1.TANDUK SETAN DARI NAJAD MENGGUNAKAN HADIS DHA’IF SYI’AH UNTUK MENUDUH SYI’AH SESAT…
2.SYI’AH IMAMIYAH MENDHA’IFKAN RIBUAN HADIS KARENA SYI’AH SANGAT KETAT DALAM ILMU HADIS
PERTANYAAN :
Banyak website salafi wahabi menulis sbb : “
– 44.000 riwayat dari kutubul arba’ah syi’ah cuma 644 (1.5%) saja riwayat yg sanadnya sampai ke Nabi?
– 44.000 riwayat dari kutubul arba’ah syi’ah cuma 690 saja riwayat yg sampai ke Imam Ali?
-44.000 riwayat dari kutubul arba’ah syi’ah tidak ada satupun riwayat yg sampai ke Sayyidah Fatimah?
– 44.000 riwayat dari kutubul arba’ah syi’ah cuma 21 saja riwayat yg sampai ke Imam Hassan?
– 44.000 riwayat dari kutubul arba’ah syi’ah cuma 7 saja riwayat yg sampai ke Imam Hussein?
Sedangkan di 9 kitab hadits Sunni :
– Imam Ali ra = 1.583 riwayat
– Abu Bakar ra = 210 riwayat
– Umar bin Khattab ra = 977 riwayat
– Utsman bin Affan ra = 313 riwayat
– Fatimah ra = 11 riwayat
– Hasan bin Ali ra = 35
– Hussein bin Ali ra = 43
Terlihat, kitab2 Sunni lebih banyak
meriwayatkan hadits dengan sanad sampai kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi
wassalam dan Ahlul Bait Utama beliau daripada kitab2 hadits Syiah…
why???
“””mayoritas hadits dalam Al Kafi adalah
Ahad yang tidak dapat dijadikan pegangan dalam masalah akidah –menurut
syi’ah sendiri.. Jumlah riwayat yang ada dalam empat kitab syi’ah di
atas adalah 44 ribu riwayat lebih sedikit, tetapi riwayat yang berasal
dari Nabi SAW hanya ada 644, atau hanya sekitar 1.5 % saja. Itu saja
banyak yang sanadnya terputus dan tidak shahih.. Yang lebih
mengherankan, dalam kitab Al Kafi yang haditsnya berjumlah 16199, hanya
ada 92 riwayat dari Nabi SAW, sementara riwayat dari Ja’far As Shadiq
berjumlah 9219.. Sementara riwayat dari Ali bin Abi Thalib dalam empat
kitab syi’ah di atas hanya berjumlah 690 riwayat, kebanyakan terputus
sanadnya dan tidak shahih, sepertinya fungsi pintu ilmu sudah diambil
alih oleh orang lain…Sementara riwayat dari Imam Hasan bin Ali bin Abi
Thalib yang ada dalam empat literatur utama hadits syi’ah hanya
berjumlah 21 riwayat…Empat kitab literatur utama hadits syi’ah tidak
memuat riwayat dari Fatimah Az Zahra..Riwayat Imam Husein yang tercantum
dalam empat literatur utama hadits syi’ah hanya berjumlah 7 riwayat
saja. “”
Jawaban :Jawaban :Jawaban :Jawaban :Jawaban :
Itu akibatnya kalau belajar syiah dari
ulama salafy. Sebagusnya meneliti syiah kalau memang mau ya dari orang
syiah sendiri. MEREKA BERDUSTA !!!!!!!! MEREKA BERDUSTA !!!!!!!!!!!
Tidak benar apa yang mereka sampaikan
!!!!!!!! Sebagai ulama syi’ah yang sudah bertahun tahun belajar syi’ah
saya mengatakan bahwa : “YANG MEREKA HiTUNG CUMA YANG DiSEBUT NAMA,
SEMENTARA YANG MENYEBUT GELAR TiDAK MEREKA HiTUNG, KALAU CARA BEGiNi
MENGHiTUNG HADiS JUSTRU DALAM SELURUH KiTAB ASWAJA TiDAK ADA SATUPUN
HADiS MUHAMMAD SAW KARENA TiDAK ADA HADiS YANG DiSEBUT DENGAN NAMA NABi
TAPi DiSEBUT DENGAN GELAR ‘
ANGKA YANG MEREKA SEBUTKAN DiATAS CUMA
YANG DiSEBUT DENGAN NAMA, PADAHAL MASiH BANYAK YANG DiSEBUT DENGAN GELAR
!!!!!!!!!!!!!!!!!!
KENAPA BANYAK HADiS DARi Imam Ja’far
Shadiq ????? Itu wajar karena yang menyampaikan hadis dengan mata rantai
sampai ke Nabi SAW kan Imam Ja’far !!!!!!!!!! tapi dengan hal ini
justru hadis syi’ah lebih terjaga karena disampaikan dari jalur { Nabi
SAW - Ali - Hasan - Husain - Zainal - Baqir - Ja’far } mereka adalah keluarga
jadi tidak mungkin menipu !!!!!!!!
hadis hadis syi’ah biasanya dengan
redaksi misalnya : Dalam Al KAfi ada hadis : Zurarah mendengar Abu
Abdillah ( Ja’far Ash Shadiq ) bersabda : Amirul Mu’minin ( Imam Ali )
bersabda “hiburlah hatimu agar ia tidak menjadi keras”
Hadis seperti tadi banyak dalam kitab
syi’ah… Yang diteliti adalah sanad dan matannya dari Zurarah sampai
dengan Kulayni, sementara dari Imam Ja’far sampai dengan Imam Ali tidak
diperiksa lagi karena dari Ja’far sampai dengan Imam Ali sanad nya pasti
bersambung oleh tali kekeluargaan dan tidak mungkin Imam Ja’far
mendustai ayahnya, kakek, buyut hingga Imam Ali
Sanad hadis kulaini benar benar otentik karena benar benar bersambung pada Imam Imam hingga Nabi SAW..
Yang meriwayatkan hadis bisa keturunan
Nabi SAW yaitu ahlul bait, bisa pengikut atau pendukung ahlul bait dan
bisa murid murid ahlul bait….
Bisakah rawi rawi sunni diterima
riwayatnya ??? ya bisa asal riwayatnya benar dan orangnya jujur ( hanya
saja riwayatnya paling tinggi statusnya HASAN )
Adapun hadis hadis dha’if dalam kitab
syi’ah bukanlah hadis Nabi SAW tapi ucapan ucapan yang dinisbatkan pada
Imam imam… Dalam kitab syi’ah tidak ada hadis Nabi SAW yang dha’if
apalagi pemalsuan atas nama Nabi SAW
TAPi hadis sunni disampaikan dengan jalur
antara mata rantai satu dengan berikutnya dan seterusnya jarang yang
ada ikatan keluarga (itrah) tapi diduga hanya saling bertemu…KALAU MODEL
HADiS ASWAJA iNi DALAM METODE Syi’AH DiANGGAP DHAiF ATAU MUWATSTSAQ
SAJA KARENA MATA RANTAi SANADNYA HANYA DUGA DUGA !!!!!!!!!!
Hadis Nabi SAW, Imam Ali disampaikan oleh
Imam Ja’far secara bersambung seperti :[..dari Abu Abdillah (ja’far)
dari Ayahnya ( Al Baqir ) dari kakeknya ( zainal ) dari Husain atau dari
Hasan dari Amirul Mu’minin ( Imam Ali ) yang mendengar Nabi SAW bersabda …] ada lebih dari 5.000 hadis
Setahu saya, ulama syiah tidak menjadikan
kitab pegangan mereka seperti Al Kafi sebagai kitab yang semuanya
shahih oleh karena itu mereka tidak menyebut kitab mereka kitab shahih
seperti Sunni menyebut kitab shahih Bukhari dan Muslim. Coba saja hitung
hadis yg diriwayatkan oleh Ali misalnya dg hadis yg diriwayatkan oleh
Abu Hurairah dalam Sahih Bukhori, pasti lebih banyak Abu Hurairah. Tidak
kurang dari 446 hadis yg berasal dari Abu Hurairah yg terdapat dlm
Sahih Bukhori. Sementara hadis Ali cuma 50 yg dianggap sahih atau 1.12 %
dari jumlah hadis Abu Hurairah. Padahal Aisyah menuduh Abu Hurairah sbg
pembohong dan Umar mengancamnya dg mencambuk kalau masih meriwayatkan
hadis2..Apanya yg dirujuk ? Wong Sunni lebih banyak ngambil hadis dari
Abu Hurairah dan org2 Khawarij atau dari Muqatil bin Sulaiman al-Bakhi?
Kalo ngomong jangan asbun.
Al Kulayni tidak pernah menyatakan semua hadits dalam al kahfi shahih, bisa berarti:
bisa maksudnya adalah: ada yang shahih dan tidak shahih.
Di Al Kafi, Al Kulaini menuliskan riwayat
apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam
Ahlul Bait as. Jadi Al Kulaini hanyalah sebagai pengumpul hadis-hadis
dari Ahlul Bait as. Tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa
semua hadis yang dia kumpulkan adalah otentik.
beliau hanya melakukan koleksi, maka
beliau tentunya tidak melakukan penelitian baik sanad ataupun matan dr
hadits tsb, krn jika melakukannya maka beliau tentunya akan
mengkategorikannya sesuai penelitian beliau (minimal melakukan
catatan2).
Jadi 50 % hadis lemah itu bukanlah
masalah bagi Syiah, karena mereka memiliki para ulama yang menyaring
hadis-hadis tersebut. Kayaknya cuma Mas deh yang menganggap itu masalah.
Saya lebih suka menganalogikan Al Kafi
itu dengan kitab Musnad Ahmad atau bisa juga dengan Ashabus Sunan yaitu
Sunan Tirmidzi, Nasai Abu dawud dan Ibnu Majah. Tidak ada mereka secara
eksplisit menyatakan semua isinya shahih, tetapi kitab mereka menjadi
rujukan… metode yang dilakukan
Saya rasa itulah tugas para ulama
setelahnya, mereka memberi penjelasan atas kitab Al Kafi, baik
menjelaskan sanad hadis Al Kafi … …. Artinya bagi saya adalah bahwa
secara implisit mereka sudah mengklaim bhw hadits2 mereka tulis bukan
sekedar koleksi tapi melewati filtrasi dg menggunakan metode yang mereka
yakini.
setiap pilihan ada resikonya, cara
Bukhari bisa dipandang bermasalah ketika diketahui banyak hadis yang
menurut orang tertentu tidak layak disandarkan kepada Nabi tetapi
dishahihkan Bukhari, kesannya memaksa orang awam untuk percaya “la kan
shahih”. Belum lagi beberapa orang yang mengakui perawi-perawi Bukhari
yang bermasalah, jadi masalah selalu ada.
tidak ada yg mengatakan alkulayni
superman atau ma’shumin, ia hanya orang yang mencatat hadist2 tanpa
mengklaim sepihak keshahihan hadist2nya…. ingat, alkafi bukan satu2nya
kitab yg dimiliki Syiah mas, itulah bedanya kita…perkembangan zaman
selalu menuntut adanya perkembangan pemikiran shg Syiah selalu memiliki
marja’ disetiap zaman utk memutuskan suatu hal yg boleh jadi berbeda di
setiap zaman, dan kitab rujukan utama Syiah adalah Alquran, belajar lgsg
dari orgnya dong mas…
Kulaini tidak mensyaratkan membuat kitab
yang 100% shahih ia hanya mengumpulkan hadis. Di sisi Syiah tidak ada
kitab hadis 100% shahih. Jadi masalah akurat dan tidak akurat harus
melihat dulu apa maksudnya Al Kulaini menulis kitab hadis. Ulama-ulama
syiah telah banyak membuat kitab penjelasan Al Kafi dan sanad-sanadnya
seperti Al Majlisi dalam Miratul Uqul Syarh Al Kafi, dalam kitab ini
Majlisi menyebutkan mana yang shahih dan mana yang tidak.
Secara metodologis ini tdk menjadi
masalah, para imam mazhab dan Bukhari serta perawi lain juga hadir jauh
setelah kehadiran Rasulullah saw sebagai pembawa risalah. Toh masih
dianggap sebagai perwakilan penyambung syareat Nabi saw.
Memang bukan kitab shahih tetapi bukan
berarti seluruhnya dhaif. Jumlah hadis yang menurut Syaikh Ali Al Milani
shahih dalam Al Kafi jumlahnya hampir sama dengan jumlah seluruh hadis
dalam shahih Bukhari. Dengan cara berpikir anda hal yang sama bisa juga
dikatakan pada kitab hadis sunni semisal Musnad Ahmad, Sunan Daruquthni,
Musnad Al Bazzar, Mu’jam Thabrani Shaghir dan Kabir, Al Awsath Thabrani
dan lain-lain yang banyak berisi hadis dhaif. Anehnya kutub as sittah
sendiri terdapat hadis-hadis dhaif dan palsu seperti yang ada pada
Ashabus Sunan, kalau gak salah Syaikh Albani membuat kitab sendiri
tentang itu (Dhaif Sunan Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa’i, Abu Dawud) dan
celakanya menurut syaikh Al Albani dan Daruquthni dalam Shahih Bukhari
dan Muslim juga terdapat hadis dhaif.
Atau contoh lain adalah kitab Shahih Ibnu
Hibban, Shahih Ibnu Khuzaimah dan Mustadrak Shahihain, itu nama kitab
yang pakai kata “shahih” dan anehnya banyak hadis-hadis dhaif bahkan
palsu. Dengan semua data itu apakah anda juga akan berkata sedangkan
kitab-kitab pegangan sunni banyak dinyatakan ulama sunni sendiri gak
sahih (banyak diragukan bersumber dari Rasulullah SAW). Silakan
direnungkan
Jawabannya sederhana kok, berpegang teguh kepada ahlul bait dalam arti
merujuk kepada mereka dalam agama diantaranya akidah dan ibadah
Memang banyak hadits dha’if yang terdapat
dalam berbagai kitab, entah dlm kitab sunni maupun syi’ah. Yang penting
esensi ajarannya, seperti para Imam Ahlul Bayt yg konsisten mengawasi
dan meluruskan terhadap penyimpangan para penguasa yg zalim.
Makanya jangan sok tau. Dalam Syi’ah,
fungsi Imam yg 12 adalah BUKAN sbg pembuat hal2 baru dlm agama
(bida’ah). Mereka hanyalah pelaksana sekaligus penjaga/pengawal syariat
Islam yg dibawa nabi Muhammad saw. Kalau ente menemukan Imam Ja’far
bersabda….begini dan begitu.. artinya dia hanya mengutip apa yg
disabdakan oleh nabi saw melalui jalur moyangnya spt Ali bin Abi Talib,
Hasan, Husein, Ali bin Husein dan Muhammad bin Ali. Dus ucapan para Imam
= ucapan Nabi saw.
He he he…dasar sok tau. Kalau para ulama
Syi’ah selalu mengatakan bahwa hadis2 yg terdapat dlm Al-Kafi umpamanya
masih banyak yg dhaif, itu bukan berarti kebanggaan. Pernyataan mereka
itu lebih kpd sikap jujur dan terbuka dan apa adanya. ………Sudah ane
jelaskan bahwa Syi’ah tdk membeda-bedakan sumber hadis apakah itu dari
Ali, Fatimah, Hasan, Husein atau para Imam yg lainnya. Apa yg diucapkan
oleh Imam Ja’far umpamanya, itu juga yg diucapkan oleh Imam Ali bin
Muhammad kmdn juga oleh Ali bin Husein, Husein bin Ali, Ali bin Abi
Talib, Fatimah dan Nabi saw. Substansinya bukan pada jumlah yg
diriwayatkan Fatimah atau Imam Hasan lebih sedikit dibanding Imam Ja’far
atau imam yg lainnya tetapi pada kesinambungan periwayatan dari
Rasulullah saw smp kpd Imam yg terakhir.
hadis2 Rasulullah saw selalu terjaga
dibawah pengawasan langsung para Imam zaman dan para pengikut Ali masih
bisa berkomunikasi dg para Imam Zaman.
============================================================================
SYi’AH iMAMiYAH MENDHA’iFKAN RiBUAN HADiS
KARENA SYi’AH SANGAT KETAT DALAM iLMU HADiS
Dalam Rasa’il fi Dirayat Al Hadits jilid 1
hal 395 disebutkan mengenai syarat hadis dinyatakan shahih di sisi
Syiah yaitu apa saja yang diriwayatkan secara bersambung oleh para
perawi yang adil dan dhabit dari kalangan Imamiyah dari awal sanad
sampai para Imam maksum dan riwayat tersebut tidak memiliki syadz dan
illat atau cacat………..
Dalam kitab Masadir Al Hadits Inda As
Syi’ah Al Imamiyah yang ditulis oleh Allamah Muhaqqiq Sayid Muhammad
Husain Jalali.. Beliau mengklasifikasikan hadis dalam kitab Al Kafi
Kulaini dengan perincian sebagai berikut :
Jumlah hadis secara keseluruhan : 1621 ( termasuk riwayat dan cerita )
Hadis lemah / dha’if : 9485
Hadis yang benar / hasan : 114
Hadis yang dapat dipercaya / mawtsuq : 118
Hadis yang kuat / Qawi : 302
Hadis shahih : 5702
Dari hadis-hadis dalam Al Kafi, Sayyid
Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis
Muwatstsaq(hadis yang diriwayatkan perawi bukan syiah tetapi dipercayai
oleh syiah), 302 hadis Qawiy(kuat) dan 9.480 hadis dhaif. (lihat Al
Riwayat Li Al Hadits Al Tahrif oleh Sayyid Ali Al Milani dalam Majalah
Turuthuna Bil 2 Ramadhan 1407 H hal 257). Jadi dari keterangan ini saja
dapat dinyatakan kira-kira lebih dari 50% hadis dalam Al Kafi itu dhaif.
Walaupun begitu jumlah hadis yang dapat dijadikan hujjah(yaitu selain
hadis yang dhaif) jumlahnya cukup banyak, kira-kira hampir sama dengan
jumlah hadis dalam Shahih Bukhari.
Kitab ini disusun dalam jangka waktu yang
cukup panjang, selama 20 tahun yang tidak ada bandingannya. Al-Kulaini
meriwayatkan hadis yang sangat banyak jumlahnya dari berbagai ulama ahl
al-bait. Hadis-hadis yang termuat dalam al-Kafi berjumlah 16.199 buah
hadis, yang mencapai tingkat sahih, berjumlah 5.702 buah hadis, tingkat
hasan 144 buah hadis, tingkat muwassaq 1.128 buah hadis, tingkat qawiy
302 buah hadis, dan tingkat dha’if 9.485 buah hadis.[sumber :Ayatullah
Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab
al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh
Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 36.]
Menurut pengakuan Fakhruddin At Tharihi ada 9845 hadits yang dhaif dalam kitab Al Kafi, dari jumlah 16119 hadits Al Kafi.
Kenapa banyak sekali hadis dha’if ??? Apa kulaini lemah dalam keilmuan ????
Jawab:
Syi’ah imamiyah itsna asyariah sangat ketat dalam ilmu hadis, sehingga
ribuan hadis berani kami dha’if kan .. Tindakan pendha’ifan ribuan hadis
ini menunjukkan bahwa kami SANGAT SANGAT SERiUS DALAM menilai
keshahihan sesuatu yang dinisbatkan pada agama….Tidak ada kompromi dalam
hal seleksi hadis… Pertanyaannya adalah Sunnah mana yang asli dan mana
yang bukan…..
Apa yang dimaksud dengan hadis lemah/dha’if ????
Jawab :
Jika salah satu seorang dari rantai penulis hadis itu tidak ada, maka
hadis itu lemah dalam isnad tanpa melihat isinya… Ada hadis dalam Al
Kafi yang salah satu atau beberapa unsur dari rangkaian periwayatnya
tidak ada, oleh sebab itu hadis hadis demikian isnad nya dianggap lemah
Jika seseorang membawa sebuah hadis yang
lemah dari USHUL AL KAFi dan kemudian mengarti kan hadis tersebut secara
salah sebagai alat propaganda kesesatan syi’ah, maka hal itu tidak
menggambarkan keyakinan syi’ah !!!!!
Apakah dengan modal empat kitab hadis syi’ah maka kita sudah dianggap berpedoman pada TSAQALAiN ???
jawab :
Yang dimaksud dengan berpedoman pada tsaqalain adalah mengikuti petunjuk
Al Quran dan orang orang terpilih dari ahlul bait…SEMENTARA EMPAT KiTAB
HADiS TERSEBUT ADALAH CATATAN CATATAN REKAMAN UCAPAN, PERBUATAN, DAN
AKHLAK AHLUL BAiT.. YANG NAMANYA CATATAN MEREKA TENTU ADA YANG AKURAT
DAN ADA YANG TiDAK AKURAT… YANG AKURAT DiNiLAi SHAHiH DAN YANG TiDAK
AKURAT DiNiLAi DHA’iF
Adakah hadis aneh aneh dalam kitab syi’ah ????
Jawab :Jika ada hadis yang bertentangan dengan Al Quran maka kami
menilainya tidak shahih maka masalahnya selesai !!!! Kalau ada hadis
hadis aneh dalam kitab kitab mu’tabar syi’ah maka setelah meneliti sanad
dan matannya maka ulama syi’ah langsung memvonisnya dha’if dan hadis
tersebut tidak dipakai !!!!
Al Kafi adalah kitab hadis Syiah yang
ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Al Kulaini pada abad ke 4 H. Kitab ini
ditulis selama 20 tahun yang memuat 16.199 hadis. Al Kulaini tidak
seperti Al Bukhari yang menseleksi hadis yang ia tulis. Di Al Kafi, Al
Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang
mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Jadi Al Kulaini hanyalah
sebagai pengumpul hadis-hadis dari Ahlul Bait as.
Tidak ada sedikitpun pernyataan Al
Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan adalah otentik. Oleh karena
Itulah ulama-ulama sesudah Beliau telah menseleksi hadis ini dan
menentukan kedududkan setiap hadisnya.
Semua keterangan diatas sudah cukup
membuktikan perbedaan besar di antara Shahih Bukhari dan Al Kafi. Suatu
Hadis jika terdapat dalam Shahih Bukhari maka itu sudah cukup untuk
membuktikan keshahihannya. Sedangkan suatu hadis jika terdapat dalam Al
Kafi maka tidak bisa langsung dikatakan shahih, hadis itu harus diteliti
sanad dan matannya berdasarkan kitab Rijal Syiah atau merujuk kepada
Ulama Syiah tentang kedudukan hadis tersebut.
Peringatan
Oleh karena cukup banyaknya hadis yang dhaif dalam Al Kafi maka
seyogyanya orang harus berhati-hati dalam membaca buku-buku yang
menyudutkan syiah dengan menggunakan riwayat-riwayat Hadis Syiah seperti
dalam Al Kafi. Dalam hal ini bersikap skeptis adalah perlu sampai
diketahui dengan pasti kedudukan hadisnya baik dengan menganalisis
sendiri berdasarkan Kitab Rijal Syiah atau merujuk langsung ke Ulama
Syiah.
Dan Anda bisa lihat di antara buku-buku
yang menyudutkan syiah dengan memuat riwayat syiah sendiri seperti dari
Al Kafi tidak ada satupun penulisnya yang bersusah payah untuk
menganalisis sanad riwayat tersebut atau menunjukkan bukti bahwa riwayat
itu dishahihkan oleh ulama syiah. Satu-satunya yang mereka jadikan
dalil adalah Fallacy bahwa Al Kafi itu di sisi Syiah sama seperti Shahih
Bukhari di Sisi Sunni. Padahal sebenarnya tidak demikian, sungguh
dengan fallacy seperti itu mereka telah menyatakan bahwa Syiah itu kafir
dan sesat. Sungguh Sayang sekali.
Peringatan ini jelas ditujukan kepada
mereka yang akan membaca buku-buku tersebut agar tidak langsung percaya
begitu saja. Pikirkan dan analisis riwayat tersebut dengan Kitab Rijal
Syiah(Rijal An Najasy atau Rijal Al Thusi). Atau jika terlalu sulit
dengarkan pendapat Ulama Syiah perihal riwayat tersebut. Karena pada
dasarnya mereka Ulama Syiah lebih mengetahui hadis Syiah ketimbang para
penulis buku-buku tersebut.
Dr. Muhammad At-Tîjâni as-Samâwie
–seorang Sunni yang kemudian membelot ke Syi’ah, ketika melakukan kajian
komparatif antara Sunnah dan Syi’ah, memberikan judul bukunya tersebut:
Asy-Syî’ah Hum Ahlu Sunnah.
dalam beberapa hal, metodologi hadis
Syi’ah amat berlainan dengan metodologi Ahlu Sunnah. Kajian tentang
metodologi hadis dalam Syi’ah Imamiah telah menjadi objek sebuah risalah
doktoral di fakultas Ushuluddin Universitas al Azhar. Pada penghujung
tahun 1996, risalah tersebut telah diuji dan dinyatkan lulus.
Dalam kalangan Syi’ah, kitab-kitab hadis yang dijadikan pedoman utama
-dan berfungsi seperti kutub sittah dalam kalangan sunni- ada sebanyak 4
buah kitab.
Kitab al Kâfi. Disusun oleh Abu Ja’far
Muhammad bin Ya’qub al Kulayni (w.328 H.). Kitab tersebut disusun dalam
20 tahun, menampung sebanyak 16.090 hadis. Di dalamnya sang penyusun
menyebutkan sanadnya hingga al ma’shum. Dalam kitab hadis tersebut
terdapat hadis shahih, hasan, muwats-tsaq dan dla’if.
Kitab Ma La Yahdluruhu al Faqih. Disusun
oleh ash-Shadduq Abi Ja’far Muhammad bin ‘Ali bin Babawaih al Qummi
(w.381 H.). Kitab ini merangkum 9.044 hadis dalam masalah hukum.
Kitab at-Tahzib. Kitab ini disusun oleh
Syaikh Muhammad bin al Hasan ath-Thusi (w.460 H.). Penyusun, dalam
penulisan kitab ini mengikuti metode al Kulayni. Penyusun juga
menyebutkan dalam setiap sanad sebuah hakikat atau suatu hukum. Kitab
ini merangkum sebanyak 13.095 hadis.
Kitab al Istibshar. Kitab ini juga
disusun oleh Muhammad bin Hasan al Thusi. Penysusun kitab at-Tahzib.
Kitab ini merangkum sebanyak 5.511 hadis.
Di bawah derajat ke empat kitab ini, terdapat beberapa kitab Jami’ yang besar. Antara lain:
Kitab Bihârul Anwâr. Disusun oleh Baqir al Majlisi. Terdiri dalam 26 jilid.
Kitab al Wafie fi ‘Ilmi al Hadis. Disusun oleh Muhsin al Kasyani.
Terdiri dalam 14 juz. Ia merupakan kumpulan dari empat kitab hadis.
Kitab Tafshil Wasail Syi’ah Ila Tahsil
Ahadis Syari’ah. Disusun oleh al Hus asy-Syâmi’ al ‘Amili. Disusun
berdasarkan urutan tertib kitab-kitab fiqh dan kitab Jami’ Kabir yang
dinamakan Asy-Syifa’ fi Ahadis al Mushthafa. Susunan Muhammad Ridla
at-Tabrizi.
Kitab Jami’ al Ahkam. Disusun oleh
Muhammad ar-Ridla ats-Tsairi al Kâdzimi (w.1242 H). Terdiri dalam 25
jilid. Dan terdapat pula kitab-kitab lainnya yang mempunyai derajat di
bawah kitab-kitab yang disebutkan di atas. Kitab-kitab tersebut antara
lain: Kitab at-Tauhid, kitab ‘Uyun Akhbâr Ridla dan kitab al ‘Amali.
Kaum Syi’ah, juga mengarang kitab-kitab
tentang rijal periwayat hadis. Di antara kitab-kitab tersebut, yang
telah dicetak antara lain: Kitab ar-Rijal, karya Ahmad bin ‘Ali
an-Najasyi (w.450 H.), Kitab Rijal karya Syaikh al Thusi, kita Ma’alim
‘Ulama karya Muhammad bin ‘Ali bin Syahr Asyub (w.588 H.), kitab Minhâj
al Maqâl karya Mirza Muhammad al Astrabady (w.1.020 H.), kitab Itqan al
Maqal karya Syaikh Muhammad Thaha Najaf (w.1.323 H.), kitab Rijal al
Kabir karya Syaikh Abdullah al Mumaqmiqani, seorang ulama abad ini, dan
kitab lainnya.
Satu yang perlu dicatat: Mayoritas hadis
Syi’ah merupakan kumpulan periwayatan dari Abi Abdillah Ja’far
ash-Shadiq. Diriwayatkan bahwa sebanyak 4.000 orang, baik orang biasa
ataupun kalangan khawas, telah meriwayatkan hadis dari beliau. Oleh
karena itu, Imamiah dinamakan pula sebagai Ja’ fariyyah. Mereka berkata
bahwa apa yang diriwayatkan dari masa ‘Ali k.w. hingga masa Abi Muhammad
al Hasan al ‘Askari mencapai 6.000 kitab, 600 dari kitab-kitab tersebut
adalah dalam hadis.
============================================================================
Di dalam Syi’ah, ada 4 kitab hadits, yang terdiri dari:
Al-Kafi
Hadits-hadits dalam kitab dikumpulkan oleh Syaikh Abu Ja’far Muhammad
bin Ya’qub al-Kulaini ar-Razi. Ia adalah cendekiawan Islam yang sangat
menguasai ilmu hadits. Wafat tahun 329 Hijriah Terdapat sekitar 16000
hadits yang berada dalam kitab al-Kafi, dan merupakan jumlah terbanyak
yang berhasil dikumpulkan. Kitab Syi’ah yang terbaik
Man la yahdarul fiqh
Ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein Lahir tahun
305 Hijriah dan wafat tahun 381 Hijriah..Terdapat sekitar 6000 hadits
tentang Syariah…
Tazhibul Ahkam
Ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Hasan al-Tusi Lahir di
Khurasan tahun 385 Hijriah, dan wafat pada tahun 460 Hijriah Terdapat
sekitar 13590 Hadits dalam kitab ini.
Al-Istibshar fima Ikhtilaf minal Akhbar
Ditulis oleh Syakih Abu Ja’far Muhammad bin Hasan al-Tusi..Lahir di
Khurasan tahun 385 Hijriah, dan wafat pada tahun 460 Hijriah..Terkumpul
sekitar 5511 hadits dalam kitab ini.
============================================================================
MENGGUGAT KEJUJURAN ASWAJA SUNNi
kedudukan Imam itu lebih tinggi dari
Nabi. Coba simak QS Al-Baqarah 124:”Dan ketika Ibrahim diuji Tuhannya
dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah
berfirman:”Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia.
Ibrahim berkata:”(Dan aku mohon juga) dari keturunanku. Allah
berfirman:”Janji-Ku (ini) tidak akan mengenai orang2 yang zalim.”
Kalimat “wa idzibtala ibrihima robbuhu bi
kalimatin fa attamahuna qola inni ja’iluka linnasi imama..menunjukkan
bahwa Imamah itu diberikan kpd Nabi Ibrahim setelah Allah mengujinya dg
ujian2 besar spt belum punya keturunan sampai usia tua dan pengorbanan
anak tercintanya Ismail.
“Hari kamis! Betapa tragis hari itu!”
Kemudian Ibnu Abbas menangis keras sehingga air matanya mengalir ke
pipi. Kemudian ia menambahkan (Rasulullah bersabda), “Ambikan sebuah
tulang pipih atau kertas serta tinta agar aku dapat menuliskan
pernyataan yang akan membuat kalian tidak tersesat sepeninggalku.”
Mereka berkata, “Sesungguhnya Rasulullah sedang meracau!” (HR. Muslim)
Sebagain sahabat menilai Nabi ‘yahjur” (bicara tidak karuan akibat sakit berat)…
Apakah saya harus mencintai sahabat yang menilai nabi meracau? Ami-amit. Sumpah, naudzubillahi min dzalik.
udah….jangan debat…… kita bicara kenyataannya ajah………
1. ahlu sunnah itu ngakunya pengikut
sunnah…..tp sunnah bikinan sendiri. bikinan orang orang yang dengki sama
nabi dan keluarga nya. bukan sunnah dari nabi. cuma belaga belaga dari
nabi. makanya ceritanya semua muter muter dan kacau tabrakan melulu
antara hadis ini sama itu. gak karuan.
Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang didengarnya
dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak
menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu
Jauzi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh
-Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis.
-Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
-Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
-Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
-Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
-Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
-Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
Selain itu bagaimana mungkin Bukhori dan
Muslim dg umur yg sekitar 60-70 tahun mampu menyeleksi ratusan ribu
hadis dan mewawancarai ribuan org yg memiliki hadis yg domisilinya
terpencar-pencar ?
Apa masih pantas kitab hadis Bukhori Muslim diberi label “Sahih” ?
Bukhori misalnya tdk mau mewawancarai
Imam az-Zaki al-Askari, cucu Rasulullah saw yg sezaman dgnya dan
sedikitpun tdk berhujjah dg Imam Ja’far Ash-Shadiq, Imam Kazhim, Imam
Ridho, Imam al-Jawad, Hasan bin al-Hasan, Zaid bin Ali bin Husein, Yahya
bin Zaid, an-Nafs Az Zakiyah, Ibrahim bin Abdullah, Muhammad bin Qasim
bin Ali dan dari keturunan Ahlul Bait manapun. Sebaliknya Bukhori
meriwayatkan dari banyak kaum Khawarij yg memusuhi Ahlul Bait dan tokoh2
yg terkenal jahil terhdp keluarga Rasulullah saw.
Total hadis2 yg diriwayatkan Abu Hurairah
menurut Muhammad bin Hazm berjumlah 5374, jauh lebih banyak dari jumlah
hadis yg diriwayatkan oleh Abu Bakar (22), Umar (50) dan Usman (9).
Bagaimana dg Ibnu Abbas ? Ternyata dalam
jalur periwayatan hadis Ibnu Abbas terdpt org2 spt Abu Sahl As-Suri yg
dikenal sbg pembohong, pencipta hadis palsu dan pencuri hadis dan Abdul
Quddus Abu Said ad-Damasyqi juga sbg pembohong ! (Lisan al-Mizan, Tarikh
al-Baghdadi dll). He he he mau ngibulin org ?
Dalam hadis aswaja sunni Memang bisa saja
berbunyi “dari Ali dari Rasulullah saw” Tapi ketika diteliti sanadnya
pasti ada pembohong. Itu sama saja dg hadis maudhu. Coba pikir bagaimana
mungkin seorang yg dijegal menjadi khalifah, diasingkan dan diperangi
oleh org spt Aisyah dan Muawiyah dan dilaknat selama 80 thn dan
keturunannya dibunuh baik oleh para penguasa Bani Umayah maupun
Abbasiyah, hadisnya dimasukkan kedalam kitab hadis Sunni sbg hadis sahih
?
He he he jadi macem mana kualitas kitab2 hadis Sunni itu ?
2. kalangan ahlu sunah itu sekumpulan
orang yang keras kepala dalam mempertahankan tradisi dari zaman bani
umayah. makanya ciri ciri kalangan ahlu sunah itu bodoh dan keras
kepala. gak pernah berpikir logis. contohnya waktu dibilangin bahwa ayat
yang artinya ” ikutilah allah rasulnya, dan orang yang menunaikan zakat
pada saat dia rukuk”. jelas ayat ini buat ali bin abithalib, tp mereka
bilang bukan. itu buat rasulallah. makanya dibilang ulama bodo. tolol
dan keras kepala. masa’ allah bilang ikutilah allah, rasulnya, dam
rasulnya lagi?? pasti!! orang ketiganya orang lain.
3. “kalangan ahlu sunah tidak terima
kalau keluarga nabi itu di beri kelebihan oleh allah ta’ala dari semua
mahluk yang lain”. ciri ini sama persis….sama yang diusir dari surga
karena gak terima adam yang diberi kelebihan sama allah.
4. ahlu sunnah wal jamaah…….kata kata
yang baik di gunakan buat maksud yang salah…… sama seperti waktu
muawiyah perang udah kalah…. belaga belaga pakai kata “tidaka da hukum
kecuali hukum allah” benar benar kata kata yang haq tapi
sayang…..dipakai buat nipu……ada kepentingan politis masuk spt dlm Sahih
Bukhori ? Apa bukan menipu namanya kalau ada org jual barang jelek
dibilang bagus ?
He he he…makanya baca sejarah yg netral
dong. Pikir dg akal yg sehat, kenapa Abu Bakar dkk mengancam mau
membakar rumah Fatimah segala ? Ada apa ? Kenapa waktu mengadakan
“pemilihan” khalifah di Bani Saidah, Abu Bakar, Umar dll tdk menunggu
Ali yg sedang mengurus jenazah Nabi saw ? Kenapa Abu Bakar tdk
memberikan Tanah Fadak milik Rasulullah kpd Fatimah sbg ahli waris ?
Semua itu bukan serba kebetulan, tetapi dirancang oleh suatu konspirasi
untuk menjegal atau mencegah Ali dan Ahlul Bait mememegang kekhilafahan,
karena konspirasi Quraisy tdk menghendaki berkumpulnya Nubuwwah dan
Khilafah dlm kekuasaan Bani Hasyim.He he engga tdk dikotak-kotak juga memang sdh terkotak-kotak sejak Nabi wafat.
Syiah merujuk segala sesuatu kepada para imam yang maksum dari kalangan keluarga Nabi SAWA.
Contoh-contoh yang aku sebutkan ini dan
yang tidak aku sebutkan jumlahnya jauh berlipat ganda – sudah cukup
untuk menolak hadith ini. Mengingatkan bahawa dari sunnahnya Abu Bakar,
Umar dan Uthman bercanggah dengan Sunnah Nabi bahkan membatalkannya sama
sekali seperti yang nampak jelas.
Peristiwa pertama yang berlaku segera
selepas wafatnya Nabi SAWA yang dicatatkan oleh Ahlul Sunnah dan ahli
sejarah adalah kritik Fatimah Zahra terhadap Abu Bakar yang berhujah
dengan sebuah hadith “Kami para Nabi tidak meninggalkan warisan pusaka.
Apa yang kami tinggalkan adalah sadaqah”.
Hadith ini ditolak oleh Fatimah Zahra
berdasarkan Kitab Allah. Beliau berhujah kepada Abu Bakar bahawa ayahnya
Rasulullah tidak mungkin akan menyalahi Kitab Allah yang diturunkan
kepadanya. Allah berfirman:” Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembahagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan” (Al-Qur’an Surah
al-Baqarah: 11). Ayat ini umum dan meliputi para Nabi dan bukan nabi.
Fatimah juga berhujah dengan firman Allah “Dan Sulaiman telah mewarisi
Daud “(Surah 27:16). Dan kedua-dua mereka adalah nabi. Juga firman Allah
“Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan
mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub, dan jadikanlah ia,
Ya Tuhanku, seorang yang diredhai” (Surah 19:5-6)
Peristiwa kedua yang berlaku di zaman
pertama khilafah Abu Bakar dan dicatat rapi oleh ahli-ahli sejarah yang
bermadzhab Sunnah adalah perselisihannya dengan orang yang paling rapat
dengannya iaitu Umar bin Khattab.
Secara ringkas, Abu Bakar mengambil
keputusan untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat
sementara Umar menentang pendapatnya. Umar berkata: mereka tidak wajar
diperangi kerana aku dengar Nabi SAWA bersabda:”Aku diperintahkan untuk
memerangi melainkan sehingga mereka mengucapkan Tiada Tuhan Melainkan
Allah dan Muhammad adalah pesuruh Allah. Siapa yang mengucapkannya maka
nyawa dan hartanya selamat dan hisabnya pada Allah semata-mata.”
Bagaimanapun mereka yang enggan
memberikan zakat kepada Abu Bakar sebenarnya tidak mengingkari hukum
wajibnya zakat itu sendiri. Mereka memperlambatkan kerana ingin
mengetahui keadaan yang sebenarnya. Orang-orang Syiah mengatakan bahawa
mereka terkejut dengan terlantiknya Abu Bakar sebagai khalifah. Kerana
di antara mereka ada yang hadir bersama-sama Rasulullah di Haji Terakhir
(Hujjatul Wada’) dan mendengar sendiri khutbah Nabi yang mengangkat Ali
bin Abi Talib sebagai khalifah setelahnya. Mereka cuba untuk menunggu
sehingga keadaan sebenarnya dapat diketahui tetapi Abu Bakar ingin
membungkamkan mereka dari mengetahui keadaan sebenarnya ini.
Mengingatkan bahawa aku tidak mahu
berhujah dengan apa yang dikatakan oleh Syiah, maka aku serahkan kepada
pembaca yang ingin mencari kebenaran untuk mengkaji masalah ini.
Aku juga tidak lupa untuk mencatatkan di
sini suatu cerita berkenaan dengan Rasulullah dan Tha’labah. Suatu hari
Tha’labah memohon kepada Rasulullah untuk mendoakannya agar ia menjadi
kaya. Dia mendesak Rasulullah dan berjanji kepada Allah akan bersadaqah
jika dia kaya kelak. Rasulullah mendoakannya dan Allah pun
memperkayakannnya. Disebabkan banyaknya unta dan kambing ternakannya,
kota Madinah yang luas akhirnya terasa sempit baginya. Dia berpindah
dari kota Madinah dan tidak lagi menghadiri solat Juma’at. Ketika
Rasulullah mengutus para Amilin (pengutip zakat) untuk mengambil zakat
darinya, Tha’labah menolak untuk memberikan. Katanya: Ini ufti (jizyah)
atau sejenisnya. Tetapi Rasulullah tidak memeranginya dan tidak juga
memerintahkan orang untuk memeranginya. Berkenaan dengan ini Allah
turunkan ayat berikut:”Dan di antara mereka ada orang yang telah
berikrar kepada Allah:”Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian
kurniaNya kepada kami, pastilah kami akan bersadaqah dan pastilah kami
termasuk orang-orang yang soleh. Maka setelah Allah memberikan kepada
mereka sebahagian dari kurniaNya, mereka kikir dengan kurnia itu, dan
berpaling. Dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi
(kebenaran)” (At-Taubah: 75-76).
Setelah turunnya ayat ini: Tha’labah
kemudian datang sambil menangis. Dia minta kepada Rasulullah untuk
menerima zakatnya kembali tetapi Rasulullah enggan menerimanya seperti
yang dikatakan oleh riwayat.
Jika Abu Bakar dan Umar benar-benar
mengikuti sunnah Rasul, kenapa ia menyalahinya dalam tindakan ini dan
menghalalkan darah kaum Muslimin yang tidak berdosa semata-mata kerana
alasan enggan memberikan zakat. Setelah cerita Tha’labah di atas yang
mengingkari kewajipan zakat dan bahkan menganggapnya sebagai ufti, maka
tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan dan menjustifikasikan
kesalahan yang dilakukan oleh Abu Bakar atau mentakwilkannya dengan
mengatakan bahawa zakat adalah haknya harta. Siapa tahu mungkin Abu
Bakar dapat menyakinkan sahabatnya Umar untuk memerangi orang-orang ini,
khuatir sikap mereka ini akan diketahui oleh negeri-negeri Islam yang
lain yang dapat menghidupkan kembali nas-nasnya al-Ghadir yang memilih
Ketika aku bertanya kepada salah seorang
di antara mereka tentang Ahlul Bayt, dia menjawab: Ahlul Sunnah
wal-Jamaah semua ikut Ahlul Bayt. Aku rasa hairan sekali. Aku bertanya
bagaimana itu? Jawabnya: Nabi SAWA pernah bersabda:”Ambillah separuh
dari agama kalian dari Humaira’ ini, yakni Aisyah”.Nah, kami telah ambil
separuh dari agama kami daripada Ahlul Bayt.
Dengan demikian dapatlah dimengertikan
sejauh manakah mereka menghormati dan menyanjung Ahlul Bayt. Namun jika
aku soal tentang imam dua belas, mereka tidak mengenalnya melainkan Ali,
Hasan, dan Husayn.Itupun mereka tidak mengiktiraf keimamahannya Hasan
dan Husayn ini. Merea juga menghormati Muawiyah bin Abi Sufian yang
telah meracuni Hasan hingga syahid. Bahkan mengatakan yang Muawiyah
adalah penulis wahyu sebagaimana mereka juga menghormati A’mr bin Ash
seperti mereka menghormati Ali bin Abi Talib.
Sungguh ini adalah percanggahan dan
percampuran antara yang hak dengan batil; suatu usaha untuk menutupi
yang terang dengan kegelapan. Kalau tidak maka bagaimana mungkin hati
seorang Mukmin dapat menghimpun rasa cinta kepada Allah dan cinta juga
pada syaitan. Allah berfirman di dalam KitabNya:
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah, dan
hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan RasulNya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang
yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan
mereka dengan pertolongan yang datang daripadaNya. Dan dimasukkanNya
mereka ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka
kekal di dalamnya. Allah redha terhadap mereka dan mereka pun merasa
puas terhadap (limpahan rahmat)Nya. Mereka itulah golongan Allah.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang
beruntung” (Al-Mujadalah: 22).
FirmanNya lagi:”Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhKu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad) kerana rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah
ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu” (Al-Mumtahanah: 1).
Setelah itu aku ketahui bahawa sebahagian
ulama kita berusaha bersungguh-sunguh untuk menutupi kebenaran agar
tidak terungkap masalah-masalah sahabat dan para khalifah yang menjadi
pemimpin dan teladan mereka. Itulah kenapa kadang-kadang mereka
mentakwilkan hadith-hadith yang sahih dengan mentafsirkannya dengan
makna yang tidak tepat; atau kadang-kadang mendustakan hadith-hadith
yang bercanggah dengan madzhab mereka walau ianya tertulis di dalam
buku-buku sahih mereka dan dibawa oleh sanad-sanad mereka. Atau
kadang-kadang mereka menghapuskan setengah atau sepertiga isi hadith dan
menggantikannya dengan kata-kata begitu dan begini!!! Atau
kadang-kadang mereka meragukan para perawi yang dipercayai lantaran
meriwayatkan hadith-hadith yang tidak sesuai dengan kehendak mereka.
Atau kadang-kadang mereka menulis suatu hadith di dalam cetakan pertama
dari suatu buku, kemudian menghapuskannya di dalam cetakan ulangan
berikutnya tanpa memberikan apa-apa alasan, betapapun diketahui
sebab-sebabnya oleh para pemerhati!
Semua ini telah aku saksikan sendiri
ketika aku masih mengkaji dan mencari kebenaran. Dan aku mempunyai
dalil-dalil yang kuat atas apa yang aku katakan ini. Aku harap mereka
tidak mengulangi lagi usaha yang sia-sia ini sekadar untuk
menjustifikasi tindakan para sahabat yang telah berpaling itu. Ini
kerana ucapan-ucapan mereka saling bercanggah dan bahkan bercanggah
dengan fakta sejarah. Cubalah mereka mengikuti yang benar (al-haq),
walaupun ianya pahit. Kerananya mereka akan bahagia dan membahagiakan
orang lain juga, dan bahkan menjadi sebab perpaduan ummah yang telah
bercerai -berai ini.
Bahkan sebahagian sahabat generasi
pertama juga tidak jujur di dalam meriwayatkan hadith-hadith Nabi SAWA.
Mereka telah menafikan hadith-hadith yang tida sejalan dengan kehendak
nafsu mereka khasnya jika ianya tergolong di antara hadith-hadith wasiat
yang diwasiatkan oleh baginda Nabi SAWA di masa-masa sebelum wafatnya.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahawa Rasulullah SAWA berwasiat sebelum
wafatnya dengan tiga perkara:1. Keluarkan kaum musyirikin dari Jazirah
Arab 2. Berikan hadiah kepada para utusan (delegasi) seperti yang aku lakukan.Lalu perawi berkata: Aku lupa yang ketiga
Apakah diterima oleh akal bahawa para
sahabat yang hadir yang mendengar tiga wasiat Nabi itu lupa pada wasiat
yang ketiga sedangkan mereka adalah orang-orang yang menghafal
syair-syair panjang setelah mendengarnya sekali sahaja? Tentu tidak sama
sekali. Hanyalah politik yang memaksa mereka melupakannya dan tidak
menyebutnya. Dan ini merupakan musibah lain yang ada pada
sahabat-sahabat itu. Tidak ragu-ragu lagi bahawa wasiat yang dimaksudkan
Nabi tersebut adalah perlantikannya kepada Ali sebagai khalifah
setelahnya. Tetapi perawi itu tidak menyebutnya.
Seseorang yang mengkaji permasalahan ini
merasakan yang wasiat itu sebenarnya berupa perlantikan baginda kepada
Ali, walau ianya ditutup-tutupi. Bukhari dan Muslim dalam Bab al-Wasiyah
meriwayatkan bahawa Nabi berwasiat untuk Ali di tengah kehadiran Aisyah
..Lihatlah betapa Allah pancarkan cahayaNya walau orang-orang zalim
cuba untuk menutupinya.
Aku ulangi lagi bahawa jika para sahabat
tidak thiqah di dalam meriwayatkan wasiat-wasiat Nabi SAWA, maka tidak
hairan kalau itu berlaku pada Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in (generasi
selepas sahabat).
Jika Aisyah, Ummul Mukminin, tidak dapat
menahan dirinya mendengar nama Ali disebutkan dan tidak merasa senang,
seperti yang dikatkan oleh Ibnu Saa dalam Tabaqatnya dan Bukhari dalam
kitabnya Bab Nabi Sakit Dan Wafat; dan jika Aisyah sujud syukur apabila
mendengar kewafatan Ali, maka bagaimana dapat diharapkan yang beliau
meriwayatkan wasiat Nabi kepada Ali, sementara beliau sangat dikenal
oleh kalangan khusus dan umum tentang permusuhan dan kebenciannya
terhadap Ali dan anak-anaknya serta Ahlul Bayt Nabi SAWA.
He he he….mari kita buktikan hadis2 yg dianggap sahih oleh Sunni karena ada dlm kitab Sahih Bukhori.
Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadis2 Israeliyat spt:
1. Adam diciptakan spt bentuk Allah
2. Setan lari sambil kentut ktk mendengar suara adzan
3. Nabi Sulaiman as mengancam akan membelah bayi yg diperebutkan dua ibu
4. Allah menaruh kakinya di neraka
5. Nabi Sulaiman as meniduri 70 wanita dlm semalam tp hanya melahirkan seorang bayi separuh manusia
6. Nabi Muhammad saw membakar sarang semut karena gara2 digigit seekor semut.
7. Nabi Isa turun membunuh babi (apa salahnya babi ?)
8. Awan yg berbicara
9. Sapi dan serigala berbicara bhs Arab
10. Musa menampar malaikat
11. Nabi Musa yg telanjang mengejar batu yg lari membawa bajunya, terlihat kemaluannya oleh Bani Israil.
12. Allah mencipta Adam pada hari Jumat sesudah Ashar
13. Allah turun ke langit dunia.
14. Sungai Nil dan Efrat adalah sungai dari surga
15. Tidak ada penyakit yg menular
dll.
Dalam Sahih Bukhori hadis no. 3 umpamanya
kita dpt baca peristiwa ketika Rasulullah menerima wahyu yg digambarkan
spt org yg ketakutan dan tdk mengenal siapa yg mendatanginya. Hadis ini
driwiyatkan dari Aisyah. Ada keganjilan dlm hadis ini, baik dari sanad
maupun matan :
1. Pada sanad riwayat disebutkan seorang bernama Al-Zuhri, Urwah bin
Zubayr, dari Aisyah. Al-Zuhri adalah ulama penguasa yg berkhidmat kpd
Hisyam bin Abd Malik. Ia sangat terkenal membenci Imam Ali.
2. Ketika peristiwa turunnya wahyu itu,
Aisyah belum dilahirkan. Dlm riwayat ini seolah-olah Aisyah mendengar
sendiri. Dalam ilmu hadis seharusnya ia mengatakan :’ Aku mendengar
Rasulullah saw bersabda….dst.
3. Rasulullah digambarkan tdk faham dg pengalaman ruhani yg dia alami. Padahal beliau adalah Insan Kamil.
Hadis2 yg bertentangan dg pernyataan Al-Quran tentang ketinggian maqom Nabi saw a.l. :
1. Lupa rakaat salat
2. Mau salat lupa mandi janabah
3. Menonton sambil bermesraan di depan org banyak
4. Rasul kena sihir
5. Allah punya betis
6. Nabi berbicara tanpa ilmu
7. Nabi lupa ayat al-Quran
8. Buang air menghadap kiblat.
dan masih banyak lagi hadis2 yg
bermasalah baik dari segi sanad maupun matannya. Hal itu menunjukkan
bahwa banyak hadis2 palsu dalam kitab hadis yg di-klaim sahih spt dlm
Bukhori dan Muslim.
Bayangkan saja seorang Nabi yg Allah dan para malaikat-Nya membaca salawat dlm Al-Quran,digambarkan oleh hadis2 Sunni spt itu !!
Engga usah kemana-mana dulu gimana
tanggapan ente ttg hadis2 yg bermasalah yg merendahkan derajat Nabi dlm
kitab “sahih: Bukhori ? Contoh yg terakhir adalah riwayat bahwa Nabi
doyan jimak (bersetubuh). Bayangkan sehari semalam 9 istri digilir ! Ini
kitab hadis soalnya sdh beredar ke seluruh dunia melalui internet.
Siapa kalo bgt yg bikin malu ? Diriwayatkan dari Qatadah berkata bahwa
Anas bin Malik pernah bercerita kepada kami bahwa Nabi saw pernah
menggilir isteri-isterinya dalam satu waktu sehari semalam dan jumlah
mereka ada sebelas orang. Qatadah mengatakan,’Aku bertanya kepada
Anas,’Seberapa kuat beliau saw?’ Dia menjawab,’Kami pernah
memperbincangkannya bahwa kekuatan beliau saw sebanding dengan
(kekuatan) tiga puluh orang.” Said berkata dari Qatadah,’Sesungguhnya
Anas menceritakan kepada mereka bahwa jumlah isteri-isterinya saw adalah
sembilan orang.” (HR. Bukhori)
Berbeda dg ulama Sunni yg secara
tergesa-gesa mengklaim sahihnya semua hadis dalam kitab hadis Bukhori
Muslim, para ulama Syi’ah tdk mengambil sikap yg berlebihan dg meyakini
bahwa semua hadis dlm kitab Al-Kafi adalah sahih. Tetapi mereka juga tdk
bisa menerima jika keterbatasan pemahaman manusia dijadikan tolok ukur
dlm menilai kesahihan suatu hadis. Atau menilai kedudukan suatu hadis
hanya dg mengandalkan aspek sanad semata.Jadi sanad bukan segala-galanya, tapi harus ditimbang dg Al-Quran dan logika yg sehat.
Dalam khazanah intelektual Ahlul Bait ada
kaedah2 dan neraca untuk mengenal ciri hadis yg sahih yg dpt diterima
sbg sabda Nabi saw atau sabda para Imam Ahlul Bait dan membedakannya
dari ucapan palsu yg dinisbahkan kpd Nabi saw dan para Imam. Kaidah2 itu
adalah sbb :
Pertama, menimbang hadis dengan al-Quran
Kedua, mengambil hadis yg bertentangan dg hadis para penguasa dan pendukungnya.
Sementara itu Sahih Bukhori yg temen ente
klaim sahih sanadnya ternyata setelah diteliti hadis2nya sangat
bermasalah baik dari segi sanad maupun matannya. Diatas ane sdh
memberikan beberapa contoh hadis2 yg bermasalah. Dan ternyata dari
sekitar 2000-an hadis yg ada dalam kitab ringkasan “Sahih” Bukhori
jumlah hadis yg katanya berasal dari Imam Ali hanya sekitar 5 atau 6
hadis. Lainnya didominasi oleh Abu Hurairah, Aisyah dan Anas bin Malik.
He he…kok engga mudeng juga. Emangnya
cuma ulama Sunni yg punya Mustolah Hadis/Rijal Hadis atau Jarh wa
Ta’dil. Syi’ah juga punya mang. Cuma bedanya Sunni cukup puas atau
berhenti pada titik Jarh wa Ta’dil, sedangkan Syi’ah terus berlanjut ke
verifikasi berdasarkan tolok ukur Al-Quran. Bukti2 yg menunjukkan bahwa
para ulama hadis Sunni cukup puas dg verifikasi sanad dlm hadis Bukhori
yg digembar-gemborkan sahih, adalah sbb :
1. Nabi lupa rakaat salat. Hadis no. 471)
Dari Abu Huarirah ra, ia berkata: Rasulullah saw salat bersama kami akan
salah satu salat Maghrib dan Isya. Beliau salat bersama kami dua rakaat
kemudian salam. Beliau berdiri pada kayu yg melintang di masjid. Lalu
beliau bertelekan padanya seolah-olah beliau marah, beliau meletakkan
tangan kanan diatas tangan kiri, menjalinkan jari-jari dan meletakkan
pipi kanan diatas bagian luar telapak tangan kiri beliau, dan keluarlah
orang2 yang bersegera di pintu mesjid. Mereka berkata:’ Salatnya
ringkas’. Di kalangan kaum itu ada Abu Bakar dan Umar takut untuk
menyatakannya. Di kaum itu ada seorang laki2 yg kedua tangannya panjang
bernama Dzul Yadain berkata :’Wahai Rasulullah, apakah engkau lupa atau
mengqashar salat ?’ Beliau bersabda:’Saya tdk lupa dan tdk pula salat
itu diqashar.’ Ia bertanya:’Apakah sebagaimana yg dikatakan oleh Dzul
Yadain ?’ Mereka menjawab:’Ya’. Maka beliau maju dan salat akan apa yg
tertinggal, kemudian beliau salam, takbir dan sujud spt sujudnya, atau
lebih lama. Kemudian beliau mengangkat kepala, takbir, kemudian takbir
dan sujud spt sujudnya atau lebih lama. Kemudian beliau mengangkat
kepala, takbir dan salam.
2. Mau salat lupa mandi janabah. (Hadis no. 176)
Abu Hurairah ra. menceritakan:”(Pada suatu ektika) orang telah qomat
untuk salat. Saf telah diluruskan sambil berdiri. Rasulullah saw datang
kpd kami. Setelah berdiri di tempatnya biasa salat, tiba2 ia ingat bahwa
beliau junub. Beliau berkata kpd kami,”Tunggulah sebentar !” Sesudah
mandi ia datang kembali kpd kami, sedangkan rambutnya masih basah. lalu
beliau takbir dan salat bersama-sama dg kami”.
3. Nabi lupa ayat Al-Quran (Hadis no. 2532)
Dari Aisyah ra. Dia berkata:”Nabi saw mendengar seorang laki2 sedang
membaca Al-Quran di masjid. Lalu beliau bersabda:”Semoga Allah
merahmatinya. Dia telah mengingatkan aku akan ayat ini dan ayat ini dari
surat ini yg hampir saja aku lupa.”
Bayangkan saja seorang Al-Mustafa
(manusia pilihan), seorang kekasih Allah, seorang Sayidul Anbiya wal
Mursalin, seorang yang akhlaknya Al-Quran atau yg disebut Al-Quran dg
Khuluqil Adzim dan seorang Insan Kamil, dalam Sahih Bukhori ini
digambarkan sbg orang pelupa yg biasa ada pada manusia biasa.
Perhatikan point 3. Walaupun hadis ini
sangat pendek, tapi kandungan maknanya sangat membahayakan bangunan
Islam, karena jika Rasulullah saw lupa akan ayat2 yg harus
disampaikannya, lantas apa yg menjamin keaslian Al-Quran ? Jika hadis
ini diterima, kita membuka peluang untuk meragukan otentitas Al-Quran !!
Hadis ini bertentangan dg jaminan Allah, ‘Sesungguhnya Kami menurunkan
Al-Quran dan Kamilah yg menjaganya (QS Al-Hijr 9). ‘Kami akan membacakan
Al-Quran kepadamu (Muhammad) sehingga kamu tidak akan (pernah) lupa (QS
Al’Ala 6).
Bagaimana hadis2 spt bisa lolos ?
Gawat….gawat….! Makanya engga cukup cuma pake kritik sanad (Mustholah
Hadis dan Jarh wa’ ta’dil).
4. Rasul Allah kena sihir.(Hadis no. 3118)
Dari Aisyah ra, dia berkata:”Nabi saw disihir, shg terbayang oleh beliau
bahwa beliau berbuat sesuatu padahal beliau tdk berbuat demikian itu,
hingga pada suatu hari beliau berdoa dan berdoa dan di kemudian hari
beliau beliau bersabda:”Adakah kamu (Aisyah) tahu bahwa Allah berfatwa
(memenuhi doa) kepadaku mengenai kesembuhanku ? Telah datang kepadaku
dua orang (malaikat Jibril dan Mikail, dlm mimpi). Seorang (Jibril) dari
keduanya duduk di kepalaku dan yg lain (Mikail) di kedua kakiku.
Seorang (Mikail) dari keduanya berkata: kpd yg lain (Jibril):’Apakah
sakitnya laki2 (Nabi) ini ?”
Dia (Jibril) menjawab:”Dia disihir.”
Dia (Mikail) bertanya:” Dan siapakah yg menyihirnya ?”
Dia (Jibril) menjawab:” Labid bin ‘Asham.”……..dst.
Pemikir Islam spt Syaikh Muhammad Abduh
dan Sayyid Ridha menolak riwayat ini. Yah bayangkan saja seorang nabi
Musa saja mampu mengalahkan puluhan tukang sihir di hadapan umum.
Apalagi seorang Sayyidul Anbiya wal Mursalin spt Nabi Muhammad saw ?
Tapi aneh dlm kitab hadis Sunni spt dlm Buhkori dan Muslim ada kisah spt
ini yg jelas2 menurunkan derajat nabi saw yg sangat tinggi di sisi
Allah ?
Mau tambah lagi ? He he cukup 4 contoh dulu…..
Dlm kitab2 hadis Syi’ah engga ada tuh
riwayat2 spt itu. Eh, pake bilang ulama Syi’ah engga pede segala. Tapi
salut juga sama ente, kitab sahihnya banyak kemasukan riwayat2 yg
maudhu, eh sempat2nya bisa bilang org lain engga pede.
Hua kakak…kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata terlihat.
Nih lihat riwayat tahrif Al-Quran dari kitab hadis Sunni :
1.”Dari Qabishah bin Uqbah yg berasal
dari Ibrahim bin ‘Alqamah. Ia berkata kpd kami:”Saya bersama pengikut
‘Abdullah bin Ubay datang ke Syam. Abu Darda yg mendengar kedatangan
kami segera datang dan bertanya:”Adakah diantara kalian yg membaca
Al-Quran?”. Orang2 menunjuk kpd saya. Kemudian ia berkata :”Bacalah!”
Maka sayapun membaca :”Wa layli idza yaghsya wan nahaari idza tajalla wa
dzdzakaro wal untsa”. Mendengar demikian dia bertanya:”Apakah engkau
mendengarnya dari mulut temanmu ‘Abdullah bin Ubay? Aku menjawab:”Ya”.
Ia melanjutkan:”Saya mendengarnya dari mulut Nabi saw dan mereka menolak
untuk menerimanya.” (Sahih Bukhori Kitab At-Tafsir bab Surah wal laily
idza yakhsya).
Bacaan tsb kurang “ma kholaqo”.
2. Umar bin Khattab berkata:”Bila bukan
karena orang akan mengatakan bahwa Umar menambah ayat kedalam Kitab
Allah, akan kutulis ayat rajam dg tanganku sendiri.” (Sahih Bukhori, Bab
Asy-Syahadah ‘indal Hakim fi wilayatil Qadha’).
Dg demikian Umar termasuk org yg meyakini
adanya tahrif dan pengirangan dalam Al-Quran. Sebab ayat rajam yg dia
yakini ada dalam Al-Quran, ternyata tidak ada !
3. Dari Khuzaifah yg berkata:”Saya pernah
membaca Surah Ahzab pada masa Nabi saw dan tujuh puluh (70) ayat
darinya saya sudah agak lupa dan saya tdk mendapatkannya di dalam
Al-Quran yg ada sekarang.” ( Ad-Durrul Mansur, jilid 5, hal 180).
4. Dari Abdurrazaq yg berasal dari Tsauri
dari Zirr bin Hubaisy yg berkata:”Ubay bin Ka’ab telah bertanya kpd
saya:”Berapa jumlah ayat yg kalian baca dari Surah Al-Ahzab?” Saya
menjawab:”Tujuh puluh tiga (73) atau tujuh puluh empat (74) ayat.” Dia
bertanya:” Hanya sebanyak itu ?” Pada mulanya Surah tsb sama panjangnya
dg Surah Al-Baqarah atau lebih. Dan di dalamnya terdapat Surah Rajam.”
Saya bertanya:”Wahai Abu Mundzir, bagaimana bunyi Surah rajam itu ?” Dia
menjawab:” Ayat tsb ialah :”..idza zanaya wasysyaihotu farjumu humal
battatan nakalan minallah wallahu ‘azizun hakiim…”
Lah kalau ada ulama yg mengatakan kitab
hadisnya sahih tapi ternyata banyak yg dhaif/maudhunya apa bukan penipu
?! Hi hi hi ente lucu deh. Soalnya ente kok bangga dg ulama spt itu.
Kalau melihat fakta2 spt itu apa bukannya
Sunni yg kontradiktif atau mencla mencle. Dulu Umar pernah mengatakan
CUKUPLAH KITAB AALAH DI SISI KITA dlm hadis riwayat Bukhori ini: Ibnu
Abbas berkata:”Hari Khamis oh hari Khamis. Waktu Rasul merintih
kesakitan, beliau berkata:”Mari kutuliskan untuk kalian suatu pesan agar
kalian kelak tidak akan tersesat. Umar berkata:’Nabi sudah terlalu
sakit sementara Al-Quran ada di sisi kalian. CUKUPLAH BAGI KITA kITAB
ALLAH….” Artinya Umar engga memerlukan Sunnah Rasul ! (Jadi embahnya
Inkar Sunnah Rasul adalah Umar). Dan kata2nya dibuktikan ketika dia jadi
khalifah membakar habis hadis2 yg pada para sahabat. Begitu juga Abu
Bakar dan Usman. Kalau Muawiyah tdk membakar hadis tapi banyak
memproduksi hadis2 palsu melalui para ulamanya.
Apa motivasi di balik pembakaran hadis2 ?
Pasti ada dong ! Bagaimana mungkin org dilarang menulis hadis dan
membakar hadis yg ada kalau tidak ada motifnya, padahal Sunnah Rasul
sangat penting untuk menjelaskan Al-Quran ! He he he ternyata selama
menjadi penguasa Abu Bakar, Umar dan Usman secara leluasa membuat hukum2
yg bertentangan dg Al-Quran dan Sunnah Rasul-NYa.Mau tau ? Ini dia beberapa contohnya hasil “ijtihad” mereka.
1. Khalifah Abu Bakar mencoba membakar
rumah Fatimah al-Zahra’ sekalipunFatimah, Ali, Hasan dan Husayn AS
berada di dalamnya. Ini disebabkan merekatidak melakukan bai’ah
kepadanya. Fatimah AH memarahinya hingga akhirhayatnya dan berpesan
kepada suaminya supaya merahsiakan pengkebumiandan makamnya daripada Abu
Bakar dan Umar. Nabi SAWAbersabda:”Sesungguhnya Allah marah kepada
kemarahanmu (Fatimah) danredha dengan keredhaanmu.”[Al-Hakim,
al-Mustadrak, III,hlm.153; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VII,hlm.219]
Khalifah Abu Bakar adalah di antara orang
yang dimarahi Fatimah AH. Beliaubersumpah tidak akan bercakap dengan
mereka sehingga beliau berjumpabapanya dan merayu kepadanya. Al-Bukhari
di dalam Sahihnya,IV, hlm.196meriwayatkan daripada Aisyah bahawa Fatimah
AH tidak bercakap dengan AbuBakar sehingga beliau meninggal dunia.
Beliau hidup selepas Nabi wafat selama6 bulan. Manakala beliau wafat,
suaminya Ali AS mengkebumikannya di waktu malam dan tidak mengizinkan
Abu Bakar dan Umar mengerjakan solat jenazahke atasnya
[Al-Bukhari,Sahih,VI,hlm.196; Ibn Qutaibah, al-Imamah wal-Siyasah,I,hlm.14; Abu l-Fida, Tarikh,I,hlm.159; al-Tabari,Tarikh,III,hlm.159]
2. Khalifah Abu Bakar telah mengundurkan
diri dari menyertai tentera di bawahpimpinan Usamah bin Zaid, sedangkan
Nabi SAWA bersabda:”Perlengkapkantentera Usamah, Allah melaknati orang
yang mengundur diri dari tenteraUsamah.”[Al-Syarastani, al-Milal, hlm.21; Ibn Sa’d, Tabaqat,II,hlm.249 dan lainlain lagi]
3. Khalifah Abu Bakar telah mencaci Ali
AS dan Fatimah AH sebagai musangdan ekornya. Bahkan beliau mengatakan
Ali AS seperti Umm al-Tihal (seorangperempuan pelacur) kerana
menimbulkan soal tanah Fadak. Kata-kata ini telah diucapkan oleh Abu
Bakar di dalam Masjid Nabi SAWA selepas berlakunyadialog dengan Fatimah
AH mengenai tanah Fadak. Ibn Abi al-Hadid telahbertanya gurunya, Yahya
Naqib Ja’far bin Yahya bin Abi Zaid al-Hasri, mengenaikata-kata
tersebut:”Kepada siapakah ianya ditujukan?”Gurunya
menjawab:”Ianyaditujukan kepada Ali AS.”Kemudian ia bertanya
lagi:”Adakah ia ditujukan kepada Ali?Gurunya menjawab:”Wahai anakku
inilah ertinya pemerintahan dan pangkatduniawi tidak mengira kata-kata
tersebut.”[Ibn Abi al-Hadid,Syarh Nahj al-Balaghah,IV,hlm.80]
Kata-kata Abu Bakar adalah bertentangan
dengan firmanNya:”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, hai Ahlul Bayt dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.”[Surah al-Ahzab (33):33] Fatimah dan Ali AS adalah
Ahlul Bayt Rasulullah SAWA yang telah disucikan oleh Allah SWT dari
segala dosa. Rasulullah SAWA bersabda:”Kami Ahlul Bayt tidak boleh
seorangpun dibandingkan dengan kami.”[Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi’
al-Mawaddah,hlm.243]
4. Khalifah Abu Bakar telah menghentikan
pemberian khums kepada keluarga Rasulullah SAWA. Ijttihadnya itu adalah
bertentangan dengan Surah al-Anfal (18):41 dan berlawanan dengan Sunnah
Rasulullah SAWA yang memberi khums kepada keluarganya menurut ayat
tersebut. [Lihat umpamanya al-Zamakhsyari,al-Kasysyaf,II,hlm.127]
5. Khalifah Abu Bakar juga mengambil
kembali Fadak daripada Fatimah AH selepas wafatnya Rasulullah SAWA. Abu
Bakar memberi alasan “Kami para nabi tidak meninggalkan pusaka, tetapi
apa yang kami tinggalkan ialah sadaqah.”Hujah yang diberikan oleh Abu
Bakar tidak diterima oleh Fatimah dan Ali AS kerana ianya bertentangan
dengan beberapa ayat al-Qur’an seperti berikut:
a) FirmanNya yang bermaksud ‘Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembahagian pusaka) untuk anak-anakmu.”[Surah an-Nisa (4):11] Apa yang
dimaksudkan dengan ‘anak-anak’ ialah termasuk anak-anak Nabi SAWA.
b) FirmanNya yang bermaksud:”Dan Sulaiman
telah mewarisi aud.”(Surah al-Naml:16). Maksudnya Nabi Sulaiman AS
mewarisi kerajaan Nabi Daud AS dan menggantikan kenabiannya.
c) FirmanNya yang bermaksud:”Maka
anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisiku dan
mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku
seorang yang diredhai.”(Surah Maryam:5-6) Ketiga-tiga ayat tadi
bertentangan dengan dakwaan Abu Bakar yang berpegang dengan hadith
tersebut. Dan apabila hadith bertentangan dengan al-Qur’an, maka ianya
(hadith) mestilah diketepikan.
d) Kalau hadith tersebut benar, ia
bererti Nabi SAWA sendiri telah cuai untuk memberitahu keluarganya
mengenai Fadak dan ianya bercanggah dengan firmanNya yang bermaksud:”Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.”(Surah
al-Syua’ra:214)
e) Hadith tersebut hanya diriwayatkan
oleh Abu Bakar sahaja dan ianya tidak boleh menjadi hujah kerana Fatimah
dan Ali AS menentangnya. Fatimah AH berkata:”Adakah kamu sekarang
menyangka bahawa aku tidak boleh menerima pusaka, dan adakah kamu
menuntut hukum Jahiliyyah?Tidakkah hukum Allah lebih baik bagi orang
yang yakin. Adakah kamu wahai anak Abi Qahafah mewarisi bapa kamu
sedangkan aku tidak mewarisi bapaku?Sesungguhnya kamu telah melakukan
perkara keji.” Lihat Ahmad bin Tahir al-Baghdadi,Balaghah al-Nisa,II,hlm.14;Umar Ridha Kahalah,A’lam al-Nisa’,III,hlm.208; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah,IV, hlm.79,92.
f) Fatimah dan Ali AS adalah di antara
orang yang disucikan Tuhan di dalam Surah al-Ahzab:33, dan dikenali juga
dengan nama Ashab al-Kisa’. Dan termasuk orang yang dimubahalahkan bagi
menentang orang Nasrani di dalam ayat al-Mubahalah atau Surah Ali
Imran:61. Adakah wajar orang yang disucikan
Tuhan dan dimubahalahkan itu menjadi pembohong, penuntut harta Muslimin yang bukan haknya?
g) Jikalau dakwaan Abu Bakar itu betul
ianya bermakna Rasulullah SAWA sendiri tidak mempunyai perasaan kasihan
belas sebagai seorang bapa terhadap anaknya. Kerana anak-anak para nabi
yang terdahulu menerima harta pusaka dari bapa-bapa mereka.
Kajian mendalam terhadap Sirah Nabi SAWA
dengan keluarganya menunjukkan betapa kasihnya beliau terhadap mereka
khususnya, Fatimah AH sebagai ibu dan nenek kepada sebelas Imam AS.
Beliau bersabda:”Sesungguhnya Allah marah kerana kemarahanmu (Fatimah
AH) dan redha dengan keredhaanmu.”[Al-Hakim, al-Mustadrak,III, hlm.153;Ibnal-Athir, Usd al-Ghabah,V,hlm.522;al–Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal,VI,hlm.219;Mahyu al-Din al-Syafi’i al-Tabari,Dhakhair al-Uqba,hlm.39]
Khalifah Abu Bakar dan Umar adalah di antara orang yang dimarahi Fatimah AH.
Beliau bersumpah tidak akan bercakap
dengan mereka sehingga beliau berjumpa bapanya dan merayu kepadanya.[Ibn
Qutaibah,al-Imamah wal-Siyasah,I,hlm.14]
Beliau berwasiat supaya beliau
dikebumikan di waktu malam dan tidak membenarkan seorangpun daripada
“mereka” menyembahyangkan jenazahnya.[Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah,V,hlm.542;al-Bukhari,Sahih,VI,hlm,177;Ibn Abd al-Birr,al-Isti’ab,II,hlm.75]
Sebenarnya Fatimah AH menuntut tiga perkara:
a. Jabatan khalifah untuk suaminya Ali AS kerana dia adalah dari ahlul
Bayt yang disucikan dan perlantikannya di Ghadir Khum disaksikan oleh
120,000 orang dan ianya diriwayatkan oleh 110 sahabat.
jelas sekali bahwa Imam Ali dan sahabat2 lainnya tahu Rasulullah berpesan kepemimpinan selanjutnya ada pada Imam Ali.
-. Apakah anda tidak melihat kejanggalan mengapa pertemuan di saqifah
resminya hanya dilakukan oleh sekolompok sahabat dr anshor?
-. Apakah tidak janggal bagi akal sehat anda mengapa mereka melakukannya selagi dalam masa berkabung?
-. Apakah hanya Imam Ali sekeluarga yang berkabung? Apakah sahabat tidak berkabung?
-. Jika memang Abu Bakar yang dianggap layak, mengapa beliau tidak diundang? Bukankah beliau datang secara kebetulan?
b. Fadak.
c. Al-khums, saham kerabat Rasulullah
SAWA tetapi kesemuanya ditolak oleh khalifah Abu Bakar [Ibn Abi
al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah,V,hlm.86]
6. Khalifah Abu Bakar telah lari di dalam peperangan Uhud dan Hunain. Sepatutnya dia mempunyai sifat keberanian melawan musuh. Tindakannya itu menyalahi ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAWA [al-Hakim,al-Mustadrak,III,hlm.37;al-Muttaqi al-Hindi,Kanz al-Ummal,VI,hlm.394;al–Dhahabi,al-Talkhis,III,hlm.37]
7. Khalifah Abu Bakar telah membakar Fuja’ah al-Silmi hidup-hidup, kemudian dia menyesali perbuatannya.[al-Tabari,Tarikh,IV,hlm.52] Dan ianya bertentangan dengan Sunnah Nabi SAWA”Tidak boleh disiksa dengan api melainkan dari Tuannya.”[Al-Bukhari,Sahih,X,hlm.83]
8. Khalifah Abu Bakar tidak mengenakan
hukum had ke atas Khalid bin al-Walid yang telah membunuh Malik bin
Nuwairah dan kabilahnya. Umar dan Ali AS mahu supaya Khalid dihukum
rejam.[Ibn Haja,al-Isabah,III,hlm.336]
Umar berkata kepada Khalid:”Kamu telah
membunuh seorang Muslim kemudian kamu terus bersetubuh dengan isterinya.
Demi Allah aku akan merejam kamu dengan batu.”[Al-Tabari,Tarikh,IV,hlm.1928]
Kata-kata Umar ini cukup membuktikan bahawa Malik bin Nuwairah adalah
seorang Muslim dan Khalid telah berzina dengan isteri Malik sebaik
sahaja ia dibunuh. Jika tidak kenapa Umar berkata:”Demi Allah aku akan
merejam kamu dengan batu.”
Umar memahami bahawa isteri Malik bin
Nuwairah tidak boleh dijadikan hamba. Oleh itu pembunuhan ke atas Malik
bin Nuwairah dan kaumnya tidak patut dilakukan kerana mereka adalah
Muslim. Keengganan mereka membayar zakat kepada Abu Bakar tidak boleh
menjadi hujah kepada kemurtadan mereka.
Pembunuhan ke atas mereka disebabkan
salah faham mengenai perkataan ‘idfi’u, iaitu mengikut suku Kinanah ia
bererti “bunuh” dan dalam bahasa Arab biasa ia bererti “panaskan mereka
dengan pakaian” dan tidak menghalalkan darah mereka. Sepatutnya mereka
merujuk perkara itu kepada Khalid bagi mengetahui maksudnya yang
sebenar. Tetapi mereka terus membunuh kaumnya dan Malik sendiri telah
dibunuh oleh Dhirar yang bukan dari suku Kinanah. Oleh itu Dhirar pasti
memahami bahawa perkataaan idfi’u bukanlah perkataan untuk mengharuskan
pembunuhan, namun ia tetap membunuh Malik.
Lantaran itu alasan kekeliruan berlaku di dalam pembunuhan tersebut
tidak boleh menjadi hujah dalam jenayah Khalid, apatah lagi perzinaannya
dengan isteri Malik bin Nuwairah selepas dia dibunuh. Dengan itu tidak
hairanlah jika Ali AS dan Umar meminta Khalifah Abu Bakar supaya merejam
Khalid, tetapi Abu Bakar enggan melakukannya.
Jika tidak membayar zakat djadikan alasan
serangan dan pembunuhan, maka Nabi SAWA sendiri tidak memerangi
sahabatnya Tha’labah yang enggan membayar zakat kepada beliau SAWA.
Allah SWT menurunkan peristiwa ini di dalam Surah al-Taubah(9):75-77.
Semua ahli tafsir Ahlul Sunnah menyatakan bahawa ayat itu diturunkan
mengenai Tha’labah yang enggan membayar zakat kerana beranggapan bahawa
ianya jizyah. Maka Allah SWT mendedahkan hakikatnya. Dan Nabi SAWA tidak
memeranginya dan tidak pula merampas hartanya sedangkan beliau SAWA
mampu melakukannya. Adapun Malik bin Nuwairah dan kaumnya bukanlah
mengingkari zakat sebagai satu fardhu agama.
Tetapi apa yang mereka ingkar ialah
penguasaan Abu Bakar ke atas jawatan khalifah selepas Rasulullah SAWA
dengan menggunakan kekuatan dan paksaan. Dan mereka pula benar-benar
mengetahui tentang hadith al-Ghadir.
Oleh itu tidak hairanlah jika Abu Bakar
terus mempertahankan Khalid tanpa mengira jenayah yang dilakukannya
terhadap Muslimin kerana Khalid telah melakukan sesuatu untuk
kepentingan politik dan dirinya. Malah itulah perintahnya di bawah
operasi “enggan membayar zakat dan murtad” sekalipun ianya bertentangan
dengan Sunah Nabi SAWA.
9. Khalifah Abu Bakar telah melarang orang ramai dari menulis dan meriwayatkan Sunnah Nabi SAWA. Dia berucap kepada orang ramai selepas
kewafatan Nabi SAWA,”Kalian meriwayatkan daripada Rasulullah SAWA
hadithhadith di mana kalian berselisih faham mengenainya. Orang ramai
selepas kalian akan berselisih faham lebih kuat lagi. Justeru itu
janganlah kalian meriwayatkan sesuatupun (syaian) daripada Rasulullah
SAWA. Dan sesiapa yang bertanya kepada kalian, maka katakanlah:Bainana
wa bainakum kitabullah (Kitab Allah di hadapan kita). Maka hukumlah
menurut hala dan haramnya.”[Al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz,I,hlm.3]
Kata-kata Abu Bakar ini telah diucapkan
beberapa hari selepas peristiwa Hari Khamis iaitu bertepatan dengan
kata-kata Umar ketika dia berkata:”Rasulullah SAWA sedang meracau dan
cukuplah bagi kita Kitab Allah (Hasbuna Kitabullah).” Lantaran itu
kata-kata Abu Bakar tadi adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi yang
dicatatkan oleh Ahlul Sunnah:”Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara
sekiranya kalian berpegang kepada kedua-duanya;Kitab Allah dan
Sunnahku.”
Oleh itu tidak hairanlah jika Khalifah
Abu Bakar tidak pernah senang hati semenjak dia mengumpulkan lima ratus
hadith Rasulullah SAWA semasa pemerintahannya. Kemudian dia membakarnya
pula.[al-Muttaqi al-Hindi, Hanz al-Ummal,V,hlm. 237] Dengan ini dia
telah menghilangkan Sunnah Rasulullah SAWA. Oleh itu kata-kata Abu
Bakar:”Janganlah kalian meriwayatkan sesuatupun daripada Rasulullah
SAWA” menunjukkan larangan umum terhadap pengriwayatan dan penulisan
hadith Rasulullah SAWA. Dan ianya tidak boleh ditakwilkan sebagai
berhati-hati atau mengambil berat atau sebagainya.
Lantaran itu ijtihad Khalifah Abu Bakar
adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAWA:”Allah memuliakan
seseorang yang mendengar hadithku dan menjaganya, dan menyebarkannya.
Kadangkala pembawa ilmu (hadith) membawanya kepada orang yang lebih alim
darinya dan kadangkala pembawa ilmu (hadith) bukanlah seorang yang
alim.”[Ahmad bin Hanbal, Musnad,I,hlm.437;al-Hakim, al-Mustadrak,I,hlm.78]
Dan sabdanya:”Siapakah yang ditanya tentang ilmu maka dia
menyembunyikannya, Allah akan membelenggukannya dengan api
neraka.”[Ahmad bin Hanbal,Musnad,III,hlm.263]
10. Khalifah Abu Bakar telah melantik Umar menjadi khalifah selepasnya secara wasiat, walhasil dia sendiri menolak wasiat Nabi SAWA. Beliau
bersabda:”Ali adalah saudaraku, wasiku, wazirku dan khalifah selepasku”
dan sabdanya:”Siapa yang menjadikan aku maulanya maka Ali adalah
maulanya.”Dan penyerahan jawatan khalifah kepada Umar adalah menyalahi
prinsip syura yang diagung-agungkan oleh Ahlul Sunnah. Justeru itu Abu
Bakar adalah orang yang pertama merosakkan sistem syura dan
memansuhkannya.
Pertama, dia menggunakan “syura terhad”
bagi mencapai cita-citanya untuk menjadi khalifah tanpa menjemput Bani
Hasyim untuk menyertainya. Kedua, apabila kedudukannya menjadi kuat, dia
melantik Umar untuk menjadi khalifah selepasnya tanpa syura dengan
alasan bahawa Umar adalah orang yang paling baik baginya untuk memegang
jawatan khalifah selepasnya.
11. Khalifah Abu Bakar telah meragui jawatan khalifahnya. Dia berkata:”Sepatutnya aku bertanya Rasulullah SAWA, adalah orang-orang
Ansar mempunyai hak yang sama di dalam jawatan khalifah?” Ini adalah
keraguan tentang kesahihan atau kebatilannya. Dialah orang yang
menentang orang-orang Ansar manakala mereka mengatakan bahawa Amir
mestilah dari golongan Quraisy.” Sekiranya apa yang diriwayatkan olehnya
itu benar, bagaimana diameragui”nya” pula. Dan jikalau tidak, dia telah
menentang orang-orang Ansar dengan “hujah palsu.”[Al-Ya’qubi, Tarikh
al-Ya’qubi,II,hlm.127; Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah,I,hlm.18,19;al-Masudi, Muruj al-Dhahab,II,hlm.302]
12. Khalifah Abu Bakar berkata:”Pecatlah aku kerana aku bukanlah orang
yang baik di kalangan kalian.”Di dalam riwayat lain,”Ali di kalangan
kalian.”[Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah,I,hlm.14;al-Muttaqi al-Hindi,Kanz al-Ummal,III,hlm.132] Jikalau kata-katanya benar, bererti dia tidak layak untuk menjadi khalifah Rasulullah SAWA, berdasarkan pengakuannya sendiri.
13. Khalifah Abu Bakar menamakan dirinya “Khalifah Rasulullah”.[Ibn Qutaibah,al-Imamah wa al-Siyasah,I,hlm.13];al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’,hlm.78]
Penamaannya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAWA kerana
beliau tidak menamakannya dan melantiknya, malah beliau menamakan Ali
dan melantiknya. Beliau bersabda:”Siapa yang aku menjadi maulanya maka
Ali adalah maulanya.”Dan hadith-hadith yang lain tentang perlantikan Ali
AS sebagai khalifah selepas Rasulullah SAWA.
14. Khalifah Abu Bakar tidak pernah dilantik oleh Nabi SAWA untuk
menjalankan mana-mana pekerjaan, malah beliau melantik orang lain. Hanya
pada satu masa beliau melantiknya untuk membawa Surah Bara’ah, tetapi
beliau mengambil kembali tugas itu dan kemudian meminta Ali AS untuk
melaksanakannya.[Al-Tabari, Dhakha’ir al-Uqba,hlm.61;al-Turmudhi, Sahih,II,hlm.461;Ibn Hajar, al-Isabah,II,hlm.509]
15. Khalifah Abu Bakar tidak mengetahui
pengertian al-Abb iaitu firmanNya di dalam Surah ‘Abasa (80):31:”Dan
buah-buahan (Fakihatun) serta rumputrumputan (abban).”Dia
berkata:”Langit mana aku akan junjung dan bumi mana aku akan pijak, jika
aku berkata sesuatu di dalam Kitab Allah apa yang aku tidak
mengetahui?”[al-Muttaqi al-Hindi,Kanz al-Ummal,I,hlm.274]
16. Khalifah Abu Bakar telah mengetahui
dia akan melakukan bid’ah-bid’ah selepas Rasulullah SAWA. Malik bin Anas
di dalam a-Muwatta bab “jihad syuhada fi sabilillah’ telah meriwayatkan
daripada hamba Umar bin Ubaidillah bahawa dia menyampaikannya kepadanya
bahawa Rasulullah SAWA berkata kepada para syahid di Uhud:”Aku menjadi
saksi kepada mereka semua.”Abu Bakar berkata:”Tidakkah kami wahai
Rasulullah SAWA saudara-saudara mereka. Kami telah masuk Islam
sebagaimana mereka masuk Islam dan kami telah berjihad di jalan Allah
sebagaimana mereka berjihad?” Rasulullah SAWA menjawab:”Ya! Tetapi aku
tidak mengetahui bid’ah mana yang kalian akan lakukan selepasku.”Abu
Bakar pun menangis, dan dia terus menangis.
Bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh para sahabat memang telah diakui oleh
mereka sendiri, di antaranya al-Bara’ bin Azib. Al-Bukhari di dalam
Sahihnya “Kitabb bad’ al-Khalq fi bab Ghuzwah al-Hudaibiyyah” telah
meriwayatkan dengan sanadnya daripada al-Ala bin al-Musayyab daripada
bapanya bahawa dia berkata:”Aku berjumpa al-Barra bin Azib maka aku
berkata kepadanya: Alangkah beruntungnya anda kerana bersahabat dengan
Nabi SAWA dan anda telah membai’ah kepadanya di bawah pokok. Maka dia
menjawab: Wahai anak saudaraku. Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa
yang kami telah lakukan (Ahdathna) selepasnya.”[Al-Bukhari, Sahih,III, hlm.32]
Anas bin Malik meriwayatkan bahawa
Rasulullah SAWA bersabda kepada orang-orang Ansar:”Sesungguhnya kalian
akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat selepasku. Oleh itu
bersabarlah sehingga kalian bertemu Allah danRasulNya di Haudh.”Anas
berkata:”Kami tidak sabar.”[Al-Bukhari, Sahih,III, hlm.135]
Ibn Sa’d juga telah meriwayatkan di dalam
Tabaqatnya, VIII, hlm. 51, dengan sanadnya dari Ismail bin Qais bahawa
dia berkata:”Aisyah ketika wafatnya berkata:Sesungguhnya aku telah
melakukan bid’ah-bid’ah (Ahdathtu) selepas Rasulullah SAWA, maka
kebumikanlah aku bersama-sama isteri Nabi SAWA.”
Apa yang dimaksudkan olehnya ialah “Jangan kalian mengkebumikan aku
bersama Rasulullah SAWA kerana aku telah melakukan bid’ah-bid’ah
selepasnya.
Lantaran itu khalifah Abu Bakar, al-Barra
bin Azib, Anas bin Malik dan Aisyah telah memberi pengakuan
masing-masing bahawa mereka telah melakukan bid’ah-bid’ah dengan
mengubah Sunnah-sunnah Rasulullah SAWA.
17. Khalifah Abu Bakar digodai syaitan.
Dia berkata:”Syaitan menggodaku,sekiranya aku betul maka bantulah aku
dan sekiranya aku menyeleweng, maka betulkan aku.”[Ibn Qutaibah,
al-Imamah wa al-Siyasah,I, hlm. 6; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz
al-Ummal,III, hlm. 126; Ibn Hajr, al-Sawa’iq al-Muhriqah, hlm. 7; Nur al-Absar, hlm. 53]
18. Khalifah Abu Bakar menyesal menjadi
seorang manusia, malah dia inginmenjadi pokok dimakan oleh binatang
kemudian mengeluarkannya. Abu Bakar berkata:”Ketika dia melihat seekor
burung hingap di atas suatu pokok, di berkata:Beruntunglah engkau wahai
burung. Engkau makan buah-buahan dan hinggap di pokok tanpa hisab dan
balasan. Tetapi aku lebih suka jika aku ini sebatang pokok yang tumbuh
di tepi jalan. Kemudian datang seekor unta lalu memakanku. Kemudian aku
dikeluarkan pula dan tidak menjadi seorang manusia.”[al-Muhibb
al-Tabari, al-Riyadh al-Nadhirah,I,hlm. 134; Ibn Taimiyyah,Minhaj
al-Sunnah,III,hlm. 130]
Kata-kata khalifah Abu Bakar itu adalah bertentangan dengan firman Allah
SWT di dalam Surah al-Tin (95):4:”Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia di dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”Dan jika Abu Bakar seorang
wali Allah kenapa dia harus takut kepada hari hisab?Sedangkan Allah
telah memberi khabar gembira kepada wali-walinya di dalam Surah
Yunus(10):62-64,”Ingatlah, sesungguhnya wal-wali Allah ini tidak ada
kekhuatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih iaitu
orang-orang yang beriman dan mereka selalu di dalam kehidupan di dunia
dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan kalimat-kalimat
(janji-janji) Allah. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
19. Khalifah Abu Bakar ketika sakit
menyesal kerana mencerobohi rumah Fatimah AH. Dia berkata:”Sepatutnya
akut tidak mencerobohi rumah Fatimah sekalipun beliau mengisytiharkan
perang terhadapku.”[Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah,I,hlm. 18-19;
al-Tabari, Tarikh,IV, hlm. 52;Ibn Abd Rabbih,Iqd al-Farid,II,hlm.254]
20. Khalifah Abu Bakar telah menjatuhkan
air muka Rasulullah SAWA di hadapan musyrikin yang datang berjumpa
dengan Rasulullah SAWA supaya mengembalikan hamba-hamba mereka yang lari
dari mereka. Musyrikun berkata:”Hamba-hamba kami telah datang kepada
anda bukanlah kerana mereka cinta kepada agama tetapi mereka lari dari
milik kami dan harta kami. Lebih-lebih lagi kami adalah jiran anda dan
orang yang membuat perjanjian damai dengan anda.”Tetapi Rasulullah tidak
mahu menyerahkan kepada mereka hamba-hamba tersebut kerana khuatir
mereka akan menyiksa hamba-hamba tersebut dan beliau tidak mahu juga
mendedahkan hakikat ini kepada mereka. Rasulullah SAWA bertanya kepada
Abu Bakar dengan harapan dia menolak permintaan mereka. Sebaliknya Abu
Bakar berkata:”Benar kata-kata mereka itu. Lantas berubah muka
Rasulullah SAWA kerana jawapannya menyalahi apa yang dikehendaki Allah
dan RasulNya.[al-Nasa’i, al-Khasa’is,hlm. 11; Ahmad bin Hanbal,
al-Musnad,I,hlm. 155]
Sepatutunya khalifah Abu Bakar dapat memahami apa yang dimaksudkan oleh
Rasulullah SAWA tetapi dia tidak dapat memahaminya, malah dia memihak kepada musyrikun berdasarkan ijtihadnya.
Sebenarnya dalam hadis RIWAYAT AISYAH yg
menyatakan bahwa Abu Bakar menjadi Imam salat pada hari2 akhir
Rasulullah saw (HR Bukhori no. 713) terdapat kontradiksi. Hadis ini oleh
Sunni sering dijadikan dalil sbg isyarat bahwa Abu Bakar dicalonkan
untuk menjadi khalifah sesudah Nabi saw.
“Dari Aisyah dia berkata:”Ketika sakit
Rasulullah sudah berat, datnglah Bilal mengajak salat, lalu Rasulullah
berkata:”Suruh Abu Bakar salat untuk manusia”, lalu aku berkata:”Ya
Rasulullah! Abu Bakar itu orang yg lemah, dia ini tdk sanggup mengganti
kedudukanmu. Nanti org tdk mendengar suaranya, alangkah baiknya kalau
disuruh saja Umar.” Rasulullah berkata:”Suruh Abu Bakar salat!” lalu aku
berkata kpd Hafshah:”Katakan bahwa Abu Bakar itu laki2 lemah, kalau dia
mengganti kedudukanmu nanti suaranya tdk akan bisa di dengar orang.”
Lalu Rasulullan marah dan berkata:”Kamu itu spt perempuan2 yg
mengelilingi Yusuf, suruh Abu Bakar di tengah-tengah manusia.” Ketika
sudah masuk waktu salat, Rasulullah merasa enteng, kedn beliau berdiri
bersandar kpd dua orang, kakinya begelantung dan masuk ke mesjid. Ketika
Abu Bakar mendengar suara Rasulullah, dia mundur ke belakang, kmdn
Rasulullah memberi isyarat kepadanya untuk meneruskannya, kemdn
Rasulullah datang dan duduk di sebelah kiri Abu Bakar, waktu itu Abu
Bakar salat berdiri dan Rasulullah salat duduk, Abu Bakar bermakmum kpd
Rasulullah dan org2 bermakmum kpd Abu Bakar ra.
Jadi ada dua keadaan, Rasulullah duduk,
Abu Bakar berdiri. Ini riwayat dlm Sahih Bukhori Hadis no. 713. Dalam
hadis no. 713 ini Rasulullah “jalasa ‘an yasari Abi Bakar”, duduk di
sebelah kiri Abu Bakar. Dalam hadis no.683 dikatakan
“fa jalasa Rasulullahi hidza’an Abi Bakrin, Rasulullah duduk di hadapan
Abu Bakar. Dalam hadis no. 664 Rasulullah duduk di sebelah kanan Abu
Bakar. Masih dlm Sahih Bukhori dan hanya diantarai oleh beberapa halaman
saja. Ini kontradiksi, satu “hidza’a (di hadapan), satu “’an yasari (di
sebelah kiri) dan riwayat satu lagi “ ‘an yamini” (di sebelah kanan) .
Jadi ini kontradiksi antara Abu Bakar yg makmum dan berdiri dg
Rasulullah saw yg imam dan duduk (Hadis no. 722). Pertanyaannya: Apakah
imamnya satu yaitu Abu Bakar, atau dua yaitu Abu Bakar dan Nabi saw ?
Ini tdk jelas.
Berdasarkan satu riwayat, Nabi tdk ikut
salat berjamaah karena sakit parah. Kalau keduanya menjadi imam jelas
melanggar fiqih, karena imam salat tdk boleh lebih dari satu. Jadi
bagaimana hadis ini, Rasulullah jadi imam dan duduk sedangkan Abu Bakar
berdiri. Sukar mendamaikan kedua hadis ini.
Sementara itu dlm Hadis no. 3667,
disebutkan oleh Siti Aisyah bahwa ketika Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar
berada di Sunh, sebuah tempat kira2 beberapa puluh kilometer di luar
kota Madinah. Jadi pada hari2 terakhir Rasulullah, Abu Bakar tidak
berada di Madinah. Karena itu peristiwa Abu Bakar menjadi imam salat
sangat diragukan. Abu Bakar tidak berada di Madinah pada hari2 terakhir
Rasulullah. Ini menurut Aisyah yg justru menceritakan peristiwa salat
itu. JADI ORANG YANG SAMA BERCERITA PADA SATU RIWAYAT ABU BAKAR TIDAK
BERADA DI MADINAH DAN PADA RIWAYAT YANG LAIN IA BERADA DI MADINAH !!
Dalam hampir seluruh kitab tarikh
disebutkan bahwa Abu Bakar pada hari2 terakhir Rasulullah berada dalam
pasukan Usamah pada suatu tempat yg bernama Jurf. Begitu mendengar kabar
wafatnya Rasulullah, maka segera dia bergegas kembali ke Madinah.Nah,
dari sekian kontradiksi2 ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalil yg
diajukan oleh Sunni tsb. adalah lemah ! Selain itu riwayat tsb hanya
diriwayatkan oleh keluarga Abu Bakar dan hanya ada di kalangan Sunni.
Sekarang coba kita lihat apa yg telah dilakukan oleh para khalifah Sunni.
Abu Bakar :
. 1. Khalifah Abu Bakar telah mengundurkan diri dari menyertai tentera di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, sedangkan Nabi SAWA bersabda:”Perlengkapkan tentera Usamah, Allah melaknati orang yang mengundur diri dari tentera Usamah.”[Al-Syarastani, al-Milal, hlm.21; Ibn Sa’d, Tabaqat,II,hlm.249 dan lainlain lagi]
2. Khalifah Abu Bakar telah menghentikan pemberian khums kepada keluarga Rasulullah SAWA. Ijttihadnya itu adalah bertentangan dengan Surah al-Anfal (18):41 dan berlawanan dengan Sunnah Rasulullah SAWA yang memberi khums kepada keluarganya menurut ayat tersebut. [Lihat umpamanya al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf,II,hlm.127]
3. Khalifah Abu Bakar juga mengambil kembali Fadak daripada Fatimah AH selepas wafatnya Rasulullah SAWA. Abu Bakar memberi alasan “Kami para nabi tidak meninggalkan pusaka, tetapi apa yang kami tinggalkan ialah sadaqah.”Hujah yang diberikan oleh Abu Bakar tidak diterima oleh Fatimah dan Ali AS kerana ia bertentangan dengan beberapa ayat al-Qur’an seperti berikut:
a) FirmanNya yang bermaksud ‘Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembahagian pusaka) untuk anak-anakmu.”[Surah an-Nisa (4):11] Apa yang dimaksudkan dengan ‘anak-anak’ ialah termasuk anak-anak Nabi SAWA.
b) FirmanNya yang bermaksud:”Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.”(Surah al-Naml:16). Maksudnya Nabi Sulaiman AS mewarisi kerajaan Nabi Daud AS dan menggantikan kenabiannya.
c) FirmanNya yang bermaksud:”Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisiku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku seorang yang diredhai.”(Surah Maryam:5-6) Ketiga-tiga ayat tadi bertentangan dengan dakwaan Abu Bakar yang berpegang dengan hadith tersebut. Dan apabila hadith bertentangan dengan al-Qur’an, maka ianya (hadith) mestilah diketepikan.
d) Kalau hadith tersebut benar, ia berarti Nabi SAWA sendiri telah lalai untuk memberitahu keluarganya mengenai Fadak dan ia bertentangan dengan firmanNya yang bermaksud:”Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.”(Surah al-Syua’ra:214)
e) Hadith tersebut hanya diriwayatkan oleh Abu Bakar sahaja dan tidak boleh menjadi hujah kerana Fatimah dan Ali AS menentangnya. Fatimah AH berkata:”Adakah kamu sekarang menyangka bahawa aku tidak boleh menerima pusaka, dan adakah kamu menuntut hukum Jahiliyyah?Tidakkah hukum Allah lebih baik bagi orang yang yakin. Adakah kamu wahai anak Abi Qahafah mewarisi bapa kamu sedangkan aku tidak mewarisi bapaku?Sesungguhnya kamu telah melakukan perkara keji.” Lihat Ahmad bin Tahir al-Baghdadi,
Balaghah al-Nisa,II,hlm.14;Umar Ridha Kahalah,A’lam al-Nisa’,III,hlm.208; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah,IV, hlm.79,92.
f) Fatimah dan Ali AS adalah di antara orang yang disucikan Tuhan di dalam Surah al-Ahzab:33, dan dikenali juga dengan nama Ashab al-Kisa’. Dan termasuk orang yang dimubahalahkan bagi menentang orang Nasrani di dalam ayat al-Mubahalah atau Surah Ali Imran:61. Adakah wajar orang yang disucikan Tuhan dan dimubahalahkan itu menjadi pembohong, penuntut harta Muslimin yang bukan haknya?
g) Jikalau dakwaan Abu Bakar itu betul ia bermakna Rasulullah SAWA sendiri tidak mempunyai perasaan kasihan belas sebagai seorang bapa terhadap anaknya. Kerana anak-anak para nabi yang terdahulu menerima harta pusaka dari bapa-bapa mereka.
Kajian mendalam terhadap Sirah Nabi SAWA dengan keluarganya menunjukkan betapa kasihnya beliau terhadap mereka khususnya, Fatimah AH sebagai ibu dan nenek kepada sebelas Imam AS. Beliau bersabda:”Sesungguhnya Allah marah kerana kemarahanmu (Fatimah AH) dan redha dengan keredhaanmu.”[Al-Hakim, al-Mustadrak,III, hlm.153;Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah,V,hlm.522;al–Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal,VI,hlm.219;Mahyu al-Din al-Syafi’i al-Tabari, Dhakhair al-Uqba,hlm.39] Khalifah Abu Bakar dan Umar adalah di antara orang yang dimarahi Fatimah AH.
Beliau bersumpah tidak akan bercakap dengan mereka sehingga beliau berjumpa bapanya dan merayu kepadanya.[Ibn Qutaibah,al-Imamah wal-Siyasah,I,hlm.14]
4. Khalifah Abu Bakar telah lari di dalam peperangan Uhud dan Hunain. Sepatutnya dia mempunyai sifat keberanian melawan musuh. Tindakannya itu menyalahi ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAWA [al-Hakim,al-Mustadrak,III,hlm.37;al-Muttaqi al-Hindi,Kanz al-Ummal,VI,hlm.394;al–Dhahabi,al-Talkhis,III,hlm.37]
5. Khalifah Abu Bakar telah membakar Fuja’ah al-Silmi hidup-hidup, kemudian dia menyesali perbuatannya.[al-Tabari,Tarikh,IV,hlm.52] Dan ia bertentangan dengan Sunnah Nabi SAWA”Tidak boleh disiksa dengan api melainkan dari Tuannya.”[Al-Bukhari,Sahih,X,hlm.83]
6. Khalifah Abu Bakar tidak mengenakan hukum had ke atas Khalid bin al-Walid yang telah membunuh Malik bin Nuwairah dan kabilahnya. Umar dan Ali AS mahu supaya Khalid dihukum rejam.[Ibn Haja,al-Isabah,III,hlm.336]
Umar berkata kepada Khalid:”Kamu telah membunuh seorang Muslim kemudian kamu terus bersetubuh dengan isterinya. Demi Allah aku akan merejam kamu dengan batu.”[Al-Tabari,Tarikh,IV,hlm.1928] Kata-kata Umar ini cukup membuktikan bahawa Malik bin Nuwairah adalah seorang Muslim dan Khalid telah berzina dengan isteri Malik sebaik sahaja ia dibunuh. Jika tidak kenapa Umar berkata:”Demi Allah aku akan merejam kamu dengan batu.”
Umar memahami bahawa isteri Malik bin Nuwairah tidak boleh dijadikan hamba. Oleh itu pembunuhan ke atas Malik bin Nuwairah dan kaumnya tidak patut dilakukan kerana mereka adalah Muslim. Keengganan mereka membayar zakat kepada Abu Bakar tidak boleh menjadi hujah kepada kemurtadan mereka.
Pembunuhan ke atas mereka disebabkan salah faham mengenai perkataan ‘idfi’u, iaitu mengikut suku Kinanah ia bererti “bunuh” dan dalam bahasa Arab biasa ia bererti “panaskan mereka dengan pakaian” dan tidak menghalalkan darah mereka. Sepatutnya mereka merujuk perkara itu kepada Khalid bagi mengetahui maksudnya yang sebenar. Tetapi mereka terus membunuh kaumnya dan Malik sendiri telah dibunuh oleh Dhirar yang bukan dari suku Kinanah. Oleh itu Dhirar pasti memahami bahawa perkataaan idfi’u bukanlah perkataan untuk mengharuskan pembunuhan, namun ia tetap membunuh Malik.
Lantaran itu alasan kekeliruan berlaku di dalam pembunuhan tersebut tidak boleh menjadi hujah dalam jenayah Khalid, apatah lagi perzinaannya dengan isteri Malik bin Nuwairah selepas dia dibunuh. Dengan itu tidak hairanlah jika Ali AS dan Umar meminta Khalifah Abu Bakar supaya merejam Khalid, tetapi Abu Bakar enggan melakukannya.
Jika tidak membayar zakat djadikan alasan serangan dan pembunuhan, maka Nabi SAWA sendiri tidak memerangi sahabatnya Tha’labah yang enggan membayar zakat kepada beliau SAWA. Allah SWT menurunkan peristiwa ini di dalam Surah al-Taubah(9):75-77. Semua ahli tafsir Ahlul Sunnah menyatakan bahawa ayat itu diturunkan mengenai Tha’labah yang enggan membayar zakat kerana beranggapan bahawa ianya jizyah. Maka Allah SWT mendedahkan hakikatnya. Dan Nabi SAWA tidak memeranginya dan tidak pula merampas hartanya sedangkan beliau SAWA mampu melakukannya. Adapun Malik bin Nuwairah dan kaumnya bukanlah mengingkari zakat sebagai satu fardhu agama.
Tetapi apa yang mereka ingkar ialah penguasaan Abu Bakar ke atas jawatan khalifah selepas Rasulullah SAWA dengan menggunakan kekuatan dan paksaan. Dan mereka pula benar-benar mengetahui tentang hadith al-Ghadir.
Oleh itu tidak hairanlah jika Abu Bakar terus mempertahankan Khalid tanpa mengira jenayah yang dilakukannya terhadap Muslimin kerana Khalid telah melakukan sesuatu untuk kepentingan politik dan dirinya. Malah itulah perintahnya di bawah operasi “enggan membayar zakat dan murtad” sekalipun ianya bertentangan dengan Sunah Nabi SAWA.
7. Khalifah Abu Bakar telah melarang orang ramai dari menulis dan meriwayatkan Sunnah Nabi SAWA. Dia berucap kepada orang ramai selepas kewafatan Nabi SAWA,”Kalian meriwayatkan dari Rasulullah SAWA hadithhadith di mana kalian berselisih faham mengenainya. Orang ramai selepas kalian akan berselisih faham lebih kuat lagi. Justeru itu janganlah kalian meriwayatkan sesuatupun (syaian) daripada Rasulullah SAWA. Dan sesiapa yang bertanya kepada kalian, maka katakanlah: Bainana wa bainakum kitabullah (Kitab Allah di hadapan kita). Maka hukumlah menurut halal dan haramnya.”[Al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz,I,hlm.3]
Kata-kata Abu Bakar ini telah diucapkan beberapa hari selepas peristiwa Hari Khamis yaitu bertepatan dengan kata-kata Umar ketika dia berkata:”Rasulullah SAWA sedang meracau dan cukuplah bagi kita Kitab Allah (Hasbuna Kitabullah).” Lantaran itu kata-kata Abu Bakar tadi adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi yang dicatatkan oleh Ahlul Sunnah:”Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara sekiranya kalian berpegang kepada kedua-duanya;Kitab Allah dan Sunnahku.”
Oleh itu tidak heranlah jika Khalifah Abu Bakar tidak pernah senang hati semenjak dia mengumpulkan lima ratus hadith Rasulullah SAWA semasa pemerintahannya. Kemudian dia membakarnya pula.[al-Muttaqi al-Hindi, Hanz al-Ummal,V,hlm. 237] Dengan ini dia telah menghilangkan Sunnah Rasulullah SAWA. Oleh itu kata-kata Abu Bakar:”Janganlah kalian meriwayatkan sesuatupun daripada Rasulullah SAWA” menunjukkan larangan umum terhadap pengriwayatan dan penulisan hadith Rasulullah SAWA. Dan ianya tidak boleh ditakwilkan sebagai berhati-hati atau mengambil berat atau sebagainya.
Lantaran itu ijtihad Khalifah Abu Bakar adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAWA:”Allah memuliakan seseorang yang mendengar hadithku dan menjaganya, dan menyebarkannya. Kadangkala pembawa ilmu (hadith) membawanya kepada orang yang lebih alim darinya dan kadangkala pembawa ilmu (hadith) bukanlah seorang yang alim.”[Ahmad bin Hanbal, Musnad,I,hlm.437;al-Hakim, al-Mustadrak,I,hlm.78] Dan sabdanya:”Siapakah yang ditanya tentang ilmu maka dia menyembunyikannya, Allah akan membelenggukannya dengan api neraka.”[Ahmad bin Hanbal,Musnad,III,hlm.263]
8. . Khalifah Abu Bakar telah melantik Umar menjadi khalifah selepasnya secara wasiat, padahal dia sendiri menolak wasiat Nabi SAWA. Beliau bersabda:”Ali adalah saudaraku, wasiku, wazirku dan khalifah selepasku” dan sabdanya:”Siapa yang menjadikan aku maulanya maka Ali adalah maulanya.”Dan penyerahan jabatan khalifah kepada Umar adalah menyalahi prinsip syura yang diagung-agungkan oleh Ahlul Sunnah. Justeru itu Abu Bakar adalah orang yang pertama merusakkan sistem syura dan memansuhkannya.
Pertama, dia menggunakan “syura” bagi mencapai cita-citanya untuk menjadi khalifah tanpa menjemput Bani Hasyim untuk menyertainya. Kedua, apabila kedudukannya menjadi kuat, dia melantik Umar untuk menjadi khalifah selepasnya tanpa syura dengan alasan bahawa Umar adalah orang yang paling baik baginya untuk memegang jabatan khalifah selepasnya.
Nah, dari sekelumit bukti2 ini jelas bahwa apa yg dilakukan Khalifah Abu
Bakar adalah “ijtihad” dalam wilayah hukum yg sudah qath’i dan jelas
dan bertentangan dg syariat yg sudah ada.
Umar bin Khattab :
1. Khalifah Umar juga melarang dan mengharamkan seorang itu “menangis” ke atas mayat, sedangkan ia adalah harus dan dilakukan oleh Rasulullah SAWA ke atas Hamzah RA. Oleh itu hadith Umar yang menyatakan “mayat diazab dengan tangisan orang yang hidup” adalah bertentangan dengan hadith Rasulullah
SAWA yang melarang Umar dari menegah wanita-wanita menangis ke atas mayat. Rasulullah SAWA bersabda:”Wahai Umar biarkan mereka menangis, kerana jiwa berdukacita, mata mengalirkan air mata……”[Ibn Majah, al-Sunan,I,hlm. 481; al-Hakim, al-Mustadrak, I,hlm. 381; Ibn Hanbal, al-Musnad, II, hlm. 408] Dan ianya juga bertentangan dengan firmanNya di dalam Surah an-An’am (6): 164:”Dan seseorang yang membuat dosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Lantaran itu kenapa simati disiksa kerana tangisan orang yang hidup?
2. Khalifah Umar mengatakan tidak wajib salat bagi orang yang berjunub ketika tidak ada air.[Ibn Majah, al-Sunan,I,hlm. 200; al-Nasai, al-Sunan,I,hlm. 59] Oleh itu ijtihadnya itu adalah bertentangan dengan Surah al-Maidah (5):6….”maka hendaklah kamu bertayammum dengan tanah….”
3. Khalifah Umar memberi hukuman bahawa talak tiga jatuh sekaligus. Sedangkan talak pada masa Rasulullah SAWA dan khalifah Abu Bakar ialah tiga kali sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an.[Ahmad bin Hanbal, al-Musnad,I,hlm. 314; Muslim, Sahih,I,hlm. 574] Ijtihadnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi SAWA dan firman Tuhan di dalam Surah al-Baqarah (2): 229:”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh dirujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik.”
4. Khalifah Umar adalah orang yang pertama mengenakan ‘Aul di dalam ilmu Faraidh.[al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 137] Ijtihadnya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAWA yang tidak mengenakan ‘Aul.
5. . Khalifah Umar mengatakan Rasulullah SAWA “sedang meracau.” Oleh itu permintaan beliau supaya dibawa pensil dan kertas supaya beliau menulis perkara-perkara yang tidak akan menyesatkan ummatnya selama-lamanya tidak perlu dilayani lagi.[Muslim, Sahih, III, hlm. 69; al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36] Ijtihadnya adalah bertentangan dengan firmanNya di dalam Surah al-Najm (53):3-4:”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemahuan hawa nafsunya.”
6. Khalifah Umar adalah orang yang pertama menambahkan hukum sebat bagi peminum arak dari 40 sebatan kepada 80 kali sebatan.[al-Suyuti, Tarikh al- Khulafa’, hlm. 137]
7. . Khalifah Umar adalah orang yang pertama menciptakan solat Tarawih pada bulan Ramadhan. Ianya tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAWA.[al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 136]
8. Khalifah Umar melarang orang ramai dari meriwayatkan dan menulis Sunnah Rasulullah SAWA, dia berkata:”Hasbuna Kitabullah (Kitab Allah adalah cukup bagi kita).”[Al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36] Ijtihadnya adalah bertentangan dengan hadith yang dipopularkan oleh Ahlul Sunnah:”Aku tinggalkan pada kalian dua perkara selama kalian berpegang kepada kedua-duanya Kitab Allah dan
Sunnahku.”
Ibn Sa’d dalam Tabaqatnya, V hlm. 140 meriwayatkan bahawa apabila hadith atau Sunnah Rasulullah SAWA banyak diriwayatkan dan dituliskan pada masa Umar bin al-Khattab, maka dia menyeru orang ramai supaya membawa kepadanya semua hadith-hadith yang ditulis, kemudian dia memerintahkan supaya ianya dibakar.
Oleh itu tidaklah heran jika khalifah Umar menahan tiga orang sahabat di Madinah sehingga mati, kerana meriwayatkan banyak hadith Rasulullah SAWA.
Mereka ialah Ibn Mas’ud, Abu Darda’ dan Abu Mas’ud al-Ansari.[al-Dhahabi, Tadhkirah al-Huffaz, I,hlm. 8; al-Haithami, Majma al-Zawaid,I,hlm. 149; al-Hakim, al-Mustadrak,I,hlm. 110] Khalifah Umar berkata kepada Abu Darda:”Apa hadith daripada Rasulullah?”Abu Salmah bertanya kepada Abu Hurairah:”Adakah anda meriwayatkan hadith semacam ini pada masa Umar?”Abu Hurairah menjawab:”Sekiranya aku meriwayatkan hadith (semacam ini) pada masa Umar nescaya dia memukulku dengan cemetinya>”[al-Dhahabi, Tadhkirah al- Huffaz,I,hlm. 7]
9. . Khalifah Umar menyangka Nabi SAWA dan kaum Muslimin berada di dalam kebenaran ataupun kebatilan. Ia bertanya Rasulullah SAWA:”Adakah kita berada di dalam kebenaran dan mereka (kafir) berada dai dalam kebatilan? Adakah orang yang terbunuh di pihak kita akan memasuki syurga? Dan orang yang terbunuh di pihak mereka ke neraka? Rasulullah menjawab:”Ya dan akhirnya Rasulullah SAWA menegaskan kepadanya:”Wahai Ibn al-Khattab, sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah dan Allah tidak akan
mengabaikan aku.”Umar beranjak dari Rasulullah SAWA dengan marah (muthaghayyizan), kemudian dia berjumpa Abu Bakar lalu ia mengemukakan persoalan yang sama, lantas Abu Bakar menyakinkan dia bahawa Muhammad itu adalah Rasulullah dan Allah tidak akan mengabaikannya.[Muslim, Sahih,IV, hlm.12,14; al-Bukhari, Sahih, II, hlm. 111]
10. Khalifah Umar telah menyamakan bayaran jizyah. Ianya bertentangan dengan Sunnah Nabi SAWA bahawa satu dinar adalah jizyah bagi setiap (zimmi) yang akil baligh sahaja.[Ibn Abd al-Birr, al-Isti’ab, II,hlm. 460;Ibn Abil Hadid,
Syarh, Nahj al-Balaghah,III,hlm. 178]
Ok lah hadis itu mau ditampilkan. Tapi
coba kita cross-check apa benar Umar pantas menjadi Nabi ?Coba simak
informasi2 dibawah ini :
1. Khalifah Umar mengatakan tidak wajib
sembahyang bagi orang yang berjunub ketika tidak ada air.[Ibn Majah,
al-Sunan,I,hlm. 200; al-Nasai, al-Sunan,I,hlm. 59] Oleh itu ijtihadnya
itu adalah bertentangan dengan Surah al-Maidah (5):6….”maka hendaklah
kamu bertayammum dengan tanah….”
Atau simak hadis Bukhori no.338:”Dari Ammar
bin Yasir ra. bahwa dia pernah bertanya kpd Umar bin Khattab :”
Ingatlah anda ketika saya dan anda sedang dlm perjalanan, lalu anda
tidak salat (karena tdk ada air), sedangkan saya berguling-guling diatas
tanah kemudian saya salat, lalu peristiwa itu saya laporkan kpd Nabi
saw…….”
2. Khalifah Umar juga tidak dapat
menyelesaikan masalah al-Kalalah yang diakuinya sendiri, dia
berkata:”Jika aku mengetahui al-Kalalah, adalah lebih baik
bagiku dari istana-istana di Syam.”[al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VI, hlm.20]
3. Khalifah Umar mengintai satu kumpulan
rumah mereka di waktu malam dengan memasukinya melalui pintu belakang
tanpa salam. Kelakuannya itu
adalah menyalahi firmanNya di dalam Surah al-Hujurat (49):12:”Dan
janganlah kamu mengintai-intai atau mencari-cari kesalahan orang
lain.”Dan firmanNya di
dalam Surah al-Baqarah (2):189:”Dan masukilah rumah-rumah itu melalui pintupintunya.”
Dan firmanNya di dalam Surah al-Nur (24):27:”Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum
meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” Lantaran itu
tindakannya adalah bertentangan dengan ayat-ayat tersebut.[al-Suyuti,
al-Durr
al-Manthur,VI, hlm.93; al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VIII, hlm. 334]
4. Khalifah Umar telah memerintahkan
supaya di rejam seorang wanita gila (yang berzina). Maka Ali AS
memperingatkannya dan berkata:”Qalam diangkat
daripada orang gila sehingga dia sembuh.”Umar pun berkata:”Sekiranya
tidak ada Ali, nescaya binasalah Umar.”[Ibn Abd al-Birr, al-Isti’ab,
III, hlm. 39; al-
Tabari, Dhakhair al-Uqba, hlm. 80]
5. Khalifah Umar tidak membenarkan orang
Islam yang bukan Arab mewarisi pusaka keluarga mereka melainkan mereka
dilahirkan di negeri Arab.[Malik, al-
Muwatta,II, hlm.12] Oleh itu
ijtihad Umar adalah bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAWA
yang tidak membedakan seseorang melainkan dengan
taqwa dan ia juga mengandung sifat asabiyah sebagaimana firmanNya di
dalam Surah al-Hujurat (49):10:”Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu
adalah
bersaudara.” Dan Nabi SAWA bersabda:”Tidak ada kelebihan orang Arab ke
atas bukan Arab melainkan dengan taqwa.”[Al-Haithami, Majma’ al-Zawa’id,
III,
hlm. 226]
6. Khalifah Umar tidak pernah mengadakan
kurban (penyembelihan) karena khuatir kaum Muslimin akan menganggapnya
wajib.[al-Baihaqi, al-Sunan al-
Kubra,IX, hlm. 265; Syafi’i, al-Umm, II, hlm. 189] Tindakannya adalah
bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAWA yang
menggalakkan amalan tersebut. Dan kaum Muslimin sehingga hari ini
mengetahui kurban adalah sunat.
7. Khalifah Umar mengakui bahawa dia
tidak mengetahui tentang al-Qur’an, hukum halal-haram dan masalah
pusaka. Dia berkata:”Siapa yang ingin bertanya tentang al-Qur’an, maka
hendaklah dia bertanya kepada Ubayy bin Ka’ab. Sesiapa yang ingin
mengetahui halal dan haram, maka hendaklah dia bertanya
kepada Muadh bin Jabal. Sesiapa yang ingin mengetahui tentang ilmu
faraidh, hendaklah dia bertanya kepada Zaid bin Thabit. Dan siapa yang
ingin meminta harta maka hendaklah dia datang kepadaku kerana akulah
penjaganya.[al-Hakim, al-Mustadrak, III, hlm. 271; Abu Ubaid, Kitab
al-Amwal, hlm. 223; al-Baihaqi, al-Sunan, VI, hlm. 210] Ketiga-tiga ilmu
tersebut dikuasai oleh orang lain. Dia hanya penjaga harta.
8. Khalifah Umar menakut-nakuti dan
menggertak seorang wanita supaya membuat pengakuan tentang perzinaannya.
Lalu wanita tersebut membuat pengakuannya. Maka khalifah Umar
memerintahkan supaya ia dirajam. Lalu Ali AS bertanya
kepadanya:”Tidakkah anda mendengar Rasulullah SAWA
bersabda:”Tidak dikenakan hukum had ke atas orang yang membuat pengakuan
selepas ujian (bala’) sama ada ia diikat, ditahan atau diugut? Oleh itu
lepaskanlah dia.”Maka Umar berkata:”Wanita-wanita tidak terdaya untuk
melahirkan seorang seperti Ali. Sekiranya Ali tidak ada niscaya
binasalah Umar.”[Fakhruddin al-Razi, al-Araba’ain, hlm. 466;
al-Khawarizmi di dalam Manaqibnya, hlm. 48; al-Tabari Dhakha’ir
al-‘Uqba, hlm. 80]
9. . Khalifah Umar tidak mengetahui
tempat untuk memulakan umrah. Kemudian dia berkata:”Tanyalah
Ali.”[al-Tabari di dalam Dhakha’ir al-Uqba, hlm. 89; al-Muhibb
al-Tabari, al-Riyadh al-Nadhirah, II, hlm. 195]
10. Khalifah Umar telah memerintahkan
supaya perpustakaan-perpustakaan di Iran dan Iskandariah dibakar atau
dicampakkan buku-bukunya ke laut. Ditanya kenapa dia memerintahkannya.
Dia menjawab:”Allah telah memberikan kepada kita hidayah yang lebih baik
daripada itu.”
Perpustakaan-perpustakaan tersebut
mengandung banyak buku-buku ilmiah di dalam berbagai-bagai bidang ilmu
pengetahuan seperti ilmu hisab, falak, hikmah, kedokteran, dan
lain-lain. Tetapi khalifah Umar tidak menghargainya.[Ibn al-Nadim,
al-Fihrist, hlm. 334; Ibn Khaldun, Tarikh, I, hlm. 32; Ibn al-Jauzi,
Sirah al-
Umar, hlm. 107]
Nah, dari sekelumit bukti2 ini jelas
bahwa apa yg dilakukan Khalifah Abu Bakar dan Umar adalah “ijtihad”
dalam wilayah hukum yg sudah qath’i dan jelas dan bertentangan dg
syariat yg sudah ada. Ini tdk dibantah lagi. Wong sumber2nya jelas dari
kitab2 ulama Suni yg terkenal.
Jadi bagaimana Sunni mau mengklaim dirinya AHLU SUNNAH RASULULLAH ? Apa tdk lebih cocok AHLUL BID’AH WAL GAGABAH ?
Siapa yg ditipu ? Wong tiap orang punya
akal dan Al-Quran masih ada sbg tolok ukur, kok bisa2nya ada yg menipu
dan ditipu. Yang tertipu ente kaleee. Coba aja lihat masa ada kitab
hadis pake label SAHIH tapi isinya hadis dhaif bahkan maudhu… Sanad
memang penting. Tapi ketika Nabi dibilang lupa ayat Quran dan Nabi Musa
mandi telanjang di kali yg katanya sanadnya sahih, hadisnya mau
dipertahankan terus ?
Jangankan di bidang agama, di bidang
keduniaan saja masalah kepemimpinan ditempatkan pada inti manajemen. Kok
Sunni menempatkannya di bidang furu’ ? Pantas saja sampai saat inipun
kepemimpinan Sunni engga begitu jelas.
Di tataran praktek ? Coba aja buktikan.
Apakah Sunni Salafi sudah melaksanakan semua wasiat2 Nabi saw ? Kalau
ane selalu mengacu kpd fakta2 sejarah, itu karena apa yg ada dalam fakta
sejarah merupakan pelaksanaan dari konsep Sunni Salafi yg menyimpang
dari Sunnah Rasul. Contoh soal khilafah. Dalam hadis Ghadir Khum sdh
jelas dikatakan “man kuntu maulahu fa ‘ali maulahu….”. Tapi Sunni Salafi
mengaburkan/memalingkan maksud hadis yg sesungguhnya dg mengartikan
“maula” dg penolong. Buat apa Nabi cape2 mengumpulkan ribuan sahabat
menjelang kematiannya, kalau hanya mengumumkan bahwa Ali itu seorang
penolong !
============================================================================
KEUTAMAAN BERPEGANG PADA HADiS SYi’AH !!!!!!!!!!!!!
Dg kata lain bimbingan org2 maksum sangat
diperlukan sampai Hari Kiamat. Pertanyaan yg sederhana saja: Apakah
Syariat Islam yg ditinggalkan Nabi Muhammad saw tdk memerlukan org2 yg
maksum untuk menjaga dan melaksanakannya ? Bagaimana mungkin org2 yg tdk
maksum (tdk suci) mampu menjaga syariat Islam yg suci?
Pengertian maksum jangan disalah artikan.
Seseorang maksum itu tdk berarti dia tdk pernah berbuat salah. Tetapi
yg dimaksud adalah bahwa dia dalam lingkup atau tataran syariat tdk
pernah melanggarnya. Di luar itu dia adalah seorang makhluk yg bisa
berbuat salah di hadapan Khaliknya. ho siapa yg mengatakan Nabi itu sama
dg malaikat ? Secara biologis seorang Nabi sama saja dg manusia biasa.
Dia kawin, dia tidur, dia makan dsb. Yang membedakannya dg manusia biasa
adalah bahwa dia mempunyai maqom ruhani/nafs yg tinggi dan sempurna
(Nafs Kamilah) dan selalu mendapat bimbingan Allah Swt.
Sekali lagi ketingginan maqom ruhani ini
hanya dalam wilayah syariat. Di luar itu seorang Nabi adalah seorang makhluk yg dhaif di hadapan Khalik-nya.
Allah mengaruniakan ishmah hanya kpd org yg memang dari kecilnya selalu
terjaga dari perbuatan maksiat2 dan mampu mengaktualisasikan potensi2
dirinya secara sempurna dan utuh. Tak mungkin ishmah diberikan kpd
seorang ahli maksiat atau mantan ahli maksiat.
Ketika dikatakan bahwa Allah Swt menjaga
para nabi dari perbuatan dosa dan maksiat, hal ini tdk berarti menafikan
penisbahan kehendak dan ikhtiar bebas kpd mereka.
Makanya mereka disebut “muthohharun”
(orang2 yg disucikan) dan bukan “muthohhirin” (orang2 yang menyucikan
dirinya). Artinya kelompok pertama lebih tinggi maqomnya dari kel.
kedua.
Tp yg membuat saya heran adl sbgan sahabat saling membenci satu sama lain bahkan saling membunuh, contoh :
1. Kasus pembunuhan Malik bin Nuwairah
oleh Khalid bin Walid, lalu khalifah pd saat itu mengecam dia dan
mengancam hukuman rajam pada dia jika dia kembali ke Madinah. (Ma’alim
al Madrasata’in, juz 2 hal 96 dari Tarikh Thabari, Tarikh al Ya’qubi,
juz 2 hal 131 dll)
2. Kasus pembunuhan Abu Dzar al Ghifari.
Dia diasingkan dari kota Madinah ke satu tempat yang gersang yg tdk ada
mata air satu pun, di daerah Rabdzah, sampai 2x Abdullah bin Ma’sud
meratapi kematiannya yg tragis seraya berkata : ” Sunguh benar ucapan
Rasul yg bersabda “Engkau akan diasingkan sendiri, mati sendiri, dan
kelah dibangkitkan sendiri.” (Syirah Ibnu Hisyam; al-Amini, al-Ghadir,
juz 8, hal 365.
3. Kasus pembunuhan ‘Abdullah bin Ma’sud, beliau meninggal akibat luka injakan di perutnya.
4. Lihatlah siapa otak perencana
pembunuhan Usman bin Affan sehingga ia terkubur di pemakaman Yahudi (Al
Imamah Al Syiasah, juz 1, hal 70; tarikh Thabari, juz 5 hal 143-144).
5. Siapa pula pembunuh Thalhah dan Zubair ?
6. Ingat pula bgm mana Ammar bin Yassir dianiyaya oleh bani Umayyah cs (Al Imamah Al Syiasah, juz 1, hal 51).
7. Lalu siapa yg mempunyai gagasan agar Sayyidina Hasan bin ‘Ali dibunuh dgn racun ?
8. Dan yg terbesar adl perang Jamal dan perang Shiffin.
Apa motif mereka shg sampai melakukan pembunuhan itu ? Bgm kita bisa
mencintai mereka wong sesama mereka ajah saling membenci koq ?
Kalau anda bandingkan Ali dg Abu Bakar
atau Umar, maka terlihat bahwa Ali dari sejak kecilnya tdk pernah
menyembah berhala dan melakukan maksiat. Sementara Abu Bakar dan Umar
dan yg lainnya adalah para mantan. Itulah yg dimaksud oleh QS Al-Baqarah
124 dg kalimat:”…la yanalu ahdzadzdzaalimiin…’ (keimamahan ini) tidak
akan berlaku bagi org2 yg mantan maupun sedang dzalim.” (Pola dzalimin
adalah pola isim fa’il yg tdk terpengaruh waktu dulu ataupun sekarang).
Sekali lagi masalah ke-Imamahan/Khilafah.
Konsep Sunni yg menganggap Imamah/Khilafah setelah Nabi adalah jabatan
yg setiap orang bisa mendudukinya karena hanya mengurus keduniaan semata
semata-mata bertentangan dg QS Al-Baqarah 124 yg menegaskan bahwa
ke-Imamahan tdk mencakup org2 dzalim. Artinya figurnya harus maksum.
Dalam suatu riwayat dari Abdullah bin Mas’ud Nabi saw bersabda:”Imamah
tidak akan mencakup org2 yg pernah sujud kpd berhala.” Jadi jelas bahwa
figur spt Abu Bakar, Umar dan Usman yg pernah sujud kpd berhala secara
syar’i tdk berhak menduduki jabatan ke-imamahan/khilafah, sekalipun
secara defacto mereka adalah para khalifah.
Setelah masuk Islampun, Abu Bakar bin Abi Qahafah, Umar bin Khattab dan sahabat2 lainnya masih minum miras. Ini informasinya :
. Khalifah Umar masih meminum minuman keras (arak) pada masa Rasulullah SAWA sehingga turunnya ayat di dalam Surah al-Maidah (5):91,”Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di
antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu
dari mengingati Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu).”
Di dalam keseronokan mabuknya dia membaca beberapa bait syair antaranya:
Katakan kepada Allah, adakah Dia menegahku dari minumanku?
Katakan kepada Allah, adakah Dia akan menegahku dari makananku?
Apabila sampai berita ini kepada Rasulullah SAWA, beliau keluar di dalam
keadaan marah lalu memukul Umar. Dan Umar berkata:”Aku mohon dengan
Allah dari kemurkaanNya dan kemurkaan RasulNya.” Kemudian turunlah ayat di
dalam Surah al-Maidah (5):91,”Umar berkata:”Kami telah menghentikannya,
kami telah menghentikannya.”
Sepatutnya dia telah menghentikan amalan tersebut apabila ayat kedua dalam
Surah al-Baqarah (2):219 tentang khamar (arak) diturunkan. Kerana ianya sudah
cukup sebagai peringatan kepadanya sekalipun ianya bukanlah pengharaman
sepenuhnya. Riwayat yang lain pula mengatakan bahawa Umar masih berada di
dalam majlis arak, tiba-tiba seorang lelaki memberitahukan kepadanya bahwa
ayat pengharaman arak secara Qat’i telah diturunkan. Lalu dia berkata:”Kami
telah menghentikannya. kami telah menghentikannya!” Sebenarnya majlis arak
itu berlaku di klab Abu Talhah. Ibn Hajr di dalam Fath al-Bari, X, hlm. 30, telah
menguraikan nama-nama para sahabat yang terlibat di dalam majlis arak di
klab Abu Talhah seperti berikut:
1. Abu Bakar bin Abi Qahafah pada masa itu berumur 58 tahun.
2. Umar bin al-Khattab pada masa itu berumur 45 tahun.
3. Abu Ubaidah al-Jarrah pada masa itu berumur 48 tahun.
4. Abu Talhah Zaid bin Sahal, tuan kelab pada masa itu berumur 44 tahun.
5. Suhail bin Baidha’, wafat setahun selepas peristiwa tersebut,kerana sakit tua.
6. Ubayy bin Ka’ab.
7. Abu Dujanah Samak bin Kharsyah.
8. Abu Ayyub al-Ansari.
9. Abu Bakar bin Syaghub.
10. Anas bin Malik sebagai pelayan mereka (di saqi al-Qaum) pada masa itu
berumur 18 tahun.
[al-Tabari, Tafsir, II, hlm. 203; Abu Daud,al-Sunan, II, hlm.
128; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 53; al-Nasa’i, al-Sunan, VIII, hlm.
287; al-Jassas, Ahkam al-Qur’an, II, hlm. 245; al-Hakim, al-Mustadrak, II, hlm.
278; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, I. hlm. 252; Ibn Hajr, fath al-Bari, X, hlm.30
dan lain-lain]
Nah, yg kayak begini ini apa pantas jadi pemimpin agama ?
Sementara hadis2 Bukhori yg di klaim paling sahih eh banyak yg
menurunkan derajat nabi Muhammad saw dg riwayat2 yg engga masuk akal dan
bertentangan dg ayat2 Al-Quran.
Contoh yg engga masuk akal adalah Nabi saw digambarkan sebagai orang yg
hobi bersetubuh. bayangkan dlm sehari semalam mampu bersetubuh dg 9 org
isterinya !! (HR Bukhori).Makanya kitab Bukhori itu perlu direvisi atau
dibuang label “Sahih”nya biar engga malu-maluin Islam
Kalau memang benar kitab2 hadis Sunni
banyak meriwayatkan hadis2 dari Ahlul Bait dan mencintai mereka serta
mengamalkan ajaran2 mereka, kenapa dalam realitas sejarah para Imam
Ahlul Bait, kecuali Imam Ali, tidak didudukan sebagai khalifah kaum
muslimin bahkan semuanya dibunuh oleh para penguasa Sunni ? Coba kita
perhatikan fakta2 sejarah yg berkaitan dg kematian keluarga Nabi saw.
1. Fatimah meninggal karena luka akibat
tertimpa pintu yg didorong oleh orang2 munafik yg menuntut bay’at kpd
khalifah Abu Bakar.
2. Ali dibunuh oleh org Khawarij
3. Hasan bin Ali diracun oleh org suruhan Muawiyah.
4. Husein dibantai oleh pasukan Yazid bin Muawiyah
5. Ali bin Husein diracun oleh penguasa Walid bin Abdul Malik
6. Muhammad bin Ali diracun oleh penguasa Ibrahim bin Walid bin Abdul Malik
7. Ja’far bin Muhammad diracun oleh penguasa Mansur Dawanqi
8. Musa bin Ja’far diracun oleh penguasa Harun Ar Rasyid
9. Ali bin Musa diracun oleh penguasa Makmun Rasyid
10. Muhammad bin Ali diracun oleh penguasa Muhtasib Billah
11. Ali bin Muhammad diracun oleh penguasa Muhtasib Billah
12. Hasan bin Ali diracun oleh penguasa Muhtasib Billah
Apakah ini disebut mencintai Ahlul Bait apalagi mengamalkan ajarannya ?
wua kak kak kak segitu jelasnya sumber
dari sejarawan Sunni yg ane kutip, eh dibilang tdk valid. Asal ente tau
Sejarah Islam itu disusun berdasarkan kitab2 Tarikh yg dikarang oleh
Thabari, Ibnu Ishaq, Al-Baghdadi, Ibnu Hisyam dll. termasuk para para
ahli hadis Sunni spt Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud,
Hakim, Ahmad bin Hambal dll. yg juga bisa dijadikan sumber sejarah.
Bagaimana jadinya dg agama Islam ini kalau informasi dari mereka
dianggap tdk valid ? Atau barangkali para ahli sejarah dan hadis Sunni
tdk bisa dipercaya ?
He he he…masih ngotot terus dg Ibnu Sabanya. Ente engga tau bahwa
dalam jalur sanadnya hadis aswajs sunni ada 100 org Syi’ah ? Berarti
cucu2nya embah Saba ada dlm jalur periwayatan kitab SAHIH aswaja sunni..
Nih ane sebutin sebagian nama2nya:
1. Abban bin Taghlib bin Raba al-Kufi
2. Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i al-Kufi (Al-Faqih)
3. Ahmad ibn Al-Mufadhal ibn al-Kufi al-Hafri
4. Ismail bin Abban al-Azdi al-Kufi al-Warraq
5. Ismail bin Khalifah al-Mulai al-Kufi
6. Ismail bin Zakaria al-As’adi al-Khalqani al-Kufi
7. Ismail bin Abbad bin Abbas ath-Thaliqani
8. Ismail bin Abdurahman bin Abi Karimah al-Kufi
9. Ismail bin Musa al-Fazari al-Kufi
10. Talid bin Sulaiman al-Kufi
11. Tsabit bin Dinar
12. Tsuwair bin Abi Fahithah al-Kufi
13. Jabir bin Yazid bin Harits al-Ja’fi
14. Jarir bin Abdul Hamid adh-Dhabi
15. Ja’far bin Ziyad al-Ahmar
16. Ja’far bin Sulaiman adh-Dhab’i al-Basri
17. Jumai’ bin ‘Umairah bin Tsa’labah at-Taimi.
18. Al-Harits bin Husairah al-Azdi
19. Al-Harits bin Abdullah al-Hamadani
20. Habib bin Abu Tsabit al-Asadi al-Kahili
21. Hasan bin Hayy bin Saleh al_hamdani
22. Hakam bin Utaibah al-Kufi
23. Hammad bin Isa Al-Juhani
24. Hamran bin A’yan
25. Khalid bin Mukhallad al-Qawani
mas saya luruskan. 100 org Syi’ah yg ada
dlm jalur periwayatan hadis2 Sunni bersumber dari informasi ulama hadis
Sunni sendiri spt. Adz Dzahabi, Ibnu Mu’in, Abu Hatim, Ibnu Qutaibah,
Abu Zahrah dll yang menyatakan bahwa 100 org tsb adalah Syi’ah Rafidah
(Pembenci sahabat). Sementara ente mengacu kpd sumber Salafi Wahabi. Ya
jelas aja engga klop.
Mau terus dg isyu Ibnu Saba ? Dari merekalah hadis shahih tentang ahlul bait MUNCUL !!!!!!!!!!!!!!
Di tataran praktek ? Coba aja buktikan.
Apakah Sunni Salafi sudah melaksanakan semua wasiat2 Nabi saw ? Kalau
ane selalu mengacu kpd fakta2 sejarah, itu karena apa yg ada dalam fakta
sejarah merupakan pelaksanaan dari konsep Sunni Salafi yg menyimpang
dari Sunnah Rasul. Contoh soal khilafah. Dalam hadis Ghadir Khum sdh
jelas dikatakan “man kuntu maulahu fa ‘ali maulahu….”. Tapi Sunni Salafi
mengaburkan/memalingkan maksud hadis yg sesungguhnya dg mengartikan
“maula” dg penolong. Buat apa Nabi cape2 mengumpulkan ribuan sahabat
menjelang kematiannya, kalau hanya mengumumkan bahwa Ali itu seorang
penolong !
Mencintai sahabat Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam secara tepat dan proposional adalah suatu tuntutan syar’i.
Benarkah ? Mari kita bandingkan dg dalil2
lain yg menyatakan sebaliknya, yaitu kewajiban umat Islam untuk
mencintai dan berpegang teguh dg Ahlul Bait.
1. QS Al-Ahzab 33
referensi ahlu sunnah : – Sahih Muslim, Tirmidzi, Ahmad bin Hambal dll
2. QS Asy-Syura 23
referensi ahlu sunnah : Al-Hakim Al-Hanafi,Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi’i dll
3. QS Al-Baqarah 124
ref ahlu sunnah : Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi’i dll
4. QS Asy-Syua’ara
ref ahlu sunnah : Al_hakim Al-Haskani Al-Hanafi dll
5. QS Ali Imran 103
ref ahlu sunnah : Al_hakim Al-Haskani Al-Hanafi dll
6. QS At-Taubah 110
ref ahlu sunnah : Al_hakim Al-Haskani Al-Hanafi dll
7. QS Al-An’am 153
ref ahlu sunnah : Al_haidariyah, Ghayatul Maram dll
8 QS An-Nisa’ 59
ref ahlu sunnah : Syaikh Sulaiman Al-Qundusi Al-Hanafi dll
9.QS An-Nahl 43
ref ahlu sunnah :Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi dll
10. QS Ar-Ra’d 7
ref ahlu sunnah : Tafsir Ath-Thabari, Tafsir An-Naisaburi dll
dan masih ayat2 lainnya.
Sementara dari ref. hadis antara lain :
1. Hadis Tsaqalain
2. Hadis Safinah
3. Hadis Ghadir Khum
4. Hadis Manzilah
5. Hadis Ashabul Kisa
6. Hadis Madinatul ‘Ilmi
dan ratusan hadis mengenai keutamaan
Ahlul Bait dalam referensi ahlu sunnah dan perintah untuk berbuat baik
dan menjaga Ahlul Bait a.l. :
“Berbuat baiklah kamu terhadap Ahlul
Baitku” (HR Thabrani). Artinya tdk boleh menyakiti mereka, karena brg
siapa menyakiti Ahlul Bait sama dg menyakiti Nabi saw.
“Allah SWT mempunyai 3 kehormatan. Barang
siapa yg menjaga ketiganya maka Allah akan menjaga agama dan dunianya
dan barang siapa yg tdk menjaga ketiganya maka Allah tdk akan menjaga
dunia dan akhiratnya. Saya bertanya, Apa ketiganya itu ? Rasulullah saw
menjawab:’Kehormatan Islam, kehormatanku dan kehormatan kerabatku.”
Pertanyaannya sekarang apakah berpegang teguh Pada Ahlul Bait Nabi SAW atau berpegang teguh pada sahabat Nabi SAW ?
Dibawah ini tulisan yg akan menjawab pertanyaan tsb diatas.
Merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa Islam sekarang terbagi
dalam berbagai mahzab. Setiap mahzab menawarkan pemahaman khas
tersendiri tentang bagaimana Islam sebenarnya. Dan tidak jarang antara
mahzab yang satu dan mahzab yang lain terjadi perselisihan pemahaman.
Hal ini membuat kesulitan bagi sebagian orang yang ingin memahami ajaran
Islam dengan baik. Walaupun begitu ada suatu pemecahan awal yang dapat
digunakan dalam memilah yang mana yang benar dan yang mana yang salah
dari semua mahzab yang ada. Ajaran Islam sepenuhnya berlandaskan pada Al
Quranul Karim dan Sunah Rasulullah SAW. Oleh karena itu setiap
pandangan yang ditawarkan oleh mahzab apapun hendaknya ditimbang dengan
Al Quran dan Sunah Rasulullah SAW.
Jangankan di bidang agama, di bidang
keduniaan saja masalah kepemimpinan ditempatkan pada inti manajemen. Kok
Sunni menempatkannya di bidang furu’ ? Pantas saja sampai saat inipun
kepemimpinan Sunni engga begitu jelas.
Secara garis besar Islam terbagi dalam
dua mahzab besar yaitu Sunni dan Syiah. Masing-masing mahzab memiliki
formulasi Islam tersendiri. Adalah tidak benar jika seseorang menuduh
bahwa Syiah adalah ajaran yang tidak memiliki landasan dalam Islam atau
sebaliknya menuduh Mahzab Sunni tidak memiliki landasan. Landasan selalu
ada dan itulah yang membuat kedua mahzab tersebut bertahan ratusan
tahun lamanya. Seseorang boleh saja mempersepsi yang mana yang benar dan
yang mana yang salah menurutnya dan dengan dasar itu dia berhak untuk
memilih mahzab yang akan dianutnya. Hal yang patut dihindari adalah
fanatisme mahzab yang membuat seseorang begitu terpolarisasi seakan-akan
setiap apapun yang bukan dari mahzabnya adalah sesat.
Mahzab Sunni dan Mahzab Syiah memiliki
landasan awal yang sama yaitu Berpegang pada Al Quranul Karim dan Sunah
Rasulullah SAW. Perbedaannya terletak pada landasan yang lebih lanjut.
Mahzab Sunni mengambil Sunah Rasulullah SAW dominan dari sahabat-sahabat
Nabi SAW sedangkan Mahzab Syiah mengambil Sunnah Rasulullah SAW dari
Ahlul Bait.
Tulisan ini akan meninjau kedua landasan lanjut Mahzab Sunni dan Mahzab Syiah.
Mahzab Syiah adalah Mahzab Ahlul Bait
Seperti yang dijelaskan sebelumnya Syiah mengambil Sunah Rasulullah SAW
dari Ahlul Bait. Dalam pandangan Syiah Ahlul Bait adalah pedoman bagi
umat Islam setelah Al Quran. Hal ini ternyata sesuai dengan apa yang
dinyatakan Rasulullah SAW sendiri
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai
manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian
berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan
Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan
dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al
Hadits Al Shahihah no 1761).
Catatan : hadis semacam ini juga diriwayatkan oleh Muslim dan al-Hafidz Abi ‘Abdillah al-Hakim Naisaburi dg banyak jalur :
– jumlah perawi dari kalangan sahabat : 24 org
– jumlah perawi dari kalangan thabi’in : 19 org
– jumlah perawi dari abad kedua s/d keempat belas : 323 org
shg hadis ini telah mencapai derajat mutawatir !
Perlu dijelaskan bahwa ada banyak sekali
hadis keutamaan Ahlul Bait yang menunjukkan bahwa mereka memiliki
kemuliaan yang besar sehingga setiap umat Islam diwajibkan untuk
mencintai mereka. Tetapi dalam pembahasan ini hanya difokuskan terhadap
hadis yang menjelaskan dengan kalimat yang lugas dan jelas bahwa Ahlul
Bait adalah pedoman bagi umat Islam. Dalam mahzab Syiah kedudukan Ahlul
Bait Nabi SAW sebagai pedoman menyebabkan timbulnya pandangan kema’suman
Ahlul Bait. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kedudukan Ahlul
Bait sebagai Pedoman Umat islam. Sang pedoman jelas sekali harus selalu
benar.
ente belum tahu wahabi??
kalau syafei…..imam nya syafei….
kalau hanafi….imamnya abu hanifah
kalau maliki…imamnya malik bin anas
kalau hambali…imamnya ahmad ibn hanbal
kalau wahabi imamnya muhammad bin abdul wahab…..kitab rujukannya, ibn taimiyah ….idola idola ente.
makanya ente wahabi !!!! kalau di zaman nabi, ente ente pada nih yang
dibilang nabi asfiatul baghiyah. alias anak buah muawiyah…….
makanya hadist hadist yang dibawa, hadist hadist pinggir jalan.
contoh:
rasul saw bersabda: wajib bagi umatku menjalankan sunahku dan sunah khulafah ar rasyidin……..
orang yang pakai otak sedikit ajah langsung tahu ini palsu.
1. semenjak kapan nabi mewajibkan sunah baru padahal agama sudah sempurna ???
Konsep ini bertentangan dg QS An-Nisa 59 … Tapi ingat posisi mereka
hanya sebatas pelaksanan hukum. Coba fahami sekali lagi QS An-Nisa 59 :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
Perhatikan ayat :”fa in tanaza’tum fi sya’iin fa rudhuhu ilallah wa
rasuluh….”, menunjukkan bahwa apabila terjadi perselisihan dalam masalah
hukum diantara umat, maka tidak dikembalikan kpd Allah, Rasul dan Ulil
Amri tetapi hanya kpd Allah dan Rasul-Nya. Artinya Ulil Amri BUKANLAH
SBG PEMBUAT HUKUM, tetapi hanya menjadi pelaksana hukum. Kalaupun ada
kegiatan “ijtihad”, maka ijtihadnya hanya pada tataran teknis
pelaksanaan dari ketentuan syariat yg sdh final dan jelas.
2. sunnah adalah perkataan dan perbuatan nabi. apa sahabatnya juga nabi ??
Wajib mencintai sahabat?
Muawiyah sahabat? kalau iya. berarti saya harus mencintai orang yang mengutuk Imam Ali as…..naudzubillah amit-amit….
Diatas kan sdh ane kutip riwayat2 dari
para ulama Sunni bahwa Abu Bakar dan Umar telah melakukan perubahan
(bid’ah) trhdp Sunnah Rasul selepas Nabi saw wafat. Dalam riwayat
Bukhori Muslim yg dikutip Eddi Hendri (Hadis Al-Haudh) kan sdh jelas
nasib para sahabat yg melakukan perubahan trhadap Sunnah Rasul. Tegasnya
engga gabung dg Nabi saw di Telaga haudh.
Syi’ah mencintai, memuliakan dan
mengikuti kepemimpinan Ahlul Bait karena tuntutan syar’i. Dalilnya QS
Al-Baqarah 124, QS 33 : 33, Hadis Ashabul Kisa dll. Jadi memuliakan org2
yg disuruh kita memuliakan bukankah wajar2 saja ? Sementara untuk para
sahabat tidak ada satupun hadis yg sahih yg menetapkan keharusan
mengikuti kepemimpinan mereka. Jelas2 para sahabat itu manusia biasa,
saling bunuh-membunuh, cinta dunia dsb, eh tidak boleh disalahkan atau
dalam istilah Sunni “jangan berkata-kata” tentang mereka (sahabat). Heh
ini kan sama saja dg “maksum”. Bukankah ini malah berlebihan ?
Mahzab Sunni adalah Mahzab Sahabat
Mahzab Sunni mengambil hadis Rasulullah SAW dari para Sahabat. Hal ini
berdasarkan banyaknya keutamaan yang dimiliki oleh mereka para Sahabat.
Dalam mahzab Sunni Sahabat Nabi memiliki keutamaan-keutamaan yang besar.
Ada banyak hadis yang menjelaskan tentang ini. Sahabat Nabi jelas
sekali belajar hadis dari Rasulullah SAW oleh karena itu mengambil hadis
dari Sahabat Nabi SAW adalah suatu hal yang rasional dengan sudut
pandang ini. Sayangnya tidak ada hadis yang lugas dan jelas yang
menyatakan bahwa Sahabat Nabi adalah pedoman bagi umat Islam agar tidak
tersesat. Semua hadis yang dijadikan dasar dalam hal ini adalah
hadis-hadis keutamaan mereka yang menjelaskan betapa mulianya mereka.
Oleh karena itu Sunni tidak pernah menyatakan bahwa Sahabat Nabi itu
ma’sum. Hal ini memiliki konsekuensi logis bahwa Sahabat Nabi tidak
selalu benar.
Ada sebagian hadis yang sering dijadikan dasar bahwa Sahabat Nabi adalah pedoman bagi umat Islam.
Rasulullah SAW bersabda “Umat ini akan terpecah belah menjadi 73
golongan . Mereka semua ada di neraka kecuali satu golongan”. Para
sahabat bertanya “Siapakah golongan itu?”. Beliau menjawab “Apa yang Aku
dan para sahabatku ada diatasnya pada hari ini”.(Hadis Riwayat Thabrani
dalam Mu’jam As Saghir jilid I hal 256)
Kemudian juga hadis ini
Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya bani Israil telah berpecah belah
menjadi 72 golongan, dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan .
Mereka semua di neraka kecuali satu golongan “. Para Sahabat bertanya
“Dan siapakah golongan (yang selamat) itu wahai Rasulullah SAW?”. Beliau
menjawab “Apa yang Aku dan para sahabatku ada diatasnya”. (Hadis
Riwayat Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi Kitab Al Iman ‘An Rasulillah Bab
Ma Ja’a Fi Iftiraqi Hadzihi Al Ummah no 2565)
Kedua hadis tersebut adalah hadis yang
dhaif . Hadis pertama riwayat Thabrani dalam sanadnya terdapat Abdullah
bin Sufyan dimana Al Uqaili berkata Hadisnya tidak bisa diikuti. Oleh
karena itu Al Uqaili memasukkan hadis ini dalam kitabnya Adh Dhu’afa Al
Kabir no 938. Hadis kedua riwayat Tirmidzi dalam sanadnya terdapat
Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dan sebagaimana dijelaskan dalam At
Taqrib bahwa dia adalah dhaif. Oleh karena itu Al Mubarakfuri menyatakan
dhaifnya hadis tersebut dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi
hadis no 2565.
Kesimpulan
Apa yang dapat disimpulkan dari ini adalah Rasulullah SAW sendiri telah
menjelaskan bahwa pegangan dan pedoman bagi umat Islam agar tidak sesat
adalah Hendaknya berpegang teguh pada Al Quran dan Ahlul Bait Nabi.
Tidak ada suatu penjelasan lugas dan jelas yang shahih bahwa Rasulullah
SAW menganjurkan untuk berpegang pada sahabat agar umat Islam tidak
sesat.
Karena hadis Tsaqalain (berpegang teguh
kpd Kitab Allah dan Ithrah Ahlul Baitku ternyata lebih sahih dan dg
derajat mutawatir pula, maka hadis yg berbunyi: Berpeganglah kpd
Sunnahku dan sunnah sahabatku’ yg secara sanad lemah dan dari segi matan
bertentangan dg hadis yg lebih kuat tidak bisa dijadikan pegangan oleh
umat Islam.
Diatas sdh saya jelaskan masalah lemahnya
hadis berpegang kepada Sunnah Rasul dan sahabat dan kuatnya hadis untuk
berpegang kpd Kitabullah dan Itrah Ahlul Bait nabi. Jadi yang benar
adalah kewajiban untuk berpegang teguh dg Kitabullah dan Itrah Ahlul
Bait . Dengan demikian QS 4 : 115 tsb diatas adalah ancaman bagi org2 yg
mengikuti selain Ahlul Bait.
Mengenai larangan membenci sahabat, saya
setuju dg catatan bahwa larangan membenci sahabat itu bagi sahabat yg
memang setia kpd Nabi dan saleh. Sementara “sahabat”2 yg sering
menyakiti Nabi dan Ahlul Baitnya dan berbiat maksiat dg membunuh sahabat
lainnya yg saleh, maka wajar kalau kita mengecam mereka.
Perlakuan terhadap sahabat bersifat
proporsional sesuai informasi yg ada dlm Al-Quran dan hadis sahih.
Syi’ah Itsna Asy’ariah hanya membenci/mengecam sahabat yg terbukti
menyakiti, menganiaya dan membunuh Ahlul Bait. Dan itu hanya berjumlah
sedikit. Masih banyak sahabat2 lain yg setia kpd Nabi.Sebaliknya di
kalangan Sunnipun ada golongan Nawashib (pembenci keluarga Nabi) dari yg
moderat sampai dengan yg paling ekstrim.
============================================================================
TANDUK SETAN DARi NAJAD
Salafi merupakan aliran yang disebut Nabi
SAW sebagai “dua tanduk setan dari najad”….Di antara orang-orang yang
terkenal yang lahir di Najd adalah Ibn Baz, Ibn Uthaimeen, dan juga
Muhammad ibn Abd al Wahhab.
Walaupun beberapa tokoh Wahhabiy
(Internasional/Msia) cuba mengalih perhatian ‘Najad’ dengan maksud yang
umum. Atau dialihkan ke Iraq..ternyata usaha itu sesekali tidak
berhasil. Ini kerana dilalah yang terdapat di dalam hadis begitu jelas
memaksudkan Najad sebagai satu sudut geografi yang amat dikenali
sebagaimana Syams dan Yaman. Dan sememangnya jika dilihat kedudukan
koordinat geografi, Najd/Riyadh terletak pada 2443N 04644E, manakala
Madinah terletak pada 2433N 03942E.
najed iraq? huwa ha…ha… itu sih pentakwilan yang tak berdasar.
mana mungkin wahabi mau ngakui bahwa itu najed… tempat lahirnya si
PENGKAFIR UMAT IBNU ABDUL WAHAB? KALO ITU ANDA AKUI YA BUBAR DONG SEKTE
TAKFIRI INI.
TAK PERLU PAKE HADIS TERSEBUT, DARI
AJARAN BIANG TAKFIRI INI (IBNU ABDUL WAHAB) ORANG TAU KALO SEKTE WAHABI
ADALAH PELANJUT SEKTE KHOWARIJ… KARENA HAMPIR SEMUA AJRAN DAN POLA PIKIR
SERTA PERBUATAN MEREKA mirip.
Najd adalah sebuah daerah tinggi dengan
ketinggian 762 hingga 1.525 meter di atas permukaan laut. Bagian timur
wilayah ini ditandai dengan perkampungan-perkampungan oasis, sedang di
daerah Najd lainnya sedikit didiami oleh kaum nomaden Bedouin. Orang
dari Najd disebut Najdi dalam bahasa Arab.
Dan…
Wilayah ini ditaklukan oleh pasukan Wahhabi di bawah Abdul Aziz ibn
Abdul Rahman ibn Saud, dari Kekaisaran Ottoman, selama periode tahun
1899-1912. Pada tahun 1932, Najd menjadi salah satu provinsi dari Arab
Saudi yang baru didirikan oleh ibn Saud.
Kedudukan Riyadh/Najd hampir pada garis
darjah latitude yang sama (beza 10 minit sahaja – bukan ukuran waktu
tetapi ukuran latitude) dengan Madinah betul-betul sebelah timur. Helah
yang digunapakai bagi mereka yang gerun dengan hadith ini ialah mereka
mengatakan bahawa Iraq sememangnya di sebelah timur. Tetapi yang
sebenarnya, latitude yang paling rendah bagi Iraq ialah sekitar 3040N
(kota Basrah). Baghdad pula 3340N. Dengan kedudukan latitude sedemikian,
Iraq terletak di antara 0 – 40 darjah ke utara Medinah. Bukan timur.
Kalau nak dikatakan timur, ianya sepatut disekitar 90 +/- 20 darjah dari
Medinah
Najad yang dimaksudkan di dalam lembaran
sabda Nabi SAW ialah sebuah kawasan yang terletak di timur Madinah.
Disanalah munculnya fitnah dan kegemparan terhadap Islam dan umatnya.
Fitnah ini mengucar kacirkan fahaman dan pegangan umat Islam sehingga
menyeret kepada pertumpahan darah. Ternyata, kemunculan Musailamah
al-Kazzab dan Gerakan Wahhabiy yang dipimpin oleh Muhammad Abd Wahhab
merealisasi gambaran fitnah yang dimaksudkan. Apa tidaknya, Musailamah
al-Kazzab adalah Pemimpin Nabi Palsu. Manakala Muhammad Abd Wahhab
memimpin gerakan Wahhabiy yang sanggup menyerang, merampas dan berperang
menentang Khilafah Uthmaniyyah lebih dari 200 tahun dan menyebabkan
beribu-ribu nyawa terkorban.
diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim,
al-Tirmidzi bahawa Baginda SAW bersabda : “Ya Allah berkatilah negeri
Syams kami, Ya Allah berkatilah negeri Yaman kami. Para sahabat bertanya
: “Wahai Rasulullah : (Bagaimana) dengan negeri Najd kami? Baginda SAW
lalu bersabda : Ya Allah berkatilah negeri Syams kami, Ya Allah
berkatilah negeri Yaman kami. Dan baginda bersabda pada kali yang ketiga
: “Disana (Najad) berlakunya gempa bumi (kegoncangan) timbulnya
pelbagai fitnah, dan disana juga munculnya tanduk syaitan.”
Saudaraku…
============================================================================
DINASTI SAUDI :
DARI MANA ASAL MEREKA?
DAN SIAPA SESUNGGUHNYA NENEK-MOYANGNYA?
Penelitian dan pemaparan Mohammad Sakher:
Setelah menemukan fakta-fakta di bawah ini, Rejim Saudi memerintahkan untuk membunuhnya.
Apakah anggota keluarga Saudi berasal dari Suku Anza bin Wa’il seperti pengakuannya?
Apakah agama mereka Islam?
Apakah mereka asli Bangsa Arab?
Di Najd, pada tahun 851 H serombongan
bani Al-Masalikh, keturunan Suku Anza, membentuk sebuah kafilah dipimpin
oleh Sahmi bin Hathlul, ditugaskan untuk membeli bahan makanan,
biji-bijian gandum dan jagung ke Iraq. Ketika sampai di Bashra, mereka
langsung menuju ke sebuah toko pakan yang pemiliknya seorang Yahudi
bernama Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe. Ketika sedang berlangsung
tawar-menawar, Yahudi si pemilik toko bertanya kepada mereka: “Berasal
dari suku manakah Anda?”. Mereka menjawab: “Kami berasal dari Bani
Anza”, salah satu Suku Al-Masalikh”. Mendengar nama suku itu disebut,
orang Yahudi itu memeluk mereka dengan
mesra sambil mengatakan bahwa dirinya juga berasal dari Suku
Al-Masalikh, namun menetap di Bashra, Iraq karena permusuhan keluarga
antara ayahnya dengan anggota Suku Anza lainnya.
Setelah Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe
mengatakan kepada mereka ceritera yang direkayasa mengenai dirinya, dia
kemudian memerintahkan kepada pembantunya untuk menaikkan barang-barang
belanjaan kafilah itu ke atas Unta-unta mereka. Sikap Mordakhai bin
Ibrahim bin Moshe yang dinilai baik dan tulus itu membuat kagum
rombongan bani Masalikh dan sekaligus menimbulkan kebanggaan mereka
karena bertemu saudara sesama suku di Iraq – dimana mereka mendapatkan
bahan makanan yang sangat mereka perlukan, mereka percaya kepada setiap
kata yang diucapkan Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe, karena dia seorang
pedagang kaya komoditi pakan, mereka menyukai Mordakhai bin Ibrahim bin
Moshe (walaupun sebenarnya dia bukan orang Arab dari suku Al-Masalikh,
tapi seorang Yahudi yang berpura-pura)
Saat kafilah sudah siap akan kembali ke
Najd, pedagang orang Yahudi itu meminta ijin menumpang dengan mereka
pergi ke tempat asalnya, Najd. Permintaan pedagang Yahudi itu diterima
dengan senang hati oleh rombongan bani Al-Masalikh.
Akhirnya Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe
sampai di Najd. Di Najd ia mulai menyebarluaskan propaganda dirinya
dibantu beberapa orang dari bani Al-Masalikh yang baru tiba
bersama-’sama dia dari Bashra. Propagandanya berhasil, sejumlah orang
mendukungnya, tetapi ditentang oleh yang lain dipimpin oleh Shaikh Saleh
Salman Abdullah Al-Tamimi, ulama di kota Al-Qasim, yang wilayah
dakwahnya meliputi Najd, Yaman dan Hijaz. Ia mengusir Mordakhai bin
Ibrahim bin Moshe ( nenek moyang Keluarga Saudi yang saat ini berkuasa )
dari kota Al-Qasim ke kota Al-Ihsa, di sana ia mengganti namanya
menjadi Markhan bin Ibrahim Musa . Kemudian dia pindah ke daerah Dir´iya
dekat Al-Qatif. Di daerah ini dia mulai menyebarkan ceritera rekayasa
kepada penduduk mengenai Perisai Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi wa
Sallam yang dirampas sebagai rampasan perang oleh orang musyrik Arab
sewaktu Perang Uhud. Perisai itu kemudian dijual oleh orang musyrik Arab
kepada Suku Yahudi Bani Qunaiqa dan menyimpannya sebagai koleksi barang
berharga. Perlahan tapi pasti, Markhan bin Ibrahim Musa menanamkan
pengaruhnya di antara orang-orang Badui melalui ceritera fiktif yang hal
ini memberitahu kita bagaimana berpengaruhnya suku-suku Yahudi di Arab
dengan menempati kedudukan terhormat. Dia menjadi orang penting diantara
suku Badui dan memutuskan untuk tetap tinggal di kota Dir´iya, dekat
Al-Qatif kemudian memutuskan menjadikannya sebagai ibukota di Teluk
Persia. Ia bercita-cita menjadikan kota itu sebagai batu loncatan untuk
membangun kerajaan Yahudi di Tanah Arab.
Dalam rangka memenuhi ambisisnya, dia
mulai mendekati dan mempengaruhi suku Arab Badui padang pasir untuk
mendukung posisinya, kemudian menobatkan dirinya sebagai raja mereka.
Pada saat yang genting ini, Suku Ajaman
bersama-sama dengan Suku Bani Khalid mencium bahaya Yahudi licik ini dan
sangat mengkhawatirkan rencana jahatnya, karena dia telah dapat
mengukuhkan identitasnya sebagai orang Arab. Mereka sepakat untuk
menghentikannya, kemudian menyerang kota Dar’iya dan berhasil
menaklukannya, tetapi sebelum menawan Markhan bin Ibrahim Musa, dia
melarikan diri.
Dalam pelariannya, Yahudi nenek moyang
Keluarga Saudi (Mordakhai) mencari perlindungan di sebuah perkebunan
Al-Malibiid-Ghusaiba dekat Al-Arid, milik orang Arab. Sekarang kota itu
bernama Al-Riyadh.
Mordakhai meminta perlindungan politik
kepada pemilik perkebunan. Pemiliknya yang ramah itu kemudian segera
memberikan tempat perlindungan. Namun belum juga sampai sebulan dia
tinggal di perkebunan itu, Mordakhai membunuh pemilik beserta anggota
keluarganya, kemudian mengarang ceritera bahwa mereka dibunuh oleh
perampok. Dia juga mengaku telah membeli real estate dari pemiliknya
sebelum kejadian tragis itu. Maka tinggallah dia disana sebagai pemilik
tanah yang baru, kemudian daerah itu diberi nama baru Al-Di’riya, nama
yang sama dengan tempat sebelumnya yang ia tinggalkan.
Yahudi nenek moyang Keluarga Saudi
(Mordakhai) segera membangun sebuah “Guest House” yang disebutnya
“Madaffa” di atas tanah yang direbut dari korbannya. Kemudian
berkumpullah disekelilinya kelompok munafik yang mulai menyebarkan
propaganda bohong bahwa Mordakhai adalah seorang Seikh Arab terkemuka.
Mereka merencanakan membunuh Sheikh Saleh Salman Abdullah Al-Tamimi,
musuh bebuyutan Mordakhai dan berhasil membunuhnya di sebuah mesjid di
kota Al-Zalafi.
Mordakhai puas telah berhasil membunuh
Sheikh Saleh Salman Abdullah Al- Tamimi, kemudian menjadikan Al-Dir’iya
sebagai tempat tinggalnya. Di Al-Dir’iya dia berpoligami dan
beranak’pinak, anak-anaknya diberi nama asli Arab.
Sejak saat itu keturunan dan kekuasaan
mereka tumbuh berkembang di bawah nama Suku Saudi, mereka juga mengikuti
jejak Mordakhai dan kegiatannya dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi
serta berkonspirasi melawan bangsa Arab. Secara ilegal mereka menguasai
daerah pedalaman dan tanah-tanah perkebunan, membunuh setiap orang yang
mencoba menghalangi rencana jahat mereka. Untuk mempengaruhi penduduk di
wilayah itu, mereka menggunakan segala macam jenis tipu daya untuk
mencapai tujuannya: mereka suap orang-orang yang tidak sefaham dengan
uang dan perempuan. Mereka suap penulis sejarah untuk menuliskan
biografi sejarah keluarganya yang bersih dari kejahatan, dibuatkannya
silsilah keluarga bersambung kepada Suku Arab terhormat seperti Rabi’?,
Anza dan Al-Masalikh.
Seorang munafik zaman kiwari bernama
Mohammad Amin Al-Tamimi – Direktur/Manager Perpustakaan Kontemporer
Kerajaan Saudi, menyusun garis keturunan (Family Tree) untuk Keluarga
Yahudi ini (Keluarga Saudi), menghubungkan garis keturunan mereka kepada
Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam . Sebagai imbalan
pekerjaannnya itu, ia menerima imbalan sebesar 35.000 (Tiga Puluh Lima
Ribu) Pound Mesir dari Duta Besar Saudi Arabia di Kairo pada tahun 1362 H
atau 1943 M. Nama Duta Besar Saudi Arabia itu adalah Ibrahim Al-Fadel.
Seperti disebutkan di atas, Yahudi nenek
moyang Keluarga Saudi (Mordakhai), yang berpoligami dengan wanita-wanita
Arab melahirkan banyak anak, saat ini pola poligami Mordakhai
dilanjutkan oleh keturunannya, dan mereka bertaut kepada warisan
perkawinan itu.
Salah seorang anak Mordakhai bernama
Al-Maqaran, (Yahudi: Mack-Ren) mempunyai anak bernama Muhammad, dan anak
yang lainnya bernama Saud, dari keturunan Saud inilah Dinasti Saudi
saat ini.
Keturunan Saud (Keluarga Saud) memulai
melakukan kampanye pembunuhan pimpinan terkemuka suku-suku Arab dengan
dalih mereka murtad, mengkhianati agama Islam, meninggalkan
ajaran-ajaran Al-Quran, dan keluarga Saud membantai mereka atas nama
Islam.
Di dalam buku sejarah Keluarga Saudi
halaman 98-101, penulis pribadi sejarah keluarga Saudi menyatakan bahwa
Dinasti Saudi menganggap semua penduduk Najd menghina tuhan, oleh karena
itu darah mereka halal, harta-bendanya dirampas, wanita-wanitanya
dijadikan selir, tidak seorang islampun dianggap benar, kecuali pengikut
sekte Muhammad bin Abdul Wahhab (yang aslinya juga keturunan Yahudi
Turki). Doktrin Wahhabi memberikan otoritas kepada Keluarga Saudi untuk
menghancurkan perkampungan dan penduduknya, termasuk anak-anak dan
memperkosa wanitanya, menusuk perut wanita hamil, memotong tangan
anak-anak, kemudian membakarnya. Selanjutnya mereka diberikan kewenangan
dengan Ajarannya yang Kejam ( Brutal Doctrin ) untuk merampas semua
harta kekayaan milik orang yang dianggapnya telah menyimpang dari ajaran
agama karena tidak mengikuti ajaran Wahhabi.
Keluarga Yahudi yang jahat dan mengerikan
ini melakukan segala jenis kekejaman atas nama sekte agama palsu mereka
(sekte Wahhabi) yang sebenarnya diciptakan oleh seorang Yahudi untuk
menaburkan benih-benih teror di dalam hati penduduk di kota-kota dan
desa-desa. Pada tahun 1163 H, Dinasti Yahudi ini mengganti nama
Semenanjung Arabia dengan nama keluarga mereka, menjadi Saudi Arabia,
seolah-olah seluruh wilayah itu milik pribadi mereka, dan penduduknya
sebagai bujang atau budak mereka, bekerja keras siang dan malam untuk
kesenangan tuannya, yaitu Keluarga Saudi.
Mereka dengan sepenuhnya menguasai
kekayaan alam negeri itu seperti miliknya pribadi. Bila ada rakyat biasa
mengemukakan penentangannya atas kekuasaan sewenang-wenang Dinasti
Yahudi ini, dia akan di hukum pancung di lapangan terbuka . Seorang
putri anggota keluarga kerajaan Saudi beserta rombongannya sekali tempo
mengunjungi Florida, Amerika Serikat, dia menyewa 90 (sembilan pukuh)
Suite rooms di Grand Hotel dengan harga $1 juta semalamnya. Dapatkah
kita memberikan komentar terhadap pemborosan yang dilakukan keluarga
kerajaan seperti itu, yang pantas adalah: Dihukum pancung di lapangan
terbuka.
– Pada tahun 1960′an, pemancar radio
“Sawt Al-Arab” di Kairo, Mesir, dan pemancar radio di Sana’a, Yaman,
membuktikan bahwa nenek moyang Keluarga Saudi adalah Yahudi.
Kesaksian bahwa nenek moyang Keluarga Saudi adalah Yahudi:
– Raja Faisal Al-Saud tidak bisa
menyanggah bahwa keluarganya adalah keluarga Yahudi ketika
memberitahukan kepada the WASHINGTON POST pada tanggal 17 September
1969, dengan menyatakan bahwa: “Kami, Keluarga Saudi, adalah keluarga
Yahudi: Kami sepenuhnya tidak setuju dengan setiap penguasa Arab atau
Islam yang memperlihatkan permusuhannya kepada Yahudi, sebaliknya kita
harus tinggal bersama mereka dengan damai. Negeri kami, Saudi Arabia
merupakan sumber awal Yahudi dan nenek-moyangnya, dari sana menyebar ke
seluruh dunia”. Itulah pernyataan Raja Faisal Al-Saud bin Abdul Aziz.
Hafez Wahbi, Penasihat Hukum Keluarga
Kerajaan Saudi menyebutkan di dalam bukunya yang berjudul “Semenanjung
Arabia” bahwa Raja Abdul Aziz yang mati tahun 1953 mengatakan: “Pesan
Kami (Pesan Saudi) dalam menghadapi oposisi dari Suku-suku Arab,
kakekku, Saud Awal, menceriterakan saat menawan sejumlah Shaikh dari
Suku Mathir, dan ketika kelompok lain dari suku yang sama datang untuk
menengahi dan meminta membebaskan semua tawanannya, Saud Awal memberikan
perintah kepada orang-orangnya untuk memenggal kepala semua tawanannya,
kemudian mempermalukan dan menurunkan nyali para penengah dengan cara
mengundang mereka ke jamuan makan, makanan yang dihidangkan adalah
daging manusia yang sudah dimasak, potongan kepala tawanan diletakkannya
di atas piring. Para penengah menjadi terkejut dan menolak untuk makan
daging saudara mereka sendiri, karena mereka menolak untuk memakannya,
Saud Awal memerintahkan memenggal kepala mereka juga. Itulah kejahatan
yang sangat mengerikan yang telah dilakukan oleh orang yang mengaku
dirinya sendiri sebagai raja kepada rakyat yang tidak berdosa, kesalahan
mereka karena menentang terhadap kebengisannya dan memerintah dengan
sewenang-wenang.
Hafez Wahbi selanjutnya menyatakan bahwa,
berkaitan dengan kisah nyata berdarah yang menimpa Shaikh suku Mathir,
dan sekelompok suku Mathir yang mengunjunginya dalam rangka meminta
pembebasan pimpinan mereka yang menjadi tawanan Raja Abdul Aziz Al-Saud
bernama Faisal Al-Darwis. Diceriterakannya kisah itu kepada utusan suku
Mathir dengan maksud mencegah agar mereka tidak meminta pembebasan
pimpinan mereka, bila tidak, mereka akan diperlakukan sama. Dia bunuh
Shaikh Faisal Darwis dan darahnya dipakai untuk berwudlu sebelum dia
shalat. (melaksanakan ajaran menyimpang Wahhabi). Kesalahan Faisal
Darwis waktu itu karena dia mengkritik Raja Abul Aziz Al-Saud, ketika
raja menandatangani dokumen yang disiapkan penguasa Inggris pada tahun
1922 sebagai pernyataan memberikan Palestina kepada Yahudi,
tandatangannya dibubuhkan dalam sebuah konferensi di Al-Qir tahun 1922.
Sistem rejim Keluarga Yahudi (Keluarga
Saudi) dulu dan sekarang masih tetap sama: Tujuan-tujuannya adalah:
merampas kekayaan negara, merampok, memalsukan, melakukan semua jenis
kekejaman, ketidakadilan, penghujatan dan penghinaan, yang kesemuanya
itu dilaksanakan sesuai dengan ajarannya Sekte Wahhabi yang membolehkan
memenggal kepala orang yang menentang ajarannya.
——————————————————————————————————
Wahabi Penghancur Peradaban Islam
Najd adalah Najad, Iraq adalah Iraq
Rasulullah SAW menyebut: Ya Allah! Berkatilah kami pada Yaman kami dan berkatilah kami Ya Allah! pada Syam kami.Maka sebahagian
sahabat berkata: Dan pada Najd kami Ya Rasulallah! Rasulullah pun
bersabda: Ya Allah! Berkatilah kami pada Yaman kami dan berkatilah kami
Ya Allah! pada Syam kami.Maka sebahagian
sahabat berkata: Dan pada Najd kami Ya Rasulallah!Dan aku menyangka
(seingat aku) pada kali ketiga Rasulullah SAW bersabda: Di sanalah
berlakunya gegaran-gegaran, fitnah-fitnah dan di sanalah terbitnya
tanduk Syaitan. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam al-Tirmidzi,
Imam Ahmad, Imam Ibnu Hibban dan lain-lain.
Inilah berita sedih dan memprihatinkan
bagi peradaban Islam dan sejarah peradaban umat manusia secara umum.
Pemerintahan Wahabi Arab Saudi telah menghancurkan ratusan situs/tempat
sejarah Islam yang telah berusia 14 abad. Semua ini dilakukan
semata-mata demi uang dan modernisasi walaupun dibungkus dengan
‘dalil-dalil agama’ versi mereka, bukan dalil-dalil agama yang
difatwakan oleh jumhur ulama umat Islam dunia.
Bagaimana bisa dibiarkan begitu saja
sepak terjang kaum Wahabi yang merupakan kelompok sangat minoritas dari
umat Islam secara keseluruhan ini untuk mengobok-obok warisan peradaban
Islam tanpa izin atau musyawarah dulu dengan mayoritas umat Islam dunia ?
Inilah yang akhirnya terjadi ketika
orang-orang Arab Badui Nejed menguasai tanah suci Mekah-Madinah setelah
berhasil memberontak dari Kekhilafahan Usmani (Ottoman Empire).
Pemberontakan yang disokong Inggris ini akhirnya berujung pembentukan
negara baru yang bernama Kerajaan Saudi Arabia yang wilayahnya meliputi
kawasan Hijaz dan sekitarnya, termasuk dua tanah suci Mekah dan Madinah.
Kaum Quraisy yang penduduk asli Mekah pun lama-kelamaan kian
tersingkir. Bahkan bani Hasyim juga telah dipaksa bermigrasi ke Yordania
(dengan skenario Inggris).
Kini Mekah dan Madinah sudah tak sama
lagi dengan Mekah dan Madinah yang kita baca di buku-buku sejarah Islam.
Suasana sakralnya makin tergerus oleh suasana hedonisme ala Amerika.
Situs Peninggalan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang telah berubah fungsi mengikuti rencana Illuminati
dalam menghilangkan perasaan patriotisme umat Islam sebagaimana ditulis
oleh Doc Marquis dalam “The (Decoded) Illuminati’s Protocols of the
Learned Elders of Zion”, Bab 25, hal.102.
Dulu ketika kaum pemberontak Wahabi Nejed
ini berhasil menguasai kota suci Mekah dan Madinah setelah mengalahkan
pasukan pemerintah Khilafah Usmani, maka para ulama di Nusantara ini pun
segera merespons dengan pembentukan ‘Komisi Hijaz’. Respons ini karena
para pemberontak Wahabi tersebut telah mulai melakukan perusakan dan
penghancuran situs-situs sejarah Islam yang mereka temui di kedua kota
suci tersebut.
Namun lama-kelamaan karena kerajaan
Wahabi Saudi Arabia ini makin eksis (apalagi dengan dukungan penuh dari
Amerika dan Inggris) maka respons tersebut kian kendur. Dan tak terasa
sudah sekitar 300 situs sejarah peradaban Islam yang mereka hancurkan.
Akankah ini dibiarkan terus oleh mayoritas umat Islam dunia ?
Seluruh situs sejarah Islam di kedua kota suci tersebut adalah milik
umat Islam sedunia. Dan kaum Wahabi yang sekarang menduduki kedua kota
suci itu sama sekali tak punya hak untuk mengacak-acaknya seenak perut
mereka.
Menanggapi banyaknya permintaan pembaca
tentang sejarah berdirinya Wahabi maka kami berusaha memenuhi permintaan
itu sesuai dengan asal usul dan sejarah perkembangannya semaksimal
mungkin berdasarkan berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab yang dapat
dipertanggung-jawabkan, diantaranya, Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan, I’tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher,
Daulah Utsmaniyah dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan,
dan lain-lain. Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya,
Muhammad bin Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal
mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu
negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah
Baghdad, Iran, India dan Syam. Kemudian pada tahun 1125 H/1713 M, dia
terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang
bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia
menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya. Inggris
memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah
umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i. Bahkan Muhammad bin Abdul
Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan
alirannya Wahabi.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di
lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul
Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun
sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik
tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan
mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya. Ternyata
tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya
pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak
kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama besar dari madzhab Hanbali,
menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fir
Raddi Alal Wahabiyah. Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di
Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat
berisi nasehat: “Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah,
tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar
seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat
tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya
bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau
dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau
mengkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) diantara kaum
muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang
menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia
tidak mengikuti jalan muslimin.”
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus
Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah berfirman: “Dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan
mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam
jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS: An-Nisa
115)
Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab,
adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah
kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang
disampaikan ahlussunnah wal jama’ah berkaitan dengan tawassul, ziarah
kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan
lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600
tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.
Pada satu kesempatan seseorang bertanya
pada Muhammad bin Abdul Wahab, “Berapa banyak Allah membebaskan orang
dari neraka pada bulan Ramadhan?” Dengan segera dia menjawab, “Setiap
malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan
Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari
awal sampai akhir Ramadhan” Lelaki itu bertanya lagi “Kalau begitu
pengikutmu tidak mencapai satu persen pun dari jumlah tersebut, lalu
siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah
jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu
saja yang muslim.” Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam
seribu bahasa. Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak
menggubris nasehat ayahnya dan guru-gurunya itu.
Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan
ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan
agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya
adalah penguasa Dar’iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H/1765
M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya. Dia
mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah
kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin
Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta
seseorang dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum
muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh
orang musyrik dijamin surga.
Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab
sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah
Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya
keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para
pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya
dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi
pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian
harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu
pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama
besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia
diterima menjadi pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh.
Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dengan dalih pemurnian akidah, dia juga membiarkan
para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang
pengikutnya berkata: “Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad,
karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad
telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali. Muhammad bin Abdul
Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya seperti Nabi di hadapan
umatnya.
Pengikutnya semakin banyak dan wilayah
kekuasaan semakin luas. Keduanya bekerja sama untuk memberantas tradisi
yang dianggapnya keliru dalam masyarakat Arab, seperti tawassul, ziarah
kubur, peringatan Maulid dan sebagainya. Tak mengherankan bila para
pengikut Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-makam yang
mulia. Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat
dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat
munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, mereka
menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan,
menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad.
Keberhasilan menaklukkan Madinah
berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain
penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan
kubah di Ma’la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga
kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin Abbas. Mereka terus
menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil
bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga
mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum
salihin tersebut. Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II,
penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya
yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk
melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali.
Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa’ud
bangkit kembali mengusung paham Wahabi. Tahun 1924, ia berhasil
menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan
Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini,
paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi. Dewasa ini
pengaruh gerakan Wahabi bersifat global. Riyadh mengeluarkan jutaan
dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan ideologi Wahabi. Sejak hadirnya
Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh dengan pergolakan
pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan
pemahaman agama Sunni-Syafi’i yang sudah mapan.
Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya
adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam sahabat-sahabat Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berada di Ma’la (Mekkah), di Baqi’
dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah
dengan mengunakan dinamit penghancur. Demikian juga kubah di atas tanah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilahirkan, yaitu di Suq al Leil
diratakan dengan tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat
parkir onta, namun karena gencarnya desakan kaum Muslimin International
maka dibangun perpustakaan. Kaum Wahabi benar-benar tidak pernah
menghargai peninggalan sejarah dan menghormati nilai-nilai luhur Islam.
Semula AI-Qubbatul Khadra (kubah hijau) tempat Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dimakamkan juga akan dihancurkan dan diratakan dengan
tanah tapi karena ancaman International maka orang-orang biadab itu
menjadi takut dan mengurungkan niatnya. Begitu pula seluruh rangkaian
yang menjadi manasik haji akan dimodifikasi termasuk maqom Ibrahim akan
digeser tapi karena banyak yang menentangnya maka diurungkan.
Pengembangan kota suci Makkah dan Madinah
akhir-akhir ini tidak mempedulikan situs-situs sejarah Islam. Makin
habis saja bangunan yang menjadi saksi sejarah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan sahabatnya. Bangunan itu dibongkar karena khawatir
dijadikan tempat keramat. Bahkan sekarang, tempat kelahiran Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terancam akan dibongkar untuk perluasan
tempat parkir. Sebelumnya, rumah Rasulullah pun sudah lebih dulu
digusur. Padahal, disitulah Rasulullah berulang-ulang menerima wahyu. Di
tempat itu juga putra-putrinya dilahirkan serta Khadijah meninggal.
Islam dengan tafsiran kaku yang dipraktikkan Wahabisme paling punya
andil dalam pemusnahan ini. Kaum Wahabi memandang situs-situs sejarah
itu bisa mengarah kepada pemujaan berhala baru. Pada bulan Juli yang
lalu, Sami Angawi, pakar arsitektur Islam di wilayah tersebut mengatakan
bahwa beberapa bangunan dari era Islam kuno terancam musnah. Pada
lokasi bangunan berumur 1.400 tahun Itu akan dibangun jalan menuju
menara tinggi yang menjadi tujuan ziarah jamaah haji dan umrah.
“Saat ini kita tengah menyaksikan
saat-saat terakhir sejarah Makkah. Bagian bersejarahnya akan segera
diratakan untuk dibangun tempat parkir,” katanya kepada Reuters. Angawi
menyebut setidaknya 300 bangunan bersejarah di Makkah dan Madinah
dimusnahkan selama 50 tahun terakhir. Bahkan sebagian besar bangunan
bersejarah Islam telah punah semenjak Arab Saudi berdiri pada 1932. Hal
tersebut berhubungan dengan maklumat yang dikeluarkan Dewan Keagamaan
Senior Kerajaan pada tahun 1994. Dalam maklumat tersebut tertulis,
“Pelestarian bangunan bangunan bersejarah berpotensi menggiring umat
Muslim pada penyembahan berhala.” (Mirip Masonic bukan?)
Nasib situs bersejarah Islam di Arab
Saudi memang sangat menyedihkan. Mereka banyak menghancurkan
peninggalan-peninggalan Islam sejak masa Ar-Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Semua jejak jerih payah Rasulullah itu habis oleh modernisasi
ala Wahabi. Sebaliknya mereka malah mendatangkan para arkeolog (ahli
purbakala) dari seluruh dunia dengan biaya ratusan juta dollar untuk
menggali peninggalan-peninggalan sebelum Islam baik yang dari kaum
jahiliyah maupun sebelumnya dengan dalih obyek wisata. Kemudian dengan
bangga mereka menunjukkan bahwa zaman pra Islam telah menunjukkan
kemajuan yang luar biasa, tidak diragukan lagi ini merupakan pelenyapan
bukti sejarah yang akan menimbulkan suatu keraguan di kemudian hari.
Gerakan Wahabi dimotori oleh para juru dakwah yang radikal dan ekstrim,
mereka menebarkan kebencian permusuhan dan didukung oleh keuangan yang
cukup besar. Mereka gemar menuduh golongan Islam yang tak sejalan dengan
mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan ahli bid’ah. Itulah ucapan yang
selalu didengungkan di setiap kesempatan, mereka tak pernah mengakui
jasa para ulama Islam manapun kecuali kelompok mereka sendiri. Di negeri
kita ini mereka menaruh dendam dan kebencian mendalam kepada para Wali
Songo yang menyebarkan dan meng-Islam-kan penduduk negeri ini.
Mereka mengatakan ajaran para wali itu
masih kecampuran kemusyrikan Hindu dan Budha, padahal para Wali itu
telah meng-Islam-kan 90 % penduduk negeri ini. Mampukah Wahabi-wahabi
itu meng-Islam-kan yang 10% sisanya? Mempertahankan yang 90 % dari
terkaman orang kafir saja tak bakal mampu, apalagi mau menambah 10 %
sisanya. Justru mereka dengan mudahnya mengkafirkan orang-orang yang
dengan nyata bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika bukan
karena Rahmat Allah yang mentakdirkan para Wali Songo untuk berdakwah ke
negeri kita ini, tentu orang-orang yang menjadi corong kaum Wahabi itu
masih berada dalam kepercayaan animisme, penyembah berhala atau masih
kafir. (Naudzu billah min dzalik).
Oleh karena itu janganlah dipercaya kalau mereka mengaku-aku sebagai
faham yang hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka
berdalih mengikuti keteladanan kaum salaf apalagi mengaku sebagai
golongan yang selamat dan sebagainya, itu semua omong kosong belaka.
Mereka telah menorehkan catatan hitam dalam sejarah dengan membantai
ribuan orang di Makkah dan Madinah serta daerah lain di wilayah Hijaz
(yang sekarang dinamakan Saudi). Tidakkah anda ketahui bahwa yang
terbantai waktu itu terdiri dari para ulama yang shaleh dan alim, bahkan
anak-anak serta balita pun mereka bantai di hadapan ibunya. Tragedi
berdarah ini terjadi sekitar tahun 1805. Semua itu mereka lakukan dengan
dalih memberantas bid’ah, padahal bukankah nama Saudi sendiri adalah
suatu nama bid’ah” Karena nama negeri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam diganti dengan nama satu keluarga kerajaan pendukung faham wahabi
yaitu As-Sa’ud.
Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa
hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh
hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih
BUKHARI & MUSLIM dan lainnya. Diantaranya: “Fitnah itu datangnya
dari sana, fitnah itu datangnya dari arah sana,” sambil menunjuk ke arah
timur (Najed). (HR. Muslim dalam Kitabul Fitan)
“Akan keluar dari arah timur segolongan
manusia yang membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan
mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak
panah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak
panah yang tak akan kembali ketempatnya, tanda-tanda mereka ialah
bercukur (Gundul).” (HR Bukhari no 7123, Juz 6 hal 20748). Hadis ini
juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Ibnu Hibban
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah
berdo’a: “Ya Allah, berikan kami berkah dalam negara Syam dan Yaman,”
Para sahabat berkata: Dan dari Najed, wahai Rasulullah, beliau berdo’a:
“Ya Allah, berikan kami berkah dalam negara Syam dan Yaman,” dan pada
yang ketiga kalinya beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Di
sana (Najed) akan ada keguncangan fitnah serta di sana pula akan muncul
tanduk syaitan.” Dalam riwayat lain dua tanduk syaitan.
Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan,
bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul). Dan ini adalah
merupakan nash yang jelas ditujukan kepada para penganut Muhammad bin
Abdul Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya mencukur
rambut kepalanya hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan
berpaling dari majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak
pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya. Seperti yang
telah dikatakan oleh Sayyid Abdurrahman Al-Ahdal: “Tidak perlu kita
menulis buku untuk menolak Muhammad bin Abdul Wahab, karena sudah cukup
ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu
sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur
(gundul), karena ahli bid’ah sebelumnya tidak pernah berbuat demikian.”
Al-Allamah Sayyid AIwi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub Abdullah
AI-Haddad menyebutkan dalam kitabnya Jala’uzh Zholam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam: “Akan keluar di abad kedua belas (setelah hijrah) nanti di
lembah BANY HANIFAH seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan
(sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu
banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin,
diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin” AI-Hadits.
BANY HANIFAH adalah kaum nabi palsu
Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad bin Saud. Kemudian dalam kitab
tersebut Sayyid Alwi menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain
ialah Muhammad bin Abdul Wahab. Adapun mengenai sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang mengisyaratkan bahwa akan ada keguncangan dari
arah timur (Najed) dan dua tanduk setan, sebagian, ulama mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan dua tanduk setan itu tiada lain adalah
Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad Ibn Abdil Wahab. Pendiri ajaran
Wahabiyah ini meninggal tahun 1206 H/ 1792 M.
Kaum Salafi wahabi tak pernah hilang
watak aslinya yaitu rajin menuding orang lain salah, hanya mereka
sajalah yang benar (versi mereka)… YAng cukup gila : mereka mengutip
hadis hadis dha’if sebagai bahan black campaign untuk menuding syi’ah
imamiyah itsna asyariah sebagai aliran sesat
Salafi wahabi yang mengkritik hadis Syiah
secara KALAP DAN GELAP MATA telah membawakan riwayat-riwayat yang ada
dalam kitab rujukan Syiah yaitu Al Kafi dalam karya-karya mereka seraya
mereka berkata Kitab Al Kafi di sisi Syiah sama seperti Shahih Bukhari
di sisi Sunni.
Ada sejumlah website anti syi’ah yang sengaja dibuat KAUM SALAFi seperti :
mereka menyebar banyak fitnah, terkesan
kalap dan gelap mata sehingga membuat fitnah untuk menipu orang
awam…Semua website tersebut jelas nampak putus asa karena kehabisan
dalil untuk menghadapi mazhab ahlul bait lalu mulai lah mereka asal
bunyi..
Tujuan mereka berkata seperti itu adalah
sederhana yaitu untuk mengelabui mereka yang awam yang tidak tahu-menahu
tentang Al Kafi. Atau jika memang mereka tidak bertujuan seperti itu
berarti Mereka lah yang terkelabui.
Dengan kata-kata seperti itu maka
orang-orang yang membaca karya mereka akan percaya bahwa riwayat apa
saja dalam Al Kafi adalah shahih atau benar sama seperti hadis dalam
Shahih Bukhari yang semuanya didakwa shahih. Mereka yang mengkritik
Syiah atau lebih tepatnya menghakimi Syiah itu adalah Dr Abdul Mun’im Al
Nimr dalam karyanya(terjemahan Ali Mustafa Yaqub) Syiah, Imam Mahdi dan
Duruz Sejarah dan Fakta, Ihsan Illahi Zahir dalam karyanya Baina Al
Sunnah Wal Syiah, Mamduh Farhan Al Buhairi dalam karyanya Gen Syiah dan
lain-lain.
Tidak diragukan lagi bahwa karya-karya
mereka memuat riwayat-riwayat dalam kitab rujukan Syiah sendiri seperti
Al Kafi tanpa penjelasan pada para pembacanya apakah riwayat tersebut
shahih atau tidak di sisi Ulama Syiah. Karya-karya mereka ini jelas
menjadi rujukan oleh orang-orang(termasuk oleh mereka yang menamakan
dirinya salafi) untuk mengkafirkan atau menyatakan bahwa Syiah sesat.
Sungguh sangat disayangkan, karena
kenyataan yang sebenarnya adalah Al Kafi di sisi Syiah tidak sama
kedudukannya dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Al Kafi memang menjadi
rujukan oleh ulama Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat
membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih. Dalam mengambil hadis
sebagai rujukan, ulama syiah akan menilai kedudukan hadisnya baru
menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana
Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah
menjadi ijma ulama(sunni tentunya) bahwa kitab Shahih Bukhari adalah
kitab yang paling shahih setelah Al Quran.
BEDAH BUKU : MENGAPA SAYA KELUAR DARI SYIAH..???
Allahumma shalli ‘ala muhammad wa aali muhammad
Kehadiran buku ini memberikan beberapa
hal penting. Pertama, Pada tahap tertentu buku ini menjelaskan
pemikiran-pemikiran mazhab syiah, hanya saja —daripada membahas secara
ilmiah—, buku ini secara sengaja mengumpulkan sisi-sisi negatif mazhab
syiah.
Kedua, Buku ini pada tahap tertentu telah
menciptakan sentimen kemazhaban dari kedua belah pihak (sunni dan
syiah) yang dapat merusak persatuan kaum muslimin dalam bingkai
berbeda-beda tetapi tetap satu juga.
Ketiga, terkait dengan hal yang kedua,
buku ini meningkatkan ketegangan hubungan antar umat seagama yang
seharusnya dipupuk terlebih disaat Islam dipojokkan dengan beragam isu
konflik yang berdampak internasional seperti isu terorisme.
Meskipun begitu, pertama, buku ini juga
telah menjadi iklan gratis bagi mazhab syiah, sehingga bagi pengkaji
yang objektif terpancing untuk memahami mazhab syiah dari sumber-sumber
yang kredibel. selain itu, kedua, buku ini mengingatkan orang syiah –dan
pada tahap tertentu juga orang-orang sunni— untuk lebih waspada karena
masih ada sisa-sisa penghalang bagi pendekatan antar mazhab dan
persatuan kekuatan kaum muslimin. dan ketiga, Buku ini menjadi contoh
bahwa terkadang penerbit buku tidak mengindahkan keilmiahan dan dampak
sosial religius dalam penerbitan buku, tetapi lebih pada keuntungan.
Tetapi sebagai sebuah sikap ilmiah saya
berusaha untuk sabar dalam membaca dan tentunya menganalisis setiap
katanya, utuk mendapatkan misi dan visi pengarangnya. Untuk itu, saya
akan tuliskan beberapa hal penting untuk kita dapat mengenal isi buku
dan pengarangnya. (Catt. Karena takut tulisannya kepanjangan, maka akan
dibuat secara bersambung)
SEKILAS SOSOK BUKU DAN PENGARANG
Buku ini berjudul asli “Lillahi Tsumma
Littarikh”, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul yang cukup propokatif, “Mengapa Saya Keluar dari Syiah?” yang
diterbitkan oleh penerbit Pustaka al-Kaustsar edisi pertama tahun 2002
dan kini telah dicetak edisi kelimanya tahun 2008.
Buku ini ditulis oleh seorang yang
mengaku bernama Sayid Husain al-Musawi. Dari namanya, ia mengaku
keturunan Nabi saaw dan telah menjadi mujtahid dengan menyelesaikan
pendidikannya di haujah Najaf Irak dibawah asuhan Sayid (?) Muhamamd
Husain Ali Kasyf al-Ghita (lihat hal.4). Ia mengaku lahir di Karbala
dari keluarga syiah yang taat beragama, serta mengawali pendidikannya
hingga remaja di kota tempat Imam Husain as syahid tersebut (lihat hal.
2).
Buku ini terdiri dari 153 halaman yang
dimulai dengan kata pengantar oleh Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi yang
mengaku pakar aliran syiah. Dengan pengantar tersebut, buku ini semakin
kelihatan “prestisiusnya”. Membahas banyak persoalan yang selain
pendahuluan dan penutup, buku ini dibagi dalam tujuh pembahasan, sbb :
1. Tentang Abdullah bin Saba’
2. Hakikat Penisbatan Syiah Kepada Ahlul Bait
3. Nikah Mut’ah dan Hal-Hal yang Berhubungan Dengannya
4. Khumus
5. Kitab-kitab Samawi
6. Pandangan Syiah terhadap Ahlussunnah
7. Pengaruh Kekuatan Asing Dalam Pembentukan Ajaran Syiah.
Pada halaman terakhir dilampirkan fatwa yang dikeluarkan oleh Husain Bahrul Ulum, tentang kesesatan buku tersebut.
KEJANGGALAN SOSOK PENGARANG
Ada pepatah yang terkenal
“Sepandai-pandai tupai melompat, sekali-kali jatuh juga” dan
“sepandai-pandai menyembunyikan bangkai akhirnya akan tercium juga”.
Pepatah ini kelihatannya sesuai untuk penulis buku ini, bahkan bukan
hanya sekali-kali saja dia jatuh tetapi seringkali dia jatuh pada
berbagai kesalahan dalam tulisannya. Kita akan lihat bahwa buku ini
tidak lebih merupakan dongeng imajiner seorang penulis untuk menciptakan
propokasi kepada umat Islam. Tapi al-hamdulillah, Allah masih menjaga
kaum muslimin dari berbagai perpecahan dan tipu daya setan baik setan
yang berbentuk jin maupun setan manusia.
Buku ini tidak menuliskan secara jelas
siapa sebenarnya Sayid Husain al-Musawi. Tidak diketahui kapan lahir dan
silsilah keluarganya, pendidikan dan guru-gurunya baik di Karbala’
maupun di Najaf (Irak). Juga tidak diketahui karya-karya yang ditulisnya
selain buku ini. Dari sini kita meragukan keadaan dan kualitas
keilmuannya yang mengaku mujtahid syiah.
Terlebih setelah kita mendapatkan
beberapa kejanggalan yang sangat mencolok dari buku yang ditulisnya ini.
Kejanggalan sosok pengarang terlihat saat kita melanjutkan bacaan
menelusuri buku ini kata-kata demi kata, paragraf demi paragraf, dan
halaman demi halaman. Diantara kejanggalannya adalah sbb:
(Catt : Untuk memepermudah, tulisan asli Husain al-Musawi saya beri tanda >; sedangkan tanggapan saya menggunakan tanda #
1. Husain al-Musawi menulis pada halaman 128 :
> “Disaat sedang memandikan saya
menemukan bahwa sang mayit tidak di khitan. Saya tiak bisa menyebutkan
siapa nama mayat tersebut, karena anak-anaknya mengetahui siapa yang
memandikan bapaknya. Jika saya menyebutkan, pasti mereka akan mengetahui
siapa saya, selanjutnya akan mengetahui penulis buku ini, sehingga
terbukalah segala urusan saya dan akan terjadi suatu tindakan yang tidak
terpuji.”
# Perhatikanlah, bahwa dia mengakui
dirinya tidak ingin dikenali. Dia tidak menyebutkan siapa nama mayit
yang memandikannya, karena takut dikenali dan dampaknya….. Tetapi dia
berani menyebutkan Nama Ayatullah Sayid Khui, Syeikh Kasyf al-Ghita,
bahkan Ayatullah Khumaini dengan hinaan dan cercaan yang lebih buruk
lagi padahal mereka menurut pengakuannya adalah guru dan marja’nya.
2. Husain musawi menulis pada halaman 94 :
> “Diakhir pembahasan tentang khumus
ini saya tidak melewatkan perkataan temanku yang mulia, seorang penyair
jempolan dan brilian, Ahmad Ash-Shafi an-Najafi Rahimahullah. Saya
mengenalnya setelah saya meraih gelar mujtahid. Kami menjadi teman yang
sangat kental walaupun terdapat perbedaan umur yang sangat mencolok,
dimana dia tiga puluh lima tahun lebih tua dari umurku.” (Mengapa Saya
Keluar dari Syiah, 2008, hal. 94)
# Perlu diketahui bahwa Ahmad Ash-Shafi
an-Najafi dilahirkan pada tahun 1895 M/ 1313-14 H dan wafat pada tahun
1397 H. Jika kita bandingkan dengan umur yang disebutkan oleh Husain
al-Musawi bahwa Ahmad Ash-Shafi an-Najafi itu lebih tua 35 tahun dari
dirinya, maka kita menemukan tahun kelahirn Husain al-Musawi adalah
tahun 1930 M atau 1349 H, dengan perhitungan sbb :
– 1895 M + 35 = 1930 M
– 1314 H + 35 = 1349 H
Kemudian, bandingkan dengan halaman 68
Husain Musawi menyebutkan bahwa ia bertemu dengan Sayid Syarafudin
al-Musawi (Pengarang Kitab al-Muraja’at atau Dialog Sunnah Syiah) di
Najaf, Irak.
Husain Musawi menulis pada halaman 68 :
> “Suatu hari di kota Najaf datang
berita kepada saya bahwa yang mulia Sayid Abdul Husain Syarafuddin
al-Musawi sampai ke Baghdad, dan sampai ke Hauzah (kota ilmu) untuk
bertemu dengan yang mulia Imam Ali Kasyif al-Ghita. Sayid Syarafuddin
adalah orang yang sangat dihormati dikalangan orang-orang syiah, baik
dari kalangan awam maupun orang-orang khusus. Terutama setelah terbitnya
kitab-kitab yang dia karang yaitu kitab Muraja’at dan kitab Nash wal
Ijtihad.” (lihat hal. 68)
# Perlu diketahui bahwa Sayid Syarafuddin
al-Musawi datang ke Najaf pada tahun 1355 H (buku al-Muraja’at
diterbitkan pertama kali juga tahun 1355 H). Jika kita bandingkan tahun
kelahiran Husain al-Musawi dengan kedatangan Sayid syarafuddin al-Musawi
maka usianya pada saat itu masih 6 tahun (1349 H – 1355 H = 6
tahun)….sementara pada Bab PENDAHULUAN (halaman 2), Husain al-Musawi
menyebutkan bahwa ia datang ke Najaf pada usia remaja setelah
menyelesaikan pendidikannya di Karbala….bagaimana mungkin ia ada di
Najaf pada saat itu dan menjadi pelajar tingkat tinggi (kelas bahtsul
kharij) pada usia 6 tahun…???? Sungguh kebohongan yang nyata
Kemudian pada halaman 4 dia menulis :
> “Yang penting, saya menyelesaikan
studiku dengan sangat memuaskan, hingga saya mendapat ijazah
(sertifikat) ilmiah dengan meendapat derajat ijtihad dari salah seorang
tokoh yang paling tinggi kedudukannya, yaitu Sayid (?) Muhammad Husain
Ali Kasyf al-Ghita.”
# Dengan jelas ia menyebutkan bahwa dia
mendapat ijazah mujtahid dari Sayid (?) Kasyf al-Ghita’ tapi tidak
disebutkan tahun berapa ijazahnya dikeluarkan. Perlu diketahui bahwa
Kasyif Ghita’ bukanlah Sayid (bukan keturunan ahlul bait), tetapi
Syeikh. Syeikh Kasyif al-Ghita meninggal pada tahun 1373 H. Jika kita
bandingkan tahun kelahiran Husain al-Musawi dengan tahun wafatnya Syeikh
Kasyf al-Ghita, maka kita menemukan usia Husain al-Musawi tamat dari
belajar dan menjadi mujtahid maksimal adalah 24 tahun (1349 – 1373 H =
24 tahun). Jika kita kurangi bahwa ia mendapat gelar 5 tahun sebelum
meninggalnya Syeikh Ali Kasyf al-Ghita, yakni tahun 1368 H, maka berarti
usianya menjadi mujtahid adalah 19 tahun (1349 – 1368 H = 19 tahun).
Suatu prestasi yang membanggakan dan luar biasa. Tetapi anehnya, selain
tidak ada datanya, tidak ada pula satupun ulama dan pelajar serta
masyarakat mengetahui ada seorang yang mencapai gelar mujtahid pada usia
tersebut dan berasal dari Karbala yang bernama Husain al-Musawi.
Dan lebih mengherankan lagi, sehingga
kedok si penulis semakin terbuka, adalah bahwa Husain al-Musawi menulis
pada halaman 131-132, sbb :
> “Ketika saya berkunjung ke India saya bertemu dengan Sayid Daldar
Ali. Dia memperlihatkan kepada saya kitabnya yang berjudul Asas
al-ushul.”
# Ini adalah kebohongan nyata yang tidak
bisa disembunyikan lagi oleh Husain al-Musawi. Ketahuilah bahwa Sayid
Daldar Ali adalah ulama abad ke 19 yang wafat pada tahun 1820 M/ 1235 H
(lihat kitab ‘Adz-Dzari’ah Ila Tasanif al-Syiah’). Ini berarti, sayid
Daldar Ali telah meninggal selama 110-114 tahun sebelum lahirnya Husain
al-Musawi yang lahir pada tahun 1930 M (1820 M – 1930 M = 110 tahun)
atau (1235 – 1349 H = 114 tahun). Bagaimana mungkin Husain al-Musawi
bertemu dengan sayid Daldar Ali padahal ia sendiri belum lahir bahkan
ayah dan kakeknya pun mungkin belum lahir…????
Jika dia memang bertemu dengan Sayid
Daldar Ali, berarti setidaknya Husain al-Musawi lahir pada tahun 1800 M.
Jika dia lahir tahun 1800 M, bagaimana mungkin usianya lebih muda dari
Ahmad Ash-Shafi an-Najafi yang lahir pada tahun 1895 M..??? dan
bagaimana mungkin dia belajar kepada Syeikh Kasyf Ghita yang lahir pada
tahun 1877 M..?? bagaimana dia bertemu dengan Sayid Khui di tahun 1992
(berarti usianya 192 tahun)? bagaimana mungkin dia mengikuti Revolusi
Iran pada tahun 1979 (berarti usianya 179 tahun) ..??? dan banyak lagi
kisah aneh yang diimajinasikan oleh si penulis buku ini.
Dengan beberapa bukti di atas (dan masih
banyak lagi lainnya) kita dapat menyimpulkan bahwa pengarang buku ini
bukanlah seorang mujtahid syiah, bahkan mungkin bukan pula penganut
mazhab syiah. Namanya juga diragukan apakah benar Sayid Husain al-Musawi
atau sekedar mencatut nama agar lebih meyakinkan. Bagi saya, penulis
buku ini adalah sosok imajiner yang membuat kisah imajinasi dengan
berusaha menjadi tokoh utama dalam sandiwara fiktif ini. Buku ini bisa
kita anggap sebagai novel dongeng untuk mendiskriditkan Islam seperti
The Satanic Verses yang ditulis oleh Salman Rusydi…..mungkin saja,
Husain al-Musawi ingin menjadi pelanjut Salman Rusydi. Wallahu a’lam
HUSAIN AL-MUSAWI TIDAK MENGENAL ULAMA-ULAMA DAN IMAM-IMAM SYIAH
“Husain al-Musawi yang mengaku mujtahid
syiah ini, ternyata tidak mengenal tokoh-tokoh dan ulama-ulama syiah,
bahkan ia tidak mengenal imam syiah.”
Sebagai buku yang ditulis untuk
propokatif, karya Husain al-Musawi, “Mengapa Saya Keluar Dari Syiah?”
memang sudah sewajarnya tidak memiliki bobot akademis dan ilmiah. Selain
kerancuan dan kejanggalan sosok Husain al-Musawi yang mengaku mujtahid
syiah, dia juga tidak mengenal tokoh-tokoh syiah bahkan gurunya sendiri.
Selain itu bahkan dia tidak mengetahui tradisi keilmuan syiah dalam
ushul maupun furu’.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa Husain al-Musawi adalah sosok fiktif yang mengarang buku dengan
khayalan dan imajinasinya. Dia ingin membuat sandiwara dan berusaha
menjadi pemain utamanya dan menjadikan yang lain sebagai
“bandit-banditnya”. Tapi sayang, ternyata pemeran utama ini tidak tahu
naskah skenarionya, dan tidak mengenal dengan baik lawan bermainnya.
Pada edisi ketiga ini, kita akan mengungkap lanjutan kepalsuannya dan
kebodohannya tentang ulama-ulama dan imam
-imam syiah. Untuk tidak berpanjang mari kita cermati beberapa isi buku tersebut.
1). Pada halaman 4 (dan berlanjut dihalaman2 berikutnya), ia menulis :
> “Yang penting, saya menyelesaikan
studiku dengan sangat memuaskan, hingga saya mendapat ijazah
(sertifikat) ilmiah dengan mendapat derajat ijtihad dari salah seorang
tokoh yang paling tinggi kedudukannya, yaitu SAYID MUHAMMAD HUSAIN ALI
KASYIF AL-GHITA”….
# Perhatikanlah, Husain Musawi menyebut
“Sayid Muhammad Husain Ali Kasyf al-Ghita, padahal Allamah Kasyif
al-Ghita bukanlah “SAYID”, karena beliau bukanlah keturunan dari
Rasulullah saaw dan Ahlul bait nabi saaw. Sehingga Allamah Kasyf
al-Ghita tidak pernah dipanggil dengan Sayid melainkan dengan “SYEIKH”.
Kita bisa baca semua buku-buku ulama syiah yang besar maupun yang kecil,
semua menyebut dengan “SYEIKH KASYF AL-GHITA”. Bahkan kita bisa lihat
sendiri di dalam karya-karyanya misalnya “Ashl Syiah wa Ushuluha” disana
disebutkan nama SYEIKH MUHAMMAD HUSAIN ALI KASYF AL-GHITA.
Bagaimana mungkin Husain al-Musawi yang
mengaku mujtahid dan menjadi murid Syeikh Kasyif al-Ghita, tidak tahu
tentang silsilah gurunya ini…??? Padahal orang awam syiah sekalipun tahu
perbedaan antara Sayid dengan Syeikh.
2). Pada halman 12, ia menulis :
> “…sebagaimana SAYID MUHAMMAD JAWAD pun mengingkari keberadaannya ketika memberi pengantar buku tersebut”,
# Perhatikanlah, dia menyebut Sayid
Muhammad Jawad, padahal yang benar adalah “SYEIKH MUHAMMAD JAWAD
(MUGHNIYAH)” karena beliau juga bukan keturunan ahlul bait as.
# Masih banyak lagi kesalahannya seperti
menyebut Sayid Ali Gharwi (lihat halaman 26), padahal seharausnya Mirza
Ali Ghuruwi. Begitu juga pada halaman 111 dia menulis “SAYID MUHAMMAD
BAQIR ASH-SHADUQ”..??? Siapa orang ini….??? Apakah maksudnya Syeikh
Shaduq yang bernama asli Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin
Babawaih al-Qummi (gelarnya Syeikh Shaduq)…???? Atau apakah maksudnya
adalah Allamah Sayid Muhammad Baqir Ash-Shadr, salah seorang marja’
syiah di Najaf…?? … ini mungkin hanya salah tulis
3. Tidak hanya disitu ia juga tidak bisa
membedakan antara ulama sunni dan syiah. Bahkan keliru menyebut buku
syiah. Misalnya : Pada halaman 28 dan 29 dia mengutip dari buku “Maqatil
ath-Thalibin” padahal buku tersebut bukan buku syiah. “Maqatil
ath-Thalibin” adalah buku karya Ulama ahlus sunnah Abul Faraj
al-Isfahani al-Umawi.
Itu diantara kekeliruan2 nya menyebut
ulama-ulama syiah. Tapi hal itu masih lumayan. Sebab, tidak hanya sampai
disitu, bahkan Husain al-Musawi yang mengaku mujtahid syiah ini, tidak
bisa membedakan imam2 syiah. Dia kesulitan membedakan Imam-imam syiah
karena terkadang memiliki panggilan yang sama. Perhatikan pernyataanya
berikut ini :
4. Pada halaman 18, ia menulis :
> Amirul mukminin as berkata, “Kalaulah aku bisa membedakan
pengikutku, maka tidak akan aku dapatkan kecuali orang-orang yang
memisahkan diri. Kalaulah akau menguji mereka, maka tidak akan aku
dapatkan kecuali orang-orang murtad. Kalaulah aku menyeleksi mereka,
maka tidak ada yang akan lolos seorang pun dari seribu orang.”
(Al-Kafi/Ar-Raudhah, 8/338)
# Ternyata Husain al-Musawi tidak
mengenal Imam-imam Syiah. Diatas ia menulis “AMIRUL MUKMININ as
berkata”. Perlu diketahui, gelar AMIRUL MUKMININ itu diperuntukkan
kepada Imam Ali bin Abi Thalib as (imam pertama syiah). Setelah kita
periksa ke kitab ar-Raudhah al-Kafi, ternyata tidak terdapat kata
“Amirul Mukminin”, tetapi yang ada adalah “ABUL HASAN”. Di bawah ini
saya tuliskan riwayatnya sbb :
وَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الصُّوفِيِّ قَالَ
حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ بَكْرٍ الْوَاسِطِيُّ قَالَ قَالَ لِي أَبُو
الْحَسَنِ ( عليه السلام ) لَوْ مَيَّزْتُ شِيعَتِي لَمْ أَجِدْهُمْ إِلَّا
وَاصِفَةً وَ لَوِ امْتَحَنْتُهُمْ لَمَا وَجَدْتُهُمْ إِلَّا
مُرْتَدِّينَ وَ لَوْ تَمَحَّصْتُهُمْ لَمَا خَلَصَ مِنَ الْأَلْفِ وَاحِدٌ
وَ لَوْ غَرْبَلْتُهُمْ غَرْبَلَةً لَمْ يَبْقَ مِنْهُمْ إِلَّا مَا كَانَ
لِي إِنَّهُمْ طَالَ مَا اتَّكَوْا عَلَى الْأَرَائِكِ فَقَالُوا نَحْنُ
شِيعَةُ عَلِيٍّ إِنَّمَا شِيعَةُ عَلِيٍّ مَنْ صَدَّقَ قَوْلَهُ فِعْلُهُ .
“Dengan sanad-sanad ini, dari Muhammad
bin Sulaiman, dari Ibrahim bin Abdillah al-Sufi berkata: meyampaikan
kepadaku Musa bin Bakr al-Wasiti berkata : “Abu al-Hasan a.s berkata
kepadaku (Qala li Abul Hasan) : ‘Jika aku menilai syi‘ahku, aku tidak
mendapati mereka melainkan pada namanya/sifatnya saja. Jika aku menguji
mereka, nescaya aku tidak mendapati mereka kecuali orang-orang yang
murtad (murtaddiin). Jika aku periksa mereka dengan cermat, maka tidak
seorangpun yang lulus dari seribu orang. Jika aku seleksi mereka, maka
tidak ada seorangpun yang tersisisa dari mereka selain dari apa yang ada
padaku, sesungguhnya mereka masih duduk di atas bangku-bangku, mereka
berkata : Kami adalah Syi‘ah Ali. Sesungguhnya Syi‘ah Ali adalah orang
yang amalannya membenarkan kata-katanya. (ar-Raudhat al-Kafi hadis no
290)
# Perhatikan, hadits di atas menyebutkan
ABUL HASAN as, bukan Amirul Mukminin. Ketahuilah Abul Hasan as adalah
panggilan utk beberapa imam syiah diantaranya adalah Imam Ali bin Abi
Thalib as (imam pertama), Imam Ali Zainal Abidin as (imam keempat), Imam
Musa al-Kadzhim (imam ketujuh), Imam Ali ar-Ridha (imam kedelapan), dan
Imam Ali al-Hadi (imam kesepuluh).
Sekarang siapakah Abul Hasan yang dimaksud oleh hadits di atas..???
Jawabnya adalah bahwa hadits diatas
berasal dari Imam Musa al-Kadzhim bukan dari Amirul mukminin Imam Ali
bin Abi Thalib as. Sebab, hadits tersebut diriwayatkan oleh Musa bin
Bakr al-Wasithi, dan beliau adalah sahabat Imam Musa al-Kadzhim as (imam
ketujuh syiah).
Bagaimana mungkin, Husain al-Musawi yang
mengaku mujtahid ini, tidak mengenal imamnya sendiri..???? Ini mujtahid
yag salah kaprah….
# Selain itu, perhatikan bagaimana ia
memotong bagian akhir dari riwayat tersebut yang menegaskan, “Kami
adalah Syi‘ah Ali. Sesungguhnya Syi‘ah Ali adalah orang yang amalannya
membenarkan kata-katanya”.
Jika kita perhatikan akhir dari riwayat
tersebut, maka jelaslah bagaimana Imam Musa al-Kadzim menyipati orang2
syiah yg sejati…..
Dimanakah posisi Husain al-Musawi…??? mungkin termasuk yag bagian
pertama dari hadits di atas….yaitu ngaku syiah dan murtaddin yang tidak
lolos seleksi para imam….Wallahu a’lam.
KESALAHAN KESIMPULAN TENTANG ABDULLAH BIN SABA’
Salah satu sebab terjadinya kesalahan
berpikir adalah terlalu cepat mengambil kesimpulan saat belum memahami
sebuah persoalan secara utuh. Banyak orang bisa membaca berita, tetapi
sedikit yang bisa menafsirkan dan menganalisis berita.
Pembahasan tentang Abdullah bin saba’
bisa dinilai dari dua hal yaitu keberadaan Abdullah bin Saba’ dan
pendapat para ulama syiah tentang sosok Abdullah bin Saba’.
1. Keberadaan Abdullah bin Saba’
Para ulama dan ilmuwan muslim baik dari
sunni maupun syiah berbeda pendapat tentang keberadaan sosok Abdullah
bin Saba’. Sebagian menganggapnya ada dan sebagian lagi menganggapnya
sosok dongeng dan fiktif.
Keberadaan Abdullah bin Saba’ disebutkan
baik oleh buku2 syiah maupun buku2 sunni. Jika ditelusuri sumber buku2
syiah ttg Abdulah bin Saba’ terdapat pada karya An-Naubakhti, Firaq
al-Syiah dan al-Asyari al-Qumi, al-Maqqalat wal Firaq. Dan setelah kita
periksa maka ternyata karya an-Naubakhti dan al-Qummi ini tidak
menyebutkan sanadnya dan sumber pengambilannya…shg dianggap bahwa mereka
hanya menuliskan cerita populer tersebut yg beredar dikalangan sunni.
Adapun yg pertama melakukan studi ilmiah
dan istematis ttg Abdullah bin Saba’ adalah Sayid Murtadha al-Askari.
Dan dari hasil penelususrannya tersebut, ia menganggap bahwa cerita ttg
Abdullah bin Saba’ adalah fiktif. Sehingga, ia menolak keberadaan
Abdullah bin saba’.
Adapun dari sunni yang menegaskan bahwa
Ibnu Saba’ adalah fiktif dan dongeng adalah Thaha Husain dalam bukunya
Fitnah al-Kubra dan Ali wa Banuhu, Dr. Hamid Hafna Daud dalam kitabnya
Nadzharat fi al-Kitab al-Khalidah, Muhammad Imarah dalam kitab Tiyarat
al-Fikr al-Islami, Hasan Farhan al-Maliki dalam Nahu Inqadzu al-Tarikh
al-Islami, Abdul Aziz al-Halabi dlm kitabnya Abdullah bin Saba’, Ahmad
Abbas Shalih dalam kitabnya al-Yamin wa al-Yasar fil Islami.
2. Pendapat para ulama Syiah tentang Abdullah bin Saba’
Para ulama syiah dari dulu hingga
sekarang tidak menganggap Abdullah bin Saba’ sebagai tokoh syiah dan
sahabat Imam Ali dan Imam-imam lainnya. Bahkan seluruh ulama syiah
mengecam dan melaknat serta berlepas diri (tabarri) dari pendapat dan
diri Abdullah bin Saba’. Bahkan buku-buku dan pendapat-pendapat yang
dikutip oleh Husain al-Musawi dalam bukunya ini sudah cukup memnunjukkan
sikap para Imam syiah dan ulama syiah tentang Abdullah bin saba’.
Dengan dua catatan di atas, maka jelaslah
persoalan Ibnu Saba’ yang tidak kaitannya dengan mazhab syiah.
Mungkinkah org ditolak keberadaanya atau yang dihina dan dikafirkan oleh
seluruh imam2 syiah dan ulama-ulama syiah dijadikan tokoh panutan dalam
syiah..??? sungguh kesimpulan yang gegabah dan tentu saja salah kaprah.
…
Pada halaman 12, Husain al-Musawi menulis :
> “Abdullah bin Saba’adalah salah satu sebab, bahkan sebab yang
paling utama kebencian sebagian besar orang syiah kepada ahlus sunnah.
# Darimana sumber kesimpulan Husain
al-Musawi ini muncul..??? Sumber satu2nya adalah imajinasinya yang tak
pernah kering. Coba perhatikan, Husain al-Musawi berusaha mempropokasi
pembacanya. Pertanyaan kita apa hubungan antara Abdullah bin Saba’ dan
kebencian kepada ahlu sunnah. Padahal kalau kita perhatikan seluruh
buku2 syiah dan juga buku2 sunni dari yang besar sampai yang kecil tidak
ada satupun yang memuji Abdulah bin Saba’. Semua buku itu mencela dan
menyatakan kesesatan dan kekafiran Abdulah bin Saba’. Jadi sunni dan
syiah sepakat akan kekafiran Abdulah bin Saba’. Seharusnya kesimpulan
yang rasional dari hal itu adalah bahwa ahlussunnah dan syiah sama2
membenci Abdullah bin Saba’. Coba perhatikan enam kutipan kitab syiah
yang ditulisnya dari mulai halaman 12 sampai halaman 15, bukankah semua
isinya menghujat Abdullah bin Saba’..???
Seharusnya, jika dia menyatakan bahwa
syiah adalah pengikut Ibnu Saba’, maka dia harus menyebutkan hadits2
syiah yg memuji Ibnu Saba’..??? tapi sayang dia takkan
menemukannya….wallahu a’lam
SYIAH DAN PENAMAAN RAFIDHAH
Seperti kita lihat dalam bukunya yg saya
bedah di froum diskusi ini, salah satu kebiasaan Husain al-Musawi adalah
menciptakan riwayat palsu atau riwayat lemah dan juga memotong2 riwayat
hadits2 syiah sesuka hatinya utk menciptakan citra buruk syiah. Tapi
propagandanya memang sudah bisa ditebak bagi org2 yg mau menggunakan
sedikit tenaga dan pikirannya.
Diantara yg dipotongnya adalah riwayat ttg penamaan Rafidhah kepada syiah….
– Pada halaman 22 poin 4, Husain al-Musawi menuliskan sbb :
> Sesunguhnya Ahlu Bait menyebut dan
menyifati para pengikut mereka sebagai thagut umat ini, kelompok
sempalan dan pelempar kitab. Kemudian mereka menambahkan atas hal itu
dengan ucapannya, ‘Ingat sesungguhnya laknat Allah atas orang2 yg
zahalim’. Oleh karena itu mereka datang kepada Abu Abdillah as, lalu
berkata kepadanya : ‘Sesungguhnya kami telah dicela dengan celaan yang
sangat berat di atas punggung-punggung kami, matilah terhadapnya
hati-hati kami, para pemimpin menghalalkan darah-darah kami dalam hadits
yang diriwayatkan oleh para ahli fikih mereka. Maka Abu Abdullah
berkata, “Rafidhah”? Mereka menjawab “Ya”. Maka dia berkata, “tidak!
demi Allah bukanlah mereka yang menamai kamu sekalian dengan nama
tersebut, tetapi Allah lah yg menamai kamu sekalian dengan nama
tersebut.” (Al-Kafi, 3/34)
Husain al-Musawi kemudian mengomentari
riwayat tersebut dgn mengatakan, “Abu Abdullah menjelaskan bahwa yg
menamai mereka dengan sebutan rafidhah adalah Allah dan bukan ahlus
sunnah.
——————-
# Perhatikanlah bagaimana ia memgutip
sebagian riwayat dan menyembunyikan riwayat lanjutannya. Setelah saya
periksa teks aslinya ternyata sangat panjang (sampai dua halaman) dan
Husain al-Musawi memotong teksnya sesuka hatinya untuk menunjukkan sisi
negatifnya saja. Padahal hadits ini merupakan pujian bagi orang-orang
syiah. Hadits tersebut terdapat dalam Kitab Raudhat al-Kafi bab Khutbah
Thalutiyah yg merupakan pujian2 dan kelebihan2 org2 syiah.
Perhatikan teks lengkap berikut ini dari“Kitab Raudhat al-Kafi Bab Khutbah Thalutiyyah hdits no 6 sbb :
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ
بْنِ زِيَادٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنْتُ
عِنْدَ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) إِذْ دَخَلَ عَلَيْهِ أَبُو
بَصِيرٍ وَ قَدْ خَفَرَهُ النَّفَسُ فَلَمَّا أَخَذَ مَجْلِسَهُ قَالَ لَهُ
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَا أَبَا مُحَمَّدٍ مَا هَذَا
النَّفَسُ الْعَالِي فَقَالَ جُعِلْتُ فِدَاكَ يَا ابْنَ رَسُولِ اللَّهِ
كَبِرَ سِنِّي وَ دَقَّ عَظْمِي وَ اقْتَرَبَ أَجَلِي مَعَ أَنَّنِي لَسْتُ
أَدْرِي مَا أَرِدُ عَلَيْهِ مِنْ أَمْرِ آخِرَتِي فَقَالَ أَبُو عَبْدِ
اللَّهِ ( عليه السلام ) يَا أَبَا مُحَمَّدٍ وَ إِنَّكَ لَتَقُولُ هَذَا
قَالَ جُعِلْتُ فِدَاكَ وَ كَيْفَ لَا أَقُولُ هَذَا فَقَالَ يَا أَبَا
مُحَمَّدٍ أَ مَا عَلِمْتَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُكْرِمُ الشَّبَابَ
مِنْكُمْ
وَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْكُهُولِ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ فَكَيْفَ
يُكْرِمُ الشَّبَابَ وَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْكُهُولِ فَقَالَ يُكْرِمُ
اللَّهُ الشَّبَابَ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ وَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْكُهُولِ
أَنْ يُحَاسِبَهُمْ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ هَذَا لَنَا خَاصَّةً
أَمْ لِأَهْلِ التَّوْحِيدِ قَالَ فَقَالَ لَا وَ اللَّهِ إِلَّا لَكُمْ
خَاصَّةً دُونَ الْعَالَمِ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ فَإِنَّا قَدْ
نُبِزْنَا نَبْزاً انْكَسَرَتْ لَهُ ظُهُورُنَا وَ مَاتَتْ لَهُ
أَفْئِدَتُنَا وَ اسْتَحَلَّتْ لَهُ الْوُلَاةُ دِمَاءَنَا فِي حَدِيثٍ
رَوَاهُ لَهُمْ فُقَهَاؤُهُمْ قَالَ فَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه
السلام ) الرَّافِضَةُ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ لَا وَ اللَّهِ مَا هُمْ
سَمَّوْكُمْ وَ لَكِنَّ اللَّهَ سَمَّاكُمْ بِهِ أَ مَا عَلِمْتَ يَا أَبَا
مُحَمَّدٍ أَنَّ سَبْعِينَ رَجُلًا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ رَفَضُوا
فِرْعَوْنَ وَ قَوْمَهُ لَمَّا اسْتَبَانَ لَهُمْ ضَلَالُهُمْ فَلَحِقُوا
بِمُوسَى ( عليه السلام ) لَمَّا اسْتَبَانَ لَهُمْ هُدَاهُ فَسُمُّوا فِي
عَسْكَرِ مُوسَى الرَّافِضَةَ لِأَنَّهُمْ رَفَضُوا فِرْعَوْنَ وَ كَانُوا
أَشَدَّ أَهْلِ ذَلِكَ الْعَسْكَرِ عِبَادَةً وَ أَشَدَّهُمْ حُبّاً
لِمُوسَى وَ هَارُونَ وَ ذُرِّيَّتِهِمَا ( عليهما السلام ) فَأَوْحَى
اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ إِلَى مُوسَى ( عليه السلام ) أَنْ أَثْبِتْ لَهُمْ
هَذَا الِاسْمَ فِي التَّوْرَاةِ فَإِنِّي قَدْ سَمَّيْتُهُمْ بِهِ وَ
نَحَلْتُهُمْ إِيَّاهُ فَأَثْبَتَ مُوسَى ( عليه السلام ) الِاسْمَ لَهُمْ
ثُمَّ ذَخَرَ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ لَكُمْ هَذَا الِاسْمَ حَتَّى
نَحَلَكُمُوهُ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ رَفَضُوا الْخَيْرَ وَ رَفَضْتُمُ
الشَّرَّ افْتَرَقَ النَّاسُ كُلَّ فِرْقَةٍ وَ تَشَعَّبُوا كُلَّ شُعْبَةٍ
فَانْشَعَبْتُمْ مَعَ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّكُمْ ( صلى الله عليه وآله )
وَ ذَهَبْتُمْ حَيْثُ ذَهَبُوا وَ اخْتَرْتُمْ مَنِ اخْتَارَ اللَّهُ
لَكُمْ وَ أَرَدْتُمْ مَنْ أَرَادَ اللَّهُ فَأَبْشِرُوا ثُمَّ أَبْشِرُوا
فَأَنْتُمْ وَ اللَّهِ الْمَرْحُومُونَ الْمُتَقَبَّلُ مِنْ مُحْسِنِكُمْ
وَ الْمُتَجَاوَزُ عَنْ مُسِيئِكُمْ مَنْ لَمْ يَأْتِ اللَّهَ عَزَّ وَ
جَلَّ بِمَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَمْ يُتَقَبَّلْ
مِنْهُ حَسَنَةٌ وَ لَمْ يُتَجَاوَزْ لَهُ عَنْ سَيِّئَةٍ يَا أَبَا
مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي
فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ إِنَّ لِلَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ مَلَائِكَةً
يُسْقِطُونَ الذُّنُوبَ عَنْ ظُهُورِ شِيعَتِنَا كَمَا يُسْقِطُ الرِّيحُ
الْوَرَقَ فِي أَوَانِ سُقُوطِهِ وَ ذَلِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَ جَلَّ
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَ مَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ
رَبِّهِمْ وَ يَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا اسْتِغْفَارُهُمْ وَ
اللَّهِ لَكُمْ دُونَ هَذَا الْخَلْقِ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ
سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي قَالَ يَا أَبَا
مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ رِجالٌ صَدَقُوا ما عاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ
مَنْ قَضى نَحْبَهُ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَ ما بَدَّلُوا
تَبْدِيلًا
إِنَّكُمْ وَفَيْتُمْ بِمَا أَخَذَ اللَّهُ عَلَيْهِ مِيثَاقَكُمْ مِنْ
وَلَايَتِنَا وَ إِنَّكُمْ لَمْ تُبَدِّلُوا بِنَا غَيْرَنَا وَ لَوْ لَمْ
تَفْعَلُوا لَعَيَّرَكُمُ اللَّهُ كَمَا عَيَّرَهُمْ حَيْثُ يَقُولُ جَلَّ
ذِكْرُهُ وَ ما وَجَدْنا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَ إِنْ وَجَدْنا
أَكْثَرَهُمْ لَفاسِقِينَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ
قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ
ذَكَرَكُمُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ إِخْواناً عَلى سُرُرٍ
مُتَقابِلِينَ وَ اللَّهِ مَا أَرَادَ بِهَذَا غَيْرَكُمْ يَا أَبَا
مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي
فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ وَ اللَّهِ مَا أَرَادَ بِهَذَا غَيْرَكُمْ
يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ
زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَنَا اللَّهُ عَزَّ وَ
جَلَّ وَ شِيعَتَنَا وَ عَدُوَّنَا فِي آيَةٍ مِنْ كِتَابِهِ فَقَالَ عَزَّ
وَ جَلَّ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَ الَّذِينَ لا
يَعْلَمُونَ إِنَّما يَتَذَكَّرُ أُولُوا الْأَلْبابِ فَنَحْنُ الَّذِينَ
يَعْلَمُونَ وَ عَدُوُّنَا الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ وَ شِيعَتُنَا هُمْ
أُولُو الْأَلْبَابِ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ
جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ وَ اللَّهِ مَا
اسْتَثْنَى اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ بِأَحَدٍ مِنْ أَوْصِيَاءِ
الْأَنْبِيَاءِ وَ لَا أَتْبَاعِهِمْ مَا خَلَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ (
عليه السلام ) وَ شِيعَتَهُ فَقَالَ فِي كِتَابِهِ وَ قَوْلُهُ الْحَقُّ
يَوْمَ لا يُغْنِي مَوْلًى عَنْ مَوْلًى شَيْئاً وَ لا هُمْ يُنْصَرُونَ
إِلَّا مَنْ رَحِمَ اللَّهُ يَعْنِي بِذَلِكَ عَلِيّاً ( عليه السلام ) وَ
شِيعَتَهُ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ
فِدَاكَ زِدْنِي قَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ
تَعَالَى فِي كِتَابِهِ إِذْ يَقُولُ يا عِبادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا
عَلى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَ
اللَّهِ مَا أَرَادَ بِهَذَا غَيْرَكُمْ فَهَلْ سَرَرْتُكَ يَا أَبَا
مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا
مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ إِنَّ عِبادِي
لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطانٌ وَ اللَّهِ مَا أَرَادَ بِهَذَا إِلَّا
الْأَئِمَّةَ ( عليهم السلام ) وَ شِيعَتَهُمْ فَهَلْ سَرَرْتُكَ يَا أَبَا
مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي فَقَالَ يَا أَبَا
مُحَمَّدٍ لَقَدْ ذَكَرَكُمُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ فَأُولئِكَ
مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَ
الصِّدِّيقِينَ وَ الشُّهَداءِ وَ الصَّالِحِينَ وَ حَسُنَ
أُولئِكَ رَفِيقاً فَرَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) فِي الْآيَةِ
النَّبِيُّونَ وَ نَحْنُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ الصِّدِّيقُونَ وَ
الشُّهَدَاءُ وَ أَنْتُمُ الصَّالِحُونَ فَتَسَمَّوْا بِالصَّلَاحِ كَمَا
سَمَّاكُمُ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ
قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي قَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَقَدْ
ذَكَرَكُمُ اللَّهُ إِذْ حَكَى عَنْ عَدُوِّكُمْ فِي النَّارِ بِقَوْلِهِ
وَ قالُوا ما لَنا لا نَرى رِجالًا كُنَّا نَعُدُّهُمْ مِنَ الْأَشْرارِ
أَتَّخَذْناهُمْ سِخْرِيًّا أَمْ زاغَتْ عَنْهُمُ الْأَبْصارُ وَ اللَّهِ
مَا عَنَى وَ لَا أَرَادَ بِهَذَا غَيْرَكُمْ صِرْتُمْ عِنْدَ أَهْلِ هَذَا
الْعَالَمِ شِرَارَ النَّاسِ وَ أَنْتُمْ وَ اللَّهِ فِي الْجَنَّةِ
تُحْبَرُونَ وَ فِي النَّارِ تُطْلَبُونَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ فَهَلْ
سَرَرْتُكَ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي قَالَ يَا أَبَا
مُحَمَّدٍ مَا مِنْ آيَةٍ نَزَلَتْ تَقُودُ إِلَى الْجَنَّةِ وَ لَا
تَذْكُرُ أَهْلَهَا بِخَيْرٍ إِلَّا وَ هِيَ فِينَا وَ فِي شِيعَتِنَا وَ
مَا مِنْ آيَةٍ نَزَلَتْ تَذْكُرُ أَهْلَهَا بِشَرٍّ وَ لَا تَسُوقُ إِلَى
النَّارِ إِلَّا وَ هِيَ فِي عَدُوِّنَا وَ مَنْ خَالَفَنَا فَهَلْ
سَرَرْتُكَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ زِدْنِي
فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ لَيْسَ عَلَى مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا
نَحْنُ وَ شِيعَتُنَا وَ سَائِرُ النَّاسِ مِنْ ذَلِكَ بُرَآءُ يَا أَبَا
مُحَمَّدٍ فَهَلْ سَرَرْتُكَ وَ فِي رِوَايَةٍ أُخْرَى فَقَالَ حَسْبِي .
“Sejumlah sahabat kami, dari Sahal bin
Ziad, dari Muhammad bin Sulaiman, dari ayahnya berkata: Aku berada di
sisi Abu Abdillah as, mendadak Abu Basir datang. Beliau kelihatan
gelisah dengan nafasnya yg sesak. Setelah dia duduk, maka Abu Abdillah
as berkata kepadanya: Wahai Abu Muhammad, mengapa engkau resah seperti
ini? Maka dia menjawab : Aku jadikan diriku sbg tebusan utkmu, wahai
putra Rasulullah, umurku telah tua, tulangku lemah dan ajalku semkain
dekat, tetapi aku belum tahu bagaimana keadaanku di akhirat kelak.?
Abu Abdillah as berkata: Wahai Abu
Muhammad, mengapa engkau berkata seperti itu? Abu Basir berkata: Aku
jadikan diriku sbg tebusan utkmu, mengapa aku tidak boleh berkata
demikian? Maka Imam as berkata: Tidakkah engkau tahu bahwa sesungguhnya
Allah memuliakan para pemuda dan malu kepada golongan tua diantara kamu?
Abu Basir berkata: Aku jadikan diriku sebagai tebusan utkmu, bagaimana
Dia memuliakan para pemuda di kalangan kita dan malu kepada yang tua?
Abu Abdilah as. berkata: “Dia memuliakan
para pemuda diantara kamu supaya Dia tidak menyiksa mereka dan Dia malu
kepada kelompok tua diantara kamu supaya Dia tidak menghisab mereka. Abu
Basir berkata: Aku jadikan diriku sbg tebusanmu, adakah hal ini hanya
khusus untuk kita atau untuk semua ahli tauhid? Abu Abdillah as berkata:
“Tidak, demi Allah hal ini khusus untuk kamu dan tidak untuk yg lain.
Abu Basir berkata: “Aku jadikan diriku sbg tebusan utkmu, kami telah
buruk, punggung kami patah, hati kami mati, penguasa menghalalkan darah
kami dengan hadis2 yang diriwayatkan oleh para fukaha mereka.
Abu Abdillah as. berkata : Rafidhah? Abu
Basir berkata: Ya!. Beliau as. berkata : “Bukan mereka yang menamai kamu
demikain, tetapi Allah swt yang telah menamai kamu dengan nama
tersebut. TIDAKKAH ENGKAU TAHU WAHAI ABU MUHAMMAD, BAHWA ADA 70
LAKI-LAKI BANI ISRAEL BERSAMA FIRA’UN YANG MENGIKUTINYA. KETIKA MEREKA
MELIHAT KESESATAN FIR’AUN DAN PETUNJUK DARI MUSA AS, MAKA MEREKA MENOLAK
(RAFADHU) FIR’AUN.
KEMUDIAN MEREKA MENGIKUTI MUSA DAN BERADA
DALAM NAUNGAN MUSA AS, DAN MEEKA DIKENAL SEBAGAI ORG2 YANG RAJIN
BERIBADAH. MEREKA MENOLAK FIRA’UN. MAKA ALLAH MEWAHYUKAN KEPADA MUSA AS
AGAR MENJADIKAN NAMA ITU UNTUK MEREKA DI DALAM TAURAT.
SESUNGGUHNYA AKU MENJADIKAN NAMA MEREKA,
KEMUDIAN ALLAH MENYIMPAN NAMA TERSEBUT SEHINGGA MEMBERIKAN NAMA TERSEBUT
KEPADA KAMU SEKALIAN. WAHAI ABU MUHAMMAD, MEREKA TELAH MENOLAK KEBAIKAN
SEDANGKAN KAMU SEDANG MENOLAK KEJAHATAN. MANUSIA TERPECAH MENJADI
BEBERAPA GOLONGAN DAN SYIAH, TETAPI KAMU TELAH MENJADI SYIAH AHLUL BAIT
NABIMU. KARENA ITU, KAMU TELAH BERPEGANG DENGAN APA YANG TELAH
DIPERINTAHKAN ALLAH DAN KAMU TELAH MEMILIH APA2 YANG TELAH DIPILIH
ALLAH. MAKA BERGEMBIRALAH KAMU DAN BERITAKAN KABAR GEMBIRA INI KEPADA
MEREKA.
Kemudian, selanjutnya Abu Abdilah as
memberikan kabar gembira dan keutamaan serta kelebihan2 syiah
mereka……silahkan anda baca riwayat di atas…maaf sy gak terjemahkan
seluruhnya… takut kepanjangan..
# Perhatikanlah…bahwa dengan membaca
keseluruhan hadits ini, maka akan dengan jelas terlihat bahwa Husain
al-Musawi berusaha membalikkan fakta yg sebenarnya dengan memotong2
riwayat sesuka hatinya…
Apakah Husain al-Musawi ingin mengatakan
bahwa org2 yg menolak (rafadhu) Firuan adalah org2 sesat dan yg
mengikuti Fira’aun adalah org2 soleh yg selamat….???
Begitulah org2 syiah menolak
pemerintahan2 zalim yg meniru pemerintahan Fira’un. Jika Fir’aun dahulu
kala memeriksa semua rumah utk mencari dan membunuh anak lelaki yg akan
meruntuhkan kekuasaanya… maka penguasa2 masa itu…membunuh para ahlul
bait Rasul saaw. Mereka meracun Hasan as dan membunuh Husain as dan
keluarganya serta sahabat2nya di Karbala…Tidak hanya sampai disitu,
mereka mengawasi setiap Keturunan Rasulullah saaw berikutnya dan
mengawasi para pengiktunya. Mencaci maki ahlul bait dan
pengikutnya…membunuh org2 yg tidak mau mencaci keluarga Nabi saaw.
Sampai2..seperti Firaun di zaman Musa as,
mereka juga mengawasi rumah Imam Hasan al-Askari (Imam kesebelas syiah)
utk mencari tahu kelahiran bayinya al-Imam Muhammad al-Mahdi afs dan
membunuhnya, karena mereka tahu Imam Mahdi dan para pengikutnya akan
meruntuhkan kekuasaan mereka…..org2 syiah inilah yg disebut hadits
tersebut sbg yg menolak (rafadhu) penguasa zalim….apakah org yg menolak
pemimpin2 zalim seperti Firaun itu sesat..??? silahkan anda jawab
sendiri….karena sy rasa tidak perlu diajari lagi.
============================================================================================================================================================
Di dalam Syi’ah, ada 4 kitab hadits, yang terdiri dari:
Al-Kafi
Hadits-hadits dalam kitab dikumpulkan oleh Syaikh Abu Ja’far Muhammad
bin Ya’qub al-Kulaini ar-Razi. Ia adalah cendekiawan Islam yang sangat
menguasai ilmu hadits. Wafat tahun 329 Hijriah Terdapat sekitar 16000
hadits yang berada dalam kitab al-Kafi, dan merupakan jumlah terbanyak
yang berhasil dikumpulkan. Kitab Syi’ah yang terbaik
Man la yahdarul fiqh
Ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein Lahir tahun
305 Hijriah dan wafat tahun 381 Hijriah..Terdapat sekitar 6000 hadits
tentang Syariah…
Tazhibul Ahkam
Ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Hasan al-Tusi Lahir di
Khurasan tahun 385 Hijriah, dan wafat pada tahun 460 Hijriah Terdapat
sekitar 13590 Hadits dalam kitab ini.
Al-Istibshar fima Ikhtilaf minal Akhbar
Ditulis oleh Syakih Abu Ja’far Muhammad bin Hasan al-Tusi..Lahir di
Khurasan tahun 385 Hijriah, dan wafat pada tahun 460 Hijriah..Terkumpul
sekitar 5511 hadits dalam kitab ini.
============================================================================
AL-FURU’ AL-KAFI AL-KULAINI
(Telaah Kritis Atas Kualitas Hadis-hadis Syi’ah)
A. Pendahuluan
Dalam Syi’ah, kitab hadis pertama adalah
kitab Ali Ibn Abi Thalib yang didalamnya memuat-hadis-hadis yang
di-imla’-kan langsung dari Rasulullah SAW tentang halal, haram dan
sebagainya. Kemudian dibukukan oleh Abu Rafi’ al-Qubthi al-Syi’i dalam
kitab al-Sunan, al-Ahkam dan al-Qadaya. Ulama sesudahnya akhirnya
membukukannya ke berbagai macam kitab,[1] salah satunya adalah al-Kafi
fi ‘Ilmi al-Din yang dikalangan Syi’ah merupakan pegangan utama diantara
kitab-kitab yang lain.[2]
Pembahasan tentang kitab al-Kafi karya
al-Kulaini secara keseluruhan telah banyak dilakukan. Baik melalui
komparasi dengan kitab pokok aliran Sunni, tentang kriteria kesahihan
hadis,[3] maupun secara khusus kajian tentang al-Ushul al-Kafi. Namun
sejauh telaah yang penulis lakukan kajian tentang al-Furu’ al-Kafi,
hampir belum ada. Karena itu kajian secara kritis atas kitab tersebut
menjadi sangat urgen untuk dilakukan. Selanjutnya, penulis akan berupaya
memaparkan sekaligus menganalisa terhadap informasi yang ada. Khususnya
pada setting pribadi al-Kulaini dan umumnya pada al-Furu’ al-Kafi
(sistematika, metode dan isi).
B. Setting Biografi al-Kulaini
Pengarang dari kitab al-Kafi adalah Siqat
al-Islam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ya’qub Ibn Ishaq al-Kulaini
al-Raziy.[4] Beliau dilahirkan sekitar tahun 254 H dan atau 260 H di
kampung yang bernama al-Kulain atau al-Kulin di Ray Iran. Tidak banyak
diketahui mengenai kapan tepatnya al-Kulaini lahir. Informasi lain hanya
mengenai tempat tinggal al-Kulaini selain di Iran yaitu pernah mendiami
Baghdad dan Kufah. Ia pindah ke Baghdad karena menjadi ketua ulama atau
pengikut Syi’ah Imam dua belas disana, selama pemerintahan al-Muqtadir.
Beliau hidup di zaman sufara’ al-arba’ah (empat wakil Imam al Mahdi).
Selain itu tahun wafatnya adalah 328 H / 329 H (939/940). Beliau
dikebumikan di pintu masuk Kufah.[5]
Ayah al-Kulaini bernama Ya’qub Ibn Ishaq
atau al-Salsali, seorang tokoh Syi’ah terkemuka di Iran. Di kota inilah
ia mulai mengenyam pendidikan. Al-Kulaini punya pribadi yang unggul dan
banyak dipuji ulama, bahkan ulama mazhab Sunni dan Syi’ah sepakat akan
kebesaran dan kemuliaan al-Kulaini.[6]
Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa
sosok al-Kulaini merupakan sosok fenomenal dimana dia adalah seorang
faqih sekaligus muhaddis yang cemerlang di zamannya. Seorang yang paling
serius, aktif, dan ikhlas dalam menda’wahkan Islam dan menyebarkan
berbagai dimensi kebudayaan dan dijuluki siqat al-Islam.[7]
Al-Kulaini menyusun kitab al-Kafi selama
dua puluh tahun dengan melakukan perjalanan ilmiah untuk mendapatkan
hadis-hadis dari berbagai daerah, seperti Irak, Damaskus, Ba’albak, dan
Talfis. Namun bukan hanya hadis yang ia cari tetapi juga berbagai sumber
dan kodifikasi hadis dari para ulama sebelumnya. Dari sini nampak
adanya usaha yang serius dan besar-besaran.[8]
Imam al-Kulaini –merupakan seseorang yang
ahli hadis mempunyai banyak guru dari kalangan ahl al-bait dalam proses
transmisi hadis, diantara nama gurunya adalah Abdullah Ibnu Umayyah,
Ishaq Ibnu Ya’qub dan lain-lain. Ada beberapa kitab yang telah ditulis
oleh al-Kulaini disamping al-Kufi diantaranya adalah: Kitab tafsir
al-Ru’ya, kitab al-Rijal, kitab al-Rad ala al-Qaramitah, kitab Rasa’il
dan lain-lain.
Banyak ulama yang mengungkap kebesaran
dari al-Kulaini ini diantaranya adalah, Ayatullah Ja’far Subhani
melukiskan dengan matahari dan lainnya sebagai bintang-bintang yang
menghiasi langit. Kaum Syi’ah bersepakat bahwasanya kitab ini merupakan
kitab utama dan diperbolehkan berhujjah dengan dalil-dalil yang ada
didalamnya.[9]
C. Sistematika, Metode dan Isi Kitab al-Furu’ al-Kafi al-Kulaini
Al-Kafi merupakan kitab hadis yang
menyuguhkan berbagai persoalan pokok agama (ushul), cabang-cabang
(furu’) dan taman (rawdhah). Al-Kurki dalam ijazah-nya al-Qadhi Shafi
al-Din ‘Isa, mengatakan, al-Kulaini telah menghimpun hadis-hadis
syar’iyyah dan berbagai rahasia rabbani yang tidak akan didapati di luar
kitab al-Kafi. Kitab ini menjadi pegangan utama dalam mazhab Syi’ah
dalam mencari hujjah keagamaan. Bahkan di antara mereka ada yang
mencukupkan atas kitab tersebut dengan tanpa melakukan ijtihad
sebagaimana terjadi dikalangan ahbariyyun.[10]
Kitab ini disusun dalam jangka waktu yang
cukup panjang, selama 20 tahun yang tidak ada bandingannya.[11]
Al-Kulaini meriwayatkan hadis yang sangat banyak jumlahnya dari berbagai
ulama ahl al-bait. Hadis-hadis yang termuat dalam al-Kafi berjumlah
16.199 buah hadis, yang mencapai tingkat sahih, berjumlah 5.702 buah
hadis, tingkat hasan 144 buah hadis, tingkat muwassaq 1.128 buah hadis,
tingkat qawiy[12] 302 buah hadis, dan tingkat dha’if 9.485 buah
hadis.[13]
Al-Kafi terdiri atas 8 jilid yang terbagi
menjadi tiga puluh lima (35) kitab dan 2355 bab, 2 jilid pertama berisi
tentang al-Ushul (pokok) jilid pertama memuat 1.437 hadis dan jilid
kedua memuat 2.346 hadis, yang berkaitan dengan masalah akidah. 5 jilid
selanjutnya berbicara tentang al-Furu’ (fikih) dan 1 jilid terakhir
memuat 597 hadis yang disebut al-Rawdhah (taman) adalah kumpulan hadis
yang menguraikan berbagai segi dan minat keagamaan serta termasuk
beberapa surat dan khutbah para imam.[14] Juz ini berisi tentang
pernyataan tentang ahl al-bait, ajaran para imam, adab orang-orang
saleh, mutiara hukum dan ilmu, yang tidak mungkin dibiarkan begitu saja.
Dinamakan al-rawdhah (taman) karena berisi hal-hal yang bernilai dan
berharga, yang identik dengan taman yang menjadi tempat tumbuh
bermacam-macam buah dan bungah.[15]
Adapun tema-tema dalam al-Furu’ al-Kafi yang dimulai dalam jilid III terdiri dari 5 kitab yaitu;[16]
Kitab al-Taharah, yang terdiri dari 46 bab dan 340 hadis.
Kitab al-Haid, yang terdiri dari 24 bab dan 93 hadis.
Kitab al-Jana’iz, berisi tentang pemakaman dan hal-hal lain yang terkait
dengan upacara penguburan. Terdiri dari 95 bab dan 545 hadis.
Kitab al-Salah, terdiri dari 103 bab dan 924 buah hadis.
Kitab al-Zakah, terdiri dari 47 bab dan 277 hadis.
Jilid IV terdiri dari 2 kitab yaitu;
Kitab al-Siyam, memuat bab-bab shadaqah
yang terdiri dari 43 bab dan 252 buah hadis. Sedangkan tentang puasa
terdiri dari 83 bab dan 452 hadis.
Kitab al-Hajj dan bab-bab ziarah, terdiri dari 236 bab dan 1486 buah hadis.
Jilid V terdiri dari 3 kitab yaitu;
Kitab al-Jihad, terdiri dari 32 bab dan 149 buah hadis.
Kitab al-Ma’isyah (cara-cara memperoleh kehidupan), terdiri dari 159 bab dan 1061 hadis.
Kitab al-Nikah, terdiri dari 192 bab dan 990 buah hadis.
Jilid VI terdiri dari 9 kitab yaitu;
Kitab al-’aqiqah, terdiri dari 38 bab dan 223 hadis.
Kitab al-Talaq, terdiri dari 82 bab dan 499 buah hadis.
kitab al-’Itq wa al-Tadbir wa al-Kitabah (jenis-jenis budak dan cara memerdekakannya), terdiri dari 19 bab dan 114 hadis.
Kitab al-Sayd (perburuan), terdiri dari 17 bab dan 119 hadis.
Kitab al-Zaba’ih (penyembelihan), terdiri dari 15 bab dan 74 hadis.
Kitab al-At’imah (makanan), terdiri dari 134 bab dan 709 buah hadis.
Kitab al-Asyribah (minuman), terdiri dari 37 bab dan 268 hadis.
Kitab al-Zayy wa al-Tajammul wa al-Muru’ah (pakaian, perhiasan dan kesopanan), terdiri dari 69 bab dan 553 hadis.
Kitab al-Dawajin (hewan piaraan), terdiri dari 13 bab dan 106 hadis.
Jilid VII terdiri dari 7 kitab, yaitu;
Kitab al-Wasaya (wasiat), terdiri dari 39 bab dan 240 hadis.
Kitab al-Mawaris berisi 69 bab dan 309 hadis.
Kitab al-Hudud berisi 63 bab dan 448 hadis.
Kitab al-Diyat (hukum qisas dan rincian cara penebusan jika seseorang melukai secara fisik), terdiri dari 56 bab dan 366 hadis.
Kitab al-Syahadah (kesaksian dalam kasus hukum), terdiri dari 23 bab dan 123 hadis.
Kitab al-Qada wa al-Ahkam (peraturan tentang tingkah laku para hakim dan syarat-syaratnya), terdiri dari 19 bab dan 78 hadis.
Kitab al-Aiman wa al-Nuzur wa al-Kafarat (tentang sumpah, janji dan cara
penebusan kesalahan ketika pihak kedua batal), terdiri dari 18 bab dan
144 hadis.
Jadi isi keseluruhan al-Furu’ al-Kafi
berjumlah 10.474 hadis, dengan perincian jilid III berisi 2049 hadis,
jilid IV berisi 2424 hadis, jilid V berisi 2200 hadis, jilid VI berisi
2727 hadis, dan jilid VII berisi 1074 hadis. Sistematika pembagian kitab
dan bab yang dipakai al-Kulaini sangat sistematis sehingga memudahkan
bagi kaum muslimin khususnya kaum Syi’ah untuk menggunakannya sebagai
referensi yang utama dalam kehidupan mereka.
D. Al-Kafi Cukup ! Walaupun banyak yang tidak shahih
Kitab al-Kafi menjawab kebutuhan para
ahli hadis, fiqih, teologi, juru dakwah, tukang debat (mujadil) dan para
pelajar.[18] Oleh karena itu, maka kitab ini mencakup pokok-pokok agama
ushul, furu’, akhlak, nasehat, etika dan ajaran Islam yang lain.
Al-Kafi adalah suatu kitab koleksi hadis
yang berasal dari Nabi dan para Imam yang diteruskan kepada masyarakat
muslim oleh murid-murid dari para Imam. Nama Al-Kafi mempunyai arti
“cukup”, ini adalah sebuah kitab yang mencakup hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh para Imam Syi’i. Al-Kulaini dalam muqaddimah kitabnya
menjelaskan:
“… Kamu ingin mempunyai suatu buku yang
akan memenuhi kebutuhan religius-mu (kafin), yang meliputi
bermacam-macam pengetahuan tentang agama, yang berguna untuk memberikan
arahan bagi siswa maupun guru. Yang dapat digunakan bagi siapa saja yang
ingin mendapatkan pengetahuan agama dan amaliyyah dan hukum-hukum
menurut nampak hadis (asar) dari orang yang dapat dipercaya (Imam)…”[19]
Dengan melihat sejarah penyusunan kitab
ini yang mencapai 20 tahun dan didukung oleh kondisi sosial politik saat
itu yang merupakan masa yang kondusif bagi Syi’ah. Menurut penulis
adalah sangat wajar jika penyusunan al-Kafi mencapai 16.199 hadis, di
tambah lagi dengan fenomena bahwa para imam berhak meriwayatkan hadis
setelah Nabi wafat.
E. Analisa atas Metode Penulisan al-Furu’ al-Kafi
Ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dalam kitab ini, di antaranya: adalah sebagai berikut;
Adanya peringkasan sanad. Istilah sanad
menurut para ahli hadis Syi’ah adalah para rawi yang menukil hadis
secara berangkai dari awal sumber, baik dari Nabi Saw., para imam, para
sahabat maupun dari yang lainnya yang diperlihatkan kepada Imam, sampai
kepada rawi yang terakhir.[20] Sanad-sanad yang ada dalam kitab ini
kadang ditulis secara lengkap, tetapi terkadang al-Kulaini membuang
sebagian sanad dengan menggunakan kata ashhabuna, fulan, ‘iddah, jama’ah
dan seterusnya. Hal ini dimaksudkan bagi periwayat-periwayat yang sudah
terkenal.[21]
Jika al-Kulaini menyebutkan sahabat kami
dari Ahmad Ibn Muhammad Ibn al-Barqi, maka yang dimaksud adalah Ali Ibn
Ibrahim, Ali Ibn Muhammad Abdullah Ahmad Ibn Abdullah dari ayahnya dan
Ali Ibn al-Husain al-Sa’dabadi. Sedangkan sebutan dari Sahl Ibn Ziyad
adalah Muhammad Ibn Hasan dan Muhammad Ibn ‘Aqil, dan lain-lain. Mereka
adalah para periwayat yang dianggap baik oleh al-Kulaini dan telah
ditulis lengkap pada hadis sebelumnya.
Misalnya dalam kitab al-Furu’ jilid
keenam bab kesembilan mengenai memerdekakan budak, al-Kulaini menegaskan
bahwa yang dimaksud dengan “iddatun min ashabina” ialah ‘Ali Ibn
Ibrahim, Muhammad Ibn Ja’far, Muhammad Ibn Yahya, ‘Ali Ibn Muhammad Ibn
‘Abdullah al-Qummi, Ahmad Ibn Abdillah, ‘Ali Ibn Husain, yang semuanya
dari Ahmad Ibn Muhammad Ibn Khalid dari Usman Ibn Isa.
Peringkasan sanad ini dilandasi atas
keinginan al-Kulaini untuk tidak memperpanjang tulisan, dan dilakukan
hanya pada para periwayat yang dianggap baik dan dipercaya oleh beliau.
Oleh karena itu, jika sanad telah ditulis lengkap pada hadis sebelumnya,
maka selanjutnya al-Kulaini tidak menulisnya secara lengkap.
Adanya para rawi yang bermacam-macam
sampai Imam mereka dan periwayat lain. Jika dibandingkan dengan
hadis-hadis lain diluar Syi’ah berbeda derajat penilaiannya. Dengan
demikian, mereka masih mengakui periwayat hadis dari kalangan lain dan
menganggapnya masih dalam tataran kuat.
F. Kriteria Kesahihan Hadis al-Kulaini
Al-Kulaini dalam menentukan kriteria
kesahihan hadis yang terdapat dalam al-Kafi, menggunakan kriteria
kesahihan hadis yang lazim dipakai oleh para ulama mutaqaddimin, hal ini
dikarenakan masa hidup al-Kulaini termasuk dalam generasi ulama
mutaqaddimin. Sedangkan yang masyhur, ada dua pembagian hadis, pada masa
ulama mutaqaddimin, pada masa kedua tokoh periwayat, Sayyid Ahmad Ibn
Thawus dan Ibn Dawud al-Hulliy. Pembagian hadis ini berkisar pada hadis
mu’tabar dan ghairu mu’tabar. Pembagian ini dipandang dari segi kualitas
eksternal (keakuratan periwayat), seperti kemuktabaran hadis yang
dihubungkan dengan Zurarah, Muhammad Ibn Muslim serta Fudhail Ibn Yasar.
Maka hadis yang berkualitas demikian itu dapat dijadikan hujjah[23].
Sedangkan menurut jumhur Ja’fariyah hadis
terbagi menjadi mutawatir dan ahad. Pengaruh akidah mereka tampak dalam
maksud hadis mutawatir. Karena hadis mutawatir menurut mereka adalah
harus dengan syarat hati orang yang mendengar tidak dicemari syubhat
atau taklid yang mewajibkan menafikan hadis dan maksudnya.[24]
Pengaruh imamah di sini dapat diketahui
ketika mereka menolak hujjah orang-orang yang berbeda dengan mereka
yaitu mazhab yang menafikan ketetapan amir al-mukminin Ali sebagai imam.
Mereka juga berpendapat tentang mutawatir-nya hadis al-saqalain dan
hadis al-ghadir. [25]
Sedangkan hadis Ahad menurut mereka
terbagi dalam empat tingkatan atau empat kategori, yang bertumpu pada
telaah atas sanad (eksternal) dan matan (internal), dan keempat
tingkatan tersebut merupakan pokok bagian yang menjadi rujukan setiap
bagian yang lain. Empat tingkatan itu adalah; sahih, hasan, muwassaq,
dan dha’if. Pembagian inilah yang kemudian berlaku sampai saat ini.[26]
Namun ada sebagian ulama Syi’ah yang mengakui adanya kualitas qawiy
dalam pembagian hadis tersebut, jadi tingkatan kualitas hadis menjadi
lima (5), yaitu:
Hadis Sahih
Hadis sahih menurut mereka adalah, hadis
yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil dalam semua
tingkatan dan jumlahnya berbilang. Dengan kata lain, hadis sahih
menurut mereka adalah hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik
dari imam-imam di kalangan mereka yang ma’shum.[27]
Pengaruh Imamiyah di sini tampak pada
pembatasan imam yang ma’shum dengan persyaratan periwayat harus dari
kalangan Syi’ah Imamiyah. Jadi hadis tidak sampai pada tingkatan sahih
jika para periwayatnya bukan dari Ja’fariyah Isna ‘Asyariyah dalam semua
tingkatan.[28]
Kalangan Syi’ah Imamiyah menjelaskan
sebab adanya persyaratan ini adalah tidak diterima riwayat orang fasiq,
meskipun dari sisi agamanya dia dikatakan sebagai orang yang selalu
menghindari kebohongan. Dengan tetap wajib meneliti riwayat dari orang
fasik dan orang yang berbeda dari kaum Muslimin (maksudnya; selain
Imamiyah). Jika dia dikafirkan maka dia tertolak riwayatnya meskipun
diketahui dia orang adil dan mengharamkan kebohongan.
Menurut al-Mamqani, keadilan pasti
sejalan dengan akidah dan iman, dan menjadi syarat bagi setiap
periwayat. Sejalan dengan firman Allah, “jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.(Q.S
al-Hujurat; 6).
Dari keterangan tersebut dapat
disimpulkan, bahwa iman adalah syarat bagi periwayat dan riwayat orang
fasik wajib diteliti, sedangkan selain pengikut Ja’fariyah adalah kafir
atau fasik, maka riwayatnya tidak mungkin sahih sama sekali. Dari sini
tidak hanya tampak pengaruh imamah, tapi juga tampak sikap ekstrim dan
zindiq.
Hadis Hasan
Hadis hasan menurut Syi’ah adalah hadis
yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dari periwayat adil,
sifat keadilannya sesuai dalam semua atau sebagian tingkatan para rawi
dalam sanadnya.[29]
Dari definisi tersebut tampak bahwa mereka mensyaratkan hadis hasan sebagai berikut;
Bertemu sanadnya kepada imam yang ma’shum tanpa terputus.
Semua periwayatnya dari kelompok Imamiyah.
Semua periwayatnya terpuji dengan pujian yang diterima dan diakui tanpa
mengarah pada kecaman. Dapat dipastikan bahwa bila periwayatnya dikecam,
maka dia tidak diterima dan tidak diakui riwayatnya.
Tidak ada keterangan tentang adilnya
semua periwayat. Sebab jika semua periwayat adil maka hadisnya menjadi
sahih sebagaimana syarat yang ditetapkan di atas.
Semua itu harus sesuai dalam semua atau sebagian rawi dalam sanadnya.
Hadis Muwassaq[30]
Hadis muwassaq yaitu hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang
ma’shum dengan orang yang dinyatakan siqah oleh para pengikut Syi’ah
imamiyah, namun dia rusak akidahnya, seperti dia termasuk salah satu
firqah yang berbeda dengan imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah
dalam semua atau sebagian periwayat, sedangkan lainnya termasuk
periwayat yang sahih.
Definisi ini memberikan pengertian tentang persyaratan sebagai berikut:
Bersambungnya sanad kepada imam yang ma’shum.
Para periwayatnya bukan dari kelompok Imamiyah, tapi mereka dinyatakan siqah oleh ja’fariyah secara khusus.
Sebagian periwayatnya sahih, dan tidak harus dari imamiyah.
Pengaruh akidah mereka tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
Posisi hadis muwassaq diletakkan setelah hadis sahih dan hadis hasan karena adanya periwayat dari selain Ja’fariyah.
Pernyataan siqah harus dari kelompok Ja’fariyah sendiri. Karena bagi
mereka pernyataan siqah dari selain Ja’fariyah tidak cukup, bahkan orang
yang dinyatakan siqah oleh mereka (selain Ja’fariyah) adalah dha’if
menurut mereka.
Al-Mamqani menjelaskan bahwa pengukuhan
siqah harus dari para pengikutnya dengan mengatakan, menerima penilaian
siqah selain imamiyah, jika dia dipilih imam untuk menerima atau
menyampaikan persaksian dalam wasiat, wakaf talak, atau imam mendoakan
rahmat dan ridha kepadanya, atau diberi kekuasaan untuk mengurusi wakaf
atas suatu negeri, atau dijadikan wakil, pembantu tetap atau penulis,
atau diizinkan berfatwa dan memutuskan hukum, atau termasuk syaikh
ijazah[31], atau mendapat kemuliaan dengan melihat imam kedua belas.
Hadis Dha’if
Menurut pandangan Syi’ah, hadis dha’if
adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas.
Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fasik, atau
orang yang tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari
itu, seperti orang yang memalsukan hadis.[32]
Dalam hadis sahih terlihat bahwa mereka
menilai selain Ja’fariyah sebagai orang kafir atau fasik, sehingga
riwayatnya dinyatakan dha’if yang tidak boleh diterima, dan juga tidak
diterima dari selain Ja’fariyah kecuali orang yang dinyatakan siqah oleh
mereka.
Atas dasar itu mereka menolak hadis-hadis
sahih dari tiga khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, dan Usman) dan
sahabat yang lain, tabiin, serta para imam ahli hadis dan fuqaha,
pasalnya mereka tidak percaya dengan akidah imamiyah isna ‘asyariyah.
Sebab riwayat-riwayat sahih yang di dalam sanadnya terdapat para sahabat
senior dan para imam yang amanah, tetapi tidak percaya dengan akidah
dua belas imam, maka riwayat-riwayat tersebut dinyatakan dha’if oleh
kaum Ja’fariyah.
Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if
Adapun hadis-hadis yang dha’if bukan
berarti tidak dapat diamalkan. Keberadaan hadis tersebut dapat
disejajarkan dengan hadis sahih manakala hadis tersebut populer dan
sesuai dengan ajaran mereka. Dengan demikian nampak bahwa terdapat
pengaruh yang kuat atas tradisi-tradisi yang berkembang di kalangan
pengarang kitab. Oleh karena itu, tidak heran banyak tradisi Syi’ah yang
muncul dalam kitab hadis tersebut. Sebagai contoh adalah masalah Haji,
di dalamnya tidak hanya dibahas masalah manasik haji ke Baitullah saja,
melainkan memasukkan hal-hal lain seperti ziarah ke makam Nabi Muhammad
dan para imam mereka.
Hadis Qawiy[33]
Menurut muhaqqiq dan muhaddis al-Nuri,
yang dimaksud dengan tingkat kuat adalah karena sebagian atau semua
tokoh sanadnya adalah orang-orang yang dipuji oleh kalangan Muslim
non-Imami, dan tidak ada seorang pun yang melemahkan hadisnya. Hadis
muwassaq (yang melahirkan kepercaraan), kadang disebut juga dengan qawiy
(kuat) karena kuatnya zhan (dugaan akan kebenarannya), di samping
karena kepercayaan kepadanya.[34]
Tingkatan hadis qawiy ini tidak banyak
dikenal baik oleh kalangan Syi’ah selain Imamiyah maupun kalangan Sunni.
Hal ini dikarenakan jumhur ulama telah sepakat akan pembagian tingkatan
hadis Syi’ah menjadi empat macam. Di samping itu sebagian rawi dari
tingkatan qawiy ini berasal dari non-Imami, sedangkan mereka membatasi
untuk menerima hadis dari selain Imamiyah. Karena syarat utama
diterimanya hadis adalah harus dari kalangan Imamiyah.
G. Kualitas Hadis dalam al-Furu’ al-Kafi
Sebagaimana diketahui bahwa kitab
al-Furu’ al-Kafi mencakup riwayat-riwayat yang berkaitan dengan hukum
fikih. Maka kitab ini sama dengan kitab Faqih Man La Yahdhuruh al-Faqih
karya al-Shadiq dan dua kitab karya al-Thusi yaitu al-Tahzib dan
al-Istibsar. Pengaruh imamah dalam al-Furu’ ini juga sangat kental,
misalnya pada bab haji, al-Kulaini meriwayatkan dari Wahab, ia berkata,
ada sebuah hadis yang menyatakan bahwa orang yang tidak bermazhab
Ja’fariyah kemudian setelah haji dia mengikuti mazhab Ja’fariyah maka
orang tersebut disunahkan mengulang hajinya. Bagi orang Ja’fariyah,
tidak boleh menggantikan haji selain dari Ja’fariyah kecuali terhadap
bapaknya. Sedang dalam berziarah maka disunahkan dengan sunnah muakkad
untuk berziarah ke makam para imam.
Contoh-contoh lain dalam al-Furu’ terdapat pada bab wudhu dan mawaris[35]
· ان العبد اذا توضأ فغسل وجهه تناثرت ذنوب
وجهه واذا غسل يديه الى المرفقين تناثرت عنه ذنوب يديه واذا مسح رجليه او
غسلهما للتقية تناثرت عنه ذنوب رجليه وان قال في اول وضوئه بسم الله الحمن
الرحيم طهرت اعضاؤه كلها من الذنوب وان قال في اخر وضوئه او غسله من
الجناية سبحانك اللهم وبحمدك اشهد ا لا اله الاانت استغفرك واتوب اليك
واشهد ان محمدا عبدك ورسولك واشهد ان عليا وليك وخليفتك بعد نبيك وان
اوليائه خلفائه واوصيائه…..
· عدة من اصحابنا, عن أحمد بن محمد عن ابن محبوب قال: أخبرني ابن بكير عن
زرارة قال: سمعت أبا عبد الله عليه السلام يقول: ولكل جعلنا موالي ممّا ترك
الوالدين والاقربون, قال : إنّما عنّي بذلك أولى الأرحام في الموارث ولم
يعن أولياء النعمة, فأولاهم بالميّت أقربهم إليه من الرحم التي تجرّه إليها
· علي بن ابراهيم عن ابيه ومحمد بن اسماعيل عن الفضل بن شاذان جميعا عن ابن
ابي عمير عن عمر بن اذنيه عن محمد بن مسلم والفضيل بن يسار وبريد العجلي
وزرارة ابن اعين عن ابي جعفر عليه السلام قال: السلام لا تعول ولاتكون اكثر
من ستة.
· وعنه عن محمد بن عيسى بن عبيد عن يونس بن عبد الرحمن عن عمر بن اذنيه مثل ذلك
Dalam riwayat tentang wudhu di atas,
tampak sekali adanya pemalsuan, yaitu dalam redaksi “atau membasuh kedua
kaki karena taqiyah“, dan dalam redaksi “bahwa orang-orang yang
dicintainya (Ali) adalah para khalifahnya dan orang-orang yang
diwasiatkannya”. Maka hubungan pendapat mereka dalam masalah fiqih
dengan mazhab adalah yang menjadikan mereka memalsukan hadis untuk
menolong dua orang (al-Thusi dan al-’Amili).
Al-Thusi dan al-’Amili adalah dua orang
yang mengatakan bahwa membasuh dua kaki diterapkan pada taqiyyah. Jadi
fanatik Syi’ah kepada pendapat sesuai mazhabnya dan kerancauan dalam
pemikiran dan ta’wil telah memunculkan dampak yang sangat buruk, yaitu
pemalsuan hadis.
Sedangkan pada riwayat tentang mawaris
tampak adanya peringkasan sanad. Adapun mengenai kualitas hadis tentang
mawaris ini, secara eksplisit, tidak diketahui karena informasi yang di
dapat dalam al-Furu’ sangat terbatas, tanpa keterangan kualitas
hadisnya. Dan telah diketahui bahwa dalam kitab al-Kafi ini tidaklah
semuanya sahih.
Namun setelah penulis menemukan adanya
pembahasan tentang al-Jarh wa al-Ta’dil dan Ushul al-Hadis fi ‘Ilmi
al-Dirayah dalam tradisi Syi’ah, adanya peringkasan sanad tidaklah
mempengaruhi kualitas hadis. Jadi hadis-hadis tentang mawaris tersebut
masih bisa dipakai dan dapat dijadikan hujah.
Fenomena ini bisa dijadikan bukti, bahwa
hadis-hadis dalam al-Kafi al-Kulaini, khususnya al-Furu’ memang memuat
beragam kualitas, dari sahih, hasan, muwassaq, qawiy, bahkan dha’if.
H. Kesimpulan
Setelah melakukan penelusuran terhadap
kitab-kitab Syi’ah, penulis menemukan kitab ilmu hadis baik sanad maupun
matan dari kalangan Syi’ah yang disusun oleh Ja’far Subhani, keduanya
adalah Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fi ‘ilmi al-Dirayah, dan Kulliyat fi
‘ilmi al-Rijal. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kajian sanad dan matan
telah dikaji secara mendalam. Jika dibandingkan dengan tradisi Sunni,
kajian ulum al-hadis Syi’ah juga bisa dianggap telah matang. Meskipun
pengaruh Imamiyah masih sangat kental. Hal ini terbukti dengan syarat
diterimanya hadis adalah harus dari kalangan Imamiyah. Itulah yang
menjadi syarat utama dalam ilmu al-jarh wa al-Ta’dil.
Demikian juga terhadap kajian matan,
adanya anggapan teologis tentang tidak terhentinya wahyu sepeninggal
Rasulullah, maka imam-imam pada mazhab Syi’ah dapat mengeluarkan hadis.
Jadi, tidak heran jika surat-surat, khutbah para imam dan hal-hal lain
yang disangkutpautkan dengan ajaran agama diposisikan setara dengan
hadis. Ini menjadikan kajian hadis Syi’ah berbeda dengan kalangan Sunni.
Menurut hemat penulis, dua syarat itulah yang menjadikan penyebab
jumlah hadis Syi’ah jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hadis
Sunni.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Gifari, ‘Abd al-Hasan. al-Kulaini wa al-Kafi (t.tp. Muassasah ‘an Nasyr al-Islami, t.th.
Al- Hasani, Hasan Ma’ruf. “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, Jurnal al-Hikmah, no. 6., Juli-Oktober 1992.
Al-Kulaini Abu Ja’far Muhammad Ibn
Ya’qub. Muqaddimah Usul al-kafi al-Kulaini, ditahqiq oleh Ali Akbar
al-Giffari, juz I (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1388.
Al-Kulaini, Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub. Furu’ al-Kafi. Jilid III-VII (t. tp. t. th.).
Al-Salus, Ali Ahmad. Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997.
Dr. I. K. A. Howard, “al-Kutub al-Arba’ah: Empat Kitab Hadis Utama Mazhab ahl al-Bait”, Jurnal al-Huda, vol II, no. 4, 2001.
Esposito, John. L. Ensiklopedi Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001.
Kurniawan,Yudha. “Kriteria Kesahihan
Hadis: Studi Komparatif antara Kitab al-Jami’ al-Sahih dan al-Kafi
al-Kulaini”, Skripsi, Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2003.
Subhani, Ayatullah Ja’far. “Menimbang
Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda:
Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta,
vol II, no. 5. 2001.
_______ Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fi ‘ilmi al-Dirayah. Qumm, Maktabah al-Tauhid, t.th.
Suryadilaga, M. Alfatih. Kitab al-Kafi al-Kulaini, (Yogyakarta: TERAS, 2003.
[1] M. Alfatih Suryadilaga Kitab al-Kafi
al-Kulaini, (Yogyakarta: TERAS, 2003), hlm. 307, lihat juga al-Kulaini
Muqaddimah Usul al-kafi al-Kulaini, ditahqiq oleh Ali Akbar al-Giffari,
juz I (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1388), hlm. 4-5.
[2] Ketiga kitab lainnya adalah Man La Yahduruh al-Faqih, Tahzib al-Hakam, dan al-Ikhtisar fi Ma Ukhtulifa min Akhbar.
[3] Yudha Kurniawan, “Kriteria Kesahihan
Hadis: Studi Komparatif antara Kitab al-Jami’ al-Sahih dan al-Kafi
al-Kulaini”, Skripsi, Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2003.
[4] ‘Abd al-Hasan al-Gifari, al-Kulaini wa al-Kafi (t.tp. Muassasah ‘an Nasyr al-Islami, t.th), hlm. 124
[5] Dr. I. K. A. Howard, “al-Kutub
al-Arba’ah: Empat Kitab Hadis Utama Mazhab ahl al-Bait”, Jurnal al-Huda,
vol II, no. 4, 2001, hlm. 11.
[6] Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah
Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, Jurnal al-Hikmah, no. 6.,
Juli-Oktober 1992, hlm. 25
[7] Ibid
[8] M. Alfatih Suryadilaga Ibid, hlm. 310.
[9] Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang
Hadis-hadis Mazhab Syi’ah: Studi atas Kitab al-Kafi”, Al-Huda Jurnal
Kajian Ilmu-ilmu Islam, vol. II, no. 5, 2001. hlm. 35.
[10] Di dalam Syi’ah sekarang terdapat
dua aliran besar dalam menanggapi masalah-masalah yang berkembang di
Dunia modern dikaitkan dengan ijtihad. Kelompok pertama mengatakan tidak
ada ijtihad. Permasalahan sudah cukup dibahas para imam-imam mereka.
Aliran ini dikenal dengan ahbariyyun atau muhaddisun. Kedua, kelompok
ushuliyyun. Mereka beranggapan bahwa tradisi ijtihad masih terbuka lebar
di kalangan Syi’ah tidak terbatas pada kematangan imam-imam mereka.
Lihat Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah
Al-Kafi” dalam Jurnal al-Hikmah, no, 6, Juli-Oktober 1992, hlm. 29.
[11] Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang
Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda:
Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta,
vol II, no. 5. 2001, hlm. 36.
[12] Ibid.,
[13] Ibid., hlm. 37
[14] Al-Fatih Suryadilaga, “al-Kafi al-Kulaini” dalam Studi Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2003), hlm. 313.
[15] Lihat dalam Mukaddimah al-Rawdhah,
hlm 9. Dikutip dalam Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah;
Studi Perbandingan Hadis & Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar,
1997), hlm. 140.
[16] Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub al-Kulaini, Furu’ al-Kafi. Jilid III-VII (t. tp. t. th.)
[17] John L. Esposito, Ensiklopedi Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 302
[18] Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah
Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, jurnal al-Hikmah, no. 6,
Juli-Oktober, 1992, hlm. 25
[19] Dr. I. K. A. Howard “al-Kutub
al-Arba’ah: Empat Kitab Hadis Utama Mazhab ahl al-Bait”, Jurnal al-Huda,
vol II, no. 4, 2001, hlm. 14.
[20] ‘Abd al-Hasan al-Gifari, al-Kulaini wa al-Kafi (t.tp. Muassasah ‘an Nasyr al-Islami, t.th), hlm. 469-470.
[21] Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah
Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, jurnal al-Hikmah, no. 6,
Juli-Oktober, 1992, hlm. 39.
[22] Ibid
[23] Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang
Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda:
Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta,
vol II, no. 5. 2001, hlm. 38-39.
[24] Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi
Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka
al-Kausar, 1997), hlm. 125
[25] Yang disebut dengan hadis ghadir adalah wasiat Nabi Muhammad bahwa Ali ditunjuk sebagai pengganti beliau. Ibid, hlm.126.
[26] Ja’far Subhani, Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fi ‘ilmi al-Dirayah (Qumm, Maktabah al-Tauhid, t.th), hlm. 48.
[27] Ibid
[28]Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi
Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka
al-Kausar, 1997), hlm. 127.
[29] Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi
Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka
al-Kausar, 1997), hlm. 129.
[30] Muwassaq (yang melahirkan
kepercaraan), kadang disebut juga dengan qawiy (kuat) karena kuatnya
zhan (dugaan akan kebenarannya), di samping karena kepercayaan
kepadanya.
[31] Telah berlaku dalam ungkapan ulama
hadis penyebutan sebagian ulama dengan “syaikh ijazah“, dan yang lain
dengan “syaikh riwayah”. Yang dimaksud dengan yang pertama adalah orang
yang tidak mempunyai kitab yang diriwayatkan dan tidak mempunyai riwayat
yang dinukil, tetapi dia memperbolehkan periwayatan kitab dari
selainnya dan dia disebutkan dalam sanad karena dia bertemu gurunya. Dan
jika dia dha’if maka tidak madharat kedha’ifannya. Sedangkan yang kedua
adalah orang yang diambil riwayatnya dan dikenal sebagai penulis kitab,
dia termasuk orang yang menjadi sandaran riwayat. Orang ini madharat
bila tidak mengetahui riwayat. Untuk diterima riwayatnya, disyaratkan
harus adil.
[32] Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi
Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis & Fiqih, (Jakarta: Pustaka
al-Kausar, 1997), hlm. 130.
[33] Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang
Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda:
Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta,
vol II, no. 5. 2001, hlm. 37
[34] Ibid.
[35] Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub al-Kulaini, Furu’ al-Kafi. Jilid III-VII (t. tp. t. th.), hlm. 76, 80 dan 81
Klik Sumber
Posted by Admin
http://sunnisyiah.blogspot.com/2010/12/korespondensi-muhammad-bin-abu-bakr-dan.html
Des
28
Berikut ini surat Muhammad bin Abu Bakar yang ditujukan kepada
Muawiyah bin Abu Sufyan, sebagaimana yang dinukil di dalam kitab Muruj
adz-Dzahab, karya al-Mas'udi:
Dari Muhammad bin Abu Bakar kepada si tersesat Muawiyah bin Shakhr.
Salam kepada penyerah diri dan yang taat kepada Allah!
Amma ba'du, sesungguhnya Allah SWT, dengan keagungan dan kekuasaan-Nya,
menciptakan makhluk-Nya tanpa main-main. Tiada celah kelemahan dalam
kekuasaan-Nya. Tiada berhajat Dia terhadap hamba-Nya. ia menciptakan
mereka untuk mengabdi kepada-Nya.
Dia menjadikan orang yang tersesat atau orang yang lurus, orang yang malang dan orang yang beruntung.
Kemudian, dari antara mereka, Dia Yang Mahatahu memilih dan
mengkhususkan Muhammad saw dengan pengetahuan-Nya. Dia jugalah yang
memilih Muhammad saw berdasarkan ilmu-Nya sendiri untuk menyampaikan
risalah-Nya dan mengemban wahyu-Nya. Dia mengutusnya sebagai rasul dan
pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.
Dan orang pertama yang menjawab dan mewakilinya, mentaatinya,
mengimaninya, membenarkannya, menyerahkan diri kepada Allah dan menerima
Islam sebagai agamanya —adalah saudaranya dan misannya Ali bin Abi
Thalib— yang membenarkan yang ghaib. Ali mengutamakannya dari semua
kesayangannya, menjaganya pada setiap ketakutan, membantunya dengan
dirinya sendiri pada saat-saat mengerikan, memerangi perangnya, berdamai
demi perdamaiannya, melindungi Rasulullah dengan jiwa raganya siang
maupun malam, menemaninya pada saat-saat yang menggetarkan, kelaparan
serta dihinakan. Jelas tiada yang setara dengannya dalam berjihad, tiada
yang dapat menandinginya di antara para pengikut dan tiada yang
mendekatinya dalam amal perbuatannya.
Dan saya heran melihat engkau hendak menandinginya! Engkau adalah
engkau! Sejak awal Ali unggul dalam setiap kebajikan, paling tulus dalam
niat, keturunannya paling bagus, istrinya adalah wanita utama, dan
pamannya (Ja'far) syahid di perang Mu'tah. Dan seorang pamannya lagi
(Hamzah) adalah penghulu para syuhada perang Uhud, ayahnya adalah
penyokong Rasulullah saw dan istrinya
Dan engkau adalah orang yang terlaknat, anak orang terkutuk. Tiada
hentinya engkau dan ayahmu menghalangi jalan Rasulullah saw. Kamu berdua
berjihad untuk memadamkan nur Ilahi, dan kamu berdua melakukannya
dengan menghasud dan menghimpun manusia, menggunakan kekayaan, dan
mempertengkarkan berbagai suku. Dalam keadaan demikian ayahmu mati. Dan
engkau melanjutkan perbuatannya seperti itu pula.
Dan saksi-saksi perbuatan engkau adalah orang-orang yang meminta-minta
perlindungan engkau, yaitu dari kelompok musuh Rasulullah yang
memberontak, kelompok pemimpin-pemimpin yang munafik dan pemecah belah
dalam melawan Rasulullah saw.
Sebaliknya sebagai saksi bagi Ali dengan keutamaannya yang terang dan
keterdahuluannya (dalam Islam) adalah penolong-penolongnya yang
keutamaan mereka telah disebutkan di dalam Al-Qur'an, yaitu kaum
Muhajirin dan Anshar. Dan mereka itu merupakan pasukan yang berada di
sekitarnya dengan pedang-pedang mereka dan siap menumpahkan darah mereka
untuknya. Mereka melihat keutamaan pada dirinya yang patut ditaati, dan
malapetaka bila mengingkarinya.
Maka mengapa, hai ahli neraka, engkau menyamakan dirimu dengan Ali,
sedang dia adalah pewaris dan pelaksana wasiat Rasulullah saw, ayah
anak-anak Rasulullah saw, pengikut pertama, dan yang terakhir
menyaksikan Rasulullah saw, teman berbincang, penyimpan rahasia dan
serikat Rasulullah saw dalam urusannya. Rasulullah saw memberitahukan
pekerjaan beliau kepadanya, sedang engkau adalah musuh dan anak dari
musuh beliau.
Tiada peduli keuntungan apa pun yang engkau peroleh dari kefasikanmu di
dunia ini dan bahkan Ibnu al-'Ash menghanyutkan engkau dalam
kesesatanmu, akan tampak bahwa waktumu berakhir sudah dan kelicikanmu
tidak akan ampuh lagi. Maka akan menjadi jelas bagimu siapa yang akan
memiliki masa depan yang mulia. Engkau tidak mempunyai harapan akan
pertolongan Allah, yang tidak engkau pikirkan.
Kepada-Nya engkau berbuat licik. Allah menunggu untuk menghadangmu, tetapi kesombonganmu membuat engkau jauh dari Dia.
Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk.[1]
Jawaban Surat Muawiyah Kepada Muhammad bin Abu Bakar
Dari Muawiyah bin Abu Sufyan.
Kepada pencerca ayahnya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar.
Salam kepada yang taat kepada Allah.
Telah sampai kepadaku suratmu, yang menyebut Allah Yang Mahakuasa dan
Nabi pilihan-Nya, dengan kata-kata yang engkau rangkaiakan. Pandanganmu
lemah. Engkau mencerca ayahmu. Engkau menyebut hak Ibnu Abi Thalib dan
keterdahuluan serta kekerabatannya dengan Nabi Allah saw, dan bantuan
serta pertolongannya kepada Nabi pada setiap keadaan genting.
Engkau juga berhujjah dengan keutamaan orang lain dan bukan dengan
keutamaanmu. Aneh, engkau malah mengalihkan keutamaanmu kepada orang
lain.
Di zaman Nabi saw, kami dan ayahmu telah melihat dan tidak memungkiri hak Ibnu Abi Thalib. Keutamaannya jauh di atas kami.
Dan Allah SWT memilih dan mengutamakan Nabi sesuai janji-Nya. Dan
melalui Nabi Dia menampakkan dakwah-Nya dan men-jelaskan hujjah-Nya.
Kemudian Allah mengambil Nabi saw ke sisi-Nya.
Ayahmu dan Faruq-nya (Umar) adalah orang-orang pertama yang merampas haknya. Hal ini diketahui umum.
Kemudian mereka mengajak Ali membaiat Abu Bakar, tetapi Ali menunda dan
memperlambatnya. Mereka marah sekali dan bertindak kasar. Hasrat mereka
bertambah besar. Akhirnya Ali membaiat Abu Bakar dan berdamai dengan
mereka berdua.
Mereka berdua tidak mengajak Ali dalam pemerintahan mereka. Tidak juga
mereka menyampaikan kepadanya rahasia mereka, sampai mereka berdua
meninggal dan berakhirlah kekuasaan mereka.
Kemudian bangkitlah orang ketiga, yaitu Usman yang menuruti tuntunan
mereka. Engkau dan temanmu berbicara tentang kerusakan-kerusakan yang
dilakukan Usman agar orang-orang yang berdosa di propinsi-propinsi
mengembangkan maksud-maksud buruk terhadap-nya dan engkau bangkit
melawannya. Engkau menunjukkan permu-suhanmu kepadanya untuk mencapai
keinginan-keinginamu sendiri.
Hai putra Abu Bakar, berhati-hatilah atas apa yang engkau lakukan.
Jangan engkau menempatkan dirimu melebihi apa yang dapat engkau urusi.
Engkau tidak akan dapat menemukan seseorang yang mempunyai kesabaran
yang lebih besar dari gunung, yang tidak pernah menyerah kepada suatu
peristiwa. Tak ada yang dapat menyamainya.
Ayahmu bekerja sama dengan dia dan mengukuhkan kekuasaannya. Bila kaum
katakkan bahwa tindakanmu benar, (maka ketahuilah) ayahmulah yang
mengambil alih kekuasaan ini, dan kami menjadi sekutunya. Apabila ayahmu
tidak melakukan hal ini, maka kami tidak akan sampai menentang anak Abu
Thalib dan kami akan sudah menyerah kepadanya.
Tetapi kami melihat bahwa ayahmu memperlakukan dia seperti ini dihadapan
kami, dan kami pun mengikutinya; maka cacat apa pun yang akan kamu
dapatkan, maka arahkanlah itu kepada ayahmu sendiri, atau berhentilah
dari turut campur.
Salam bagi orang yang kembali.[2]
Para sejarahwan, terutama Thabari menyembunyikan surat menyurat yang
terjadi di antara Muhammad bin Abu Bakar —salah seorang pengikut Ali—
dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Karena di dalam surat-surat tersebut
terdapat pembuktian akan kedudukan Imam Ali sebagai washi Rasulullah
saw, dan sekaligus menyingkap keadaan para khalifah yang sebenarnya.
Setelah menyebutkan sanad kedua surat tersebut Thabari memberikan alasan
bahwa di dalam kedua surat tersebut terdapat sesuatu yang masyarakat
umum tidak tahan untuk mendengarnya. Kemudian setelah itu datang Ibnu
Atsir, dan dia pun melakukan sebagaiman yang telah dilakukan oleh
Thabari. Selanjut-nya, Ibnu Katsir mengikuti jalan yang telah mereka
tempuh. Dia hanya memberi isyarat kepada surat Muhammad bin Abu Bakar,
namun sama sekali membuang surat tersebut dari penulisan. Ibnu Katsir
mengatakan, "Di dalamnya terdapat kata-kata kasar." Apa yang telah
dilakukan oleh para sejarahwan yang tiga itu adalah seburuk-buruknya
bentuk penyembunyian kebenaran. Ini semua membuktikan dengan amat jelas
akan ketidak-objektifan mereka.
Apa yang mereka maksud dengan perkataan "masyarakat umum tidak tahan untuk mendengarkan isi keduanya"?
Apakah karena masyarakat umum tidak akan meyakini para khalifah lagi setelah mendengar isi kedua surat tersebut?
Anda dapat mengetahui rahasia kenapa Thabari, Ibnu Atsir dan Ibnu Katsir
tidak bersedia menukil surat-surat di atas. Karena surat-surat tersebut
menyingkap perselisihan yang terjadi di kalangan kaum Muslimin dalam
urusan kekhalifahan, yang merupakan hak Ali. Muawiyah mengakui ini,
namun dia beralasan bahwa kekhalifahannya hanyalah kepanjangan
kekhalifahan Abu Bakar. Kemudian Muawiyah mengecam anak Abu Bakar (yaitu
Muhammad bin Abu Bakar) dengan hal ini, sehingga menjadikannya terdiam
tidak dapat bicara dalam urusan ini.
[1] Muruj adz-Dzahab, Mas'udi, jld. 3, hal. 20.
[2] Muruj adz-Dzahab, jld. 3, hal. 20.
http://www.al-shia.org/html/id/books/Kebenaran-Hilang/012.htm