?????.....OOOOHHHH.....??? SEPERTINYA
HEBAT SEKALI PIDATO PRESIDEN JOKOWIE.. INI..??
SAYA MERASA MIRIS.. KRN DEMIKIAN ..VULGAR.. DAN TANPA KONSEP YG TERTATA DAN TERJAGA..
SIAPA KONSEPTOR DIBELAKANG PIDATO PK JOKOWIE..INI..?
NAMUN DARI PAPARANNYA.. DIA MENGATAKAN PENGALAMAN SEBAGAI GUBERNUR JAKARTA.. YG HANYA 1 TAHUN..? APA BENAR DEMIKIAN..?
WASPADALAH.. WASPADALAH..!!!
MANA HITUNG2ANNYA PK .. SUBSIDI BBM $27 MILYAR = IDR 330TRILUN..??
APA BENER TUH..? ? SIAPA YG MAKAN SEBANYAK ITU..??
Aduh Memalukan Sekali, Sebut Anggaran Indonesia Terbatas Jokowi Telah Melecehkan Bangsanya Sendiri
Pada pidatonya di hadapan para pemimpin bisnis dalam pertemuan CEO APEC
di Beijing, Senin 10 November, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi)
menyebut negaranya sebagai tujuan utama investasi.
Dilansir dari Wall Street Journal, Jokowi dalam pidato pertamanya di acara internasional itu berjanji memangkas subsidi BBM, yang disebutnya telah menghalangi kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan sosial.
Jokowi menyebut $27 miliar yang dihabiskan setiap tahun hanya untuk subsidi BBM, adalah jumlah yang sangat besar. “Kami ingin menyalurkan subsidi BBM kami dari konsumsi menjadi aktivitas yang produktif,” kata Jokowi.
Dana yang dapat dihemat dari pemangkasan subsidi BBM akan digunakan untuk membangun pelabuhan, rel kereta dan infrastruktur lainnya. Jokowi menyebut Indonesia akan membangun 24 pelabuhan dalam lima tahun, di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Dia juga
mengungkapkan rencana memperluas jaringan kereta api dan pembangunan
jaringan transportasi massal di enam kota besar termasuk Jakarta,
Bandung dan Surabaya. Proyek kunci lainnya adalah pembangkit listrik,
yang akan membantu pembangunan sektor industri Indonesia.
“Ini kesempatan Anda,” kata Jokowi dalam bahasa Inggris, pada pidatonya di hadapan para pemimpin bisnis kawasan yang disampaikan dengan bahasa Indonesia. Lebih lanjut, Jokowi menyampaikan keinginannya membangun 25 bendungan dalam lima tahun, mengalihkan anggaran subsidi menjadi pengairan bagi pertanian.
Jokowi yang beberapa kali mengulang kalimat kesempatan dalam pidatonya, berusaha menjamin tentang resiko berbisnis di Indonesia. Dia mengakui bahwa Indonesia sebelumnya berada pada peringkat rendah dalam survei.
“Banyak investor, saat mereka datang pada saya, hampir semuanya, mereka selalu mengeluhkan tentang akuisisi tanah. Saya akan mendorong menteri-menteri, gubernur, walikota, untuk membantu menyelesaikan masalah ini,” ujarnya.
Jokowi menceritakan pengalamannya saat harus menyelesaikan sengketa tanah selama menjabat Gubernur DKI Jakarta, termasuk yang terkait dengan pembangunan jalan tol. Dia juga mengingatkan latar belakangnya sebagai pengusaha.
Dia menjamin bahwa pemerintah Indonesia akan membantu para investor asing dalam percepatan izin usaha. “Ini kesempatan Anda, karena Anda tahu anggaran nasional kami terbatas,” ucapnya.
Sumber: fimadani
Dilansir dari Wall Street Journal, Jokowi dalam pidato pertamanya di acara internasional itu berjanji memangkas subsidi BBM, yang disebutnya telah menghalangi kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan sosial.
Jokowi menyebut $27 miliar yang dihabiskan setiap tahun hanya untuk subsidi BBM, adalah jumlah yang sangat besar. “Kami ingin menyalurkan subsidi BBM kami dari konsumsi menjadi aktivitas yang produktif,” kata Jokowi.
Dana yang dapat dihemat dari pemangkasan subsidi BBM akan digunakan untuk membangun pelabuhan, rel kereta dan infrastruktur lainnya. Jokowi menyebut Indonesia akan membangun 24 pelabuhan dalam lima tahun, di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua.
“Ini kesempatan Anda,” kata Jokowi dalam bahasa Inggris, pada pidatonya di hadapan para pemimpin bisnis kawasan yang disampaikan dengan bahasa Indonesia. Lebih lanjut, Jokowi menyampaikan keinginannya membangun 25 bendungan dalam lima tahun, mengalihkan anggaran subsidi menjadi pengairan bagi pertanian.
Jokowi yang beberapa kali mengulang kalimat kesempatan dalam pidatonya, berusaha menjamin tentang resiko berbisnis di Indonesia. Dia mengakui bahwa Indonesia sebelumnya berada pada peringkat rendah dalam survei.
“Banyak investor, saat mereka datang pada saya, hampir semuanya, mereka selalu mengeluhkan tentang akuisisi tanah. Saya akan mendorong menteri-menteri, gubernur, walikota, untuk membantu menyelesaikan masalah ini,” ujarnya.
Jokowi menceritakan pengalamannya saat harus menyelesaikan sengketa tanah selama menjabat Gubernur DKI Jakarta, termasuk yang terkait dengan pembangunan jalan tol. Dia juga mengingatkan latar belakangnya sebagai pengusaha.
Dia menjamin bahwa pemerintah Indonesia akan membantu para investor asing dalam percepatan izin usaha. “Ini kesempatan Anda, karena Anda tahu anggaran nasional kami terbatas,” ucapnya.
Sumber: fimadani
Awasi Sajadah Anda, Apakah Bergambar Adegan Seks Atau Berlambang Dajjak Freemason
<a
href='http://d.href.asia/nw/d/ck.php?n=acf24f25&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE'
target='_blank'><img
src='http://d.href.asia/nw/d/avw.php?zoneid=21343&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=acf24f25'
border='0' alt='' /></a>
Artikel
ini dikutip dari ‘efairy-holywar’ dan beberapa rangkaian blog lain yang
pernah ditutup oleh pihak tertentu karena membongkar rahasia ‘The
Elite’. Walau bagaimanapun pembongkaran misteri ini akan terus dibuat
demi menyelamatkan kesucian dan kehormatan Islam.
Mungkin
banyak yang telah mengetahui informasi ini. Namun sekiranya Anda belum
mengetahui, silakan cari tahu! Ini sangat penting demi memelihara akidah
Anda.
Subliminal
message atau pesan bawah sadar merupakan signal atau pesan yang
terdapat dalam media lain, yang dirancang untuk melewati di atas normal
pikiran/ presepsi manusia. Pesan itu sebenarnya tidak dapat disadari/
diketahui, namun dalam situasi tertentu dapat mempengaruhi pikiran,
perilaku, tindakan, sikap, sistem kepercayaan dan sistem nilai secara
positif maupun negatif.
Istilah
bawah sadar berarti “beneath a limen“ (ambang inderawi). Subliminal
berasal dari bahasa Latin, kata sub yang berarti di bawah, dan limen,
yang berarti ambang (This is from the Latin words sub, meaning under,
and limen, meaning theshold). Kini kita akan langsung saja berhubungan
dengan sajadah. Ya, sajadah yang digunakan oleh Anda untuk alas shalat.
Apa yang menariknya di sini? Silakan perhatikan dahulu gambar/gambar di
bawah:
Freemason – Mater Karpet
Berdasarkan
gambar Master Karpet di atas, saya mengambil tiga cirinya; Lantai Catur
(hitam/putih)/Checkered Floor, Bintang & Bulan dan 2 tiang yang
dikenali sebagai Joachim dan Boaz.
Sekarang
kita akan perhatikan contoh salah satu Sajadah yang telah diambil.
Silakan perhatikan baik-baik Sajadah dengan 3 ciri freemason: Checkered
floor, Bulan & bintang, dan 2 tiang (Joachim & Boaz)
Perhatikan
Sajadah di atas, ia juga mempunyai 3 ciri yang saya sebutkan, yaitu
bintang dan bulan, lantai berpetak (checkered floor) dan 2 tiang.
Bagaimana? Percaya tidak percaya simbol-simbol Yahudi itu ada di Sajadah
kita.
Freemason
Freemason
dan Illuminati adalah cabang-cabang organisasi Dajjal Laknatullah.
Tiada bedanya di antara dua organisasi ini, keduanya menganut agama
penyembah Iblis dan Syaitan, mengamalkan sihir dan memuja-muja mistik
sesat (di antaranya percaya kepada kekuatan angka dan bentuk geometri).
Namun
freemason telah tampil seolah-olah sebuah organisasi yang “halal” dan
memperjuangkan kebajikan. Kini ahli mereka berada di seluruh dunia yang
rata-ratanya dianggotai oleh golongan elit.
Lantai Hitam & Putih/Checkered Floor: lantai yang digunakan dalam ritual freemasonry (berpetak hitam-putih)
Bulan
dan Bintang: biasa terdapat dalam logo dan simbol yang digunakan oleh
freemasonry, dan turut digunakan di dalam ritual penyembahan syaitan.
Bulan dan bintang turut digunakan sebagai simbolik ke-Islaman di
kebanyakan negara (walaupun itu bukan logo Islam).
All seeing eye
– Simbolik/propoganda “The Hidden Hand/Dajjal” seperti yang tercetak di belakang uang 1 dollar US
Selain
itu, lihat juga di Sajadah berikut ini, jadi betapa banyaknya
simbol-simbol Zionis Yahudi di dalam Sajadah masjid masjid kita.
Lihatlah,
betapa banyaknya simbol-simbol Zionis Yahudi yang tersimpan di balik
Sajadah yang kita gunakan sehari-hari. Dan, bukan sampai di situ saja!
Tanpa kita sadari ada yang lebih berbahaya lagi, yakni adanya simbol
seks di balik Sajadah tersebut.
Perhatikan baik-baik:
Nah
sekarang, entah sengaja atau memang tidak tahu, ada gambar yang
menampakkan pesan seks pada gambar Sajadah, karpet alas untuk shalat di
masjid-masjid. Sajadah jenis ini sudah tersebar di masjid-masjid, namun
sayang masyarakat/jama’ah masjid tidak menyadari bahwa karpet/sajadah
yang mereka pakai tiap hari bergambar porno.
Mungkin
sepintas itu tidak terlihat jelas dan pastinya tidak menyadari bahwa
sebenarnya gambar yang kita tahu adalah sebuah pintu, yang ternyata
kalau kita perhatikan dengan teliti akan menyerupai (maaf) seperti organ
vital laki-laki.
Coba
perhatikan kembali gambar sajadah atau karpet masjid! Ini seperti sudah
didesain sedemikian rapi oleh si pembuat di pabrik pembuat sajadah atau
karpet masjid.
Inilah
perancangan jahat Yahudi dan Nasrani yang banyak di antara kita tidak
mengetahui dan sadar. Mereka akan menjadikan KITA SESAT DALAM KEADAAN
BERIMAN.
Diharapkan di dalam kehidupan sehari hari, kita semua lebih berhati-hati dan lebih peka setelah membaca artikel ini
“Sebagian
besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari
diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran…,” (QS
Al-Baqarah: 109).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Man tasyabbaha bi qaumin fahuwa
minhum.” (Barangsiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka ia termasuk ke
dalam golongan mereka).
Bagi
mereka yang beranggapan yang penting shalatnya, bukan sajadahnya, itu
sah-sah saja, tapi yang harus diwaspadai, tujuan dari gambar ini ada di
sajadah kita adalah karena Zionis Yahudi ingin menyimpan dalam otak kita
akan simbol mereka.
Secara
tidak lngsung otak kita akan merekam simbol itu, dan perlahan kita akan
terus ingat simbol itu, lalu ajaran yang mereka bawa akan sangat mudah
meresap di otak ini karena sebelumnya kita sudah merekam simbol-simbol
Zionis Yahudi itu dari Sajadah yang kita gunakan setiap hari.
Dari
Aisyah ra ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri
untuk shalat di kain yang ada ukirannya. Tatkala selesai shalat beliau
bersabda, ‘Pergilah kalian dengan kain ini kepada Abi Jahm bin Hudzaifah
dan datangkanlah kepadaku dengan kain tebal yang tidak ada ukirannya
(anbijansyah), karena sesungguhnya kain yang ada ukirannya itu telah
menggagguku dalam shalat’.”
Dibolehkan
shalat dengan memakai alas, baik berupa tikar, sajadah, kain, atau yang
lainnya selama alas tersebut tidak akan mengganggu orang yang shalat.
Misalnya sajadahnya bergambar dan berwarna-warni, yang tentunya dapat
menarik perhatian orang yang shalat.
Di
saat shalat, mungkin ia akan menoleh ke gambar-gambarnya lalu
mengamatinya, terus memperhatikannya hingga ia lupa dari shalatnya, apa
yang sedang dibacanya dan berapa rakaat yang telah dikerjakannya.
“Karena
itu tidak sepantasnya memakai sajadah yang padanya ada gambar masjid,
karena bisa jadi akan mengganggu orang yang shalat dan membuatnya
menoleh ke gambar tersebut sehingga bisa mencacati shalatnya,” (Majmu’
Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/ 362).
Saran,
kalau ingin membeli sajadah, belilah sajadah yang polos atau setidaknya
tidak memiliki banyak gambar-gambar. Atau jika sudah terlanjur memiliki
sajadah yang bergambar, bisa juga di sajadah itu di alasi dengan kain
putih, seperti yang mungkin pernah kita lihat saat shalat di masjid.
Sajadahnya penuh gambar, kemungkinan ta’mir masjid tahu kalau sajadah
bergambar ini akan mengganggu kekhsyusukan dalam beribadah, maka
dialasilah dengan kain putih bersih di bagian ujung-ujung sajadah.
Dan
satu lagi, pilihlah sajadah yang berukuran kecil, jangan yang lebar,
kenapa? Karena dengan sajadah yang lebar itu, menyebabkan shaf-shafnya
tidak merapatkan, lantaran lebar, yang hanya untuk dia sendiri.
Walhasil, shaf pun tidak rapat.
Semoga Allah selalu melindungi kita, di mana pun kita berada. Wallahu a’lam.
Sumber: salam-online
5 Fakta Menarik Senjata Kopassus Gemparkan Dunia
Reporter : Sandy | Jumat, 7 November 2014 13:31
http://www.dream.co.id/news/5-fakta-menarik-senjata-kopassus-yang-buat-gempar-dunia-141107k/ditaksir-banyak-negara-tdj.html
Sniper SPR 2 (pindad.com)
Dream - Senapan sniper SPR 2 buatan PT Pindad, perusahaan alutsista milik Pemerintah Indonesia, tengah menjadi buah bibir di dunia internasional.
Ternyata, senapan sniper canggih yang dipakai Kopassus ini tak bisa dibuat oleh sembarang negara.
Lantas apa istimewanya? Nah, berikut fakta-fakta senjata Pindad untuk Kopassus yang gegerkan dunia, seperti dihimpun Merdeka.com: Cek halaman berikut! (Ism
Diproduksi Segelintir Negara
Dream - Senapan sniper SPR 2 buatan Pindad ternyata cuma mampu diproduksi segelintir negara di dunia.
"Di dunia kurang dari 4 negara yang mampu buat. Itu Amerika dan Eropa, gak enak kita sebut namanya dia di sini juga," kata Kepala Departemen komunikasi Pindad Sena Maulana.
Senapan sniper SPR 2 tergolong besar dikelasnya. SPR 2 memiliki amunisi kaliber 12,7 milimeter.
"Senapan ini tergolong besar dengan kaliber 12,7 milimeter. Di pasaran biasanya cuma 5,62 milimeter," ujarnya. (Ism)
"Di dunia kurang dari 4 negara yang mampu buat. Itu Amerika dan Eropa, gak enak kita sebut namanya dia di sini juga," kata Kepala Departemen komunikasi Pindad Sena Maulana.
Senapan sniper SPR 2 tergolong besar dikelasnya. SPR 2 memiliki amunisi kaliber 12,7 milimeter.
"Senapan ini tergolong besar dengan kaliber 12,7 milimeter. Di pasaran biasanya cuma 5,62 milimeter," ujarnya. (Ism)
Jangkauan Target Jauh
Dream - Kelebihan lain dari Senapan SPR 2 memiliki jangkauan target mencapai 2 km. Tetapi jarak efektifnya 1 km.
Menurut Kepala Departemen Komunikasi Pindad, Sena Maulana, sedikit sniper buatan luar negeri yang mampu bersaing dengan SPR 2.
Kebanyakan sniper buatan luar negeri jangkauan targetnya di bawah SPR 2.
"Saingannya itu sniper black arrow dan truvellow. Keduanya di bawah SPR 2 jangkauannya," ujar dia. (Ism)
3 Efek Amunisi Istimewa
Dream - Senapan
SPR 2 juga memiliki amunisi yang terbilang istimewa, bisa memberi 3
efek sekaligus. Menembus, membakar dan meledak di dalam target dalam
satu waktu
Senapan sniper SPR 2 tergolong besar dikelasnya. SPR 2 memiliki amunisi kaliber 12,7 milimeter. Di pasaran biasanya cuma 5,62 milimeter. (Ism)
Reporter : Sandy | Jumat, 7 November 2014 13:31
http://www.dream.co.id/news/5-fakta-menarik-senjata-kopassus-yang-buat-gempar-dunia-141107k/ditaksir-banyak-negara-tdj.html
Dream - Jenis
peluru senapan sniper SPR 2 buatan PT Pindad ditakuti banyak negara.
Peluru ini mampu menembus kendaraan lapis baja sekalipun.
"Amunisinya 12,7 mm anti material. Jenis pelurunya paling ditakuti
karena bisa menembus tank dan kendaraan lapis baja," kata Kepala
Departemen Komunikasi Pindad, Sena Maulana.
Senapan sniper SPR 2 ini berawal dari sniper SPR 2 buatan luar negeri
milik TNI yang tak berani diuji coba. Kemudian Pindad berusaha menguji
dan akhirnya membuat sendiri.
"Tahun 2003, TNI punya 3 pucuk dari negara lain tapi gak berani uji
karena berat dan besar. Akhirnya kita uji bareng-bareng lalu kita buat
sendiri pada 2006, itu awalnya," kata dia. (Ism)
Ditaksir Banyak Negara
Dream - PT Pindad memproduksi senapan sniper SPR 2 untuk digunakan Kopassus. Senjata ini pun mengundang decak kagum dunia.
"Kita sedang bikin 150 pucuk (senapan SPR 2) buat Kopassus. Dunia
sniper internasional sudah langsung gempar, bagaimana kalau lebih?" kata
kadep komunikasi Pindad, Sena Maulana.
Menurutnya, kemampuan Pindad membuat senjata itu membuat beberapa
negara kepincut ingin memiliki. Saat pameran senjata 2014 (Indo Defence)
kali ini banyak negara yang ingin melihat dari dekat senapan tersebut.
"Orang-orang asing juga langsung lihat ke sini. Mereka sudah dengar ini, kita mampu membuat," tuturnya. (Ism)
Pertahanan Nasional
http://www.islamtimes.org/vdcdnj0osyt0f96.lp2y.html
Menteri ESDM: Iran akan Bangun Kilang Minyak di Indonesia
Islam
Times- "Ini masih pada tahap awal. Kita membutuhkan pertemuan lanjutan
untuk membahas realisasi rencana mereka. Kami menyambut mereka dan
berharap hal itu tidak hanya akan menjadi pertemuan retorika belaka.
Kami akan melakukan pertemuan kelompok kerja untuk menindaklanjuti ini,"
tambahya.
Ilustrasi
Pemerintah Iran sedang mencari peluang untuk mengembangkan kilang
minyak di Indonesia, yang menuurtnya, permintaan minyak di tanah air
tumbuh lebih cepat dari kemampuan untuk mengamankan hidrokarbon.
Menurut laporan Jakarta Post pada Sabtu, 08/11/14, yang dinukil Islam Times, wakil kementerian energi Iran mengadakan kunjungan ke Indonesia dan bertemu dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said untuk membahas masalah tersebut.
Menurut laporan Jakarta Post pada Sabtu, 08/11/14, yang dinukil Islam Times, wakil kementerian energi Iran mengadakan kunjungan ke Indonesia dan bertemu dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said untuk membahas masalah tersebut.
Bertindak sebagai Direktur
Jenderal Minyak dan Gas di kementerian, Naryanto Wagimin, yang menemani
menteri selama pertemuan mengatakan, negara Timur Tengah itu sedang
mencari cara berinvestasi di Indonesia, khususnya pada kilang minyak,
petrokimia dan gas alam cair (LNG).
"Ini masih pada tahap awal. Kita membutuhkan pertemuan lanjutan untuk membahas realisasi rencana mereka. Kami menyambut mereka dan berharap hal itu tidak hanya akan menjadi pertemuan retorika belaka. Kami akan melakukan pertemuan kelompok kerja untuk menindaklanjuti ini," tambahya.
Naryanto menambahkan bahwa karakteristik minyak Iran sangat cocok dengan kilang minyak negara di Cilacap, Jawa Tengah. "Dengan demikian, pihaknya berencana membangun kilang yang akan dipasok oleh minyak mentah," katanya.
Indonesia memiliki enam kilang nasional yang dioperasikan oleh PT BUMN Pertamina.
Sebelum kunjungan mereka pada hari Kamis, perusahaan Iran Nakhle Barani Pardis Company. (NBP co.) menyegel perjanjian dengan PT Kreasindo Resources Indonesia untuk investasi pembangunan kilang minyak di Jawa Barat dan Banten yang direncanakan senilai $ 3 miliar.
Dalam kesepakatan itu, NBP juga sepakat untuk memasok hingga 300.000 barel per hari minyak mentah untuk diolah di kilang itu untuk jangka waktu 20 tahun. [IT/Onh/Ass]
Iran dan Irak harus meningkatkan koordinasi dan memperluas kerjasama Teheran-Baghdad untuk melawan plot musuh di wilayah tersebut, ungkap Wakil Presiden Iran Es'haq Jahangiri.
Republik Islam Iran terus memantau isu-isu di Irak dan menganggap stabilitas dan keamanan Irak sebagai jaminan untuk keamanan negara sendiri dan terus mendukung pemerintah dan bangsa Irak, kata Jahangiri dalam pertemuan dengan Wakil Presiden Irak Nouri al-Maliki di Teheran pada hari Senin (10/11/14).
Kami percaya bahwa keamanan dan stabilitas di wilayah ini akan dicapai hanya melalui kerjasama regional bersama," tambahnya.
Wakil presiden Iran lebih lanjut menyerukan negara-negara regional untuk meningkatkan kerjasama untuk menghancurkan terorisme di Timur Tengah.
Maliki, untuk bagian itu, menunjuk pada situasi sensitif yang ada di wilayah tersebut dan menyerukan negara-negara regional untuk berkumpul dan bersatu dalam rangka untuk melawan kelompok teroris termasuk militan ISIS.
Dia mengatakan Tehran dan Baghdad memiliki peluang besar untuk meningkatkan hubungan ekonomi, politik, keamanan, sosial dan budaya dan mencatat bahwa kedua belah pihak telah mengambil langkah-langkah utama untuk mencapai tujuan tersebut.(IT/TGM)
"Ini masih pada tahap awal. Kita membutuhkan pertemuan lanjutan untuk membahas realisasi rencana mereka. Kami menyambut mereka dan berharap hal itu tidak hanya akan menjadi pertemuan retorika belaka. Kami akan melakukan pertemuan kelompok kerja untuk menindaklanjuti ini," tambahya.
Naryanto menambahkan bahwa karakteristik minyak Iran sangat cocok dengan kilang minyak negara di Cilacap, Jawa Tengah. "Dengan demikian, pihaknya berencana membangun kilang yang akan dipasok oleh minyak mentah," katanya.
Indonesia memiliki enam kilang nasional yang dioperasikan oleh PT BUMN Pertamina.
Sebelum kunjungan mereka pada hari Kamis, perusahaan Iran Nakhle Barani Pardis Company. (NBP co.) menyegel perjanjian dengan PT Kreasindo Resources Indonesia untuk investasi pembangunan kilang minyak di Jawa Barat dan Banten yang direncanakan senilai $ 3 miliar.
Dalam kesepakatan itu, NBP juga sepakat untuk memasok hingga 300.000 barel per hari minyak mentah untuk diolah di kilang itu untuk jangka waktu 20 tahun. [IT/Onh/Ass]
Kerjasama Iran-Irak Dapat Hancurkan Plot ISIS
http://islamtimes.org/vdcezv8eojh8zoi.rabj.html
IslamTimes.
Kami percaya bahwa keamanan dan stabilitas di wilayah ini akan dicapai
hanya melalui kerjasama regional bersama," tambahnya.
Iran dan Irak harus meningkatkan koordinasi dan memperluas kerjasama Teheran-Baghdad untuk melawan plot musuh di wilayah tersebut, ungkap Wakil Presiden Iran Es'haq Jahangiri.
Republik Islam Iran terus memantau isu-isu di Irak dan menganggap stabilitas dan keamanan Irak sebagai jaminan untuk keamanan negara sendiri dan terus mendukung pemerintah dan bangsa Irak, kata Jahangiri dalam pertemuan dengan Wakil Presiden Irak Nouri al-Maliki di Teheran pada hari Senin (10/11/14).
Kami percaya bahwa keamanan dan stabilitas di wilayah ini akan dicapai hanya melalui kerjasama regional bersama," tambahnya.
Wakil presiden Iran lebih lanjut menyerukan negara-negara regional untuk meningkatkan kerjasama untuk menghancurkan terorisme di Timur Tengah.
Maliki, untuk bagian itu, menunjuk pada situasi sensitif yang ada di wilayah tersebut dan menyerukan negara-negara regional untuk berkumpul dan bersatu dalam rangka untuk melawan kelompok teroris termasuk militan ISIS.
Dia mengatakan Tehran dan Baghdad memiliki peluang besar untuk meningkatkan hubungan ekonomi, politik, keamanan, sosial dan budaya dan mencatat bahwa kedua belah pihak telah mengambil langkah-langkah utama untuk mencapai tujuan tersebut.(IT/TGM)
How We Built the Infrastructure for
Disastrous, Permanent War in the Middle East
From
Carter to the Islamic State, 35 Years of Building Bases and Sowing Destruction.
ww.alternet.org/world/how-we-built-infrastructure-disastrous-permanent-war-middle-east?page=0%2C4
Photo
Credit: Shutterstock.com
November
13, 2014 |
To
stay on top of important articles like these, sign up to receive the latest
updates from TomDispatch.com here.
With the launch of a new U.S.-led war in Iraq and Syria
against the Islamic State (IS), the United States has engaged in aggressive
military action in at least 13 countries in
the Greater Middle East since 1980. In that time, every American president has
invaded, occupied, bombed, or gone to war in at least one country in the
region. The total number of invasions, occupations, bombing operations, drone
assassination campaigns, and cruise missile attacks easily runs into the
dozens.
As in prior military operations in the Greater Middle East,
U.S. forces fighting IS have been aided by access to and the use of an
unprecedented collection of military bases. They occupy a region sitting atop
the world’s largest concentration of oil and natural gas reserves and has long
been considered the most geopolitically important place
on the planet. Indeed, since 1980, the U.S. military has gradually garrisoned
the Greater Middle East in a fashion only rivaled by the Cold War garrisoning
of Western Europe or, in terms of concentration, by the bases built to wage
past wars in Korea and Vietnam.
In the Persian Gulf alone,
the U.S. has major bases in every country save Iran. There is an increasingly
important, increasingly large base in Djibouti, just miles across
the Red Sea from the Arabian Peninsula. There are bases in Pakistan on one end
of the region and in the Balkans on the other, as well as on the strategically
located Indian Ocean islands of Diego Garcia and the Seychelles. In Afghanistan
and Iraq, there were once as many as 800 and 505bases, respectively.
Recently, the Obama administration inked an agreement
with new Afghan President Ashraf Ghani to maintain around 10,000 troops and at
least nine major bases in his country beyond the official end of combat
operations later this year. U.S. forces, which never fully departed Iraq after
2011, are now returning to a growing number of bases there
in ever larger numbers.
In short, there is almost no way to overemphasize how
thoroughly the U.S. military now covers the region with bases and troops. This
infrastructure of war has been in place for so long and is so taken for granted
that Americans rarely think about it and journalists almost never report on the subject. Members
of Congress spend billions of dollars on base construction and
maintenance every year in the region, but ask few questions about where the
money is going, why there are so many bases, and what role they really serve.
By one estimate, the United States has spent $10 trillion protecting Persian Gulf oil
supplies over the past four decades.
Approaching its 35th anniversary, the strategy of maintaining
such a structure of garrisons, troops, planes, and ships in the Middle East has
been one of the great disasters in the history of American foreign policy. The
rapid disappearance of debate about our newest, possibly illegal war should remind us of
just how easy this huge infrastructure of bases has made it for anyone in the
Oval Office to launch a war that seems guaranteed, like its predecessors, to
set off new cycles of blowback and yet more war.
On their own, the existence of these bases has helped
generate radicalism and anti-American sentiment. As was famously the case with Osama bin Laden and U.S.
troops in Saudi Arabia, bases have fueled militancy, as well as attacks on the
United States and its citizens. They have cost taxpayers billions of dollars,
even though they are not, in fact, necessary to ensure the free flow of oil
globally. They have diverted tax dollars from the possible development of
alternative energy sources and meeting other critical domestic needs. And they
have supported dictators and repressive, undemocratic regimes, helping to block
the spread of democracy in a region long controlled by colonial rulers and
autocrats.
After
35 years of base-building in the region, it’s long past time to look carefully
at the effects Washington’s garrisoning of the Greater Middle East has had on
the region, the U.S., and the world.
“Vast Oil Reserves”
While the Middle Eastern base buildup began in earnest in
1980, Washington had long attempted to use military force to control this swath
of resource-rich Eurasia and, with it, the global economy. Since World War II,
as the late Chalmers Johnson, an expert
on U.S. basing strategy, explained back in 2004, “the United States has been
inexorably acquiring permanent military enclaves whose sole purpose appears to
be the domination of one of the most strategically important areas of the
world.”
In 1945, after Germany’s defeat, the secretaries of War,
State, and the Navy tellingly pushed for the completion of a partially built
base in Dharan, Saudi Arabia,
despite the military’s determination that it was unnecessary for the war
against Japan. “Immediate construction of this [air] field,” they argued,
“would be a strong showing of American interest in Saudi Arabia and thus tend
to strengthen the political integrity of that country where vast oil reserves
now are in American hands.”
By 1949, the Pentagon had established a small, permanent
Middle East naval force (MIDEASTFOR) in Bahrain. In the early
1960s, President John F. Kennedy’s administration began the first buildup
of naval forces in the
Indian Ocean just off the Persian Gulf. Within a decade, the Navy had created
the foundations for what would become the first major U.S. base in the region
-- on the British-controlled island of Diego Garcia.
In these early Cold War years, though, Washington generally
sought to increase its influence in the Middle East by backing and arming
regional powers like the Kingdom of Saudi Arabia, Iran under the Shah, and
Israel. However, within months of the Soviet Union’s 1979 invasion of
Afghanistan and Iran’s 1979 revolution overthrowing the Shah, this relatively
hands-off approach was no more.
Base Buildup
In January 1980, President Jimmy Carter announced a fateful
transformation of U.S. policy. It would become known as the Carter Doctrine. In
his State of the Union address,
he warned of the potential loss of a region “containing more than two-thirds of
the world’s exportable oil” and “now threatened by Soviet troops” in
Afghanistan who posed “a grave threat to the free movement of Middle East oil.”
Carter warned that “an attempt by any outside force to gain
control of the Persian Gulf region will be regarded as an assault on the vital
interests of the United States of America.” And he added pointedly, “Such an
assault will be repelled by any means necessary, including military force.”
With these words, Carter launched one of the greatest base
construction efforts in history. He and his successor Ronald Reagan presided
over the expansion of bases in
Egypt, Oman, Saudi Arabia, and other countries in the region to host a “ Rapid Deployment Force,” which was to stand
permanent guard over Middle Eastern petroleum supplies. The air and naval base
on Diego Garcia, in particular, was expanded at a quicker rate than any base
since the war in Vietnam. By 1986, more than $500 million had been invested.
Before long, the total ran into the billions.
Soon enough, that Rapid Deployment Force grew into the U.S.
Central Command, which has now overseen three wars in Iraq (1991-2003,
2003-2011, 2014-); the war in Afghanistan and Pakistan (2001-); intervention
in Lebanon (1982-1984); a
series of smaller-scale attacks on Libya (1981, 1986, 1989, 2011); Afghanistan (1998)
and Sudan (1998); and the
" tanker war" with Iran
(1987-1988), which led to the accidental downing of
an Iranian civilian airliner, killing 290 passengers. Meanwhile, in Afghanistan
during the 1980s, the CIA helped fund and orchestrate a major covert war against the Soviet Union by
backing Osama Bin Laden and other extremist mujahidin. The command has also
played a role in the drone war in Yemen (2002-) and
both overt and covert warfare in
Somalia (1992-1994, 2001-).
During and after the first Gulf War of 1991, the Pentagon
dramatically expanded its presence in the region. Hundreds of thousands of
troops were deployed to Saudi Arabia in preparation for the war against Iraqi
autocrat and former ally Saddam Hussein. In that war’s aftermath, thousands of
troops and a significantly expanded base infrastructure were left in Saudi
Arabia and Kuwait. Elsewhere in the Gulf, the military expanded its naval
presence at a former British base in Bahrain, housing its Fifth Fleet there.
Major air power installations were built in Qatar, and U.S. operations were expanded
in Kuwait, the United Arab Emirates, and Oman.
The invasion of Afghanistan in 2001 and of Iraq in 2003, and
the subsequent occupations of both countries, led to a more dramatic expansion
of bases in the region. By the height of the wars, there were well over 1,000 U.S.
checkpoints, outposts, and major bases in the two countries alone. The military
also built new bases in
Kyrgyzstan and Uzbekistan (since closed), explored the possibility of doing
so in Tajikistan and Kazakhstan, and, at the very least, continues to use several
Central Asian countries as logistical pipelines to supply troops in Afghanistan
and orchestrate the current partial withdrawal.
While the Obama administration failed to keep 58 “enduring” bases in
Iraq after the 2011 U.S. withdrawal, it has signed an agreement with
Afghanistan permitting U.S. troops to stay in the country until 2024 and maintain access to
Bagram Air Base and at least eight more major installations.
An Infrastructure for War
Even without a large permanent infrastructure of bases in
Iraq, the U.S. military has had plenty of options when it comes to waging its
new war against IS. In that country alone, a significant U.S. presence remained after the 2011 withdrawal in the
form of base-like State Department installations, as well as the largest embassy on the
planet in Baghdad, and a large contingent of private military contractors.
Since the start of the new war, at least 1,600 troops have
returned and are operating from a Joint Operations Center in Baghdad and a base
in Iraqi Kurdistan’s capital, Erbil. Last week, the White House announced that
it would request $5.6 billion from Congress to send an additional 1,500 advisers and
other personnel to at least two new bases in Baghdad and Anbar Province.
Special operations and other forces are almost certainly operating from yet more
undisclosed locations.
At least as important are major installations like the
Combined Air Operations Center at Qatar’s al-Udeid Air Base. Before 2003, the Central Command’s
air operations center for the entire Middle East was in Saudi Arabia. That
year, the Pentagon moved the center to Qatar and officially withdrew combat
forces from Saudi Arabia. That was in response to the 1996 bombing of the
military’s Khobar Towers complex in the kingdom, other al-Qaeda attacks in the
region, and mounting anger exploited by al-Qaeda over the presence of
non-Muslim troops in the Muslim holy land. Al-Udeid now hosts a 15,000-foot
runway, large munitions stocks, and around 9,000 troops and
contractors who are coordinating much of the new war in Iraq and Syria.
Kuwait has been an
equally important hub for Washington’s operations since U.S. troops occupied
the country during the first Gulf War. Kuwait served as the main staging area
and logistical center for ground troops in the 2003 invasion and occupation of
Iraq. There are still an estimated 15,000 troops in
Kuwait, and the U.S. military is reportedly bombing
Islamic State positions using aircraft from Kuwait’s Ali al-Salem Air Base.
As a transparently promotional article in the Washington
Post confirmed this week,
al-Dhafra Air Base in the United Arab Emirates has launched more attack
aircraft in the present bombing campaign than any other base in the region.
That country hosts about 3,500 troops at al-Dhafra alone, as well as the Navy's
busiest overseas port. B-1, B-2, and B-52 long-range bombers stationed on
Diego Garcia helped launch both Gulf Wars and the war in Afghanistan. That
island base is likely playing a role in the new war as well. Near the Iraqi
border, around 1,000 U.S. troops and F-16 fighter jets are operating from at
least one Jordanian base. According
to the Pentagon’s latest count, the U.S. military has 17 bases in
Turkey. While the Turkish government has placed restrictions on their use, at
the very least some are being used to launch surveillance drones over Syria and
Iraq. Up to seven bases in Oman may also be in us
Continued
from previous page
Bahrain is now the headquarters for the Navy’s entire Middle
Eastern operations, including the Fifth Fleet, generally assigned to ensure the
free flow of oil and other resources though the Persian Gulf and surrounding
waterways. There is always at least one aircraft
carrier strike group -- effectively, a massive floating base -- in the Persian
Gulf. At the moment, the U.S.S. Carl Vinson is
stationed there, a critical launch pad for the air campaign against the Islamic
State. Other naval vessels operating in the Gulf and the Red Sea have launched cruise missiles into Iraq and
Syria. The Navy even has access to an “ afloat forward-staging base”
that serves as a “lilypad” base for helicopters and patrol craft in the region.
In Israel, there are as many
as six secret U.S. bases that can be used to preposition weaponry and equipment
for quick use anywhere in the area. There’s also a “de facto U.S. base” for the
Navy’s Mediterranean fleet. And it’s suspected that there are two other secretive
sites in use as well. In Egypt, U.S. troops have maintained at
least two installations and occupied at least two bases on
the Sinai Peninsula since 1982 as part of a Camp
David Accords peacekeeping operation.
Elsewhere in the region, the military has established a
collection of at least five drone bases in Pakistan; expanded a
critical base in Djibouti at the
strategic chokepoint between the Suez Canal and the Indian Ocean; created or gained access to bases in Ethiopia, Kenya, and the Seychelles; and set up new
bases in Bulgaria and Romania to go with a
Clinton administration-era base in Kosovo along the western edge of the
gas-rich Black Sea.
Even in Saudi Arabia, despite the public withdrawal, a small
U.S. military
contingent has remained to train Saudi personnel and keep bases
“warm” as potential backups for unexpected conflagrations in the region or,
assumedly, in the kingdom itself. In recent years, the military has even
established a secret drone base in the
country, despite the blowback Washington has experienced from its
previous Saudi basing ventures.
Dictators, Death, and Disaster
The ongoing U.S. presence in Saudi Arabia, however modest,
should remind us of the dangers of maintaining bases in the region. The
garrisoning of the Muslim holy land was a major recruiting tool for al-Qaeda
and part of Osama bin Laden’s professed motivation for
the 9/11 attacks. (He called the presence of
U.S. troops, “the greatest of these aggressions incurred by the Muslims since
the death of the prophet.”) Indeed, U.S. bases and troops in the Middle East
have been a “ major catalyst for
anti-Americanism and radicalization” since a suicide bombing killed 241 marines
in Lebanon in 1983. Other attacks have come in Saudi Arabia in 1996, Yemen in
2000 against the U.S.S. Cole, and during the wars in Afghanistan and
Iraq. Research has shown a
strong correlation between a U.S. basing presence and al-Qaeda recruitment.
Part of the anti-American anger has stemmed from the support
U.S. bases offer to repressive, undemocratic regimes. Few of the countries in
the Greater Middle East are fully democratic, and some are among the world’s
worst human rights abusers. Most notably, the U.S. government has offered
only tepid criticism of the
Bahraini government as it has violently cracked downon
pro-democracy protestors with the help of the Saudis and the United Arab
Emirates (UAE).
Beyond Bahrain, U.S. bases are found in a string of what
the Economist Democracy Index calls
“authoritarian regimes,” including Afghanistan, Bahrain, Djibouti, Egypt,
Ethiopia, Jordan, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia, UAE, and Yemen.
Maintaining bases in such countries props upautocrats and other
repressive governments, makes the United States complicit in their crimes, and
seriously undermines efforts to spread democracy and improve the wellbeing of
people around the world.
Continued
from previous page
Of course, using bases to launch wars and other kinds of
interventions does much the same, generating anger, antagonism, and
anti-American attacks. A recent U.N. report suggests
that Washington’s air campaign against the Islamic State had led foreign
militants to join the movement on “an unprecedented scale.”
And so the cycle of warfare that started in 1980 is likely to
continue. “Even if U.S. and allied forces succeed in routing this militant
group,” retired Army colonel and political scientist Andrew Bacevich writes of the Islamic
State, “there is little reason to expect” a positive outcome in the region. As
Bin Laden and the Afghan mujahidin morphed into al-Qaeda and the Taliban and as
former Iraqi Baathists and al-Qaeda followers in Iraq morphed into IS,
“there is,” as Bacevich says, “always another Islamic State waiting in the
wings.”
The Carter Doctrine’s bases and military buildup strategy and
its belief that “the skillful application of U.S. military might” can secure
oil supplies and solve the region’s problems was, he adds, “flawed from the
outset.” Rather than providing security, the infrastructure of bases in the
Greater Middle East has made it ever easier to go to war far from home. It has
enabled wars of choice and an interventionist foreign policy that has resulted
in repeated disasters for the
region, the United States, and the world. Since 2001 alone, U.S.-led wars in
Afghanistan, Pakistan, Iraq, and Yemen have minimally caused hundreds of thousands of
deaths and possibly more than one million deaths in
Iraq alone.
The sad irony is that any legitimate desire to maintain the
free flow of regional oil to the global economy could be sustained through
other far less expensive and deadly means. Maintaining scores of bases costing
billions of dollars a year is unnecessary to protect oil supplies and ensure
regional peace -- especially in an era in which the United States gets only
around 10% of its net oil and natural gas from the region. In
addition to the direct damage our military spending has caused, it has diverted
money and attention from developing the kinds of alternative energy sources
that could free the United States and the world from a dependence on Middle
Eastern oil -- and from the cycle of war that our military bases have fed.
David Vine is associate professor of
anthropology at American University in Washington, D.C. He is the author
of Island of Shame: The Secret History of
the U.S. Military Base on Diego Garcia. He has written for
the New York Times, the Washington Post, the Guardian,
and Mother Jones, among other publications. His new book, Base Nation: How U.S. Military Bases
Abroad Harm America and the World, will appear in 2015 as part
of the American Empire Project (Metropolitan
Books). For more of his writing, visit www.davidvine.net.
Corporate Accountability and
WorkPlace
AlterNet / By Zaid
Jilani
JPMorgan Chase Paid $9 Billion Fine
to Keep This Woman Silent About Its Crimes
Whistleblower
Alayne Fleischmann has told all to journalist Matt Taibbi.
http://www.alternet.org/corporate-accountability-and-workplace/jpmorgan-chase-paid-9-billion-fine-keep-woman-silent-about
Photo
Credit: via Facebook
November 7, 2014 |
Over
at Rolling Stone, Matt Taibbi has a blockbuster story about a thirty-something
securities lawyer who was the cause of a $9 billion fine Wall Street giant
JPMorgan Chase paid to the government.
Alayne
Fleischmann witnessed criminal securities fraud while working as a deal manager
at the bank. Part of her job was to review loans that the bank was taking over,
and she began to see more and more cases where the bank was taking on loans
where the individuals involved obviously could not pay.
One
example: she reviewed a loan to a manicurist who claimed to have a $117,000
annual income; she calculated she'd have to work 488 days a year to make that
much money. Fleischmann and her co-workers flagged many of these loans as
“stated income unreasonable for profession”; in one case in 2006, managers
marked 33 percent loans in a loan sample under this category, but were
effectively overturned by a Chase executive who forced them to drop the rate to
less than 10 percent. Yet the bank continued to “sell...high-risk loans as
low-risk securities,” despite the fact that doing so would be fraud.
Fleischmann
continued to make similar complaints to her managers until she was laid off in
2008. She was under a confidentiality agreement with Chase, but she did have
the ability to report crimes. So she put her trust in the federal government,
which was tasked with overseeing and punishing the sort of fraud she witnessed.
But
time and time again, the investigators demurred when presented with evidence of
Chase's major crimes, instead choosing to focus on smaller ones. In 2012 and
2013, she worked with the U.S. Attorney's office in the Eastern District of
California to again lay out the case for the crimes Chase had committed. In the
fall of 2013, Attorney General Eric Holder had scheduled a press conference to
announce fraud charges against Chase; Fleischmann felt vindicated at last. Yet
curiously, the press conference was canceled, and reportedly the bank's chief,
Jamie Dimon, had called Associate Attorney General Tony West and offered
instead to go to settlement. By November, the case ended in a settlement for
what was reported to be $13 billion, but ended up being closer to $9 billion
due to the fact that $4 billion of it was “consumer relief” taken largely from
investors. It soon became obvious that the reason that Chase and the government
went to a settlement was to avoid a public trial and prosecutions which would
hinge on Fleischmann engaging in a very public testimony.
By
going to Rolling Stone, Fleischmann has in a way been able to make the public
testimony Chase effectively paid to stop. Still, a news story isn't the same as
a criminal investigation. But Taibbi warns that the statutes of limitations for
a number of these fraud cases is running out, which he says is Fleischman's
main motivation for speaking out now. Hope is rapidly fading for serious
justice before JPMorgan Chase simply gets away with it.
Zaid Jilani is
the investigative blogger and campaigner for the Progressive Change Campaign
Committee. He is formerly the senior reporter-blogger for ThinkProgress.
[....
Selama
di Rolling Stone, Matt Taibbi memiliki kisah blockbuster tentang seorang
pengacara sekuritas tiga puluh sesuatu yang merupakan penyebab denda raksasa $
9000000000 Wall Street JPMorgan Chase dibayarkan kepada pemerintah.
Alayne
Fleischmann menyaksikan pidana penipuan sekuritas saat bekerja sebagai manajer
kesepakatan di bank. Bagian dari
pekerjaannya adalah untuk meninjau pinjaman bahwa bank mengambil alih, dan ia
mulai melihat lebih banyak dan lebih banyak kasus di mana bank mengambil
pinjaman di mana individu yang terlibat jelas tidak bisa membayar.
Salah
satu contoh: dia Ulasan pinjaman ke manikur yang mengaku memiliki pendapatan
tahunan $ 117.000 ; dia dihitung ia harus bekerja 488 hari setahun untuk
membuat uang sebanyak itu. Fleischmann dan rekan-rekan kerjanya berbendera
banyak pinjaman ini sebagai "tidak masuk akal untuk menyatakan pendapatan
profesi"; dalam satu kasus pada tahun 2006, manajer ditandai 33 persen
pinjaman dalam sampel pinjaman dalam kategori ini, tetapi secara efektif
dibatalkan oleh seorang eksekutif Chase yang memaksa mereka untuk menjatuhkan
tingkat menjadi kurang dari 10 persen. Namun bank terus " menjual ...
pinjaman berisiko tinggi seperti sekuritas berisiko rendah, " meskipun
fakta bahwa hal itu akan menjadi penipuan .
Fleischmann terus membuat keluhan serupa dengan manajer sampai dia
diberhentikan pada tahun 2008. Dia berada di bawah perjanjian kerahasiaan
dengan Chase, tapi dia memiliki kemampuan untuk melaporkan kejahatan.
Jadi dia menaruh kepercayaan nya di pemerintah federal, yang bertugas
mengawasi dan menghukum jenis penipuan dia saksikan.
Tapi waktu dan waktu lagi, para peneliti keberatan ketika disajikan dengan
bukti kejahatan besar Chase, bukan memilih untuk fokus pada yang lebih
kecil. Pada 2012 dan 2013, ia bekerja dengan kantor Kejaksaan AS di Distrik
Timur California untuk kembali lay out kasus kejahatan Chase telah melakukan.
Pada musim gugur tahun 2013, Jaksa Agung Eric Holder telah dijadwalkan
konferensi pers untuk mengumumkan tuduhan penipuan terhadap Chase;
Fleischmann merasa dibenarkan pada akhirnya. Namun anehnya, konferensi pers
dibatalkan, dan kabarnya kepala bank, Jamie Dimon, telah disebut
Asosiasi Jaksa Agung Tony Barat dan ditawarkan bukan untuk pergi
kepemukiman. Pada bulan November, kasus ini berakhir di sebuah pemukiman
untuk apa yang dilaporkan menjadi $ 13 milyar, tetapi akhirnya menjadi
lebih dekat dengan $ 9000000000 karena fakta bahwa $4 milyar itu "lega
konsumen" yang diambil sebagian besar dari investor. Segera menjadi
jelas bahwa alasan yang Chase dan pemerintah pergi ke pemukiman adalah
untuk menghindari pengadilan umum dan pengadilan yang akan bergantung pada
Fleischmann terlibat dalam kesaksian yang sangat umum.
Dengan pergi ke Rolling Stone, Fleischmann telah dengan cara mampu
membuat Chase kesaksian publik secara efektif dibayar untuk berhenti.
Namun , berita ini tidak sama dengan investigasi kriminal . Tapi Taibbi
memperingatkan bahwa undang-undang pembatasan untuk sejumlah kasus
penipuan tersebut habis , yang katanya merupakan motivasi utama
Fleischman untuk berbicara sekarang . Harapan dengan cepat memudar
keadilan serius sebelum JPMorgan Chase hanya akan pergi dengan itu.
Zaid Jilani adalah blogger investigasi dan juru kampanye untuk
Perubahan Komite Kampanye Progresif. Dia sebelumnya reporter -
blogger senior untuk ThinkProgress
Hai semua,
BalasHapusSaya ibu Sandra Ovia, pemberi pinjaman wang swasta, adalah di dalam kamu kredit yang buruk? Anda perlu untuk memperbaiki kewangan? Saya telah didaftarkan dan diluluskan oleh kerajaan untuk mengawal institusi kewangan. Saya memberi pinjaman kepada bereputasi-bereputasi dan individu untuk tahap Avail pada 2%. Saya memberi pinjaman kepada tempatan dan Lapangan Terbang Antarabangsa kepada semua orang yang memerlukan pinjaman, dan yang boleh membayar balik pinjaman, di seluruh dunia. Saya memberi pinjaman melalui pemindahan akaun atau cek bank disahkan untuk apa yang pernah anda menerima sebuah bank di negara ini. Ia tidak memerlukan banyak kertas kerja. Jika anda ingin mendapatkan
meminjam daripada bereputasi kami. Anda boleh menghubungi kami melalui
sandraovialoanfirm@gmail.com
Terima kasih
Sandra firma Ovia Pinjaman
Ibu Sandra Ovia
Sudahkah Anda mendapat pinjaman dari bank
BalasHapusAtau ada beberapa lembaga keuangan menolak permintaan Anda untuk satu atau lebih alasan ?.
KAMI MENAWARKAN SEMUA JENIS PINJAMAN DARI:
- Pinjaman usaha,
- Pinjaman modal,
- Pinjaman real estat,
- Pinjaman pribadi,
- Pinjaman mahasiswa,
- Pinjaman pertanian
Dan lebih dalam berinvestasi dengan investor yang baik ... Kami menawarkan pinjaman
Untuk perusahaan dan perorangan dengan tingkat bunga rendah sebesar 2%. Anda berada di sebelah kanan
Tempat untuk mendapatkan pinjaman Anda
Hubungi kami hari ini dan dapatkan masalah finansial Anda!
Email: MELINDAGATESLOANCOMPANY@GMAIL.COM
Dapatkan masalah keuangan Anda dipecahkan di sini ...