Benarkah Nyanyian Diharamkan Dan Diberi Rukhshah Saat Pernikahan?
Posted on September 9, 2014 by secondprince
https://secondprince.wordpress.com/2014/09/09/benarkah-nyanyian-diharamkan-dan-diberi-rukhshah-saat-pernikahan/#more-3627
Benarkah Nyanyian Diharamkan Dan Diberi Rukhshah Saat Pernikahan?
Ada salah satu golongan dalam islam [yang
menyebut diri mereka salafiy] telah menyatakan bahwa Nyanyian dan
memukul duff diharamkan dalam islam kemudian diberikan rukhshah pada
saat pernikahan. Mereka berdalil dengan atsar berikut
أخبرنا علي بن حجر قال حدثنا شريك عن أبي إسحق عن عامر بن سعد قال دخلت على قرظة بن كعب وأبي مسعود الأنصاري في عرس وإذا جوار يغنين فقلت أنتما صاحبا رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن أهل بدر يفعل هذا عندكم فقال اجلس إن شئت فاسمع معنا وإن شئت اذهب قد رخص لنا في اللهو عند العرس
Telah mengabarkan kepada kami ‘Aliy
bin Hujr yang berkata telah menceritakan kepada kami Syariik dari Abi
Ishaaq dari ‘Aamir bin Sa’d yang berkata aku masuk menemui Qarazhah bin
Ka’b dan Abi Mas’ud Al Anshariy dalam suatu pernikahan, dan disana
terdapat anak-anak perempuan yang sedang bernyanyi. Maka aku berkata
“kalian berdua adalah sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
dari ahli badar, dan hal ini dilakukan di sisi kalian?”. Maka [salah
seorang] berkata “duduklah jika engkau mau dan dengarkanlah bersama kami
dan pergilah jika engkau mau, sungguh Beliau telah memberi rukhshah kepada kami mengenai hiburan dalam pernikahan [Sunan Al Kubra An Nasa’iy 5/241 no 5539]
.
.
Syubhat Salafiy Atas Dalil
Dengan atsar di atas yaitu pada lafaz “rukhkhisha lana”
mereka berdalil bahwa lafaz tersebut menunjukkan hukum nyanyian saat
pernikahan adalah pengecualian dari dalil yang jelas [yaitu
keharamannya]. Lafaz tersebut menunjukkan bahwa perkara tersebut sebelum
diberi rukhshah hukumnya adalah haram. Mereka memberi contoh dengan
hadis berikut
حدثنا أبو كريب محمد بن العلاء حدثنا أبو أسامة عن سعيد بن أبي عروبة حدثنا قتادة أن أنس بن مالك أنبأهم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رخص لعبدالرحمن بن عوف والزبير ابن العوام في القمص الحرير في السفر من حكة كانت بهما أو وجع كان بهما
Telah menceritakan kepada kami Abu
Kuraib Muhammad bin Al ‘Alaa’ yang berkata telah menceritakan kepada
kami Abu Usamah dari Sa’iid bin Abi Aruubah yang berkata telah
menceritakan kepada kami Qatadah bahwa Anas bin Malik memberitakan
kepada mereka bahwa Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] telah memberikan rukhshah kepada ‘Abdurrahman bin
‘Auf dan Zubair bin ‘Awwaam untuk mengenakan baju dari sutera dalam
perjalanan karena keduanya terserang penyakit gatal atau penyakit lain [Shahih Muslim 3/1646 no 2076]
Telah ma’ruf bahwa sutra hukumnya haram
bagi laki-laki dan dihalalkan bagi wanita, oleh karena itu mereka
mengatakan bahwa lafaz rukhshah di atas adalah pengecualian atas
keharaman sutra bagi laki-laki.
.
.
.
Rukhshah Tidak Selalu Atas Perkara Yang Telah Diharamkan
Jawaban atas mereka adalah sebagai
berikut, pertama-tama kami akan mengatakan bahwa penjelasan mereka benar
yaitu pada sisi bahwa rukhshah bisa muncul dari perkara yang sudah
diharamkan sebelumnya. Tetapi hal ini tidak bersifat mutlak, terdapat
kasus dalam berbagai hadis bahwa lafaz rukhshah digunakan tetapi tidak menunjukkan pengharaman sebelumnya.
Misalnya lafaz rukhshah yang bisa
bermakna memberikan penekanan kemudahan dengan tujuan tertentu atas
suatu perkara walaupun perkara tersebut status asal hukumnya adalah
mubah. Silakan perhatikan hadis berikut
حدثنا نصر بن علي أنا أبو أحمد يعني الزبيري أخبرنا إسرائيل عن أبي العنبس عن الأغر عن أبي هريرة أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم عن المباشرة للصائم فرخص له وأتاه آخر فسأله فنهاه فإذا الذي رخص له شيخ والذي نهاه شاب
Telah menceritakan kepada kami Nashr
bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad yaitu Az
Zubairiy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Isra’iil dari Abul
‘Anbas dari Al ‘Aghar dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki datang
kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya tentang bercumbu pada saat berpuasa, maka Beliau memberikan rukhshah kepadanya,
dan datang orang lain menanyakan hal itu kepada Beliau maka Beliau
melarangnya. Ternyata orang yang Beliau berikan rukhshah adalah orang
yang sudah tua dan yang Beliau larang adalah orang yang masih muda
[Sunan Abu Dawud 1/726 no 2387]
Hadis riwayat Abu Dawud di atas sanadnya shahih berikut keterangan mengenai para perawinya
- Nashr bin ‘Aliy bin Nashr bin Aliy Al Jahdhamiy adalah seorang yang tsiqat tsabit termasuk thabaqat kesepuluh [Taqrib At Tahdzib 2/243]
- Abu Ahmad Az Zubairiy yaitu Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair seorang yang tsiqat tsabit tetapi sering keliru dalam hadis Ats Tsawriy, termasuk thabaqat kesembilan [Taqrib At Tahdzib 2/95]
- Isra’iil bin Yunus bin Abi Ishaaq, seorang yang tsiqat, ada yang membicarakannya tanpa hujjah, termasuk thabaqat ketujuh [Taqrib At Tahdzib 1/88]
- Abul ‘Anbas Al Kuufiy yaitu Al Haarits bin Ubaid, seorang yang maqbul termasuk thabaqat keenam [Taqrib At Tahdzib 2/444]. Yang benar ia seorang yang tsiqat sebagaimana dikatakan Yahya bin Ma’iin [Tarikh Ad Darimiy dari Ibnu Ma’iin no 916].
- Al ‘Aghar Abu Muslim Al Madiiniy tinggal di Kuufah seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat ketiga [Taqrib At Tahdzib 1/108].
Dalam hadis Abu Dawud di atas, Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan rukhshah mengenai bercumbu
pada saat berpuasa. Apakah hal itu menunjukkan bahwa sebelumnya
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah mengharamkan bercumbu
pada saat berpuasa?. Jawabannya tidak, karena Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] sendiri melakukannya
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami
Sulaiman bin Harb yang berkata dari Syu’bah dari Al Hakam dari Ibrahim
dari Al Aswad dari ‘Aisyah [radiallahu ‘anha] yang berkata Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mencium dan bercumbu sedang
Beliau dalam keadaan berpuasa, dan ia orang yang paling kuat menahan
nafsunya diantara kalian [Shahih Bukhariy 3/30 no 1927]
Bercumbu pada saat berpuasa hukum asalnya
adalah dibolehkan tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
pernah melarang orang muda melakukannya karena dikhawatirkan ia tidak
mampu menahan nafsunya sehingga ia bisa jadi jatuh dalam perkara yang
yang dapat membatalkan puasanya yaitu jima’ saat berpuasa.
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan rukhshah kepada
orang yang sudah tua karena ia mampu menahan nafsunya dan dengan
melakukannya ia tidak akan terjatuh dalam perkara yang membatalkan
puasanya yaitu jima’ saat berpuasa.
Terdapat juga contoh lain yang
menunjukkan bahwa lafaz “rukhshah” bermakna membolehkan atau mengizinkan
[dengan tujuan memberikan kemudahan] dan tidak pernah ada larangan atau
pengharaman atas perkara tersebut sebelumnya.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ وَرَخَّصَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ
Telah menceritakan kepada kami
Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid
dari ‘Amru bin Diinar dari Muhammad bin Aliy dari Jabir bin ‘Abdullah
[radiallahu ‘anhum] yang berkata Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] telah melarang pada hari khaibar dari
memakan daging keledai dan memberikan rukhshah memakan daging kuda [Shahih Bukhariy 7/95 no 5520]
Dan sebelumnya tidak pernah ada larangan
atau pengharaman memakan daging kuda. Telah diriwayatkan oleh sahabat
selain Jabir bahwa memakan daging kuda itu halal di masa Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam]
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ فَاطِمَةَ عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ نَحَرْنَا فَرَسًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلْنَاهُ
Telah menceritakan kepada kami Al
Humaidiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan yang
berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam dari Fathimah dari Asmaa’
yang berkata kami menyembelih kuda pada zaman hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kami memakannya [Shahih Bukhariy 7/95 no 5519]
Dan Jabir bin ‘Abdullah [radiallahu
‘anhu] sendiri di saat lain menyatakan bahwa di masa hidup Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] para sahabat telah memakan daging kuda
أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَ حدثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ عَمْرٍو قَالَ حدثَنَا عَبْدُ الْكَرِيمِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَأْكُلُ لُحُومَ الْخَيْلِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah mengabarkan kepada kami ‘Aliy
bin Hujr yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah dan ia
adalah Ibnu ‘Amru yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul
Kariim dari Atha’ dari Jabir yang berkata kami memakan daging kuda di masa hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. [Sunan Al Kubra An Nasa’iy 4/482 no 4823]
Hadis Jabir riwayat An Nasa’iy di atas memiliki sanad yang shahih. Berikut keterangan mengenai para perawinya
- ‘Aliy bin Hujr Abu Hasan Al Marwaziy seorang tsiqat hafizh termasuk kalangan sighar dari thabaqat kesembilan [Taqrib At Tahdzib 1/689]
- Ubaidillah bin ‘Amru Ar Raqiy seorang yang tsiqat faqih pernah melakukan kesalahan, termasuk thabaqat kedelapan [Taqrib At Tahdzib 1/637]
- ‘Abdul Kariim bin Malik Al Jazariy seorang yang tsiqat mutqin termasuk thabaqat keenam [Taqrib At Tahdzib 1/611]
- Atha’ bin Abi Rabah seorang yang tsiqat faqiih fadhl tetapi banyak melakukan irsal, termasuk thabaqat ketiga [Taqrib At Tahdzib 1/675]
Lafaz yang digunakan Asmaa’ dan Jabir di
atas secara zhahir bermakna bahwa di zaman hidup Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam], memakan daging kuda itu halal dan tidak pernah
diharamkan.
Contoh lain lafaz “rukhshah” terhadap
suatu perkara dan perkara tersebut tidak pernah diharamkan sebelumnya
adalah rukhshah dalam melakukan haji tamattu.
حدثنا محمد بن حاتم حدثنا روح بن عبادة حدثنا شعبة عن مسلم القري قال سألت ابن عباس رضي الله عنهما عن متعة الحج فرخص فيها وكان ابن الزبير ينهى عنها فقال هذه أم الزبير تحدث أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رخض فيها فادخلوا عليها فاسألوها قال فدخلنا عليها فإذا امرأة ضخمة عمياء فقالت قد رخص رسول الله صلى الله عليه و سلم فيها
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Haatim yang berkata telah menceritakan kepada kami Rauh bin
‘Ubadaah yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari
Muslim Al Qurriy yang berkata aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas
[radiallahu ‘anhuma] tentang Mut’ah Haji, maka ia memberikan rukhshah untuk melakukannya
sedangkan Ibnu Zubair melarangnya. Maka [Ibnu ‘Abbas] berkata “ini Ibu
Ibnu Zubair menceritakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
telah memberi rukhshah tentangnya, masuklah kalian kepadanya dan
tanyakan kepadanya”. Maka kamipun masuk menemuinya dan ternyata ia
wanita yang gemuk dan buta. Ia berkata “sungguh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan rukhshah tentangnya” [Shahih Muslim 2/909 no 1238]
Contoh-contoh di atas hanya ingin
menunjukkan bahwa tidak setiap lafaz rukhshah bermakna bahwa perkara
tersebut telah diharamkan sebelumnya baru kemudian diberi rukhshah untuk
melakukannya.
.
.
.
Rukhshah Dalam Atsar Adalah Nyanyian dan Tangisan
Kembali pada atsar mengenai rukhshah
hiburan dalam pernikahan. Apa makna rukhshah dalam atsar tersebut?.
Untuk mengetahui dengan jelas maknanya, ada baiknya melihat terlebih
dahulu atsar berikut
حدثنا أبو داود قال حدثنا شعبة عن أبي إسحاق قال سمعت عامر بن سعد البجلي يقول شهدت ثابت بن وديعة وقرظة بن كعب الأنصاري في عرس وإذا غناء فقلت لهم في ذلك فقالا انه رخص في الغناء في العرس والبكاء على الميت في غير نياحة
Telah menceritakan kepada kami Abu
Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu
Ishaaq yang berkata aku mendengar ‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy mengatakan
aku menyaksikan Tsaabit bin Wadii’ah dan Qarazhah bin Ka’b Al Anshariy
dalam suatu pernikahan dan terdapat nyanyian disana, maka aku mengatakan
kepada mereka tentang hal itu, keduanya berkata bahwasanya Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan rukhshah dalam mendengar
nyanyian saat pernikahan dan menangisi orang yang meninggal bukan
nihayah [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisiy 1/169 no 1221]
حدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ دَخَلْت عَلَى أَبِي مَسْعُودٍ وَقَرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ فَقَالاَ إنَّهُ رُخِّصَ لَنَا فِي الْبُكَاءِ عِنْدَ الْمُصِيبَةِ حدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ وَثَابِتِ بْنِ يَزَيْدٍ نَحْوَهُ
Telah menceritakan kepada kami
Syariik dari Abu Ishaaq dari ‘Aamir bin Sa’d yang berkata aku masuk
menemui Abi Mas’ud dan Qarazhah bin Ka’b, keduanya berkata “bahwasanya
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan rukhshah kepada
kami mengenai menangis ketika mendapat musibah”. Telah
menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu’bah dari Abu Ishaaq dari
‘Aamir bin Sa’d dari Abi Mas’ud dan Tsaabit bin Yaziid seperti itu [Al
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 4/572 no 12253 & 12254]
Riwayat Syu’bah ini lebih shahih
dibandingkan riwayat Syariik yang disebutkan di awal pembahasan di atas
karena Syarik diperbincangkan hafalannya. Dalam riwayat ini dapat
dilihat bahwa rukhshah yang dimaksud itu tertuju pada dua perkara yaitu
- Nyanyian saat pernikahan
- Menangis ketika ada orang yang meninggal atau ketika mendapat musibah
Jadi rukhshah itu diberikan untuk dua
perkara yaitu nyanyian dan tangisan. Apakah menangis atau menangisi
seseorang termasuk perkara yang diharamkan?. Tidak. Apakah menangisi
orang yang meninggal [bukan nihayah] adalah sesuatu yang haram? Tidak,
bahkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah melakukannya
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا قُرَيْشٌ هُوَ ابْنُ حَيَّانَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ دَخَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَبِي سَيْفٍ الْقَيْنِ وَكَانَ ظِئْرًا لِإِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِبْرَاهِيمَ فَقَبَّلَهُ وَشَمَّهُ ثُمَّ دَخَلْنَا عَلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ وَإِبْرَاهِيمُ يَجُودُ بِنَفْسِهِ فَجَعَلَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَذْرِفَانِ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
Telah menceritakan kepada kami Hasan
bin ‘Abdul ‘Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Hassaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Quraisy yaitu Ibnu
Hayyaan dari Tsabit dari Anas bin Maalik [radiallahu ‘anhu] yang berkata
Kami bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menemui Abu Saif
Al Qain yang [isterinya] telah mengasuh Ibrahim [‘alaihissalam]. Maka
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengambil Ibrahim dan
menciumnya. Kemudian kami mengunjunginya setelah itu sedangkan Ibrahim
telah meninggal. Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berlinang air mata.
Maka ‘Abdurrahman bin ‘Auf [radhiallahu ‘anhu] berkata kepada beliau,
“ada apa dengan anda, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Wahai Ibnu
‘Auf, sesungguhnya [tangisan] ini adalah rahmat” kemudian diikuti dengan
tangisan. Setelah itu Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata, “Sungguh
kedua mata telah berlinang air mata, hati telah bersedih, hanya saja
kami tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kami. Dan
sesungguhnya kami sangat sedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim” [Shahih Bukhariy 2/83 no 1303]
Menangis pada saat kematian orang yang
dicintai adalah perkara yang fitrah. Dan agama islam tidak pernah
mengharamkan seseorang menangis karena ada orang yang meninggal atau
mendapat musibah. Yang diharamkan adalah nihayah yaitu berteriak,
merobek pakaian, mencakar muka dan sebagainya. Nihayah memang diiringi
dengan tangisan tetapi tangisan tidak berarti nihayah. Keduanya adalah
perkara yang berbeda. Nihayah diharamkan dan menangis dibolehkan.
Apalagi yang dimaksud “menangis” dalam atsar di atas telah ditegaskan
bahwa itu bukan nihayah?.
Apakah akan ada orang bodoh yang berkata
berdasarkan atsar ‘Aamir bin Sa’d di atas maka hukum asal “menangis” itu
haram tetapi telah diberikan rukhshah boleh menangis ketika ada orang
yang meninggal atau mendapat musibah. Alangkah anehnya pandangan seperti
ini.
Maka lafaz “rukhshah” dalam atsar
tersebut lebih layak untuk dikatakan bermakna membolehkan atau
mengizinkan [dengan tujuan tidak menyulitkan atau memberi kemudhan] dan
tidak pernah ada larangan atau pengharaman atas perkara tersebut
sebelumnya.
.
.
.
Hadis Nyanyian Bukan Dalam Pernikahan
Qarinah atau petunjuk lain bahwa nyanyian
tidak diharamkan adalah terbukti dalam riwayat shahih bahwa Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mendengarkan nyanyian dan itu
bukan pada saat pernikahan. Sebagaimana dapat dilihat pada hadis-hadis
berikut
Hadis Pertama
أَخْبَرَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ نا الْجُعَيْدُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ تَعْرِفِينَ هَذِهِ؟ قَالَتْ لا يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ هَذِهِ قَيْنَةُ بَنِي فُلانٍ تُحِبِّينَ أَنْ تُغَنِّيَكِ؟ فَغَنَّتْهَا
Telah mengabarkan kepada kami Haruun
bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Makkiy bin
Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Ju’aid dari
Yaziid bin Khushaifah dari As Saa’ib bin Yaziid bahwa seorang wanita
datang kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], maka
Beliau berkata “wahai Aisyah apakah engkau mengenal wanita ini?”.
[Aisyah] berkata “tidak wahai Nabi Allah”. Beliau berkata “wanita ini
adalah penyanyi dari bani fulan, sukakah engkau jika ia menyanyi
untukmu” maka ia menyanyi [Sunan Al Kubra An Nasa’iy 8/184 no 8911]
Hadis riwayat An Nasa’iy di atas memiliki sanad yang shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya
- Haruun bin ‘Abdullah bin Marwan Al Baghdadiy seorang perawi tsiqat termasuk thabaqat kesepuluh [Taqrib At Tahdzib 2/259]
- Makkiy bin Ibrahiim At Tamiimiy seorang yang tsiqat tsabit, termasuk thabaqat kesembilan [Taqrib At Tahdzib 2/211]
- Al Ju’aid bin ‘Abdurrahman seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kelima [Taqrib At Tahdzib 1/159]
- Yaziid bin ‘Abdullah bin Khushaifah seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kelima [Taqrib At Tahdzib 2/327]
- As Saa’ib bin Yaziid termasuk kalangan sighar dari sahabat Nabi [Taqrib At Tahdzib 1/338]
Riwayat shahih di atas menunjukkan bahwa
ketika ada seorang penyanyi wanita yang datang ke rumah Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam], Beliau memintanya bernyanyi untuk
istrinya Aisyah [radiallahu ‘anha]. Dan tentu saja kisah ini bukan pada
saat walimah atau pernikahan.
Hadis Kedua
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِينَةِ ، فَإِذَا هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفِّهِنَّ وَيَتَغَنَّيْنَ ، وَيَقُلْنَ نَحْنُ جَوَارٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ يَا حَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ اللَّهُ يَعْلَمُ إِنِّي لأُحِبُّكُنَّ
Telah menceritakan kepada kami
Hisyaam bin ‘Ammaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Iisa bin
Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Auf dari Tsumaamah
bin ‘Abdullah dari Anas bin Malik bahwa Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] melewati sebagian kota madinah, maka
Beliau [bertemu] dengan anak-anak perempuan yang menabuh duff dan
bernyanyi, dan mereka mengatakan “kami anak-anak perempuan bani
Najjaar, alangkah beruntungnya kami bertetangga dengan Muhammad”. Maka
Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Allah mengetahui bahwa aku
mencintai kalian” [Sunan Ibnu Majah 3/92 no 1899]
Riwayat di atas memiliki sanad yang jayyid, berikut keterangan mengenai para perawinya
- Hisyaam bin ‘Ammar seorang yang shaduq, ketika tua ia menerima talqin, maka hadisnya dahulu lebih shahih daripada ketika tua, termasuk thabaqat kesepuluh [Taqrib At Tahdzib 2/268].
- Iisa bin Yunus bin Abi Ishaq seorang yang tsiqat ma’mun, termasuk thabaqat kedelapan [Taqrib At Tahdzib 1/776]
- ‘Auf bin Abi Jamiilah Al A’rabiy, seorang yang tsiqat, dituduh qadariy dan tsyayyu’, termasuk thabaqat keenam [Taqrib At Tahdzib 1/759]
- Tsumamah bin ‘Abdullah seorang yang shaduq, termasuk thabaqat keempat [Taqrib At Tahdzib 1/150]
Hisyam bin ‘Ammaar dalam periwayatan dari
Iisa bin Yuunus memiliki mutaba’ah dari Abu Khaitsamah Mush’ab bin
Sa’iid sebagaimana diriwayatkan Ath Thabraniy berikut
حدثنا أبو جعفر أحمد بن النضر بن موسى العسكري حدثنا أبو خيثمة مصعب بن سعيد المصيصي حدثنا عيسى بن يونس عن عوف الأعرابي عن تمامة بن عبد الله بن أنس عن أنس بن مالك قال مر النبي صلى الله عليه و سلم على حي من بني النجار فإذا جواري يضربن بالدف ويقلن نحن قينات من بني النجار فحبذا محمد من جار فقال النبي صلى الله عليه و سلم الله يعلم أن قلبي يحبكم لم يروه عن عوف إلا عيسى تفرد به مصعب بن سعيد
Telah menceritakan kepada kami Abu
Ja’far Ahmad bin An Nadhr bin Muusa Al ‘Askariy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah Mush’ab bin Sa’iid Al
Mishshiishiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Iisa bin Yuunus
dari ‘Auf Al A’rabiy dari Tsumamah bin ‘Abdullah bin Anas dari Anas bin
Malik yang berkata Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam] melewati perkampungan bani Najjaar maka Beliau
[bertemu] dengan anak-anak perempuan yang menabuh duff mereka
mengatakan “kami para penyanyi dari bani Najjaar, alangkah beruntungnya
kami bertetangga dengan Muhammad”. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] berkata “Allah mengetahui bahwa hatiku mencintai kalian”.
Tidak diriwayatkan dari Auf kecuali Iisa, diriwayatkan tafarrud oleh
Mush’ab bin Sa’iid [Mu’jam Ash Shaghiir Ath Thabraniy 1/65 no 78]
Abu Ja’far Ahmad bin An Nadhr Al Askariy dikatakan Ibnu Munadiy bahwa ia termasuk orang yang paling tsiqat [Tarikh Baghdad Al Khatib 6/415 no 2905] dan Mush’ab bin Sa’iid Abu Khaitsamah,
dikatakan Abu Hatim “shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/309 no 1428]. Ibnu
Adiy mengatakan ia meriwayatkan dari para perawi tsiqat hadis-hadis
mungkar. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan mengatakan
pernah melakukan kesalahan, hadisnya dijadikan i’tibar jika meriwayatkan
dari perawi tsiqat dan menjelaskan sama’ [pendengarannya] karena ia
mudallis [Lisan Al Mizan Ibnu Hajar juz 6 no 167]. Kesimpulannya Mush’ab
bin Sa’iid termasuk perawi yang bisa dijadikan mutaba’ah hadisnya dan
dalam hadis di atas ia telah menyebutkan dengan jelas penyimakannya.
Kisah di atas dimana Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam] melewati sebagian kota Madinah dan melewati
perkampungan Bani Najjar itu terjadi pada saat Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] datang ke Madinah. lafaz “datang ke Madinah” mengisyaratkan
bahwa peristiwa ini terjadi ketika hijrah Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] dari Makkah ke Madinah. Berikut riwayat yang menyebutkan
dengan lafaz “datang ke Madinah”
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِرْدَاسٍ نَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ عَوْفٍ عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ هَكَذَا وَجَدْتُهُ فِي كِتَابِي بِخَطِّي عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ وَقَالَ غَيْرُهُ عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ وَلا نَعْلَمُ أَحَدًا قَالَ عَنِ ابْنِ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ عَوْفٍ عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ إِلَّا رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُوسَى بْنُ حَيَّانَ لا يُحْتَجُّ بِقَوْلِهِ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مِرْدَاسٍ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ صَدُوقًا ، فَرَأَيْتُهُ فِي كِتَابِي بِخَطِّي عَنِ ابْنِ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ عَوْفٍ عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ تَلَقَّاهُ جَوَارِي الأَنْصَارِ فَجَعَلْنَ يَقُلْنَ نَحْنُ جَوَارِي مِنْ بَنِي النَّجَّارْ يَا حَبَّذَا مُحَمَّد مِنْ جَارْ
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Mirdaas yang berkata telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Abi Adiy dari ‘Auf dari Tsumamah dari Anas, demikianlah
yang kutemukan dalam kitabku dengan tulisan tanganku yaitu dari Tsumamah
dari Anas. Dan berkata selainnya yaitu dari Tsumamah bin ‘Abdullah bin
Anas. Aku tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan dari Ibnu Abi
‘Adiy dari Auf dari Tsumamah dari Anas kecuali orang yang bernama Muusa
bin Hayyan dan ia tidak bisa dijadikan hujjah perkataannya, dan Muhammad
bin Mirdaas tidak ada masalah padanya shaduq, maka aku melihatnya dalam
kitabku dengan tulisan tanganku dari Ibnu Abi ‘Adiy dari ‘Auf dari
Tsumamah dari Anas yang berkata “ketika
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang ke Madinah, anak-anak
perempuan Anshar menghampirinya dan mereka mengatakan “kami anak-anak
perempuan bani Najjaar, alangkah beruntungnya kami bertetangga dengan
Muhammad” [Musnad Al Bazzar 13/504-505 no 7334]
Hadis Al Bazzar di atas sanadnya juga jayyid. Muhammad bin Mirdaas
dikatakan Abu Hatim “majhul” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/97 no 417]. Ibnu
Hibban berkata “mustaqiim al hadiits” [Ats Tsiqat Ibnu Hibbaan 9/107 no
15445]. Adz Dzahabiy menyebutkan bahwa ia meriwayatkan dari Kharijah bin
Mush’ab kabar-kabar batil, tetapi dibantah Ibnu Hajar bahwa kemungkinan
hal itu berasal dari gurunya [Tahdzib At Tahdzib juz 9 no 714].
Pendapat yang rajih adalah Muhammad bin
Mirdaas seorang yang shaduq sebagaimana tautsiq Ibnu Hibban dan ta’dil
Al Bazaar di atas yang dengan jelas menyatakan “shaduq tidak ada masalah
padanya”. Perkataan “majhul” Abu Hatim terangkat dengan adanya tautsiq
dari Ibnu Hibbaan dan Al Bazzar. Tuduhan Adz Dzahabiy bahwa ia
meriwayatkan kabar batil, lebih tepat berasal dari gurunya Muhammad bin
Mirdaas yaitu Kharijah bin Mush’ab karena ia seorang yang matruk, sering
melakukan tadlis dari para pendusta [Taqrib At Tahdzib 1/254-255].
Adapun Muhammad bin Abi ‘Adiy adalah seorang yang tsiqat termasuk thabaqat kesembilan [Taqrib At Tahdzib 2/50]
Hadis shahih di atas menunjukkan bahwa
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah mendengarkan anak-anak
perempuan bani Najjar bernyanyi dan menabuh duff untuk menyambut
kedatangan Beliau di Madinah. Kisah ini jelas bukan pada saat
pernikahan.
Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq wal Ghinaa’ fii Mizan Al Islam
hal 228-229 menjadikan hadis ini sebagai dalil dibolehkannya nyanyian
dan musik saat pernikahan. Apa yang Syaikh katakan tersebut keliru,
tidak ada dalil atau qarinah yang menunjukkan bahwa kisah tersebut
terkait dengan pernikahan, bahkan kuat petunjuknya bahwa itu terjadi
saat kedatangan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pertama kali
ke Madinah [sebagaimana ditunjukkan oleh bukti riwayat]. Adapun Syaikh
Al Judai’ membawakan hadis berikut
حدثني أبو بكر بن أبي شيبة وزهير بن حرب جميعا عن ابن علية ( واللفظ لزهير ) حدثنا إسماعيل عن عبدالعزيز ( وهو ابن صهيب ) عن أنس أن النبي صلى الله عليه و سلم رأى صبيانا ونساء مقبلين من عرس فقام نبي الله صلى الله عليه و سلم ممثلا فقال اللهم أنتم من أحب الناس إلي اللهم أنتم من أحب الناس إلي يعني الأنصار
Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar
bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya dari Ibnu ‘Ulayyah [dan
ini lafaz Zuhair] telah menceritakan kepada kami Isma’iil bin ‘Abdul
‘Aziz [dan ia adalah Ibnu Shuhaib] dari Anas bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihat anak-anak dan wanita anshar datang dari suatu pernikahan,
maka Nabi Allah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berdiri sambil
mengatakan “Ya Allah sesungguhnya mereka adalah orang yang paling aku
cintai, Ya Allah sesungguhnya mereka adalah orang yang paling aku
cintai” yaitu kaum Anshar [Shahih Muslim 4/1948 no 2508]
Hadis riwayat Muslim ini adalah kisah
yang berbeda dengan hadis sebelumnya tentang anak perempuan bani Najjaar
yang bernyanyi dan menabuh duff. Hadis riwayat Muslim menceritakan
kisah saat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sudah berada di Madinah
dan dalam hadis tersebut tidak ada disebutkan soal nyanyian dan tabuhan
duff sedangkan hadis tentang perempuan bani Najjar itu terjadi saat Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] baru datang ke Madinah dan melintasi
sebagian kota Madinah yaitu perkampungan bani Najjar.
Hadis Ketiga
حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى بْنُ أَبِي مَسَرَّةَ قَالَ ثنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ ثنا عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ الْوَرْدِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ يَقُولُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَيْنَا أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسَانِ فِي الْبَيْتِ اسْتَأْذَنَتْ عَلَيْنَا امْرَأَةٌ كَانَتْ تُغَنِّي فَلَمْ تَزَلْ بِهَا عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا حَتَّى غَنَّتْ فَلَمَّا غَنَّتِ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَلَمَّا اسْتَأْذَنَ عُمَرُ ، أَلْقَتِ الْمُغَنِّيَةُ مَا كَانَ فِي يَدِهَا وَخَرَجَتْ وَاسْتَأْخَرَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ مَجْلِسِهَا ، فَأَذِنَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَضَحِكَ ، فَقَالَ بِأَبِي وَأُمِّي مِمَّ تَضْحَكُ ؟ فَأَخْبَرَهُ مَا صَنَعَتِ الْقَيْنَةُ , وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَمَّا وَاللَّهِ لا ، اللَّهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَقُّ أَنْ يُخْشَى يَا عَائِشَةُ
Telah menceritakan kepada kami Abu
Yahya bin Abi Masarrah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad
bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Jabbaar
bin Wardi yang berkata aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah mengatakan
Aisyah [radiallahu ‘anha] berkata “suatu
ketika aku dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] duduk berdua di
rumah, maka seorang wanita yang sering bernyanyi meminta izin kepada
kami, tidak henti-hentinya Aisyah bersama dengannya sampai akhirnya ia
menyanyi. Ketika ia bernyanyi Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu]
datang meminta izin. Ketika Umar meminta izin maka penyanyi itu
melemparkan apa yang ada di tangannya dan keluar, Aisyah [radiallahu
‘anha] pun ikut keluar dari sana. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] memberikan izin kepadanya [Umar] dan tertawa. [Umar] berkata
“demi Ayah dan Ibuku, mengapa anda tertawa?”. Maka Beliau memberitahunya
apa yang dilakukan penyanyi itu dan Aisyah [radiallahu ‘anha]. Umar
[radiallahu ‘anhu] berkata “Demi Allah tidak [begitu], hanya Allah dan
Rasul-nya [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang lebih berhak untuk
ditakuti wahai Aisyah” [Akhbaaru Makkah Al Fakihiy 3/32 no 1740]
Hadis Aisyah di atas sanadnya jayyid para perawinya tsiqat dan shaduq. Berikut keterangan mengenai para perawinya
- Abu Yahya bin Abi Masarrah adalah Abdullah bin Ahmad bin Zakariya Abu Yahya Al Makkiy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat 8/369 no 13923]. Ibnu Abi Hatim berkata “aku menulis hadis darinya di Makkah dan ia tempat kejujuran” [Al Jarh Wat Ta’dil 5/6 no 28]. Ibnu Quthlubugha memasukkannya ke dalam perawi tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Quthlubugha 5/468 no 5687]
- Ahmad bin Muhammad bin Waliid seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kesepuluh [Taqrib At Tahdzib 1/45].
- ‘Abdul Jabbaar bin Wardi Al Makkiy seorang yang shaduq terkadang keliru, termasuk thabaqat ketujuh [Taqrib At Tahdzib 1/553]. Dikoreksi dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib bahwa ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 3745]
- ‘Abdullah bin Abi Mulaikah seorang yang tsiqat faqih termasuk thabaqat ketiga [Taqrib At Tahdzib 1/511]
Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam
hal 225 mengatakan hadis ini hasan dan sanadnya kuat. Pernyataan Syaikh
tersebut benar. Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar
Radd ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 452 membantah Syaikh Al Judai’
yang menguatkan hadis ini.
Bantahan pertama Syaikh Abdullah Ramadhan
bin Muusa adalah Abu Yahya bin Abi Masarrah adalah perawi yang majhul
hal tidak ada tautsiq dari ulama yang dijadikan pegangan tautsiq-nya.
Syaikh hanya menukil Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan
menurutnya itu tidak mu’tamad.
Tentu saja bantahan Syaikh Abdullah
Ramadhan bin Muusa ini keliru. Telah ditunjukkan bahwa Ibnu Abi Hatim
juga memberikan ta’dil kepada Abu Yahya bin Abi Masarrah dan ia telah
dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Quthlubugha.
Qarinah lain yang menguatkan kedudukan
Abu Yahya bin Abi Masarrah adalah ia termasuk syaikh [guru] Abu Awanah
dalam kitabnya Mustakhraj ‘Ala Shahih Muslim yang dikenal juga dengan
Shahih Abu Awanah [Mustakhraj Abu Awanah 2/246 no 3024]. Adz Dzahabiy
berkata tentang Abu Yahya bin Abi Masarrah bahwa ia Al Imam Muhaddis
Musnid [Siyaar A’lam An Nubalaa’ 12/632 no 252]. Al Faakihiy berkata
tentangnya
أول من أفتى الناس من أهل مكة وهو ابن أربع وعشرين سنة، أو نحوه أبو يحيى بن أبي مسرة، وهو فقيه أهل مكة إلى يومنا هذا
Orang pertama yang memberikan fatwa
kepada penduduk Makkah dan ia berumur 24 tahun atau semisalnya yaitu Abu
Yahya bin Abi Masarrah, dan ia faqih penduduk Makkah hingga hari ini
[Akhbaaru Makkah Al Faakihiy 3/241-242]
Dan Qasim bin Asbagh pernah berkata
ketika meriwayatkan hadis darinya “telah menceritakan kepada kami Abu
Yahya ‘Abdullah bin Abi Masarrah seorang faqiih Makkah” [At Tamhiid Ibnu
Abdil Barr 6/25]
Jadi tidak mungkin dikatakan kalau ia
seorang yang majhul hal, melihat berbagai qarinah di atas maka jika
bukan seorang yang tsiqat minimal Abu Yahya bin Abi Masarrah seorang
yang shaduq.
Anehnya Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin
Muusa mempermasalahkan perawi seperti Abu Yahya bin Abi Masarrah tetapi
ia tidak mempermasalahkan perawi seperti ‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy
perawi yang meriwayatkan atsar “rukhshah nyanyian saat pernikahan di atas”.
Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al
Qaradhawiy Wal Judai’ hal 308 malah menyetujui Syaikh Al Judai’ bahwa
sanad atsar ‘Aamir bin Sa’d tersebut shahih
‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy
tidak ternukil tautsiq dari ulama mutaqaddimin selain dari Ibnu Hibbaan
memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat 5/189 no 4496]. Oleh karena
itu Ibnu Hajar berkata “maqbul” [Taqrib At Tahdzib 1/461]. Harusnya
dengan metode milik Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa perawi seperti
‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy kedudukannya hanya bisa dijadikan mutaba’ah
tetapi tidak bisa dijadikan hujjah.
Adapun kami berpandangan bahwa ‘Aamir bin
Sa’d Al Bajalliy perawi yang shaduq hasanul hadis dengan dasar Ibnu
Hibbaan memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan terdapat qarinah yang
menguatkan seperti
- Muslim mengeluarkan hadis ‘Amir bin Sa’d Al Bajalliy walaupun sebagai penguat [Shahih Muslim 4/1826 no 2352]
- At Tirmidzi mengeluarkan hadis ‘Amir bin Sa’d Al Bajalliy dan mengatakan “hadis hasan shahih” [Sunan Tirmidzi 5/605 no 3653]
Bantahan kedua Syaikh ‘Abdullah Ramadhan
bin Muusa, Beliau menyebutkan bahwa Al Khatib dalam Tarikh Baghdad telah
menukil hadis Aisyah tersebut dengan sanadnya dan mengatakan bahwa asal
hadis tersebut batil.
Al Khatib menukil riwayat dari Abul Fath
Al Baghdadiy dari Muusa bin Nashr bin Jariir dari Ishaq bin Rahawaih
dari ‘Abdurrazaaq dari Bakkaar bin ‘Abdullah dari Ibnu Abi Mulaikah dari
Aisyah dengan matan yang mirip dengan riwayat Al Fakihiy di atas.
Kemudian Al Khatib melemahkan Abul Fath dan Muusa bin Nashr dan
mengatakan hadis tersebut batil [Tarikh Baghdad 15/59-60 no 6983]
Apa yang dikatakan Al Khatib tersebut
keliru, walaupun Abul Fath dan Muusa bin Nashr adalah perawi yang lemah
tetapi hadis Ishaq bin Rahawaih tersebut memang shahih sebagaimana
diriwayatkan pula oeh Ibnu Syirawaih seorang imam hafizh faqiih dari
Ishaq bin Rahawaih dengan sanad tersebut sampai Aisyah [radiallahu
‘anha]. Riwayat Ishaaq bin Rahawaih tersebut dapat ditemukan dalam
Musnad Ishaaq bin Rahawaih 3/664-665 no 1258, dan berkata pentahqiq
kitab [‘Abdul Ghafuur bin ‘Abdil Haaq Al Baluusiy] “shahih semua
perawinya tsiqat”
Jika dikatakan hadis Ishaaq tersebut
batil, maka dari sisi manakah kebatilannya, pada sanadnya atau
matannya?. Bagaimana mungkin sanadnya dikatakan batil jika para
perawinya tsiqat. Apakah karena matannya menyebutkan bolehnya nyanyian
maka matan hadis tersebut dikatakan batil?. Bukankah telah tsabit dalam
dua hadis sebelumnya mengenai bolehnya nyanyian, kalau hal ini dikatakan
batil maka betapa mudahnya menolak hadis shahih hanya dengan mengatakan
batil. Kesimpulannya apa yang dikatakan Al Khatib itu tidak bisa
dijadikan hujjah untuk melemahkan hadis Aisyah di atas.
Bantahan ketiga, Syaikh ‘Abdullah
Ramadhan bin Muusa mengutip Al Bukhariy, Daruquthniy dan Ibnu Hibban
yang menyebutkan jarh kepada ‘Abdul Jabbaar bin Wardi.
‘Abdul Jabbaar bin Ward adalah perawi yang tsiqat dan memang ternukil pula sedikit ulama yang melemahkannya.
- Ahmad bin Hanbal berkata tentangnya “tsiqat tidak ada masalah padanya. Abu Hatim berkata “tsiqat” [Al Jarh Wat Ta’dil 6/31 no 161]. Abu Dawud berkata “tsiqat”. Aliy bin Madiiniy berkata “tidak ada masalah padanya”. Yaqub bin Sufyaan berkata “tsiqat” [Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 214]. Al Ijliy berkata ‘tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat 2/69 no 1007]. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat” dan Ibnu Adiy berkata “di sisiku tidak ada masalah padanya ditulis hadisnya” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/15-16 no 1476]
- Al Bukhariy berkata “keliru pada sebagian hadisnya” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/15 no 1476]. Ibnu Hibban berkata “sering salah dan keliru”[Ats Tsiqat Ibnu Hibban 7/136 no 9348] dan ia juga berkata “ahli ibadah termasuk penduduk Makkah yang paling baik, sering salah dalam sesuatu setelah sesuatu” [Masyaahir Ulamaa’ Al ‘Amshaar no 1147]. Daruquthniy berkata “layyin” [Su’alat As Sulamiy hal 84 no 217].
Jarh yang ternukil pada ‘Abdul Jabbaar
bin Ward adalah jarh yang ringan yaitu kesalahan pada sebagian hadisnya.
Hal ini tidak menjatuhkan kedudukan perawi kederajat dhaif kecuali jika
perawi tersebut memang banyak melakukan kesalahan dan buruk hafalannya.
Oleh karena itu kedudukan ‘Abdul Jabbaar bin Ward tidak jauh dari
derajat shaduq.
Kesimpulannya adalah apa yang dikatakan
Syaikh Al Judai’ bahwa hadis Aisyah [riwayat Al Faakihiy] tersebut hasan
adalah pendapat yang benar. Adapun bantahan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan
bin Muusa terhadap Syaikh Al Judai’ adalah keliru..
.
.
Kesimpulan
Riwayat ‘Aamir bin Sa’d Al Bajally dari
Abu Mas’ud [radiallahu ‘anhu] dan selainnya yang menyebutkan “rukhshah
nyanyian saat pernikahan” memiliki makna “dibolehkan nyanyian saat
pernikahan”. Riwayat ini tidak menunjukkan keharaman atas nyanyian
sebelumnya, hal ini sebagaimana rukhshah dibolehkannya “tangisan atas
orang yang meninggal” tidak menunjukkan keharaman atas tangisan
sebelumnya. Dan terbukti dalam hadis shahih bahwa Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] telah membolehkan nyanyian selain pada
saat pernikahan.
Kedustaan Al Amiry : Jima’ Melalui Dubur Tidak Membatalkan Puasa Dalam Mazhab Syi’ah
Posted on Juli 4, 2015 by secondprince
5/07/04/kedustaan-al-amiry-jima-melalui-dubur-tidak-membatalkan-puasa-dalam-mazhab-syiah/#comment-25201
Kedustaan Al Amiry : Jima’ Melalui Dubur Tidak Membatalkan Puasa Dalam Mazhab Syi’ah
Untuk kesekian kali-nya orang yang
menyebut dirinya Al Amiry ini membuat kedustaan atas mazhab Syi’ah. Kali
ini ia menyatakan kalau dalam mazhab Syi’ah jima’ melalui dubur itu tidak membatalkan puasa. Kami akan menunjukkan kepada para pembaca bahwa Al Amiry ini telah berdusta atas mazhab Syi’ah.
Tetapi sebelum masuk ke pembahasan ada baiknya kami menyatakan dengan tegas mengenai i’tiqad [keyakinan] kami mengenai hukum “mendatangi istri pada duburnya”.
Di sisi kami berdasarkan pendapat yang rajih hukumnya haram. Hal ini
sebagaimana diriwayatkan dalam hadis dengan sanad yang shahih dari
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Kami menekankan hal ini agar
para pembaca tidak salah paham setelah membaca tulisan ini. Kami membela
mazhab Syi’ah atas kedustaan dari orang-orang seperti Al Amiry maka
bukan berarti kami menyepakati pendapat mazhab Syi’ah dalam hal ini.
.
.
.
Pembahasan
Al Amiry membawakan dua riwayat dalam kitab Tahdzib Al Ahkam Syaikh Ath Thuusiy. Al Amiry berkata
Kedua riwayat ini sanadnya dhaif, cukup
banyak para ulama Syi’ah yang mendhaifkannya dan mereka tidak berhujjah
dengannya. Dan memang berdasarkan kaidah ilmu hadis dalam mazhab Syi’ah
riwayat tersebut memang dhaif.
Al Amiry tidak menukil sanad lengkap
kedua riwayat tersebut karena jika ia menukil sanad riwayat tersebut
maka sangat jelas kedhaifannya bahkan di mata orang awam Syi’ah
sekalipun. Berikut sanad lengkap kedua riwayat tersebut
.
.
Riwayat Pertama
عنه عن بعض الكوفيين يرفعه إلى أبي عبد الله عليه السلام قال: في الرجل يأتي المرأة في دبرها وهي صائمة قال: لا ينقض صومها وليس عليها غسل
Darinya dari sebagian orang-orang
Kufah yang merafa’kannya kepada Abu Abdillah [‘alaihis salaam] yang
berkata “tentang seorang laki-laki yang mendatangi istrinya pada
duburnya ketika berpuasa”. Ia berkata “tidak membatalkan puasanya dan tidak wajib mandi” [Tahdzib Al Ahkam 4/319 no 43]
Riwayat di atas sanadnya dhaif karena
perawi yang mubham tidak diketahui siapa orang-orang kufah tersebut dan
riwayat tersebut mursal karena lafaz “merafa’kan” itu bermakna
menyambungkan kepada Abu Abdullah dan secara zhahir lafaz ini digunakan
pada riwayat yang terputus sanadnya. Al Majlisiy dalam Malaadz Al
Akhyaar 7/151 no 43 menyatakan riwayat tersebut mursal
Allamah Al Hilliy berkata tentang riwayat ini “riwayat ini mursal, tidak dapat diandalkan dengannya” [Mukhtalaf Asy Syi’ah Fii Ahkaam Asy Syarii’ah 3/390-391]
.
.
Riwayat Kedua
أحمد بن محمد عن علي بن الحكم عن رجل عن أبي عبد الله عليه السلام قال: إذا اتى الرجل المرأة في الدبر وهي صائمة لم ينقض صومها وليس عليها غسل
Ahmad bin Muhammad dari Aliy bin Al Hakam dari seorang laki-laki dari Abi ‘Abdillah [‘alaihis salaam] yang berkata “jika
seorang laki-laki mendatangi istrinya pada duburnya ketika ia berpuasa
maka itu tidak membatalkan puasanya dan tidak wajib mandi” [Tahdzib Al Ahkam 4/319-320 no 45]
Riwayat kedua sanadnya juga dhaif karena
perawi mubham tidak diketahui siapa orang yang meriwayatkan dari Abu
Abdullah tersebut. Syaikh Ath Thuusiy sendiri melemahkan riwayat di
atas. Setelah membawakan riwayat di atas, ia berkata
هذا لخبر غير معمول عليه وهو مقطوع الاسناد لا يعول عليه
Kabar ini tidak diamalkan dengannya, sanadnya terputus, tidak dapat diandalkan dengannya [Tahdzib Al Ahkam 4/320]
Dan sebagaimana dapat dilihat di atas
dalam Malaadz Al Akhyaar 7/152 no 45 Al Majlisiy juga menyatakan riwayat
kedua tersebut mursal.
Ibnu Fahd Al Hilliy dalam kitabnya juga
menyatakan riwayat diatas mursal [Al Muhadzdzab Al Bari’ Fii Syarh
Mukhtashar An Naafi’ 2/26]
.
.
.
Dalam mazhab Syi’ah justru jima’ melalui
dubur termasuk hal yang membatalkan puasa. Hal ini telah dinyatakan oleh
sebagian ulama Syi’ah diantaranya
وأما الوطء في الدبر، فإن كان مع الإنزال فلا خلاف بين العلماء كافة في أنه مفسد للصوم، وإن كان بدون الإنزال فالمعروف من مذهب الأصحاب أنه كذلك
Adapun berhubungan melalui dubur,
maka jika disertai dengan keluarnya air mani maka tidak ada perselisihan
diantara para ulama seluruhnya bahwasanya hal itu membatalkan puasa dan
jika tanpa mengeluarkan air mani maka yang dikenal dalam mazhab al
ashab [ulama-ulama terdahulu] bahwasanya ia juga demikian [membatalkan
puasa] [Madaarik Al Ahkam Sayyid Muhammad Al ‘Amiliy 6/44]
وقد أجمع العلماء كافة على إفساد الصوم بالجماع الموجب للغسل في قبل المرأة، للآية سواء أنزل أو لم ينزل ولو وطأ في الدبر فأنزل، فسد صومه إجماعا، ولو لم ينزل، فالمعتمد عليه الإفساد
Dan sungguh telah bersepakat para
ulama seluruhnya bahwa batal puasa dan wajib mandi dengan adanya jima’
[bersetubuh] pada kemaluan istri berdasarkan ayat Al Qur’an [Al Baqarah
187] baik itu mengeluarkan air mani atau tidak, dan seandainya ia
berhubungan melalui dubur dan mengeluarkan air mani maka batal puasanya
menurut ijma’, dan jika tidak mengeluarkan air mani maka pendapat yang
dijadikan pegangan puasanya batal [Tadzkirah Al Fuqahaa’ Allamah Al
Hilliy 6/23-24]
.
.
.
Kemudian Al Amiry menukil fatwa ulama
Syi’ah Muhsin Alu Ushfur yang ia sebut sebagai “fatwa gila” dan fatwa
ulama Syi’ah As Sistaniy mengenai bolehnya berhubungan dengan istri
melalui dubur jika istrinya ridha terhadapnya.
Dalam fatwa kedua ulama Syi’ah diatas
tidak ada keterangan bahwa berhubungan dengan istri melalui dubur tidak
membatalkan puasa. Fatwa keduanya itu berkenaan dengan hukum “berhubungan dengan istri melalui dubur” apakah boleh atau tidak?.
Dalam mazhab Syi’ah ada dua pendapat berkenaan dengan hal ini. Pertama : pendapat yang mengatakan hukum “berhubungan dengan istri melalui dubur” adalah haram.
Diantara yang berpendapat demikian adalah sebagaimana dinukil Sayyid
Muhammad Shaadiq Ar Ruuhaniy dalam kitab Fiqih Ash Shaadiq
وعن القميين وابن حمزة والشيخ الرازي والراوندي في اللباب والسيد أبي المكارم صاحب بلابل القلاقل القول بالحرمة
Dan dari para ulama qum, Ibnu Hamzah,
Syaikh Ar Raziy, Ar Rawandiy dalam Al Lubab, Sayyid Abi Makarim penulis
kitab Balaabil Al Qalaaqil, mengatakan haram. [Fiqih Ash Shadiq Sayyid
Ar Ruuhaniy 31/118]
Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah juga
berpendapat tidak boleh berhubungan dengan istri melalui duburnya [Fiqh
Asy Syarii’ah Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah 3/517 no 749]. Syaikh
Muhammad Ishaaq Al Fayaadh juga mengharamkan mendatangi istri pada
duburnya baik saat suci maupun haidh [Minhaaj Ash Shaalihiin Syaikh
Muhammad Ishaaq Al Fayaadh 1/107 no 228].
Diantara dalil yang menguatkan pendapat
ini dan dengan lafaz sharih [jelas] menyatakan haram adalah riwayat yang
dibawakan Syaikh Ath Thuusiy dalam Tahdzib Al Ahkam
فاما ما رواه أحمد بن محمد بن عيسى عن العباس بن موسى عن يونس أو غيره عن هاشم بن المثنى عن سدير قال: سمعت أبا جعفر عليه السلام يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وآله: محاش النساء على أمتي حرام
Diriwayatkan Ahmad bin Muhammad bin
Iisa dari ‘Abbaas bin Muusa dari Yuunus atau selainnya dari Haasyim bin
Al Mutsanna dari Sadiir yang berkata aku mendengar Abu Ja’far [‘alaihis
salaam] mengatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda
“dubur wanita atas umatku haram” [Tahdzib Al Ahkam 7/416 no 36].
Al Majlisiy dalam Malaadz Al Akhyaar
12/360 no 36 menyatakan riwayat di atas mursal begitu pula Allamah Al
Hilliy dalam Tadzkirah Al Fuqahaa’ 2/577 menyatakan riwayat tersebut
mursal. Sebenarnya kami belum menemukan dimana letak kelemahan mursal
yang dimaksudkan keduanya tetapi riwayat tersebut para perawinya tsiqat
kecuali Sadiir Ash Shairafiy. Ia tidak dikenal tautsiq-nya dari kalangan
ulama mutaqaddimin Syi’ah tetapi sebagian ulama muta’akhirin
menguatkannya.
Allamah Al Hilliy telah menyebutkan
Sadiir dalam bagian pertama kitabnya yang memuat perawi yang terpuji dan
diterima di sisi-nya. Dalam kitabnya tersebut Al Hilliy juga menukil
Sayyid Aliy bin Ahmad Al Aqiiqiy yang berkata tentang Sadiir bahwa ia
seorang yang mukhalith [kacau atau tercampur] [Khulashah Al Aqwaal hal
165 no 3]. Pentahqiq kitab Khulashah Al Aqwal berkata bahwa lafaz
mukhalith tersebut bermakna riwayatnya ma’ruf dan mungkar. Maka
berdasarkan pendapat yang rajih Sadiir tidak bisa dijadikan hujjah jika
tafarrud [menyendiri dalam periwayatan] dan tidak diterima hadisnya jika
bertentangan dengan riwayat perawi tsiqat. Dalam perkara ini ternukil
riwayat shahih yang bertentangan dengan riwayat Sadiir.
Sebagian ulama yang menerima riwayat
Sadiir diatas memalingkan makna haram tersebut kepada makna makruh
dengan dasar adanya riwayat-riwayat shahih yang menetapkan kebolehan
mendatangi istri pada duburnya. Maka dari sinilah muncul pendapat yang
kedua
Kedua : pendapat yang mengatakan hukum “berhubungan dengan istri melalui dubur” boleh jika disertai ridhanya istri dan hal ini makruh.
Pendapat kedua inilah yang masyhur dan rajih dalam mazhab Syi’ah karena
memiliki hujjah dari riwayat Ahlul Bait yang shahih dalam mazhab
Syi’ah. Diantaranya sebagai berikut
وعنه عن علي بن الحكم قال سمعت صفوان يقول قلت للرضا عليه السلام ان رجلا من مواليك أمرني ان أسألك عن مسأله فهابك واستحى منك أن يسألك قال ما هي قال قلت الرجل يأتي امرأته في دبرها؟ قال نعم ذلك له قلت فأنت تفعل ذلك؟ قال لا انا لا نفعل ذلك
Dan darinya dari ‘Aliy bin Al Hakam
ia berkata aku mendengar Shafwaan berkata aku pernah bertanya kepada Ar
Ridlaa [‘alaihis-salaam] “Sesungguhnya ada laki-laki dari mawaali-mu
telah memintaku untuk menanyakan kepadamu satu permasalahan, tetapi aku
malu kepadamu untuk menanyakannya”. Ia berkata “hal apakah itu?”. Aku
berkata “ada seorang laki-laki yang mendatangi istrinya pada duburnya”.
Ia menjawab “Ya, hal itu diperbolehkan baginya”. Aku berkata “apakah
engkau melakukannya?”. Ia menjawab “Tidak, kami tidak melakukannya”
[Tahdzib Al Ahkam 7/415-416 no 35].
Al Majlisiy dalam Malaadz Al Akhyaar 12/360 no 35 menyatakan riwayat tersebut shahih.
Jadi duduk persoalan disini adalah para
ulama Syi’ah berpegang pada dalil shahih yang ada dalam mazhab mereka.
Kalau ada diantara pengikut Ahlus Sunnah yang menjadikan hal ini sebagai
bahan celaan ya dipersilakan toh celaan itu tidak ada nilainya disisi
mazhab Syi’ah. Hal ini sama seperti jika ada pengikut Syi’ah mencela
Ahlus Sunnah yang berpegang pada dalil shahih di sisi mazhab mereka.
Celaan itu jelas tidak ada nilainya di sisi mazhab Ahlus Sunnah.
.
.
.
Anehnya Al Amiry sok ingin merendahkan mazhab Syi’ah dengan menyebut ulama mereka bodoh dan gila ketika membolehkan “mendatangi istri pada dubur” padahal sebagian ulama mazhab Ahlus Sunnah membolehkan bahkan ada yang mengamalkannya. Ibnu Arabiy pernah berkata
اختلف العلماء في جواز نكاح المرأة في دبرها ; فجوزه طائفة كثيرة ، وقد جمع ذلك ابن شعبان في كتاب جماع النسوان وأحكام القرآن ” وأسند جوازه إلى زمرة كريمة من الصحابة والتابعين وإلى مالك من روايات كثيرة
Telah berselisih para ulama mengenai
kebolehan berhubungan dengan istri melalui duburnya. Telah
membolehkannya sekelompok orang yang banyak. Dan sungguh Ibnu Sya’baan
telah mengumpulkan hal itu dalam kitab Jimaa’ An Niswaan Wa Ahkamul
Qur’aan dan menisbatkan kebolehannya kepada sekelompok orang mulia dari
sahabat dan tabiin dan kepada Malik dari riwayat yang banyak [Ahkamul
Qur’aan Ibnu Arabiy 1/238]
Siapakah dari kalangan ahlus sunnah yang
membolehkan “mendatangi istri pada duburnya”?. Diantaranya ada Ibnu Umar
[radiallahu ‘anhu], Ibnu Abi Mulaikah, Muhammad bin Ajlan, Malik bin
Anas, dan Abdullah bin Ibrahim Al Ashiiliy.
.
.
Abdullah bin Umar [radiallahu ‘anhu]
حَدَّثَنَا أَبُو قُرَّةَ مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدِ بْنِ هِشَامٍ الرُّعَيْنِيُّ قَالَ ثنا أَصْبَغُ بْنُ الْفَرَجِ وَأَبُو زَيْدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ ابْنَ أَبِي الْغَمْرِ قَالَا قَالَ ابْنَ الْقَاسِمِ وَحَدَّثَنِي مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ قَالَ حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي الْحُبَابِ سَعِيدُ بْنُ يَسَارٍ أَنَّهُ سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ عَنْهُ يَعْنِي عَنْ وَطْءِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu
Qurrah Muhammad bin Humaid bin Hisyaam Ar Ru’ainiy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Ashbagh bin Faraj dan Abu Zaid ‘Abdurrahman
Ibnu Abi Ghamr, keduanya berkata Ibnu Qaasim berkata telah menceritakan
kepadaku Maalik bin Anas yang berkata telah menceritakan kepadaku
Rabi’ah bin Abi ‘Abdurrahman dari Abil Hubaab Sa’iid bin Yasaar bahwa ia bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang mendatangi istri pada dubur mereka, [Ibnu ‘Umar] berkata “tidak ada masalah padanya” [Syarh Ma’aaniy Al Atsaar Ath Thahawiy 3/41 no 4394]
Riwayat yang dikeluarkan Ath Thahawiy di atas memiliki sanad yang shahih. Para perawinya tsiqat, berikut keterangannya
- Abu Qurrah Muhammad bin Humaid bin Hisyaam Ar Ru’ainiy, dikatakan Ibnu Yunus bahwa ia seorang yang tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Quthlubugha 8/261 no 9679]
- Ashbagh bin Faraj Al Mishriy seorang yang tsiqat, termasuk perawi thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/107]
- Abu Za’id ‘Abdurrahman Ibnu Abi Ghamr, dikatakan Ibnu Yunus bahwa ia seorang yang faqih dari sahabat Ibnu Qaasim dan ia seorang yang tsiqat shaduq [Ats Tsiqat Ibnu Quthlubugha 6/287-288 no 6693]
- ‘Abdurrahman bin Qaasim seorang yang faqih sahabat Malik, tsiqat termasuk perawi thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/586]
- Malik bin Anas seorang yang faqiih imam, pemimpin dari ulama-ulama besar, mutqin dan tsabit, termasuk perawi thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 2/151]
- Rabii’ah bin Abi ‘Abdurrahman At Taimiy seorang yang tsiqat faqiih masyhur, termasuk perawi thabaqat kelima [Taqriib At Tahdziib 1/297]
- Sa’iid bin Yasaar Abul Hubaab seorang yang tsiqat mutqin, termasuk perawi thabaqat ketiga [Taqriib At Tahdziib 1/368]
Riwayat perkataan Ibnu Umar [radiallahu
‘anhu] tidak hanya ini, ada lagi beberapa riwayat lainnya bahkan ada
pula riwayat yang kesannya seolah bertentangan tetapi Insya Allah dengan
pembahasan yang ilmiah akan nampak bahwa yang rajih adalah Ibnu Umar
membolehkannya. Pembahasan detail tentang hal ini memerlukan tempat yang
tersendiri.
.
.
Ibnu Abi Mulaikah
حَدَّثَنِي أَبُو مُسْلِمٍ قَالَ ثَنَا أَبُو عُمَرَ الضَّرِيرُ قَالَ ثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ قَالَ ثَنَا رَوْحُ بْنُ الْقَاسِمِ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سُئِلَ أَبُو الدَّرْدَاءِ عَنْ إِتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ فَقَالَ هَلْ يَفْعَلُ ذَلِكَ إِلا كَافِرٌ قَالَ رَوْحٌ فَشَهِدْتُ ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ يَسْأَلُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ قَدْ أَرَدْتُهُ مِنْ جَارِيَةٍ لِي الْبَارِحَةَ فَاعْتَاصَ عَلَيَّ فَاسْتَعَنْتُ بِدُهْنٍ أَوْ بِشَحْمٍ قَالَ فَقُلْتُ لَهُ سُبْحَانَ اللَّهِ أَخْبَرَنَا قَتَادَةُ أَنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، قَالَ هَلْ يَفْعَلُ ذَلِكَ إِلا كَافِرٌ ، فَقَالَ لَعَنَكَ اللَّهُ وَلَعَنَ قَتَادَةَ ، فَقُلْتُ لا أُحَدَّثُ عَنْكَ شَيْئًا أَبَدًا ثُمَّ نَدِمْتُ بَعْدَ ذَلِكَ
Telah menceritakan kepadaku Abu
Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Umar Adh Dhariir
yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Zurai’ yang
berkata telah menceritakan kepada kami Rauh bin Qaasim dari Qatadah yang
berkata Abu Dardaa’ pernah ditanya tentang “mendatangi istri pada dubur
mereka”. Maka ia berkata “tidaklah melakukan itu kecuali kafir”. Rauh
berkata maka aku menyaksikan Ibnu Abi Mulaikah ketika ditanya tentang
hal itu, ia berkata “Sungguh aku ingin melakukannya dengan budakku tadi
malam, kemudian aku mengalami kesulitan maka aku menggunakan minyak atau
lemak”. Maka aku [Rauh] berkata kepadanya “Maha suci Allah,
telah mengabarkan kepada kami Qatadah bahwa Abu Dardaa’ mengatakan
“tidaklah melakukan hal itu kecuali kafir”. Maka ia berkata “semoga
Allah melaknatmu dan melaknat Qatadah”. Aku [Rauh] berkata “aku tidak
akan meriwayatkan sedikitpun darimu selamanya” kemudian setelah itu aku
menyesalinya [Tafsir Ath Thabariy 3/753 tahqiq ‘Abdullah bin ‘Abdul
Muhsin At Turkiy]
Riwayat perkataan Ibnu Abi Mulaikah di atas sanadnya jayyid. Berikut keterangan mengenai para perawinya
- Abu Muslim yaitu Ibrahim bin ‘Abdullah bin Muslim Al Bashriy seorang yang shaduq tsiqat [Mausu’ah Aqwaal Daruquthniy no 80]
- Abu ‘Umar Adh Dhariir yaitu Hafsh bin Umar Al Bashriy seorang yang shaduq alim [Taqriib At Tahdziib 1/228]
- Yazid bin Zurai’ Al Bashriy seorang yang tsiqat tsabit [Taqriib At Tahdziib 2/324]
- Rauh bin Qaasim Al Anbariy Al Bashriy seorang yang tsiqat hafizh [Taqriib At Tahdziib 1/305]
Ibnu Abi Mulaikah sendiri termasuk perawi Bukhariy dan Muslim, ia seorang yang tsiqat faqiih [Taqriib At Tahdziib 1/511].
.
.
Muhammad bin Ajlaan
Muhammad bin ‘Ajlaan Al Qurasyiy Al
Madaniy termasuk perawi Muslim yang dikenal tsiqat. Ia telah ditsiqatkan
oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Yaqub bin Syaibah, Abu Hatim
dan Nasa’iy [Tahdzib Al Kamal 26/101-108 no 5462]
وَقَال أَبُو سَعِيد بْن يونس: قدم مصر وصار إلى الإسكندرية فتزوج بها امرأة من أهلها فأتاها في دبرها فشكته إلى أهلها فشاع ذلك، فصاح بِهِ أهل الإسكندرية، فخرج منها
Dan berkata Abu Sa’iid bin Yuunus “ia datang ke Mesir dan datang ke Iskandariyah kemudian menikah dengan istrinya, maka ia mendatangi istrinya pada duburnya.
Istrinya mengeluhkan hal itu kepada keluarganya dan tersebarlah kabar
tentang hal itu. Maka penduduk Iskandariyah meneriakinya sehingga ia
pergi dari sana [Tahdzib Al Kamal 26/107]
.
.
Malik bin Anas
فقال مالك لا بأس بأن يأتي الرجل امرأته في دبرها كما يأتيها في قبلها حدثنا بذلك يونس عن ابن وهب عنه
Maka berkata Malik “tidak ada masalah seorang laki-laki mendatangi istrinya pada duburnya sebagaimana ia mendatanginya pada kemaluannya”.
Telah menceritakan kepada kami hal itu Yunus dari Ibnu Wahb darinya
[Malik] [Ikhtilaaf Al Fuqahaa’ Ibnu Jarir Ath Thabariy hal 304]
Riwayat di atas sanadnya shahih sampai Malik bin Anas. Yunus gurunya Ath Thabariy adalah Yunus bin ‘Abdul A’laa Ash Shadafiy seorang yang tsiqat [Taqriib At Tahdziib 2/349]. Abdullah bin Wahb bin Muslim Al Qurasyiy seorang yang faqiih tsiqat hafizh ahli ibadah [Taqriib At Tahdziib 1/545]
.
.
Abdullah bin Ibrahim Al Ashiiliy
Abdullah bin Ibrahim Al Ashiiliy adalah
seorang imam alim syaikh mazhab Malikiy. Daruquthniy berkata “aku tidak
pernah melihat orang yang sepertinya”
قال القاضي عياض قال الدارقطني حدثني أبو محمد الأصيلي ، ولم أر مثله
قال عياض كان من حفاظ مذهب مالك ومن العاملين بالحديث وعلله ورجاله يرى أن النهي عن إتيان أدبار النساء على الكراهة
Qaadhiy ‘Iyaadh berkata Daruquthniy
berkata telah menceritakan kepadaku Abu Muhammad Al Ashiiliy, aku tidak
pernah melihat orang yang sepertinya. Iyaadh berkata “ia termasuk hafizh
mazhab Malik dan termasuk orang yang alim dalam ilmu hadis, ilmu
ilal-nya dan Rijal-nya. Ia berpandangan bahwa larangan mendatangi istri pada dubur adalah makruh [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 16/560 no 412]
Ibnu Hajar juga menukil perkataan Qadhi Iyadh tentang Al Ashiiliy yang membolehkan “mendatangi istri pada duburnya”.
قال القاضي عياض كان القاضي أبو محمد عبد الله بن إبراهيم الأصيلي يجيزه ويذهب فيه إلى أنه غير محرم
Qaadhiy ‘Iyaadh berkata “Qadhiy Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ibrahim Al Ashiiliy membolehkannya dan menganggap bahwasanya itu tidak haram” [Talkhiis Al Habiir Ibnu Hajar 3/379]
Apakah sebagian salaf termasuk sahabat
Ibnu Umar [radiallahu ‘anhu] itu akan dikatakan oleh Al Amiry sebagai
bodoh dan gila?. Tentu ia tidak akan berani mengatakannya. Paling-paling
ia akan mengatakan pendapat mereka ditinggalkan karena telah shahih
dalil dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan keharamannya.
Kami menukil sebagian salaf yang membolehkan “mendatangi istri pada duburnya”
hanya sebagai bukti bahwa perkara ini yang diyakini dalam mazhab Syi’ah
juga diyakini oleh sebagian salaf mazhab Ahlus Sunnah [walaupun memang
berdasarkan dalil yang shahih sebagian salaf ini terbukti keliru dalam
perkara ini]. Kalau sebagian salaf tersebut tidak pantas dicela dan
dikafirkan karena membolehkannya maka mengapa hal itu menjadi celaan
ketika ada dalam mazhab Syi’ah.
.
.
.
Kesimpulan
Ada dua hal yang bisa disimpulkan dari pembahasan diatas yang menunjukkan kejahilan pencela seperti Al Amiriy
- Al Amiry berdusta ketika mengatakan dalam mazhab Syi’ah jima’ melalui dubur tidak membatalkan puasa. Faktanya riwayat yang dituduhkan adalah dhaif dan para ulama Syi’ah justru menyatakan batal puasanya karena jima’ melalui dubur
- Al Amiry mencela dan merendahkan mazhab Syi’ah yang membolehkan jima’ melalui dubur dengan keridhaan istri dan hukumnya makruh padahal sebagian salaf mazhab Ahlus Sunnah ada juga yang membolehkannya.
Akhir kata tidak henti-hentinya kami
mengingatkan pembaca agar berhati-hati dalam membaca tulisan para
pencela tentang mazhab Syi’ah. Mereka sudah terbiasa berdusta demi
mencela mazhab yang mereka benci. Tentu kami tidak melarang siapapun
untuk membaca tulisan mereka tetapi hendaknya diiringi dengan sikap
“tidak mudah percaya” sebelum membuktikan sendiri. Sangat menyedihkan
jika orang-orang awam ikut-ikutan mencela bahkan terlihat lebih
bersemangat merendahkan Syi’ah padahal hakikatnya mereka tertipu oleh
para pendusta.
Orang awam bersikaplah secara awam tidak
perlu berlagak ahli padahal hanya sekedar taklid kepada para pendusta.
Silakan saja bagi orang awam untuk menjauhkan diri dari mazhab Syi’ah
atau beranggapan mazhab Syi’ah sesat. Tetapi simpanlah hal itu di dalam
nurani masing-masing tidak perlu berlagak sok tahu bicara begini begitu
padahal hanya membaca tulisan-tulisan singkat dusta Al Amiry dan yang
lainnya. Ingat dan camkan hal ini baik-baik bahwa setiap orang akan
mempertanggungjawabkan perkataan dan perbuatannya masing-masing. Salam
Damai
Mengenai topik, pembahasan seperti ini akan selalu terikat dengan surat Al-Baqarah ayat 223. Ketika orang-orang terfokus pada kata “datangilah darimana/bagaimana saja kamu kehendaki”, justru Saya fokus pada makna “ladang”.
Bagaimana pendapat bung SP sendiri mengenai topik seperti ini?
MAHKOTA SYI’AH KITAB AL-KAFI TERJEMAH EDISI KRITIS 1
MELACAK AKAR KEYAKINAN SYIAH DARI SUMBER UTAMA
penulis : Amin Muchtar
pesan bias: bbm: 7D9D2DDD-52BAAD79,
hp/wa: 081221801973 / 089629420575 / 089683746759
harga Rp 60.000
gayanya kitab ini untuk menyadarkan orang syiah
Fokus yang Saya maksud bukan jalur menuju ladangnya, melainkan ladang itu sendiri, yaitu tempat menanamnya, yakni rahim.
Untuk pembahasan lebih rinci, mendalam dan penggunaan bahasa, sepertinya ini bukan tempat yang tepat ya bung SP? :D
Rony Syahroni, on Juli 9, 2015 at 12:10 am said:
Sebenarnya jika kita kembali kepada AlQuran larangan , dubur dijadikan lahan senggama sudah bisa kita baca kisah Nabi Luth as, tentang kaum Homo seksual yang telah ditenggelamkan Allah,itu menandakan haramnya sengggama melalui dubur,dosa besar dan laknat Allah,seharusnya orang beriman meyaqini itu,mengapa harus dibantah lagi melalui hadits segala, azabnya sudah jelas, jadi memang jelas siapapun yang menghalalkan senggama melalui dubur orang itu sudah tidak beriman, karena kufur terhadap ayat Allah, dasar manusia jika nafsunya telah mengalahkan akalnya maka telah menjadi syetan perbuatannya. sebab Albaqoroh 223 yang dimaksud lahan adalah Vagina lubangnya dzakar, seorang suami Muslim mendatangi istrinya melalui Vaginanya adalah Haq Allah, intinya adalah bertaqwa, jika dubur yang didatangi maka sudah melampaui batas.alias tidak bertaqwa.
Meluruskan Al Amiry : Benarkah Minum Tidak Membatalkan Puasa Dalam Mazhab Syi’ah?
علي بن إبراهيم، عن إسماعيل بن مرار، عن يونس، عن المفضل ابن عمر قال: قلت لأبي عبد الله عليه السلام: إن لنا فتيات وشبانا لا يقدرون على الصيام من شدة ما يصيبهم من العطش، قال: فليشربوا بقدر ما تروى به نفوسهم وما يحذرون
أحمد بن إدريس، وغيره، عن محمد بن أحمد، عن محمد بن الحسين، عن عمرو بن سعيد، عن مصدق بن صدقة، عن عمار، عن أبي عبد الله عليه السلام في الرجل يصيبه العطاش حتى يخاف على نفسه، قال: يشرب بقدر ما يمسك به رمقه ولا يشرب حتى يروى
اذا غلب العطش على الصائم حتى خشي منه الضرر ، أو لزم من الصبّر عليه الحرج الشديد ، جاز له أن يشرب من الماء مقدار ما يندفع به الضرر ويرتفع به الحرج ، ولا إثم عليه في ذلك ، ويبطل به صومه ، فيجب عليه قضاء صوم ذلك اليوم ، واذا كان في شهر رمضان وجب عليه أن يمسك عن المفطرات في بقية نهاره
إذا غلب على الصائم على العطش بحيث خاف من الهلاك يجوز له أن يشرب الماء مقتصرا على مقدار الضرورة ولكن يفسد صومه بذلك ويجب عليه الامساك بقية النهار إذا كان في شهر رمضان
إذا غلب على الصائم العطش و خاف الضرر من الصبر عليه ، أو كان حرجاً جاز أن يشرب بمقدار الضرورة و لا يزيد عليه على الأحوط ، و يفسد بذلك صومه ، و يجب عليه الإمساك في بقية النهار إذا كان في شهر رمضان على الأحوط
حدثنا عبيد الله بن معاذ حدثنا أبي ثنا شعبة عن قتادة وحميد عن أنس قال مطرنا بردا وأبو طلحة صائم فجعل يأكل منه قيل له أتأكل وأنت صائم فقال إنما هذا بركة
قلت وهذا الحديث الموقوف من الأدلة على بطلان الحديث المتقدم ” أصحابي كالنجوم بأيهم اقتديتم اهتديتم ” إذ لوصح هذا لكان الذي يأكل البرد في رمضان لا يفطر اقتداء بأبي طلحة رضي الله عنه، وهذا مما لا يقوله مسلم اليوم فيما أعتقد
Terkait
2 Tanggapan
mereka yakin bahwa ajarannya hanya bisa ditegakkan dengan kebohongan, para pengikut awam wahabi hanya akan puas dengan kebohongan-kebohongan para syeikh-syeikh mereka dan tidak akan pernah mau mendengar yg haq dari siapa pun diluar syeikh-syeikh mrk. mereka ditakdirkan tersesat karena tidak mau berpikir.
makasih atas ilmunya..
MEMBONGKAR KEPALSUAN HADITS BERPEGANG PADA SUNNAHKU DAN SUNNAH KHULAFA` RASYIDIN
.Mau tau siapa yang sesat !? Baca haditts ini !
Silahkan anda bertanya kepada semua orang mengenal hadits-hadits nabi. Tanyakan tentang hadits Tsaqalain dan yang sepadan dengannya hadits al-Ghadir, kenapa mereka begitu bersungguh menyembunyikannya, jika tidak disembunyikan bolehkah kekuasaan mereka ditegakkan !?. Tapi yang lebih penting adalah menentukan pilihan hidup, mati, syurga dan neraka un...
Continue Reading
MEMBONGKAR KEPALSUAN HADITS BERPEGANG PADA SUNNAHKU DAN SUNNAH KHULAFA` RASYIDIN
Mau tau siapa yang sesat !? Baca haditts ini !
Silahkan anda bertanya kepada semua orang mengenal hadits-hadits nabi. Tanyakan tentang hadits Tsaqalain dan yang sepadan dengannya hadits al-Ghadir, kenapa mereka begitu bersungguh menyembunyikannya, jika tidak disembunyikan bolehkah kekuasaan mereka ditegakkan !?. Tapi yang lebih penting adalah menentukan pilihan hidup, mati, syurga dan neraka untuk diri sendiri.
.
Ada dua pusat perkembangan mazhab dalam Islam yang bergerak seiring, Mazhab Sunni dan Mazhab Syiah, Perkembangan mazhab Sunni di Syam oleh Muawiyah adalah lanjutan dari Makkah dan Madinah oleh Khalifa' rasyidin, yang berakar dari peristiwa Saqifah, karena itu rakyat mereka dari kecil hanya mendengar hadits berpegang pada al Quran dan Sunnahku. Disini juga subur hadits-hadits yang mengutamakan sahabat berbanding para Ahlul Bait sedangkan dalam al Quran hanya ada seorang saja sahabat nabi saw yang disebut. Dia adalah Zaid bin Haritsah (578-629). Al-Quran mengabadikan namanya dalam surah al-Ahzab [37] ayat 37. “... Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (bercerai), Kami nikahkan engkau dengannya (janda Zaid/Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri dari anak angkat mereka. ...”
Sedangkan sebagian besar ayat al Quran adalah padanan yang menyangkut Nabi-nabi dan Ahlul Bait.
.
Perkembangan Mazhab Syiah pula berlaku di Iraq dan Iran atas sebab perkahwinan Imam Husein dengan puteri Kaisar Iran, Sara Banu serta peristiwa Karbala yang membuat pengkembangan sejarah Syiah Ali begitu pesat di Iraq dan Iran.
.
Sementara itu perkembangan Wahabi di Nadj oleh keluarga Saud yang didukung oleh kepentingan politik penjajah Ingeris agak terpisah dan terkemudian walaupun berkembang di lingkungan Sunni, tapi mereka memilih fahaman mereka sendiri dari seorang ulama, Muhammad bin Abdul Wahab sebagai jati diri aliran mereka. Dari kelompok ini mereka menolak seratus peratus hadits Tsaqalain dan hadist al-Ghadir dengan berbagai alasan dan riwayat mengikut logik yang diusahakan agar dapat dipadankan dengan sejarah Islam dan kejadian-kejadian yang berlaku di waktu yang sama dengan tarikh peristiwa di Ghadir Khum tersebut. Dari mulut, mereka mengaku mencintai Ahlul Bait tapi sebenarnya mereka amat membenci Ahlul Bait,
.
Bagi mazhab Syiah pula, karena sejarahnya seiring dengan segala macam peristiwa yang melibatkan Ahlul Bait Nabi saww mereka berpegang kepada hadits Rasulullah saww di haji terakhirnya yang berwasiat kepada umat Islam, dan mengucapkan, hadits Tsaqalain dan yang sepadan dengannya hadits al-Ghadir dan padanan dari al-Quran, ayat Ikmaluddin (Almaidah :3). Berikut hadits Tsaqalain tersebut:
.
“Wahai umatku, aku meninggalkan dua pusaka berharga bagi kalian, yang jika kalian mengikuti keduanya, KALIAN TIDAK AKAN TERSESAT SETELAHKU SELAMANYA. Yang pertama adalah KITAB ALLAH, dan yang kedua adalah AHLUL BAITKU."
Perhatikan kata “tersesat” dalam hadits tersebut. Berdasarkan hadits di atas, jika kita ingin tahu siapakah umat yang tersesat di antara kita, maka jelas yang tersesat adalah orang yang tidak berpegang teguh kepada kitab Allah dan Ahlul Bait nabi.
.
Ahlu Sunnah, mengaku sebagai pengikut kitab Allah dan mencintai keluarga nabi, maka jelas mereka bukanlah umat yang sesat.
.Syiah pula, adalah pecinta Ahlul Bait nabi, bahkan mengaku lebih mencintai Ahlul Bait ketimbang Ahlu Sunnah, maka jelas Syiah lebih tidak sesat daripada Ahlu Sunnah, Sila semak dengan berlapang dada sehingga selesai, kemungkinan ada kefahaman baru bahawa Syiahlah yang sebenarnya Ahlu Sunnah. Bila dipadankan dengan ayat An-Nisaa' 59 berikut ini: "Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibat-nya."
(An-Nisaa': 59)
.
Lalu atas dasar apa sebagian pihak saling menuduhkan kesesatan kepada kelompok lainnya? Bukankah yang mengetahui kesesatan secara sebenarnya hanyalah Allah? Apa kita tidak khawatir menuduh suatu kelompok dengan tuduhan sesat ternyata di mata Allah tidak ? Siapa kita !?
.
Perlu diingat bahawa hadits Tsaqalain bukan saja dapat disandingkan dengan hadits berpegang pada al quran dan Sunnahku malah begitu sepadan pula dengan hadits al Ghadir malah jauh lebih populer di mazhab Syiah. Seluruh hadits-hadits yang telah diriwayatkan dalam bidang ini merupakan hadits-hadits sahih dan masyhur dan sebagian mutawatir; akan tetapi hadits al-Ghadir bahkan melebihi tingkatan tawatur.
.
Almarhum ‘Alamal Huda Sayyid Murtada Ra bertutur tentang masalah ini:
“Barang siapa yang menghendaki dalil dari riwayat ini, seolah-olah menghendaki dalil kebenaran riwayat ghazawat dan keadaan Rasulullah Saw dan sedemikian terang sehingga ia seakan-akan meragukan akan kebenaran riwayat hajjatul wida’. Lantaran kesemua ini dari sisi kemasyhuran berada pada satu tingkatan.Lantaran seluruh ulama Syi’ah menukil riwayat ini dan demikian juga para muhaddits (ahli hadits) dengan sanad-sanad meriwayatkan hadits tersebut. Para sejarawan dan penulis sejarah sebagaimana mereka menarasikan peristiwa-peristiwa penting, tanpa sanad tertentu melalui generasi demi generasi meriwayatkan peristiwa-peristiwa tersebut. Dan para ahli hadits memverifikasi riwayat al-Ghadir dan mengolongkannya sebagai hadits sahih.
.
Riwayat ini memiliki keistimewaan. Sementara riwayat-riwayat yang lain tidak memiliki keistimewaan sebagaimana riwayat ini. Karena khabar atau riwayat terdiri dari dua bagian:
.
Bagian pertama adalah khabar atau riwayat yang tidak memerlukan sanad yang bersambung; seperti riwayat peperangan Badar, Khaibar, Jamal, Shiffin dan seluruh kejadian-kejadian penting yang diketahui oleh orang-orang melalui generasi demi generasi tanpa bersandar pada sanad.
.
Bagian yang kedua adalah khabar atau riwayat yang memerlukan sanad yang bersambung; misalnya riwayat yang berkenaan dengan hukum-hukum syariat.
.
Riwayat Ghadir telah dinukil melalui dua jalan ini. Maksudnya di samping riwayat tentang Ghadir sedemikian makruf dan masyhurnya dan tidak memerlukan sanad, ia juga memiliki sanad yang bersambung.
Terlebih riwayat yang dinukil dengan hukum-hukum syariat semuanya merupakan khabar wahid (satu orang yang meriwayatkannya, Ak); akan tetapi riwayat tentang al-Ghadir banyak yang merawikannya.
.
Bukan di sini tempatnya untuk menyebutkan satu persatu perawi yang meriwayatkan hadits atau kabar Ghadir, lantaran tidak hanya tempatnya yang terbatas tetapi juga kita tidak terlalu berhajat dengannya. Almarhum Allamah Amini Ra menyebutkan para perawi hadits ini sesuai dengan urutan masa hidupnya. Kami hanya akan mencukupkan diri dengan menyebut jumlah perawi hadits al-Ghadir pada setiap zamannya. Bagi mereka yang ingin mengkaji lebih jeluk, silahkan rujuk kepada kitab al-Ghadir karya Allamah Amini.
.
Di antara para sahabat Rasulullah Saw terdapat 110 sahabat yang meriwayatkan hadits al-Ghadir ini;
Di antara para thabi’in terdapat 84 orang;Di antara ulama abad kedua Hijriah terdapat 56 orang;
Di antara ulama abad ketiga Hijriah terdapat 92 orang;
Di antara ulama abad keempat Hijriah terdapat 43 orang;
Di antara ulama abad kelima Hijriah terdapat 24 orang;
Di antara ulama abad keenam Hijriah terdapat 20 orang;
Di antara ulama abad ketujuh Hijriah terdapat 21 orang;
Di antara ulama abad kedelapan Hijriah terdapat 18 orang;
Di antara ulama abad kesembilan Hijriah terdapat 16 orang;
Di antara ulama abad kesepuluh Hijriah terdapat 14 orang;
Di antara ulama abad kesebelas Hijriah terdapat 12 orang;
Di antara ulama abad keduabelas Hijriah terdapat 13 orang;
Di antara ulama abad ketigabelas Hijriah terdapat 12 orang;
Di antara ulama abad keempatbelas Hijriah terdapat 19 orang;
.
Dan Hamu menulis:
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadits ini dengan 40 sanad, Ibn Jarir at-Tabari dengan tujuh puluh dua sanad, Jazari Muqarri dengan delapan puluh sanad, Ibn Uqdah dengan seratus lima sanad, Abu Sa’ad Mas’ud Sajistani dengan seratus dua puluh sanad, dan Abu Bakar Jua’bi dengan seratus dua puluh lima sanad.
.
Ibn Hajar dalam kitabnya Shawaiqul Muhriqa menulis, “Hadits ini diriwayatkan oleh tiga puluh orang sahabat Rasulullah Saw sanad-sanad hadits tersebut adalah sanad-sanad sahih dan hasan.”
.
Ibn Maghazali dalam kitabnya Manâqib menulis:
“Hadits Ghadir adalah hadits sahih dimana kira-kira seratus orang sahabat yang di antara mereka adalah orang-orang yang mendapatkan berita gembira masuk surga (‘asyara mubasyarah) meriwayatkan hadits ini dari Nabi Saw. Hadits ini adalah hadits yang sifatnya tsâbit (tetap) dan tidak ada isyakalan atasnya. Dan kenyataan ini merupakan keutamaan Imam ‘Ali As yang tidak dimiliki oleh seorang pun.”
.
Sayyid Ibn Thawus salah seorang ulama besar Syi’ah dalam kitabnya Iqbâl al-A’mâl menulis:
“Abu Sa’ad Mas’ud bin Nasir Sajistani menyusun sebuah kitab yang terdiri dari sepuluh juz yang bernama ad-Dirâyah fii hadits al-Wilâyah dan hadits ini ia riwayatkan dari seratus dua puluh sahabat.”
Muhammad bin Jarir ath-Thabari dalamnya kitabnya ar-Rad ‘ala al-Hurqusha menulis, “Bahwa hadits wilayah diriwayatkan dari tujuh puluh lima jalan.”
.
Abul Qasim ‘Abdullah Huskani dalam masalah ini menyusun sebuah kitab tersendiri yang berjudul “Du’a al-Hudat ilaa Ada Haqqi al-Walât. Abul ‘Abbas Ahmad bin Sa’id bin ‘Uqda juga menulis sebuah kitab yang diberi judul Hadits al-Wilâyah dan hadits ini ia nukil dari seratus lima puluh orang. Setelah menukil redaksi para perawi, ia menulis:
“Seluruh kitab-kitab ini selain kitab at-Thabari ada pada perpustakaan pribadi penulis; khususnya kitab Ibn Uqdah yang telah disusun pada masa hidupnya (tahun 330 H).”
.
Semenjak abad kedua hingga masa-masa munculnya mazhab, tidak satu pun dari perawi hadits ini berasal mazhab Syi’ah. Di kalangan Syi’ah jarang dijumpai seorang alim yang tidak menukil hadits ini dengan sanad yang berbeda.
.
Signifikansi hadits Ghadir ini sedemikian asasinya sehingga banyak ulama Islam menulis atau menyusun kitab perihal peristiwa al-Ghadir. Sesungguhnya Allamah Amini dalam kitab al-Ghadir, hingga masanya terdapat dua puluh enam kitab tersendiri telah ditulis atau diriset oleh para ulama dalam membuktikan tawaturnya hadits al-Ghadir.
.
Masalah ini sedemikian terangnya dan jelasnya dan merupakan perkara yang pasti pada semua orang sehingga Ahli Bait As dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam pelbagai kesempatan berdalil dan berdebat menggunakan hadits al-Ghadir ini.
.
Kita jumpai dalam riwayat-riwayat yang beragam dimana Amirul Mukminin As sepanjang tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw dalam berbagai majelis bersumpah bahwa apakah kalian tidak mengingat Rasulullah Saw bersabda pada hari Ghadir: “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya.” Dan mereka bersumpah bahwa mereka telah mendengarnya dari Nabi Saw.
.
Sesuai dengan apa yang telah dibahas sebelumnya, hadits al-Ghadir merupakan peristiwa yang tidak dapat disepelekan oleh orang-orang tabahkar dan atau ditutup-tutupi oleh sekelompok orang-orang jahil; apatah lagi untuk menutupi mentari benderang hakikat Imam ‘Ali As. Dengan alasan ini, seorang ulama, ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqsud Misri yang menyusun kitab Imam ‘Ali As, sembari taqriz kitab al-Ghadir, ia menulis:
“Hadits Ghadir tanpa syak, merupakan sebuah kenyataan yang dengan sendirinya tidak akan pernah sirna; Hadits Ghadir merupakan hadits yang jelas dan terang, seperti terangnya siang hari. Dan hal ini merupakan salah satu kenyataan yang jelas bahwa Ghadir adalah sumber ilham yang tersebar dari dada Nabi Saw hingga ia memaklumkan orang pilihan dan binaannya di antara umat.
.
PADANAN AYAT IKMALUDDIN DI GHADIR KHUM SETELAH PERISTIWA MAN KUNTU MAULA FA ALIYUN MAULA
.
Fakta yang terlupakan, Ayat Ikmaluddin (Almaidah :3)
.
Ayat ini merupakan ayat yang turun setelah Ayat At-Tabligh yang terjadi di peristiwa Ghadir , pada tanggal 18 Julhijjah 10 Hijriah yang merupakan penegasan akan kesempurnaan agama setelah tersampainya seluruh risalah dan penegakkan kepemimpinan.
. الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً
.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu”
Banyak sekali dari para ulama suni besar a’lam yang menceritakan turunnya hadits ini dalam peristiwa ghadir khum, dari sekian banyak tersebut diantaranya:
1. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir At-Thabari , wafat 310 H
2. Abul Hasan Ali ibn Umar Ad-daruquthni , wafat 380
3. Abu Hafsh ibn Shahin , wafat 380
4. Abu Abdillah Alhakim an-Nisaburi , wafat 405
5. Abu Bakar Ahmad ibn Musa Ibn Mardawiah Alisfahani, wafat 410
6. Abu Na’im Ahmad ibn Abdullah Alisfahani, wafat 430
7. Abu Bakar Ahmad ibn Husein Albaihaqi , wafat 458
8. Abu Bakar Alkhathib albaghdadi, wafat 463
9. Abu Alhusein ibn Anuqur, wafat 480
10. Abu sa’id Mas’ud ibn Nashir As-sajestani, wafat 477
11. Abu alhasan Abu Almaghazali Alwasithi, wafat 483
12. Abu Alwasim alhakim Alhaskani
13. Alhasan ibn ahmad Alhaddad Alisbahani , 515
14. Abu Bakar Almazrafi, wafat 527
15. Abu Alhasan Ibn Qubais, wafat 530
16. Abu alqasim ibn As-Samarqandhi, wafat 536
17. Abu alfath An-Nathnazi, wafat 550
18. Abu Manshur Syahdar ibn Syiwiyah Ad=Dilmi , wafat 558
19. Almuwaffiq ibn Ahmad Almakki Alkhawarizmi, wafat 568
20. Abu alwasim ibn Asakir Ad-Damisyki, hal 571
21. Abu Hamid sa’d Addin As-shalihani
22. Abu Almudzaffar sabti ibn Jauzi, wafat 654
23. Abdurazzaq Ar-Ras’ani, wafat 661
24. Imaduddin ibn katsir Ad-Dimesyki, wafat 774
25. Jalaluddin as-suyuthi , wafat 911
.
Di sini kami petik nama-nama perawi hadits al-Ghadir di kalangan para sahabat tentang perlantikan ‘Ali AS sebagai khalifah secara langsung selepas Rasulullah SAWW. Sebagaimana sabdanya:’Siapa yang telah menjadikan aku maulanya, maka ‘Ali adalah maulanya.’ Dan semua nama-nama perawi tersebut telah diriwayatkan oleh para ulama Ahlus-Sunnah di dalam buku-buku mereka seperti berikut:
1. Abu Hurairah al-Dausi (w.57/58H). Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad, VII, hlm. 290. Al-Khawarizmi di dalam Manaqibnya, hlm. 130. Ibn Hajr di dalam Tahdhib al-Tahdhib, VII, hlm. 327.
2. Abu Laila al-Ansari (w. 37H). Diriwayatkan oleh al-Hawarizmi, di dalam Manaqibnya, hlm. 35. Al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 14.
3. Abu Zainab bin ‘Auf al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307. Ibn Hajr di dalam al-Isabah, III, hlm. 408.
4. Abu Fadhalah al-Ansari, sahabat Nabi SAWAW di dalam peperangan Badr. Di antara orang yang memberi penyaksian kepada ‘Ali AS dengan hadith al-Ghadir di hari Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307.
5. Abu Qudamah al-Ansari. Di antara orang yang menyahut seruan ‘Ali AS di hari Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, V, hlm. 276.
6. Abu ‘Umrah bin ‘Umru bin Muhsin al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307. Di antara yang menjadi saksi kepada ‘Ali AS di hari Rahbah dengan hadith al-Ghadir.
7. Abu l-Haitham bin al-Taihan meninggal dunia di dalam peperangan al-Siffin tahun 37H. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 62.
8. Abu Rafi’ al-Qibti, hamba Rasulullah SAWAW. Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Maqtal dan Abu Bakr al-Ja’abi di dalam Nakhbnya.
9. Abu Dhuwaib Khuwalid atau Khalid bin Khalid bin Muhrith al-Hazali wafat di dalam pemerintahan Khalifah ‘Uthman. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah, al-Khawarizmi di dalam Maqtal.
10. Abu Bakr bin Abi Qahafah al-Taimi (w.13H). Diriwayatkan oleh Ibn Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadith al-Wilayah, Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb, al-Mansur al-Razi di dalam kitabnya Hadith al-Ghadir, Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 3 di antara perawi-perawi hadith al-Ghadir.
11. Usamah bin Zaid bin al-Harithah al-Kalbi (w.54H). Diriwayatkan di dalam Hadith al-Wilayah dan Nakhb al-Manaqib.
12. Ubayy bin Ka’ab al-Ansari al-Khazraji (w. 30/32H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja’abi dengan sanad-sanadnya di dalam Nakhb al-Manaqib.
13. As’ad bin Zararah al-Ansari. Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4.
14. Asma’ binti Umais al-Khath’amiyyah. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadith al-Wilayah.
15. Umm Salmah isteri Nabi SAWAW. Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di dalam Yanabi al-Mawaddah, hlm. 40.
16. Umm Hani’ binti Abi Talib. Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 40 dan Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah dengan sanad-sanadnya.
17. Abu Hamzah Anas bin Malik al-Ansari al-Khazraji hamba Rasulullah SAWAW (w. 93H). Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikhnya, VII, hlm. 377; Ibn Qutaibah di dalam al-Ma’arif, hlm. 291; al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114.
18. Al-Barra’ bin ‘Azib al-Ansari al-Ausi (w. 72H). Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, IV, hlm. 281; Ibn Majah di dalam Sunan, I, hlm. 28-29.
19. Baridah bin al-Hasib Abu Sahl al-Aslami (w. 63H). Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak, III, hlm. 110; al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114.
20. Abu Sa’id Thabit bin Wadi’ah al-Ansari al-Khazraji al-Madani. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307.
21. Jabir bin Samurah bin Janadah Abu Sulaiman al-Sawa’i (w. 70H). Diriwayatkan oleh al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-Ummal, VI, hlm. 398.
22. Jabir bin Abdullah al-Ansari (w. 73/74H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Birr di dalam al-Isti’ab, II, hlm. 473; Ibn Hajr di dalam Tahdhib al-Tadhib, V, hlm. 337.
23. Jabalah bin ‘Umru al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadith al-Wilayah.
24. Jubair bin Mut’am bin ‘Adi al-Qurasyi al-Naufali (w. 57/58/59 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 31, 336.
25. Jarir bin ‘Abdullah bin Jabir al-Bajali (w. 51/54 H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX, hlm. 106.
26. Abu Dhar Janadah al-Ghaffari (w.31 H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah; Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4.
27. Abu Junaidah Janda’ bin ‘Umru bin Mazin al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 308.
28. Hubbah bin Juwain Abu Qadamah al-’Arani (w. 76-79H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX, hlm. 103; al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad, VIII, hlm. 276.
29. Hubsyi bin Janadah al-Jaluli. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307, V, hlm. 203; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa Nihayah, VI, hlm. 211.
30. Habib bin Badil bin Waraqa’ al-Khaza’i. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 368; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 304.
31. Huzaifah bin Usyad Abu Sarihah al-Ghaffari. (w.40/42 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 38.
32. Huzaifah al-Yamani (w.36 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 40.
33. Hasan bin Tsabit. Salah seorang penyair al-Ghadir pada abad pertama Hijrah.
34. Imam Mujtaba Hasan bin ‘Ali AS. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah dan Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb.
35. Imam Husain bin ‘Ali AS. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Hilyah al-Auliya’, IX, hlm.9.
36. Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Ansari (w.50/51H). Diriwayatkan oleh Muhibuddin al-Tabari di dalam al-Riyadh al-Nadhirah, I, hlm. 169; Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabbah, V, hlm. 6 dan lain-lain.
37. Abu Sulaiman Khalid bin al-Walid al-Mughirah al-Makhzumi (w. 21/22H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb.
38. Khuzaimah bin Thabit al-Ansari Dhu al-Syahadataini (w. 37 H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah,III, him. 307 dan lain-lain.
39. Abu Syuraih Khuwailid Ibn Umru al-Khaza’i (w. 68 H). Di antara orang yang menyaksikan Amiru l-Mukminin dengan hadith alGhadir.
40. Rifalah bin Abd aI-Mundhir al-Ansari. Dirlwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadith al-Wilayah.
41. Zubair bin al-Awwam al-Qurasyi (w. 36 H). Diriwayatkan oieh Syamsuddln al-Jazari ai-Syafi’i di dalam Asna l-Matalib. him.3.
42. Zaid bin Arqam al-Ansari al-Khazraji (w. 66/68 H). Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya. IV. hIm. 368 dan lain-lain.
43. Abu Sa’ld Zaid bin Thabit (w. 45/48 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna l-Matalib him. 4 dan lain-lain.
44. Zaid Yazid bin Syarahil al-Ansari Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah,, II. hIm. 233; Ibn Hajr di dalam al-Isabah. I. him. 567 dan lain-lain.
45. Zaid bin Abdullah al-Ansari. Diriwayatkan oleh lbn ‘Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadith al-Wilayah.
46. Abu Ishak Sa’d bin Abi Waqqas (w. 54/56/58 h). Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak, III, hlm. 116 dan lain-lain.
47. Sa’d bin Janadah al-’Aufi bapa kepada ‘Atiyyah al-’Aufi. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah dan lain-lain.
48. Sad bin Ubadah al-Ansari al-Khazraji (w. 14/15 H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja’abi di dalam Nakhb.
49. Abu Sa’id Sad bin Malik al-Ansari al-Khudri (w. 63/64/65 H). Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Manaqibnya, hlm. 8; Ibn Kathir di dalam Tafsirnya, II, hlm. 14 dan lain-lain.
50. Sa’id bin Zald al-Qurasyi ‘Adwi (w. 50/5 1 H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Maghazili di dalam Manaqibnya.
51. Sa’id bin Sa’d bin ‘Ubadah al-Ansari. Dlriwayatkan oleh Ibn‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah.
52. Abu ‘Abdullah Salman al-Farisi (w. 36/37 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddln al-Jazari al-Syafl’i di dalam Asna l-Matallb, hlm. 4 dan lain-lain.
53. Abu Muslim Salmah bin ‘Umru bin al-Akwa’ al-Aslami (w.74 H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dengan sanad-sanadnya dl dalam Hadith aI-Wilayah.
54. Abu Sulaiman Samurah bin Jundab al-Fazari (w. 58/59/60 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
55. Sahal bin Hanifal-Ansari al-Awsi (w. 38 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna l-Matalib, him. 4 dan lain-lain.
56. Abu ‘Abbas Sahal bin Sa’d al-Ansari al-Khazraji al-Sa’idi (w.91 H). Diriwayatkan oieh al-Qunduzi 1-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 38 dan lain-lain.
57. Abu Imamah al-Sadiq Ibn ‘Ajalan al-Bahili (w. 86 H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalain Hadith al-Wilayah.
58. Dhamirah al-Asadi. Dlriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di daiam Hadith al-Wilayah.
59. Talhah bin ‘Ubaidillah al-Tamimi wafat pada tahun 35 Hijrah di dalam Perang Jamal. Dirlwayatkan oleh al-Mas’udi di dalam Muruj al-Dhahab, II, hlm. 11; al-Hakim didalam al-Mustadrak,III, hlm. 171 dan lain-lain.
60. Amlr bin ‘Umair al-Namiri Diriwayatkan oleh Ibn Hajr di dalam al-Isabah II, hlm. 255.
61. AmIr bin Laila bin Dhumrah. Dirlwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hln. 92, dan lain-lain.
62. ‘Amir bin Laila a1-Gbaffari Diriwayatkan oleh Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hIm. 257 dan lain-lain.
63. Abu Tupail ‘Amir bin Wathilah. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I. hlm. 118; al-Turmudhi di dalam Sahihnya, II, hlm. 298 dan lain-lain.
64. ‘Alsyah binti Abu Bakr bin Abi Qahafah, Isteri Nabi Sawaw Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah.
65. ‘Abbas bin ‘Abdu l-Muttallib bin Hasyim bapa saudara Nabi Sawaw. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah.
66. ‘Abdu r-Ráhman bin ‘Abd Rabb al-Ansari. Dirlwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd ai-Ghabah, III, hIm. 307; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, him. 408 dan lain-lain.
67. Abu Muhammad bin ‘Abdu r-Rahman bin Auf al-Qurasyi al-Zuhri (w. 31 H), Diriwayatkan oieh Syamsuddin al-Jazari a!Syafi’i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 3 dan lain-lain.
68. ‘Abdu r-Rahman bin Ya’mur al-Daili Diriwayatkan oleb Ibn ‘Uqdah dl dalam Hadith al-Wilayah dan lain-lain.
69. ‘Abdullah bin Abi ‘Abd al-Asad al-Makhzumi. Di riwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah.
70. ‘Abdullah bin Badil bin Warqa’ Sayyid Khuza’ah. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah.
71. ‘Abdullah bin Basyir al-Mazini. Dlrlwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Had ith al-Wilayah.
72, ‘Abduilah bin Thabit al-Ansari. Dlriwayatkan oleh al-Qadhi didalam Tarikh Ali Muhammad, him. 67.
73. ‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Talib al-Hasyimi (w, 80 H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah
74. ‘Abdullah bin Hantab al-Qurasyi al-Makhzumi. Dlrlwayatkanoleh al-Suyuti di dalam Ihya’ al-Mayyit.
75. ‘Abdullah bin Rabi’ah. Dlrlwayatkan oleh al-Khawarizmi didalam Maqtalnya.
76. ‘Abdullah bin ‘Abbas (w. 68 H). Diriwayatkan oleh al-Nasa’i di dalam al-Khasa’is, hlm. 7 dan lain-lain.
77. ‘Abdullah bin Ubayy Aufa ‘Alqamah al-Aslami (w. 86/87 H). Dlriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah hal.78. Abu ‘Abdu r-Rahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khattab al-’Adawi (w. 72/73 H), Dlrlwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’ld, IX, hIm. 106 dan lain-lain,
79. Abu ‘Abdu r-Rahman ‘Abdullah bin Mas’ud al-Hazali (w. 32 /33 H). Dlriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam al-Durr al-Manthur, II, hlm. 298 dan lain-lain.
80. ‘Abdullah bin Yamil. Dlriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd ol-Ghabah,III, him. 274; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II,hlm. 382 dan lain-lain.
81. ‘Uthman bin ‘Affan (w. 35 H). Dirilwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah dan lain-lain.
82. ‘Ubaid bin ‘Azib al-Ansari, saudara al-Bara’ bin ‘Azib. Di antara orang yang membuat penyaksian kepada ‘Ali A.S. di Rahbah. Dirlwayatkan oleh Ibn al-AthIr di dalam Usd al-Ghabah, III, him.
307.
83. Abu Tarif Adi bin Hatim (w. 68 H). Diriwayatkan oieh al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, him. 38
dan lain-lain.
84. ‘Atiyyah bin Basr al-Mazini. Diriwayatkan oleh lbn ‘Uqdah di dalam Had ith al-Wilayah.
85. ‘Uqbah bin Amir al-Jauhani. Diriwayatkan al-Qadh di dalam
Tarikh Ali Muhammad, him. 68.
86. Amiru l-Mukminin ‘Ali bin Abi Talib A.S. Diriwayatkan oieh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 152: al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX. him. 107; al-Suyuti di dalam Tarlkh al-Khulafa’ , him. 114; Ibn Hajr di dalam Tahdhlb al-Tahdhlb, VII, him. 337; Ibn Kathir dl dalain al-Bidayah wa al-Nihayah. V. him. 211 dan lain-lain.
87. Abu Yaqzan ‘Ammar bin Yasir (w. 37 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalain Asna al-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
88. ‘Ammarah al-Khazraji al-Ansari. Dlrlwayatkan oieh al-Halthami dl dalam MaJma’ al-Zawa’ld, IX, him. 107 dan lain-lain.
89. ‘Umar bin Abi Salmah bin ‘Abd al-Asad al-Makhzumi (w. 83 H). Dlriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah.
90. ‘Umar bin al-Khattab (w. 23 H). Diriwayatkan oleh Muhibbuddin al-Tabari dl dalam al-Rlyadh aI-Nadhirah, H, him. 161; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah. VII. Mm. 349 dan lain-lain.
91. Abu Najid ‘Umran bin Hasin al-Khuza’i (w. 52 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin ai-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna al-Matalib. him. 4 dan lain-lain.
92. Umru bin al-Humq al-Khuza’i al-Kufi (w. 50 H). Diriwayatkan oieh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah.
93. ‘Umru bin Syarhabil. Dlrlwayatkan oleh aI-Khawarizmi di dalain Maqtalnya.
94. ‘Umru bin al-Asi Diriwayatkan oleh Ibn Qutaibah di dalam al-Imamah wa al-Slyasah, him. 93 dan lain-lain.
95. ‘Umru bin Murrah al-Juhani Abu Talhah atau Abu Maryam. Diriwayatkan oleh al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-’Ummal, VI, him. 154 dan lain-lain.
96. Al.Siddiqah Fatimah binti Nabi Sawaw. Dlriwayatkan oieh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah dan lain-lain.
97. Fatimah binti Hamzah bin ‘Abdu l-Muttalib. Dlriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah.
98. Qais bin Thabit bin Syamas al-Ansari Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hIm. 368; lbn Hajr di dalam al-Isabah, I. him. 305 dan lain-lain.
99. Qais bin Sa’d bin ‘Ubadah al-Ansari al-Khazraji. Dlrlwayatkan oleh Ibn Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah.
100. Abu Muhammad Ka’ab bin ‘Ajrah al-Ansari al-Madani (w.5 1 H). Dlrlwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah.
101. Abu Sulaiman Malik bin al-Huwairath al-Laithi (w. 84 H) Dirtwayatkan oleh al-Suyutl di dalam Tarikh al -Khulafa’ , hlm. 114 dan lain-lain.
102. A1-Miqdad bin ‘Umry al-Kindi al-Zuhrl (w. 33 H). Dirlwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah dan lain-lain.
103. Najiah bin ‘Umru al-Khuzai. Dlrlwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, V. him. 6; Ibn Hajr di dalain al-Isabah,III, hlm. 542 dan lain-lain.
104. Abu Barzah Fadhiah bin ‘Utbah al-Aslami (w. 65 H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah.
105. Na’mar bin ‘Ajalan al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di
daiam Tarikh Ali Muhammad, him. 68 dan lain-lain.
106. Hasyim al-Mirqal Ibn ‘Utbah bin Abi Waqqas al-Zuhrl (w. 37 H). Dlrlwayatkan oieh Ibn al-Athir dl dalam Usd al-Ghabah, I, him. 366; Ibn Hajr di dalam aI-Isabah, 1, hlm. 305.
107. Abu Wasmah Wahsyiy bin Harb al-Habsyl al-Hamsi. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dl dalam Hadith al-Wilayah.
108. Wahab bin Hamzah. Diriwayatkan oieh al-Khawarizmi pada Fasal Keempat di dalam Maqtalnya.
109. Abu Juhallah Wahab bin Abdullah al-Suwa’i(w. 74 H). Dinwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah.
110. Abu Murazim Ya’li bin Murrah bin Wahab al-Thaqali. Diniwayatkan oleh Ibn al-Athir dl dalam Usd aI-Ghabah. II. him. 233; Ibn Hair di dalam aI-Isabah, Ill, him. 542
.
Demikian dikemukakan kepada kalian 110 perawi-perawl hadits al-Ghadir dikalangan para sahabat mengenal perlantikan ‘Ali A.S. sebagai khalifah secara langsung selepas Rasulullah Saww, oleh ularna-ulama Ahlus-Sunnah di dalam buku-buku mereka. Oleh karena Itu hadits ini sudah mencapai ke peringkat mutawatir. Kemudian diikuti pula oleh 84 perawl-perawi dari golongan para Tabi’in yang merlwayatkan hadits al-Ghadir serta 360 perawl-perawi di kalangan para ulama Sunnah yang meriwayatkan hadits tersebut di dalam buku-buku mereka. Malah terdapat 26 pengarang dari kalangan para ulama Ahlus-Sunnah yang mengarang buku-buku tentang hadis al-Ghadir. Untuk keterangan lebih lanjut silakan rujuk al-Amini, al-Ghadlr, I. hlm. 14 – 158.
.
Semoga kebenaran selalu mengiringi langkah kita…
.
(A) BUKHARI DAN MUSLIM MEMBUANG HADITS PERPEGANG PADA SUNNAHKU DAN SUNNAH KHULAFA` RASYIDIN
Mereka berdua tidak meriwayatkannya, dalam arti tidak mempercayai kesahihan hadis tersebutIni berarti kekurangan di dalam derajat kesahihan hadis tersebut, karena sesahih-sahihnya hadis adalah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh dua orang Syeikh, yaitu Bukhari dan Muslim. Kemudian yang diriwayatkan oleh Bukhari saja. Lalu yang diriwayatkan oleh Muslim saja. Kemudian yang memenuhi syarat keduanya. Kemudian yang memenuhi syarat Bukhari saja. Dan kemudian yang memenuhi syarat Muslim saja. Keutamaan-keutaman ini tidak terdapat di dalam hadis di atas.
.
(B) Hadis di atas terdapat di dalam Sunan Abu Dawud, Sunan Turmudzi dan Sunan ibnu Majah.
.(C) PERAWI DALAM SANAD HADIS ABU DAWUD SEORANG PENIPU DAN PEMBOHONG
.
(1) Walid bin Muslim meriwayatkan hadis di atas dari Tsaur an-Nashibi. Sebagaimana kata Ibnu Hajar al-'Asqolani, "Kakeknya telah terbunuh pada hari Muawiyah terserang penyakit sampar. Adapun Tsaur, jika nama Ali disebut dihadapannya dia mengatakan, "Saya tidak menyukai laki-laki yang telah membunuh kakek saya."
[Khulashah 'Abaqat al-Anwar, Jilid 2, Hal. 344]
.
(2) Adapun berkenaan dengan Walid, adz-Dzahabi berkata, "Abu Mushir mengatakan Abu Walid seorang penipu, dan mungkin dia telah menyembunyikan cacat para pendusta."
[Mizan al-I'tidal, Jilid 4, Hal. 347]
.
(3) Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata: "Ayahku ditanya tentangnya (tentang Walid), dia menjawab, 'Dia seorang yang suka mengangkat-angkat.’"
[Tahdzin at-Tahdzib, Jilid 11, Hal. 145]
.
(D) PERAWI DALAM SANAD HADIS TURMUDZI SEORANG PEMBOHONG
(1) Turmudzi telah meriwayatkan hadis ini dari Bughyah bin Walid. Dan, inilah pandangan para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tentang Bughyah bin Walid: Ibnu Jauzi berkata tentang Bughyah bin Walid: "Sungguh kami ingat bahwa Bughyah telah meriwayatkan dari orang-orang yang majhul dan orang-orang lemah. Mungkin saja dia tidak menyebutkan mereka dan tidak menyebutkan orang-orang yang meriwayatkan baginya."[Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, Jilid 1, Hal. 109].
.
(2) Ibnu Hiban berkata, "Tidak bisa berhujjah dengan Bughyah."
[Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, Jilid 1, Hal. 151].
.
(3) Ibnu Hiban juga berkata, "Bughyah seorang penipu. Dia meriwayatkan dari orang-orang yang lemah, dan para sahabatnya tidak meluruskan perkataannya dan membuang orang-orang yang lemah dari mereka."
[Al-Mawdhu'at, Ibnu Jauzi, Jilid 1, Hal. 218].
.
(4) Abu Ishaq al-Jaujazani berkata, "Semoga Allah merahmati Bughyah, dia tidak peduli jika dia menemukan khurafat pada orang tempat dia mengambil hadis."
[Khulashah 'Abagat al-Anwar, Jilid 2, Hal. 350].
.
(E) PERAWI DALAM SANAD HADITS IBNU MAJAH SEORANG PENCURI
Diriwayatkan melalui tiga jalur:.
(1) Jalur pertama terdapat Abdullah bin 'Ala. Adz-Dzahabi berkata tentangnya, "Ibnu Hazm berkata, 'Yahya dan yang lainnya telah mendaifkannya.'
[Mizan al-I'tidal, Jilid. 2, Hal. 343].
“Dia telah meriwayatkan hadis dari Yahya, dan Yahya adalah seorang yang majhul dalam pandangan Ibnu Qaththan."
[Tahdzib at-Tahdzib, Jilid 1, Hal. 280].
.
(2) Jalur kedua terdapat Ismail bin Basyir bin Manshur. Dia itu seorang pengikut aliran Qadariyyah di dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib.
[Tahdzib at-Tahdzib, Jilid 1, Hal. 284].
.
(3) Jalur ketiga disisi Ibnu Majah adalah sebagai berikut: Hadis diriwayatkan dari Tsaur —seorang nashibi— Abdul Malik bin Shabbah. Di dalam kitab Mizan al-I'tidal disebutkan, "Dia dituduh mencuri hadis."
[Tahdzib at-Tahdzib, Jilid 2, Hal. 656].
.
Di samping itu, hadits tersebut sebagai hadits ahad. Seluruh riwayatnya kembali kepada seorang sahabat, Urbadh bin Sariyah. Hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah, disamping Urbadh termasuk pengikut dan agen Muawiyah.
.
(F) FAKTA SEJARAH MENUNJUKKAN JIKA MUAWIYAH DAN KHULAFA` RASYIDIN TIDAK MENYEMBUNYIKAN HADITS YANG BERSANGKUTAN AHLU BAIT NABI SAWW KEKUASAAN MEREKA SEBAGAI KHALIFAH TIDAK BISA DITEGAKKAN
Sejarah menyebutkan bahwa sunnah belum ditulis pada masa Rasulullah saww. Bahkan Rasulullah saww melarang penulisan hadits:.
(1) "Janganlah kamu menulis sesuatu dariku. Barang siapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur'an maka hendaknya dia menghapusnya." Sebagaimana yang terdapat di dalam Sunan ad-Darimi
[Ahmad, Muslim, Turmudzi dan Nasa'i meriwayatkannya dari Abu Sa'id al-Khudri. dan Musnad Ahmad].
.
(2) Umar telah berijtihad secara gamblang untuk menghapus hadits. Urwah bin Zubair telah meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ingin menulis sunnah, lalu dia bermusyawarah tentang hal itu dengan para sahabat. Para sahabat memberi isyarat supaya dia menuliskannya. Maka mulailah Umar beristkharah kepada Allah tentang hal itu selama sebulan. Kemudian, pada suatu hari Allah menetapkan hatinya, lalu dia berkata: "Tadinya saya bermaksud ingin menulis sunnah, namun kemudian saya ingat satu kaum sebelum kamu yang menulis kitab-kitab dan menekuni pekerjaan itu lalu mereka meninggalkan Kitab Allah. Demi Allah, saya tidak akan mengenakan sesuatu apapun kepada Kitab Allah untuk selama-lamanya."
[Diriwayatkan oleh Hafidz al-Maghrib bin Abdul Barr dan Baihaqi di dalam kitab al-Madkhal, dari 'Urwah].
.
(3) Dari Yahya bin Ju'dah disebutkan bahwa Umar bin Khattab hendak menuliskan sunah, kemudian tampak baginya untuk tidak menuliskannya, maka dia pun mengumumkan di kota-kota, barangsiapa yang mempunyai sesuatu (hadis) di sisinya maka hendaknya dia menghapusnya.
[Jami' Bayan al-'llm wa Fadhlih, Jilid 1, Hal. 64-65].
.
(4) Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa setiap kali Khalifah Umar bin Khattab mengirim seorang hakim atau gubernur ke sebuah negeri dia memberikan pesan, dan salah satu dari pesannya ialah, "Ringkaskan Al-Qur'an, sedikitkan riwayat dari Muhammad, maka aku menyertaimu”.
[Tarikh ath-Thabari, Jilid 3, Hal. 273].
.
(5) Sejarah telah mencatat bahwa Khalifah Umar bin Khattab telah berkata kepada Abu Dzar, Abdullah bin Mas'ud dan Abu Darda,
"Hadis apa ini yang engkau sebarkan dari Muhammad !?"
[Kanz al-'Ummal, Jilid 10, Hal. 293].
.
(6) Juga disebutkan bahwa Umar bin Khattab mengumpulkan hadis dari seseorang, mereka mengira Umar bin Khattab hendak memeriksa dan meluruskannya sehingga tidak ada perselisihan di dalamnya, maka merekapun membawa tulisan-tulisan hadits mereka, lalu Umar membakarnya seraya berkata, "Kebohongan sebagaimana kebohongan Ahlul Kitab."
[Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Khatib dari al-Qasim di dalam kitab Tagyid al-'Ilm]
.
(7) Abu Bakar di mana dia membakar lima ratus hadits yang ditulis pada masa Rasulullah saww di jaman kekhilafahannya.
[Kanz al-'Ummmal, Jilid 1, Hal. 237-239]
.
(8) Aisyah berkata,
"Ayahku mengumpulkan lima ratus hadits Rasulullah saww, lalu dia tidur dengan keadaan berguling-guling (tidak tenang). Pada saat bangun pagi dia berkata, 'Wahai anak perempuanku, kemarikan hadits-hadits yang ada padamu.' Maka saya pun membawakannya, dan lalu dia membakarnya. Kemudian Ayah saya berkata, 'Saya takut saya mati sementara hadis-hadis ini masih berada di sisimu.'"
[Tadzkirah al-Huffadz, Jilid 1, Hal. 5].
.
(9) Umar bin Khattab telah memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri pada masa kekhilafahannya, bahwa barang siapa telah menulis sebuah hadis maka dia harus menghapusnya.
[Musnad Ahmad, Jilid 3, Hal. 12-14].
.
(10) Utsman pun melakukan hal yang sama. Karena dia telah memberi tanda tangan untuk meneruskan jalan yang telah ditempuh oleh Syeikhain, yaitu Abu Bakar dan Umar. Usman berkata di atas mimbar,
"Tidak boleh seorang pun meriwayatkan sebuah hadis yang belum pernah didengar pada masa Abu Bakar dan Umar."
[Kanz al-'Ummal, Jilid 10, Hal. 295, Hadis 29490].
.
(11) Kemudian sepeninggalnya jalan tersebut diteruskan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah bin Abi Sufyan berkata,
"Wahai manusia, sedikitkan riwayat dari Rasulullah saww, dan jika kamu menyampaikan hadits maka sampaikanlah hadits sebagaimana yang telah disampaikan pada masa Umar."
[Kanz al-'Ummal, Jilid 10, Hal. 291, Hadis 29413].
.
(G) ABU BAKAR SEBAGAI KHULAFA` RASYIDIN TIDAK BERSUNNAH
.(1) Bagaimana mungkin umat disuruh berpegang teguh pada khulafa` rasyidin, sedang Abu Bakar, Umar dan Utsman sebagai khulafa` rasyidin saja tidak bersunnah ?
.
(2) Bagaimana bisa mereka meriwayatkan hadis "Berpegang teguhlah kepada sunahku" sementara para sahabat dan khalifah tidak berpegang kepadanya, dan bahkan dengan lantang mereka mengatakan sesuatu yang lain dari itu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh adz-Dzahabi di dalam kitab Tadzkirah al-Huffadz. Adz-Dzahabi berkata,
"Sesungguhnya Abu Bakar Shiddiq mengumpulkan manusia sepeninggal wafatnya Nabi mereka. Lalu Abu Bakar berkata kepada mereka, 'Sesungguhnya kamu menyampaikan hadits-hadits Rasulullah saww namun kamu berselisih tentangnya, dan orang-orang sepeninggalmu akan lebih keras perselisihannya, maka oleh karena itu janganlah kamu menyampaikan satu hadis pun dari Rasulullah saww. Dan jika ada orang bertanya kepadamu maka katakanlah, di antara kita terdapat Kitab Allah, maka halalkan lah apa yang dihalalkannya dan haramkanlah apa yang diharamkannya."
[Adhwa 'ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, Muhammad Abu Rayyah, Hal. 53].
.
Bukankah jika Abu Bakar melarang menyampaikan hadist dari Rasul sawa, itu berarti ingkar sunahkah ?
.
Sedangkan al-Quran pula tertulis sebaliknya yaitu "Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibat-nya."
(An-Nisaa': 59)
.
ADA APA DENGAN SAHABAT RASUL YANG MEMBAKAR HADIST, APAKAH
ERTINYA SEMUA INI !? .
.
“Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat- sahabat Nabi): "Apakah yang dikatakannya tadi ?" Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.”
(QS.Muhammad: 16)
.
atau MEREKA PENGUASA, KHALIFAH YANG RAKUS , MEREKALAH SAHABAT YANG KALIAN BANGGAKAN YANG MEREBUT HAK IMAM ALI DAN SAYYIDAH FATIMAH, MEREKA BERKUASA HANYA MEMBUAT KERUSAKAN AGAMA ALLAH DI MUKA BUMI.
.
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ?
(QS.muhammad :22)
.
ATAU KARENA PERBUATANNYA TERPUTUSLAH TALI KEKELUARGAAN DENGAN NABI SAW..DAN AKHIRNYA ALLOH PUN MELAKNAT MEREKA,.
.
Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.
(QS. muhammad:23)
.
Rasulullah.saw juga sering melaknat para sahabat beliau yang durhaka !
.
Jadi salahkah jika kita melaknat saja para sahabat yang pernah dilaknat oleh Rasulullah.saww di Tabuk, gimana !?
.
Coba buka kitab Musnad Ahmad, Jil.2, No.34843, dan lihat sendiri bagaimana Rasulullah.saww melaknat para sahabat beliau yang durhaka di Tabuk !
.
Setiap yang diperbuat oleh Rasulullah.saww adalah Sunnah termasuk laknat yang beliau timpakan pada sahabat durhaka di Tabuk !
.
Mari kita meneladani setiap perbuatan Rasulullah.saw !
.
Bagaimana kita mau berpegang kepada sunnah Nabi. Jika sahabat saja melarang menuliskan sunnah Nabi. serta membakarnya...
HUTANG PIUTANG saja harus ditulis dengan dicatat... Kenapa SUNNAH NABI YANG LEBIH PENTING HARUS DILARANG MENULISKANYA. BAHKAN DIBAKAR MUSNAHKAN... hal ini harus diungkap. Ada apa sebenarnya ya !?
.
Peristiwa Hari Khamis Yang Kelabu,
UMAR PERNAH BERKATA DI HADAPAN NABI, CUKUP AL QURAN TAPI KENAPA SEKARANG MEREKA YANG MENGIKUTI UMAR MALAH MENGATAKAN MENGIKUTI AL QURAN DAN HADIS (SUNNAH) JADI JELASKAN UMAR ITU ANTI HADIST, Ada apa sebenarnya dengan Saidina Umar, sahabat mulia nabi saww ini !?Tinjauan Tafsir At Taubah Ayat 100 : Sahabat Nabi Yang Berhijrah Bukan Karena Allah
Tinjauan Tafsir At Taubah ayat 100 : Sahabat Nabi Yang Berhijrah Bukan Karena Allah
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قثنا اسود بن عامر قثنا إسرائيل عن الأعمش عن أبي صالح عن أبي سعيد الخدري قال إنما كنا نعرف منافقي الأنصار ببغضهم عليا
حدثنا محمد بن علي الصائغ ثنا سعيد بن منصور ثنا أبو معاوية عن الأعمش عن شقيق قال قال عبد الله من هاجر يبتغي شيئا فهو له قال : هاجر رجل ليتزوج امرأة يقال لها أم قيس وكان يسمى مهاجر أم قيس
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ أُمَّ قَيْسٍ بِنْتَ مِحْصَنٍ الْأَسَدِيَّةَ أَسَدَ خُزَيْمَةَ وَكَانَتْ مِنْ الْمُهَاجِرَاتِ الْأُوَلِ اللَّاتِي بَايَعْنَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ يَقُولُ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Benarkah Semua Peserta Perang Tabuk Dijamin Surga?
Benarkah Semua Peserta Perang Tabuk Dijamin Surga?
لَٰكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
.
حدثني يونس قال أخبرنا ابن وهب قال حدثني هشام بن سعد عن زيد بن أسلم عن عبد الله بن عمر قال : قال رجل في غزوة تبوك في مجلس : ما رأينا مثل قرائنا هؤلاء ، أرغبَ بطونًا ، ولا أكذبَ ألسنًا ، ولا أجبن عند اللقاء! فقال رجل في المجلس : كذبتَ ، ولكنك منافق ! لأخبرن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فبلغ ذلك النبي صلى الله عليه وسلم ونزل القرآن. قال عبد الله بن عمر : فأنا رأيته متعلقًا بحَقَب ناقة رسول الله صلى الله عليه وسلم تَنْكُبه الحجارة ، وهو يقول : ” يا رسول الله ، إنما كنا نخوض ونلعب! ” ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : (أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤن لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم)
ذَكَرَهُ أَبِي، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ الْكُوفِيِّ، ثنا عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدٍ الْعَنْقَرِيُّ، ثنا خَلادٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِيسَى، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ”وَأَمَرَ بِالْغَزْوِ إِلَى تَبُوكَ، قَالَ: وَنَزَلَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَانِبٍ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: وَاللَّهِ إِنَّ أَرْغَبَنَا بُطُونًا، وَأَجَبْنَا عِنْدَ اللِّقَاءِ وَأَضْعَفَنَا، لَقُرَّاؤُنَا، فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَمَّارًا، فَقَالَ: اذْهَبْ إِلَى هَؤُلاءِ الرَّهْطِ فَقُلْ لَهُمْ: مَا قُلْتُمْ ؟” ” وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ “
حدثنا عبد لله حدثني أبي ثنا يزيد أنا الوليد يعنى بن عبد الله بن جميع عن أبي الطفيل قال لما أقبل رسول الله صلى الله عليه و سلم من غزوة تبوك أمر مناديا فنادى ان رسول الله صلى الله عليه و سلم أخذ العقبة فلا يأخذها أحد فبينما رسول الله صلى الله عليه و سلم يقوده حذيفة ويسوق به عمار إذ أقبل رهط متلثمون على الرواحل غشوا عمارا وهو يسوق برسول الله صلى الله عليه و سلم وأقبل عمار يضرب وجوه الرواحل فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لحذيفة قد قد حتى هبط رسول الله صلى الله عليه و سلم فلما هبط رسول الله صلى الله عليه و سلم نزل ورجع عمار فقال يا عمار هل عرفت القوم فقال قد عرفت عامة الرواحل والقوم متلثمون قال هل تدري ما أرادوا قال الله ورسوله أعلم قال أرادوا ان ينفروا برسول الله صلى الله عليه و سلم فيطرحوه قال فسأل عمار رجلا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال نشدتك بالله كم تعلم كان أصحاب العقبة فقال أربعة عشر فقال ان كنت فيهم فقد كانوا خمسة عشر فعدد رسول الله صلى الله عليه و سلم منهم ثلاثة قالوا والله ما سمعنا منادي رسول الله صلى الله عليه و سلم وما علمنا ما أراد القوم فقال عمار أشهد أن الاثنى عشر الباقين حرب لله ولرسوله في الحياة الدنيا ويوم يقوم الأشهاد
قال الوليد وذكر أبو الطفيل في تلك الغزوة ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال للناس وذكر له ان في الماء قلة فأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم مناديا فنادى ان لا يرد الماء أحد قبل رسول الله صلى الله عليه و سلم فورده رسول الله صلى الله عليه و سلم فوجد رهطا قد وردوه قبله فلعنهم رسول الله صلى الله عليه و سلم يومئذ
Hadis Kisa’ : Kejahilan Efendi Nashibi
Pengakuan Ummu Salamah : Ahlul Bait Dalam Al Ahzab 33 Adalah Ahlul Kisa’
Pengakuan Ummu Salamah : Ahlul Bait Dalam Al Ahzab 33 Adalah Ahlul Kisa’
وأنبأنا أبو محمد عبد الله بن صالح البخاري قال حدثنا الحسن بن علي الحلواني قال حدثنا يزيد بن هارون قال حدثنا عبد الملك بن أبي سليمان عن عطاء عن أم سلمة وعن داود بن أبي عوف عن شهر بن حوشب عن أم سلمة وعن أبي ليلى الكندي عن أم سلمة رحمها الله بينما النبي صلى الله عليه وسلم في بيتي على منامة له عليها كساء خيبري إذ جاءته فاطمة رضي الله عنها ببرمة فيها خزيرة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم ادعي زوجك وابنيك قالت : فدعتهم فاجتمعوا على تلك البرمة يأكلون منها ، فنزلت الآية : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم فضل الكساء فغشاهم مهيمه إياه ، ثم أخرج يده فقال بها نحو السماء ، فقال اللهم هؤلاء أهل بيتي وحامتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت : فأدخلت رأسي في الثوب ، فقلت : رسول الله أنا معكم ؟ قال إنك إلى خير إنك إلى خير قالت : وهم خمسة : رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وعلي ، وفاطمة ، والحسن والحسين رضي الله عنهم
أَخْبَرَنَا أَبُو سَعْدٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَفْصٍ الْمَالِينِيُّ ، أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ رَشِيقٍ بِمِصْرَ ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ الرَّازِيُّ ، حَدَّثَنِي أَبُو أُمَيَّةَ عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأُمَوِيُّ ، حَدَّثَنَا عَمِّي عُبَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ ، عَنِ الثَّوْرِيِّ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ ، عَنْ زُبَيْدٍ ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، : أَنَّ رسول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” دَعَا عَلِيًّا ، وَفَاطِمَةَ ، وَحَسَنًا ، وَحُسَيْنًا ، فَجَلَّلَهُمْ بِكِسَاءٍ ، ثُمَّ تَلا : إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا قَالَ وَفِيهِمْ أُنْزِلَتْ
أخبرنا أبو القاسم علي بن إبراهيم أنا أبو الحسين محمد بن عبد الرحمن بن أبي نصر أنا يوسف بن القاسم نا علي بن الحسن بن سالم نا أحمد بن يحيى الصوفي نا يوسف بن يعقوب الصفار نا عبيد بن سعيد القرشي عن عمرو بن قيس عن زبيد عن شهر عن أم سلمة عن النبي (صلى الله عليه وسلم) في قول الله عز وجل ” إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا ” قال الحسن والحسين وفاطمة وعلي عليهم السلام فقالت أم سلمة يا رسول الله وأنا قال أنت إلى خير
حدثني إسحاق بن الحسن بن ميمون الحربي ، ثنا أبو غسان ، ثنا فضيل ، عن عطية ، عن أبي سعيد الخدري عن أم سلمة ، قالت : نزلت هذه الآية في بيتي إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قلت : يا رسول الله ألست من أهل البيت ؟ قال : إنك إلى خير ، إنك من أزواج رسول الله قالت : وأهل البيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين عليهم السلام
حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
Meluruskan Syaikh Khalid Al Wushabiy : Riwayat Syi’ah Tentang Abu Thalib Menyusui Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Pembahasan
محمد بن يحيى، عن سعد بن عبدالله، عن إبراهيم بن محمد الثقفي، عن علي بن المعلى، عن أخيه محمد، عن درست بن أبي منصور، عن علي بن أبي حمزة عن أبي بصير، عن أبي عبدالله (عليه السلام) قال: لما ولد النبي (صلى الله عليه وآله) مكث أياما ليس له لبن، فألقاه أبوطالب على ثدي نفسه، فأنزل الله فيه لبنا فرضع منه أياما حتى وقع أبوطالب على حليمة السعدية فدفعه إليها
Catatan Tidak Penting
Syaikh Khalid Al Wushabiy Membela Mu’awiyah Dan Mencela Syaikh Hasan Al Malikiy
وحدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص قال: كنت عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي قد وضع له وضوء، فكنت كحابس البول مخافة أن يجيء، قال: فطلع معاوية فقال النبي صلى الله عليه وسلم هو هذا
رواه البلاذري عن شيخيه بكر بن الهيثم وإسحاق بن أبي إسرائيل (وهذا ثقة أما أبا بكر فلم أجد له ترجمة لكنه توبع من إسحاق) كلاهما روياه عن عبد الرزاق الصنعاني (وهو ثقة إمام) عن معمر بن راشد (وهو ثقة إمام) عن عبد الله بن طاووس (وهو ثقة إمام) عن طاووس بن كيسان والده (وهو ثقة إمام) عن عبد الله بن عمرو بن العاص وهو صحابي –على تعريف المحدثين
Al Bukhariy Dalam Tarikh Al Kabir 2/75
Ibnu Sa’d Dalam Thabaqat Ibnu Sa’d 7/178
Abu Ya’la Dalam Musnad Abu Ya’la 3/113 no 1544
Ath Thahaawiy Dalam Musykil Al Atsar 7/7 no 2583
Al Balaadzuriy Dalam Ansaab Al Asyraaf 2/353
Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam : Bantahan Terhadap Salafy
Keutamaan Muawiyah?
لَقَدْ تابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ والمُهاجِرينَ والأنْصارِ الَّذينَ اتَّبَعُوهُ في سَاعَةِ العُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ ما كادَ يَزِيغُ قُلوبُ فَريقٍ مِنهم ثُمَّ تابَ عَلَيْهِم، إنَّهُ بِهِم رَؤوفٌ رَحيمٌ
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ يَزِيدَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ أَنَّ عُمَيْرَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْعَنْسِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّهُ أَتَى عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ وَهُوَ نَازِلٌ فِي سَاحَةِ حِمْصَ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ وَمَعَهُ أُمُّ حَرَامٍ قَالَ عُمَيْرٌ فَحَدَّثَتْنَا أُمُّ حَرَامٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا قَالَتْ أُمُّ حَرَامٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا فِيهِمْ قَالَ أَنْتِ فِيهِمْ ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ فَقُلْتُ أَنَا فِيهِمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا حسين بن علي الجعفي عن زائدة عن سليمان عن أبي صالح عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال المدينة حرم فمن أحدث فيها حدثا أو آوى محدثا فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين لا يقبل منه يوم القيامة عدل ولا صرف
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
ويقول ويح عمار تقتله الفئة الباغية يدعوهم إلى الجنة ويدعونه إلى النار قال فجعل عمار يقول أعوذ بالرحمن من الفتن
Dengan melihat hadis ini, coba ingat-ingat wahai pembaca apakah pernah salafy menyebutkan salah satu keutamaan Muawiyah adalah pembangkang yang mengajak ke neraka. Bisa dipastikan mereka tidak pernah dan tidak akan pernah mau mengungkapkannya. Dengan dalih “menahan diri mencela sahabat” mereka bungkam dan lucunya malah menampakkan hal yang sebaliknya berusaha mencari-cari keutamaan Muawiyah.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان قال ثنا حماد بن سلمة قال انا أبو حفص وكلثوم بن جبر عن أبي غادية قال قتل عمار بن ياسر فأخبر عمرو بن العاص قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ان قاتله وسالبه في النار فقيل لعمرو فإنك هو ذا تقاتله قال إنما قال قاتله وسالبه
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا زيد بن الحباب حدثني حسين ثنا عبد الله بن بريدة قال دخلت أنا وأبي على معاوية فأجلسنا على الفرش ثم أتينا بالطعام فأكلنا ثم أتينا بالشراب فشرب معاوية ثم ناول أبي ثم قال ما شربته منذ حرمه رسول الله صلى الله عليه و سلم
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يونس بن محمد ثنا فليح عن سعد بن عبد الرحمن بن وائل الأنصاري عن عبد الله بن عبد الله بن عمر عن أبيه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال لعن الله الخمر ولعن شاربها وساقيها وعاصرها ومعتصرها وبائعها ومبتاعها وحاملها والمحمولة إليه وآكل ثمنها
حدثنا زهير بن حرب وإسحاق بن إبراهيم ( قال إسحاق أخبرنا وقال زهير حدثنا جرير ) عن الأعمش عن زيد بن وهب عن عبدالرحمن بن عبد رب الكعبة قال دخلت المسجد فإذا عبدالله بن عمرو بن العاص جالس في ظل الكعبة والناس مجتمعون عليه فأتيتهم فجلست إليه فقال كنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم في سفر فنزلنا منزلا فمنا من يصلح خباءه ومنا من ينتضل ومنا من هو في جشره إذ نادى منادي رسول الله صلى الله عليه و سلم الصلاة جامعة فاجتمعنا إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال ( إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما يعلمه لهم وإن أمتكم هذه جعل عافيتها في أولها وسيصيب آخرها بلاء وأمور تنكرونها وتجيء فتنة فيرقق بعضها بعضها وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه مهلكتي ثم تنكشف وتجيء الفتنة فيقول المؤمن هذه هذه فمن أحب أن يزحزح عن النار ويدخل الجنة فلتأته منيته وهو يؤمن بالله واليوم الآخر وليأت إلى الناس الي يحب أن يؤتى إليه ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه إن استطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر ) فدنوت منه فقلت أنشدك الله آنت سمعت هذا من رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فأهوى إلى أذنيه وقلبه بيديه وقال سمعته أذناي ووعاه قلبي فقلت له هذا ابن عمك معاوية يأمرنا أن نأكل أموالنا بيننا بالباطل ونقتل أنفسنا والله يقول { يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما } [ 4 / النساء / 29 ] قال فسكت ساعة ثم قال أطعه في طاعة الله واعصه في معصية الله
حدثني إبراهيم بن العلاف البصري قال سمعت سلاماً أبا المنذر يقول قال عاصم بن بهدلة حدثني زر بن حبيش عن عبد الله بن مسعود قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رأيتم معاوية بن أبي سفيان يخطب على المنبر فاضربوا عنقه
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ ذَهَبَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ يَلْبَسُ ثِيَابَهُ لِيَلْحَقَنِي فَقَالَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ لَيَدْخُلَنَّ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ لَعِينٌ فَوَاللَّهِ مَا زِلْتُ وَجِلًا أَتَشَوَّفُ دَاخِلًا وَخَارِجًا حَتَّى دَخَلَ فُلَانٌ يَعْنِي الْحَكَمَ
Sekarang perhatikan matan hadis “Muawiyah tidak mati di dalam agama islam”. Jika diperhatikan dengan baik. Apa yang disematkan kepada Al Hakam dan Muawiyah jelas berbeda, orangnya berbeda, hadis yang diucapkan juga berbeda
عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية
Pembahasan Illat Sanad Hadis
حدثني إسحاق وبكر بن الهيثم قالا حدثنا عبد الرزاق بن همام انبأنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص
و قال أبو زرعة الدمشقى ، عن أبى الحسن بن سميع ، عن أحمد بن صالح المصرى : قلت لأحمد بن حنبل : رأيت أحدا أحسن حديثا من عبد الرزاق ؟ قال : لا . قال أبو زرعة : عبد الرزاق أحد من ثبت حديثه
و قال يعقوب بن شيبة ، عن على ابن المدينى ، قال : لى هشام بن يوسف : كان عبد الرزاق أعلمنا و أحفظنا . قال يعقوب : و كلاهما ثقة ثبت .
و قال أبو بكر بن أبى خيثمة : سمعت يحيى بن معين و قيل له : إن أحمد بن حنبل قال : إن عبيد الله بن موسى يرد حديثه للتشيع ، فقال : كان والله الذى لا إله إلا هو عبد الرزاق أغلى فى ذلك منه مئة ضعف ، و لقد سمعت من عبد الرزاق أضعاف أضعاف ما سمعت من عبيد الله .
و قال أبو زرعة الدمشقى : قلت لأحمد بن حنبل : كان عبد الرزاق يحفظ حديث معمر ؟ قال : نعم . قيل له : فمن أثبت فى ابن جريج عبد الرزاق أو محمد بن بكر البرسانى ؟ قال : عبد الرزاق قال : و أخبرنى أحمد بن حنبل ، قال : أتينا عبد الرزاق قبل المئتين و هو صحيح البصر و من سمع منه بعدما ذهب بصره ، فهو ضعيف السماع .
عبد الرزاق بن همام بن نافع الحميري مولاهم أبو بكر الصنعاني ثقة حافظ مصنف شهير عمي في آخر عمره فتغير وكان يتشيع .
وسألت أحمد، عن حديث شريك، عن ليث، عن طاوس، عن عبدالله بن عمرو، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “يطلع عليكم رجل من أهل النار”، فطلع معاوية قال: إنما ابن طاوس، عن أبيه، عن عبد الله بن عمرو أو غيره، شك فيه قال الخلال: رواه عبدالرزاق، عن معمر، عن ابن طاوس، قال: سمعت فرخاش يحدث هذا الحديث عن أبي، عن عبد الله ابن عمرو.
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى عَنْ الْحَسَنِ سَمِعَ أَبَا بَكْرَةَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَالْحَسَنُ إِلَى جَنْبِهِ يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ مَرَّةً وَإِلَيْهِ مَرَّةً وَيَقُولُ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
Menjadikan hadis ini sebagai penentang hadis Muawiyah mati tidak dalam agama islam jelas tidak tepat. Logika sederhana saja misalnya jika dalam kelompok Muawiyah tersebut terdapat orang munafik atau orang kafir yang ikut-ikutan memecah belah, maka apakah penyebutan “kelompok besar dari kaum muslimin” tidak bisa digunakan. Ya tetap bisa, seandainya ada satu atau dua orang yang kafir di kelompok Muawiyah dan mayoritasnya muslim maka tetap bisa disebut kelompok besar kaum muslimin. Selain itu peristiwa antara Imam Hasan dan Muawiyah terjadi jauh sebelum Muawiyah wafat bahkan sebelum Muawiyah memerintah kaum muslimin, jadi sangat tidak tepat untuk dijadikan penentang hadis yang menjelaskan Muawiyah ketika matinya tidak dalam agama islam. Lagi-lagi logika sederhana kalau awalnya ada seorang muslim yang rajin ibadah kemudian ia mati dalam keadaan kafir maka apakah ada orang yang akan menolak sambil berkata “dia tidak mati kafir karena dulu waktu muda saya tahu dia muslim”. Seorang muslim yang menjadi murtad atau menjadi kafir adalah sesuatu yang bisa saja terjadi.
سمعت أبا عبد الله، وقال له دلويه: سمعت علي بن الجعد يقول: مات والله معاوية على غير الإسلام
Ahmad bin Hanbal jelas orang yang terpercaya. Dalluwaih adalah Ziyad bin ‘Ayub perawi Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i, Abu Hatim berkata “shaduq” Nasa’i menyatakan tsiqat, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun”. [At Tahdzib juz 3 no 654] Ibnu Hajar berkata “hafizh tsiqat” [At Taqrib 1/317]. Ali bin Ja’d sendiri seorang yang tsiqat, perawi Bukhari dan ‘Abu Dawud, Ibnu Ma’in berkata “tsiqat shaduq”, Abu Zur’ah berkata “shaduq dalam hadis”. Abu Hatim menyatakan ia seorang yang mutqin shaduq. Shalih bin Muhammad menyatakan tsiqat, Nasa’i berkata “shaduq”. Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun”. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat tsabit” [At Tahdzib juz 7 no 502]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 1/689]. Jika Ali bin Ja’d yang dengan jelas menyatakan Muawiyah mati bukan dalam agama islam tetap dinyatakan tsiqat dan dijadikan hujjah hadisnya, maka atas dasar apa pengikut salafiyun itu mencela kami dalam masalah ini. Apakah hanya karena dengki? Atau memang begitu tabiat para pengingkar.