Prof Mahfud : Khilafah Dalam Terminologi HTI, Itu Berbahaya
Oleh : Prof Mahfudz MD
http://redaksiindonesia.com/read/prof-mahfud-khilafah-dalam-terminologi-hti-itu-berbahaya.html
http://redaksiindonesia.com/read/prof-mahfud-khilafah-dalam-terminologi-hti-itu-berbahaya.html
Terima kasih Bang Karni, selamat malam menjelang pagi untuk semuanya para pendengar.
Pertama ingin saya sampaikan bahwa saya bukan Alumni 212. Kemarin kan agak rame di medsos, saya tidak hadir di reuni 212, ya saya jawab memang saya tidak pernah ikut.
Di dalam penjelasannya tadi, saudara Felix Siauw mengatakan bahwa khilafah adalah keniscayaan. Kalau tidak percaya Khilafah berarti tidak percaya pada Abu Bakar sebagai kholifah padahal kita katakan tiap hari, itu kan sejarah.
Tetapi khilafah di dalam konsep FPI, di dalam konsep HTI di Indonesia itu adalah sistem pemerintahan dan itu jelas-jelas ideologi yang sangat bertentangan dengan Pancasila.
Saya sudah katakan berkali-kali, kalau Khilafah sebagai sebutan terhadap Pemimpin itu tidak apa-apa, tetapi kalau Khilafah sebagai gerakan Ideologi politik untuk mengganti sebuah sistem yang sudah disepakati yang bernama Negara Pancasila itu jelas-jelas itu adalah gerakan TERLARANG.
Saya
sudah mendapatkan penjelasan dari orang-orang HTI bahwa yang dimaksud
khilafah itu adalah sistem pemerintahan, oleh sebab itu mereka menolak Demokrasi, menganggap demokrasi itu thogut (sesat).
Dan
menolak negara kebangsaan, dia maunya transnasional, satu negara yang
berdasarkan Islam yang meliputi beberapa bangsa menjadi satu negara. Dan
itu tidak pernah dibantah.
Dan itu sangat Berbahaya bagi kita sebagai bangsa.
Dari sudut Akidah, Teologis, memang tidak ada di dalam sumber primer islam itu ajaran khilafah sebagai sistem. Tidak ada.
Kita bisa berdebat kapan saja, saya ingin tau di mana Khilafah itu sebagai sistem. kalau sebutan sebagai pemimpin, iya.
Sesudah nabi, lahir bermacam-macam jenis khilafah.
Yang
sekarang pun ada 57 jenis negara Islam yang tergabung di dalam OKI, ada
22 negara Arab, itu beda-beda lagi sistem khilafahnya.
Dan saya memastikan bahwa Indonesia dengan sistem Pancasila-nya adalah juga khilafah, dalam arti sistem pemerintahannya yang khas Indonesia.
Al khilafah Al Indunisya itulah kira-kira. Dan itu merupakan produk ijtihad ulama, seperti ulama-ulama di negara lain.
Saya belajar Hukum Tata Negara Islam dan Hukum Pemerintahan Islam itu dua semester dari KH Ahmad Ahsar Basir pimpinan Muhammadiyah pada waktu itu.
Ndak ada khilafah itu hanya satu yang harus diikuti, boleh buat sendiri-sendiri.
Bahkan beliau mengatakan Indonesia ini adalah negara yang sudah sangat sesuai dengan Syariat Islam.
Oleh sebab itu, tetap Berbahaya gerakan khilafah itu sebagai sebuah gerakan alternatif yang ingin mengganti ideologi.
Yang terakhir bung Karni, saya ingin menanggapi tentang apa yang disampaikan oleh saudara Eggi Sudjana, bahwa negara Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang tadi katanya Tuhannya Allah SWT lalu tidak ada tafsir lain kecuali itu hukum islam.
Penafsiran seperti itu, bukan hanya bertentangan dengan gramatiknya tetapi juga Sebuah Hal Yang Bertentangan dengan fakta historisnya.
Gini,
memang betul dulu disebutkan "Negara berdasarkan ketuhanan dengan
kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya," lalu dicoret
dan terjadi kesepakatan menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Lalu Pak Eggi mengatakan arti ketuhanan yang maha esa itu hanya Allah SWT. Itu bukan arti pancasila, itu kata Ki Bagus Hadikusumo. Beliau mengatakan bagi orang Islam, ketuhanan yang maha esa itu tauhid.
Nah artinya apa? Bagi orang yang tidak Islam silahkan tuhannya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Bung Karno, kalau kamu kristen ya silakan bertuhan pada kristen dengan baik, Hindu dengan baik.
Jadi tidak ada keharusan dengan kata ketuhanan yang maha esa yang bersumber dari Piagam Jakarta sebelumnya itu, lalu mau dikatakan bahwa negara Indonesia harus berdasar hukum islam.
Apalagi ini perdebatan tentang Hukum Islam itu apa, kadangkala orang tidak ngerti.
Saya
khawatir itu juga. Jangan-jangan pak Eggi itu tidak ngerti bedanya
syariah, hukum, fiqih, qanun dan sebagainya. Itu di dalam Ilmu hukum itu beda-beda.
Nah
yang anda katakan tadi itu kan seperti menyulap orang itu untuk percaya
pada hal yang seperti itu. Itu teorinya jauh, masih jauh.
Oleh
sebab itu, saya kira kita tidak perlu lagi mundur, berdebat tentang
piagam jakarta dan sebagainya. Pokoknya Negara ini berdasar Pancasiladan bukan Negara Islam, dan tidak bisa berlaku Hukum Islam di sini.
Kecuali di bidang keperdataan yang sudah disahkan sebagai Qanun oleh negara seperti Hukum perkawinan, bahwa itu harus sesuai dengan agama, nah itulah yang sudah jadi hukum. Yang lain, itu adalah Norma agama biasa yang tidak bisa dipaksakan keberlakuannya sebelum ditetapkan oleh negara sebagai hukum.
Saya kira begitu saja Bang Karni dari saya, selamat malam menjelang pagi.
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D, dalam acara ILC yang bertajuk "212: Perlukah Reuni"
Prof Mahfud : Khilafah Dalam Terminologi HTI, Itu Berbahaya
Oleh : Prof Mahfudz MD
Terima kasih Bang Karni, selamat malam menjelang pagi untuk semuanya para pendengar.
Pertama ingin saya sampaikan bahwa saya bukan Alumni 212. Kemarin kan agak rame di medsos, saya tidak hadir di reuni 212, ya saya jawab memang saya tidak pernah ikut.
Jadi begini, saya tidak sependapat dengan pak Felik tentang Khilafah.
Di dalam penjelasannya tadi, saudara Felix Siauw mengatakan bahwa khilafah adalah keniscayaan. Kalau tidak percaya Khilafah berarti tidak percaya pada Abu Bakar sebagai kholifah padahal kita katakan tiap hari, itu kan sejarah.
Tetapi khilafah di dalam konsep FPI, di dalam konsep HTI di Indonesia itu adalah sistem pemerintahan dan itu jelas-jelas ideologi yang sangat bertentangan dengan Pancasila.
Saya sudah katakan berkali-kali, kalau Khilafah sebagai sebutan terhadap Pemimpin itu tidak apa-apa, tetapi kalau Khilafah sebagai gerakan Ideologi politik untuk mengganti sebuah sistem yang sudah disepakati yang bernama Negara Pancasila itu jelas-jelas itu adalah gerakan TERLARANG.
Saya sudah mendapatkan penjelasan dari orang-orang HTI bahwa yang dimaksud khilafah itu adalah sistem pemerintahan, oleh sebab itu mereka menolak Demokrasi, menganggap demokrasi itu thogut (sesat).
Dan menolak negara kebangsaan, dia maunya transnasional, satu negara yang berdasarkan Islam yang meliputi beberapa bangsa menjadi satu negara. Dan itu tidak pernah dibantah.
Dan itu sangat Berbahaya bagi kita sebagai bangsa.
Dari sudut Akidah, Teologis, memang tidak ada di dalam sumber primer islam itu ajaran khilafah sebagai sistem. Tidak ada.
Kita bisa berdebat kapan saja, saya ingin tau di mana Khilafah itu sebagai sistem. kalau sebutan sebagai pemimpin, iya.
Oleh karena sebagai sistem tidak ada di dalam Quran dan Hadist, maka khilafah itu bermacam-macam.
Sesudah nabi, lahir bermacam-macam jenis khilafah.
Yang sekarang pun ada 57 jenis negara Islam yang tergabung di dalam OKI, ada 22 negara Arab, itu beda-beda lagi sistem khilafahnya.
Dan saya memastikan bahwa Indonesia dengan sistem Pancasila-nya adalah juga khilafah, dalam arti sistem pemerintahannya yang khas Indonesia.
Al khilafah Al Indunisya itulah kira-kira. Dan itu merupakan produk ijtihad ulama, seperti ulama-ulama di negara lain.
Saya belajar Hukum Tata Negara Islam dan Hukum Pemerintahan Islam itu dua semester dari KH Ahmad Ahsar Basir pimpinan Muhammadiyah pada waktu itu.
Ndak ada khilafah itu hanya satu yang harus diikuti, boleh buat sendiri-sendiri.
Bahkan beliau mengatakan Indonesia ini adalah negara yang sudah sangat sesuai dengan Syariat Islam.
Oleh sebab itu, tetap Berbahaya gerakan khilafah itu sebagai sebuah gerakan alternatif yang ingin mengganti ideologi.
Yang terakhir bung Karni, saya ingin menanggapi tentang apa yang disampaikan oleh saudara Eggi Sudjana, bahwa negara Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang tadi katanya Tuhannya Allah SWT lalu tidak ada tafsir lain kecuali itu hukum islam.
Penafsiran seperti itu, bukan hanya bertentangan dengan gramatiknya tetapi juga Sebuah Hal Yang Bertentangan dengan fakta historisnya.
Gini,
memang betul dulu disebutkan "Negara berdasarkan ketuhanan dengan
kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya," lalu dicoret
dan terjadi kesepakatan menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Lalu Pak Eggi mengatakan arti ketuhanan yang maha esa itu hanya Allah SWT. Itu bukan arti pancasila, itu kata Ki Bagus Hadikusumo. Beliau mengatakan bagi orang Islam, ketuhanan yang maha esa itu tauhid.
Nah artinya apa? Bagi orang yang tidak Islam silahkan tuhannya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Bung Karno, kalau kamu kristen ya silakan bertuhan pada kristen dengan baik, Hindu dengan baik.
Jadi tidak ada keharusan dengan kata ketuhanan yang maha esa yang bersumber dari Piagam Jakarta sebelumnya itu, lalu mau dikatakan bahwa negara Indonesia harus berdasar hukum islam.
Apalagi ini perdebatan tentang Hukum Islam itu apa, kadangkala orang tidak ngerti.
Saya
khawatir itu juga. Jangan-jangan pak Eggi itu tidak ngerti bedanya
syariah, hukum, fiqih, qanun dan sebagainya. Itu di dalam Ilmu hukum itu beda-beda.
Nah
yang anda katakan tadi itu kan seperti menyulap orang itu untuk percaya
pada hal yang seperti itu. Itu teorinya jauh, masih jauh.
Oleh
sebab itu, saya kira kita tidak perlu lagi mundur, berdebat tentang
piagam jakarta dan sebagainya. Pokoknya Negara ini berdasar Pancasiladan bukan Negara Islam, dan tidak bisa berlaku Hukum Islam di sini.
Kecuali di bidang keperdataan yang sudah disahkan sebagai Qanun oleh negara seperti Hukum perkawinan, bahwa itu harus sesuai dengan agama, nah itulah yang sudah jadi hukum. Yang lain, itu adalah Norma agama biasa yang tidak bisa dipaksakan keberlakuannya sebelum ditetapkan oleh negara sebagai hukum.
Saya kira begitu saja Bang Karni dari saya, selamat malam menjelang pagi.
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D, dalam acara ILC yang bertajuk "212: Perlukah Reuni"
e » Unlabelled » Dalil al-Qur'an tentang Khalifah
Dalil al-Qur'an tentang Khalifah
http://www.tarbawia.net/2017/12/jumlah-peserta-reuni-212.html
Dalil al-Qur'an tentang Khalifah
Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
- Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Hakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha,
berarti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu,
seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah
memerintahkan kita untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak ada.
Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk menaati seseorang yang
keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang
wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti
Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri
menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan
mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum
syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau tidak
diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu
mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk
mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan
Allah SWT. Firman Allah SWT:
- Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
- Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (Qs.Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab)
Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama
tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula
bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak
mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan
(as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang
diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian,
ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk
menjalankan semuahukum Islam, iaitu negara Khilafah.
Dalil as-Sunnah tentang Khalifah
- Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR.Muslim].
- Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepadaKhalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
- Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR.Muslim]
- Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
- Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR.Muslim].
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah
laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah
kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana
perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah
keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li).
Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya
hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum
syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat
pasti (fardlu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya
Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak,
membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah
adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW
sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari
Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan
pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah),
lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya,
hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain
hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].
Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorangKhalifah dan
memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang
merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya
keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW
memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya,
iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.
Dalil Ijma’ Sahabat
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khathtab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah,
nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan
jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti
beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan
diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah
untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para
Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata
sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk
mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah NabiSAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadiKhalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.
Dalil Dari Kaidah Syar’iyah
Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya."[rujukan?] Menerapkan
hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah
wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa
adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.
Pendapat Para Ulama
Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah
bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh
Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
- "Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan
seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan
Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat
seorang Khalifah.
Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka
pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nas-nas
syara’ yang telah jelas.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265
menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy
A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz
4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh
Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah
(Khilafah)."
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang
wajib (bukan haram apalagi bid’ah) dapat kitab temukan dalam khazanah
Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja
referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi, Al
Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush
Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161,
Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al
Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167,
Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al
Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany,
Fathul Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah Muslim,
juz 12 hal. 205, Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah,
hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah,
Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi,
Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah
Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61,
dan masih banyak lagi yang lainnya.
Namun ada pula buku yang menyatakan bahwa kekhalifahan tidak wajib hukumnya, seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholish Madjid.
Dalil-Dalil yang Mewajibkan Khilafah
Sejarah
membuktikan bahwa kejayaan kaum muslimin di masa lampau dikarenakan umat
Islam mampu mempertahankan keutuhan umat, dibawah satu sistem
kepemimpinan Islam yaitu Khilafah Islamiyyah dengan pembuktian sam’an wa tha’atan
kepada Ulil Amri mereka (Khalifah/Amirul Mukminin). Adapun kemunduran
dan kehancuran kaum muslimin karena tidak mampu lagi mempertahankan
sistem kekhalifahan tersebut, yang berakibat umat terpecah-belah menjadi
beberapa golongan dan tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang
ada pada golongannya sendiri (ashobiyah). Fenomena ini oleh Allah SWT dinyatakan dengan tegas sebagai suatu “kemusyrikan” sebagaimana firman-Nya yang artinya:“…dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik, yaitu orang-orang
yang memecah-belah dien mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.
Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka.” (QS. Ar-Rum: 31-32).
Khilafah
adalah bentuk pemerintahan dalam Islam. Khilafah dan shalat adalah
sama-sama kewajiban. Namun, jika kewajiban mendirikan shalat dengan
mudah kita dapati dalilnya dengan fi’il amr (kata
perintah) yang jelas, tidak demikian dengan kewajiban mendirikan
khilafah. Titik ini yang sering disoroti oleh orang-orang yang meragukan
kewajiban mendirikan khilafah. Mereka mengatakan bahwa kewajiban
menegakkan khilafah tidak ada dalilnya.
Padahal,
terdapat dalil-dalil bernada fi’il amr tentang kewajiban menerapkan
hukum Islam dalam negara, walaupun tidak jelas menyebut khilafah. Dan
ada dalil-dalil lain yang menyebut “khalifah” walaupun tidak ber-fi’il
amr. Lagi pula, bagi siapapun yang memahami ushul fiqh akan dengan mudah
memahami bahwa suatu perbuatan dapat diberi status wajib walaupun dalil
yang menunjuki perbuatan itu tidak bernada fi’il amr.
Semoga
penjelasan super-singkat berikut ini dapat membuka pemikiran kita. Untuk
memudahkan pembahasan, ada tiga isu dalam hal ini, yaitu dalil, negara syariah, dan khilafah.
Apa itu Dalil?
Dalam khazanah Sunni, yang dimaksud dengan dalil
bukan hanya Qur’an dan Sunnah (Hadits), melainkan juga Ijma dan Qiyas.
Ini disepakati oleh jumhur ulama. Perihal ijma ada dua pendapat,
sebagian berpendapat harus ijma shahabat, sebagian lagi berpendapat
bahwa ijma ulama juga termasuk kategori ijma. Yang jelas disepakati
bahwa ijma harus bersumber pada Qur’an dan Sunnah.
Dalil-Dalil Kewajiban Menegakkan Negara Syariah
Banyak dalil
yang menunjukkan kewajiban menegakkan syariah. Di antaranya dalil
tentang wajibnya mentaati Allah, Rasul-Nya dan pemimpin/Ulil Amri (QS.
An-Nisaa: 59). Ayat ini mengharuskan adanya pemimpin yang menerapkan
aturan Allah dan Rasul-Nya. Pada Qur’an surat Al-Maidah ayat 44, 45, 47,
48, dan 49 secara tegas mengandung perintah menerapkan syariah.
Lalu mengapa
kewajiban berhukum syariah ini diartikan menegakkan negara berdasarkan
syariah? Hal ini didasarkan oleh kaidah fiqh:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.”
Kaidah ini
disampaikan oleh Imam Al-Ghazali. Dan perlu diketahui bahwa setiap
kaidah fiqh disusun oleh ulama ushul berdasarkan penelitiannya terhadap
nash-nash Qur’an dan Sunnah.
Sebagaimana
diketahui bahwa kewajiban menghukumi segala hal dengan syariat Islam
tidak akan sempurna kecuali dengan adanya negara dan penguasa yang
bertindak sebagai pelaksana (munaffidz), maka atas dasar kaidah
ini, mewujudkan negara dan penguasa yang menerapkan syariat Islam itu
menjadi wajib. Kalau pihak yang berwenang menghukumi dengan syariah itu
tidak disebut negara, lalu mau disebut apa?
Hanya saja,
wajibnya menerapkan syariah oleh negara ternyata masih menyimpan
pertanyaan: Jika memang intinya penerapan syariah oleh negara, mengapa
harus bentuknya khilafah? Bukankah negaranya boleh apa saja, entah
republik (demokrasi), monarki, dsb., yang penting menerapkan syariah?
Berikut penjelasannya.
Mengapa Harus Khilafah?
1. Dalil Qur’an
Dalil Qur’an
tentang wajibnya menerapkan khilafah adalah dalil-dalil kewajiban
berhukum dengan syariah sebagaimana dipaparkan di atas. Selain itu, ada
juga dalil Qur’an yang mencantumkan kata “khalifah” di dalamnya, yaitu
ayat berikuti ini:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman,
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS.
Al-Baqarah: 30)
Memang ada
banyak penafsiran atas kata “khalifah”. At-Thabariy berpendapat bahwa
“khalifah” yang dimaksud adalah pemimpin untuk kalangan jin. Sedangkan
asy-Syaukani, an-Nasafi, dan al-Wahidi berpendapat bahwa maksudnya
pemimpin untuk malaikat. Sedangkan Ibnu Katsir memaknai penyebutan
“khalifah” karena manusia menjadi kaum yang sebagiannya menggantikan
sebagian yang lain (arti “khalifah” sendiri adalah pengganti).
Namun, ada
pendapat keempat, maksud ayat di atas adalah manusia diturunkan untuk
menjadi khalifah bagi Allah di bumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan
menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Status ini bukan hanya disandang
Adam AS, namun juga seluruh nabi. Mereka semua dijadikan sebagai
pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia,
menyempurnakan jiwa mereka, dan menerapkan perintah-Nya kepada
manusia. Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji,
al-Ajili, Ibnu Juzyi, dan asy-Syanqithi.
2. Dalil Hadits
Perhatikan hadits-hadits ini:
Rasulullah
SAW bersabda: “Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat
seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi
setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak.” Para
Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi
menjawab,’”Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja.
Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap
apa yang menjadi kewajiban mereka.” (HR. Muslim)
Rasulullah
SAW bersabda: “Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas
izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia
berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti
manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia
akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada
kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia
akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak
mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang
menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada.
Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.”
Beliau kemudian diam. (HR. Ahmad dan al-Bazar)
Hadits-hadits
di atas menunjukkan bahwa para pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi SAW
disebut sebagai khalifah. Memang ini sifatnya khabar bukan perintah.
Namun, sebuah hadits ahad tidak mungkin dijadikan dasar aqidah, dan oleh
karenanya menjadi dasar amal. Maknanya, hadits ini mengharuskan kita
beramal untuk mewujudkan khilafah.
3. Dalil Ijma Shahabat
Ijma
(kesepakatan) shahabat adalah tafsir terbaik atas Qur’an dan Sunnah.
Para shahabat adalah rujukan pertama sekaligus standar kebenaran tatkala
kita ingin memahami Qur’an dan Sunnah. Fakta menunjukkan bahwa para
shahabat sibuk memilih khalifah bahkan hingga menunda pemakaman
Rasulullah SAW.
Abu Bakar ra
dibaiat sebagai khalifah, dengan sebutan yang memang “khalifah” lalu
disepakati oleh para shahabat. Kesepakatan (ijma) mereka menjadi dalil
bahwa khilafah itu wajib dan bahwa bentuk pemerintahan Islam adalah
khilafah.
Ijma
shahabat tidak mungkin diganggu gugat. Rasulullah SAW menjamin bahwa
mereka generasi terbaik. Mereka adalah manusia terbaik dengan pemahaman
yang terbaik atas apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Dari Abu
Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian mencaci
maki para shahabatku! Janganlah kalian mencaci maki para shahabatku!
Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan
emas sebesar gunung Uhud maka ia tidak akan dapat menandingi satu mud
atau setengahnya dari apa yang telah diinfakkan para shahabatku.” (HR.
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dari
Imran bin Husain ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik umatku
adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (para shahabat) kemudian
orang-orang yang datang setelah mereka (tabi’in) kemudian orang-orang
yang datang setelah mereka (tabi’ut tabi’in). (HR. Bukhari, Muslim, Abu
Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad dan lainnya)
Kata Para Ulama Tentang Khilafah
Kaidah fiqh
yang disebutkan di atas menjadi salah satu pendapat ulama yang mendukung
kewajiban pendirian khilafah. Selain itu, seluruh imam mazhab dan para
mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya
khilafah (atau imamah) ini. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri menegaskan hal
ini dalam kitabnya al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, jilid V, hal.
362.
Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah
telah sepakat bahwa imamah (khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa umat
Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan
syiar-syiar dienullah serta menolong orang-orang yang tertindas dari
yang menindasnya.
Pendapat ulama lainnya tentang khilafah bisa dibaca di sini:
http://syabab1924.blogspot.com/2011/01/kewajiban-khilafah-dan-pandangan-ulama.html
Jelaslah
bahwa mendirikan khilafah itu wajib hukumnya, dan berdosa
meninggalkannya. Tanpa khilafah, banyak aspek syariah yang terbengkalai.
Di samping itu, mendirikan khilafah adalah wujud ketaatan kita pada
Allah SWT dan Rasul-Nya. Jadi, jika ada pendapat bahwa kewajiban
mendirikan khilafah tidak ada landasan dalilnya, maka entah dalil apa
lagi yang dimaksud.
Sebarkan informasi ini sebagai amal ibadah dakwah anda. Wallahu a’lam.
Kewajiban Khilafah dan Pandangan 'Ulama Empat Madzhab Terhadap Khilafah
http://syabab1924.blogspot.co.id/2011/01/kewajiban-khilafah-dan-pandangan-ulama.html
Pengenalan kata :
Imam al-Lughah al-Fairus Abadi dalam Qamus al-Muhiith:
الإمامة في اللغة مصدر من الفعل ( أمَّ ) تقول : ( أمَّهم وأمَّ بهم : تقدّمَهم ، وهي الإمامة ، والإمام : كل ما ائتم به من رئيس أو غيره ) ….
“Secara bahasa imamah merupakan masdar dari
kata kerja “amma”, (maka) anda menyatakan: ammahum dan amma bihim
artinya adalah taqaddamahum (yang mendahului (memimpin) mereka; yakni,
imamah (kepemimpinan). Sedangkan imam adalah setiap orang yang harus
diikuti baik pemimpin maupun yang lain”.[al-Fairuz Abadi, al-Qaamus
al-Muhith, juz IV hal 78]
Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisaan al-’Arab menyatakan;
الإمام كل من ائتم به قوم كانوا على الصراط المستقيم أو كانوا ضالين .. والجمع : أئمة ، وإمام كل شيء قيَّمه والمصلح له ، والقرآن إمام المسلمين ، وسيدنا محمد رسول الله r إمام الأئمة ، والخليفة إمام الرعية ، وأممت القوم في الصلاة إمامة ، وائتم به : اقتدي به .
“Imam adalah setiap orang yang diikuti oleh suatu kaum baik mereka
berada di atas jalan yang lurus maupun sesat… Bentuk jama’nya adalah
“a’immah”. Dan imam itu adalah setiap hal yang meluruskan dan yang
memperbaiki dirinya, (maka) al-Qur’an adalah imam bagi kaum Muslim;
Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW adalah imamnya para imam. Khalifah
adalah imamnya rakyat. Anda mengimami suatu kaum dalam shalat sebagai
imam; maknanya adalah i’tamma bihi: memberi contoh di dalamnya”. [Imam
Ibn Mandzur, Jamaluddin Muhammad bin Makram, Lisan al-Arab, juz XII hal
24]
Pengarang kitab Tajul ‘Arusy min Jawahir al-Qamus, Al-’Allamah Muhammad Murtadlo Az-Zabidiy menyatakan:
Pengarang kitab Tajul ‘Arusy min Jawahir al-Qamus, Al-’Allamah Muhammad Murtadlo Az-Zabidiy menyatakan:
( والإمام : الطريق الواسع ، وبه فُسِّر قوله تعالى : وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُّبِينٍ) سورة الحجر آية 79( أي : بطريق يُؤم ، أي : يقصد فيتميز قال : ( والخليفة إمام الرعية ، قال أبو بكر : يقال فلان إمام القوم معناه : هو المتقدم عليهم ، ويكون الإمام رئيسًا كقولك : إمام المسلمين ) ، قال : ( والدليل : إمام السفر ، والحادي : إمام الإبل ، وإن كان وراءها لأنه الهادي لها .. ) أ . هـ .
“Imamah adalah jalan yang lapang. Pengertian tersebut ditafsirkan dari firman-Nya Ta’ala:
وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُّبِينٍ) سورة الحجرآية 79
(Maksudnya pada jalan yang dituju (“yu’ammu”), sehingga menjadi lebih
jelas (spesifik). (Orang) berkata: Khalifah adalah imamnya rakyat. Abu
Bakar berkata: (kalau) fulan dikatakan sebagai imam suatu kaum artinya
ia adalah orang yang terkemuka dari kaum tersebut. Imam itu adalah
raais (kepala), sebagaimana pernyataan anda: imamnya kaum Muslim.
Selanjutnya (dia) berkata: buktinya adalah: imam safar; dan al-haadiy :
imamnya unta meski dia di belakang unta, karena dialah yang
mengarahkan unta…” [Muhammad Murtadlo Az-zubaidi, Tajul Arus min
Jawahir Al-qamus, Juz VIII hal 193]
Dalam al-Shihah al-Jauhari berkata:
Dalam al-Shihah al-Jauhari berkata:
( الأمُّ بالفتح القصد،يقال : أَمّهُ وأمّمَه وتأمّمَه إذا قصده )
“Al-‘ammu,
dengan fathah (maksudnya) adalah tujuan. Maka dikatakan ammahu, wa
ammamahu, wa ta’ammamahu apabila ia menujunya.” [Imam Isma’il bin Hamad
al-Jauhari, Taaj al-Lughah wa Shihah al-’Arabiyyah, Juz 5 hal 1865]
Pengenalan secara syar’i / istilah :
Tentang Imamah Imam Al Mawardi Asy-Syafi’i menyatakan:
Pengenalan secara syar’i / istilah :
Tentang Imamah Imam Al Mawardi Asy-Syafi’i menyatakan:
( الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به ) أ . هـ ….
“Imamah
itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta
politik yang sifatnya duniawi”.[Imam Al Mawardi, Ali bin Muhammad,
Al-Ahkaam Al Sulthaniyyah, hal 5]
Imam Al-Haramain berkata:
Imam Al-Haramain berkata:
( الإمامة رياسة تامة ، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا ) أ . هـ .“
Imamah
itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam
urusan-urusan agama maupun dunia”. [Imam Al Haramain, Abu Al Ma’ali Al
Juwaini, Ghiyatsul Umam fil Tiyatsi Adz-dzulam hal 15]
Shahib Al Mawaqif menyatakan:
Shahib Al Mawaqif menyatakan:
( هي خلافة الرسول r في إقامة الدين بحيث يجب اتباعه على كافة الأمة ) .
“Imamah
adalah merupakan khilafah Rasul SAW dalam menegakkan agama, dimana
seluruh umat wajib mengikutinya. Itulah sebagian penjelasan para Ulama’
tentang imamah”. [‘Idhuddin Abdurrahman bin Ahmad Al Aiji, Al-Mawaaqif,
juz III, hal 574]
Pada bagian yang lain Imam Al Aijiy dalam kitab Al-Mawaqif menyatakan:
Pada bagian yang lain Imam Al Aijiy dalam kitab Al-Mawaqif menyatakan:
قال قوم من أصحابنا الإمامة رياسة عامة في أمور الدين والدنيا لشخص من الأشخاص
“Sebagaian
kelompok dari shahabat kami menyatakan bahwa imamah itu adalah
kepemimpinan umum dalam berbagai urusan agama dan dunia”.[Idem, Juz III
hal 578]
Imam Al Ramli menyatakan:
Imam Al Ramli menyatakan:
الخليفة هو الإمام الأعظم, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Khalifah
itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam
melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[Imam Al Ramli Muhammad
bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi
‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hal 289]
Syeikh Musthafa Shabari, Syeikhul Islam Khilafah Ustmaniyyah, menyatakan:
Syeikh Musthafa Shabari, Syeikhul Islam Khilafah Ustmaniyyah, menyatakan:
الخلافة عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم فى تنفيذ ما أتى به من شريعة الاسلام
“Khilafah itu adalah penganti dari Rasulullah SAW dalam melaksanakan syariat Islam yang datang melalui beliau saw”.
Shahibu Ma’atsiril Inafah fii Ma’alimil Khilafah menyatakan:
Shahibu Ma’atsiril Inafah fii Ma’alimil Khilafah menyatakan:
هى الولاية العامة على كافة الامة
“Khilafah
adalah kepemimpinan umum untuk umat secara keseluruhan”.[Asy Syeikh
Musthafa Shabari, Mauqiful Aqli, wal Ilmi wal ‘Alam, juz IV, hal 262]
Kata Imam, khaliifah atau amiril mu’minin adalah sinonim :
Para Ulama’ mengklasifikasikan kata imam, khalifah, sebagai bentuk sinonim (taraaduf).
Imam Al Hafidz Al Nawawi. Beliau menyatakan:
Para Ulama’ mengklasifikasikan kata imam, khalifah, sebagai bentuk sinonim (taraaduf).
Imam Al Hafidz Al Nawawi. Beliau menyatakan:
( يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين )…
“Imam
boleh juga disebut dengan khalifah, imam atau amirul Mukminin”.
[Syeikhul Islam Imam Al Hafidz Yahya bin Syaraf An Nawawi, Raudhah Ath
Thalibin wa Umdah Al Muftiin, juz X hal 49; Syeikh Khatib Asy Syarbini,
Mughnil Muhtaj, juz IV, hal 132]
Al ‘Allamah Abdurrahman Ibnu Khaldun berkata:
وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام أ . هـ
“Dan ketika telah menjadi jelas bagi kita penjelasan ini, bahwa imam
itu adalah wakil pemilik syariah dalam menjaga agama serta politik
duniawi di dalamnya disebut khilafah dan imamah. Sedangkan yang
menempatinya adalah khalifah atau imam”. [ Abdurrahman Ibn Khaldun, Al
Muqaddimah, hal 190]
Syeikh Muhammad Najib Al Muthi’iy dalam takmilahnya atas Kitab Al Majmuu’ karya Imam An Nawawi. Beliau menegaskan:
( الإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة )
Syeikh Muhammad Abu Zahrah menegaskan:
( المذاهب السياسية كلها تدور حول الخلافة وهي الإمامة الكبرى ، وسميت خلافة لأن الذي يتولاها ويكون الحاكم الأعظم للمسلمين يخلف النبي في إدارة شؤونهم ، وتسمى إمامة : لأن الخليفة كان يسمى إمامًا ، ولأن طاعته واجبة ، ولأن الناس كانوا يسيرون وراءه كما يصلون وراء من يؤمهم الصلاة )
“Madzhab-madzahab politik secara keseluruhan selalu beredar di sekitar
pembahasan khilafah. Khilafah adalah imamah al-kubra (imamah agung).
Disebut khilafah karena pihak yang memegang jabatan khilafah dan yang
menjadi penguasa agung atas kaum Muslim menggantikan Nabi SAW dalam
mengatur urusan mereka. Disebut imamah karena, khalifah disebut Imam,
dan karena taat kepadanya adalah wajib, dan karena manusia berjalan di
belakang imam tersebut layaknya mereka shalat di belakang orang yang
mengimami mereka dalam shalat”.[ Syeikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikh
Al-madzahib Al-islamiyyah, juz I hal 21]
Kewajiban mengangkat seorang Khalifah menurut para ‘Ulama :
Syeikh Al-Islam Al Imam Al Hafidz Abu Zakaria An Nawawi berkata:
Syeikh Al-Islam Al Imam Al Hafidz Abu Zakaria An Nawawi berkata:
الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية ……
“…Pasal kedua
tentang wajibnya imamah serta penjelasan mengenai metode (jalan untuk
mewujudkannya). Adalah suatu keharusan bagi umat adanya seorang imam
yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang
didzalimi, menunaikan hak, dan menempatkan hak pada tempatnya. Saya
nyatakan bahwa mengurusi urusan imamah itu adalah fardhu kifayah”.[Imam
Al Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An Nawawi, Raudhatuth
Thalibin wa Umdatul Muftin, juz III hal 433].
Penulis kitab Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj menyatakan:
( فَصْلٌ ) فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَبَيَانِ طُرُقِ الْإِمَامَةِ . هِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ فَيَأْتِي فِيهَا أَقْسَامُهُ الْآتِيَةُ مِنْ الطَّلَبِ وَالْقَبُولِ وَعَقَّبَ الْبُغَاةِ لِكَوْنِ الْكِتَابِ عُقِدَ لَهُمْ وَالْإِمَامَةُ لَمْ تُذْكَرْ إلَّا تَبَعًا بِهَذَا ؛ لِأَنَّ الْبَغْيَ خُرُوجٌ عَلَى الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ الْقَائِمِ بِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا …
“…(Pasal )
tentang syarat-syarat imam agung (khalifah) serta penjelasan
metode-metode pengangkatan imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu
kifayah sebagaimana peradilan”. [Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj,
juz 34 hal 159]
Syeikh Al-Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab berkata:
Syeikh Al-Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab berkata:
(فصل) في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية كالقضاء (شرط الامام كونه أهلا للقضاء) بأن يكون مسلما حرا مكلفا عدلا ذكرا مجتهدا ذا رآى وسمع وبصر ونطق لما يأتي في باب القضاء وفي عبارتي زيادة العدل (قرشيا) لخبر النسائي الائمة من قريش فإن فقد فكناني، ثم رجل من بني إسماعيل ثم عجمي على ما في التهذيب أو جرهمي على ما في التتمة، ثم رجل من بني إسحاق (شجاعا) ليغزو بنفسه، ويعالج الجيوش ويقوي على فتح البلاد ويحمي البيضة، وتعتبر سلامته من نقص يمنع استيفاء الحركة وسرعة النهوض، كما دخل في الشجاعة …[Syaikhul Islam Imam Al Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2, hal 268]
“…(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang
agung serta penjelasan metode in’iqad (pengangkatan) imamah. Mewujudkan
imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan (salah satu
syarat menjadi imam adalah ahli dalam peradilan). Maka hendaknya imam
yang agung tersebut adalah muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki,
mujtahid, memiliki visi, bisa mendengar, melihat dan bisa bicara; semua
ini berdasarkan syarat-syarat pada bab peradilan dan pada ungkapan
saya dengan penambahan adil adalah (dari kabilah Quraisy) berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa’I: “bahwa para Imam itu dari
golongan Quraisy”. Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari
Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain
orang Arab) berdasarkan apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau
Jurhumi berdasarkan apa yang terdapat dalam (kitab) At-tatimmah.
Kemudian pria dari keturunan Ishaq. Selanjutnya (pemberani) agar
(berani) berperang dengan diri sendiri, mengatur pasukan serta
memperkuat (pasukan) untuk menaklukkan negeri serta melindungi
kemurnian (Islam). Juga termasuk (sebagian dari syarat imamah) adalah
bebas dari kekurangan yang akan menghalangi kesempurnaan serta
cekatannya gerakan sebagaimana hal tersebut merupakan bagian dari
keberanian …” [Syaikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria
Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2 hal 268]
Imam Fakhruddin Al Razi, penulis kitab Manaqib Asy Syafi’i, tatkala menjelaskan surat Al Maidah :38, beliau menegaskan:
“..احتج المتكلمون بهذه الآية في أنه يجب على الأمة أن ينصبوا لأنفسهم إماماً معيناً والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه الآية إقامة الحد على السراق والزناة ، فلا بدّ من شخص يكون مخاطباً بهذا الخطاب ، وأجمعت الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة ، بل أجمعوا على أنه لا يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام ، فلما كان هذا التكليف تكليفاً جازماً ولا يمكنالخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام ، وما لا يتأتىالواجب إلا به ، وكان مقدوراً للمكلف ، فهو واجب ، فلزم القطع بوجوب نصب الإمام حينئذٍ“
“… para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat
untuk mengangkat seorang imam tertentu untuk mereka. Dalilnya adalah
bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas
pencuri dan pelaku zina. Maka, adalah keharusan adanya seseorang yang
melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak
seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku criminal
tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram)
menegakkan had atas pelaku kriminal yang merdeka kecuali oleh imam.
Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan ketika
tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali ketika adanya imam,
dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan adanya imam,
dan ketika kewajiban itu masih dalam batas kemampuan mukallaf, maka
(adanya) imam adalah wajib. Oleh karena itu, seketika itu juga,
kewajiban mengangkat seorang Imam adalah sesuatu yang bersifat qath’i…”
[ Imam Fakhruddin Ar-razi, Mafatihul Ghaib fii At-tafsir, juz 6 hal.
57 dan 233]
Imam Abul Qasim An Naisaburi Asy Syafi’i berkata:
… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
“…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab pada firmanNya: (“maka jilidlah”) adalah imam; sehingga mereka berhujjah dengan ayat ini atas wajibnya mengangkat seorang imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula”. [Imam Abul Qasim Al Hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy Syafi‘iy An Naisaburi, Tafsir An Naisaburi, juz 5 hal 465 ]
Al-’Allamah Asy Syeikh Abdul Hamid Asy Syarwani menyatakan:
قوله: (هي فرض كفاية) إذ لا بد للامة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينصف المظلوم من الظالم ويستوفي الحقوق ويضعها موضعها…
“
…perkataannya: (mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah) karena
adalah merupakan keharusan bagi umat adanya imam yang bertugas
menegakkan agama, menolong sunnah, serta memberikan hak orang yang
didzalimi dari orang yang dzalim serta menunaikan hak-hak dan
menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya…” [Asy Syeikh Abdul Hamid
Asy Syarwani, Hawasyi Asy Syarwani, juz 9, hal 74]
Al ‘Allamah Asy Syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al Bajairami berkata:
Al ‘Allamah Asy Syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al Bajairami berkata:
…فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ . كَالْقَضَاءِ فَشُرِطَ لِإِمَامٍ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ قُرَشِيًّا لِخَبَرِ : { الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ } شُجَاعًا لِيَغْزُوَ بِنَفْسِهِ وَتُعْتَبَرُ سَلَامَتُهُ مِنْ نَقْصٍ يَمْنَعُ اسْتِيفَاءَ الْحَرَكَةِ وَسُرْعَةَ النُّهُوضِ كَمَا دَخَلَ فِي الشَّجَاعَة…
“…tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode
sahnya in’iqad imamah. Mewujudkan imamah tersebut adalah fardhu kifayah
sebagaimana peradilan. Disyaratkan untuk seorang imam, hendaknya ia
memiliki keahlian dalam peradilan; dan dari suku Quraisy, berdasarkan
hadits,“Para imam itu dari Quraisy“; berani, agar berani berperang
secara langsung; tidak memiliki cacat kekurangan yang menghalangi
kesempurnaan dan kegesitan gerakan nya sebagaimana masuknya keberanian
sebagai salah satu syarat imamah…” [ Syeikh Sulaiman bin Umar bin
Muhammad
Al Bajairami, Hasyiyah Al Bajairami ‘ala Al Khathib, juz 12 hal 393]
Dalam kitab Hasyiyyah Al-bajairimi alal Minhaj dinyatakan:
Al Bajairami, Hasyiyah Al Bajairami ‘ala Al Khathib, juz 12 hal 393]
Dalam kitab Hasyiyyah Al-bajairimi alal Minhaj dinyatakan:
( فَصْلٌ ) فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ...
“…(Pasal) tentang syarat-syarat imam agung dan
penjelasan metode-metode in'iqad imamah. Dan (adanya) imamah itu adalah
fardhu kifayah sebagaimana peradilan…” [Hasyiyyah Al Bajayrimi ala Al
Minhaj, juz 15 hal 66
Imam Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al Andalusi Adz Dzahiri mendokumentasikan ijma' ulama' mengenai kefardluan menegakkan imamah:
Imam Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al Andalusi Adz Dzahiri mendokumentasikan ijma' ulama' mengenai kefardluan menegakkan imamah:
... واتفقوا أن الإمامة فرض وإنه لا بد من إمام حاشا النجدات وأراهم قد حادوا الإجماع وقد تقدمهم واتفقوا أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان لا متفقان ولا مفترقان ولا في مكانين ولا في مكان واحد ...
“…Meraka (para ulama') sepakat
bahwa imamah itu fardhu dan adanya imam itu merupakan suatu keharusan,
kecuali An Najdat. Pendapat mereka sungguh telah menyalahi ijma' dan
telah lewat pembahasan (tentang) mereka. Mereka (para ulama') sepakat
bahwa
tidak boleh pada satu waktu di
seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat
atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat…”
[Imam Al Hafidz Abu Muhammad, Ali bin Hazm Al Andalusi Adz Dzahiri,
Maratibul Ijma' , juz 1 hal 124]
Imam ‘Alauddin Al Kasani Al Hanafi berkata:
Imam ‘Alauddin Al Kasani Al Hanafi berkata:
“.. وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ – بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ – ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، …“ …dan karena sesungguhnya mengangkat imam agung itu adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq mengenai masalah ini. Khilafah sebagian kelompok Qadariyyah sama sekali tidak perlu diperhatikan, berdasarkan ijma’ shahabat ra atas perkara itu, serta kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut; serta demi keterikatan dengan hukum; dan untuk menyelamatkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim; memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya imam…” [Imam 'Alauddin Al-Kassani Al Hanafi, Bada'iush Shanai' fii Tartibis Syarai', juz 14 hal. 406
Imam Al Hafidz Abul Fida' Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah surah Al Baqarah ayat 30 beliau berkata:
...وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
“…dan sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil
berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, memutuskan
pertentangan mereka, menolong pihak yang didzalimi dari yang
mendzalimi, menegakkan had-had, dan mengenyahkan kerusakan, serta
urusan-urusan penting lain yang tidak mungkin ditegakkan tersebut
kecuali dengan adanya seorang imam, dan ما لايتم الواجب الا به فهو واجب
( apabila suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu
maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula)”. [ Imam al-Hafidz Abu
Al-fida' Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur'anil Adzim, juz 1 hal 221)]
Imam Al Qurthubi ketika menafsirkan Surah Al Baqarah : 30 berkata
… هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الاصم … ثم قال القرطبي: فلو كان فرض الإمامة غير واجب لا في قريش ولا في غيرهم لما ساغت هذه المناظرة والمحاورة عليها، ولقال قائل: إنها ليست بواجبة لا في قريش ولا في غيرهم، فما لتنازعكم وجه ولا فائدة في أمر ليس بواجب …وقال, اي القرطبي, وإذا كان كذلك ثبت أنها واجبة من جهة الشرع لا من جهة العقل، وهذا واضح.
“…ayat ini
dalil paling asal dalam persoalan pengangkatan imam dan khalifah yang
wajib didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat serta
melaksanakan, hukum-hukum khalifah. Tidak ada perbadaan tentang
wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam
kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham …Selanjutnya beliau
berkata: “…Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib
baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi
diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan
berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan
baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa kalian
semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu
hal yang tidak wajib”. Kemudian beliau menegaskan: “…Dengan demikian
maka (telah) menjadi ketetapan bahwa imamah itu wajib berdasarkan
syara’ bukan akal. Dan masalah ini jelas sekali”. [Al Imam Muhammad bin
Ahmad bin Abu Bakar bin Farah Al Qurthubi, Al Jaami' li Ahkamil
Qur'an, juz 1 hal 264-265]
Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hanbali Ad Dimasyqi, yang dikenal dengan Ibnu Adil, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala surah Al Baqarah ayat 30 berkata:
Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hanbali Ad Dimasyqi, yang dikenal dengan Ibnu Adil, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala surah Al Baqarah ayat 30 berkata:
…وقال « ابن الخطيب » : الخليفة : اسم يصلح للواحد والجمع كما يصلح للذكر والأنثى … ثم قال: هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه …
“…
dan Ibn Al Khatib berkata, “Khalifah itu isim yang cocok baik untuk
tunggal maupun plural sebagaimana cocoknya untuk laki-laki dan wanita.
Kemudian beliau berkata, “ ….Ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat
Imam dan khalifah yang didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat,
serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada
perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa
yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikuti dia…” [Imam
Umar bin Ali bin Adil Al Hanbali Ad Dimasyqi, Tafsirul Lubab fii 'Ulumil
Kitab, juz 1 hal 204]
Berkata Imam Abu al Hasan Al Mardawiy Al Hanbali dalam kitab Al Inshaaf:
Berkata Imam Abu al Hasan Al Mardawiy Al Hanbali dalam kitab Al Inshaaf:
…بَابُ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ فَائِدَتَانِ إحْدَاهُمَا : نَصْبُ الْإِمَامِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ . قَالَ فِي الْفُرُوعِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ . فَمَنْ ثَبَتَتْ إمَامَتُهُ بِإِجْمَاعٍ ، أَوْ بِنَصٍّ ، أَوْ بِاجْتِهَادٍ ، أَوْ بِنَصِّ مَنْ قَبْلَهُ عَلَيْهِ .
Imam Al Bahuti Al Hanafi berkata:
…( نَصْبُ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ) عَلَى الْمُسْلِمِينَ ( فَرْضُ كِفَايَةٍ ) لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةٌ إلَى ذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ وَاسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَر…
“…(mengangkat Imam yang agung itu) atas kaum
Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena manusia membutuhkan hal
tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga konsistensi (agama),
penegakan had, penunaian hak serta amar ma’ruf dan nahi munkar…”. [Imam
Mansur bin Yunus bin Idris Al Bahuti Al Hanafi, Kasyful Qanaa' ‘an
Matnil Iqnaa', juz 21 hal. 61]
Sedangkan dalam kitab Mathaalib Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha dinyatakan:
…( وَنَصْبُ الْإِمَامِ فَرْضُ كِفَايَةٍ ) ؛ لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً لِذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ ، وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ ، وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ ، وَابْتِغَاءِ الْحُقُوقِ ، وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَيُخَاطَبُ بِذَلِكَ طَائِفَتَانِ : أَحَدُهُمَا : أَهْلُ الِاجْتِهَادِ حَتَّى يَخْتَارُوا. الثَّانِيَةُ : مَنْ تُوجَدُ فِيهِمْ شَرَائِطُ الْإِمَامَةِ حَتَّى يَنْتَصِبَ لَهَا أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ فَيُعْتَبَرُ فِيهِمْ الْعَدَالَةُ وَالْعِلْمُ الْمُوَصِّلُ إلَى مَعْرِفَةِ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْإِمَامَةَ وَالرَّأْيُ وَالتَّدْبِيرُ الْمُؤَدِّي إلَى اخْتِيَارِ مَنْ هُوَ لِلْإِمَامَةِ أَصْلَحُ .
“…(dan
mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah) karena manusia memang
membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara
konsitensi (agama), menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf
serta nahi munkar”. [Al ‘Allamah Asy Syeikh Musthafa bin Sa'ad bin
Abduh As Suyuthi Ad Dimasyqi Al Hanbali, Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi
Ghayatil Muntaha, juz 18 hal. 381 ]
اعلم أنه يجب على المسلمين شرعا نصب إمام يقوم باقامة الحدود وسد الثغور وتجهيز الجيش …
“Ketahuilah,
sesungguhnya wajib atas kaum Muslim secara syar’iy, mengangkat seorang
Imam yang menegakkan had, memelihara perbatasan (negara), menyiapkan
pasukan..”.[Sayyid Husain Afandi, Al-Husun Al-Hamidiyyah li Al
Muhafadzah ‘ala Al-Aqaa'id Al-Islamiyyah, hal 189].
Nash Syara’ Tentang Kewajiban Khilafah
Dalil dari al-kitab, bahwa Allah Swt telah berfirman menyeru Rasul saw :
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara
di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).
Seruan kepada Rasul saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah juga merupakan seruan bagi umat Beliau saw. Mafhumnya adalah hendaknya umat Beliau mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah.
Perintah dalam seruan ini bersifat tegas. Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas). Hakim yang memutuskan perkara diantara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Sistem pemerintahan menurut sisi ini adalah sistem Khilafah. Terlebih lagi bahwa penegakan hudud dan seluruh ketentuan hukum syara adalah sesuatu yang wajib.
Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa. Dan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Yakni bahwa mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat hukumnya adalah wajib. Penguasa menurut sisi ini adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah.
Adapun dalil dari as-Sunah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata : “Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku : “aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda :
Seruan kepada Rasul saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah juga merupakan seruan bagi umat Beliau saw. Mafhumnya adalah hendaknya umat Beliau mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah.
Perintah dalam seruan ini bersifat tegas. Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas). Hakim yang memutuskan perkara diantara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Sistem pemerintahan menurut sisi ini adalah sistem Khilafah. Terlebih lagi bahwa penegakan hudud dan seluruh ketentuan hukum syara adalah sesuatu yang wajib.
Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa. Dan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Yakni bahwa mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat hukumnya adalah wajib. Penguasa menurut sisi ini adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah.
Adapun dalil dari as-Sunah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata : “Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku : “aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda :
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang
melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari
kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati sedang di
pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti kematian jahiliyah
(HR. Muslim)
Nabi saw telah mewajibkan kepada setiap muslim agar dipundaknya terdapat baiat. Beliau juga mensifati orang yang mati sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat bahwa ia mati seperti kematian jahiliyah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw kecuali kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Imam muslim meriwayatkan dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
Nabi saw telah mewajibkan kepada setiap muslim agar dipundaknya terdapat baiat. Beliau juga mensifati orang yang mati sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat bahwa ia mati seperti kematian jahiliyah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw kecuali kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Imam muslim meriwayatkan dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ
Seorang
imam tidak lain laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di
belakangnya dan menjadikannya pelindung (HR. Muslim)
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abi Hazim, ia berkata : ” aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
Dahulu Bani Israel
diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi
meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada
nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para
sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi
bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah
kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta
pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur
dan memeliharanya (HR. Muslim)
Di dalam hadits-hadits ini terdapat sifat bagi Khalifah sebagai junnah yakni perisai. Sifat yang diberikan Rasul saw bahwa imam adalah perisai merupakan ikhbar (pemberitahuan) yang di dalamnya terdapat pujian atas eksistensi seorang imam.
Ini merupakan tuntutan. Karena pemberitahuan dari Allah dan Rasul saw, jika mengandung celaan merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan. Dan jika mengandung pujian maka merupakan tuntutan untuk melakukan. Dan jika aktivitas yang dituntut pelaksanaannya memiliki konsekuensi tegaknya hukum syara’, atau pengabaiannya memiliki konsekuensi terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan itu bersifat tegas.
Dalam hadits ini juga terdapat pemberitahuan bahwa orang yang mengurus kaum muslim adalah para Khalifah. Maka hadits ini merupakan tuntutan mengangkat Khalifah. Terlebih lagi, Rasul saw memerintahkan untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya dalam jabatan khilafahnya. Ini artinya perintah untuk mengangkat Khalifah dan menjaga keberlangsungan khilafahnya dengan cara memerangi semua orang yang hendak merebutnya. Imam Muslim telah meriwayatkan bahwa Rasul saw pernah bersabda :
Dan siapa saja
yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman
tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan
kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut
kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)
Perintah mentaati imam merupakan perintah untuk mengangkatnya. Dan perintah memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya merupakan qarinah (indikasi) yang tegas atas wajibnya kelangsungan eksistensi Khalifah yang satu.
Sedangkan dalil berupa ijma’ sahabat, maka para sahabat –ridhwanaLlâh ‘alayhim– telah bersepakat atas keharusan pengangkatan Khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah, lalu Umar bin Khaththab sepeninggal Abu Bakar, dan sepeninggal Umar, Utsman bin Affan. Telah nampak jelas penegasan ijmak sahabat terhadap wajibnya pengangkatan Khalifah dari penundaan pengebumian jenazah Rasulullah saw, lalu mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah (pengganti) Beliau. Sementara mengebumikan jenazah setelah kematiannya adalah wajib.
Para sahabat adalah pihak yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw dan mengebumikannya, sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah, sementara sebagian yang lain diam saja atas hal itu dan mereka ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu mengebumikan jenazah Rasul saw. Rasul saw wafat pada waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan selama malam Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat.
Kemudian jenazah Rasul dikebumikan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah Rasul saw. Maka realita tersebut merupakan ijmak sahabat untuk lebih menyibukkkan diri mengangkat Khalifah dari pada mengebumikan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat Khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah.
Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak sepanjang kehidupan mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai Khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas wajibnya mengangkat Khalifah baik ketika Rasul saw wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat. Maka ijmak sahabat itu merupakan dalil yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat Khalifah. Wallahu’alam
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abi Hazim, ia berkata : ” aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Di dalam hadits-hadits ini terdapat sifat bagi Khalifah sebagai junnah yakni perisai. Sifat yang diberikan Rasul saw bahwa imam adalah perisai merupakan ikhbar (pemberitahuan) yang di dalamnya terdapat pujian atas eksistensi seorang imam.
Ini merupakan tuntutan. Karena pemberitahuan dari Allah dan Rasul saw, jika mengandung celaan merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan. Dan jika mengandung pujian maka merupakan tuntutan untuk melakukan. Dan jika aktivitas yang dituntut pelaksanaannya memiliki konsekuensi tegaknya hukum syara’, atau pengabaiannya memiliki konsekuensi terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan itu bersifat tegas.
Dalam hadits ini juga terdapat pemberitahuan bahwa orang yang mengurus kaum muslim adalah para Khalifah. Maka hadits ini merupakan tuntutan mengangkat Khalifah. Terlebih lagi, Rasul saw memerintahkan untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya dalam jabatan khilafahnya. Ini artinya perintah untuk mengangkat Khalifah dan menjaga keberlangsungan khilafahnya dengan cara memerangi semua orang yang hendak merebutnya. Imam Muslim telah meriwayatkan bahwa Rasul saw pernah bersabda :
وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Perintah mentaati imam merupakan perintah untuk mengangkatnya. Dan perintah memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya merupakan qarinah (indikasi) yang tegas atas wajibnya kelangsungan eksistensi Khalifah yang satu.
Sedangkan dalil berupa ijma’ sahabat, maka para sahabat –ridhwanaLlâh ‘alayhim– telah bersepakat atas keharusan pengangkatan Khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah, lalu Umar bin Khaththab sepeninggal Abu Bakar, dan sepeninggal Umar, Utsman bin Affan. Telah nampak jelas penegasan ijmak sahabat terhadap wajibnya pengangkatan Khalifah dari penundaan pengebumian jenazah Rasulullah saw, lalu mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah (pengganti) Beliau. Sementara mengebumikan jenazah setelah kematiannya adalah wajib.
Para sahabat adalah pihak yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw dan mengebumikannya, sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah, sementara sebagian yang lain diam saja atas hal itu dan mereka ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu mengebumikan jenazah Rasul saw. Rasul saw wafat pada waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan selama malam Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat.
Kemudian jenazah Rasul dikebumikan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah Rasul saw. Maka realita tersebut merupakan ijmak sahabat untuk lebih menyibukkkan diri mengangkat Khalifah dari pada mengebumikan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat Khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah.
Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak sepanjang kehidupan mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai Khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas wajibnya mengangkat Khalifah baik ketika Rasul saw wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat. Maka ijmak sahabat itu merupakan dalil yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat Khalifah. Wallahu’alam
by Rahmat Fadli
(Dari Berbagai Sumber)
Baca Juga :
Ulama-ulama Mazhab Mewajibakan Khilafah
Khilafah Ajaran ASWAJA (Ahlussunnah wal Jama'ah/Sunni), Demokrasi Bukan Ajaran Aswaja
Sunday, July 24, 2011
http://saidaneffendi-darussalam.blogspot.co.id/2011/07/penjelasan-tentang-hadis-12-khalifah.html
PENJELASAN TENTANG HADIS 12 KHALIFAH
Sebelum menjelaskan tentang kedudukan hadits dua belas khalifah, maka
kami jelaskan dahulu salah satu siasat kebiasaan syi'ah dalam
mempengaruhi kaum muslimin. Yang ini dilakukan mereka di dalam banyak
hal. Siasat dan kebiasaan itu adalah “Mengkhususkan suatu dalil (nash)
yang berbentuk umum”.
Penjelasannya : Merupakan satu kebiasaan bagi Syi‘ah untuk memaksa dalil-dalil umum dari Al Qur’an dan hadits agar ia khusus ditujukan kepada Ahlul Bait, radhiyallahu ‘anhum.
Contohnya jika kita mengkaji seluruh Al Qur’an, tidak ada satupun ayat yang secara khusus membicarakan hak kekhalifahan Ahlul Bait ke pada umat Islam ini. Demikian juga, tidak ada satupun hadits sahih yang menerangkan hak kepimpinan Ahlul Bait ke atas umat Islam.
Namun kita dapati Syi‘ah Rafidhoh mengemukakan berbagai ayat dan hadis untuk mengangkat diri mereka sebagai golongan yang benar dan hanya Ahlul Bait sebagai khalifah yang hak. Padahal ayat dan hadis yang mereka kemukakan semuanya berbentuk umum dan tidak khusus menunjuk kepada Ahlul Bait sebagai subjek khalifah.
Jawaban kita sebagai kaum muslimin kepada mereka syi'ah rafidhoh dalam hal ini adalah
“Setiap dalil hendaknya diambil berdasarkan bentuknya yang asal tidak disimpangkan, kecuali ada petunjuk lain yang mengubah bentuk asal tersebut”
dalam hal ini dalil yang umum tidaklah dikhususkan, karena jelas dalil-dalil Al Qur’an dan hadits yang shahih ada yang berbentuk umum dan khusus ada yang berbentuk mutlak, ada yang berbentuk membatas, ada yang berbentuk menetapkan, ada yang berbentuk menafikan, ada yang berbentuk doa, ada yang berbentuk anjuran, ada yang berbentuk peringatan, ada yang berbentuk isyarat dan lainnya. Semua bentuk-bentuk ini dapat dikenali daripada dzohir susunan lafadz dan perkataan yang digunakan di dalam lafadz.
Adakalanya wujud dua dalil yang membahas subjek yang sama, yang pertama berbentuk umum manakala yang kedua berbentuk khusus, maka dalil yang kedua berperanan mengkhususkan keumuman dalil yang pertama. Adakala wujud juga dua dalil yang membahas subjek yang sama, yang pertama berbentuk mutlak manakala yang kedua berbentuk membatas, maka dalil yang kedua berperanan membatasi kemutlakan dalil yang pertama. Di dalam kedua-dua keterangan di atas, peranan dalil yang kedua disebut sebagai “petunjuk lain yang mengubah bentuk asal tersebut” di mana yang asal itu adalah dalil yang pertama.
Dalil-dalil AlQur’an dan hadits yang shahih dengan segala bentuknya berasal daripada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Bentuk-bentuk yang dimiliki oleh setiap dalil AlQur’an dan sunnah memiliki peranan, tujuan dan hikmah yang tersendiri di dalam membentuk kesempurnaan syari‘at Islam. Allah tidak sekali-kali menciri-cirikan dalil tersebut dengan bentuk yang tertentu tanpa peranan apa-apa, tujuan dan hikmah didalamnya. Apabila Allah berfirman dengan ayat yang bersifat umum, berarti Allah memang menghendaki ia bersifat umum. Apabila Allah mengilhamkan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersabda dengan sesuatu yang bersifat memberi peringatan, berarti Allah memang mengkehendaki itu bersifat memberi peringatan. Demikianlah seterusnya bagi lain-lain bentuk dalil seperti mutlak, membatas, menetapkan, menafikan, doa, anjuran, isyarat dan berbagai lainnya lagi.
Justru seandainya Allah mengkehendaki hak kekhalifahan berada di tangan Ahlul Bait, khususnya ‘Ali bin Abi Thalib,dan keturunannya hanya dari pihak Husein saja seperti yang diyakini Syiah Rafidhoh Allah akan menurunkan dalil yang berbentuk khusus lagi tepat bagi menetapkan kekhalifahan mereka sehingga tidak timbul sesuatu yang samar, rancu atau salah faham. Ini sebagaimana tindakan Allah mengkhususkan kepimpinan kepada Nabi Daud ‘alaihi salam dan menetapkan kerajaannya:
Wahai Daud ! Sesungguhnya Kami telah menjadikanmu khalifah di bumi, maka jalankanlah hukum di antara manusia dengan (hukum syariat) yang benar (yang diwahyukan kepadamu). (QS. Shad 38:26)
Kemudian Allah secara khusus menetapkan Nabi Sulaiman ‘alaihi salam sebagai pewaris Nabi Daud ‘alaihi salam:
Dan Nabi Sulaiman mewarisi (pangkat kenabian dan kerajaan) Nabi Daud. (QS. An Naml 27:16)
Demikian juga, apabila Allah hendak menerangkan bahawa Muhammad adalah Rasul-Nya, Allah menerangkannya dengan jelas lagi tepat sebagaimana firman-Nya:
Muhammad ialah Rasul Allah (QS. Al Fath 48:29)
Hakikatnya kita tidak mendapati di dalam Al Qur’an ayat yang berbunyi seperti: “Wahai ‘Ali dan keturunanmu dari husein ! Sesungguhnya Kami telah menjadikan kalian khalifah di bumi ini…” atau: “ ‘Ali dan keluarganya mewarisi kepimpinan Rasulullah” atau: “ ‘Ali bin Abi Thalib ialah Khalifah Allah sesudah Muhammad.” atau apa-apa yang lain semisal dengan itu. Ini tidak lain menunjukkan bahwa Allah memang tidak berkehendak menetapkan kewajiban bahwa ‘Ali dan keturunannya harus sebagai khalifah umat Islam sesudah Rasulullah.
Di dalam Sunnah yang shahih, yang ada hanyalah beberapa hadits yang berbentuk doa, harapan, peringatan, anjuran dan nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Ahlul Bait beliau. Semua ini tiada yang berbentuk mengkhususkan dan menetapkan khalifah ke pada Ahlul Bait beliau. Maka di atas ketiadaan ini, Ahlussunnah tidak mengkhususkan dan menetapkan jabatan khalifah kepada Ahlul Bait karena setiap dalil hendaklah diambil berdasarkan bentuknya yang asal tidak disimpangkan, kecuali jika ada petunjuk lain yang mengubah bentuk tersebut.
Penjelasan tentang Hadits Dua Belas Khalifah
Selanjutnya marilah kita bahas penjelasan tentang hadits dua belas khalifah tersebut.
Saya kemukakan saja lafadz hadits yang biasanya dinukil oleh orang-orang syi'ah rafidhoh. Untuk membela pemikiran dua belas imamnya.
Lafadz hadits:
“Akan ada 12 khalifah” Berkata Jabir bin samurah (perawi hadis): “Dan kemudian beliau bersabda dengan kalimat yang tidak aku fahami. Ayahku berkata: “Semuanya dari orang Quraisy.” (HR Bukhari 329 dan Muslim 4477)
Derajat hadits dan penjelasannya :
Hadits ini shahih keduanya dikeluarkan oleh Imam Muslim dan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya. Adapun tentang posisi hadits ini ia masuk dalam kategori hadits yang berbentuk ramalan atau perkiraan nabi tentang masa yang akan datang yang memberikan motivasi dan harapan kepada kaum muslimin setelah beliau wafat. Salah satu motivasinya adalah bahwa Islam ini akan tetap tegak, dan orang yang menegakkan Islam itu diantaranya adalah dua belas khalifah tadi.
Yang dalam hal ini beliau sengaja tidak menyebut nama khalifah tersebut karena ini akan menghilangkan nilai motivasi hadis. Sengaja beliau hanya menyebut angka dua belas supaya umat senantiasa dimotivasi untuk memenuhi keseluruhan jumlah tersebut dari saat beliau wafat hingga saat Hari Kiamat.
Terdapat juga beberapa hadis yang lain yang semisal di mana beliau tidak menyebut nama atau waktu tempat. Diantaranya adalah
Hadits pertama:
“Sesungguhnya Allah akan mengutus bagi umat ini pada awal setiap seratus tahun seorang yang memperbaharui agamanya.” (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Imam Al Albani)
Perhatikan dengan jelas tidak disebut siapakah nama mujaddid pembaharu tersebut.
Hadits kedua:
“Masa kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun. Kemudian Allah mengangkatnya. Selepas itu datang masa kekhalifahan atas manhaj kenabian selama beberapa masa sehingga Allah mengangkatnya. Kemudian datang masa kerajaan (mulk) yang buruk selama beberapa masa, selanjutnya datang masa kerajaan menggigit selama beberapa masa, hingga waktu yang ditentukan Allah. Selepas itu akan berulang kekhalifahan atas manhaj kenabian. Kemudian Rasulullah diam.” (HR Ahmad dan At Thabrani, berkata Imam al Haitsmani, para perawi At Thabrani (tsiqah) terpercaya)
Perhatikan siapa nama dan tempat yang akan memerintah sebagai khalifah bermanhaj kenabian tidak disebut oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Hadits Ketiga :
“Perumpamaan umatku adalah umpama hujan, tidak diketahui apakah yang baik itu pada awalnya atau akhirnya.” (HR Bukhari)
Perhatikanlah tidak disebut dengan jelas kapan waktu masa kebaikan dan keburukan tersebut. Dalam hadits-hadits di atas, sengaja beliau Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. membiarkan ia “terbuka” supaya umat berusaha memenuhinya. Hadits tersebut berperan sebagai pemberi motivasi kepada sesiapa yang mau mencarinya.
Dari penjelasan diatas jelaslah sudah bahwa Nabi tidak menjelaskan siapa nama dua belas khalifah tersebut hanya dijelaskan bahwa mereka berasal dari Quraisy adapun namanya tidak dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Maka kembali ke kaidah yang disepakati ahlussunnah di awal:
“ Setiap dalil hendaknya diambil berdasarkan bentuknya yang asal tidak disimpangkan, kecuali ada petunjuk lain yang mengubah bentuk asal tersebut”
Memang ada tafsiran dari para Ulama Ahlussunnah bahwa dua belas khalifah tersebut yang jelas diantaranya memang berasal dari Quraisy dan memang menduduki posisi khalifah adalah Al Khulafaurrasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali radiyallahu anhuma. Namun keempat khalifah tersebut bukannya mutlak karena Nabi memang tidak pernah menyebut nama kedua belas khalifah tersebut. Kembali kepada kaidah
“ Setiap dalil hendaknya diambil berdasarkan bentuknya yang asal tidak disimpangkan, kecuali ada petunjuk lain yang mengubah bentuk asal tersebut”
Adapun Syi'ah Rafidhoh seperti kebiasaan di awal mereka memperalat dalil tersebut yang bersifat umum dan tidak menyebut nama para khalifah tersebut untuk mengkhususkannya kepada para Imam keturunan ahlul bait khususnya dari Husein saja. Yang Hal ini jelaslah kebathilannya.
Yang pertama mereka hanya dua orang saja yang memang pernah menjadi khalifah yaitu Ali dan Hasan radiyallahu anhuma. Sedangkan Husein radiyallahu anhu dan keturunannya tidak pernah menjadi khalifah dan memang Quraisy seperti yang disebutkan hadits tersebut.
Kemudian yang kedua, jelas dalam hadits tersebut tidak disebutkan nama-nama khalifah tersebut, tidak disebutkan pula bahwa mereka haruslah keturunan ahlul bait. Apalagi haruslah dari keturunan Husein bin Ali radiyallahu anhu, petunjuk dalam hadits itu hanyalah jumlahnya yang dua belas khalifah dan keturunan Quraisy.
Jadi dalam hal ini Ahlussunnah wal jama’ah tetap memegang kaidah :
“ Setiap dalil hendaknya diambil berdasarkan bentuknya yang asal tidak disimpangkan, kecuali ada petunjuk lain yang mengubah bentuk asal tersebut”
Tidak seperti syi'ah rafidhoh yang memperalat hadits dan ayat Al Qur’an untuk memenuhi hawa nafsunya. Maka benarlah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu, maka saya berkata “Jauhlah, jauhlah orang-orang yang telah merubah-rubah sepeninggalku“ (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al Fitan bab 1/6643) Imam Muslim dalam Al Fadlail bab 9/2291)
Maka setiap dalil Al Qur’an dan Sunnah yang shahih adalah sempurna dalam bentuknya yang asal sebagai kesempurnaan yang berasal daripada Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Seandainya Allah mengkehendaki Ali radiyallahu anhu langsung setelah nabi yang menjadi khalifah ataupun keturunan Husein radiyallahu anhu menjadi khalifah yang dua belas tersebut, Allah akan menetapkannya dengan dalil yang berbentuk khusus, jelas lagi tepat baik itu dari Al Qur’an dan Hadits yang shahih. Jelas Islam ini telah sempurna tidaklah mungkin Allah dan Rasulnya meninggalkan umat ini dalam kebingungan. Padahal Allah sendiri telah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3)
Dan amat tidaklah mungkin pula jika Ali Bin Abi Tholib radiyallahu anhu jika beliau memang ditunjuk langsung menjadi khalifah setelah Nabi beliau menyembunyikan dalil penunjukkan tersebut, ini secara tidak langsung berarti menuduh beliau (Ali) menyembunyikan ilmu, menuduh beliau (Ali) sebagai pengecut yang tidak mau menegakkan kebenaran jika dalil itu memang hak adanya. Begitu juga Hasan, Husein dan lainnya jika mereka mengetahui hal itu sebagaimana keyakinan kaum Syi'ah Rafidhoh.
Sungguh jawaban yang dusta, tidak ada bukti bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman (Radhiyallahu 'anhu) menghapuskan sunah Nabi shallallahu 'alaihi wassalam dan menggantikannya dengan ijtihad mereka. Sanggahan berikutnya insya Allah akan kami tuliskan dari Prof. Dr. Ash Shiddiqy Hasbi dalam bukunya "Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits" nanti kita akan tahu apakah Abu Bakar, Umar, dan Utsman (Radhiyallahu 'anhu) menghapuskan sunah Nabi shallallahu 'alaihi wassalam? Atas dasar apa Abu Bakar, Umar, dan Utsman (Radhiyallahu 'anhu) meninggalkan Ahlulbait dan memusuhi Imam ‘Ali Radhiyallahu 'anhu ? Apakah karena syi'ah merasa iri karena Imam ‘Ali Radhiyallahu 'anhu tidak di bai'at menggantikan kekhilafahan Rasulullah shallallahu 'alayhi wassalam? Atas dasar inikah syi'ah membenci dan menebar fitnah kepada tiga sahabat Nabi shallallahu a'laihi wassalam yang mulia tersebut dan khususnya kepada imam Mazhab yang empat?
Dengan adanya informasi ini saya semakin menjadi yakin bahwa anda adalah orang syi'ah Rawafidh yang tidak senang dipanggil Rafidhoh dan nampaknya anda lebih senang dengan sebutan Syi’ah. Siapapun anda wahai orang Syi’ah, apa agama yang anda anut ? Apa kitab suci yang anda bela dan anda ikuti ? Siapa rasul yang menjadi panutan anda dalam beribadah kepada Allah Ta’ala ? Saya ambilkan jalan pintas untuk anda. Saya katakan: "Agama anda adalah agama Syi’ah, agama yang anda anut dengan pilihan dan penuh suka cita. Kitab suci anda adalah lembaran-lembaran khurafat, sedangkan Rasul (utusan) anda adalah taghut yang menyeru kesesatan kepada anda dari belakang layar." Jika anda tidak mau mengakui bahwa agama anda bukan agama Islam yang difirmankan oleh Allah Ta’ala:
"Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran: 85)
Maka inilah buktinya bahwa agama anda adalah syi'ah.
Para pembaca sekalian, ketahuilah tidak ada nash secara langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam yang mewasiatkan Ali Radhiyallahu 'anhum sebagai khalifah pengganti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam, yang ada adalah beliau mengisyaratkan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai imam sholat pengganti beliau, karena pada saat itu diantara para sahabat hanya beliaulah yang paling bagus bacaannya. Kita lihat dalil-dalil yang menunjukkan akan adanya isyarat secara tidak langsung (bukan wasiat) dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang mengisyaratkan bahwa Abu Bakarlah yang lebih pantas menjadi khalifah sangat banyak. Isyarat-isyarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dipilih sebagai imam Shalat pengganti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Hadits-hadits yang menunjukkan diperintahkannya Abu Bakar untuk memimpin shalat menggantikan Rasulullah, shalallahu ‘alaihi wasallam sangat masyhur. Salah satu di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Musa radhiallahu ‘anhu berikut:
Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit parah beliau berkata: “Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami manusia”. Maka berkatalah Aisyah: “Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat perasa (mudah menangis). Bagaimana dia akan menggantikan kedudukanmu, dia tidak akan mampu untuk memimpin manusia”. Rasulullah berkata lagi: “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami manusia! Sesungguhnya kalian itu seperti saudara-saudaranya nabi Yusuf”. Abu Musa berkata: maka Abu Bakar pun mengimami shalat dalam keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. (HR. Bukhari Muslim)
2. Perintah untuk meneladani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Teladanilah dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar… (HR. Tirmidzi dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1233)
Syaikh Albani menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah Ibnul Yaman, Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar. Hadits ini juga dikeluarkan oleh banyak pakar-pakar ahlul hadits seperti Tirmidzi, Hakim, Ahmad, Ibnu Hibban, ath-Thahawi, al-Humaidi, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi ‘Ashim, Abu Nu’aim, Ibnu Asakir dan lain-lain. (Lihat Silsilah Ahadits ash-Shahihah, juz 3 hal. 234, hadits no. 1233)
3. Abu Bakar adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Disebutkan dalam suatu riwayat dari ‘Amr bin ‘Ash:
Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus Abu Bakar memimpin pasukan dalam perang dzatu tsalatsil. Aku mendatangi Rasulullah dan bertanya kepada beliau: “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Aisyah.” Aku berkata: “Dari kalangan laki-laki wahai Rasululah?” Beliau menjawab: “Ayahnya”. Aku berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Umar”. Kemudian beliau menyebutkan beberapa orang. (HR. Bukhari dalam Fadhailil A’mal, fathul Bari juz ke 7, hal. 18 dan Muslim dalam Fadhailus Shahabah juz ke-4 hal. 1856 no. 2384)
4. Abu Bakar dijadikan wakil menggantikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im, dia berkata:
Datang seorang wanita kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah menyuruhnya untuk datang kembali. Maka wanita itu mengatakan: “Bagaimana jika aku tidak mendapatimu?” –seakan-akan wanita itu memaksudkan jika telah meninggalnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab: “Jika engkau tidak mendapatiku, maka datangilah Abu Bakar”. (HR. Bukhari 2/419; Muslim, 7/110)
Hadits ini merupakan isyarat yang jelas dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang akan menggantikan dirinya sepeninggal beliau adalah Abu Bakar ash-Shidiq radhiallahu ‘anhu.
5. Rencana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menuliskan wasiat kepada Abu Bakar radhiallahu ‘anhu
Lebih tegas lagi ketika Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam sakit, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Aisyah untuk memanggil ayahnya, Abu Bakar, untuk diberikan wasiat kepadanya. Tetapi kemudian beliau mengatakan: “Allah dan kaum mukminin tidak akan ridla, kecuali Abu Bakar”. Lihatlah riwayat lengkapnya sebagai berikut:
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu?, ia berkata; berkata kepadaku Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Panggillah Abu Bakar Bakar, Ayahmu dan saudaramu, sehingga aku tulis satu tulisan (wasiat). Sungguh aku khawatir akan ada seseorang yang menginginkan (kepemimpinan –pent.), kemudian berkata: “Aku lebih utama”. Kemudian beliau bersabda: “Allah dan orang-orang beriman tidak meridlai, kecuali Abu Bakar”. (HR. Muslim 7/110 dan Ahmad (6/144); Lihat Ash-Sha-hihah, juz 2, hal. 304, hadits 690)
Dalam riwayat ini jelas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghendaki dengan isyaratnya beliau bahwasanya Abu Bakar radhiallahu ‘anhu lah yang lebih layak menjadi khalifah sepeninggalnya. Tetapi beliau tidak jadi menulis wasiatnya, karena beliau yakin kaum mukminin tidak akan berselisih terhadap penunjukkan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Dan hal ini terbukti, setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, kaum muslimin sepakat untuk menunjuk Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah.
6. Abu Bakar adalah orang terdekat dan kekasih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di atas mimbar, beliau bersabda: “Allah memberikan pilihan kepada seorang hamba antara diberi keindahan dunia atau apa yang ada di sisi-Nya. Maka hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi-Nya. Maka Abu Bakar pun menangis seraya berkata: bapak-bapak dan ibu-ibu kami sebagai tebusan wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Abu Sa’id berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itulah hamba yang diberi pilihan tersebut dan ternyata Abu Bakar adalah orang yang paling tahu di antara kami. Maka bersabdalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya manusia yang paling berjasa kepadaku dengan harta dan jiwanya adalah Abu Bakar. Kalau aku mengambil seorang kekasih, niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai khalil (kekasih), tetapi persaudaraan Islam lebih baik. Tidak tersisa masjid satu pintu pun, kecuali pintunya Abu Bakar. (HR. Bukhari dengan Fathul Bary, juz 7, hal. 359, hadits 3654; Muslim dengan Syarh Nawawi, juz 15 hal. 146, hadits 6120)
Al-Khullah adalah kecintaan yang paling tinggi. Para ulama menyatakan bahwa derajat khullah lebih tinggi dari tingkatan mahabbah. Oleh karena itu seorang yang disebut sebagai khalil, lebih tinggi kedudukannya daripada habib. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa Allah hanya mengambil dua orang manusia sebagai khalil, yaitu nabi Ibrahim dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan masalah mahabbah Allah sering menyebutkan dalam al-Qur’an, Allah mencintai orang-orang yang beriman, sabar, berjihad di jalan-Nya dan lain-lain.
Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyatakan kalau saja beliau menjadikan khalil, maka niscaya Abu Bakarlah orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar adalah orang yang terdekat dan paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengambil khalil dari kalangan manusia.
Dengan disebutkannya beberapa isyarat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam di atas cukuplah kiranya menjadi hujjah yang tegas bahwa Abubakar adalah seorang yang paling layak menjadi khalifah. Dan kekhalifahannya adalah sah, tidak ada yang menyelisihi kecuali orang-orang yang dalam hatinya adanya penyakit.
Namun perlu diketahui bahwa pendapat ahlus sunnah ini adalah pernyataan yang keluar dari hujjah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara ijma’, hal ini sama sekali tidak keluar dari kebencian kepada ahlul bait.
Adapun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan Ali radhiallahu ‘anhu untuk menjadi khalifah di Ghadir Khum adalah riwayat-riwayat palsu. Padahal ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau tidaklah memberikan wasiat berupa apapun dan kepada siapapun, kecuali dengan al-Qur’an. Mari kita simak dalil-dalilnya:
Diriwayatkan dalam dua kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Thalhah ibnu Musharif, bahwa dia bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa radhiallahu ‘anhu:
Aku bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa: “Apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan wasiat?” Beliau menjawab: “Tidak.” Maka saya katakan: “Kalau begitu bagaimana dia menuliskan buat manusia pesan-pesan atau memerintahkan wasiatnya?” Dia menjawab: “Beliau mewasiatkan dengan kitabullah ‘azza wajalla”. (HR. Bukhari; Fathul Bary 3/356, hadits 2340; dan Muslim dalam Kitabul Wasiat 3/1256, hadits 16).
Demikian pula diriwayatkan dari ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang beliau meninggal di pangkuannya, tentunya beliau lebih tahu apakah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan dirham; tidak pula dinar, tidak seekor kambing, tidak pula seekor unta dan tidak mewasiatkan dengan apa pun. (HR. Muslim, dalam Kitabul Wasiat, 3/256, hadits 18)
Dalam riwayat lainnya dari Aswad bin Yazid bahwa ia berkata:
Mereka menyebutkan di sisi Aisyah bahwa Ali adalah seorang yang mendapatkan wasiat. Maka beliau (Aisyah) berkata: “Kapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepadanya, padahal aku adalah sandaran beliau ketika beliau bersandar di dadaku -atau ia berkata: pangkuanku- kemudian beliau meminta segelas air. Tiba-tiba beliau terkulai di pangkuanku, dan aku tidak merasa kalau beliau ternyata sudah meninggal, maka kapan beliau berwasiat kepadanya?”. (HR. Bukhari dalam kitab al-Washaya, Fathul Bari 5/356, hadits 2471; Muslim dalam kitabul Washiyat, Bab Tarkul Wasiat liman laisa lahu Syaiun Yuushi bihi, 3/1257, no. 19)
Demikianlah, riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga mereka –para shahabat– seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah al-Qur’an.
Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yaitu Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara ahlul bait. Sebagian di antara mereka menyatakan cukup al-Qur’an, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang dalam keadaan sakit yang parah.
Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sallam menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
Sesungguhnya kerugian segala kerugian adalah terhalangnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menulis wasiat kepada mereka, karena adanya perselisihan dan silang pendapat di antara mereka. (HR. Bukhari dalam Kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabi; Fathul Bari, juz 8, hal. 132 no. hadits 4432; Muslim dalam Kitabul Wasiat, bab Tarkul Wasiat liman laisa lahu Syaiun Yuushi bihi, juz 3 hal. 1259, no. 22)
Dalam memandang kejadian ini, ahlus sunnah wal jama’ah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi kepada ahlu bait dan keluarga dekat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau yang lain merasa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, sehingga tidak perlu diganggu. Sedangkan kita sudah memiliki al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam –kata mereka. Yang dimaksud adalah ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelah-ya jika kalian berpegang teguh dengan-ya yaitu kitabullah (al-Al-Qur’an). (HR. Muslim)
Sebaliknya, kaum Syi’ah Rafidlah menjadikan riwayat ini sebagai ajang pencaci-makian terhadap para shahabat. Mereka menuduh perbuatan para shahabat itu untuk menghalangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan merebut tampuk kepemimpinan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan diberikannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
Ucapan mereka ini jelas batil dan penuh dengan kedustaan, karena pada waktu itu Abu Bakar sendiri tidak berada di sana. Beliau berada di daerah Sunh –di pinggiran kota Madinah– yaitu berada di rumah salah satu istrinya yang lain. Bahkan ucapan mereka ini justru mencerca dan mencela ahlul bait sendiri. Untuk itu mereka tidak pantas disebut pecinta ahlul bait. Lihatlah dalam riwayat yang lebih lengkap sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah baik”. Abbas bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau, demi Allah, setelah tiga hari ini akan memegang tongkat kepemimpinan. Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan wafat dalam sakitnya kali ini, karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muthalib ketika akan wafatnya. Marilah kita menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun diserahkan untuk selain kita, maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan memberikan wasiatnya”. Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak memberikannya kepada kita, maka tidak akan diberikan oleh manusia kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari, kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabiyyi wa wafatihi; fathlul bari 8/142, no. 4447)
Berkata Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi: “Tidakkah cukup nash ini untuk membantah Rafidlah yang mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan khilafah? Kedustaan mereka tampak jelas dengan hadits ini dari beberapa sisi:
1.
Penolakan Ali radhiallahu ‘anhu untuk meminta khilafah atau menanyakannya.
2.
Kejadian tersebut terjadi pada waktu wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam (yang membuktikan bahwa beliau tidak berwasiat apapun –pent.).
3.
Kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali radhiallahu ‘anhu tentu dia akan menjawab kepada Abbas: “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?”. (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidlah, Abu Nu’aim al-Asbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi dalam foot notenya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidlah bil Yahuudi, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili)
Dalam riwayat ini terlihat jelas sekali bahwasanya yang menolak untuk meminta wasiat kepada Nabi adalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri.
Masih banyak lagi riwayat-riwayat lainnya tentang kejadian ini, karena pada saat itu memang beberapa hadirin ikut berbicara sehingga suasana menjadi ramai dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan tidak memberikan wasiat apapun tentang khilafah kepada siapa pun.
Kemudian bagaimana mereka -kaum syi’ah tersebut— menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika beliau berada di Ghadir Khum. Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri, padahal mereka mengaku pecinta ahlul bait?!
Kalau mereka benar-benar cinta kepada ahlul bait dan mengaku pengikut setia ahlul bait khususnya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, maka dengarkanlah riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abu Thufail bahwa Ali radhiallahu ‘anhu ditanya: “Apakah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan sesuatu kepadamu? (yakni wasiat khusus, pent.). Maka beliau menjawab: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak menghususkan aku dengan sesuatu pun yang beliau tidak menyebarkannya kepada manusia, kecuali apa yang ada di sarung pedangku ini. Kemudian beliau mengeluarkan lembaran dari sarung pedangnya yang tertulis padanya: Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah… “ (HR. Muslim)
Sebab-sebab kehancuran masa kekhilafahan (yaitu kelompok yang menyelisihi sunnah) sudah ada semenjak kekhilafahan Utsman Radhiyallahu 'anhu. Mari kita tengok sejarahnya:
Disebutkan dalam atsar yang diriwayatkan Abdullah bin Umar oleh Al Hakim bahwa generasi umat dibagi menjadi dua:
1. Umat yang diberi keimanan terlebih dahulu, kemudian baru diberi Al Qur’an
2. Umat yang mengambil pelajaran Al Qur’an lebih dahulu sebelum didapatkan keimanan. Kemudian Atsar itu menyebutkan perilaku dari kedua kelompok generasi itu, dimana kelompok yang pertama terdiri dari para Salafushshaleh dan pembesar pembesar sahabat yang mengetahui yang diwajibkan dari yang dilarang dan alasannya; sementara kelompok yang kedua cuma pandai membaca Al Qur’an dengan lancar dan mengkhatamkannya dengan cepat tanpa tahu mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang serta batasan batasannya. Pada akhirnya kedua kelompok ini melahirkan manhaj yang berbeda, dan dari kelompok yang kedualah munculnya Al Firaq Al Bathilah (aliran-aliran yang sesat), di antaranya Al Khawarij.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam kitabnya Al Fatawa beliau berkata:
“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”
Kemudian hadits-hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits-hadits yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan dengan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah shallalahu 'alaihi wassalam. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah shallalahu 'alaihi wassalam menyuruh kita agar berhati hati terhadap firqah ini.
Penjelasannya : Merupakan satu kebiasaan bagi Syi‘ah untuk memaksa dalil-dalil umum dari Al Qur’an dan hadits agar ia khusus ditujukan kepada Ahlul Bait, radhiyallahu ‘anhum.
Contohnya jika kita mengkaji seluruh Al Qur’an, tidak ada satupun ayat yang secara khusus membicarakan hak kekhalifahan Ahlul Bait ke pada umat Islam ini. Demikian juga, tidak ada satupun hadits sahih yang menerangkan hak kepimpinan Ahlul Bait ke atas umat Islam.
Namun kita dapati Syi‘ah Rafidhoh mengemukakan berbagai ayat dan hadis untuk mengangkat diri mereka sebagai golongan yang benar dan hanya Ahlul Bait sebagai khalifah yang hak. Padahal ayat dan hadis yang mereka kemukakan semuanya berbentuk umum dan tidak khusus menunjuk kepada Ahlul Bait sebagai subjek khalifah.
Jawaban kita sebagai kaum muslimin kepada mereka syi'ah rafidhoh dalam hal ini adalah
“Setiap dalil hendaknya diambil berdasarkan bentuknya yang asal tidak disimpangkan, kecuali ada petunjuk lain yang mengubah bentuk asal tersebut”
dalam hal ini dalil yang umum tidaklah dikhususkan, karena jelas dalil-dalil Al Qur’an dan hadits yang shahih ada yang berbentuk umum dan khusus ada yang berbentuk mutlak, ada yang berbentuk membatas, ada yang berbentuk menetapkan, ada yang berbentuk menafikan, ada yang berbentuk doa, ada yang berbentuk anjuran, ada yang berbentuk peringatan, ada yang berbentuk isyarat dan lainnya. Semua bentuk-bentuk ini dapat dikenali daripada dzohir susunan lafadz dan perkataan yang digunakan di dalam lafadz.
Adakalanya wujud dua dalil yang membahas subjek yang sama, yang pertama berbentuk umum manakala yang kedua berbentuk khusus, maka dalil yang kedua berperanan mengkhususkan keumuman dalil yang pertama. Adakala wujud juga dua dalil yang membahas subjek yang sama, yang pertama berbentuk mutlak manakala yang kedua berbentuk membatas, maka dalil yang kedua berperanan membatasi kemutlakan dalil yang pertama. Di dalam kedua-dua keterangan di atas, peranan dalil yang kedua disebut sebagai “petunjuk lain yang mengubah bentuk asal tersebut” di mana yang asal itu adalah dalil yang pertama.
Dalil-dalil AlQur’an dan hadits yang shahih dengan segala bentuknya berasal daripada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Bentuk-bentuk yang dimiliki oleh setiap dalil AlQur’an dan sunnah memiliki peranan, tujuan dan hikmah yang tersendiri di dalam membentuk kesempurnaan syari‘at Islam. Allah tidak sekali-kali menciri-cirikan dalil tersebut dengan bentuk yang tertentu tanpa peranan apa-apa, tujuan dan hikmah didalamnya. Apabila Allah berfirman dengan ayat yang bersifat umum, berarti Allah memang menghendaki ia bersifat umum. Apabila Allah mengilhamkan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersabda dengan sesuatu yang bersifat memberi peringatan, berarti Allah memang mengkehendaki itu bersifat memberi peringatan. Demikianlah seterusnya bagi lain-lain bentuk dalil seperti mutlak, membatas, menetapkan, menafikan, doa, anjuran, isyarat dan berbagai lainnya lagi.
Justru seandainya Allah mengkehendaki hak kekhalifahan berada di tangan Ahlul Bait, khususnya ‘Ali bin Abi Thalib,dan keturunannya hanya dari pihak Husein saja seperti yang diyakini Syiah Rafidhoh Allah akan menurunkan dalil yang berbentuk khusus lagi tepat bagi menetapkan kekhalifahan mereka sehingga tidak timbul sesuatu yang samar, rancu atau salah faham. Ini sebagaimana tindakan Allah mengkhususkan kepimpinan kepada Nabi Daud ‘alaihi salam dan menetapkan kerajaannya:
Wahai Daud ! Sesungguhnya Kami telah menjadikanmu khalifah di bumi, maka jalankanlah hukum di antara manusia dengan (hukum syariat) yang benar (yang diwahyukan kepadamu). (QS. Shad 38:26)
Kemudian Allah secara khusus menetapkan Nabi Sulaiman ‘alaihi salam sebagai pewaris Nabi Daud ‘alaihi salam:
Dan Nabi Sulaiman mewarisi (pangkat kenabian dan kerajaan) Nabi Daud. (QS. An Naml 27:16)
Demikian juga, apabila Allah hendak menerangkan bahawa Muhammad adalah Rasul-Nya, Allah menerangkannya dengan jelas lagi tepat sebagaimana firman-Nya:
Muhammad ialah Rasul Allah (QS. Al Fath 48:29)
Hakikatnya kita tidak mendapati di dalam Al Qur’an ayat yang berbunyi seperti: “Wahai ‘Ali dan keturunanmu dari husein ! Sesungguhnya Kami telah menjadikan kalian khalifah di bumi ini…” atau: “ ‘Ali dan keluarganya mewarisi kepimpinan Rasulullah” atau: “ ‘Ali bin Abi Thalib ialah Khalifah Allah sesudah Muhammad.” atau apa-apa yang lain semisal dengan itu. Ini tidak lain menunjukkan bahwa Allah memang tidak berkehendak menetapkan kewajiban bahwa ‘Ali dan keturunannya harus sebagai khalifah umat Islam sesudah Rasulullah.
Di dalam Sunnah yang shahih, yang ada hanyalah beberapa hadits yang berbentuk doa, harapan, peringatan, anjuran dan nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Ahlul Bait beliau. Semua ini tiada yang berbentuk mengkhususkan dan menetapkan khalifah ke pada Ahlul Bait beliau. Maka di atas ketiadaan ini, Ahlussunnah tidak mengkhususkan dan menetapkan jabatan khalifah kepada Ahlul Bait karena setiap dalil hendaklah diambil berdasarkan bentuknya yang asal tidak disimpangkan, kecuali jika ada petunjuk lain yang mengubah bentuk tersebut.
Penjelasan tentang Hadits Dua Belas Khalifah
Selanjutnya marilah kita bahas penjelasan tentang hadits dua belas khalifah tersebut.
Saya kemukakan saja lafadz hadits yang biasanya dinukil oleh orang-orang syi'ah rafidhoh. Untuk membela pemikiran dua belas imamnya.
Lafadz hadits:
“Akan ada 12 khalifah” Berkata Jabir bin samurah (perawi hadis): “Dan kemudian beliau bersabda dengan kalimat yang tidak aku fahami. Ayahku berkata: “Semuanya dari orang Quraisy.” (HR Bukhari 329 dan Muslim 4477)
Derajat hadits dan penjelasannya :
Hadits ini shahih keduanya dikeluarkan oleh Imam Muslim dan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya. Adapun tentang posisi hadits ini ia masuk dalam kategori hadits yang berbentuk ramalan atau perkiraan nabi tentang masa yang akan datang yang memberikan motivasi dan harapan kepada kaum muslimin setelah beliau wafat. Salah satu motivasinya adalah bahwa Islam ini akan tetap tegak, dan orang yang menegakkan Islam itu diantaranya adalah dua belas khalifah tadi.
Yang dalam hal ini beliau sengaja tidak menyebut nama khalifah tersebut karena ini akan menghilangkan nilai motivasi hadis. Sengaja beliau hanya menyebut angka dua belas supaya umat senantiasa dimotivasi untuk memenuhi keseluruhan jumlah tersebut dari saat beliau wafat hingga saat Hari Kiamat.
Terdapat juga beberapa hadis yang lain yang semisal di mana beliau tidak menyebut nama atau waktu tempat. Diantaranya adalah
Hadits pertama:
“Sesungguhnya Allah akan mengutus bagi umat ini pada awal setiap seratus tahun seorang yang memperbaharui agamanya.” (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Imam Al Albani)
Perhatikan dengan jelas tidak disebut siapakah nama mujaddid pembaharu tersebut.
Hadits kedua:
“Masa kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun. Kemudian Allah mengangkatnya. Selepas itu datang masa kekhalifahan atas manhaj kenabian selama beberapa masa sehingga Allah mengangkatnya. Kemudian datang masa kerajaan (mulk) yang buruk selama beberapa masa, selanjutnya datang masa kerajaan menggigit selama beberapa masa, hingga waktu yang ditentukan Allah. Selepas itu akan berulang kekhalifahan atas manhaj kenabian. Kemudian Rasulullah diam.” (HR Ahmad dan At Thabrani, berkata Imam al Haitsmani, para perawi At Thabrani (tsiqah) terpercaya)
Perhatikan siapa nama dan tempat yang akan memerintah sebagai khalifah bermanhaj kenabian tidak disebut oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Hadits Ketiga :
“Perumpamaan umatku adalah umpama hujan, tidak diketahui apakah yang baik itu pada awalnya atau akhirnya.” (HR Bukhari)
Perhatikanlah tidak disebut dengan jelas kapan waktu masa kebaikan dan keburukan tersebut. Dalam hadits-hadits di atas, sengaja beliau Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. membiarkan ia “terbuka” supaya umat berusaha memenuhinya. Hadits tersebut berperan sebagai pemberi motivasi kepada sesiapa yang mau mencarinya.
Dari penjelasan diatas jelaslah sudah bahwa Nabi tidak menjelaskan siapa nama dua belas khalifah tersebut hanya dijelaskan bahwa mereka berasal dari Quraisy adapun namanya tidak dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Maka kembali ke kaidah yang disepakati ahlussunnah di awal:
“ Setiap dalil hendaknya diambil berdasarkan bentuknya yang asal tidak disimpangkan, kecuali ada petunjuk lain yang mengubah bentuk asal tersebut”
Memang ada tafsiran dari para Ulama Ahlussunnah bahwa dua belas khalifah tersebut yang jelas diantaranya memang berasal dari Quraisy dan memang menduduki posisi khalifah adalah Al Khulafaurrasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali radiyallahu anhuma. Namun keempat khalifah tersebut bukannya mutlak karena Nabi memang tidak pernah menyebut nama kedua belas khalifah tersebut. Kembali kepada kaidah
“ Setiap dalil hendaknya diambil berdasarkan bentuknya yang asal tidak disimpangkan, kecuali ada petunjuk lain yang mengubah bentuk asal tersebut”
Adapun Syi'ah Rafidhoh seperti kebiasaan di awal mereka memperalat dalil tersebut yang bersifat umum dan tidak menyebut nama para khalifah tersebut untuk mengkhususkannya kepada para Imam keturunan ahlul bait khususnya dari Husein saja. Yang Hal ini jelaslah kebathilannya.
Yang pertama mereka hanya dua orang saja yang memang pernah menjadi khalifah yaitu Ali dan Hasan radiyallahu anhuma. Sedangkan Husein radiyallahu anhu dan keturunannya tidak pernah menjadi khalifah dan memang Quraisy seperti yang disebutkan hadits tersebut.
Kemudian yang kedua, jelas dalam hadits tersebut tidak disebutkan nama-nama khalifah tersebut, tidak disebutkan pula bahwa mereka haruslah keturunan ahlul bait. Apalagi haruslah dari keturunan Husein bin Ali radiyallahu anhu, petunjuk dalam hadits itu hanyalah jumlahnya yang dua belas khalifah dan keturunan Quraisy.
Jadi dalam hal ini Ahlussunnah wal jama’ah tetap memegang kaidah :
“ Setiap dalil hendaknya diambil berdasarkan bentuknya yang asal tidak disimpangkan, kecuali ada petunjuk lain yang mengubah bentuk asal tersebut”
Tidak seperti syi'ah rafidhoh yang memperalat hadits dan ayat Al Qur’an untuk memenuhi hawa nafsunya. Maka benarlah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu, maka saya berkata “Jauhlah, jauhlah orang-orang yang telah merubah-rubah sepeninggalku“ (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al Fitan bab 1/6643) Imam Muslim dalam Al Fadlail bab 9/2291)
Maka setiap dalil Al Qur’an dan Sunnah yang shahih adalah sempurna dalam bentuknya yang asal sebagai kesempurnaan yang berasal daripada Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Seandainya Allah mengkehendaki Ali radiyallahu anhu langsung setelah nabi yang menjadi khalifah ataupun keturunan Husein radiyallahu anhu menjadi khalifah yang dua belas tersebut, Allah akan menetapkannya dengan dalil yang berbentuk khusus, jelas lagi tepat baik itu dari Al Qur’an dan Hadits yang shahih. Jelas Islam ini telah sempurna tidaklah mungkin Allah dan Rasulnya meninggalkan umat ini dalam kebingungan. Padahal Allah sendiri telah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3)
Dan amat tidaklah mungkin pula jika Ali Bin Abi Tholib radiyallahu anhu jika beliau memang ditunjuk langsung menjadi khalifah setelah Nabi beliau menyembunyikan dalil penunjukkan tersebut, ini secara tidak langsung berarti menuduh beliau (Ali) menyembunyikan ilmu, menuduh beliau (Ali) sebagai pengecut yang tidak mau menegakkan kebenaran jika dalil itu memang hak adanya. Begitu juga Hasan, Husein dan lainnya jika mereka mengetahui hal itu sebagaimana keyakinan kaum Syi'ah Rafidhoh.
Sungguh jawaban yang dusta, tidak ada bukti bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman (Radhiyallahu 'anhu) menghapuskan sunah Nabi shallallahu 'alaihi wassalam dan menggantikannya dengan ijtihad mereka. Sanggahan berikutnya insya Allah akan kami tuliskan dari Prof. Dr. Ash Shiddiqy Hasbi dalam bukunya "Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits" nanti kita akan tahu apakah Abu Bakar, Umar, dan Utsman (Radhiyallahu 'anhu) menghapuskan sunah Nabi shallallahu 'alaihi wassalam? Atas dasar apa Abu Bakar, Umar, dan Utsman (Radhiyallahu 'anhu) meninggalkan Ahlulbait dan memusuhi Imam ‘Ali Radhiyallahu 'anhu ? Apakah karena syi'ah merasa iri karena Imam ‘Ali Radhiyallahu 'anhu tidak di bai'at menggantikan kekhilafahan Rasulullah shallallahu 'alayhi wassalam? Atas dasar inikah syi'ah membenci dan menebar fitnah kepada tiga sahabat Nabi shallallahu a'laihi wassalam yang mulia tersebut dan khususnya kepada imam Mazhab yang empat?
Dengan adanya informasi ini saya semakin menjadi yakin bahwa anda adalah orang syi'ah Rawafidh yang tidak senang dipanggil Rafidhoh dan nampaknya anda lebih senang dengan sebutan Syi’ah. Siapapun anda wahai orang Syi’ah, apa agama yang anda anut ? Apa kitab suci yang anda bela dan anda ikuti ? Siapa rasul yang menjadi panutan anda dalam beribadah kepada Allah Ta’ala ? Saya ambilkan jalan pintas untuk anda. Saya katakan: "Agama anda adalah agama Syi’ah, agama yang anda anut dengan pilihan dan penuh suka cita. Kitab suci anda adalah lembaran-lembaran khurafat, sedangkan Rasul (utusan) anda adalah taghut yang menyeru kesesatan kepada anda dari belakang layar." Jika anda tidak mau mengakui bahwa agama anda bukan agama Islam yang difirmankan oleh Allah Ta’ala:
"Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran: 85)
Maka inilah buktinya bahwa agama anda adalah syi'ah.
Para pembaca sekalian, ketahuilah tidak ada nash secara langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam yang mewasiatkan Ali Radhiyallahu 'anhum sebagai khalifah pengganti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam, yang ada adalah beliau mengisyaratkan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai imam sholat pengganti beliau, karena pada saat itu diantara para sahabat hanya beliaulah yang paling bagus bacaannya. Kita lihat dalil-dalil yang menunjukkan akan adanya isyarat secara tidak langsung (bukan wasiat) dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang mengisyaratkan bahwa Abu Bakarlah yang lebih pantas menjadi khalifah sangat banyak. Isyarat-isyarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dipilih sebagai imam Shalat pengganti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Hadits-hadits yang menunjukkan diperintahkannya Abu Bakar untuk memimpin shalat menggantikan Rasulullah, shalallahu ‘alaihi wasallam sangat masyhur. Salah satu di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Musa radhiallahu ‘anhu berikut:
Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit parah beliau berkata: “Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami manusia”. Maka berkatalah Aisyah: “Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat perasa (mudah menangis). Bagaimana dia akan menggantikan kedudukanmu, dia tidak akan mampu untuk memimpin manusia”. Rasulullah berkata lagi: “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami manusia! Sesungguhnya kalian itu seperti saudara-saudaranya nabi Yusuf”. Abu Musa berkata: maka Abu Bakar pun mengimami shalat dalam keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. (HR. Bukhari Muslim)
2. Perintah untuk meneladani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Teladanilah dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar… (HR. Tirmidzi dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1233)
Syaikh Albani menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah Ibnul Yaman, Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar. Hadits ini juga dikeluarkan oleh banyak pakar-pakar ahlul hadits seperti Tirmidzi, Hakim, Ahmad, Ibnu Hibban, ath-Thahawi, al-Humaidi, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi ‘Ashim, Abu Nu’aim, Ibnu Asakir dan lain-lain. (Lihat Silsilah Ahadits ash-Shahihah, juz 3 hal. 234, hadits no. 1233)
3. Abu Bakar adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Disebutkan dalam suatu riwayat dari ‘Amr bin ‘Ash:
Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus Abu Bakar memimpin pasukan dalam perang dzatu tsalatsil. Aku mendatangi Rasulullah dan bertanya kepada beliau: “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Aisyah.” Aku berkata: “Dari kalangan laki-laki wahai Rasululah?” Beliau menjawab: “Ayahnya”. Aku berkata: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Umar”. Kemudian beliau menyebutkan beberapa orang. (HR. Bukhari dalam Fadhailil A’mal, fathul Bari juz ke 7, hal. 18 dan Muslim dalam Fadhailus Shahabah juz ke-4 hal. 1856 no. 2384)
4. Abu Bakar dijadikan wakil menggantikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im, dia berkata:
Datang seorang wanita kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah menyuruhnya untuk datang kembali. Maka wanita itu mengatakan: “Bagaimana jika aku tidak mendapatimu?” –seakan-akan wanita itu memaksudkan jika telah meninggalnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab: “Jika engkau tidak mendapatiku, maka datangilah Abu Bakar”. (HR. Bukhari 2/419; Muslim, 7/110)
Hadits ini merupakan isyarat yang jelas dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang akan menggantikan dirinya sepeninggal beliau adalah Abu Bakar ash-Shidiq radhiallahu ‘anhu.
5. Rencana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menuliskan wasiat kepada Abu Bakar radhiallahu ‘anhu
Lebih tegas lagi ketika Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam sakit, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Aisyah untuk memanggil ayahnya, Abu Bakar, untuk diberikan wasiat kepadanya. Tetapi kemudian beliau mengatakan: “Allah dan kaum mukminin tidak akan ridla, kecuali Abu Bakar”. Lihatlah riwayat lengkapnya sebagai berikut:
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu?, ia berkata; berkata kepadaku Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Panggillah Abu Bakar Bakar, Ayahmu dan saudaramu, sehingga aku tulis satu tulisan (wasiat). Sungguh aku khawatir akan ada seseorang yang menginginkan (kepemimpinan –pent.), kemudian berkata: “Aku lebih utama”. Kemudian beliau bersabda: “Allah dan orang-orang beriman tidak meridlai, kecuali Abu Bakar”. (HR. Muslim 7/110 dan Ahmad (6/144); Lihat Ash-Sha-hihah, juz 2, hal. 304, hadits 690)
Dalam riwayat ini jelas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menghendaki dengan isyaratnya beliau bahwasanya Abu Bakar radhiallahu ‘anhu lah yang lebih layak menjadi khalifah sepeninggalnya. Tetapi beliau tidak jadi menulis wasiatnya, karena beliau yakin kaum mukminin tidak akan berselisih terhadap penunjukkan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Dan hal ini terbukti, setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, kaum muslimin sepakat untuk menunjuk Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah.
6. Abu Bakar adalah orang terdekat dan kekasih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
Dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di atas mimbar, beliau bersabda: “Allah memberikan pilihan kepada seorang hamba antara diberi keindahan dunia atau apa yang ada di sisi-Nya. Maka hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi-Nya. Maka Abu Bakar pun menangis seraya berkata: bapak-bapak dan ibu-ibu kami sebagai tebusan wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Abu Sa’id berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itulah hamba yang diberi pilihan tersebut dan ternyata Abu Bakar adalah orang yang paling tahu di antara kami. Maka bersabdalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya manusia yang paling berjasa kepadaku dengan harta dan jiwanya adalah Abu Bakar. Kalau aku mengambil seorang kekasih, niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai khalil (kekasih), tetapi persaudaraan Islam lebih baik. Tidak tersisa masjid satu pintu pun, kecuali pintunya Abu Bakar. (HR. Bukhari dengan Fathul Bary, juz 7, hal. 359, hadits 3654; Muslim dengan Syarh Nawawi, juz 15 hal. 146, hadits 6120)
Al-Khullah adalah kecintaan yang paling tinggi. Para ulama menyatakan bahwa derajat khullah lebih tinggi dari tingkatan mahabbah. Oleh karena itu seorang yang disebut sebagai khalil, lebih tinggi kedudukannya daripada habib. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa Allah hanya mengambil dua orang manusia sebagai khalil, yaitu nabi Ibrahim dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan masalah mahabbah Allah sering menyebutkan dalam al-Qur’an, Allah mencintai orang-orang yang beriman, sabar, berjihad di jalan-Nya dan lain-lain.
Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyatakan kalau saja beliau menjadikan khalil, maka niscaya Abu Bakarlah orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar adalah orang yang terdekat dan paling dicintai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengambil khalil dari kalangan manusia.
Dengan disebutkannya beberapa isyarat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam di atas cukuplah kiranya menjadi hujjah yang tegas bahwa Abubakar adalah seorang yang paling layak menjadi khalifah. Dan kekhalifahannya adalah sah, tidak ada yang menyelisihi kecuali orang-orang yang dalam hatinya adanya penyakit.
Namun perlu diketahui bahwa pendapat ahlus sunnah ini adalah pernyataan yang keluar dari hujjah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara ijma’, hal ini sama sekali tidak keluar dari kebencian kepada ahlul bait.
Adapun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan Ali radhiallahu ‘anhu untuk menjadi khalifah di Ghadir Khum adalah riwayat-riwayat palsu. Padahal ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau tidaklah memberikan wasiat berupa apapun dan kepada siapapun, kecuali dengan al-Qur’an. Mari kita simak dalil-dalilnya:
Diriwayatkan dalam dua kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Thalhah ibnu Musharif, bahwa dia bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa radhiallahu ‘anhu:
Aku bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa: “Apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan wasiat?” Beliau menjawab: “Tidak.” Maka saya katakan: “Kalau begitu bagaimana dia menuliskan buat manusia pesan-pesan atau memerintahkan wasiatnya?” Dia menjawab: “Beliau mewasiatkan dengan kitabullah ‘azza wajalla”. (HR. Bukhari; Fathul Bary 3/356, hadits 2340; dan Muslim dalam Kitabul Wasiat 3/1256, hadits 16).
Demikian pula diriwayatkan dari ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang beliau meninggal di pangkuannya, tentunya beliau lebih tahu apakah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan dirham; tidak pula dinar, tidak seekor kambing, tidak pula seekor unta dan tidak mewasiatkan dengan apa pun. (HR. Muslim, dalam Kitabul Wasiat, 3/256, hadits 18)
Dalam riwayat lainnya dari Aswad bin Yazid bahwa ia berkata:
Mereka menyebutkan di sisi Aisyah bahwa Ali adalah seorang yang mendapatkan wasiat. Maka beliau (Aisyah) berkata: “Kapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepadanya, padahal aku adalah sandaran beliau ketika beliau bersandar di dadaku -atau ia berkata: pangkuanku- kemudian beliau meminta segelas air. Tiba-tiba beliau terkulai di pangkuanku, dan aku tidak merasa kalau beliau ternyata sudah meninggal, maka kapan beliau berwasiat kepadanya?”. (HR. Bukhari dalam kitab al-Washaya, Fathul Bari 5/356, hadits 2471; Muslim dalam kitabul Washiyat, Bab Tarkul Wasiat liman laisa lahu Syaiun Yuushi bihi, 3/1257, no. 19)
Demikianlah, riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga mereka –para shahabat– seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah al-Qur’an.
Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yaitu Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara ahlul bait. Sebagian di antara mereka menyatakan cukup al-Qur’an, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang dalam keadaan sakit yang parah.
Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sallam menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
Sesungguhnya kerugian segala kerugian adalah terhalangnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menulis wasiat kepada mereka, karena adanya perselisihan dan silang pendapat di antara mereka. (HR. Bukhari dalam Kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabi; Fathul Bari, juz 8, hal. 132 no. hadits 4432; Muslim dalam Kitabul Wasiat, bab Tarkul Wasiat liman laisa lahu Syaiun Yuushi bihi, juz 3 hal. 1259, no. 22)
Dalam memandang kejadian ini, ahlus sunnah wal jama’ah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi kepada ahlu bait dan keluarga dekat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau yang lain merasa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, sehingga tidak perlu diganggu. Sedangkan kita sudah memiliki al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam –kata mereka. Yang dimaksud adalah ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelah-ya jika kalian berpegang teguh dengan-ya yaitu kitabullah (al-Al-Qur’an). (HR. Muslim)
Sebaliknya, kaum Syi’ah Rafidlah menjadikan riwayat ini sebagai ajang pencaci-makian terhadap para shahabat. Mereka menuduh perbuatan para shahabat itu untuk menghalangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan merebut tampuk kepemimpinan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan diberikannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
Ucapan mereka ini jelas batil dan penuh dengan kedustaan, karena pada waktu itu Abu Bakar sendiri tidak berada di sana. Beliau berada di daerah Sunh –di pinggiran kota Madinah– yaitu berada di rumah salah satu istrinya yang lain. Bahkan ucapan mereka ini justru mencerca dan mencela ahlul bait sendiri. Untuk itu mereka tidak pantas disebut pecinta ahlul bait. Lihatlah dalam riwayat yang lebih lengkap sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah baik”. Abbas bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau, demi Allah, setelah tiga hari ini akan memegang tongkat kepemimpinan. Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan wafat dalam sakitnya kali ini, karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muthalib ketika akan wafatnya. Marilah kita menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun diserahkan untuk selain kita, maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan memberikan wasiatnya”. Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak memberikannya kepada kita, maka tidak akan diberikan oleh manusia kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari, kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabiyyi wa wafatihi; fathlul bari 8/142, no. 4447)
Berkata Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi: “Tidakkah cukup nash ini untuk membantah Rafidlah yang mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan khilafah? Kedustaan mereka tampak jelas dengan hadits ini dari beberapa sisi:
1.
Penolakan Ali radhiallahu ‘anhu untuk meminta khilafah atau menanyakannya.
2.
Kejadian tersebut terjadi pada waktu wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam (yang membuktikan bahwa beliau tidak berwasiat apapun –pent.).
3.
Kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali radhiallahu ‘anhu tentu dia akan menjawab kepada Abbas: “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?”. (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidlah, Abu Nu’aim al-Asbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi dalam foot notenya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidlah bil Yahuudi, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili)
Dalam riwayat ini terlihat jelas sekali bahwasanya yang menolak untuk meminta wasiat kepada Nabi adalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri.
Masih banyak lagi riwayat-riwayat lainnya tentang kejadian ini, karena pada saat itu memang beberapa hadirin ikut berbicara sehingga suasana menjadi ramai dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan tidak memberikan wasiat apapun tentang khilafah kepada siapa pun.
Kemudian bagaimana mereka -kaum syi’ah tersebut— menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika beliau berada di Ghadir Khum. Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri, padahal mereka mengaku pecinta ahlul bait?!
Kalau mereka benar-benar cinta kepada ahlul bait dan mengaku pengikut setia ahlul bait khususnya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, maka dengarkanlah riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abu Thufail bahwa Ali radhiallahu ‘anhu ditanya: “Apakah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan sesuatu kepadamu? (yakni wasiat khusus, pent.). Maka beliau menjawab: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak menghususkan aku dengan sesuatu pun yang beliau tidak menyebarkannya kepada manusia, kecuali apa yang ada di sarung pedangku ini. Kemudian beliau mengeluarkan lembaran dari sarung pedangnya yang tertulis padanya: Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah… “ (HR. Muslim)
Sebab-sebab kehancuran masa kekhilafahan (yaitu kelompok yang menyelisihi sunnah) sudah ada semenjak kekhilafahan Utsman Radhiyallahu 'anhu. Mari kita tengok sejarahnya:
Disebutkan dalam atsar yang diriwayatkan Abdullah bin Umar oleh Al Hakim bahwa generasi umat dibagi menjadi dua:
1. Umat yang diberi keimanan terlebih dahulu, kemudian baru diberi Al Qur’an
2. Umat yang mengambil pelajaran Al Qur’an lebih dahulu sebelum didapatkan keimanan. Kemudian Atsar itu menyebutkan perilaku dari kedua kelompok generasi itu, dimana kelompok yang pertama terdiri dari para Salafushshaleh dan pembesar pembesar sahabat yang mengetahui yang diwajibkan dari yang dilarang dan alasannya; sementara kelompok yang kedua cuma pandai membaca Al Qur’an dengan lancar dan mengkhatamkannya dengan cepat tanpa tahu mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang serta batasan batasannya. Pada akhirnya kedua kelompok ini melahirkan manhaj yang berbeda, dan dari kelompok yang kedualah munculnya Al Firaq Al Bathilah (aliran-aliran yang sesat), di antaranya Al Khawarij.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam kitabnya Al Fatawa beliau berkata:
“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”
Kemudian hadits-hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits-hadits yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan dengan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah shallalahu 'alaihi wassalam. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah shallalahu 'alaihi wassalam menyuruh kita agar berhati hati terhadap firqah ini.
Kami jelaskan dulu tentang khawarij.
Fakta munculnya Khawarij bukanlah pada masa Ali Radhiyallahu 'anhu
sebagaimana sebagian para ahli sejarah menyebutkan, tapi sudah muncul
pada masa Utsman Radhiyallahu 'anhu baik secara ajaran maupun dalam
bentuk aksi nyata. Buku sejarah banyak menyebutkan ini seperti buku
sejarahnya Imam At Thabari dan Ibnu Katsir. Dalam buku tersebut orang
yang memberontak kepada Utsman Radhiyallahu 'anhu disebut Khawarij. Hal
ini dikuatkan oleh fakta sejarah berikutnya dimana mereka berhasil
membunuh Utsman Radhiyallahu 'anhu Kemudian umat Islam membai’at Ali
Radhiyallahu 'anhu termasuk sebagian besar orang-orang yang telah
membunuh Utsman Radhiyallahu 'anhu Sementara itu Zubair bin Awwam,
Abdurrahman bin Auf, Aisyah, dan sahabat yang lain keluar dan menuntut
pembelaan terhadap Utsman Radhiyallahu 'anhu, Ali Radhiyallahu 'anhu
berkata, “Saya setuju dengan pendapat Anda, tapi mereka sangat banyak
dan bercampur dalam pasukan kami.” Ali Radhiyallahu 'anhu menghendak
masalah Khalifah diselesaikan dahulu baru menyelesaikan orang orang yang
membunuh Utsman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar