Isi Piagam Madinah Lengkap yang Disebut Termodern
di Masanya
https://www.republika.co.id/berita/q6ampe320/isi-piagam-madinah-lengkap-yang-disebut-termodern-di-masanya
Rabu 26 Feb 2020 12:17 WIB
Red: Nashih
Nashrullah
Piagam Madinah
terdiri dari 47 pasal utama di luar pembukaan. Ilustrasi Kota Madinah.
Foto:
Republika/Syahruddin El-Fikri
Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal utama di luar pembukaan.
REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID,
Sebagai produk yang lahir dari rahim peradaban Islam, Piagam Madinah diakui
sebagai bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun masyarakat
Madinah yang plural, adil, dan berkeadaban.
Di mata para sejarawan dan sosiolog
ternama Barat, Robert N Bellah, Piagam Madinah yang disusun Rasulullah itu
dinilai sebagai konstitusi termodern di zamannya, atau konstitusi pertama di
dunia. Berikut petikan lengkap terjemahan Piagam
Madinah yang terdiri dari 47 pasal:
Preambule:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Rasulullah SAW, di
kalangan mukminin dan Muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib
(Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama
mereka.
Pasal 1: Sesungguhnya
mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lain.
Pasal 2: Kaum
Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka,
bahu-membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan
dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 3: Banu 'Awf,
sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka
seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.
Pasal 4: Banu Sa'idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan
(kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti)
semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil
di antara mukminin.
Pasal 6: Banu Jusyam,
sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka
(seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 7: Banu
al-Najjar, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan
cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 8: Banu 'Amr Ibn
'Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara
yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 9: Banu
al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan
cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 10: Banu al-'Aws,
sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka
(seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang
baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 11: Sesungguhnya
mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara
mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat.
Pasal 12: Seorang
mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa
persetujuan dari padanya.
Pasal 13: Orang-orang
mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau
menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di
kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia
anak dari salah seorang di antara mereka.
Pasal 14: Seorang
mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang
kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh)
orang beriman.
Pasal 15: Jaminan Allah
satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya
mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.
Pasal 16: Sesungguhnya
orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan,
sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).
Pasal 17: Perdamaian
mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut
serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah Allah, kecuali
atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.
Pasal 18: Setiap
pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain.
Pasal 19: Orang-orang
mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah.
Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.
Pasal 20: Orang musyrik
(Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak
boleh bercampur tangan melawan orang beriman.
Pasal 21: Barang siapa
yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum
bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman
harus bersatu dalam menghukumnya.
Pasal 22: Tidak
dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan
Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya.
Siapa yang memberi bantuan atau menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu,
akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima
daripadanya penyesalan dan tebusan.
sumber : Harian Republika
Foto: Hamad I
Mohammed/Reuters
Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal utama di luar pembukaan.
Pasal 23: Apabila kamu
berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah 'azza wa
jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.
Pasal 24: Kaum Yahudi
memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
Pasal 25: Kaum Yahudi
dari Bani 'Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka,
dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi
sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal
demikian akan merusak diri dan keluarganya.
Pasal 26: Kaum Yahudi
Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu 'Awf.
Pasal 27: Kaum Yahudi Banu
Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu 'Awf.
Pasal 28: Kaum Yahudi
Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu 'Awf.
Pasal 29: Kaum Yahudi
Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu 'Awf.
Pasal 30: Kaum Yahudi
Banu al-'Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu 'Awf.
Pasal 31: Kaum Yahudi
Banu Sa'labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu 'Awf, kecuali orang zalim
atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya.
Pasal 32: Suku Jafnah
dari Sa'labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa'labah).
Pasal 33: Banu
Syutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Banu 'Awf. Sesungguhnya kebaikan
(kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).
Pasal 34: Sekutu-sekutu
Sa'labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa'labah).
Pasal 35: Kerabat
Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).
Pasal 36: Tidak seorang
pun dibenarkan (untuk perang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh
dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat
jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya,
kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan (ketentuan) ini.
Pasal 37: Bagi kaum
Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya. Mereka
(Yahudi dan Muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh Piagam ini. Mereka
saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang
tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan
kepada pihak yang teraniaya.
Pasal 38: Kamu Yahudi
memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
Pasal 39: Sesungguhnya
Yatsrib itu tanahnya "haram" (suci) bagi warga Piagam ini.
Pasal 40: Orang yang
mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak
bertindak merugikan dan tidak khianat.
Pasal 41: Tidak boleh
jaminan diberikan, kecuali seizin ahlinya.
Pasal 42: Bila terjadi
suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung Piagam ini, yang
dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut
(ketentuan) Allah 'azza wa jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW. Sesungguhnya
Allah paling memelihara dan memandang baik isi Piagam ini.
Pasal 43: Sungguh tidak
ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung mereka.
Pasal 44: Mereka (pendukung
Piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib.
Pasal 45: Apabila mereka (pendukung
piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta
melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka
diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan
melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama.
Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.
Pasal 46: Kaum yahudi al-'Aws, sekutu
dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung
Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung Piagam ini.
Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan).
Setiap orang bertanggungjawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling
membenarkan dan memandang baik isi Piagam ini.
Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini
tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan
orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah
adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW.
her/piagam madinah dan uud '45
Isi Perjanjian Hudaibiyah
Redaktur Yudi
https://www.islampos.com/isi-perjanjian-hudaibiyah-128964/
PADA
tahun keenam kenabian, Nabi mengumumkan niatnya untuk melakukan `umrah dan
berangkat dengan 1400 orang, tidak bersenjata kecuali pedang berselubung yang
biasanya dibawa oleh seorang musafir. Ketika mengetahui hal ini, orang Quraisy
berkumpul untuk mencegah kaum Muslimin mencapai al-Masjid al-Haraam.
Saat mendekati Makkah, Nabi memimpin
para sahabat shalat al-Khawf. Kemudian, Nabi mulai menuju Makkah tapi unta
betina-nya, al-Qaswa, duduk. Para sahabat berkata, “Dia menjadi keras kepala,”
tapi Nabi menjawab, “Dia tidak keras kepala, tapi dicegah sebagaimana para
gajah juga dulu dicegah. Demi Allah, orang Quraisy tidak akan menanyakan
sesuatu kepadaku hari ini yang meningkatkan kesucian Allah kecuali aku akan
memberikannya kepada mereka.” (Al-Bukhari).
BACA JUGA: Kisah Abu Jandal saat
Terjadi Perjanjian Hudaibiyah
Kemudian Nabi meneriaki untanya dan
sang unta pun bangkit. Nabi kembali ke sumur di Hudaybiyyah yang memiliki
sedikit air, dan menarik anak panah dari giginya, menusuknya ke dalam sumur.
Air mengalir begitu melimpah.
Budayl ibn Warqaa ‘al Khuza’i memberi
tahu maksud Nabi kepada kaum Quraisy. Mereka kemudian mengirim `Urwah bin
Mas`ud, yang memberi tahu sesuatu yang serupa. Dia juga memperhatikan betapa
teman-teman mencintai Nabi SAW mematuhinya; Dia kembali dan memberi tahu orang
Quraisy tentang apa yang telah dilihat dan didengarnya.
Kemudian mereka mengirim seorang pria
dari Bani Kinanah bernama al-Hulays ibn `Alqamah, dan setelah dia, Mikraz ibn
Hafs. Saat dia sedang berbicara dengan Rasulullah, Suhayl ibn mendekat. Nabi
bersabda, “Masalahmu sekarang menjadi mudah.”
Sebuah perjanjian damai dibuat di
antara kedua belah pihak. Jika umat Islam memilih untuk berperang pada saat itu
mereka pasti akan menang, tapi mereka ingin menegakkan kesucian Ka’bah.
Perjanjian tersebut terdiri dari:
1. Tidak saling menyerang antara kaum
muslimin dengan penduduk Mekah selama sepuluh tahun.
2. Kaum muslimin menunda untuk Umroh
dan diperbolehkan memasuki kota Mekah pada tahun berikutnya dengan tidak
membawa senjata kecuali pedang dalam sarungnya serta senjata pengembara.
3. Siapa saja yang datang ke Madinah
dari kota Mekah harus di kembalikan ke kota Mekah.
BACA JUGA: Kisah Toleransi
Rasulullah dalam Perjanjian Hudaibiyah
4. Siapa saja dari penduduk Madinah
yang datang ke Mekah, maka tidak boleh dikembalikan ke Madinah.
5. Kesepakatan ini disetujui oleh
kedua belah pihak dan tidak boleh ada pengkhianatan atau pelanggaran
Kesepakatan lain dari Perjanjian
Hudaibiyah ini adalah siapa saja dari kabilah arab yang lain boleh masuk dalam
perjanjian Quraisy atau Rasulullah SAW dan perjanjian ini hanya berlaku bagi
laki-laki, sedangkan wanita tidak diikutsertakan. []
Kirim tulisan Anda yang sekiranya sesuai dengan Islampos lewat imel
ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua
(2) halaman MS Word, ukuran font 12 Times New Roman. Untuk semua tulisan
berbentuk opini, harap menyertakan foto diri. Isi di luar tanggung jawab
redaksi.
Kisah Abu Jandal saat Terjadi Perjanjian Hudaibiyah
Redaktur Yudi
ABU
Jandal merupakn putra dari Suhail bin Amr. Suhail ini merupakan orang utusan
kaum Quraisy dalam perundingan perjanjian Hudaibiyah.
Ketika Suhail bin Amr datang untuk
berunding dengan Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah, dan saat Rasulullah
dan Suhail menanda tangan perjanjian tersebut, tiba-tiba Abu Jandal putra dari
Suhail bin Amr datang dalam keadaan terikat dengan rantai.
BACA JUGA: Kekuatan Cinta Zainab dan
Abul ‘Ash
Abu Jandal melarikan diri dari kaum
kafir Quraisy dan bergabung dengan Rasulullah dan kaum muslimin. Ketika Suhail
melihat anaknya, Abu Jandal, Suhail mendekat kepada Abu Jandal dan memukulnya.
Ia pegang leher bajunya dan berkata, “Wahai Muhammad, paerjanjian telah berlaku
sebelum ia datang.”
Rasulullah menjawab, “Ya, kau benar.”
Suhail menarik keras-keras baju
anaknya itu dan menyeretnya ke Quraisy. Pada saat itu Abu Jandal berteriak
dengan keras, “Wahai kaum muslimin, apakah kalian mebiarkanku dikembalikan
kepada oarang-orang musyrik yang akan menyiksaku karena agama yang aku yakini?”
Rasulullah berkata, “Abu Jandal,
bersabarlah dan berharaplah kepada Allah! Allah pasti akan memberikan jalan
keluar bagimu dan orang-orang yang lemah. Kami telah meyepakati perjanjian dan
perdamaian serta kami saling memberikan kepercayaan. Kami tidak akan
menghianati perjanjian tersebut.”
Kemudian Umar mendekati Abu Jandal
dan berkata, “Bersabarlah, Abu Jandal. Mereka hanyalah orang musyrik. Darah
satu orang dari mereka sama dengan darah anjing.”
BACA JUGA: Abu Dzar Meminta Bilal
untuk Menginjak Kepalanya
Pada saat itu, Umar mendekatkan
kepala pedangnya ke arah Abu Jandal. Ia berkata, “Aku berharap engkau mengambil
pedang ini untuk menebas ayahmu.”
Abu Jandal tidak menebas kepala
ayahnya dia masih mempertahankan hidup ayahnya sedangkan perjanjian itu masih
berlaku. []
Sumber: Nabi Muhammad di Hati Sahabat/ Penulis: Walid al-A’zhami/
Penerbit: Qalam/ 2016
https://www.republika.co.id/berita/pror5r458/watak-peradaban-islam-1
Watak Peradaban Islam (1)
Sabtu 18 May 2019 12:56 WIB
Red: Hasanul Rizqa
Caranya dengan mempersaudarakan kaum
pendatang (Muhajirin) dengan penduduk setempat (Anshor). Selanjutnya, beliau
juga menciptakan persaudaraan berbasis kebangsaan (ukhuwah wathoniyah),
yakni mempersaudarakan antara kaum Muslimin dan orang-orang Yahudi.
Dalam hal ini, Nabi SAW membuat
perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta benda
mereka. Disebutkan dalam perjanjian ini, orang-orang Yahudi berpegang pada ajaran
mereka, sedangkan orang-orang Islam pun berpegang pada agama mereka sendiri.
"Inilah dokumen politik yang
telah diletakkan Nabi Muhammad sejak lebih 14 abad lalu dan telah menetapkan
adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat: tentang keselamatan
harta benda dan larangan orang melakukan kejahatan," tulis Muhammad Husein
Haekal dalam buku Sejarah Hidup Muhammad.
Dokumen ini kelak dikenal sebagai
Piagam Madinah. Menurut Haekal, Piagam Madinah merupakan suatu tonggak penting
dalam sejarah umat manusia.
"(Piagam Madinah) telah
membukakan pintu dalam kehidupan politik dan peradaban manusia masa itu,"
tulis dia. Dunia yang selama ini hanya menjadi permainan tangan-tangan tirani,
lanjut Haekal, telah diubah menjadi lebih demokratis lewat Piagam Madinah.
Perubahan tatanan masyarakat itu
ternyata membawa pengaruh besar. Seluruh Kota Madinah dan sekitarnya
benar-benar menjadi tempat yang nyaman bagi seluruh penduduk yang multisuku dan
multiagama itu.
Masing-masing pemeluk agama bisa
menjalankan ajaran agamanya dengan tenang, tanpa takut adanya persekusi. Dari
Madinah inilah Islam mulai menemukan kekuatannya.
Sepeninggalan Nabi
SAW
Sekalipun Piagam
Madinah kemudian dikhianati orang-orang Yahudi, prinsip-prinsip
yang tertulis di dalamnya telah menyuburkan semangat umat Islam.
Tidak heran ketika akhirnya kelak
Khalifah Abu Bakar menggantikan Nabi Muhammad SAW, Islam telah menyebar ke
segenap penjuru Jazirah Arab. Seluruh Semenanjung sudah terhimpun di bawah
panji-panji Islam.
Kesatuan politis pun dinyatakan
sebagai bagian tak terpisahkan dari kesatuan religius. Maka pada saat itu
tibalah waktunya bagi umat Islam melakukan dakwah ke Irak dan Syam. Inilah
langkah awal pembentukan kemaharajaan Islam.
Seperti juga Abu Bakar, penggantinya
Khalifah Umar bin Khaththab pun menerapkan prinsip-prinsip yang telah
digariskan Rasulullah SAW.
Di masa Umar inilah kemaharajaan
Islam semakin meluas. Menerobos hingga ke Persia, Mesir dan Palestina, selain
Irak dan Syam.
Perlu dicatat, meskipun kemaharajaan Islam begitu meluas, tapi kaum
Muslimin sesuai dengan prinsi Piagam Madinah tak pernah memaksa penduduk
negara-negara tersebut agar memeluk Islam. Karena, sesuai prinsip Islam yang
ditetapkan Alquran, tidak ada paksaan dalam beragama.
Setelah pengaruh Islam menyebar ke berbagai
wilayah, terutama pada masa Khalifah Umar, kekhalifahan Islam pun semakin
tegak.
Yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana kemaharajaan Islam itu kemudian bisa bertahan selama berabad-abad?
Mengapa berbagai pergolakan tidak
sanggup meruntuhkan pengaruh dan peradaban Islam, tak seperti umpamanya
kemaharajaan Iskandar Agung dan kekaisaran Mongol?
Watak Peradaban Islam (2)
Sabtu 18 May 2019 12:56 WIB
Red: Hasanul Rizqa
Pameran
peninggalan peradaban Islam di Andalusia
Foto: The
Hurriyet Daily News
Di antara watak peradaban Islam adalah mengutamakan
keadilan, toleransi, & kebebasan
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Menurut Haekal dalam buku Pemerintahan
Islam, sulit untuk menjelaskan dengan perinci sebab-sebab peradaban
Islam tangguh melintasi zaman. "Namun, secara garis
besar, saya dapat menunjukkan satu sebab yang sangat menentukan, yakni
sesungguhnya orang-orang Arab terdorong berperang bukan pertama-tama untuk
mendapatkan materi, tapi jauh lebih penting dari hal itu. Keyakinan bahwa
mereka mengemban satu misi atau risalah yang harus disampaikan pada seluruh
dunia demi kebaikan," jelas sejarawan Mesir itu.
Baca Juga
. Gaza Pernah Jadi Pusat Pertemuan Peradaban
Haekal menambahkan, keyakinan umat Islam yang demikian telah menegakkan kedaulatan wilayah Islam sehingga sampai bertahan berabad-abad.
Namun, lanjutnya, ketika keyakinan
itu memudar, keretakan demi keretakan mulai merasuki sendi-sendi kemasyarakat
Islam. Nasibnya pun akan sama seperti yang dialami pelbagai imperium
sebelumnya, semisal Byzantium dan Parsia.
Bagi umat Islam, demikian Haekal,
misi yang telah dipelopori Rasulullah SAW mereka anggap sebagai amanat untuk
disampaikan kepada setiap manusia. Misi itu tidak lain adalah persaudaraan dan
persamaan.
Mereka berpandangan, pada hakikatnya
Tuhan seluruh manusia itu satu, Tuhan yang Esa. Di hadapan Tuhan Yang Satu,
semua manusia adalah sama. Tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non-Arab
kecuali ketakwaannya kepada Tuhan.
Pada masa Rasulullah, prinsip-prinsip
luhur itu tersebar luas di semenanjung Arab. Setelah menetap di negara-negara
yang mereka tundukkan, kaum Muslimin mulai menerapkan prinsip-prinsip mulia
tadi pada penduduk setempat.
Salah satu yang menjadi dasar kebijakan
pemerintahan mereka adalah toleransi beragama. Mereka tidak
memaksakan seorang pun di antara penduduk negara yang ditaklukkan agar memeluk
Islam.
Mereka juga memberikan berbagai
kebebasan yang sudah berlaku pada saat itu: kebebasan berpikir, kebebasan
mengeluarkan pendapat, serta sejumlah kebebasan lainnya. Di samping itu mereka
juga menghormati segala bentuk ibadah dan akidah. Sedangkan keadilan mereka
jadikan sebagai dasar pemerintahan mereka.
Dalam menerapkan keadilan ini, tidak
ada beda antara Muslim dan non-Muslim. Dengan sikap demikian, tidak heran
banyak orang tertarik kepada Islam. Bukan hanya itu, mereka yang non-Muslim ini
juga benar-benar menikmati berbagai kebebasan.
Hal ini tidak pernah mereka alami
sebelumnya, baik di Romawi maupun di negeri Arab masa jahiliyah (pra-Islam).
Itulah yang mendorong mereka berbondong-bondong masuk ke dalam lingkungan agama
baru, Islam.
Mereka ingin ikut menikmati
prinsip-prinsip kebebasan, persaudaraan, dan persamaan yang telah ditetapkan
Islam.
Watak Peradaban Islam (3-Habis)
Sabtu 18 May 2019 13:11 WIB
Red: Hasanul Rizqa
(ilustrasi)
peta yang menggambarkan luas wilayah Islam pasca-wafatnya Nabi SAW
Foto:
tangkapan layar wikipedia.org
Watak peradaban Islam diterapkan tokoh-tokoh ini dalam menjalankan kepemimpinannya
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Prinsip toleransi dan
kebebasan juga diberlakukan Khalifah Umar bin Khaththab. Dikisahkan, di bawah
kepemimpinan Umar, umat Islam berhasil merebut kembali kota suci Yerusalem pada
638 atau enam tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Khalifah pun mendirikan
masjid di kota suci itu.
Baca Juga
Sebelum berhasil ditaklukkan tentara Islam, Yerusalem dikuasai orang-orang Kristen yang telah memerintah di sana sejak masa Kaisar Constantin. Setelah kaum Nasrani itu menyerah, Umar diminta datang sendiri ke kota suci itu.
Dengan begitu, uskup Yerusalem mau
menyerahkan kunci kota tersebut. Sehari-hari, uskup tersebut menjafa makam
Kristus yang suci bagi kaum Nasrani di Yerusalem.
Ketika kunci sudah di tangan Umar,
penduduk setempat kaget. Sebab, penampilan Khalifah bak orang biasa--tak ada
pakaian sutra atau tanda-tanda kebesaran lainnya.
Uskup kemudian mengundang Umar untuk
menunaikan shalat di dalam gereja utama kaum Kristen. Namun, Umar melihat
bagian dalam ruangan gereja itu dihiasai berbagai simbol Kristen. Maka, dia
dengan sopan mengatakan, "Saya akan shalat di luar pintu ini saja."
Selesai shalat, Uskup pun bertanya
kepada Umar, "Mengapa Tuan tidak mau masuk ke gereja kami?"
"Jika saya sudah shalat di
tempat suci kalian, para pengikut saya dan orang-orang yang datang ke sini pada
masa mendatang akan mengambil-alih bangunan ini dan mengubahnya menjadi masjid.
Untuk menghindari kesulitan-kesulitan itu dan agar tetap sebagaimana adanya
(keadaan kaum Nasrani), maka saya shalat di luar."
Tindakan Khalifah Umar itu ternyata
membuat kagum sang uskup terhadap agama Islam.
Begitu pula rakyat Palestina yang
mengelu-ngelukan kedatangannya. Apalagi setelah kota suci itu diperintah Islam,
mereka mendapatkan kebebasan. Mereka diperlakukan dengan baik. Hal itu cukup
kontras bila dibandingkan saat diperintah Kaisar Constantin.
Prinsip-prinsip yang sama juga
diterapkan oleh khalifah-khalifah setelahnya. Ali bin Abi Thalib, misalnya,
ketika menjadi khalifah menerapkan hukum terhadap penduduknya sesuai dengan
agama yang mereka anut.
Menantu Nabi ini, dalam menerapkan
keadilan di bidang hukum tidak pernah membedakan stutus sosial. Baik mereka
yang punya kedudukan tinggi maupun rakyat jelata diberlakukan sama.
Bahkan, ia pernah menegur seorang
hakim karena dalam suatu persidangan ia mendapatkan panggilan kehormatan Abu
Hasan, sedangkan tertuduh seorang Yahudi dipanggil dengan nama biasa.
Membasmi Feodalisme
Selanjutnya, hal serupa juga terhadi
pada Khalifah Umar bin Abdul Azis. Meskipun ia memerintah hanya dua tahun,
keadilannya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah Islam.
Tak lama setelah menjadi khalifah,
Umar membasmi sistem feodalisme yang diterapkan dan dipraktekkan oleh Bani
Umaiyah.
Baginya, sistem feodalisme
bertentangan dengan ajaran Islam murni, yang memberlakukan manusia sama.
Pembeda di antara manusia hanyalah derajat ketakwaan di hadapan Allah.
Beberapa tanah luas milik kerabatnya
sendiri diberikannya kepada Baitul Maal yang dapat dinikmati rakyat luas.
Dalam masa pemerintahannya ia
berhasil mengembalikan kepemimpinan Islam seperti yang dipraktekkan pada masa
Nabi dan para Khulafaur Rasyidin. Di samping itu, Umar memerintahkan supaya
menghentikan pemungutan pajak dari kaum Nasrani yang masuk Islam.
Dengan begitu berbondong-bondonglah
kaum Nasrani memasuki agama Islam karena penghargaan mereka terhadap
ajaran-ajaran Islam, dan juga karena daya tarik pribadi Umar bin Abdul Aziz
sendiri.
Di antara kebijaksanaan Umar yang
terpuji ialah, mengembalikan gereja kepada kaum Nasrani yang diambil alih oleh
khalifah sebelumnya dan diubah menjadi masjid. Ketika Umar menjadi khalifah,
dan orang Nasrani mengetahui bahwa Umar seorang yang adil, maka mereka menuntut
supaya gereja mereka dikembalikan kepada mereka.
Umar membatalkan kebijakan khalifah
sebelumnya yang telah menjadikan gereja menjadi sebuah masjid. Menurut pendapat
Umar, apa yang dilakukan khalifah sebelumnya itu tidak adil karena bertentangan
dengan toleransi agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan demikian,
kaum Nasrani yang merasa hak-hak mereka tidak diabaikan, mengucapkan terima
kasih kepada Umar.