(dalam trilyun rupiah)
• | Aktiva sebelum dikoreksi oleh Ernst & Young atas dasar GAAP | 33,572 | |
• | Koreksi sesuai dengan GAAP | (27,994) | |
• | Aktiva setelah dikoreksi | 5,578 | |
• | Kewajiban sebelum dikoreksi | (32,275) | |
• | Koreksi sesuai dengan GAAP | (15,882) | |
• | Kewajiban setelah dikoreksi sesuai GAAP | (48,157) | |
• | Modal Ekuiti menjadi Negatif sebesar | (42,579) |
PENANGANAN BLBI
Karena Modal Ekuiti BDNI sudah lama negatif, maka BLBI tidak dapat dikonversi menjadi pemilikan seperti halnya dengan BCA.
Berbeda dengan BCA, status BDNI ialah Bank Beku Operasi (BBO). Karena
itu tidak ada gunanya Pemerintah memilikinya melalui konversi BLBI ke
dalam pemilikan saham-saham, karena BDNI sudah tidak akan beroperasi
lagi.
Penyelesaiannya ialah menentukan utang SN seluruhnya kepada negara.
Jumlah BLBI sepenuhnya diperhitungkan dengan keseluruhan kekayaan dan
kewajiban BDNI, yang perinciannya sebagai berikut :
JUMLAH HUTANG SYAMSUL NURSALIM(SN)
(dalam trilyun rupiah)
Jumlah keseluruhan utang SN kepada Pemerintah sebesar Rp. 28,4 trilyun yang dirinci sebagai berikut :
• | BLBI | (30,9) | |
• | Deposito dan Pinjaman | (7,1) | |
• | Pinjaman kepada BI melalui Guarantee Scheme | (4,7) | |
• | LC dll. | (4,6) | |
Total Utang | (47,3) |
digunakan untuk mengurangi utang
(dalam trilyun rupiah)
• | Kas | 1,3 | |
• | Pinjaman kepada Petambak Udang (via PT Dipasena) |
4,8 | |
• | Aktiva Tetap dan Penyertaan | 4,6 | |
• | Pinjaman Pihak Ketiga dan Aktiva Lainnya |
8,2 | |
Total Aktiva yang dapat di-offset | 18,9 | ||
Jumlah Utang Neto | (28,4) |
PENYELESAIAN UTANG
Penyelesaian utang dilakukan dengan MSAA yang isinya sebagai berikut,
• | Dengan uang tunai sebesar | Rp. 1,0 trilyun |
• | Dengan Asset sebesar | Rp. 27,4 trilyun |
• | 50,0% dari GT Petrochem | 344.100.000 |
• | 55,3% dari Filamindo Sakti | 87.000.000 |
• | 56,5% dari Sentra Sentetika | 52.700.000 |
• | 78,0% dari Gajah Tunggal | 176.300.000 |
• | 39,8% dari Meshindo Alloy | 14.800.000 |
• | 39,8% dari Langgeng Baja Pratama | 5.300.000 |
• | 99,9% dari Dipasena | 1.802.400.000 |
Jumlah | 2.482.600.000 |
Dihitung dengan kurs Rp. 11.075 per US $ =
Rp. 27,495 trilyun
Nilai tambak udang PT Dipasena sebesar US$ 1.802.400.000 sangat
kontroversial. Nilai ini ditentukan oleh Credit Suisse First Boston.
Seperti yang saya tulis di Kompas tanggal 5 Oktober tahun 2000, ada
penilaian oleh Price Waterhouse Coopers yang menyatakan nilai PT
Dipasena NOL. Sebabnya karena kondisinya ketika itu tambak udang kosong
dan beracun.
SKL (Release and Discharge)
Dalam tulisan saya tersebut juga disebutkan bahwa “di atas kop surat
BPPN tanggal 25 Mei 1999 Pemerintah Indonesia memberikan Release and
Discharge atas pelanggaran BMPK.” Dokumen R&D ini ditandatangani
oleh Kepala BPPN Farid Harjanto. Ini agak aneh, karena SKL diterbitkan
sebelum Inpres no. 8 tahun 2002 yang diterbitkan oleh Presiden Megawati.
Atas dasar Inpres ini Kepala BPPN menerbitkan SKL sekali lagi untuk
Syamsul Nursalim.
SENGKETA DALAM PEMBAYARAN TUNAI SEBESAR Rp. 1 TRILYUN
SN merasa telah membayar tunai yang disyaratkan sebesar Rp. 1 trilyun dengan perincian sebagai berikut.
• | Pembayaran untuk OHS (US$ 154.950,13) |
Rp. 1.262.843.559,50 |
• | Pembayaran untuk Nauta Dutilh (US$ 212.015,87) |
Rp. 1.727.929.340,50 |
• | Pembayaran notaris dan pengacara (cadangan) |
Rp. 500.000.000,00 |
• | Dana shareholder yang barada di BDNI (BBO) berupa deposito, tabungan dan Giro |
Rp. 598.858.731.426,43 |
Total | Rp. 602.349.504.326,43 | |
Penyelesaian sisa settlement BDNI (final) |
Rp. 500.000.000.000,00 | |
Kelebihan dana shareholder | Rp. 102.349.504.326,43 |
Dalam suratnya kepada BPPN tanggal 12 Juni 2000, SN menyatakan telah
kelebihan membayar Rp. 172.963.477.615,23 sebagai hasil perincian yang
tercantum dalam suratnya tersebut. Surat bersama ini saya lampirkan.
PENDIRIAN BPPN
Pada tanggal 16 Mei 2000 dengan judul “Kronologi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) BDNI”, di halaman 4 dengan judul :
“Masalah Terkini” tercantum sebagai berikut.
1. | Pembayaran tunai Rp. 1 trilyun belum diselesaikan | ||||||||
2. | SN belum menyerahkan saham GT, GTPI, dan DCD kepada TSI | ||||||||
3. | Saham-saham holdback asset belum diserahkan ke escrow | ||||||||
4. | Prekondisi lain yang belum dipenuhi :
|
MISPRESENTASI UTANG PETAMBAK UDANG
Data di bawah ini adalah rangkuman dari tulisan KKG di Kompas
tanggal 14 Oktober 2000 dengan judul “Petani Udang Dipasena. Tidak Tahu
Utang Menumpuk”.
Ada dua hal penting dalam tulisan tersebut, yaitu :
1. | Komponen terbesar dari pembayaran oleh SN adalah PT Dipasena |
2. | Dalam rangka PT Dipasena, BPPN menganggap ada “mispresentasi” hutang petambak. |
Masalah dengan petambak udang dapat dirangkum sebegai berikut :
• | Petambak udang bekerja dalam bentuk Pola Inti Rakyat (PIR) sebagai plasma. Tetapi para petambak sama sekali tidak bebas, karena diikat dengan pemberian kredit kepadanya oleh BDNI yang milik SN. |
• | Kredit diberikan dalam US$ yang nilai rupiahnya berfluktuasi. |
• | Petambak tidak diberi pengertian yang jelas, sehingga terjadi demonstrasi berkali-kali dengan kericuhan sampai ada yang tewas. |
• | Harga beli dari petambak ditentukan sepihak oleh Dipasena, yaitu US$ 4,50 per kg., sedangkan ongkos produksinya US$ 7,5 |
• | Kerugian ini tidak diberitahukan kepada petambak, tetapi dibukukan oleh Dipasena sebagai utang petambak kepada BDNI |
• | Supaya petambak tenang, walaupun sistem PIR, kepada
mereka diberikan gaji sebesar Rp. 650.000 yang (mungkin) diperhitungkan
dengan harga belinya.KategoriFollowUs!http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/interpelasi-blbi-kasus-bca-artikel-3/INTERPELASI BLBIKASUS BCA (Artikel 3)
Dalam
penelitian atau penyidikan masalah BLBI oleh Kejaksaan Agung yang
menjadi prioritas adalah kasus BCA dan BDNI. Terutama kasus BCA,
publikasi oleh media massa cukup intensif. Mungkin karena itu, para
anggota DPR dalam interpelasinya nanti juga akan menyorot kasus BCA.
Maka dalam serial artikel tentang BLBI, kasus BCA saya tulis secara
khusus dalam satu artikel.
Rush dan BLBI
Dengan terjadinya krisis moneter dan
ekonomi tahun 1997 BCA terkena rush. Untuk meredam rush BCA menerima
BLBI yang jumlah seluruhnya Rp. 32 trilyun.
Jumlah tersebut diberikan secara
bertahap dengan jumlah Rp. 8 trilyun, Rp. 13,28 trilyun dan Rp. 10,71
trilyun, atau seluruhnya Rp. 31,99 trilyun (dibulatkan menjadi Rp. 32
trilyun)
Dari jumlah ini yang telah dibayarkan
oleh BCA adalah cicilan utang pokok sebesar Rp. 8 trilyun dan
pembayaran bunga sebesar Rp. 8,3 trilyun yang tingkat bunganya ketika
itu sebesar 70 % per tahun.
Pemerintah menganggap hanya pembayaran
cicilan utang pokoknya saja sebesar Rp. 8 trilyun yang mengurangi
utangnya. Pembayaran bunga, walaupun sebesar Rp. 8,3 trilyun dengan
tingkat bunga yang 70 % setahun ketika itu tidak dianggap oleh
pemerintah sebagai mengurangi utang BLBI-nya keluarga Salim. Karena
itu, jumlah sisa utang BLBI oleh pemerintah dianggap sebesar Rp. 23,99
trilyun. Jumlah ini dianggap ekivalen dengan 92,8 % dari nilai
saham-saham BCA. Maka kepemilikan BCA sebesar ini disita oleh
pemerintah sebagai pelunasan utang BLBI oleh keluarga Salim. Dengan
disitanya 92,8 % saham-saham BCA dari tangan keluarga Salim menjadi
milik pemerintah, utang BLBI keluarga Salim lunas. Jadi ketika itu juga
keluarga Salim sudah tidak mempunyai utang BLBI. Utang keluarga Salim
sebesar Rp. 52,7 trilyun adalah utang urusan lain lagi, bukan utang
BLBI. Penggunaan istilah “BLBI” sebagai istilah generik untuk segala
permasalahan sangat keliru.
Utang mantan Pemegang Saham BCA sebesar Rp. 52,7 trilyun
Sekarang penjelasan tentang utangnya keluarga Salim sebesar Rp. 52,7 trilyun. Ceriteranya sebagai berikut.
Ketika masih dimiliki sepenuhnya oleh
keluarga Salim, sebagai pemilik BCA keluarga Salim mengambil kredit
dari BCA senilai Rp. 52,7 trilyun.
Maka ketika 93 % BCA dimiliki oleh
Pemerintah, utangnya keluarga Salim tersebut beralih menjadi utang
kepada pemerintah. Jadi Pemerintah menagihnya kepada keluarga Salim.
Keluarga Salim tidak memiliki uang
tunai. Maka dibayarlah dalam skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham
(PKPS) yang wujudnya Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA)
dengan uang tunai sebesar Rp. 100 milyar dan 108 perusahaan.
Yang menentukan bahwa penyelesaian atau
settlement seperti ini bagus dan absah adalah pemerintah sendiri. Yang
menentukan bahwa nilai 108 perusahaan memang sebesar Rp. 51,9 trilyun
adalah pemerintah sendiri. Dalam penentuan ini, pemerintah menggunakan
jasa Danareksa, Bahana dan Lehman Brothers. Kita membaca di media massa
sangat terkemuka berbagai uraian dari para akhli Danareksa dan Bahana
yang dianggap sangat-sangat pandai dan mesti betulnya. Lehman Brothers
bahkan menyatakan secara tertulis bahwa nilainya 108 perusahaan
tersebut terlampau kecil, dengan selisih angka sebesar Rp. 204 milyar.
Jadi menurut Lehman Brothers, pembayaran
utang oleh Salim sebesar Rp. 100 milyar tunai ditambah dengan 108
perusahaan nilainya Rp. 53,204 trilyun, atau kelebihan Rp. 204 milyar
dibandingkan dengan utangnya. Namun pendapat Lehman Brothers tentang
yang kelebihan Rp. 204 milyar ini tidak dianggap atau tidak digubris
oleh pemerintah.
Selisih Penilaian
Penilaian dari 108 perusahaan yang
semula Rp. 52,8 trilyun oleh Bahana, Danareksa dan Lehman Brothers
kemudian dinilai oleh Price Waterhouse Coopers (PWC) dengan titik tolak
penjualan “paksa” tidak lebih lambat dari tanggal tertentu. PWC tiba
pada angka Rp. 20 trilyun saja. Titik tolak dan asumsi ini tertuang
dalam Letter of Intent dengan IMF.
Dalam prakteknya keseluruhan 108 perusahaan ternyata memang hanya laku dijual dengan nilai sekitar Rp. 20 trilyun saja.
Mengapa bisa terjadi selisih penilaian
oleh Bahana, Danareksa, Lehman Brothers di satu pihak dan oleh Price
Water House Coopers di lain pihak dijelaskan dalam sub judul
tersendiri.
Release and Discharge (R&D) atau Surat Keterangan Lunas (SKL)
Karena sudah dianggap lunas, maka kepada
SG diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) atau Release and Discharge
(R&D). Presiden Megawati S. berani memberikannya karena sudah
dilandasi oleh UU no. 25 tahun 2000 tentang Propenas, TAP MPR no.
VIII/MPR/2000. Ketika digugat oleh Lembaga Bantuan Hukum, Mahkamah
Agung mengalahkan penggugat. Maka lengkap dan kuatlah payung hukumnya
Presiden Megawati.
Masalah Besar Karena Telat Mikir (TELMI)
Apa masalah besar yang sekarang ini
sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) ? Beberapa tokoh
masyarakat dan pimpinan tertinggi negara telat mikir (telmi). Setelah
dahulunya ikut menggebu-gebu menyetujui dan membela penyelesaian
seperti yang digambarkan di atas, sekarang marah, karena dampak ketidak
adilannya luar biasa besarnya. Wong asset yang dinilai Rp. 52,6
trilyun ketika dijual kok hanya laku sekitar Rp. 20 trilyun, sehingga
keuangan negara dirugikan sebesar sekitar Rp. 32,7 trilyun.
Yang lucu, sebelum dijual PWC sudah
ditugasi oleh Pemerintah untuk menilainya kembali dengan TOR yang
berbeda. Jatuhnya sekitar Rp. 20 trilyun. Toh ini yang dijadikan acuan
menjual, dan akhirnya memang hanya laku sekitar Rp. 20 trilyun.
Jadi pemerintah menerima nilai asset
sebesar Rp. 52,8 trilyun sebagai pelunasan utang keluarga Salim, tetapi
pemerintah juga yang bangga bisa menjualnya dengan nilai Rp. 20
trilyun. Bangganya karena bisa memperoleh recovery rate sekitar 34 %,
sedangkan dari obligor lainnya rata-rata hanya memperoleh 15 % yang
dianggap sangat normal oleh para teknokrat penguasa ekonominya Presiden
Megawati.
Di Mana Letak Permasalahannya ?
Bahana, Dana Reksa dan Lehman Brothers
ditugasi menilai dengan asumsi “Pandangan yang positif tentang hari
depan ekonomi Indonesia dan lingkungan politik yang normal (normalised
economic and political scenarios). Jadi mereka disuruh menilai 108
perusahaan itu sebagai going concern dalam lingkungan ekonomi makro
yang bagus.
Price Waterhouse Coopers (PWC) ditugasi
dengan asumsi dan TOR yang intinya berbunyi : “harus dijual dalam waktu
antara 8 dan 10 minggu”, dengan “transaksi penjualan dilakukan antara
pembeli yang mau membeli tetapi ogah-ogahan, dan penjual yang mau
menjual tapi ogah-ogahan” (willing but not anxious). Jadi PWC ditugasi
menilai 108 perusahaan itu dengan titik tolak dan asumsi liquidation
value dalam lingkungan ekonomi makro yang para investornya ogah-ogahan
melakukan investasi atau membeli 108 asset keluarga Salim.
Jadi ketika menerima 108 perusahaan
sebagai pelunasan utang, pemerintah yang menilainya sebagai going
concern. Tetapi ketika menjual, pemerintah sendiri juga yang menilainya
dengan titik tolak dan asumsi liquidation value.
Menilai perusahaan memang sulit,
merupakan sub disiplin ilmu tersendiri yang tidak dipahami oleh para
teknokrat dan professor yang berteori bahwa kodok melompat-lompat dalam
air, sedangkan kodok selalu berenang begitu menyentuh air.
Nilai perusahaan bisa didasarkan atas
replacement value, discounted cash flow value, net present value,
historical value, liquidation value dan entah apa lagi. Hasil dari
berbagai metoda penilaian ini juga berbeda-beda.
Begitu nilai PWC keluar, kecuali satu
orang, seluruh anggota kabinet Gotong Royong, KKSK ( Komite Kebijakan
Sektor Keuangan ) dan BPPN setuju dijual dengan nilainya PWC. Menko
Dorodjatun K yang ketika itu didukung penuh oleh Menteri Keuangan
Boediono dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi berujar dengan keras dan
tegas bahwa negara manapun di dunia yang terkena krisis memang harus
menanggung kerugian besar. Biasanya harus rugi sekitar 85 % dari nilai
asset yang dipakai untuk membayar, atau uang yang kembali rata-rata 15 %
(yang disebut recovery rate). Maka ada yang menganggap Salim Group
“pahlawan” karena recovery rate-nya sekitar 34 %.
Berani Melawan IMF ?
Bukankah IMF yang memerintahkan bahwa
asset SG harus dijual tidak lebih lambat dari tanggal tertentu tanpa
peduli berapa lakunya ? Dan batas waktu ini diumumkan kepada dunia. Apa
berani, wong kalau berani tidak patuh pada IMF Indonesia diancam
diisolasi oleh masyarakat dunia ?
Ya tidak berani, tapi kan bisa cerdik.
Maka ada seorang menteri anggota KKSK yang mati-matian mengatakan bahwa
dijual tidak melampaui batas waktu tertentu boleh, tetapi dengan
tender terbuka, dan pemerintah menentukan harga minimum yang
dirahasiakan. Harga ini dibuka bersama-sama dengan semua penawar BCA.
Kalau harga penawaran tertinggi lebih rendah dari harga minimum, oleh
pemerintah penjualan dibatalkan, ditunggu 6 bulan. Setelah itu
penjualan diulangi lagi dengan prosedur yang sama. IMF-nya setuju. Tapi
semua anggota Kabinet Gotong Royong (kecuali satu orang) termasuk
Presiden dan Wakil Presidennya ketika itu setuju dengan penjualan model
IMF yang obral tanpa harga minimum. Ketika itu SBY, JK dan Boediono
para Menteri dalam Kabinet Gotong Royong yang juga ikut mendukung
semua kebijakan tersebut yang sekarang diramaikan oleh DPR. DPR sebelum
ini juga mendukung sampai menghasilkan UU nomor 25 tahun 2000 tentang
Propenas dan MPR-nya juga ikut-ikutan mendukung semangatnya dengan TAP
MPR nomor VIII/MPR/2000.
Sudah begitu, Hubert Neiss, orang sangat
penting dalam hubungan IMF dan Pemerintah Indonesia pensiun dari IMF.
Langsung saja menjadi penasihat Deutsche Bank di Singapura. Dan
langsung saja disewa oleh Farralon sebagai pelobi untuk memenangkan
pembelian 51 % BCA dengan harga Rp. 5 trilyun, sedangkan BCA punya
tagihan kepada Pemerintah berupa Obligasi Rekap. sebesar Rp. 60
trilyun.
Penjaja Mangga Di Pinggir Jalan
Penjualan BCA bisa diibaratkan penjaja
mangga di pinggir jalan. Ada orang yang bernama Djadjang memasang papan
yang berbunyi : “Mangga ini harus terjual habis tidak lewat dari jam
17.00 tanpa peduli dengan harga berapa lakunya.” Penjaja mangga marah,
papannya dihancurkan dan Djadjang dipukuli.
Ketika menjual BCA, IMF memasang papan
nama yang berbunyi “BCA harus dijual tidak lebih lambat dari tanggal
tertentu tanpa peduli dengan harga berapa saja.” Apa yang terjadi ?
Hubert Neiss menjadi pelobi (yang dianggap tidak ada conflict of
ineterst) dan para Menteri Kabinet Gotong Royong memasang lampu sorot
ke arah papan, dan papan pengumumannya dihiasi dengan huruf-huruf yang
mencolok dan kontras,”
Karuan saja lakunya hanya Rp. Rp. 5
trilyun untuk 51 % atau dinilai hanya sekitar Rp. 10 trilyun untuk 100
%, tapi di dalamnya ada tagihan kepada Pemerintah sebesar Rp. 60
trilyun, dan BCA ketika dijual sudah punya laba ditahan sebesar Rp. 4
trilyun.
KERUGIAN MAHA BESAR AKIBAT KEBODOHAN DAN MENTAL BUDAK MAHA BESAR YANG LUPUT DARI PERHATIAN
Tadi telah diuraikan bahwa BCA menjadi
milik pemerintah sebagai pembayaran utang BLBI oleh keluarga Salim.
Artinya, pemerintah telah mengeluarkan uang sebesar Rp. 23,99 trilyun
untuk membeli 92,8 % saham-saham BCA. Setelah itu, BCA yang sudah
menjadi milik pemerintah harus “disehatkan” dengan menginjeksi Obligasi
Rekapitalisasi Perbankan atau OR sebesar Rp. 60 trilyun. Dalam BCA
sudah ada laba bersih sebesar sekitar Rp. 4 trilyun. Jadi uang
pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini
atau Rp. 87,99 trilyun (dibulatkan Rp. 88 trilyun).
Namun BCA dijual kepada Farallon senilai
Rp. 10 trilyun. Jadi ada kerugian yang dibuat oleh pemerintah sendiri
sebesar Rp. 78 trilyun. Angka ini jauh lebih besar dari kerugian
sebesar Rp. 33 trilyun sebagai selisih nilai 108 perusahaan yang
diserahkan oleh keluarga Salim sebagai pembayaran utangnya dengan nilai
realisasinya.
12 responses to"INTERPELASI BLBI KASUS BCA (Artikel 3)"KategoriFollowUs!http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/bantuan-likuiditas-bank-indonesia-blbi-yang-9578-persennya-disalah-gunakan-artikel-2/Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang 95,78 Persennya Disalah Gunakan (Artikel 2)
Sebelum artikel ini di KoranInternet dimuat tulisan saya yang berjudul “INTERPELASI BLBI KEPADA SBY SALAH ALAMAT”.
Masalah, atau lebih tepat malapetaka
keuangan maha besar yang dikenal dengan istilah “BLBI” adalah sebuah
rentetan kebijakan pemerintah yang praktis dipaksakan oleh IMF dalam
menangani krisis moneter di tahun 1997, yang kemudian meluas sampai
menjadi depresi ekonomi.
Gambaran menyeluruh secara garis besarnya (bird’s eye view) diberikan oleh artikel sebelumnya. Tulisan ini merupakan tulisan kedua yang khusus membahas tentang BLBI.
BLBI ADALAH FUNGSI POKOK BANK SENTRAL
Fungsi yang paling pokok dari sebuah bank sentral adalah bertindak sebagai the bankers’ bank atau lender of the last resort.
Bank melakukan transaksi setiap harinya.
Salah satu yang termasuk kegiatan bank paling intensif adalah lalu
lintas uang antar bank yang disebabkan karena lalu lintas giro dari
semua pemegang rekening bank. Bank berutang kepada bank lain kalau uang
nasabah berpindah ke bank lain tersebut, dan sebaliknya. Jumlah uang
keseluruhan yang setiap harinya masuk ke dalam bank tidak pernah persis
sama dengan jumlah uang keluarnya.
Di antara seluruh bank yang ada di
negeri ini, semuanya dihitung menjadi satu, sehingga setiap akhir hari
posisinya setiap bank ketahuan, apakah saldonya plus/positif atau
minus/negatif. Penyatuan keseluruhan ikhtisar lalu lintas uang antara
semua bank ini disebut clearing (kliring). Kalau sebuah bank mengalami
saldo minus, tetapi masih mempunyai uang sendiri untuk membayarnya, itu
sangat normal.
Terkadang bank berakhir dengan posisi
minus yang lebih besar jumlahnya dari uang yang dimilikinya. Dalam hal
seperti ini, namanya “bank kalah kliring”, atau bank dalam posisi
negatif/minus.
Biasanya, dalam posisi seperti ini,
kalau jumlahnya tidak terlampau besar, bank yang kalah kliring bisa
meminjam dari inter bank money market atau call money market yang
kegiatannya pinjam meminjam dalam waktu 24 jam dan hanya dibolehkan
untuk bank.
Kalau jumlahnya terlampau besar,
sehingga minusnya tidak dapat ditutup dengan pinjaman dari inter bank
call money market, bank sentral wajib turun tangan membantunya. Namun
dengan persyaratan tertentu dan kehati-hatian yang sebagaimana
mestinya. Bank dalam posisi seperti ini sudah harus diawasi dengan
ketat.
Walaupun harus dengan persyaratan, bank
sentral wajib memberikan talangan supaya bank yang bersangkutan dapat
membayar kepada bank yang mempunyai piutang.
JAUH SEBELUM KRISIS BI MEMBERI BLBI BERULANG-ULANG
Karena salah satu fungsi pokoknya BI
sebagai bank sentral yalah lender of the last resort, maka jauh sebelum
krisis pemberian BLBI kepada dunia perbankan adalah hal yang rutin.
Namun yang menjadi sorotan oleh
Kejaksaan Agung dan masyarakat adalah BLBI yang dikucurkan kepada
bank-bank yang terkena rush di tahun 1998.
Tidak banyak pembahasan tentang satu
kasus yang sangat besar dan sangat bermasalah ini. Komisi XI DPR juga
tidak menyentuh masalah ini ketika berdengar pendapat dengan 9 mantan
Menteri Keuangan dan mantan Menko EKUIN beberapa waktu yang lalu.
BLBI BERMASALAH BESAR
Atas permintaan DPR, Badan Pemeriksaan
Keuangan (BPK) menerbitkan laporan audit investigasi bernomor
06/01/Auditama II/AI/VII/2000 tertanggal 31 Juli 2000. Judulnya
“LAPORAN AUDIT INVESTIGASI Penyaluran dan Penggunaan BANTUAN LIKUIDITAS
BANK INDONESIA (BLBI)”
Ringkasan Eksekutifnya dimulai dengan
“Audit dilakukan pada Bank Indonesia dan 48 bank penerima BLBI, yaitu
10 Bank Beku Operasi (BBO), 5 Bank Take Over (BTO), 18 Bank Beku
Kegiatan Usaha (BBKU) dan 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL).”
Saya kutip beberapa butir yang penting sebagai berikut.
“BI tetap tidak melakukan stop kliring kepada bank-bank yang sudah mengalami overdraft dalam jumlah besar dan waktu yang lama.”
“Dispensasi kepada bank-bank yang
rekening gironya bersaldo debet untuk tetap mengikuti kliring, pada
mulanya diberikan dalam jangka waktu tertentu tanpa ada batasan jumlah
maksimal. Namun dalam perkembangan selanjutnya dispensasi tersebut
diberikan tanpa batasan waktu dan jumlah maksimal.”
“Dispensasi semacam itu sudah dilakukan
oleh BI jauh sebelum krisis menimpa sistem perbankan nasional. Hal ini
terbukti dari adanya beberapa bank yang sudah lama overdraft sebelum
krisis, namun tidak dikenakan sanksi stop kliring.”
Di halaman viii (Laporan Audit
Investigasi) di bawah huruf C dengan judul “Potensi Kerugian Negara
Dalam Penyaluran BLBI” ditulis “Dari hasil audit investigasi terhadap
penyaluran BLBI posisi tanggal 29 Januari 1999 yang telah dialihkan
menjadi kewajiban pemerintah sebesar Rp. 144.536.086 juta, kami
menemukan berbagai penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku,
kelemahan sistem dan kelalaian dalam penyaluran BLBI, yang menimbulkan
potensi kerugian negara sebesar Rp. 138.442.026 juta atau 95,78 % dari
jumlah BLBI yang disalurkan pada tanggal tersebut.”
Di halaman x diberikan perincian dari
“jumlah penyimpangan dalam penggunaan BLBI untuk transaksi periode
sampai dengan 29 januari 1999 sebesar Rp. 84.842.162 juta atau 58,70 %
dari jumlah BLBI yang disalurkan per 29 Januari 1999 sebesar Rp.
144.536.086 juta.”
Perincian di halaman x tersebut adalah penyimpangan dalam penggunaan BLBI beserta jumlah uangnya sebagai berikut :
“BLBI digunakan untuk membayar/melunasi
modal pinjaman/pinjaman subordinasi sebesar Rp. 46,088 milyar. Untuk
membayar/melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya berdasarkan dokumen yang lazim untuk transaksi
sejenis (G-3) sebesar Rp. 113,812 milyar. Untuk membayar kepada pihak
terkait (G-4) sebesar Rp. 20, 367458 trilyun. Untuk transaksi surat
berharga sebesar Rp. 136,902 milyar. Untuk membayar/melunasi dana pihak
ketiga yang melanggar ketentuan (G-6) sebesar Rp. 4,472831 trilyun.
Untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak
derivatif lama yang jatuh tempo/cut loss (G-7) sebesar Rp. 22,463004
trilyun. Untuk membiayai placement baru di PUAB (G-8) sebesar Rp.
9,822383 triliun. Untuk ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran
tarik dari komitmen yang sudah ada (G-9) sebesar Rp. 16,814646
trilyun. Untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang
baru, penggantian sistem baru (G-10) sebesar Rp. 456,357 milyar. Untuk
membiayai overhead bank umum (G-11) sebesar Rp. 87,144 milyar. Untuk
membiayai lain-lain yang tidak termasuk dalam G-1 s.d. G-11 (G-12)
sebesar Rp. 10,061537 trilyun.
Dari sebagian penyimpangan ini saja bisa
kita lihat betapa ngawurnya pimpinan BI ketika itu. Entah sekarang ini
masih ada yang duduk dalam pimpinan atau tidak. Komentar yang paling
tepat seperti yang sering dipakai oleh Opa Irama dalam Republik Mimpi,
yalah “TER….LA….LU !!”
YANG HARUS DI-INTERPELASI SIAPA ?
Bank Indonesia independen, tidak ada
urusan dengan Presiden, boss-nya BI adalah DPR. Boss-nya BPK juga DPR.
Kok DPR meng-interpelasi SBY sebagai Presiden ? Jangan-jangan Gus Dur
nanti berujar lagi bahwa DPR bagaikan Taman Kanak-Kanak.
Buat SBY sangat enak, tinggal
meng-interpelasi balik dengan pertanyaan-pertanyaan seperti : “Ketika
itu DPR sedang ngelamun apa ? Demikian juga BI ketika itu sedang
ngelamun apa ? Dan apa tujuan anda kok sampai secara aklamasi mau
meng-interpelasi saya, sedangkan saya yang terbengong-bengong tapi
tidak bisa apa-apa, karena para pelakunya badan-badan yang independen,
dan yang membuat independen DPR. Dasar Demokrasi yang Crazy”.
BANYAK DATA DI BANYAK BANK PENERIMA BLBI DIRUSAK
Yang ini saya dengar dalam rapat-rapat
resmi yang saya pimpin ketika saya menjabat sebagai Menko EKUIN.
Rekan-rekan dari BPPN menceriterakan bahwa penyalah gunaan BLBI memang
ada. Dan tidak saja ada, tapi brutal. Setelah nilep dana BLBI yang
tidak dibayarkan kepada para deposannya, karena rush-nya jauh lebih
kecil jumlahnya, mereka sadar betul bahwa cepat atau lambat pasti
ketahuan. Maka data yang tersimpan di dalam CPU computer itu, tidak
saja dihapus, tetapi Personal Computers (PC) yang banyak itu dijebol,
kabelnya ditarik begitu saja seperti orang panik. Kantor-kantor bank
ketika itu seperti baru digarong dengan perusakan. Saya hanya
meneruskan saja apa yang saya dengar.
GEDUNG BANK INDONESIA TERBAKAR
Beberapa waktu kemudian ada yang
berpikir bahwa BI menerima satu lembar copy dari semua transaksi. Maka
gedung BI dan ruang yang menyimpan dokumen-dokumen tersebut terbakar.
Setelah itu saya membaca di surat kabar bahwa POLRI menyimpulkan tidak
mustahil kebakaran itu bukan kecelakaan, tetapi dibakar. Semua ini
termuat di koran.
KOMISI IX DPR DAN KEMUNGKINAN ADANYA ALIRAN DANA
Tadi telah dikemukakan adanya laporan audit investigasi oleh BPK tentang BLBI.
Ketika laporan tersebut diserahkan
kepada Komisi IX DPR, saya berfungsi sebagai anggota Komisi IX DPR.
Maka dibentuk Panja untuk membahas laporan tersebut. Saya masuk sebagai
anggota Panja.
Saya tidak banyak dilibatkan dalam
rapat-rapat Panja yang mungkin juga dihadiri oleh para pejabat dari
Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Rapat-rapatnya tidak di gedung
DPR, tetapi di hotel-hotel.
Kesimpulan Panja mengejutkan saya.
Seperti tadi telah saya kemukakan, menurut BPK sejumlah Rp. 138.442.026
juta atau 95,78 % dikategorikan oleh BPK sebagai “berbagai
penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku, kelemahan sistem dan
kelalaian dalam penyaluran BLBI yang menimbulkan potensi kerugian
negara.”
Oleh Panja disepakati bahwa BI hanya
disuruh bertanggung jawab sebesar Rp. 24,5 trilyun saja, karena kalau
lebih dari ini BI-nya bangkrut. Mana ada bank sentral yang bangkrut ?
Saya protes keras karena merasa DPR melecehkan dan memain-mainkan
aparatnya sendiri, yaitu BPK. Kalau tidak percaya dengan BPK ya BPK-nya
dibubarkan atau Ketua beserta staf intinya dipecat, tapi jangan
dimain-mainkan begitu.
Akhirnya keputusan Panja tersebut
diambangkan sampai Presidennya berganti dari Gus Dur ke Ibu Megawati.
Menko Ekonominya, Prof. Dorodjatun minta advis kepada mantan Gubernur
FED (Bank sentralnya AS) Paul Volcker. Advisnya dipakai dan
diberlakukan, yaitu segala sesuatunya diselesaikan dengan secarik
kertas dengan susunan kata-kata yang intinya Departemen Keuangan
menjamin segala sesuatunya akan beres. Tentu rumusannya ilmiah,
sophisticated, dan namanya Capital Maintenance Note. Saya punya kalau
ada yang berminat.
Tentang kemungkinan adanya aliran dana
dari BI kepada beberapa anggota Panja BLBI yang sampai menyimpulkan
bahwa BI “digantung” dengan tanggung jawab sebesar Rp. 24,5 trilyun
saja, sampainya ke telinga saya hanya sebagai desas-desus. Tidak ada
dokumennya.
Kesimpulan
Jadi kalau hanya mau bicara atau
meng-interpelasi BLBI saja, ya itulah permasalahannya. Tetapi kalau DPR
mau mengetahui kebijakan-kebijakan yang merupakan konsekwensi dari
BLBI, bacalah artikel selanjutnya dalam serial KoranInternet ini.
KategoriFollowUs!http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/interpelasi-bantuan-likuiditas-bank-indonesia-blbi-kepada-sby-salah-alamat-artikel-1/Interpelasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kepada SBYSalah Alamat (Artikel 1)
DPR
mencapai kesepakatan bulat (aklamasi) untuk meng-interpelasi Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal Bantuan Likwkditas Bank Indonesia
(BLBI).
Yang sangat aneh, pertanyaan-pertanyaan
yang akan diajukan kepada SBY juga harus disepakati secara aklamasi.
Apa mungkin pertanyaan-pertanyaan yang serius tentang masalah yang
demikian ruwetnya merupakan kesepakatan bulat oleh seluruh fraksi,
sedangkan banyak di antaranya fraksi pendukung SBY ?
Pertanyaan yang dapat diajukan seputar BLBI ada tiga macam.
Yang pertama tentang duduk persoalan
atau keseluruhan hal ikhwal BLBI dan rentetan kebijakan sebagai akibat
dari pengucuran BLBI secara besar-besaran.
Yang kedua, mengapa kebijakan-kebijakan
yang begitu bodoh, begitu konyol, begitu tidak masuk akal serta begitu
merugikan keuangan negara dalam skala raksasa bisa diberlakukan oleh
para teknokrat yang begitu tinggi pendidikannya ?
Yang ketiga, apakah kesalahan-kesalahan
fatal lainnya bisa terjadi di kemudian hari kalau orang-orang yang ikut
mengambil keputusan atau ikut menyetujui serta mendukung pengambilan
kebijakan yang sangat bodoh dan praktis telah membangkrutkan keuangan
negara itu, sekarang duduk dalam pemerintahan ?
Marilah kita bahas seluruh permasalahannya dan kita perdebatkan sebelumnya, supaya interpelasi lebih terarah.
KRONOLOGI MALAPETAKA YANG DIMULAI DENGAN PAKTO
Gubernur Bank Indonesia (BI) Adrianus
Mooy memberlakukan Kebijakan Paket Oktober 1988 yang terkenal dengan
nama Paket Oktober atau PAKTO. Isinya meliberalisasi dunia perbankan
secara total dan spektakuler. Dengan modal disetor sebesar Rp.10 milyar
orang boleh mendirikan bank umum.
Serta merta sekitar 200 bank baru lahir.
Mayoritas pendiri adalah konglomerat yang menjadinya konglomerat
melalui tipu muslihat seperti yang digambarkan oleh serial artikel saya
dengan judul “Saya Bermimpi Jadi Konglomerat”.
Mereka tidak mengerti fungsi pokok
perbankan sebagai lembaga intermediasi yang mengkonversi tabungan
menjadi investasi yang produktif. Mereka juga tidak mengerti bahwa
persyaratan pokok bekerjanya bank ialah prudence. Tetapi mereka pandai
dalam bidang marketing.
Maka bank yang baru berdiri sangat
berhasil dalam meyakinkan para penabung agar tidak menyimpan
tabungannya di bawah bantal, tetapi disimpan di bank-bank mereka. Semua
teknik marketing dipakai untuk menarik uang masyarakat. Mereka
berhasil dengan gemilang.
Dengan modal disetor Rp. 10 milyar
mereka dapat menghimpun dana trilyunan rupiah. Mereka terkejut. Mereka
tidak paham sama sekali bahwa dana itu milik masyarakat. Mereka tidak
paham bahwa laba bank terdiri dari spread yang tipis, resiko kredit
macet besar, sehingga dibutuhkan mental kehati-hatian serta etika yang
khusus.
Mereka mata gelap. Uang dipakai
seenaknya sendiri untuk memberi kredit kepada dirinya sendiri secara
besar-besaran yang dipakai untuk membentuk konglomerat.
Maka kreditnya banyak yang macet di
tangannya sendiri. Tetapi karena bank miliknya, maka dengan mudah
laporan keuangan dapat direkayasa sampai terlihat bagus dan sehat.
Tahun 1997 Indonesia terkena krisis moneter yang parah. Maka Indonesia menggunakan haknya sebagai anggota minta bantuan dari IMF. Tidak terduga sebelumnya bahwa IMF lebih merusak dan menghancur leburkan keuangan negara.
PENUTUPAN BANK, RUSH DAN PENGHENTIANNYA DENGAN BLBI
IMF tidak berpikir panjang. Ketika
mengetahui bahwa bank-bank sangat kropos karena disalah gunakan oleh
pemiliknya sendiri, 16 bank yang paling parah ditutup mendadak. Pemilik
uang yang mempercayakannya pada bank-bank yang ditutup itu tentu
terkejut dan marah, karena laporan keuangan bank yang diiklankan sangat
sehat.
Dua hari kemudian berturut-turut
bank-bank lain yang tidak ditutup di-rush. IMF beserta menteri-menteri
kroninya panik. Rush harus dihentikan dengan biaya berapa saja.
Dalam beberapa hari likwiditas yang
dikeluarkan oleh BI untuk menghentikan rush sebesar Rp. 144 trilyun.
Menurut BPK lebih dari 95,78% dari uang ini tidak dapat dipertanggung
jawabkan.
Setelah rush berhenti, penelitian
meyakinkan bahwa pemilik bank tidak mungkin mengembalikan BLBI, karena
dana milik masyarakat yang ditarik kembali dengan rush diinvestasikan
pada perusahaan-perusahaan.
PELUNASAN BLBI DENGAN MENYERAHKAN KEPEMILIKAN BANK KEPADA PEMERINTAH
Maka BLBI dikonversi menjadi
saham-saham. Serta merta Pemerintah mempunyai hampir 200 bank. Sebagai
contoh, saldo utang BLBI oleh BCA kepada pemerintah sebesar Rp. 32
trilyun. BCA telah melakukan pembayaran cicilan sebesar Rp. 8 trilyun,
sehingga sisanya Rp. 24 trilyun, yang tidak mampu dibayar oleh pemegang
sahamnya BCA atau keluarga Salim. Pelunasan utang BLBI dibayar dengan
93 % saham-sahamnya BCA. Maka pemerintah memiliki 93 % BCA. (Pembayaran
bunga juga telah dilakukan dengan tingkat suku bunga 70 % yang berlaku
ketika itu sebesar Rp. 8,3 trilyun, tetapi jumlah ini tidak mengurangi
jumlah pokok yang terutang).
Dengan demikian utang keluarga Salim
dalam bentuk BLBI sudah dibayar lunas dengan kehilangan 97 % dari
kepemilikannya di BCA. Jadi BLBI sudah selesai sampai di sini.
Kerugian negara dalam skala raksasa yang
kemudian menjadi keresahan bukan BLBI, tetapi urusan lain lagi yang
akan diuraikan selanjutnya.
PARA PEMEGANG SAHAM BANK YANG SUDAH
MENJADI MILIK PEMERINTAH SEBAGAI PELUNASAN BLBI MASIH MEMPUNYAI UTANG
DALAM JUMLAH YANG LEBIH BESAR, YANG PENYELESAIANNYA MERUGIKAN KEUANGAN
NEGARA.
Bank-bank yang sudah menjadi milik
pemerintah mempunyai piutang dalam jumlah besar kepada
perusahaan-perusahaan yang dimiliki mantan pemilik bank.
Seperti telah diuraikan tadi, selama
berpuluh tahun, para pemilik bank memberi kredit kepada dirinya sendiri
dalam jumlah sangat besar yang dipakainya untuk mendirikan
perusahaan-perusahaan.
Ketika bank menjadi milik pemerintah
karena dipakai sebagai pembayaran utang BLBI, dengan sendirinya bank
qq. pemerintah qq. BPPN mempunyai tagihan kepada mantan pemilik bank
tersebut.
Mantan pemilik bank tidak mempunyai uang
tunai untuk membayarnya. Pemerintah minta supaya dibayar dengan
perusahaan-perusahaan atau asset apa saja.
Pemilik bank mengambil kredit dari
banknya sendiri dalam bentuk tunai, tetapi dibiarkan membayar dengan
perusahaan-perusahaan dan asset apa saja, bahkan hanya tandatangannya
saja.
Inilah yang menjadi awal malapetaka,
karena menilai perusahaan bukan hal yang mudah dan eksak. Sangat
tergantung dari berbagai macam asumsi dan sangat tergantung dari
kondisi ekonomi pada umumnya yang berubah-ubah dalam perjalanan waktu,
terutama karena kondisinya sedang dalam krisis.
Jadi biang keladi dari dirugikannya
keuangan negara dalam jumlah yang luar biasa besarnya ialah kebijakan
yang membiarkan utang tunai dibayar dengan asset. Penilaian asset
sangat relatif sifatnya, dan realisasi nilai sangat tergantung dari
waktu, situasi dan kondisi. Dalam menjual asset pemerintah justru
memberlakukan yang salah semua, yaitu dijual paksa pada waktu yang
salah, dalam kondisi dan situasi ekonomi yang sedang sangat terpuruk,
tetapi dinilai dengan asumsi kondisi ekonomi sangat bagus. Bagaimana
mungkin para teknokrat yang begitu tinggi pendidikannya bisa mengambil
kebijakan yang begitu naifnya ? Karena mereka kroni yang membabi-buta
nurut pada IMF, atau karena mereka tidak mengerti sama sekali kondisi
nyata dan praktek dunia usaha ?
Kebetulan saya mengetahui bahwa Presiden
ketika itu, Prof. BJ Habibie pernah ngotot bahwa utang uang harus
dibayar dengan uang, tidak boleh dengan asset. Para konglomerat yang
dikawal oleh menteri-menteri mengatakan bahwa nilai asset yang akan
diserahkan sebagai pembayaran utang lebih besar dari jumlah utangnya.
Presiden Habibie ketika itu menjawab : “Good for you, ambillah
untungnya, Pemerintah mengurus negara, bukan mengurus ratusan
perusahaan. Kalau tidak mampu membayar sekarang boleh diberikan
tenggang waktu 3 tahun”. Tetapi entah bagaimana proses selanjutnya,
akhirnya pemerintah toh menerima pembayaran dengan asset.
Dan setelah asset dijual yang
menghasilkan rata-rata hanya sekitar 15 % saja dari nilai yang diterima
oleh pemerintah, pemerintah sendiri mempropagandakan bahwa recovery
rate yang sekitar 15 % adalah sangat wajar di negara manapun di dunia
yang terkena krisis. Teori ini tidak dapat dipahami dengan akal sehat,
karena penjualan asset bisa ditunda sampai kondisi perekonomian
membaik. Semua asset yang dijual dengan harga begitu murahnya sehingga
recovery rate-nya hanya 15 % saja, sekarang harganya berlipat-lipat
ganda.
MSAA, MRNIA DAN PKPS-APU
Perjanjian antara pemerintah dengan para
mantan pemilik bank beragam, karena kondisi keuangan mereka juga
beragam. Ada tiga pola, yaitu :
Master of Settlement and Acquisition
Agreement (MSAA) bagi debitur/obligor yang mempunyai cukup perusahaan
untuk membayar utang-utangnya.
Master Refinancing and Notes Issuance
Agreement (MRNIA) untuk mereka yang nilai perusahaannya tidak cukup
untuk membayar utangnya, dan kekurangannya harus dijamin pembayarannya
dengan jaminan pribadi.
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham –
Akta Pengakuan Utang (PKPS-APU). Perjanjian ini dibuat untuk mencapai
kesepakatan penyelesaian kewajiban yang harus ditanggung oleh pemilik
saham pengendali atas kerugian bank mereka akibat praktek perbankan
yang tidak wajar serta pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit
(BMPK). Penyelesaian ini tidak melalui penyerahan asset.
Tidak mungkin membahas problematiknya
satu per satu karena menyangkut demikian banyaknya orang. Setiap orang
mempunyai model penyelesaian tertentu yang khas. Tingkat kemauan baik
dan itikad kerja samanya juga sangat berbeda. Dari yang langsung
membayar tunai seluruh utangnya sampai yang langsung kabur ke luar
negeri dan sampai sekarang menjadi buron.
Berbagai macam Obligor (yang punya utang
kepada pemerintah berhubung dengan banknya yang mengalami kesulitan)
dengan berbagai macam model upaya penyelesaian oleh BPPN adalah sebagai
berikut : 5 dengan MSAA, 4 dengan MRNIA, 30 dengan PKPS-APU, 30
Obligor yang tidak menandatangani PKPS-APU yang pada umumnya kasusnya
dilimpahkan kepada aparat penegak hukum atau sedang dalam proses
penyidikan, dan 5 dengan penyelesaian pembayaran tunai.
KERUGIAN NEGARA DALAM JUMLAH SANGAT BESAR
Ada dua macam kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar, yaitu :
1. Perusahaan atau kekayaan lain yang
diserahkan oleh Obligor kepada pemerintah sebagai pembayaran utang
mereka, hasil penjualannya jauh lebih kecil dari nilai utangnya.
Selisihnya adalah kerugian negara yang setiap tahunnya mempengaruhi
APBN. Fokus perhatian masyarakat hanya pada yang ini saja, yaitu
mengapa pemerintah menerima asset sebagai pelunasan utang, tetapi
pemerintah sendiri juga yang menjual dengan harga yang jauh lebih kecil
dari nilai utangnya. Kejaksaan Agung baru sempat mendalami dua kasus
besar, yaitu BCA dan BDNI. Kerugian negara memang besar, tetapi ada
yang lebih besar lagi dan luput dari perhatian, yaitu :
2. Kerugian negara dalam bentuk Surat
Utang Negara untuk merekapitalisasi bank-bank atau yang dikenal dengan
Obligasi Rekap yang disingkat OR.
PENUTUP
Masalah BLBI sangat banyak komponen dan
aspeknya. Tulisan ini merupakan yang pertama yang akan disusul dengan
tulisan-tulisan lainnya yang merupakan serial. Rangkumannya sebagai
berikut.
Asal muasalnya adalah liberalisasi total
dan spektakuler dunia perbankan dengan Paket Oktober 1988 atau PAKTO
yang langsung saja disalah gunakan oleh para konglomerat hitam.
Ketika terkena krisis, kerusakan bank
yang dirong-rong oleh pemiliknya sendiri terkuak. IMF memberi
nasihat-nasihat yang ngawur dan merusak. 16 bank ditutup, semua bank
lainnya di-rush yang dipadamkan dengan BLBI.
BLBI telah dibayar lunas dengan
menyerahkan kepemilikan banknya kepada pemerintah. Ada yang banknya
sudah ludes, sehingga utangnya dijadikan satu dengan utang dari masalah
lainnya, seperti kasus BDNI.
Bank-bank yang sudah menjadi milik
pemerintah ternyata mempunyai tagihan dalam jumlah besar kepada para
mantan pemiliknya, karena berpuluh tahun lamanya dirong-rong dengan
memberikan kredit kepada dirinya sendiri. Utangnya ini dibayar dengan
asset yang ketika dijual menghasilkan uang yang jumlahnya jauh lebih
kecil dari jumlah utangnya. Jumlah kerugian ini lebih besar dari BLBI.
Bank-bank yang sudah menjadi milik
pemerintah tetapi rusak berat itu atas perintah IMF harus patuh pada
ketentuan Capital Adequacy Ratio (CAR) yang formulanya ditentukan oleh
Bank for International Settlement (BIS) yang berkedudukan di Bazel,
Swiss. Caranya dengan direkapitalisasi dengan injeksi Surat Utang
Negara (SUN) yang dikenal dengan istilah Obligasi Rekapitalisasi
Perbankan atau Obligasi Rekap atau “OR” saja. Jumlahnya lebih besar
lagi dibandingkan dengan semua kerugian yang sudah dijelaskan.
Data teknis beserta contoh-contoh
kasusnya akan dibahas dalam artikel-artikel selanjutnya yang merupakan
satu serial dengan gambaran lengkap dari malapetaka keuangan yang
dimulai dengan pengucuran BLBI beserta rentetan kebijakan-kebijakan
yang sangat konyol.
https://www.facebook.com/PrabowoSubianto/posts/10151381120396179
Kejanggalan SKL- BLBI Layak Diselidiki by Bambang Soesatyo,Anggota Komisi III DPR RISejumlah mantan petinggi era pemerintahan Megawati Soekarnoputri satu persatu dipanggil dan diperiksa KPK terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI. Mulai Rizal. Ramli, Kwik. Kian Gie hingga Putu Arry Sutta. Bahkan tak tanggung-tanggung, dalam perkembangan di pertengah Mei 2013, terdengar kabar Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan, Presiden RI kelima, akan dipanggil KPK sebagai saksi kasus SKL BLBI. Tentu saja informasi tersebut membuat kita tercengang.Kita berharap penyelidikan terhadap penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang membuat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Kejaksaan Agung di masa kepresidenan Megawati ini, bukan bagian dari operasi Sunyi Senyap atau "SS" yang ingin menempatkan Megawati menjadi sasaran tembak untuk menjatuhkan pamor PDIP yang elektabilitasnya terus meroket bersama Partai Golkar dan telah meninggalkan jauh Partai Demokrat sebagai Partai Penguasa. Kita sesungguhkan sangat bersyukur jika ada pihak yang ingin membongkar kembali kasus BLBI. Langkah tersebut MELEGAKAN, karena penyelidikan atas kejahatan besar dengan modus penyalahgunaan fasilitas Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) ini harus dituntaskan agar siapa pun tidak lagi melakukan kejahatan terhadap negaranya sendiri. Ketika KPK memanggil mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional /Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, semua kalangan ingin tahu apa yang ditanyakan KPK kepada Kwik. Kwik membuat publik tetap penasaran, karena dia tak mau menjelaskan materi pembicaraannya dengan KPK. Persoalan mulai agak jelas ketika mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramli mau merespons pertanyaan pers seusai menjalani pemeriksaan di KPK, belum lama ini. Dia mengaku, dari materi pertanyaan para penyidik, sangat jelas bahwa KPK berupaya menelusuri kejanggalan penerbitan SKL BLBI. Kepada KPK, Rizal menyatakan tak tahu menahu perihal penerbitan SKL BLBI. Sebab, SKL BLBI diterbitkan bukan pada saat dia menjabat Menko Perekonomian. Rizal pun dengan yakin memastikan posisi Kwik dalam konteks penerbitan SKL itu sama dengan dirinya. Bahkan Rizal ingat betul kalau waktu itu Kwik tidak setuju dengan kebijakan dan mekanisme SKL BLBI. Agar tidak menjadi beban sejarah bangsa, Rizal pun mengimbau penegak hukum lebih bersungguh-sungguh menuntaskan kasus penyalahgunaan BLBI. Sebab, negara masih terus membayar bunga subsidi BLBI sekitar Rp 60 triliun per tahun. Kewajiban ini masih harus dijalankan negara selama rentang waktu 20 tahun mendatang. Bagi Rizal, meluruskan kasus SKL BLBI itu penting untuk menegakan keadilan di negara ini. Menjadi sangat aneh jika para bankir kaya raya itu terus disubsidi, sementara subsidi BBM untuk rakyat justru ingin dipangkas. Penuturan Rizal yang cukup rinci itu secara tidak langsung menjelaskan bahwa KPK sedang mendalami dugaan penyalahgunaan fasilitas BLBI, serta kemungkinan adanya penyimpangan pada kebijakan dan mekanisme penerbitan dan pemberian SKL BLBI kepada sejumlah debitur. Apalagi, setelah mendengarkan penuturan dari para ekonom itu, Ketua KPK Abraham Samad membuat pernyataan tentang kecanggihan modus korupsi dewasa ini. Dalam sebuah seminar di Jakarta baru-baru ini, Samad mengemukakan bahwa modus dan praktik korupsi dewasa ini terus berkembang dan semakin canggih. Bisa dipastikan bahwa kasus korupsi skala besar dengan modus yang canggih itu melibatkan sekumpulan orang kelas menengah ke atas. Karena itu, penegak hukum jangan sampai mudah terkecoh para koruptor. Sebab, cara koruptor menghilangkan alat bukti serta track record-nya dalam tindak pencucian uang semakin canggih. Dia mengacu pada kasus penyalahgunaan fasilitas BLBI dan keanehan yang meliputi mekanisme penerbitan SKL BLBI itu. SKL BLBI diterbitkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No.8/2002. SKL memuat ketentuan tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya. Dan sebaliknya, tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan jumlah kewajiban pemegang saham (JPKS). Berdasarkan SKL dari BPPN itu, Kejaksaan Agung menindaklanjutnya dengan menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Inpres No.8/2002 yang popular dengan sebutan Inpres release and discharge ini menjadi sangat kontrversial pada waktu itu. Banyak kalangan keberatan, termasuk ekonom Kwik Kian Gie yang saat itu menjabat Ketua Bappenas. Soalnya, debitur BLBI dipastikan sudah melunasi seluruh utang kendati hanya 30 persen dari JKPS dalam bentuk tunai, dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Dengan perhitungan seperti ini, debitur yang ditetapkan sudah melunasi kewajibanya berdasarkan penyidikan akan mendapat SP3 dari Kejaksaan Agung. Tidak kurang dari 10 debitur besar yang mendapat SKL, termasuk Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan. Tipu MuslihatBelakangan, diketahui bahwa perilaku debitur BLBI penuh tipu muslihat. Mereka mengaku tidak mampu lagi melaksanakan kewajibannya mengembalikan BLBI,dan bersedia menyerahkan asetnya kepada negara melalui BPPN. Namun, saat aset-aset itu dilelang BPPN dengan harga sangat murah, para obligor itu membeli lagi aset-aset tersebut melalui perusahaan miliknya yang berdomisili dan beroperasi di luar negeri. Aset tetap dikuasai si debitur, sementara debitur bersangkutan sudah dinyatakan bebas dari kewajiban mengembalikan dana BLBI.Dari beberapa debitur yang menyerahkan aset kepada BPPN, kasus penyerahan aset oleh Sjamsul Nursalim selaku pemilik BDNI paling menyita perhatian pengamat, karena perhitungannya dinilai tidak akurat. Di kemudian hari, dugaan ketidakjujuran Sjamsul Nursalim terendus, ketika mantan jaksa Urip Tri Gunawan (kini berstatus terpidana), ditangkap KPK di pekarangan rumah Sjamsul Nursalim di Jakarta Selatan. Jaksa Urip adalah anggota tim penyelidik untuk kasus penyerahan aset obligor BLBI. Di Pengadilan, Urip terbukti menerima suap dari Artalyta Suryani, orang kepercayaan Sjamsul Nursalim. Bukan tidak mungkin, debitur BLBI lain yang telah memperoleh SKL dan SP3 pun berkolaborasi oknum penegak hukum lainnya. Karena itu, KPK perlu ‘meminjam’ terpidana Urip Tri Gunawan untuk sekadar mengetahui bagaimana dia ‘melayani’ kepentingan Sjamsul Nursalim sampai akhirnya mendapatkan SP3. Dengan demikian, penyelidikan kasus BLBI berpotensi melebar. Tidak hanya soal dugaan penyalahgunaan BLBI, tetapi juga masuk pada kejanggalan jual-beli aset oleh debitur sebagaimana dikemukakan Ketua KPK, serta motif koruptif dibalik penerbitan SKL BLBI dan SP3 bagi para debitur. Berdasarkan laporan Audit Investigasi penyaluran dan pengunaan BLBI oleh BPK pada tahun 2000, total dana BLBI yang disalurkan kepada 48 Bank mencapai Rp 144,5 trilyun. Dari audit yang sama, ditemukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam penyaluran BLBI, yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,4 triliun, ekivalen 96 % dari total BLBI. Pihak-pihak yang diduga terlibat adalah manajemen bank penerima BLBI dan pejabat Bank Indonesia. BLBI digagas untuk mencegah runtuhnya industri perbankan nasional akibat krisis moneter 1998. Bantuan diberikan kepada puluhan bank untuk menjaga likuiditas bank-bank penerima bantuan, yang saat itu harus menghadapi rush dari nasabah. Saat itu, segala sesuatunya digambarkan harus serba cepat, termasuk menghitung kebutuhan bantuan likuiditas maupun pendistribusisian bantuan. Ada bank yang diperhitungkan akan runtuh dalam hitungan menit jika bantuan likuiditas tidak segera dicairkan. Presiden (saat itu) Soeharto tak punya pilihan lain kecuali setuju saja dengan proposal BLBI dari para pejabat Bank Indonesia saat itu. Per kebijakan, BLBI mungkin tidak bisa disalahkan. Namun, jumlah, penyalahgunaan BLBI, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat BI, dan ingkar janji pemegang saham bank penerima BLBI sangat layak untuk dipersoalkan. Termasuk juga kebijakan dan mekanisme penerbitan SKL sejumlah debitur BLBI. Karena itu, sangat melegakan jika KPK akhirnya membuka penyelidikan kasus ini. Anak-anak dan remaja mungkin belum paham dengan kasus ini. Kelak, jika kasus ini digelar lagi di ruang publik, mereka bisa memahami bahwa kasus BLBI adalAah kejahatan besar di bidang keuangan yang pernah dilakukan terhadap negara ini di penghujung dekade 90-an. Mereka yang terlibat harus diganjar dengan sanksi hukum yang maksimal, agar ada efek jera. baca juga : Kronologis Mega Skandal Ekonomi Indonesia BLBI ==> http://jaringanantikorupsi.blogspot.com/…/medianusantara-kr… Kwik Buka Kedok di Balik Penyelesaian BLBI BCA
Kamis, 27/09/2007 18:52 WIB
http://finance.detik.com/read/2007/09/27/185233/835294/4/kwik-buka-kedok-di-balik-penyelesaian-blbi-bca
Dalam RDP tersebut, undangan yang hadir
hanyalah Kwiek Kian Gie dan Rizal Ramli yang pernah menjabat menjadi
Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian.
Sementara 3 orang lain yang diundang yaitu Boediono, Bambang Subiyanto
dan Dorodjatun Kuntjorojakti tidak hadir dengan alasan berhalangan.
Semula sejumlah mantan pejabat rencananya akan dipanggil antara lain
para mantan Menko Ekuin, mantan Menkeu, mantan Kepala Bappenas seperti
Ginandjar Kartasasmita, Kwik Kian Gie, Rizal Ramli, Dorodjatun
Kuntjara-Jakti, Bambang Soebianto, Bambang Sudibyo, Boediono, Glen
Yusuf, Syafruddin Temenggung.
Berikut petikan pengakuan Kwik Kian Gie soal penjualan BCA di tahun
2002.
"Satu hari sebelum BCA dijual ada sidang kabinet yang dipimpin Megawati
(Presiden) sama sekali tidak membicarakan penjualan BCA, tidak ada di
agendanya. Tapi setelah sidang kabinet selesai jam 12 adalah Bapak Jusuf
Kalla yang sebagai orang yang mengetahui ekonomi dan perdagangan dengan
inisiatif mengumumkan, saudara-saudara urusan penjualan BCA merupakan
urusan yang penting oleh karena itu saya sarankan supaya para menteri
ini pulang makan dan jam 3 kumpul lagi Depkes, khusus mengenai masalah
ini supaya tidak diketahui wartawan.
Terjadilah diskusi, dan tentu
terjadi perdebatan 1 lawan semua, saya tidak setuju bahwa BCA dijual
besok dengan harga 5 triliun untuk 51 persen saham, di dalamnya ada
tagihan pemerintah 60 triliun".
Namun ketidaksetujuan Kwik dikatakannya tidak didukung oleh menteri
lain, sehingga akhirnya pemerintah menyetujui untuk melakukan penjualan
BCA.
"Argumentasi saya ditentang oleh semua yang hadir, termasuk Boediono
sebagai Menkeu, Dorodjatun sebagai Menko Perekonomian, SBY sebagai
Menkopolkam, Jusuf Kalla Menko Kesra. Jam 6 kita belum selesai rapat,
Dorodjatun bilang akhiri. Laksamana (Menneg BUMN) bersama-sama dengan
dia ke Megawati bilang bahwa BCA bisa dijual, saya tidak bisa
mengendalikan emosi saya, dan marah mengatakan kalian bagaimana dan yang
menenteramkan saya SBY, jadi yang menyetujui adalah Megawati dan ini
menjadi saksi hidup sampai duduk di dalam kabinet," paparnya.
Sementara mengenai interpelasi BLBI yang dilakukan oleh DPR, Kwik
mengatakan bahwa hal tersebut sebenarnya sudah tidak berguna. DPR
kecuali PDIP telah menyetujui interpelasi BLBI.
"Karena nasi sudah jadi bubur, buburnya sudah dimakan, sudah habis dan
mau diapakan lagi, akan tetapi di debat-debat seperti ini penting karena
ini menyangkut prinsip yang paling dasar supaya tidak diulangi lagi di
kemudian hari," ujarnya.
Walaupun begitu, lanjut Kwik, interpelasi itu akan memunculkan wacana
baru sehingga kebenaran bisa terungkap.
Mengenai partai Kwik yakni, PDIP yang tidak mendukung interpelasi, dia
mengaku tidak heran. "Itu kan sudah bisa anda ketahui, PDIP partainya
siapa," jelasnya. (dnl/ir)
'Kucuran' BLBI Bikin Miranda Goeltom Darah Tinggi
Kamis, 26/07/2007 17:32 WIB
Miranda S Goeltom (Hendi Suhendratio)
Jakarta -Penulisan soal Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) yang tidak tepat membuat Deputi Gubernur Senior BI
Miranda S. Goeltom kesal. Dengan nada tinggi, Miranda meminta wartawan
meluruskan masalah BLBI.
Miranda merasa kesal jika disebut BI telah mengucurkan BLBI.
Menurut
Miranda, BLBI merupakan piutang BI kepada perbankan Indonesia.
Ia menjelaskan, ketika krisis ekonomi melanda, perbankan di Indonesia
mengalami penarikan dana luar biasa oleh nasabahnya (rush). Serbuan oleh
nasabah itu mengakibatkan cadangan dana yang dimiliki perbankan
terkuras habis bahkan dana yang disimpan di Bank Indonesia melalui
kewajiban giro wajib minimum juga dikuras habis.
Nah, saat itulah perbankan mengalami neraca negatif kepada BI sehingga
bank ngutang ke BI untuk membayar dana nasabahnya.
"Kalau negatif terus stop kliring, tapi masa stop semua bank berhenti
kliring, apa anda yang punya gaji, atau merasa punya account di
bank nggak akan marah?
BLBI yang Rp 144 triliun terjadinya seperti itu,"
ujarnya.
Ia menyampaikan hal itu dalam konferensi pers usai seminar tentang 10
tahun krisis di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Kamis (26/7/2007).
Hadir
dalam kesempatan tersebut mantan Gubernur BI Sudradjad Djiwandono,
mantan Dirut Bank Mandiri Robby Djohan dan kepala perwakilan IMF di
Indonesia Stephen Schwartz.
Miranda meminta pers untuk meluruskan pemahaman yang salah kaprah soal
BLBI itu.
"Jadi kalau dibilang dikucurkan its your job untuk meluruskan otak semua orang bahwa itu bukan kucuran, saya gedeg
kalau dibilang itu kucuran karena kita tidak pernah ngucurin," ujar
Miranda dengan nada tinggi sambil menunjuk-nunjuk ke arah wartawan.
Mantan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono juga sama protesnya dengan
Miranda. Soedradjad menilai istilah kucuran itu salah. "Secara akademis
istilah itu salah," ujarnya.
Masalah BLBI menurut Soedradjad terlalu dipolitisir sehingga tidak jelas
mana yang benar dan mana yang salah.
"BLBI ini bahwa begitu banyak dipolitisir sehingga mana yang harus
disalahkan, mana sebetulnya yang bener tidak kelihatan begitu jelas,"
katanya.
Sudradjad menegaskan, yang terjadi bukanlah BI mengucurkan dana BLBI.
Menurutnya, isitilah dikucurkan adalah terminologi yang salah.
"Dikucurkan bagaimana, ini bank yang di-rush, orang yang
mengambil duit itu adalah duit mereka pada saat itu bank tidak punyai
duit. Mengapa? karena duit dipinjamkan, bank itu tugasnya demikian,"
jelasnya.
(ddn/qom)
AAHHHHH.... SUDRAJAD... YG BENER AJA.. KAMU..?? MASA ITU DUIT MEREKA..?? YANG NGUTANG NEGARA.. DAN MEREKA DLM BANGKRUT KARENA PERBUATAN USAHA YG DIREKAYASA.. SENDIRI MELALUI JARINGAN BIZ MEREKA.. KOK.. YG BENER UTANGAN NEGARA.. LALU.. KOK.. MENJADI DUIT MEREKA..?? LOGIKA APAAN TUH.. BUNG SUDRADAD..?? .. AAAHH KAMUU.. KEBAGIAN KOMIISI NYA GEDEEEE ... DAN BAGI2 UNTUNGNYA... YAAH..?? DASAR BADUUT... DAN ANTEK ... JARINGAN.. ASING ASENG.. KAMUU... ??
Buku Kwik Kian Gie – INDONESIA MENGUGAT JILID-II (1)
Juni 14, 2009
“INDONESIA MENGGUGAT JILID-II” ?Menjabarkan Pidato Proklamasi Calon Wakil Presiden Boediono
Oleh Kwik Kian Gie
https://nusantaranews.wordpress.com/2009/06/14/kwik-kian-gie-indonesia-mengugat-jilid-ii/
Pengantar
Semoga
melalui tulisan Pak Kwik Kian Gie memberi pencerahan kepada kita
sekaligus membangkitkan mental kita, membangkitkan jiwa kita, untuk
menegakkan kembali Indonesia yang telah dijajah, Indonesia yang telah
dirampok hingga saat ini.
Pleidooi Ir. Soekarno dan Deklarasi Dr. Boediono
Setelah Ir. Soekarno (bersama-sama dengan Gatot Mangkupradja, Maskun Sumadiredja dan Soepriadinata) ditangkap pada tanggal 29 Desember 1929, mereka diadili oleh landraad di Bandung yang
berlangsung antara tanggal 18 Agustus 1930 sampai tanggal 22 Desember
1930. Pada hari itu, Soekarno dan kawan-kawan dijatuhi hukuman penjara 4
tahun dengan tuduhan melanggar pasal 169 dan 153 bis Wetboek van
Strafrecht. Pidato pembelaannya Bung Karno menjadi sangat terkenal di
seluruh dunia dengan judul “Indonesie klaagt aan” atau “Indonesia menggugat”.
Pada tanggal 15 Mei 2009 Dr. Boediono
berpidato di Bandung dalam rangka memproklamasikan dirinya sebagai
calon wakil presiden dalam pemilihan tahun 2009. Antara lain dikatakan
olehnya :”Bapak
Presiden yang saya hormati dan para hadirin, di awal abad ke-20 Bung
Karno di kota Bandung ini menyatakan Indonesia menggugat. Waktu itu
Indonesia menggugat penjajahan yang menjadikan negara terbelenggu dan
merasa kerdil. Di awal abad ke-21 ini, Indonesia juga selayaknya menggugat. Kini yang kita gugat adalah penjajahan oleh kekuatan dari luar dan dari dalam.”
Jelas Boediono menganggap Indonesia sekarang masih dijajah yang menurutnya selayaknya harus digugat.
Implikasinya jelas, yaitu kalau nanti dia terpilih sebagai Wakli
Presiden, dia akan menggugat kekuatan dari luar dan dari dalam. Ada dua
hal yang perlu dijelaskan.
Beberapa pertanyaan
Siapa kekuatan dari luar yang sedang menjajah Indonesia, dan siapa pula kekuatan dari dalam?
Apakah kekuatan luar dan kekuatan dalam ini menjajah Indonesia secara
sendiri-sendiri ataukah bersama-sama dalam sebuah konspirasi, di mana
elit bangsa Indonesianya yang menjadi mitra dari luar bertindak sebagai
pengkhianat kepada bangsanya sendiri?
Sejak kapan Indonesia dijajah dengan
tanggal pidatonya sebagai titik tolak, yaitu tanggal 15 Mei 2009. Apakah
mulai tanggal itu Indonesia dijajah dalam bentuk yang ada dalam benak
Boediono, ataukah sebelumnya sudah. Kalau sebelumnya sudah, siapa kiranya yang menjajah dan siapa kiranya kroni dan kompradornya para penjajah yang berbangsa Indonesia (kekuatan dari dalam) ? Boediono tentu dapat mengenalinya dengan akurat karena dia cukup lama menjadi orang di dalam lingkungan puncak kekuasaan.
Persamaan Bung Karno dengan Boediono
Boediono menyamakan dirinya dengan Bung Karno.
Bung Karno menggugat penjajahan oleh pemerintah Hindia Belanda yang
menjajah Indonesia secara fisik, dengan bayonet, bedil, peluru dan
meriam, armada laut dan sebagainya.
Boediono juga ingin menggugat penjajahan
zaman sekarang yang tentunya berbentuk lain. Apa bentuknya tidak
dijelaskan. Sangat mungkin bentuk penjajahan yang ada dalam benak
Boediono sama dengan yang ditulis oleh Jenderal Ryamizard Ryacudu dalam
bukunya yang berjudul ”Perang Modern”.
Intinya yalah bahwa dalam zaman modern
sekarang ini, hakikat penjajahan bangsa mangsa oleh bangsa penjajah
tidak perlu dilakukan dengan sebutir pelurupun, apalagi pasukan dan
armada perang. Caranya dengan membentuk elit bangsa mangsa yang
dijadikan mitranya atau kroni atau kompradornya. Mereka dibantu supaya
senantiasa memegang kendali kebijakan ekonomi yang sesuai dengan
kehendak bangsa penjajah, seperti yang digambarkan oleh John Pilger, Bradley Simpson, Jeffrey Winters, John Perkins dan 12 perusak ekonomi yang “mengaku dosa” dalam buku “A Game as old as Empire”.
Para kroni ini diyakinkan bahwa kebijakan haruslah seliberal mungkin,
membangun proyek-proyek raksasa dengan hutang dari negara-negara
penjajah supaya mereka bisa memperoleh pendapatan bunga dan laba mark up yang
tinggi. Implikasi politiknya supaya senantiasa dicengkeram dan didikte
kebijakannya yang senantiasa menguntungkan korporatokrasi negara
penjajah. PDB dinaikkan oleh beberapa investor asing raksasa tanpa trickle down effect pada yang miskin. Inikah yang oleh Boediono disebut dengan kata-kata “penjajah dari dalam negeri” yang mungkin bekerja sama dengan penjajah dari luar ?
Boediono menyamakan dirinya dengan Bung Karno yang sama-sama ingin menggugat atas nama bangsa Indonesia. Yang digugat juga sama, yaitu penjajahan. Pernyataannya sama-sama diucapkan di kota Bandung.
Tempat ini begitu pentingnya buat Boediono sehingga implisit di dalam
pidatonya kota Bandung dianggap sebagai faktor yang menyamakannya dengan
Bung Karno.
Saya menduga tujuan atau target penjajahan oleh kekuatan penjajah yang ada dalam benak Bung Karno dan Boediono sama, yaitu penghisapan kekayaan bangsa Indonesia oleh bangsa asing, yang dibantu oleh kroni dan komprador bangsa Indonesia sendiri.
Merendahkan dan melecehkan martabat bangsa Indonesia; Boediono memakai
istilah “yang membuat kita merasa terpuruk dan tidak bisa bangkit”. Yang
perlu diperjelas siapa kroni dan komprador bangsa Indonesia sendiri ?
Perbedaan-perbedaannya
Yang berbeda, Ir. Soekarno langsung menghadapi hakim ketua Mr. Siegenbeek van Heukelom dengan jaksa penuntutnya seorang Indonesia yang ketika itu berstatus inlander dan bernama R. Sumadisurja. Boediono menyatakan kehendaknya menggugat kaum penjajah zaman sekarang. Kehendaknya ini baru dimintakan izin dari “Bapak Presiden”, sebutan yang dipakainya dalam bagian dari pidatonya yang menggunakan istilah “Indonesia Menggugat”. Bung Karno dijatuhi hukuman penjara, Boediono ditepuki tangan.
Bung Karno seorang inlander yang tidak mungkin bergaul dengan kekuatan asing pada strata yang sama. Boediono His Excellency Prof. Dr. Boediono yang anggota Dewan Gubernur Bank Dunia.
Perjuangan Bung Karno membawanya keluar masuk penjara dan pembuangan. Boediono tidak pernah masuk penjara. Menjadi tersangka saja tidak pernah.
Perilaku Bung Karno tidak pernah diarahkan menjadi Presiden RI.
Dia berjuang supaya Indonesia merdeka dengan pengorbanan apa saja.
Gugatannya sudah menjadi kenyataan dan merupakan pengorbanan luar biasa
buat dirinya, yang akhirnya memang memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan.
Boediono baru memberi pernyataan bahwa
penjajahan di abad ke 21 sekarang ini selayaknya digugat. Jelas juga
bahwa pernyataan tersebut dikemukakan justru untuk dipilih menjadi wakil presiden.
Itupun tidak jelas siapa penjajahnya dari luar dan siapa penjajahnya
yang dari dalam negeri sendiri. Lantas apakah betul dia akan menggugat
penjajahan masih harus dibuktikan.
Bung Karno hanya berjuang dan berjuang. Karena tindakannya itu seluruh bangsa Indonesia menganggapnya sebagai natural leader,
sehingga dia menjadi Presiden RI yang baru merdeka. Boediono tidak
demikian. Gugatannya terhadap kaum penjajah justru sebelum dia melakukan
apa-apa. Gugatannya baru sebagai propaganda untuk dirinya supaya dipilih sebagai wakil presiden di bulan Juli 2009 mendatang.
Bung Karno dan Pak Harto berbuat sangat
banyak, sehingga rakyat menganggapnya sebagai para pemimpinnya. Boediono
lain. Dia adalah calon wakil presiden yang dalam kampanye pemilihan
pilpres tidak boleh mempunyai rasa rendah hati, tidak boleh humble. Dalam kampanye nanti dia harus berkeliling Indonesia mengatakan kepada rakyat Indonesia : “Wahai
rakyatku, aku ini orang hebat yang akan menggugat penjajahan dan
memberantas korupsi, mereformasi birokrasi. Maka pilihlah aku sebagai
wakil presidenmu.”
Apa Neoliberalisme Itu ?
Dengan dipilihnya Boediono sebagai
cawapres-nya SBY, diskusi tentang “neolib” menjadi marak. Namun
diskusinya tidak memberikan gambaran yang jelas.
Liberalisme adalah faham yang sangat jelas digambarkan oleh Adam Smith dalam bukunya yang terbit di tahun 1776 dengan judul “An inquiry into the nature and the causes of the wealth of nations”.
Buku ini sangat terkenal dengan singkatannya “The wealth of nations”
dan luar biasa pengaruhnya. Dia menggambarkan pengenalannya tentang
kenyataan hidup. Intinya sebagai berikut.
Manusia adalah homo economicus
yang senantiasa mengejar kepentingannya sendiri guna memperoleh manfaat
atau kenikmatan yang sebesar-besarnya dari apa saja yang dimilikinya.
Kalau karakter manusia yang egosentris dan individualistik seperti ini
dibiarkan tanpa campur tangan pemerintah sedikitpun, dengan sendirinya
akan terjadi alokasi yang efisien dari faktor-faktor produksi,
pemerataan dan keadilan, kebebasan, daya inovasi dan kreasi berkembang
sepenuhnya. Prosesnya sebagai berikut.
Kalau ada barang dan jasa yang harganya
tinggi sehingga memberikan laba yang sangat besar (laba super normal)
kepada para produsennya, banyak orang akan tertarik memproduksi barang
yang sama. Akibatnya supply meningkat dan ceteris paribus harga turun. Kalau harga turun sampai di bawah harga pokok, ceteris paribus supply
menyusut dengan akibat harga meningkat lagi. Harga akan berfluktuasi
tipis dengan kisaran yang memberikan laba yang sepantasnya saja (laba
normal) bagi para produsen. Hal yang sama berlaku buat jasa distribusi.
Buku ini terbit di tahun 1776 ketika hampir semua barang adalah komoditi yang homogeen (stapel producten)
seperti gandum, gula, garam, katoen dan sejenisnya. Lambat laun daya
inovasi dan daya kreasi dari beberapa produsen berkembang. Ada saja di
antara para produsen barang sejenis yang lebih pandai, sehingga mampu
melakukan diferensiasi produk. Sebagai contoh, garam dikemas ke dalam
botol kecil praktis yang siap pakai di meja makan. Di dalamnya ditambahi
beberapa vitamin, diberi merk yang dipatenkan. Dia mempromosikan
garamnya sebagai sangat berlainan dengan garam biasa. Konsumen percaya,
dan bersedia membayar lebih mahal dibandingkan dengan harga garam biasa.
Produsen yang bersangkutan bisa memperoleh laba tinggi tanpa ada
saingan untuk jangka waktu yang cukup lama. Selama itu dia menumpuk laba
tinggi (laba super normal) yang menjadikannya kaya.
Karena semuanya dibolehkan tanpa
pengaturan oleh pemerintah, dia mulai melakukan persaingan yang
mematikan para pesaingnya dengan cara kotor, yang ditopang oleh
kekayaannya. Sebagai contoh, produknya dijual dengan harga yang lebih
rendah dari harga pokoknya. Dia merugi. Kerugiannya ditopang dengan
modalnya yang sudah menumpuk. Dengan harga ini semua pesaingnya akan
merugi dan bangkrut. Dia tidak, karena modalnya yang paling kuat.
Setelah para pesaingnya bangkrut, dengan kedudukan monopolinya dia
menaikkan harga produknya sangat tinggi.
Contoh lain : ada kasus paberik rokok
yang membeli rokok pesaingnya, disuntik sangat halus dengan cairan
sabun. Lantas dijual lagi ke pasar. Beberapa hari lagi, rokoknya rusak,
sehingga merknya tidak laku sama sekali, pabriknya bangkrut.
Yang digambarkan oleh Adam Smith mulai tidak berlaku lagi………….
bersambung ke halaman 2
Buku Kwik Kian Gie – INDONESIA MENGUGAT JILID-II (1)
Juni 14, 2009
Yang digambarkan oleh Adam Smith
mulai tidak berlaku lagi. Karena apa saja boleh, pengusaha majikan mulai
mempekerjakan sesama manusia dengan gaji dan lingkungan kerja yang di
luar perikemanusiaan. Puncaknya terjadi dalam era revolusi industri,
yang antara lain mengakibatkan bahwa anak-anak dan wanita hamil
dipekerjakan di tambang-tambang. Wanita melahirkan dalam tambang di
bawah permukaan bumi. Mereka juga dicambuki bagaikan binatang. Dalam era
itu seluruh dunia juga mengenal perbudakan, karena pemerintah tidak
boleh campur tangan melindungi buruh.
Dalam kondisi seperti ini lahir pikiran-pikiran Karl Marx. Banyak karyanya, tetapi yang paling terkenal menentang Adam Smith adalah Das Kapital yang
terbit di tahun 1848. Marx menggugat semua ketimpangan yang diakibatkan
oleh mekanisme pasar yang tidak boleh dicampuri oleh pemerintah. Marx
berkesimpulan bahwa untuk membebaskan penghisapan manusia oleh manusia,
tidak boleh ada orang yang mempunyai modal yang dipakai untuk
berproduksi dan berdistribusi dengan maksud memperoleh laba. Semuanya
harus dipegang oleh negara/pemerintah, dan setiap orang adalah pegawai
negeri.
Dunia terbelah dua. Sovyet Uni, Eropa
Timur, China, dan beberapa negara menerapkannya. Dunia Barat mengakui
sepenuhnya gugatan Marx, tetapi tidak mau membuang mekanisme pasar dan
kapitalisme. Eksesnya diperkecil dengan berbagai peratutan dan
pengaturan. Setelah dua sistem ini bersaing selama sekitar 40 tahun,
persaingan dimenangkan oleh Barat.
Maka tidak ada lagi negara yang menganut sistem komunisme ala Marx-Lenin-Mao.
Semuanya mengadopsi mekanisme pasar dan mengadopsi kaptalisme dalam
arti sempit, yaitu dibolehkannya orang per orang memiliki kapital yang
dipakai untuk berproduki dan berdistribusi dengan motif mencari laba.
Tetapi kapital yang dimilikinya harus berfungsi sosial. Apa artinya dan
bagaimana perwujudannya? Sangat beragam. Keragaman ini berarti juga
bahwa kadar campur tangannya pemerintah juga sangat bervariasi dari yang
sangat minimal sampai yang banyak sekali.
Siapa Kaum Neolib ?
Orang-orang yang menganut faham bahwa campur tangan pemerintah haruslah sekecil mungkin adalah kaum neolib;
mereka tidak bisa mengelak terhadap campur tangannya pemerintah,
sehingga tidak bisa lagi mempertahankan liberalisme mutlak dan total,
tetapi toh harus militan mengkerdilkan pemerintah untuk kepentingan
korporatokrasi. Jadi walaupun yang liberal mutlak, yang total, yang laissez fair laissez aller dan laissez fair laissez passer, yang cut throat competition dan yang survival of the fittest mutlak sudah tidak bisa dipertahankan lagi, kaum neolib masih bisa membiarkan
kekayaan alam negara kita dihisap habis oleh para majikannya yang kaum
korporatokrat dengan dukungan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF.
Boediono perlu melakukan soul searching yang mendalam
Meledaknya debat tentang neolib tidak
dapat dipisahkan dari persepsi yang dimiliki sangat banyak orang bahwa
Boediono adalah personifikasi dari aliran neolib di Indonesia. Bahkan
beliaulah yang dewasa ini dianggap sebagai pemimpin kaum neolib
Indonesia, yang dianggap sama dan sebangun dengan kelompok yang terkenal
dengan sebutan “The Berkeley Mafia”.
Tidak hanya itu, banyak yang mempunyai
dugaan dan perasaan bahwa dipilihnya Boediono sebagai calon wakil
presiden adalah hasil desakan dari “kekuatan dari luar”.
Istilah ini yang dipakai oleh Boediono sendiri dalam pidatonya, yang
merasa selayaknya menggugat penjajahan yang masih ada dalam abad ke 21
ini, baik yang dari luar maupun yang dari dalam.
Dugaan ini bertambah besar setelah Boediono menyatakan kepada The Jakarta Post
tanggal 25 Mei 2009 bahwa penerimaannya sebagai calon wakil presiden
adalah karena adanya arus besar yang tidak mampu ditolaknya (Boediono said his nomination was a “big stream” he could not resist”).
Karena itu, untuk kepentingan seluruh
bangsa yang bagian terbesarnya sedang sangat menderita kemiskinan,
kebodohan, kurang sehat jasmani dan rohaninya, keterbelakangan, apakah
betul bahwa dirinya didorong oleh kekuatan asing untuk menerima
pencalonannya sebagai wakil presiden ?
Untuk kepentingannya sendiri juga,
rasanya sangat perlu beliau memberikan penjelasan yang sejujurnya dan
masif kepada rakyat yang akan melakukan pilihannya pada tanggal 8 Juli
2009.
Apakah
dalam karirnya yang panjang dalam kedudukan yang tinggi di birokrasi
Boediono ikut berperan dalam segala sesuatu yang tergambarkan dalam
tulisan ini?
Boediono berkarir dalam kedudukan sangat
tinggi dalam kepemimpinan negara, yaitu berturut-turut sebagai Direktur
Bank Indonesia, Menteri/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menko
Perekonomian, Gubernur BI, dan sekarang Calon Wakil Presiden RI untuk
periode 2009-2014.
Banyak yang menilai bahwa Boediono ikut
berperan cukup besar dalam segala sesuatu yang digambarkan dalam tulisan
ini. Maka rasanya beliau perlu menjelaskannya kepada rakyat, karena
posisinya sebagai calon wakil presiden dengan kemungkinan sangat besar
akan terpilih.
Bagaimana gambaran penjajahan dan siapa para pelakunya?
Dengan jelas dikatakan dalam pidato Boediono bahwa di abad 21 ini penjajahan masih ada. Sayang seribu sayang bahwa dia tidak menjelaskan tentang apa dan bagaimana penjajahan zaman sekarang itu?
Karena itu, izinkanlah saya
menjelaskannya dari pengenalan orang lain yang mempelajarinya dengan
seksama dan menurut saya dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya,
yaitu yang ditulis oleh John Pilger dalam bukunya yang berjudul “The New Rulers of the World.” [video]
Saya kutip seakurat mungkin dengan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh saya sendiri sebagai berikut.
“Dalam bulan November 1967, menyusul
tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The
Time-Life Corporation mensponsori konperensi istimewa di Jenewa yang
dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia.
Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia,
orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat
diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors,
Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco,
American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonoom-ekonoom Indonesia yang top”.
“Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan ‘the Berkeley Mafia’,
karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah
Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley.
Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang
diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang
dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan : …… buruh murah yang melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar.”
Di halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua,
ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan
dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada
Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang
bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari
dokumen-dokumen konferensi. ‘Mereka membaginya ke dalam lima seksi :
pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di
kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan
oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan
kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor
lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling
dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini,
dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum untuk
berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti
itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara
yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan
buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.
Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan.
Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan
buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak
untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi
Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang
anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia
dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”
Demikian gambaran yang diberikan oleh
Brad Simpson, Jeffrey Winters dan John Pilger tentang suasana,
kesepakatan-kesepakatan dan jalannya sebuah konperensi yang merupakan
titik awal sangat penting buat nasib ekonomi bangsa Indonesia
selanjutnya.
Kalau baru sebelum krisis global
berlangsung kita mengenal istilah “korporatokrasi”, paham dan ideologi
ini sudah ditancapkan di Indonesia sejak tahun 1967. Delegasi Indonesia
adalah Pemerintah. Tetapi counter part-nya captain of industries atau para korporatokrat.
PARA PERUSAK EKONOMI NEGARA-NEGARA MANGSA
Benarkah sinyalemen John Pilger………….bersambung ke halaman 3
Buku Kwik Kian Gie – INDONESIA MENGUGAT JILID-II (1)
Juni 14, 2009
PARA PERUSAK EKONOMI NEGARA-NEGARA MANGSA
Benarkah sinyalemen John Pilger, Joseph
Stiglitz dan masih banyak ekonom AS kenamaan lainnya bahwa hutanglah
yang dijadikan instrumen untuk mencengkeram Indonesia?
Dalam rangka ini, saya kutip buku yang menggemparkan. Buku ini ditulis oleh John Perkins dengan judul : “The Confessions of an Economic Hit man”, atau “Pengakuan oleh seorang Perusak Ekonomi”. Buku ini tercantum dalam New York Times bestseller list selama 7 minggu.
Saya kutip sambil menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
Halaman 12 : “Saya hanya mengetahui bahwa
penugasan pertama saya di Indonesia, dan saya salah seorang dari sebuah
tim yang terdiri dari 11 orang yang dikirim untuk menciptakan cetak
biru rencana pembangunan pembangkit listrik buat pulau Jawa.”
Halaman 13 : “Saya tahu bahwa saya harus menghasilkan model ekonometrik untuk Indonesia dan Jawa”. “Saya
mengetahui bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan banyak
kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas dasar
statistik yang dibuatnya.”
Halaman 15 : “Pertama-tama saya harus memberikan pembenaran (justification) untuk memberikan hutang yang sangat besar jumlahnya yang
akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan konsultan di mana John
Perkins bekerja) dan perusahan-perusahaan Amerika lainnya (seperti
Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui
penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi.
Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman tersebut (tentunya
setelah MAIN dan kontraktor Amerika lainnya telah dibayar), agar negara
target itu untuk selamanya tercengkeram oleh kreditornya, sehingga
negara penghutang (baca : Indonesia) menjadi target yang empuk kalau
kami membutuhkan favours, termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.”
Halaman 15-16 : “Aspek
yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah membuat laba
sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir
keluarga dari negara-negara penerima hutang yang sudah kaya dan
berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian
ketergantungan keuangan negara penerima hutang menjadi permanen sebagai
instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima
hutang. Maka semakin besar jumlah hutang semakin baik. Kenyataan bahwa
beban hutang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari
bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial
lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam
pertimbangan.”
Halaman 15 : “Faktor yang paling menentukan adalah Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus
dimenangkan. Walaupun hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya
harus menunjukkan bahwa membangun proyek yang bersangkutan akan membawa
manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB.”
Halaman 16 : “Claudia dan saya
mendiskusikan karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya
pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang
saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani
hutang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya menjadi semakin kaya
dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya
sebagai kemajuan ekonomi.”
Halaman 19 : “Sangat menguntungkan buat
para penyusun strategi karena di tahun-tahun enam puluhan terjadi
revolusi lainnya, yaitu pemberdayaan perusahaan-perusahaan internasional
dan organisasi-organisasi multinasional seperti Bank Dunia dan IMF.”
John Perkins seorang pembual atau fiktif ?
Para ekonom kelompok mazhab tertentu yang berfungsi sebagai agen pelaksana dari korporatokrasi dan prinsip-prinsip Washington Concensus
serta merta mengatakan bahwa John Perkins itu tidak ada. Itu adalah
orang yang fiktif. Kalaupun ada orangnya, dia seorang pemimpi dan
pembual (fantast).
Kalau memang demikian, bagaimana mungkin bukunya tercantum dalam best seller list selama enam minggu di New York Times. Seminggu setelah dijual di toko-toko buku, sudah tercantum sebagai buku terlaris nomor 4 di amazon.com. Dalam waktu kurang dari 14 bulan, bukunya telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa. Copyright-nya telah dibeli oleh perusahaan film utama di Hollywood.
Saya bertemu dengan seorang insinyur Indonesia yang sampai sekarang masih bekerja di BUMN. Tidak etis buat saya menyebutkan namanya. Beliau menceriterakan kepada saya bahwa beliaulah yang menjadi partnernya John Perkins di Bandung di tahun 1970. Ketika
itu beliau tidak mengetahui bahwa Perkins sedang melakukan perusakan
ekonomi. Ketika beliau membaca bukunya, begitu marahnya, sehingga segera
membuat sangat banyak copy yang dibagi-bagikan.
Mereka yang menyebut John Perkins seorang pembual sekarang ini banyak sekali yang memegang kekuasaan dalam bidang ekonomi.
Mengapa tidak ada kebutuhan mencari dan menanyakan kepada insinyur yang
di tahun 1970 tanpa mengetahui maksud dan tujuan John Perkins bekerja
sebagai mitranya di kantor PLN Bandung?
A Game as old as Empire
John Perkins mengakui bahwa sangatlah
sulit menemukan penerbit, walaupun setiap kali para penerbit itu
menunjukkan perhatian yang sangat besar. Tetapi pada akhirnya menolak.
Baru penerbit yang ke 26 menyetujui menerbitkannya.
Apa alasannya diceriterakan dalam kata
pengantarnya dalam buku terbaru yang ditulis oleh 12 para perusak
ekonomi lainnya. Judul bukunya telah saya kemukakan, yaitu “A Game As Old As Empire”, dan sub judulnya “The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global Corruption.”
Semakin kokohnya neolib dengan konsekwensinya
Namun sayang bahwa sejak Ibu Megawati menjabat sebagai Presiden, kendali ekonomi jatuh ke tangan Berkeley Mafia lagi, yang sejak itu kendali serta kekuasaannya bertambah mutlak.
Tingkat kerusakannya sudah sangat parah.
Jumlah manusia Indonesia yang menderita kemiskinan sudah melampaui
batas-batas yang wajar. Infrastruktur, barang dan jasa publik yang
krusial buat tingkat kehidupan yang wajar sudah merosot jauh di bawah
yang dibutuhkan secara minimal.
Elit bangsa yang sedang berkuasa dengan
dukungan dari pembentukan opini publik di dunia semakin gencar
menggambarkan bangsa Indonesia yang semakin maju dan sejahtera.
Indikator-indikator yang dikemukakannya adalah stabilitas nilai tukar rupiah, PDB yang meningkat, inflasi yang terkendali dan sejenisnya.
Bahwa kesemuanya itu menyesatkan dapat
kita pahami kalau kita membandingkannya dengan indikator-indikator yang
sama selama penjajahan oleh Belanda selama berabad-abad. Dalam zaman penjajahan segala sesuatunya serba teratur dan stabil. PDB Hindia Belanda meningkat terus. Itulah sebabnya sampai sekarang kita menyaksikan Wassenaar dengan vila-vila yang besar dan mewah dan disebut sebagai daerah pemukimannya oud Indische gasten (para
mantan tamu di Hindia Belanda). Ciri khas Amsterdam sebagai pusat
perdagangan ketika itu ialah rumah-rumah besar sepanjang sungai-sungai
buatan. Kebanyakan dari gedung-gedung itu sekarang berfungsi sebagai
perkantoran. Dalam zaman penjajahan adalah rumah-rumah tinggalnya para
keluarga yang memperoleh kekayaannya dari Hindia Belanda. Tetapi rakyat
Indonesia hidup dengan segobang sehari.
Sekarang juga begitu, kota-kota besar,
terutama Jakarta berlimpah-ruah dengan kemewahan. Indikator-indikator
yang selalu didengung-dengungkan serba stabil, walaupun ketertiban dan kebersihannya masih kalah dibandingkan dengan zaman penjajahan Belanda. Pesawat udara penuh penumpang, mal-mal mewah padat pengunjung dan jalan-jalan raya macet dengan mobil-mobil mewah. Tetapi
ketika Bank Dunia mengumumkan bahwa garis kemiskinan sekarang
ditetapkan US$ 2 per hari per orang, 50 % dari rakyat Indonesia menjadi
miskin.
Buat saya dan sangat banyak orang
Indonesia lainnya yang peduli dan prihatin terhadap nasib bangsa, inilah
gambaran negara Indonesia yang dijajah secara modern. Kalau ini yang
akan digugat oleh Boediono seandainya dia menang menjadi wakil presiden,
bersyukurlah kita.
Peran golongan kemapanan yang tidak tampak lagi
Kondisi ini tidak dapat dibiarkan oleh
golongan kemapanan yang masih mempunyai hati nurani. Mengapa golongan
kemapanan yang harus membalikkan proses yang menjuruskan bangsa kita ke
dalam jurang penderitaan, kemiskinan dan kenistaan? Karena mereka yang
miskin dan menderita tidak mempunyai kekuatan apapun untuk memperbaiki
nasibnya. Mereka hanya mampu menerawang ke langit dengan wajah tanpa
ekspresi sambil menerima kematiannya karena kekurangan makanan dan
pelayanan kesehatan yang paling mendasar.
Golongan kemapanan yang dirinya sendiri
tidak mempunyai persoalan untuk hidup serba kecukupan, tetapi hatinya
terusik, tidak tega menyaksikan penderitaan sesama anak bangsanya itulah
yang harus bergerak membela sesama anak bangsanya yang terinjak,
terpinggirkan dan ternistakan oleh elit bangsanya sendiri yang sedang
berkuasa, dan lebih senang menjadi kroni dan kompradornya para penghisap
bangsa-bangsa lain. Kelompok seperti
inilah yang berhasil memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan. Para
pendiri negara kita adalah orang-orang berpendidikan tinggi, yang kalau
mau menjadi pegawai negeri (ambtenaar) pada pemerintahan
Hindia Belanda menikmati gaji yang sangat tinggi. Tetapi mereka memilih
keluar masuk penjara ketimbang menjadi pegawai negeri yang menjadi
bagian dari birokrasi yang menghisap bangsanya sendiri.
Golongan kemapanan yang peduli, prihatin dan membela kepentingan yang tertindas sudah sangat lama tidak tampak di Indonesia.
PROSES PENJAJAHAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DAN …………………
Buku Kwik Kian Gie – INDONESIA MENGUGAT JILID-II (2)
Juni 14, 2009
“INDONESIA MENGGUGAT JILID-II” ? (Bagian 2)
|
mungkinkah ini adalah imbas dari sekolah / kuliah untuk mengejar ijazah bukan ilmu…? untuk mendapatkan gelar yang panjang nya seperti gerbong KA hanya dengan membaca textbook ( copy paste), sampai2 judul Skripsi/Tesis pun dilakukan dengan Jiplak / Plagiat yang tersamar….! ( Usia masih Muda…..gelarnya aujubillaaahhh…). Pengalaman Minim..hampir tak ada….!
Terimakasih pada p. Kwik yang sangat Kritis dan cerdas mengupas borok penyelenggara negeri ini…! TUHAN MEMBERKATI P.KWIK….DAN KELUARGA….AMIN !
Kita punya a Think Tank in form of anggicvg@yahoogroups.com dari Cincinnati, OH, USA. Kita banyak discuss persoalan konglo2 hitam, dan unethical & morally wrong behaviour mereka. Saya sendiri lulusan Alumni St. Louis, Surabaya, dan dpt Dr.rer.nat dari University of Heidelberg, Germany. Lalu saya kerja hampir 15 th di Procter & Gamble, mulai dari Scwalbach & Worms Germany, lalu dipindah ke Cincinnati, USA, Modesto, California, balik Cincinnati. Saya lalu kerja 3 th utk Hadeed:Saudi Iron & Steel Company, lalu hampir 15 th sampai retired di Saudi Arabian Oil Company, yg managed the largest oil fields in the world. Berapa th lalu melalui Alumni St. Louis contact ingin menghubungi anda soal Grasberg: the largest gold mine in the world di Papua, dan discuss soal niru Saudi’s yg gunakan via Saudi Aramco utk memakmurkan Saudi, jadi tidak diambil 90+% hasilnya kayak Freeport operation di Grasberg, selain juga potential Grasberg menjadi telaga beracun se lama2 nya spt Berkeley Pit. Sayang waktu itu we did not have any luck to get in contact dg anda. Harap kali ini bisa in touch dan kerja sama antara Think Tank kami dg anda, apa urusan konglo2 hitam ataupun Grasberg.
Awaiting your response/contact.
Salam,
OrangKampung GL (the title saya suka pakai)
Nama saya Ang, Gwan-Liong domicile di Cincinnati, OH, USA. Detailed profile bisa dilihat di LinkedIn. Saya adalah moderator dari Think Tank private anggicvg@yahoogroups.com; dan kita (yg about 50% domicile di luar negeri) sangat concern dg moral hazards dari konglo2 hitam, yg sudah boleh dibilang dapat segala, mulai licensi2, dan banyak other preferential treatments, malah waktu bankrupt dapat bail out. Sekarang dg cara2 unethical dan immmoral malah bilang uang sacral bailout BLBI tahu2 sudah lunas, dg cara2 tidak betul, apa Goldman Sachs fraudulent estimates, nyogok jaksa2 dan other instansi2 hikum, sampai instansi2 itu boleh dibilang hancur luluh, dan only FAIR COURT yg tertinggal adalah: Court of the Public Opinion (kayak in Arab Spring, atau Myanmar).
Saya dan others of our Think Tank members think that is not right.
Kita mau join forces dg anda, dan membantu whatever we could by expanding your network.
Kalau anda interested in joining forces, please contact me ay the Email address yg diminta, dan we can go from there.
Sedikit background saya; lulusan SMA St. Louis th 1963; Dr. rer nat Physics dari Dr. Vater J.H.D. Jensen: 1972: lihat link: http://en.wikipedia.org/wiki/J._Hans_D._Jensen ;
Procter Gamble: 1973-1987; Hadeed (Saudi Arabian Oil Company): 1988-1991; Saudi Aramco (largest oil fields in the world): 1991-2005. Madatory retired Saudi Aramco in 2005.
Harap kita bisa join forces.
Salam,
OrangKampung GL
jangan berhenti sharing ya pak kwik, salam penghentian perbudakan.
Terima kasih atas pendapatnya. Memang kasus BLBI BCA ini merupakan tindak pidana kejahatan korupsi berjamaah. Masalahnya saat ini seluruh data-data keuangan kasus BLBI atapun data-data BPPN sudah dihapus bersih di internet, sehingga masyarakat dan pihak-pihak yang independen saat ini (per November 2013) sudah tidak bisa lagi mempelajarinya. Patut di duga penghapusan data-data BLBI dan BPPN di internet ini dilakukan secara sistematis oleh pemerintah sendiri dengan tujuan untuk menghilangkan fakta. Kerugian pendapatan pajak yang seharusnya diterima oleh negara juga perlu diperhitungkan sebagai kerugian negara.
Bukan hanya dilunasi malah di semprot habis2-an oleh mentri ekonomi Presiden SBY.
betul penerimaan negara berkurang dari sektor pajak tapi disisi lain negara ga perlu keluar uang buat nombok ke BCA thx pencerahannya