masalah nuklir, finansial keuangan negara, tata negara, politik internasional, perselisihan mazhab, persatuan umat islam, nasionalisme, pembangunan bangsa, ketahanan nasional, hutang negara, perang dunia, timur tengah, new world order
Beliau membaca sekitar
30 ayat dalam setiap rakaat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ayat dan surat yang dibaca Rasulullah SAW
dalam sholat berbeda-beda. Hal ini bergantung pada sholat lima waktu yang
beliau kerjakan.
Dikutip dari buku Sifat Shalat
Nabi karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani disebutkan pada
rakaat pertama dan kedua sholat zhuhur beliau membaca Al Fatihah dan dua surat
(masing-masing rakaat satu surat). Beliau lebih memanjangkan bacaan pada rakaat
pertama, tidak sebagaimana bacaan pada rakaat kedua (HR Bukhari dan Muslim).
Terkadang beliau memperpanjang bacaan
hingga, "Pernah sholat zhuhur sudah mulai didirikan, lalu seseorang pergi
ke Baqi, dan buang hajatnya, (lalu ia pulang ke rumahnya), lalu berwudhu,
kemudian datang ke masjid, ternyata Rasulullah masih
pada rakaat pertama karena panjangnya bacaan beliau," (HR Bukhari dan
Muslim).
"Para sahabat mengira Rasulullah
melakukan hal tersebut agar orang-orang mendapati rakaat pertama," (HR Abu
Dawud dan Ibnu Khuzaimah).
"Beliau membaca sekitar 30 ayat
dalam setiap rakaat, sepanjang bacaan surat as-Sajdah (QS. 32: 30 ayat), yang
di dalamnya sudah termasuk Al Fatihah" (HR Ahmad dan Muslim).
Terkadang "Beliau membaca
surat Was samaa-i wath thaariq (Ath Thariq), Was
samaa-i dzaatil buruuj (Al Buruj), Wal laili idzaa yaghsyaa (Al
Lail) dan surat-surat yang semisalnya" (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
"Kadang beliau membaca Idzas
samaa-un syaqqat (al-Insyiqaq) dan yang semisalnya" (HR Ibnu Khuzaimah).
"Para shahabat mengetahui bacaan
Rasulullah pada sholat zhuhur dan ashar dari gerakan jenggotnya" (HR
al-Bukhari dan Abu Dawud).
Seorang muslim dijumlahkan
melakukan sholat wajib dengan jumlah rakaat sebanyak 17 rakaat per-harinya.
Namun, dalam pembacaan surat atau ayat sebanyak 10 kali dalam sehari.
Terdapat muslim yang hanya mengulang-ulang surat
tertentu saja, tanpa adanya variasi. Berikut dilansir umma, Selasa (30/11/21)
surat yang dibaca oleh Rasulullah dalam sholat.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar,
silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang
diinginkan.
*
Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan
WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya
dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ilustrasi Kitab Al Qur’an Credit:
pexels.com/Abdulmeilk
1. Sholat Subuh
Rasulullah SAW membaca surah yang berbeda-beda dari
Al-Quran saat sholat Subuh. Beberapa riwayat yang shahih menjelaskan bahwa
Rasulullah membaca Surat Al-Waqi’ah, Surat At-Takwir, Surat Al-Zalzalah di
kedua rakaat.
Beliau juga terbiasa membaca 60 ayat dari surat-surat
yang panjang di dalam Quran, seperti Surat Ar-Ruum, Surat Yaasin, dan Surat
As-Shaffat. Ketika berpergian, biasanya membaca Surat Al-Falaq dan Surat
An-Nisa.
2. Sholat Dzuhur
Rasulullah SAW terbiasa membaca sekitar 30 ayat di dua
rakaat pertama sholat dzuhur. Selain itu, beliau membaca Surat At-Tariq, Surat
Al-Buruj, dan Surat Al-Lail.
3. Sholat Ashar
Dalam sholat ashar, Rasulullah SAW biasa membaca surat
yang dibaca saat sholat Dzuhur. Namun, beliau juga terbiasa membaca sekitar 15
ayat di dua rakaat pertama.
Khilafah
adalah isim syar’i [istilah syariah]. Artinya, Khilafah ini bukan istilah
buatan manusia, karena istilah ini pertama kali digunakan dalam nash syariah
dengan konotasi yang khas, berbeda dengan makna yang dikenal oleh orang Arab
sebelumnya. Sebagaimana kata Shalat, Hajj, Zakat, dan sebagainya. [Lihat,
al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz I/27-28]
Istilah Khilafah,
dengan konotasi syara’ ini digunakan dalam hadits Nabi saw. sebagaimana yang
diriwayatkan Ahmad bin Hanbal:
“Ada era kenabian di
antara kalian, dengan izin Allah akan tetap ada, kemudian ia akan diangkat oleh
Allah, jika Allah berkehendak untuk mengangkatnya. Setelah itu, akan ada era
Khilafah yang mengikuti Manhaj Kenabian.” [Hr. Ahmad]
Ini juga bukan
merupakan satu-satunya riwayat, karena masih banyak riwayat lain, yang
menggunakan kata Khilafah, dengan konotasi syara’ seperti ini. Lihat, Musnad
al-Bazzar, hadits no 1282. Musnad Ahmad, hadits no 2091 dan 20913. Sunan Abu
Dawud, hadits no 4028. Sunan at-Tirmidzi, hadits no. 2152. Al-Mustadrak, hadits
no. 4438.
Adapun pemangkunya
disebut Khalifah, jamaknya, Khulafa’. Ini juga disebutkan dalam banyak hadits
Rasulullah saw. Antara lain dalam hadits Abu Hurairah ra.
“Bani Israil dahulu
telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil]
wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang
Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.”
[Hr. Muslim]
Tidak hanya di dalam
hadits ini, tetapi juga banyak hadits lain yang menggunakan istilah Khalifah
[jamaknya, Khulafa’]. Lihat, Shahih Bukhari, hadits no. 6682. Shahih Muslim,
hadits no. 3393, 3394, 3395, 3396, 3397 dan 3398. Sunan Abu Dawud, hadits no.
3731 dan 3732. Musnad Ahmad, hadits no. 3394, 19901, 19907, 19943, 19963,
19987, 19997, 20019, 20032, 20041, , 20054, 20103 dan 20137. Sunan at-Tirmidzi,
hadits no. 2149 dan 4194.
Karena itu, istilah
Khilafah dan Khalifah, jamaknya Khulafa’, adalah istilah syariah, yang memang
digunakan dalam nash syariah, bersumber dari wahyu. Bukan buatan manusia, baik
generasi sahabat, tabiin, atba’ tabiin maupun para ulama’ setelahnya. Istilah
ini kemudian diadopsi para ulama’ ushuluddin [akidah], fikih dan tsaqafah Islam
yang lainnya dengan konotasi sebagaimana yang dimaksud oleh hadits Nabi di
atas.
Makna Khilafah dan
Khalifah
Dalam Mu’jam
Musthalahat al-‘Ulum as-Syar’iyyah, istilah Khilafah ini didefinisikan dengan:
“Menggantikan Nabi saw.
dalam menjaga agama dan mengurus dunia, di antaranya seperti Abu Bakar, dan
para Khulafa’ Rasyidin sepeninggalnya, dan yang lain seperti mereka, semoga
Allah meridhai mereka, merupakan pengganti Nabi dalam menjaga agama dan
mengurus dunia.” [Majmu’ah Muallifin, Mu’jam Musthalahat al-‘Ulum
as-Syar’iyyah, hal. 756]
Karena itu, istilah
Khilafah dan Khalifah, jamaknya Khulafa’ bukanlah istilah yang asing di
kalangan ulama’ kaum Muslim, dan kaum Muslim di sepanjang zaman. Kecuali, orang
yang jahil tentang Islam. Dalam kitab, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, karya
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dinyatakan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah
al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” [Az-Zuhaili,
Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz IX/881].
Imam al-Mawardi [w. 450
H], dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah,
menyatakan, “Imamah [Khilafah] dibuat untuk menggantikan kenabian dalam menjaga
agama dan mengurus dunia.” [al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat
ad-Diniyyah, hal. 3]. Sedangkan Ibn Khaldun [w. 808 H], menyatakan,
“Menggantikan pemilik syariah [Nabi saw.] dalam menjaga agama, dan mengurus
dunia dengannya.” [Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, hal. 98]
Dr. Mahmud al-Khalidi,
dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan, “Khilafah adalah
kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah
dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” [Al-Khalidi, Qawâ’id
Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226]. Definisi ini adalah definisi yang sama,
yang digunakan oleh al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut
Tahrir, dalam kitabnya, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam. [Lihat, an-Nabhani, Nidzam
al-Hukmi fi al-Islam, hal. 34]
Karena merupakan
istilah syara’, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat,
puasa, zakat, haji, dan lainnya. Bahkan, Nabi saw. tidak hanya menggunakan
istilah ini dengan konotasi syariahnya, tetapi juga menambahkan dengan predikat,
Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah [Khilafah yang mengikuti metode kenabian], yang
berarti Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang dijalakan oleh para
sahabat itu merupakan copy paste dari Nabi saw. Mereka tinggal melanjutkan apa
yang sudah dilakukan oleh Nabi saw.
Bahkan, Nabi saw.
memerintahkan agar umatnya tidak hanya memegang teguh sunahnya, tetapi juga
sunah para Khulafa’ Rasyidin. Nabi saw. bersabda:
“Kalian wajib berpegang
teguh dengan sunahku dan sunah para Khalifah Rasyidin yang mendapat petunjuk
setelahku. Gigitlah sunah itu dengan gigi geraham.” [Hr. Abu Dawud dan
at-Tirmidzi]
Perintah untuk terikat
dengan sunah [tuntunan] mereka adalah perintah untuk mempertahankan Khilafah,
sebagaimana yang diwariskan oleh Nabi saw. dan menegakkannya kembali, jika ia
tidak ada.
Hukum Adanya Khilafah
dan Menegakkannya
Semua ulama’ kaum
Muslim sepanjang zaman sepakat, bahwa adanya Khilafah ini adalah wajib. Jika
Khilafah tidak ada, hukum menegakkannya bagi seluruh kaum Muslim adalah wajib.
Dasar kewajibannya tidak didasarkan pada akal atau kesepakatan manusia, tetapi
wahyu. Berkaitan dengan ini, Imam as-Syafii menyatakan:
Seseorang tidak boleh
menyatakan selama-lamanya suatu perkara itu halal dan haram kecuali didasarkan
pada ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari al-Kitab (al-Quran),
as-Sunnah (al-Hadis), Ijmak atau Qiyas.” [Lihat, Asy-Syafii, Ar-Risâlah, hlm.
39].
Senada dengan itu, Imam
al-Ghazali juga menyatakan:
Keseluruhan dalil-dalil
syariah merujuk pada ragam ungkapan yang tercantum dalam al-Kitab (al-Quran),
as-Sunnah (al-Hadis), Ijmak dan Istinbâth (Qiyas).” [Lihat, Al-Ghazali,
Al-Mustashfâ, Juz II/273].
Karena itulah, para
ulama’ kaum Muslim sepakat mengenai kewajiban adanya Khilafah, dan kewajiban
untuk menegakkannya, ketika ia tidak ada. Dasarnya adalah wahyu, yaitu
al-Qur’an dan as-Sunnah, dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya, baik berupa
Ijmak Sahabat maupun Qiyas.
“Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka
bumi Khalifah…” [Q.s. al-Baqarah [2]: 30].
Imam al-Qurthubi [w.
671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan
hukum asal tentang wajibnya mengangkat Khalifah.” Bahkan, beliau kemudian
menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat
Khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang
diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang
berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” [Lihat,
Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/264].
Dalil al-Quran lainnya,
antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll [Lihat, Ad-Dumaji,
Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49].
“Siapa saja yang mati,
sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati
jahiliah.” [Hr. Muslim].
Berdasarkan hadis di
atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya
wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah,
hal. 49].
Nabi juga
mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda saw. harus ada yang menjaga agama
ini, dan mengurus urusan dunia, dialah Khulafa’, jamak dari Khalifah [pengganti
Nabi, karena tidak ada lagi Nabi]. Nabi bersabda:
“Bani Israil dahulu
telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil]
wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang
Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.”
[Hr. Muslim]
3. Dalil Ijmak Sahabat
Perlu ditegaskan,
kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah al-Quran dan
as-Sunnah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i. Para ulama’ ushul
menyatakan, bahwa menolak ijmak sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari
Islam. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi [w. 483 H] menegaskan:
“Siapa saja yang
mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu
berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang
mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini.”
[Lihat, Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296].
Karena itu, Ijmak
Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan,
atau dicampakkan seakan tidak berharga, karena bukan al-Qur’an atau as-Sunnah.
Padahal, Ijmak Sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap [Lihat,
as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124].
“Sungguh para
Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang
imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka
menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting.
Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda
(sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” [Lihat, Al-Haitami,
Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7].
Lebih dari itu, menurut
Syaikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah
syariah:
مَالاَيَتِمُّالْوَاجِبُإِلاَّبِهِفَهُوَوَاجِبٌ
“Selama suatu kewajiban
tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah diketahui, bahwa
banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang,
seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas
pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan
Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan
semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada
lain adalah Khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dasar atas
kewajiban menegakkan Khilafah [Lihat, Syaikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma
‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49].
4. Kesepakatan Ulama
Aswaja
Berdasarkan dalil-dalil
di atas —dan masih banyak dalil lainnya— yang sangat jelas, seluruh ulama’
Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii
dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya Khilafah, dan menegakkannya ketika
tidak ada, hukumnya wajib. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan,
“Para imam mazhab (yang
empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat,
Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].
Hal senada ditegaskan
oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat
seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan
berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].
Pendapat para ulama
terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn [Lihat, Imam Abu
Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais,
Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ
as-Siyâsiyah, hlm. 124; al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani
(Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud
al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248].
Ulama Nusantara, Syaikh
Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat
terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban
menegakkan Khilafah. Bahkan bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu
materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.
Bukti Historis Khilafah
Bukti tak terbantahkan
tentang adanya Khilafah dalam sejarah kehidupan umat Islam telah diabadikan
dalam kitab-kitab Tarikh yang ditulis oleh para ulama’ terdahulu hingga ulama’
mutakhir. Sebut saja, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, karya at-Thabari [w. 310 H],
al-Kamil fi at-Tarikh, karya Ibn Atsir [w. 606 H], al-Bidayah wa an-Nihayah,
karya Ibn Katsir [w. 774 H], Tarikh Ibn Khaldun, karya Ibn Khaldun [w. 808 H],
Tarikh al-Khulafa’, karya Imam as-Suyuthi [w. 911H], at-Tarikh al-Islami, Mahmud
Syakir.
Dalam rentang sejarah,
selama 14 abad, tidak pernah umat Islam di seluruh dunia tidak mempunyai
seorang Khalifah, dan Khilafah, kecuali setelah runtuhnya Khilafah pada tanggal
3 Maret 1924 M. Mereka adalah:
A. Khilafah Rasyidah
1. Abu Bakar ash-Shiddiq
ra (tahun 11-13 H/632-634 M)
2. ’Umar bin khaththab
ra (tahun 13-23 H/634-644 M)
3. ’Utsman bin ‘Affan
ra (tahun 23-35 H/644-656 M)
4. ‘Ali bin Abi Thalib
ra (tahun 35-40 H/656-661 M)
5. ‘Al-Hasan bin Ali ra
(tahun 40 H/661 M)
B. Khilafah Umayyah
6. Mu’awiyah bin Abi
Sufyan (tahun 40-64 H/661-680 M)
7. Yazid bin Mu’awiyah
(tahun 61-64 H/680-683 M)
8. Mu’awiyah bin Yazid
(tahun 64-68 H/683-684 M)
9. Marwan bin Hakam
(tahun 65-66 H/684-685 M)
10. ’Abdul Malik bin
Marwan (tahun 66-68 H/685-705 M)
11. Walid bin ‘Abdul
Malik (tahun 86-97 H/705-715 M)
12. Sulaiman bin ‘Abdul
Malik (tahun 97-99 H/715-717 M)
13. ’Umar bin ‘Abdul
‘Aziz (tahun 99-102 H/717-720 M)
14. Yazid bin ‘Abdul
Malik (tahun 102-106 H/720-724 M)
15. Hisyam bin Abdul
Malik (tahun 106-126 H/724-743 M)
16. Walid bin Yazid
(tahun 126 H/744 M)
17. Yazid bin Walid
(tahun 127 H/744 M)
18. Ibrahim bin Walid
(tahun 127 H/744 M)
19. Marwan bin Muhammad
(tahun 127-133 H/744-750 M)
C. Khilafah ‘Abbasiyyah
20. Abul ‘Abbas
al-Safaah (tahun 133-137 H/750-754 M)
21. Abu Ja’far
al-Mansyur (tahun 137-159 H/754-775 M)
22. Al-Mahdi (tahun
159-169 H/775-785 M)
23. Al-Hadi (tahun
169-170 H/785-786 M)
24. Harun al-Rasyid
(tahun 170-194 H/786-809 M)
25. Al-Amiin (tahun
194-198 H/809-813 M)
26. Al-Ma’mun (tahun
198-217 H/813-833 M)
27. Al-Mu’tashim Billah
(tahun 218-228 H/833-842 M)
28. Al-Watsiq Billah
(tahun 228-232 H/842-847 M)
29. Al-Mutawakil ‘Ala
al-Allah (tahun 232-247 H/847-861 M)
30. Al-Muntashir Billah
(tahun 247-248 H/861-862 M)
31. Al-Musta’in Billah
(tahun 248-252 H/862-866 M)
32. Al-Mu’taz Billah
(tahun 252-256 H/866-869 M)
33. Al-Muhtadi Billah
(tahun 256-257 H/869-870 M)
34. Al-Mu’tamad ‘Ala
al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)
35. Al-Mu’tadla Billah
(tahun 279-290 H/892-902 M)
36. Al-Muktafi Billah
(tahun 290-296 H/902-908 M)
37. Al-Muqtadir Billah
(tahun 296-320 H/908-932 M)
38. Al-Qahir Billah
(tahun 320-323 H/932-934 M)
39. Al-Radli Billah
(tahun 323-329 H/934-940 M)
40. Al-Muttaqi Lillah
(tahun 329-333 H/940-944 M)
41. Al-Musaktafi
al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M)
42. Al-Muthi’ Lillah
(tahun 335-364 H/946-974 M)
43. Al-Thai’i Lillah
(tahun 364-381 H/974-991 M)
44. Al-Qadir Billah
(tahun 381-423 H/991-1031 M)
45. Al-Qa’im Bi
Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M)
46. Al-Mu’tadi
Biamrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M)
47. Al-Mustadhhir
Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M)
48. Al-Mustarsyid
Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M)
49. Al-Rasyid Billah
(tahun 530-531 H/1135-1136 M)
51. Al-Mustanjid Billah
(tahun 555-566 H/1160-1170 M)
52. Al-Mustadhi’u
Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M)
53. An-Naashir
Liddiinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M)
54. Adh-Dhahir
Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M)
55. Al-Mustanshir
Billah (tahun 623-640 H/1226-1242 M)
56. Al-Mu’tashim Billah
( tahun 640-656 H/1242-1258 M)
57. Al-Mustanshir
billah II (taun 660-661 H/1261-1262 M)
58. Al-Haakim
Biamrillah I ( tahun 661-701 H/1262-1302 M)
59. Al-Mustakfi Billah
I (tahun 701-732 H/1302-1334 M)
60. Al-Watsiq Billah I
(tahun 732-742 H/1334-1354 M)
61. Al-Haakim
Biamrillah II (tahun 742-753 H/1343-1354 M)
62. Al-Mu’tadlid Billah
I (tahun 753-763 H/1354-1364 M)
63. Al-Mutawakkil
‘Alallah I (tahun 763-785 H/1363-1386 M)
64. Al-Watsir Billah II
(tahun 785-788 H/1386-1389 M)
65. Al-Mu’tashim (tahun
788-791 H/1389-1392 M)
66. Al-Mutawakkil ‘Alallah
II (tahun 791-808 H/1392-14-9 M)
67. Al-Musta’in Billah
(tahun 808-815 H/ 1409-1426 M)
68. Al-Mu’tadlid Billah
II (tahun 815-845 H/1416-1446 M)
69. Al-Mustakfi Billah
II (tahun 845-854 H/1446-1455 M)
70. Al-Qa’im Biamrillah
(tahun 754-859 H/1455-1460 M)
71. Al-Mustanjid Billah
(tahun 859-884 H/1460-1485 M)
72. Al-Mutawakkil
‘Alallah (tahun 884-893 H/1485-1494 M)
73. Al-Mutamasik Billah
(tahun 893-914 H/1494-1515 M)
74. Al-Mutawakkil
‘Alallah OV (tahun 914-918 H/1515-1517 M)
D. Khilafah Utsmaniyyah
75. Salim I (tahun
918-926 H/1517-1520 M)
76. Sulaiman al-Qanuni
(tahun 916-974 H/1520-1566 M)
77. salim II (tahun
974-982 H/1566-1574 M)
78. Murad III (tahun
982-1003 H/1574-1595 M)
79. Muhammad III (tahun
1003-1012 H/1595-1603 M)
80. Ahmad I (tahun
1012-1026 H/1603-1617 M)
81. Musthafa I (tahun
1026-1027 H/1617-1618 M)
82. ‘Utsman II (tahun
1027-1031 H/1618-1622 M)
83. Musthafa I (tahun
1031-1032 H/1622-1623 M)
84. Murad IV (tahun
1032-1049 H/1623-1640 M)
85. Ibrahim I (tahun
1049-1058 H/1640-1648 M)
86. Mohammad IV
(1058-1099 H/1648-1687 M)
87. Sulaiman II (tahun
1099-1102 H/1687-1691M)
88. Ahmad II (tahun
1102-1106 H/1691-1695 M)
89. Musthafa II (tahun 1106-1115
H/1695-1703 M)
90. Ahmad II (tahun
1115-1143 H/1703-1730 M)
91. Mahmud I (tahun
1143-1168/1730-1754 M)
92. ‘Utsman III (tahun
1168-1171 H/1754-1757 M)
93. Musthafa II (tahun
1171-1187H/1757-1774 M)
94. ‘Abdul Hamid (tahun
1187-1203 H/1774-1789 M)
95. Salim III (tahun
1203-1222 H/1789-1807 M)
96. Musthafa IV (tahun
1222-1223 H/1807-1808 M)
97. Mahmud II (tahun
1223-1255 H/1808-1839 M)
98. ‘Abdul Majid I
(tahun 1255-1277 H/1839-1861 M)
99. ‘Abdul ‘Aziz I
(tahun 1277-1293 H/1861-1876 M)
100. Murad V (tahun
1293-1293 H/1876-1876 M)
101. ‘Abdul Hamid II
(tahun 1293-1328 H/1876-1909 M)
102. Muhammad Risyad V
(tahun 1328-1339 H/1909-1918 M)
103. Muhammad Wahiddin
II (tahun 1338-1340 H/1918-1922 M)
104. ‘Abdul Majid II
(tahun 1340-1342 H/1922-1924 M
Dalam sepanjang sejarah
Khilafah, tidak ada satu pun hukum yang diterapkan, kecuali hukum Islam. Dalam
seluruh aspek kehidupan, baik sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan,
sanksi hukum dan politik luar negeri, semuanya merupakan sistem Islam. Inilah
Khilafah yang diakui oleh kaum Muslim di seluruh dunia sebagai negara mereka.
Karena itu, menurut
Syaikh Dr. Musthafa Hilmi, dalam tesis masternya di Universitas Alexandria,
Mesir, Nadhariyyatu al-Imamah ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah [1387 H/1967
M], setelah memaparkan fakta Negara Islam sejak zaman Nabi, Khilafah Rasyidah,
Umayyah, ‘Abbasiyah hingga ‘Utsmaniyyah, akhirnya sampai pada kesimpulan:
Pertama, pemikiran
Sunni menentang penghapusan Khilafah. Karena itu, Ahlussunnah wal jamaah
memegang teguh pendirian mereka, dengan cara yang sama sejak awal, membela dan
mempertahankan Islam menghadapi berbagai gempuran yang berlangsung dalam
rentang sejarah panjang umat Islam.
Kedua, Khilafah yang
menerapkan Islam tetap ada hingga runtuhnya Khilafah ‘Utsmaniyah. Inilah yang
menjadi alasan utama permusuhan Barat terhadap Khilafah ‘Utsmaniyah, sebab
selama ia masih ada, maka sistem Islam pun tetap ada. Dengan adanya sistem
pemerintahan Islam ini, maka suatu saat bisa kembali menguasai dunia, sehingga
Eropa pun takut sejarah kejayaan umat Islam akan kembali dalam naungan
Khilafah. Karena itu, hanya ada satu kata, menghilangkan Khilafah, dan
menghalangi tegaknya kembali. [Lihat, Dr. Musthafa Hilmi, Nidzam al-Khilafah fi
al-Fikri al-Islami, hal. 457]
Khatimah
Jadi, jelas Khilafah
adalah ajaran Islam. Hizbut Tahrir Indonesia hanya menyampaikan apa yang
menjadi ajaran Islam, yang dilupakan oleh kaum Muslim. Sebagai bagian dari
ajaran Islam, Khilafah jelas bukan merupakan ancaman bagi Indonesia. Justru,
Khilafah ingin menjaga dan menyelamatkan negeri Muslim terbesar ini, agar
terbebas dari segala bentuk penjajahan yang hingga kini masih menderanya.[]