Efek Pembebasan Aleppo Bagi NATO, AS dan Sekutunya Menurut Analisa Helmi Aditya
VOA-ISLAMNEWS.COM, JAKARTA – Analisa yang cukup
menarik yang dipaparkan oleh pengamat muda Timur Tengah Helmi Aditya
dalam akun facebooknya membongkar apa efek pembebasan Aleppo bagi NATO,
AS dan Sekutunya, berikut tulisannya:
Mau tahu betapa masifnya efek pembebasan Aleppo bagi AS, NATO dan Sekutunya?
Bersiaplah untuk gelombang propaganda fitnah, bejibun ‘last call’
yang berceloteh tanpa bukti, yang bahkan tidak bisa diverifikasi apakah
pemerannya warga Aleppo atau bukan. Ambil contoh Bilal Abdul Kareem,
yang lahir dan tumbuh besar di AS.
Beragam sumber anonim akan menghiasi berita-berita, membeberkan kesaksian tanpa bukti tentang bagaimana tentara Syria mengeksekusi warga sipil, dan bahkan memperkosa mereka. Beragam headline akan mengudara, menyelipkan kata ‘diduga’ dalam setiap tuduhan yang konsisten, mempermainkan persepsi publik. Beragam gambar pembantaian akan di daur ulang, dengan mengambil caption ‘Aleppo’.
Jumlah 250.000 warga sipil yang dinyatakan terjebak di Aleppo timur
oleh Media Mainstream (MSM), dari dulu ditanggapi Syria dengan serius.
Dan dengan modal itu pula lah, kehati-hatian dalam operasi militer
menyebabkan proses pembebasan Aleppo berjalan begitu lama.
Namun, lagi-lagi, saya harus bersimpati pada SAA dan koalisinya.
Distrik demi distrik mereka bebaskan dengan bertaruh nyawa, dan kini,
terhitung hanya 80.000+ sipil yang berhasil dievakuasi dari Aleppo
timur. Bahkan setelah mereka membolak-balik gedung demi gedung kosong
yang hancur, setiap lubang basemen dan got-got yang tertutup reruntuhan.
Kemana yang lain?
Itulah masalahnya. Sekarang terungkap bahwa teroris dan rekannya di
korporasi media telah menyiapkan angka ini untuk memainkan opini publik
pasca pembebasan Aleppo.
Kini, negara pendukung ‘mujahidin’ seperti AS dan Uni Eropa, mulai
menghembuskan propaganda bahwa Assad, membunuh 170.000 penduduk yang
lain dalam pembebasan Aleppo.
170.000. Let that sink in.
Bagaimana menyembunyikan mayat dan kejahatan dalam skala sebesar itu di area yang hanya seluas 60 km persegi?
Does it even make sense?
Dulu, reporter dan jurnalis media umum tak ada yang berani memasuki
Aleppo timur, karena tiadanya jaminan bahwa ‘pemberontak’ tak akan
menculik atau membunuh mereka.
Kini, Aleppo sepenuhnya terbebas, dan media dari beragam negara
dengan leluasa wira-wiri meliput. Dimanakah 170.000 warga sipil, atau
puluhan bahkan ratusan anak-istri teroris yang dibunuh tentara Syria?
Manusia yang berakal sehat pasti menolaknya. Namun corong propaganda
teroris takkan bergeming untuk sementara waktu, dan akan berusaha
menggodok isu murahan ini demi menyudutkan Assad, dan jika mungkin,
mendorong intervensi militer secara terbuka.
Ban Ki Moon, pimpinan PBB yang berulangkali menghalangi bantuan Rusia
yang ditujukan ke Aleppo, kini berusaha meningkatkan agitasi dunia
berdasar klaim pembantaian tanpa bukti.
Padahal, baru tiga tahun yang lalu PBB mengakui bahwa serangan gas
Sarin yang terjadi di Ghouta, berasal dari wilayah yang dikuasai
‘pemberontak’, namun MSM masih saja memikul hal ini sebagai salah satu
‘kejahatan’ Assad.
Quick trivia: Serangan gas Sarin di Ghouta terjadi persis saat pemeriksa senjata kimia dari PBB mendarat di Damaskus.
Dan biarkan saya mengingatkan kita tentang sesuatu. There is no WMD in Iraq, hingga detik ini.
Namun, mesin-mesin propaganda sudah dihidupkan, roda-roda berita
sudah digenjot. Kalah di perang sesungguhnya, AS dan sekutunya mencoba
mempertahankan Aleppo melalui permainan media.
Ada beberapa hal sederhana yang bisa dipahami dalam jurnalisme.
Mengapa MSM menggunakan istilah ‘Fall of Aleppo’ atau Jatuhnya Aleppo?
Aleppo adalah bagian dari pemerintahan Syria yang sah, dan suka atau
tidak, Syria telah merebutnya kembali. Lalu mengapa menggunakan istilah
‘Fall’, ketimbang ‘Recapture’, misalnya, seperti yang mereka gunakan di
Palmyra?
Saat Jerman kalah pada PD II, pemerintahnya menyebut peristiwa itu
dengan ‘Fall of Berlin’. Istilah ‘Fall’ selalu datang dari pemerintah
yang sah, bukan pemberontak atau kubu oposisi (dalam hal ini Sekutu).
Have you find the dots?
Bahkan Perancis, negeri ‘Je Suis everything’, menanggapi bebasnya
Aleppo dari pemberontak dan teroris bayaran -teroris yang sama yang
membunuh warganya sendiri- dengan mematikan lampu di menara Eiffel.
Seharusnya ini menjadi perlambang dan pengingat yang sempurna bagi kita.
Tadi malam, menara Eiffel sama hitamnya seperti hati pemimpin dan sekutunya, dan sama hitamnya seperti bendera Daesh. (VOAI)
Sumber: Salafynews.com
Putin Ancam AS dan “Jihadis” Aleppo, Tinggalkan Kota atau Mati Sebagai Teroris”
By
Posted on
Selasa, 06 Desember 2016,
SALAFYNEWS.COM, MOSKOW –
Rusia memberikan ultimatum kepada AS dan “Jihadis” di Aleppo untuk
segera menarik diri dari kota atau dianggap teroris. (Baca: HEBOH! Putin Akan Kunjungi Damaskus dan Pidato di Aleppo)
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov
telah memberitahukan dengan jelas istilah Rusia kepada AS dan Jihadis di
Aleppo timur: mereka semua harus meninggalkan kota tetap pada
tanggalnya atau diperlakukan sebagai teroris.
“Kelompok-kelompok yang menolak untuk meninggalkan Aleppo Timur akan diperlakukan sebagai teroris. Dengan menolak untuk keluar dari Aleppo timur mereka sebenarnya akan melanjutkan perjuangan bersenjata. Kami akan memperlakukan mereka sebagai teroris dan ekstrimis, serta mendukung tentara Suriah dalam operasi terhadap gerombolan bersenjata tersebut.
Kami menolak asumsi dari Amerika, ketika
mereka mengajukan inisiatif mereka untuk membiarkan semua militan
meninggalkan Aleppo timur, kami sangat menyadari langkah-langkah apa
yang akan diambil oleh mereka dan sekutu untuk mempengaruhi militan
kembali bercokol di kota yang diperangi.”
Oleh karena itu satu-satunya subjek
diskusi antara Amerika dan Rusia adalah waktu dan rute mana yang dipilih
oleh Jihadis untuk meninggalkan kota.
Lavrov menunjukkan bahwa proposal
gencatan senjata sedang diperdebatkan di Dewan Keamanan PBB yang akan
memberlakukan 7 hari gencatan senjata, sementara Rusia menginginkan
semua Jihadis untuk tinggalkan Aleppo Timur dalam periode yang lebih
pendek. (SFA)
HEBOH! Putin Akan Kunjungi Damaskus dan Pidato di Aleppo
By
Posted on
Jum’at, 02 Desember 2016,
SALAFYNEWS.COM, MOSKOW –
Rusia akan mengirimkan 7 pesawat termasuk pesawat-pesawat terbesar di
dunia yakni “Antonov 12” yang akan mengangkut peralatan-peralatan,
pesawat ini tidak dimiliki negara lain kecuali AS dan Rusia, bahkan
China, Perancis dan negara-negara Eropa tidak memilikinya. Dikabarkan
bahwa presiden Rusia Vladimir Putin akan melakukan kunjungan ke Damaskus
dan Aleppo dalam rangka kegiatan keamanan, tidak ada satupun yang
mengetahui pesawat apa yang akan digunakan Putin, sementara itu pesawat
Antonov akan mengangkut semua peralatan perlindungan untuk presiden
Putin. (Baca: Vladimir Putin: Seluruh Umat Beragama Harus Bersatu Melawan Terorisme)
Presiden Putin dikabarkan akan bersama
Presiden Bashae Assad selama setengah jam di jantung kota Damaskus dan
akan melalui jalan rahasia lain menuju Aleppo dan setelah dua bulan dari
bebasnya Aleppo, Putin akan menyampaikan pidato selama setengah jam dan
kemudian langsung kembali ke Moskow. Kunjungan presiden Putin ke Suriah
akan berlangsung selama dua jam dan peralatan-peralatan yang akan
diangkut dengan pesawat Antonov 12 adalah untuk peralatan untuk
melindungi presiden Putin dan platform lapis baja. Selain itu di bagian
tengah pesawat ini mengangkut helikopter militer yang akan digunakan
untuk membawa presiden Putin, seperti dilansir oleh kantor berita Addiyar (01/12).
Sementara itu, perusahaan Yukov yang
dimiliki Putin dan dipimpin oleh Perdana Menteri Mediadev akan
merekontruksi infrastruktur yang telah hancur di Aleppo dan Damaskus,
bahkan presiden Assad bersama dengan presiden Putin akan menandatangani
kesepakatan rekonstruksi wilayah Aleppo oleh perusahaan Yukov milik
presiden Putin dan kesepakatan ini bernilai lebih dari ratusan juta
dolar. (SFA)
Membaca Masa Depan Perang Suriah
Membaca Masa Depan Perang Suriah
Membaca Masa Depan Perang Suriah
http://www.dakwatuna.com/2016/10/02/82820/membaca-masa-depan-perang-suriah/#axzz4TFsuw8T9
Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan
informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk
tulisan kepada kami, klik di sini.
dakwatuna.com – Perang
Suriah hendak memasuki tahun keenamnya dan belum menunjukkan
tanda-tanda akan berhenti. Menurut estimasi PBB, hingga kini perang itu
telah menelan lebih dari 400.000 korban jiwa dan menjadikan sekitar
empat juta orang sebagai pengungsi.
Perang
yang terpantik akibat penembakan demonstran oleh aparat keamanan Suriah
pada tahun 2011 itu telah berkembang sedemikian rupa. Awalnya hanya dua
pihak yang berkonflik: oposisi vis a vis pemerintah. Pada tahun 2014, dengan adanya deklarasi pembentukan khilafah oleh Abu Bakar Al Baghdadi, resmilah ISIS
terlibat dalam konflik melawan oposisi dan pemerintah Suriah. Seiring
waktu, bangsa Kurdi yang bercita-cita memerdekakan diri sebagai negara
berdaulat juga melibatkan diri dalam perang tersebut.
Di
tengah terjadinya kemelut konflik domestik di Suriah, komunitas
internasional yang memiliki kepentingan di sana juga turut ‘meramaikan’
jalannya konflik. Tahun 2014, Amerika Serikat membentuk koalisi untuk
memerangi ISIS di Irak dan Suriah. Koalisi tersebut memerangi ISIS
dengan melakukan serangkaian serangan udara. Selain memerangi ISIS, AS
juga memiliki agenda untuk membangun demokrasi di Suriah dengan
mendukung pasukan oposisi –yang juga dibantu oleh Arab Saudi.
Belakangan, AS juga menggelontorkan dana untuk mempersenjatai masyarakat
Kurdi, baik untuk melawan ISIS maupun untuk menggolkan tujuannya
menjadi negara merdeka.
Di sisi lain,
pemerintah Suriah yang mendapatkan perlawanan dari segala arah tak kalah
dukungannya. Setelah sekian lama dibela oleh Rusia –dan juga China- di
Dewan Keamanan PBB sejak perang berlangsung, pemerintah Suriah resmi
mendapat dukungan riil berupa bantuan militer pada 30 September 2015
dari negeri Beruang Putih tersebut. Selain dari Rusia, Iran dan
organisasi Hezbollah Lebanon juga memberikan bantuan pada Assad atas
dasar kedekatan ideologis dan merupakan antitesis keberpihakan Saudi
pada oposisi.
Dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, resmilah permasalahan domestik Suriah menjadi suatu bentuk perang proxy kekuatan eksternal –baik regional: Saudi-Iran, maupun internasional: AS-Rusia. Adapun ISIS dan Kurdi adalah pihak pengganggu (instrusive system)
yang juga menjadi “kerikil dalam sepatu” yang menyulitkan upaya
resolusi konflik. Karena bagaimanapun juga ISIS dan Kurdi sulit untuk
diajak berunding, apalagi salah satunya adalah kelompok teroris.
Staffan
de Mistura, Utusan Khusus PBB untuk Suriah berpendapat bahwa Perang
Suriah merupakan tragedi kemanusiaan paling buruk sejak Perang Dunia
Kedua. Dalam pengalamannya mengawal 19 perang selama 46 tahun dengan PBB
–termasuk Irak, Afghanistan dan Balkan- tidak pernah ditemuinya
aktor-aktor terlibat dengan kepentingan masing-masing sebanyak yang ada
di Perang Suriah.
Keberadaan Bashar Al
Assad sebagai pemimpin pemerintah Suriah awalnya menjadi masalah utama.
Beberapa kali dibahas dalam sidang Dewan Keamanan PBB, Assad tidak
berkehendak menyerahkan kekuasaannya pada suksesi pemerintahan
demokratis. Namun pada akhir 2015 lalu akhirnya Assad terpaksa tunduk
pada keputusan komunitas internasional. DK PBB kemudian sepakat
mengeluarkan resolusi 2254 –sebagai resolusi pertama yang disepakati
oleh PBB terhadap Perang Suriah- yang menandai perlunya melakukan
transisi pemerintahan di Suriah . Hanya saja, dalam resolusi tersebut
Assad akan turun setelah dilaksanakan pemilu yang bebas dan adil sekitar
1,5 tahun ke depan.
Setelah DK PBB
mengeluarkan resolusi itu, beberapa negosiasi Suriah-Suriah dilaksanakan
pada awal Februari 2016 di Jenewa. Dalam negosiasi itu hanya dilibatkan
pihak oposisi (High Negotiation Committee) dan pihak pemerintah. Adapun
Kurdi dan ISIS tidak termasuk. Meski dengan itikad baik mendamaikan
Suriah, PBB yang diwakili oleh Mistura gagal mencapai kesepakatan dalam
negosiasi tersebut. Mistura mengatakan bahwa negosiasi akan berlanjut
tapi hingga sekarang tak kunjung dilaksanakan.
Kabar
terbaru, pada 10 September 2016 Rusia dan Amerika Serikat sepakat
melaksanakan gencatan senjata. Bantuan logistik dan makanan berdatangan
pada saat gencatan senjata tersebut. Namun lagi-lagi gencatan senjata
itu runtuh seketika saat Senin lalu (20/9/2016) ada pihak membombardir
Allepo bagian Timur. Seperti biasa, para pihak saling melontarkan
tudingan satu sama lain atas kejadian itu.
Masa Depan Suriah
Sulit
untuk menebak apa yang akan terjadi dengan negara dengan nomenklatur
resmi Republik Arab Suriah itu. Hingga kini, Suriah telah terfragmentasi
menjadi empat wilayah: (1) dikuasai pemerintah, (2) dikuasai
pemberontak/oposisi, (3) dikuasai Kurdi, dan (4) dikuasai ISIS. Meski
dalam beberapa sisi pemerintah Suriah masih bisa menjalankan negara,
tapi Suriah telah jatuh dalam kondisi yang tidak stabil. Satu-satunya
sebab mengapa pemerintah Suriah masih bisa berdiri adalah bantuan Rusia
dan Iran. Apabila bantuan itu ditarik, pastilah pemerintah Suriah sudah
jatuh.
Sayangnya, kalaupun pemerintah jatuh, itu juga akan menyebabkan buah simalakama bagi
Suriah sendiri. Bisa jadi Suriah dikuasai oleh ISIS terlebih dahulu
sebelum adanya transisi pemerintahan yang wajar. Belum lagi akan cukup
membutuhkan banyak waktu bagi rakyat Suriah untuk melakukan rekonsiliasi
pasca perang. Bisa juga terjadi seperti apa yang terjadi di Libya di
mana oposisi yang bersatu melawan Qaddafi terpecah ketika di antara
mereka berebut memegang kuasa di pemerintahan yang baru.
Ada
juga kemungkinan Suriah terpecah menjadi beberapa negara, hanya saja
kemungkinannya kecil. Karena untuk saat ini, pasukan koalisi oposisi
Assad yang jumlahnya banyak itu masih memimpikan hengkangnya Assad dari
Suriah ketimbang membuat negara tandingan di sebelahnya. Bagi mereka,
tujuan Perang Suriah hanya satu: turunkan Assad lalu bentuk pemerintahan
sesuai yang rakyat Suriah kehendaki (tentu dengan versi oposisi).
Bagaimanapun
Perang Suriah tidak akan berakhir jika masing-masing pihak belum bisa
mengendurkan kepentingannya. Masing-masing pihak masih berani
mempertahankan kepentingannya dan berlaga di medan perang karena
tentunya mereka masih memiliki sumber daya. Sumber daya itu adalah
sumber perang itu sendiri yang didatangkan dari luar, yaitu pihak-pihak
eksternal yang memiliki agenda perang proxy di Suriah. Agaknya itu yang perlu diatasi dan menjadi konsentrasi PBB dalam proses perdamaian Suriah.
Sayangnya
PBB melalui utusan khususnya tidak bisa berbuat banyak karena yang
berkepentingan dalam Perang Suriah juga bagian dari anggota tetap DK
PBB: Amerika Serikat dan Rusia yang sewaktu-waktu dapat menjatuhkan veto ketika
putusan DK tak sesuai kepentingan mereka. Kita hanya bisa berharap,
barangkali ke depannya salah satu pihak ada yang mengalah demi
perdamaian. Contohnya seperti apa yang dilakukan Mikhail Gorbachev yang
akhirnya berkontribusi pada berakhirnya Perang Dingin. (dakwatuna.com/hdn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar