AL
QUR'AN.. ITU FURQON...>> KITABULLAH.. N FIRMAN ALLAH SWT.. RABB
ALAM SEMESTA.. DG BAHASA DAN AYAT2.. YG JELAS.. MELALUI.. JIBRIL..N
DIAJARKAN.. DIWAHYUKAN.. KEPADA RASULULLAH SAWW.. DLM BHS KAUMNYA.. DG
FASIH... >> DIANTARANYA ...AYAT2 MUTASABIHAT.. YG HNY ALLAH N
RASULULLAH SAWW.. YG DIBERI ILMUNYA.. >>
SMW ITU BNYK DI JELASKAN DG SUNNAH RASULULLAH SAWW...N JUGA BAGAIMANA ITU DIAMALKAN.. DAN JUGA OLEH.. PARA AHLULBAYT..N SAHABAT RASULULLAH SAWW... MENGAMALKANNYA..N TABIIN TABI'UTTABIIN..N ULAMA2 HAQ.. N IMAM2 MAZHAB.. >>DIANTARANYA.. JG SEBAB2.. TURUNYA AYAT... YBS...>>>
TENTU SMW ADA KWALIFIKASI.. N SYARATNYA... SIAPA2 N ILMU2 APA SAJA.. UTK BISA.. JADI AHLI.. DALAM TAFSIR.. N TENTU TIDAK SMW ORANG DG SEMBARANGAN BISA MEMBERI TAFSIR..>> INI ADA SYARAT.. N STANDAR KEILMUAN.. YG HARUS DIKUASAI.. SEHINGGA BISA DI KLASIFIKASI SBG AHLI TAFSIR.. ATW MEMAHAMKAN DG KONDISI.. KEKINIAN.. N KONTEMPORER.. SSUAI ZAMAN.. N SITUASI..>> BIASANYA DI BAHAS N DIDISKUSIKAN.. SELENGKAPNYA.. DG BEBERAPA AHLI .. YG SDH QUALIFIED.. N BERILMU ITU.. N MEMBERIKAN.. KESIMPULAN.. ARTI..N MAKNA.. DG ARGUMEN YG LENGKAP.. N RELEVAN..>>
NAMUN CONTOH N ARAHAN NABI.. - RASULULLAH SAWW..ADALAH BAGIAN MUTLAK.. SEPERTI JUGA MAKNA DARI AYAT FURQON ITU.. SEJARAH NUZUL NYA.. N KAITANNYA DG AYAT2 LAIN2NYA YANG RELEVAN.. SERTA BERBAGAI... INFORMASI BAGAIMANA RASULULLAH SAWW... MELAKSANAKANNYA..>>
4 menit baca
Filsafat
SMW ITU BNYK DI JELASKAN DG SUNNAH RASULULLAH SAWW...N JUGA BAGAIMANA ITU DIAMALKAN.. DAN JUGA OLEH.. PARA AHLULBAYT..N SAHABAT RASULULLAH SAWW... MENGAMALKANNYA..N TABIIN TABI'UTTABIIN..N ULAMA2 HAQ.. N IMAM2 MAZHAB.. >>DIANTARANYA.. JG SEBAB2.. TURUNYA AYAT... YBS...>>>
TENTU SMW ADA KWALIFIKASI.. N SYARATNYA... SIAPA2 N ILMU2 APA SAJA.. UTK BISA.. JADI AHLI.. DALAM TAFSIR.. N TENTU TIDAK SMW ORANG DG SEMBARANGAN BISA MEMBERI TAFSIR..>> INI ADA SYARAT.. N STANDAR KEILMUAN.. YG HARUS DIKUASAI.. SEHINGGA BISA DI KLASIFIKASI SBG AHLI TAFSIR.. ATW MEMAHAMKAN DG KONDISI.. KEKINIAN.. N KONTEMPORER.. SSUAI ZAMAN.. N SITUASI..>> BIASANYA DI BAHAS N DIDISKUSIKAN.. SELENGKAPNYA.. DG BEBERAPA AHLI .. YG SDH QUALIFIED.. N BERILMU ITU.. N MEMBERIKAN.. KESIMPULAN.. ARTI..N MAKNA.. DG ARGUMEN YG LENGKAP.. N RELEVAN..>>
NAMUN CONTOH N ARAHAN NABI.. - RASULULLAH SAWW..ADALAH BAGIAN MUTLAK.. SEPERTI JUGA MAKNA DARI AYAT FURQON ITU.. SEJARAH NUZUL NYA.. N KAITANNYA DG AYAT2 LAIN2NYA YANG RELEVAN.. SERTA BERBAGAI... INFORMASI BAGAIMANA RASULULLAH SAWW... MELAKSANAKANNYA..>>
4 menit baca
Filsafat
Hermeneutika Quraish Shihab
Febri Hijroh Mukhlis
18 Oct 2016
18 Oct 2016
558 Views
Foto: Wikipedia
Pro dan kontra hermeneutika di dunia Islam hingga kini sebenarnya juga
belum tuntas. Hermeneutika dipandang sebagai produk Barat untuk merusak
akidah Islam. Di sisi lain hermenutika masih dipandang sebelah mata
karena telah digunakan untuk menafsirkan Bibel sehingga memposisikannya
sebagai Kitab Suci yang tidak kebal dengan kritik.
Sesuai dengan
perkembangannya hermeneutika kemudian melahirkan beberapa aliran.
Pertama, hermeneutika teoritisnya Scheleirmacher dan Dilthey yang
menitikberatkan pada problem pemahaman, pendekatan yang digunakan adalah
linguistik dan psikologis.
Kedua, hermeneutika filosofis Hans
George Gadamer, argument hermeneutiknya menitikberatkan pada bagaimana
tindakan memahami, bukan bagaimana memahami teks dengan benar dan
objektif. Gadamer menganggap hermeneutiknya sebagai risalah ontology,
bukan metodologi.
Ketiga, hermeneutika Kritis Jurgen habermas yang menitik beratkan pada tendensi politis hadirnya sebuah teks.
Keempat, Hermeneutika fenomenologis/interpretatif Paul Ricoer, argument
ini menitik beratkan bahwa teks bisa otonom dari penggagas, teks bisa
menentukan maknanya yang baru terhadap situasi yang baru, bahkan makna
teks mampu melampaui apa yang sebelumnya diinginkan penggagas teks.
Hermenutika selalu memposisikan teks sebagai objek utama, disamping
penulis dan konteks. Bagi kalangan hermeneutika teks terbebas dari
segala hal, bahkan teks bisa otonom dari penulis atau pengarangnya, dan
lebih jauh lagi teks mampu melampaui dimensi pertama kali ia dilahirkan.
Bagi hermeneutika, al-Qur’an harus diposisikan sama seperti teks-teks
lainnya yang historis, sehingga al-Qur’an bisa dikaji secara
komprehensif dalam merespon kekinian problematika kehidupan umat. Akan
tetapi bagi kalangan yang menolak keberadaan hermeneutika, usaha
menempatkan hermeneutika sama dengan teks-teks lainnya telah menodai
sakralitas al-Qur’an itu sendiri, dan hal demikian tidak diperkenankan
dalam keyakinan umat Islam.
Menurut Quraish Shihab, hermeneutika
tidak sepenuhnya salah. Hermeneutika bisa menjadi bagian dari kaidah
untuk menafsirkan al-Qur’an. Bahkan menurut penulis Tafsir al-Misbah
ini, hermeneutika bisa digunakan untuk mempertajam dan menambah wawasan
seputar kaidah penafsiran serta memperkaya khazanah tafsir al-Qur’an.
Sebagaimana uraian Quraish Shihab: “Tidak semua ide yang diketengahkan
oleh pelbagai aliran dan pakar hermeneutika merupakan ide negative.
Pasti ada diantaranya yang baik dan baru serta dapat dimanfaatkan untuk
memperluas wawasan, bahkan memperkaya penafsiran, termasuk penafsiran
al-Qur’an.”
Quraish menerangkan bahwa apa yang sebenarnya dibahas
dalam hermeneutika sebenarnya juga pernah dibahas dalam Ilmu Tafsir
al-Qur’an. Namun yang menjadikannya problematis adalah kemunculannya
kembali, ditambah kedangkalan terhadap wawasan-wawasan kaidah tafsir
al-Qur’an yang pernah berkembang.
Hal demikian yang menjadikan
hermeneutika dengan perwajahan baru dan muncul dari tradisi non-musim
sulit diterima padahal memiliki semangat yang sama dalam melakukan
interpretasi atau menafsirkan teks-teks keagamaan.
Quraish Shihab
menerima hermeneutika sebagai bagian dari kaidah tafsir al-Qur’an tidak
secara langsung melihatnya sebagai produk barat ataupun alat
interpretasi Bibel. Namun, dengan sangat bijaksana Quraish melihat
semangat interpretasi Hermeneutika yang sama dengan kaidah tafsir
al-Qur’an pada umumnya yang pernah berkembang.
Quraish melihat
hermeneutika sebagai salah satu kaidah kekinian dalam memperkaya
khazanah tafsir al-Qur’an dan upaya untuk membaca problem kekinian umat
Islam.
Hermeneutika – sebagaimana kategori perkembangannya –
menempatkan al-Qur’an seperti teks pada umumnya. Ia otonom, tidak kaku,
peafsir memiliki peranan penting dalam dinamika perkembangannya,
penafsiran bersifat historis, makna teks mampu melampaui awal
kelahirannya, dan penafsiran melalui proses dialog.
Catatan Khusus oleh Prof. Quraish Shihab
Semua upaya hermeneutik sepenuhnya identik dengan kaidah tafsir
al-Qur’an, berikut Quraish memberikan catatan-catatan khusus
terhadapnya. Pertama, menyangkut kemandirian teks, walau secara umum ide
ini dapat diterima, tetapi kemandiriannya tidak bisa mutlak. Melainkan
al-Qur’an yang berisikan ayat-ayat tidak bisa dipisahkan dengan
penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad (dalam hal ini hadis).
Pernyataan Quraish demikian merupakan wujud bahwa al-Qur’an mandiri atau
otonom bersama hadits, setiap interpretasi ayat-ayat al-Qur’an dengan
kaidah-kaidah hermeneutika tidak bisa dilepaskan dengan hadis Nabi,
sebagai penjelas dan pelengkap dalam menguraikan ataupu memutuskan suatu
perkara hukum.
Kedua, terkait teks – al-Qur’an – tidak memiliki
makna yang kaku dan permanen. Bagi Quraish ini mengandaikan relativitas
makna teks atau penafsiran. Terlebih lagi penafsiran terhadap teks
terkait erat dengan penafsir dengan pelbagai latar belakang keilmuan,
pasti melahirkan ragam penafsiran yang berbeda-beda. Hal ini benar
adanya, bagi Quraish penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
berbeda-beda tidak bertolak belakang, hanya saja beragam.
Ketiga,
terkait keberadaan mufassir yang tidak bisa lepas dari wawasannya. Hal
ini bagi Quraish memang benar adanya, terbukti khazanah tafsir al-Qur’an
berkembang dengan melahirkan pelbagai corak, seperti corak hukum,
kebahasaan, akidah, filsafat, sosial, budaya dan lain-lain.
Semua
ragam corak tafsir ini lahir karena wawasan dan kecenderungan
masing-masing mufassir yang berbeda-beda. Namun, menurut Quraish,
wawasan, kecenderungan, dan bawah sadar mufassir tidak boleh dilepaskan
begitu saja.
Keempat, terkait penafsir menjadi salah satu
penafsir dan tafsirnya merupakan salah satu tafsir. Bagi Quraish ini
memang benar, seorang penafsir sendiri pastilah memahami secara utuh apa
yang ia tafsirkan. Apalagi penggagas al-Qur’an adalah Allah sendiri,
sudah senyatanya Allah sebagai penggagas memahami dengan sebenarnya
maksud, tujuan dan keinginan dari teks-teks yang hendak disampaikan.
Kelima, terkait makna yang otonom dari teks bahkan melampaui maksud
teks. Dalam hal ini Qurasih memberikan catatan, bahwa dimungkinkan
terjadi kesalahan argument dalam menjelaskan kandungan ayat atau teks,
bisa juga karena kesalahan kandungan ayat atau teks tetapi argumennya
yang salah. Quraish bermaksud bahwa makna teks benar mampu melampaui
makna sebelumnya karena adanya kandungan yang secara argumentatif
mengandung kesalahan.
Keenam, terkait adanya dialog imajinatiif
antara penafsir dan pengarang teks. Bagi Quraish karena teks yang
dimaksud adalah al-Qur’an yang mana pengarangnya adalah Allah maka
dialog imajinatif tentu sulit dan bahkan tidak mungkin dilakukan, hal
ini karena dialog imajinatif mengandaikan lahirnya teks baru. Namun,
Quraish menambahkan dialog imajinatif bisa terjadi sepanjang masa
terutama dalam kitab-kitab tafsir yang berkembang.
Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an
Antara Hermenutika dan kaidah tafsir al-Qur’an memiliki semangat yang
sama dalam menafsirkan teks. Memang ada perbedaan dan persamaan namun
upaya dalam memahami teks secara komprehensif dengan pelbagai perangkat
dari mana pun itu keniscayaan.
Adapun adanya perbedaan, menurut
Quraish Shihab itu semua bisa ditoleransi dan dipertemukan setelah
dilakukan penyesuaian. Hermeneutika memang sejak awal menjadikan
konsepsi penafsiran pada teks yang dikarang oleh manusia, karena
al-Qur’an tidak demikian maka hermeneutika berlaku dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dalam melahirkan teks-teks tafsir.
Dalam
wacana hermeneutika, ada pertanyaan yang banyak menyulut perdebatan,
yakni benarkan al-Qur’an produk budaya? Benarkah dia disusun oleh (Nabi)
Muhammad saw sebagai hasil renungan beliau setelah memikirkan keadaan
masyarakat dan budaya beliau?.
Menurut Quraish Shihab, tidak
mungkin seorang muslim meyakini al-Qur’an sebagai budaya, senyatanya
dalam ayat al-Quran surat al-Haqqah ayat 44-47 dan Yunus ayat 15 bahwa
al-Qur’an bersumber dari Allah bukan lahir dari kebudayaan atau produk
dari budaya tertentu.
Namun, menurut Quraish Shihab, apabila yang
dimaksudkan dengan “al-Qur’an” adalah penafsirannya, maka kekeliruan
itu hanya pada redaksi bukan substansi. Dalam uraian Quraish, bahwa apa
yang ditafsirkan oleh para ulama terdahulu dan kontemporer juga bukanlah
sesuatu yang suci, pasti benar dan tidak dapat dikritik. Demikian pula
pendapat para sahabat Nabi saw. pun tidak bebas dari kritik, bahkan
penolakan, lebih-lebih generasi sesudahnya.
Qurasih Shihab telah
memperhitungkan baik dan buruk hermeneutika sebagai bagian dari kaidah
Tafsir al-Qur’an. Memang Quraish melakukan penyelarasan wacana
hermeneutika dengan ilmu tafsir, namun upayanya ini mampu membuka kran
penolakan-penolakan yang hanya berdimensi kultural, yakni hanya karena
produk Barat dan lain sebagainya.
Menerima hermeneutika sebagai
bagian dari keilmuan kontemporer adalah suatu keniscayaan, menimbangnya
menjadi mitra tafsir mutlak diperlukan.
Pro
dan kontra hermeneutika di dunia Islam hingga kini sebenarnya juga
belum tuntas. Hermeneutika dipandang sebagai produk Barat untuk merusak
akidah Islam. Di sisi lain hermenutika masih dipandang sebelah mata
karena telah…
qureta.com
(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 703-730, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015)
Senin, 10 Oktober 2016
FATWA BUYA HAMKA TENTANG PEMIMPIN KAFIR/NON-MUSLIM MAUPUN MUSLIM (Tafsir Al-Azhar QS. Al-Maidah Ayat 51 dst).
https://osimilikiti.blogspot.co.id/2016/10/fatwa-buya-hamka-pemimpin.html
"Di ayat ini ditegaskan bahwa yang dilarang ialah mengambil mereka jadi pemimpin. Tetapi pergaulan manusia di antara manusia, yang sadar akan diri tidaklah terlarang. Di
dalam pemerintahan Islam, penguasa Islam dibolehkan memberikan
kepercayaan kepada pemeluk agama lain untuk memegang satu jabatan,
sebab pimpinan tertinggi adalah di tangan Islam. Sebab itu tidaklah ada
kekhawatiran. Tetapi kalau timbul khawatir tidaklah boleh." (Buya HAMKA).
Kalian ulama-ulama muda haruslah berhati-hati.
Dalam
masalah-masalah yang mengenai ushalli dan talkin atau qunut, kalian
boleh berkeruk arang (bahasa Minangkabau, ertinya berbesar mulut).
Tetapi yang berkenaan dengan fatwa terhadap susunan masyarakat kalian mesti hati-hati.
Sebab banyak, malahan sebahagian besar hukum agama itu berkaitan dengan kekuasaan.
Sekian kira-kira perkataan beliau.
Ketika
membicarakan kekuasaan itu di mata beliau terbayang perasaan lain, yang
kita sendiri maklum, rasa tidak puas kerana kekuasaan itu tidak ada
dalam kaum Muslimin. (Indonesia belum Merdeka, -pen).
(Buya HAMKA, Ayahku, 182, PTS Publishing House Malaysia, 2015).
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; sebagian mereka adalah
pemimpin-pemimpin dari yang sebagian. Dan barangsiapa yang menjadikan
mereka pemimpin di antara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah
tergolong dari mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk
kepada kaum yang zalim." (QS. Al-Maa'idah: 51).
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin." (pangkal ayat 51).
Disini jelas dalam kata seruan pertama, bahwa bagi orang yang beriman
sudah ada satu konsekuensi sendiri karena imannya. Kalau dia mengaku
beriman pemimpin atau menyerahkan pimpinannya kepada Yahudi atau
Nasrani, atau menyerahkan kepada mereka rahasia yang tidak patut mereka
ketahui, sebab dengan demikian bukanlah penyelesaian yang akan didapat,
melainkan bertambah kusut.
Maka hal yang penting menjadi perhatian kita disini ialah bahwa disebutkan nama golongan mereka, yaitu Yahudi dan Nasrani.
Tidak disebutkan nama kehormatan lain yang kita pakai untuk mereka, yaitu Ahlul Kitab.
Ahli-ahli tafsir yang mendalami balaaghah kata Al-Qur'an mengatakan bahwa disini memang tidak pantas disebut, "Janganlah kamu ambil Ahlul Kitab jadi pemimpin,"
sebab di dalam kitab-kitab yang mereka terima itu pada pokoknya tidak
ada ajaran yang memusuhi tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Dan kalau diri dilepaskan dari ta'ashub (fanatik) golongan, kitab-kitab yang terdahulu itu tidaklah berlawanan dengan Al-Qur'an.
Tetapi setelah mereka itu menonjolkan golongan, dengan menamai diri
Yahudi dan Nasrani, maka Islam (Penyerahan diri kepada Allah Yang Maha
Esa) sudah ditinggalkan, dan dipertahankan golongan, dan pendirian yang
mereka pilih telah salah.
Kemudian terus Allah melanjutkan firman-Nya,
"Sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian."
Maksud ayat ini dalam dan jauh.
Artinya jika pun orang Yahudi dan Nasrani itu yang kamu hubungi atau
kamu angkat menjadi pemimpinmu, meskipun beberapa orang saja, ingatlah
kamu bahwa sebagian yang berdekat dengan kamu itu akan menghubungi
kawannya yang lain, yang tidak kelihatan menonjol ke muka. Sehingga yang
mereka kerjakan di atas itu pada hakikatnya ialah tidak turut dengan
kamu.
Kadang-kadang lebih dahsyat lagi dari itu.
Dalam kepercayaan sangatlah bertentangan di antara Yahudi dengan
Nasrani; Yahudi menuduh Maryam berzina dan Isa al-Masih anak Tuhan, dan
juga Allah sendiri yang menjelma jadi insan.
Sejak masa Isa al-Masih hidup, orang Yahudi memusuhi Nasrani, dan kalau
Nasrani telah kuat kedudukannya, mereka pun membalaskan permusuhan itu
pula dengan kejam sebagaimana selalu tersebut dalam riwayat lama dan
riwayat zaman baru.
Tetapi apabila mereka hendak menghadapi Islam, yang keduanya sangat
membencinya, maka yang setengah mereka akan memimpin setengah yang lain.
Artinya di dalam menghadapi Islam, mereka tidak keberatan bekerja sama.
Dalam gelanggang internasional pun begitu pula. Pada Tahun 1964 Paus
Paulus VI, sebagai Kepala Tertinggi dari Gereja Katolik mengeluarkan
ampunan umum bagi agama Yahudi.
Mereka dibebaskan dari dosa yang selama ini dituduhkan kepada mereka,
yaitu karena usaha merekalah Nabi Isa al-Masih ditangkap oleh Penguasa
Romawi dan diserahkan kepada orang Yahudi, lalu disalib (menurut
kepercayaan mereka).
Sekarang setelah 20 Abad Yahudi dikutuk, Yahudi dihina di mana-mana dalam dunia Kristen, tiba-tiba Paus memberi mereka ampun.
Ampun apakah ini, sehingga pegangan kepercayaan 2.000 Tahun dapat diubah demikian saja?
Tidak lain, adalah Ampunan Politik.
Tenaga Yahudi yang kaya-raya dengan uang harus bersatu-padu dengan Kristen di dalam menghadapi bahaya Islam.
Kemudian, 1967, negeri-negeri Arab diserang Yahudi dalam masa empat hari dan Jerusalem (Baitul Maqdis) dirampas dari tangan kaum Muslimin, padahal telah 14 Abad mereka punyai.
Dan tiba-tiba datanglah gagasan dari Gereja Katolik agar kekuasaan atas
Tanah Suci kaum Muslimin, wilayah turun-temurun selama 1.300 Tahun lebih
dari bangsa Arab supaya diserahkan kepada satu Badan Internasional.
Tegasnya, kepada PBB sedang yang berkuasa penuh dalam PBB itu adalah
negara-negara Kristen. (Perancis Katolik, Amerika Protestan, Inggris
Anglicant), dan Rusia (Komunis).
Mungkin di zaman Rasulullah sendiri yang demikian belum tampak, sebab di
kota Madinah hanya masyarakat Yahudi yang terbesar di antara kedua
agama itu, dan masyarakat Nasrani ada di Syam (Utara) dan Najran-Yaman
(Selatan).
Tetapi keajaiban Al-Qur'an kita rasakan kian terang setelah kita perhatikan jalan sejarah.
Yaitu dalam perkembangan selanjutnya, kedua agama yang sangat bermusuhan
itu dapat bersatu-padu di dalam menghadapi dan memusuhi Islam.
Sampai berdiri negara Israel di tanah orang Islam dengan bantuan
bangsa-bangsa pemeluk Kristen lebih dekat kepada Islam, sebab Islam
membantah keras kepercayaan Yahudi bahwa Nabi Isa anak di luar nikah,
dan memang lahir dengan Maha Kekuasaan Allah dari seorang anak dara yang
suci.
Sedangkan Islam membantah keras kalau Nabi Isa itu dikatakan Tuhan.
Islam mereka musuhi karena tidak mengakui Isa itu Allah, dan Yahudi
mereka rangkul jadi teman, meskipun mereka mengatakan Isa anak zina!
Sambungan ayat,
"Dan barangsiapa yang menjadikan mereka itu pemimpin di antara kamu
maka sesungguhnya dia itu telah termasuk golongan dari mereka."
Barangsiapa yang mengangkat pemeluk agama lain itu jadi pemimpin tidaklah berarti bahwa mereka mengalih agama.
Agama Islam kadang-kadang masih mereka kerjakan, tetapi hakikat Islam telah hilang dari jiwa mereka.
Saking tertariknya dan tergadainya jiwa mereka kepada bangsa yang
memimpinnya tidaklah mereka keberatan lagi menjual agama dan bangsanya
dengan harga murah.
Orang seperti ini banyak terdapat dalam sejarah.
Negerinya hancur, agamanya terdesak dan buat itu dia diberi balas jasa, yaitu bintang!
Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Sahabat Rasulullah Saw, yaitu
mereka telah jadi Yahudi, dan disini telah jadi Nasrani, padahal mereka
tidak sadar.
"Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (ujung ayat 51).
Maka orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya
itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya. Sebagaimana kita maklum
kata-kata zalim itu berasal dari zhulm, artinya gelap.
Mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari dalam jiwa mereka.
Mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh pribadi.
Padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan Allah
bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah
mereka ridha sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka.
Mereka itu bisa senang pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman mereka.
Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian. Sebab umat Islam
yang memegang teguh tauhid, selama-lamanya akan menyimpan dendam dalam
hati, sampai mereka mendapat kemerdekaan kembali.
Dan orang yang jiwanya dipimpin oleh Yahudi dan Nasrani itu akan tetap menjadi kudis dan borok di hadapan mata mereka.
Di ayat ini ditegaskan bahwa yang dilarang ialah mengambil mereka jadi pemimpin.
Tetapi pergaulan manusia di antara manusia, yang sadar akan diri tidaklah terlarang.
Seumpama sekarang ini, negeri-negeri umat Islam telah merdeka. Kita akan
berhubungan dalam soal-soal ekonomi, kita tidak akan mengisolasi diri.
Bahkan di dalam surah Al-Hujuraat ayat 13, dengan tegas Allah berfirman,
"Wahai manusia! Sesungguhnya telah Kami ciptakan kamu itu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan telah Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu kenal-mengenal.
Sesungguhnya kaum yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling
takwa kepada-Nya. Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Tahu, dan Maha
Mengerti." (Al-Hujuraat: 13).
Demikian juga tidak ada larangan berbaik-baik dengan tetangga yang memeluk agama lain.
Rasulullah Saw memberikan contoh pula dalam hal ini. Beliau pernah
menggadaikan Perisainya kepada tetangganya yang Yahudi buat pembeli
gandum. Beliau pernah menyembelih Kambing untuk makanan sendiri, lalu
khadamnya disuruhnya segera menghantarkan sebagian daging kambing itu ke
rumah tetangganya Yahudi itu.
"Maka akan engkau lihat orang-orang yang di dalam hatinya ada
penyakit, berlomba-lombalah mereka kepada mereka." (pangkal ayat 52).
Inilah kalimat yang sangat tepat.
Bahwasanya yang mau menjadikan Yahudi dan Nasrani menjadi pimpinan,
tidak lain daripada orang yang di dalam hatinya telah ada penyakit.
Penyakit, terutama yang pertama ialah munafik.
Yang kedua ialah agamanya itu hanya sekadar nama sebutan belaka, sebab kebetulan mereka keturunan orang Islam.
Bagi mereka sama saja, apakah pimpinan itu Islam atau Yahudi atau Nasrani, asal ada jaminan hidup.
Bahkan sampai kepada zaman kita telah merdeka sekarang ini, masih belum sembuh benar penyakit itu.
"Atas apa yang mereka simpan-simpan dalam hati mereka, menjadi orang-orang yang menyesal." (ujung ayat 52).
Orang yang lantaran di dalam jiwa telah ada penyakit, oleh karena
kelemahannya dan pendirian yang tiada tetap, di waktu melihat musuh
masih kuat, tidak merasa yakin akan kemenangan Islam; sebab itu mereka
menyeberang ke pihak sana.
Kemudian ternyatalah bahwa Islam itu lebih kuat dari apa yang mereka sangka bermula.
Lantaran itu menyesallah mereka, hidup sudah serba-salah dan langkah sudah telanjur.
"Dan berkata orang-orang yang beriman." (pangkal ayat 53).
Kepada sesamanya orang yang beriman pula;
"Orang-orang inikah yang telah bersumpah dengan nama Allah dengan kesungguhan sumpah mereka, bahwa mereka adalah bersama kamu?"
Bertanya orang Mukmin kepada sesamanya Mukmin, inikah orangnya yang
tempo hari telah bersumpah mati-matian, bahwa mereka sungguh-sungguh
beriman pula, sudi sehidup-semati mempertahankan iman dengan saudaranya
Mukmin yang lain, tetapi sekarang karena kelemahan hati, mereka tidak
tahan, lalu berpihak atau mengambil Yahudi atau Nasrani jadi pimpinan.
Orang-orang seperti inilah, yang terdapat di segala zaman, menjadi orang yang terombang-ambing karena dalam jiwa ada penyakit.
Dari sebab iman yang tidak tahan, lalu berpihak atau mengambil Yahudi atau Nasrani jadi pimpinan.
Orang-orang seperti inilah, yang terdapat di segala zaman, menjadi orang yang tidak tahan uji.
Ditinggalkannya barisan iman karena dia belum yakin akan kekuatannya.
Malahan kadang-kadang mereka turut menghalangi perkembangan Islam.
Orang beginilah yang mempermudah sumpah dahulu?
Sungguh sikap mereka mendatangkan heran dalam hati orang yang beriman sehingga menjadi buah pertanyaan di antara sesama Mukmin.
"Telah gugurlah amal-amal mereka, maka jadilah mereka orang-orang yang merugi." (ujung ayat 53).
Amal yang mereka usahakan selama ini sudah gugur, sudah percuma, tidak ada artinya lagi.
Karena di saat yang penting mereka meninggalkan pimpinan Rasul dan mengambil pimpinan Yahudi dan Nasrani.
Peringatan ini dibayangkan di zaman Rasulullah, namun dia akan menjadi
peringatan terus-menerus, selama Islam masih ada di dunia ini dan masih
akan terus berjuang menegakkan iman dan tauhid.
Kekalahan negeri-negeri Islam di zaman penjajahan dahulu, adalah karena bocornya pertahanan jiwa dari sebab orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit.
"Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman menjadi pemimpin, maka sesungguhnya Partai Allah, mereka
itulah yang akan menang." (QS. Al-Maa'idah: 56).
Menanglah mereka, pasti menang!
Menang dalam kejayaan dunia seluruhnya, bukan hanya meliputi satu daerah, tegaklah keadilan di seluruh alam.
Dan inilah cita-cita! Alangkah gelapnya hidup yang tidak mempunyai cita-cita!
Partai Allah itulah yang akan menang akhir kelaknya. Menang di dalam diri pribadi menghadapi perdayaan setan iblis, hawa nafsu.
Menang di dalam menegakkan kebenaran dan menolak kekufuran; menang di dalam menuju dunia yang lebih baik, dan kemenangan terakhir ialah menang mendapatkan surga yang kekal di hari kemudian.
Ayat ini menjadi peringatan keraslah bagi kita kaum Muslimin yang
mengaku dirinya pejuang yang menegakkan cita-cita Islam dalam tanah air
kita Indonesia ini, atau dimana-mana saja pun dalam dunia Islam.
Tadi di atas diterangkan bahwa orang yang beriman tidaklah akan mengambil Yahudi atau Nasrani jadi pemimpinnya.
Di ayat yang sekarang ini dijelaskan lagi, bahwa yang memimpin umat
Islam itu ialah Allah, sesudah itu Rasul, sebab Rasul menjalankan
perintah Allah. Sesudah itu orang yang beriman,
Sebab orang Mukmin itu selalu berusaha menjalankan bimbingan Allah dan Rasul.
Pahamkanlah ujung ayat ini baik-baik.
Yaitu Partai yang akan menang ialah yang menjadikan Allah, dan Rasul, dan orang-orang yang beriman jadi pemimpinnya.
Mafhum Mukhalafah, yaitu sebaliknya dari ayat ini, satu partai umat
Islam yang bukan Allah dan Rasul pemimpinnya, dan bukan pemimpin yang
Mukmin pemimpinnya, tidaklah akan menang, malahan akan kalah.
Hizbullah, atau Partai Allah, mereka itulah yang pasti menang!
Hendaklah dipahamkan benar-benar apa maksud ayat ini.
Sebab yang dimaksud ialah menang kebenaran dan menang keadilan. Bukan menang karena mendapat kedudukan yang empuk.
Sebab dalam kenyataan, banyak sekali orang yang mengkhianati Allah dan Rasul dan mengkhianati amanah,
mereka itu mendapat kemenangan. Tercapai kehendaknya, terpenuhi hawa
nafsunya. Terutama dalam berjuang merebut kekuasaan, orang-orang yang
menjual pendirian, itulah yang menang.
Dan orang-orang yang jujur, berjuang karena Allah; mengenyampingkan
kepentingan diri sendiri dan kepentingan golongan, berjuang menegakkan
cita-cita, mendapat berbagai cobaan dan rintangan,
Sampai banyak pemimpin yang benar-benar menegakkan iman, hidupnya melarat, teraniaya, terbuang, dibunuh, dan dihinakan.
Kalau pandangan kita atas hidup hanya ditujukan kepada kebendaan, memang yang menang ialah pengambil muka dan oportunis, yang sudi menjual iman dan agama dengan harta yang sedikit.
Tidak kenal malu dan tidak memerhatikan nilai-nilai budi.
Tetapi kalau pandangan kita dipusatkan kepada pimpinan yang benar, dan
salahnya yang salah, maka yang bertahan kepada pimpinan Allah dan Rasul
dan orang-orang yang beriman itulah yang menang. Mereka tetap menang
menghadapi segala perdayaan dan bujuk-cumbu dunia, walaupun untuk itu
mereka menderita.
Kita lihat sajalah sejarah Imam-Imam dan Pemuka-Pemuka Islam pada
pendirian, yang tidak takut kepada celaan orang yang mencela, hinaan
orang yang menghina.
Mereka tidak duduk di atas tahta dan tidak bersemayam di dalam istana.
Mereka kadang-kadang hanya duduk di dalam pondok yang reot, tetapi mereka berkuasa dan disegani.
Kehidupan orang semacam itu dipandang sebagai kehidupan yang ideal.
Semua orang yang berakal budi ingin hendak hidup sebagaimana demikian,
tetapi mereka tidak sanggup melakukannya dan menurutinya. Itu saja pun
sudah bukti dari kemenangan.
Oleh sebab itu, maka orang-seorang atau golongan atau partai yang hendak memperjuangkan Islam, sekali-kali janganlah menukar jalan pikirannya dengan jalan pikiran yang bukan Islam.
Pemimpinnya yang pertama ialah Allah, kedua Sunnah Rasulullah, dan ketiga ialah memilih pemimpin yang benar-benar beriman.
Wahum raki'un.
Ujung ayat ini memberi petunjuk supaya pemimpin itu saleh dan taat kepada Allah.
Tidak cukup hanya semata shalat yang kita artikan sembahyang.
Sebab shalat itu bisa juga diartikan berdoa. Bahkan disini ditekankan,
hendaklah dia ruku', hendaklah dia shalat menurut contoh Nabi Muhammad
dengan lengkap syarat dan rukunnya, ruku' dan sujudnya.
Sebab dengan mengerjakan ibadah shalat itu si pemimpin akan bertambah
dekat dengan Allah, dan bertambah datang kepadanya ilham dari Allah,
sehingga segala sepak terjang pimpinannya tidak lepas daripada tuntunan
Allah dan Sunnah Rasul.
Demikianlah konsekuensinya kalau Islam yang hendak diperjuangkan.
Kalau tidak demikian, nama Islam dipakai, tetapi suruhan Allah tidak dikerjakan,
maka yang menang hanyalah diri sendiri untuk kepentingan pribadi, dan
Islam itu sendiri akan tetap ditindas oleh kezaliman manusia.
Dan orang-orang yang mendabik dada mengatakan memperjuangkan Islam itu hanya akan diambil oleh golongan tidak beragama buat penambal-nambal yang robek, untuk mengelabui mata umat Islam awam yang taat dan setia dalam agamanya.
Di dalam pemerintahan Islam, penguasa Islam dibolehkan memberikan
kepercayaan kepada pemeluk agama lain untuk memegang satu jabatan,
sebab pimpinan tertinggi adalah di tangan Islam. Sebab itu tidaklah ada
kekhawatiran. Tetapi kalau timbul khawatir tidaklah boleh.
Pengertian ILmu Tafsir
” Pengertian Ilmu Tafsir”
“PENGERTIAN ILMU TAFSIR & KEGUNAANNYA”
AL-QURAN: PUSARAN KHAZANAH KEILMUAN
Al-Qur’an adalah sekumpulan teks
yang dijadikan sebagai sentral sejarah dan peradaban Islam, dan
sekaligus sebagai dasar ilmu pengetahuan. Peradaban Islam pada
dasarnya adalah kegiatan manusiawi yang banyak didialogkan dengan
realitas, dan dari segi lain, peradaban itu didialogkan dengan teks
(al-Qur’an). Karena itu, teks al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sentral peradaban, sentral ilmu dan pegangan keagamaan. interpretasi (tafsir) adalah salah satu mekanisme kebudayaan yang penting dalam memproduksi ilmu pengetahuan.
Perintah Merenungkan al-Qur’an
Orang-orang yang telah kami beri al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. (QS.al-Baqarah:121) Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad:24) Nabi bersabda, “Al-Qur’an adalah hidangan Allah di bumi-Nya, maka nikmatilah hidangan itu semampunya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Definisi Ilmu Tafsir
هو علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل علي نبيه محمد (ص) وبيان معانيه وإستخراج أحكامه و حكمه . Ilmu yang dengannya diketahui: maksud kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw. Makna-makna al-Qur’an dapat dijelaskan Hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya dapat diketahui
Tujuan/Manfaat Ilmu
Mengetahui makna kata-kata dalam al-Qur’an Menjelaskan maksud setiap ayat Menyingkap hukum dan hikmah yang dikandung al-Qur’an
Menyampaikan pembaca kepada maksud yang diinginkan oleh Syari` (pembuat
syari`at), yaitu Allah SWT, agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akherat
- Ilmu-Ilmu yang Dibutuhkan dalam Penafsiran al-Qur’an (Ulum al-Qur’an)
Ilmu Mawathin al-nuzul Ilmu Tawarikh Ilmu Asbab al-nuzul Ilmu Qira’at Ilmu tajwid Ilmu Gharib al-qur’an Ilmu I’rabil qur’an Ilmu Wujuh wa al-nazhair Ilmu Ma’rifat al-muhkam wa al-mutasyabih Ilmu Al-Nasikh wa al-Mansukh Ilmu Bada’I al-qur’an Ilmu I’jaz al-qur’an. Ilmu Tanasub ayat al-qur’an. Ilmu Aqsam al-qur’an. Ilmu Amtsal al-qur’an. Ilmu Jidal al-qur’an. Ilmu Adab al-tilawah al-qur’an
Zaman Nabi Zaman Sahabat Zaman Tabi`in Zaman Keemasan Islam Zaman Kemunduran Islam Zaman Kemajuan Islam Zaman Modern
Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an. Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya. Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in. Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“. memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah, Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
- SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN
Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain Mengamalkan ilmunya. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu.
Adab Seorang Mufassir:
SEJARAH TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA
Secara etimologi tafsir bisa berarti: الايضاح
والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ
المشكل (menjabarkan kata yang samar ). 1 Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. 2
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang
merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir
telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman
modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi
empat periode yaitu :
Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab
mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara
mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan
mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui
makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya
sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai
orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu
memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan
Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka
memikirkan, (QS. 16:44).Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim
dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah
diatas mimbar membaca firman Allah :
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsaradalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
Tafsir Pada Zaman Shohabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah
Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar
dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus
keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay
bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang
paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib,
Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari
Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. 3 Atau paling kurang adalah Mauquf. 4
Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda
dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka.
Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir
diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir
terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula
ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan
pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab
Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara
murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry
dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah,
sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat
tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya. 5
Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman
Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang
telah dibukukan sebelumnya. Periode Kedua,Pemisahan tafsir dari
hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri.
Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti
yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu
Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad
masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.Periode Ketiga, Membukukan
tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa
menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad
yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya
mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir
tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly (
dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir
menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat
Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya
dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu
membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin
bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya
At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal
Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul
Qur’annya.
Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:
Pertama, Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat
yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an,
penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan
perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para
tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan
riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang
patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode
ini adalah :
- Tafsir At-Tobary ((جامع البيان في تأويل أى القران terbit 12 jilid
- Tafsir Ibnu Katsir (تفسير القران العظيم ) dengan 4 jilid
- Tafsir Al-Baghowy (معالم التنزيل )
- Tafsir Imam As-Suyuty (الدر المنثور في التفسير بالمأثور ) terbit 6 jilid.
Kedua, Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah).
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:
1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah
2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur,
Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir
beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya :
- Tafsir Al-Qurtuby (الجامع لأحكام القران )
- Tafsir Al-Jalalain (تفسير الجلالين)
- Tafsir Al-Baidhowy (أنوارالتنزيل و أسرار التأويل).
Ar-Ro’yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan
hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan
nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para
ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan
keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak
dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab
tafsir yang menggunakan metode ini adalah:
- Tafsir Zamakhsyary (الكشاف عن حقائق التنزيل و عيون الأقاويل في وجوه التأويل )
- Tafsir syiah “Dua belas” seperti (مرأة الأنوار و مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني ) jugaمع البيان لعلوم القران لأبي الفضل الطبراسي
- Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir حقائف التفسير للسلمي و عرائس البيان في حقائق القران لأبي محمد الشيرازي
SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN
Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu
seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang
ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan
pendapat atau madzhabnya.
3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti
penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat
dan perkataan para tabi’in.
4)- Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak
boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara
tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna ataumengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu(grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :
- Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).
- Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
- Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
- Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
- Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
- Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
CONTOH KITAB TAFSIR
DAN
METODOLOGI PENULISANNYA
Nama Kitab : جامع البيان في تفسير أي القران atau yang lebih dikenal dengan
tafsir al-Tabary.
Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H)
Jumlah jilid : 12 jilid besar.
Keistimewaannya : Tafsir ini merupakan referensi
bagi para mufassirin terutama penafsiran binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil
aqli karena istinbath hukum, penjabaran berbagai pendapat dengan dan
mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam. Ia merupakan
tafsir tertua dan terbagus.
Metodologi Penulisannya:
Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan
menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau
dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu
persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang
mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah al-Mufassirin“ mengomentari
metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan
tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih wal mansuh,
menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan
perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih
diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter
pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari
kiamat dan lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah
dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah
sampai abi jad (akhir ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku
mengarang sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab
mengandung satu disiplin keilmuan dengan keajaiban yang mengagungkan
akan diakuinya (karangan tersebut).
2. Tafsir Ibnu Katsir
Nama kitab : تفسير القران العظيم lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir.
Jumlah jilid : 4 Jilid
Nama penulis : Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)
Keutamaanya : Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan
metode bil ma’tsur.
Metodologi penulisannya:
Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
menukil perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat
yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang
lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga
menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut
dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga
sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam
menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha
(ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak
secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini
dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.
3. Tafsir Al-Qurtuby
Nama kitab : الجامع لأحكام القران
Jumlah jilid : 11 jilid dengan daftar isinya.
Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H).
Keutamaanya : Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling
banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, diganti
dengan hukum dan istimbat dalil, serta menerangkan I’rob,
qiroat, nasikh dan mansukh”.
Metode penulisannya :
Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil
tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya
masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil.
Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil,
juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik) dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki.
4. Tafsir Syinqithy
Nama kitab : أضواء البيان في إيضاح القران بالقران
Jumlah jilid : 9 jilid.
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi penulisannya:
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkapi qira’ah as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah) untukistisyhad (pelengkap).
Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut pendapat
disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat.
Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat
menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus
menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.
1 Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal : 323.
2 Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, (Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405) hal. 8
3 Marfu’ adalah perkataaan atau perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
4 Mauquf adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada para shohabat
5 majmu’ fatawa syaikhul Islam ibnu taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi ulumul al-
qur’an ole mann’ al-qotton hal ; 340-342
51. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Inilah contoh teladan yang diberikan kepada kita, supaya memulai suatu pekerjaan penting dengan nama Alloh. Laksana yang teradat bagi suatu kerajaan bila menurunkan suatu perintah, menjadi kuatlah dia kalau dia disampaikan "di atas nama penguasa tertinggi ", raja atau kepala negara, sehingga jelaslah kekuatan kata-kata itu yang bukan atas kehendak yang menyampaikan saja, dan nampak pertanggunganjawab. Nabi Muhammad s.a.w disuruh menyampaikan wahyu itu di atas nama Allah. Dia, Rasul Allah itu, tidaklah lebih dari manusia biasa, tetapi ucapan yang keluar dari mulutnya bukanlah semena-mena atas kehendaknya sendiri, tetapi Allahlah yang memerintahkan. Dari yang empunya nama itu dia mengambil kekuatan.
ALLAH, adalah Zat Yang Maha Tinggi, Maha Mulia dan Maha Kuasa. Zat pencipta seluruh alam langit dan bumi, matahari dan bulan, dan seluruh yang ada. DIA adalah yang wajibul wujud yang sudah pasti ADA, yang mustahil tidak ada.
Menurut keterangan Raghib orang Isfahan, ahli bahasa yang terkenal itu nama yang diberikan untuk Zat Yang Maha Kuasa itu ialah ALLAH. Kalimat ini telah lama dipakai oleh bangsa Arab untuk yang Maha Esa itu. Kalimat ALLAH itu -- demikian kata Raghib -adalah perkembangan dari kalimat Al-Ilah. Yang dalam bahasa melayu kuno dapat diartikan Dewa atau Tuhan. Segala sesuatu yang mereka anggap sakti dan mereka puja mereka sebutkan dia AL-ILAH. Dan kalau hendak menyebutkan banyak Tuhan, mereka pakai kata Jama' yaitu AL-ALIHAH.
Tetapi pikiran murni mereka telah sampai kepada kesimpulan bahwa dari tuhan-tuhan dan dewa-dewa yang mereka katakan banyak itu, hanya SATU jua yang Maha Kuasa, Maha Tinggi, Maha Mulia: Maka untuk mengungkapkan pikiran kepada Yang Maha Esa itu mereka pakailah kalimat ILAH itu, dan supaya lebih khusus kepada Yang Maha Esa itu mereka cantumkan dipangkalnya ALIF dan LAM pengenalan (Alif-Lam-Ta'rif), yaitu AL menjadi AL-ILAH. Lalu mereka buangkan huruf hamzah yang di tengah, AL-I-LAH menjadi ALLAH. Dengan menyebut nama Alah tidak ada lagi yang mereka maksud melainkan Zat Yang Maha Esa. Maha Tinggi, Yang Berdiri sendirinya itulah , dan tidak lagi mereka pakai untuk yang lain. Tidak ada satu berhalapun yang mereka namai ALLAH.
Dalam al-Qur'an banyak bertemu ayat-ayat yang menerangkan, jika Nabi Muhammad s.a.w bertanya kepada musyrikin penyembah berhala itu siapa yang menjadikan semuanya ini pasti mereka akan menjawab : "Allahlah yang menciptakan semuanya !"
Dalam bahasa Melayu kalimat yang seperti Rah itu ialah dewa dan tuhan. Pada batu bersurat Trengganu yang ditulis dengan huruf Arab, kira- kira tahun 1303 Masehi, kalimat Alloh Subhanahu Wa Ta'ala telah diartikan dengan Dewata Mulia Raya. (Batu bersurat itu sekarang disimpan di Museum Kuala Lumpur).
Inilah yang kita rnohonkan dengan Isti'anah kepada Tuhan, dengan berpedoman kepada al-Qur'a.n. Kita mohonkan, tunjuki kiranya kami mana yang benar, karena yang benar hanya satu, tidak terbilang. Metode atas rencana yang benar di dalam menegakkan akhlak, budi bahasa, pergaulan hidup, filsafat, Iqtishad (perekonomian), ijtima' (kemasyarakatan) dan siasat (pohtik) dan sebagainya. Sebab jalan di atas dunia ini terlalu banyak simpang siurnya jangan sampai kita menjadi "Datuk segala Iya", atau sebagai pucuk aru yang mudah dicondongkan angin ke mana dia berkisar. Minta ditunjuki jalan tengah yang lurus yang tidak menghabiskan tenaga dengan percuma : "Arang habis besi binasa".
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ
Perhatian kita jangan hanya ditujukan kepada Yahudi dan Nasraninya saja, tetapi hendaklah kita tilik sebab mereka kena murka dan sebab mereka tersesat. Yahudi dimurkai, sebab mereka selalu mengingkari segala petunjuk yang dibawa oleh Rasul mereka, kisah pengingkaran Yahudi itu tersebut di dalam kitab-kitab mereka sendiri sampai sekarang, sehingga Nabi Musa pernah mengatakan bahwa mereka itu " keras tengkuk", tak mau tunduk, sampai mereka membunuh Nabi-nabi. Sebab itu Allah murka.
Nasrani tersesat karena sangat cinta kepada Nabi Isa al-Masih, mereka katakan Isa itu anak Allah, bahkan Allah sendiri menjelma menjadi anak, datang ke dunia menebus dosa manusia.
Dan sebuah Hadits lagi dari Ubadah juga; dengan lafadz lain:
http://sultonimubin.blogspot.co.id/2012/09/al-maidah-ayat-51-60-dan-terjemah.html
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut
nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
51. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
(51) Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.
52. فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ
52. فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ
(52) Maka kamu akan
melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik)
bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami
takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan
kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka
karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam
diri mereka.
53. وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ
53. وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ
(53) Dan orang-orang
yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah
sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta
kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang
yang merugi.
54. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
54. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
(54) Hai orang-orang
yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
55. إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
55. إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
(55) Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
56. وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
56. وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
(56) Dan barang
siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.
57. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
57. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
(57) Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang
membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang
yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang
musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang
beriman.
58. وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
58. وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
(58) Dan apabila
kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah
ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum
yang tidak mau mempergunakan akal.
59. قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ هَلْ تَنْقِمُونَ مِنَّا إِلا أَنْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلُ وَأَنَّ أَكْثَرَكُمْ فَاسِقُونَ
59. قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ هَلْ تَنْقِمُونَ مِنَّا إِلا أَنْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلُ وَأَنَّ أَكْثَرَكُمْ فَاسِقُونَ
(59) Katakanlah:
"Hai Ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami
beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa
yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar
orang-orang yang fasik?"
60. قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
60. قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
(60) Katakanlah:
"Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk
pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang
yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera
dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?" Mereka itu lebih buruk
tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.
Keutamaan Surat Al-Fatihah
Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
Makna bacaan Basmalah
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.
***
Penyusun: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Dukung pendidikan Islam yang berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih dengan mendukung pembangunan SDIT YaaBunayya Yogyakarta http://bit.ly/YaaBunayya
Keutamaan Surat Al-Fatihah
Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz
أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُ
“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
ً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).Makna bacaan Basmalah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِ
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.
***
Penyusun: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Dukung pendidikan Islam yang berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih dengan mendukung pembangunan SDIT YaaBunayya Yogyakarta http://bit.ly/YaaBunayya
001 AlFatihah
http://tafsir-alazhar.blogspot.co.id/2012/05/001-alfatihah.html
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
(1) Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang.
اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
(2) Segala puji-pujian untuk Allah, Pemelihara semesta alam.
ALFATIHAH artinya ialah pembukaan .
Surat inipun dinamai patihatul-kitab , yang berarti pembukaan kitab , karena kitab al-Qur'an dimulai atau dibuka dengan surat ini .Dia yang mulai ditulis di
dalam Mushhaf , dan dia yang mulai dibaca ketika tilawatil Qur'an ,
meskipun bukan dia surat yang mula-mula diturunkan kepada Nabi Muhammad
s.a.w.
Nama Surat al- Fatihah ini memang telah mashur sejak permulaan nubuwwat.
Adapun
tempat dia diturunkan , pendapat yang lebih kuat ialah yang menyatakan
bahwa surat ini diturunkan di Mekkah. Al-Wahidi menulis di dalam
kitabnya Asbabun-Nuzul dan
as-Tsa'labi di dalam tafsirnya riwayat dari Ali bin Abu Thalib , dia
berkata bahwa kitab ini diturunkan di Mekkah, dari dalam suatu
perbendaharaan di bawah 'Arsy .
Menurut suatu riwayat lagi dari Abu Syaibah di dalam al-Mushannaf dan Abu Nu'aim dan al-Baihaqi di dalamDalailun- Nubuwwah, dan
as-Tsa'labi dan al-Wahidi dari hadits Amer bin Syurahail , bahwa
setelah Rasulullah s.a.w mengeluhkan pengalamannya di dalam gua itu
setelah menerima wahyu pertama, kepada Khadijah, lalu beliau dibawa oleh
Khadijah kepada Waraqah, maka beliau ceritakan kepadanya, bahwa apabila
dia telah memencil seorang diri didengarnya suara dari belakangnya: "Ya
Muhammad, ya Muhammad, ya Muhamad ! Mendengar suara itu akupun lari."
Maka berkatalah Waraqah : "Jangan engkau berbuat begitu; tetapi jika
engkau dengar suara itu , tetap tenanglah engkau, sehingga dapat engkau
dengar apa lanjutan perkataannya itu ".
Selanjutnya Rasulullah s.a.w berkata: "Maka datang lagi dia dan terdengar lagi suara itu : "Ya Muhammad ! Katakanlah : Bismillahir-Rahmanir-Rahim, Alhamdulillahi-Rabbil`Alamin, sehingga sampai kepada Waladh-Dhaalin".Demikian Hadits itu.
Abu Nu'aim di dalam ad-Dalaail meriwayatkan
pula tentang seorang laki-laki dari Bani Salamah, dia berkata :
"Tatkala pemuda pemuda Bani Salamah masuk Islam , dan Islam pula anak
dari Amer Jumawwah, berkatalah istri Amer itu kepadanya : "Sukakah
engkau mendengarkan dari ayah engkau sesuatu yang telah diriwayatkan
dari padanya ? "Anak itu lalu bertanya kepada ayahnya apakah agaknya
riwayat tersebut lalu dibacanya : "Alhamdulillahi Rabbil `Alamin" (sampai ke akhir).
Sedang kejadian itu ialah di Mekkah.
Ibnu
al-Anbari pun meriwayatkan bahwa dia menerirna riwayat dari Ubadah bin
as-Shamit bahwa surat Fatihatul-Kitab ini memang diturunkan di Mekkah.
Sungguhpun demikian ada juga satu riwayat yang diterima oleh
perawi-perawinya dari Mujahid , bahwa beliau ini berpendapat bahwa surat
ini diturunkan di Madinah .
Tetapi,
entah karena sengaja hendak mengumpulkan di antara dua pendapat, ada
pula segolongan yang menyatakan bahwa Surat diturunkan dua kali, pertama
di Mekkah, kemudian diturunkan sekali lagi di Madinah.
Tetapi
menjadi lebih kuatlah pendapat golongan yang terbesar tadi bila kita
ingat bahwa sembahyang lima waktu mulai di fardhukan ialah sejak di
Mekkah , sedang sembahyang itu dianggap tidak sah kalau tidak membaca
al-Fatihah menurut Hadits :
"Tidaklah
(sah) sembahyang bagi siapa yang tidak membaca Fatihatul Kitab."
(Hadits ini dirawikan oleh al-Jama'ah, daripada Ubadah bin as Shamit).
Dia termasuk satu Surat yang mula-mula turun. Meskipun Iqra' sebagai lima ayat permulaan dari Surat al-`Alaq yang terlebih dahulu turun, kemudian itu pangkal surat Ya Ayyuhal Muddatstsir, Kemudian itu pangkal surat Ya Ayyuhal Muzzammil, namun
turunnya ayat-ayat itu terpotong-potong. Tidak satu Surat lengkap. Maka
al-Fatihah sebagai surat yang terdiri dari tujuh ayat, ialah Surat
lengkap yang mula-mula sekali turun di Mekkah.
Di
dalam Surat 15 (al-Hijr), ayat 87 ada disebut "Tujuh yang diulang-ulang
(Sab'an minal matsaani). Menurut Ibnu Katsir yang dimaksud ialah Surat
al -Fatihah ini juga, sebab al-Fatihah dengan ketujuh ayatnya inilah
yang diulang-ulangi tiap-tiap rakaat sembahyang, baik yang fardhu
ataupun yang sunnat. Oleh sebab itu maka Sab'ul Matsaani , adalah nama Surat ini juga.
Di
dalam Surat 3 (Ali-Imran) ayat 7, ada disebut Ummul Kitab, ibu dari
kitab. Menurut Imam Bukhari di dalam permulaan tafsirnya, yang
dinamaiUmmul Kitab itu ialah al- Fatihah ini, sebab dia yang mula
ditulis dalam sekalian Mushaf dan dia yang mulai dibaca di dalam
sembahyang. Cuma Ibnu Sirin yang kurang sesuai dengan penamaan demikian.
Dia lebih sesuai jika dinamai Fatihatul Kitab saja. Sebab di dalam Surat 13 (ar-Ra'ad) ayat 39 terang dikatakan bahwa Ummul Kitab yang sebenarnya ada di sisi Allah.
Tetapi
beberapa Ulama lagi tidak keberatan menamainya juga Ummul Qur'an,
artinya ibu dari seluruh isi al-Qur'an, karena ada sebuah Hadits yang
dirawikan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah s.a.w
bersabda :
"Dia adalah ibu al-Qur'an , dan dia adalah Fatihatul kitab dan dia adalah tujuh yang diulang-ulang.
Penulis Tafsiral-Kasysyaaf menyebutkan lagi namanya yang lain, yaitu al Kanz(Perbendaharaan), al- Wafiyah (yang melengkapi), al Hamd (puji-pujian) dan Surat as-Shalah (sembahyang). Dan menurut riwayat as-Tsaalabi dari Sufyan bin Uyaynah, Surat inipun bernama al- Waqiyah (Pemelihara
dari kesesatan), Sebab dia mencukupi Suratsurat yang lain, sedang
Surat-surat yang lain tidak mencukupi kalau belum bertali dengan dia.
Tadi dia beri namaPerbendaharaan, karena menurut riwayat All bin Abu Thalib tadi, dia diturunkan dari Perbendaharaan di bawah Arsy.
Dia bernama Melengkapi, sebab seluruh Syariat lengkapnya tersimpul dalamnya. Dia bernama Puji pujian, sebab dipangkali dengan puji kepada Allah. Dan dia bernama Surat Sembahyang, karena sembahyang tidak sah kalau dia tidak dibaca.
Bilamana
kita kelak telah sampai kapada penafsiran isinya, dapatlah kita fahami
bahwa segala nama itu memang sesuai dengan dia. Apatah lagi pokok ajaran
Islam yang sejati, yang menjadi ibu dari segala pelajaran, yaitu
Tauhid, telah menjadi isi dari ayat-ayatnya itu pertama sampai akhir.
Tidak
ada puji, apapun macamnya puji untuk yang lain, hanya untuk Allah
semata-mata. Dan di dalam ayat itu telah tersebut Tuhan sebagai Robbi,
atau Robbun, yang berarti Pemelihara, Pengasuh, Pendidik dan Penyubur.
Diikuti oleh ayat yang menyebut dua nama Alloh, yaitu ArRohman, Yang Maha Murah dan ArRohim Yang
Maha Penyayang, nampaklah betapa pertalian Khaliq dengan MakhlukNya,
yang kelak di dalam al-Qur'an akan diuraikan berulang-ulang. Kemudian
pokok ajaran utama dari al Quran ialah tentang hari pembalasan, Hari Kiamat, Hari Berbangkit, dari ilal syurga dan neraka; semuanya ini telah tersimpul dalam ayat " Maliki yaumiddin" yang mempunyai hari pembalasan.
Sebagai
kesempatan ibadah kepada Allah, dan tidak ada ibadat buat yang lain,
yaitu isi yang sejati dari Tauhid, maka datanglah ayat: " Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in". Hanya engkau yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah tempat kami memohon pertolongan.
Untuk
mencapai Ridho Alloh, maka Tuhan menunjukkan garis jalanNya yang harus
ditempuh, lalu Allah mengutus Rasul-rasulNya membawa Syariat dan
memimpin kepada manusia bagaimana menempuh jalan itu; Isi Al-Qur'an yang
ini tersimpul dalam ayat "Ihdinas Shirothol Mustaqim".
Kemudian
itu al-Qur' an berisi kabar yang menggembirakan bagi orang yang taat
dan patuh, kebahagiaan di dunia dan syurga di akhirat yang di dalam
istilah agama disebut wa'ad, ini telah terkandung di dalam ayat "Shirotholladzina an`amta `alaihim ", jalan
yang telah Engkau beri nikmat atasnya. Kemudian al-Qur'an pun
memberikan ancaman siksa dan azab bagi orang yang lengah dan lalai,
kufur dan durhaka, yang disebut wa'id. Maka tersimpul pulalah kata al-Qur'an ini pada ujung surat tentang orang yang maghdhub, kena murka Tuhan, dan orang yang dhoollin, orang
yang sesat. Demikian pula al-Qur'an menceritakan keadaan umat-umat yang
telah terdahulu, yang telah binasa dan hancur karena dimurkai Tuhan,
dan diceritakan juga kaum yang sesat dari jalan yang benar; itupun telah
tersimpul di dalam kedua kalimat maghdhubi dan dhoollin itu.
Menilik yang demikian itu dapatlah kita pahami apa sebab maka al-Fatihah itu disebut Ummul Kitab atau Fatihatul-kitab, yang pada pembukaan telah disimpul isi dari 114 Surat yang mengandung 6.236 ayat itu.
Kemudian
ada pula penafsir berkata bahwa seluruh al-Qur'an dengan Suratnya yang
114 dan ayatnya yang 6.236 ayat itu, semuanya telah tersimpul dalam
Surat al-Fatihah. Dengan peninjauan tersebut di atas tadi, dapatlah
penafsiran demikian itu kita terima. Tetapi di antara mereka melanjutkan
lagi. Dia berkata bahwa Surat al-Fatihah itu telah tersimpul di dalam Bismillahir-Rohmanir-Rohim ; barangkali setelah merenungkan agak mendalam tentang Maha MurahNya Tuhan Allah kepada hambaNya dan kasih sayangNya sehingga diutusNya Rasul , diwahyukanNya Kitab-kitab Suci, disediakanNya Surga bagi yang taat dan ampunan bagi yang taubat.
Penafsiran ini masih juga dapat kita terima. Tetapi setengah penafsir itu melanjutkan lagi. Katanya, BismillahirRohmanirRohim itu tersimpul dalam huruf B (al-Baa) pada permulaan Bismillah ! Dan selanjutnya lagi , ada mereka yang berkata bahwa huruf Ba pangkal Bismillah itupun tersimpul dalam titik huruf Ba itu. Sampai di huruf Badan
titiknya itu, penafsir ini tidak mau mengikut lagi. Sebab itu bukan
lagi penafsiran yang berdasar ilmu, tetapi sudah satu khayal !
Apa sebab ?
Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, dan bahasa Arab mempunyai 28 huruf, di antaranya hurup kedua, yaitu al-Baa, atau
hurup B dalam istilah Latin. Tetapi kalau membacanya secara tunggal
ialah al-Baa ( dengan ditekan sedikit ujungnya, sehingga berbunyi ada
hamzah). Maka menurut undang- undang bahasa Arab dan ejaannya , barulah
sebuah huruf berarti apabila dia telah dirangkaikan dengan huruf yang
lain atau kalimat yang lain. Dan yang khusus pada hurupal-Baa baru dia berarti dengan, setelah dia diberi baris bawah (kasrah) dan dirangkaikan dengan satu kalimat yang bersifatisim (nama).
Misalnya bi Muhammadin yang berarti (dengan Muhammad). Billahi (dengan Allah). Atau Bismillahi. (dengan nama Allah).
Cobalah pikirkan, bagaimana akan dapat diterima apabila dikatakan bahwa seluruh al-Fatihah terkumpul ke dalamBismillahirRohmanir-Rohim dan Bismillahir-Rohmanir-Rohim terhimpun seluruhnya kepada hurup al-Baa ?
Dan lebih tidak dapat diterima pula kalau dikatakan bahwa huruf al Baa itupun
terkumpullah kepada titiknya yang ada di bawah itu. Yang berarti bahwa
seluruh isi al-Qur' an, yang terdiri dari 114 Surat mengandung 6.236
ayat terhimpun semuanya kepada satu titik. Bukan sembarang titik, tetapi
titik Ba yang di bawah itu.
Bagaimana
akan disimpulkan ke sana, padahal baik di jaman Rosululloh s.a.w atau
di waktu Sayidina Abu Bakar as-Shiddiq memerintahkan mengumpulkan
al-Qur'an ke dalam satu Mushhaf, ataupun selanjutnya setelah Usman Bin
Affan memerintahkan membuat Mushaf al-Imam, sebagai Mushhaf yang resmi
sampai sekarang, pada ketiganya itu huruf al-Baa belum lagi bertitik
Huruf- huruf al-Qur'an , termasuk huruf al-Baa barulah diberi bertitik di jaman pemerintahan
Abdul Malik bin Marwan, Khalifah ke 5 Bani Umaiyah, atas buah pikiran daripada Wali Negeri Irak,
al Hajjaj bin Yusu£ Sedangkan memberinya berbaris fat-hah, dhammah, kasrah, tanwin dan sukun, terlebih
dahulu daripada memberinya titik. Yang memberikan berbaris itu ialah
Abul Aswad ad-Du'ali, atas perintah Wali Negeri Bashrah, Zayyad. Di
jaman khalifah Bani Umaiyah yang pertama, sahabat Rasulullah s.a.w,
Mu'awiyah bin Abu Sufyan.
Oleh sebab
itu maka penafsiran seperti demikian bukanlah mempunyai dasar yang
dapat dipertanggungjawabkan menurut al-Qur'an dan Hadits dan dirayah
atau riwayat ahli-ahli tafsir yang mu'tamad. Dia hanya satu khayal yang
dapat pelemak-lemakkan kata, tetapi tidak akan bertemu dari mana
sumbernya, kalau hendak dicari dengan seksama
Tentang ayat Bismillahir-Rohmanir-Rohim :
Tentang ini agak panjang juga pembicaraan di antara para ulama, baik Bismillah di permulaan al-Fatihah atauBismillah di permulaan sekalian Surat al-Qur'an, kecuali pada permulaan Surat Baroah (at Taubah). Yang menjadi perbincangan ialah, apakah Bismillah di
permulaan Surat itu masuk dalam Surat atau di luar Surat ? Pembicaran
tentang ini selanjutnya telah menjadi sebab perbincangan pula, wajibkah
imam rnembaca Bismillah itu dengan jahar (suara keras) pada sembahyang yang jahar (Maghrib, Isya dan Subuh), atau membaca dengan sir (tidak dikeraskan membacanya) melainkan Alhamdulillah selanjutnya saja ? Atau tidak dibaca sama sekali, dan hanya langsung rnenjaharkan al- Fatihah ?.
Supaya
lebih mudah peninjauan kita tentang perbedaan-perbedaan pendapat para
sarjana keislaman itu, terlebih dahulu kita kemukakan titik-titik
pertemuan. Semuanya tidak ada selisih bahwa Bismillahir RohmanirRohim itu
memang ada tertulis dalam surat 27 (an-Naml) yaitu seketika Maharani
Balqis, raja perempuan dari negeri Saba menerangkan kepada orang-orang
besar kerajaannya bahwa dia menerima sepucuk surat dari Nabi Sulaiman
yang ditulis :
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Dengan nama Alloh yang Maha Pemurah, Maha Penyayang ":
Dan
titik pertemuan paham mereka yang kedua ialah bahwa menurut ajaran
Rasulullah s.a.w sendiri, sekalipun surat al-Qur'an yang 114 Surat
kecuali surat Baraah (At Taubah) semuanya dimulai menuliskannya dengan Bismillah itu
selengkapnya, menurut yang tertulis di ayat 30 Surat an-Naml itu. Maka
Mushaf pertama yang ditulis oleh panitia yang diketuai oleh Zaid bin
Tsabit atas perintah Khalifah pertama Saiyidina Abu Bakar itu adalah
menurut yang diajarkan Nabi itu, pakai Bismillah diawal permulaan Surat,
kecuali Baraah (at-Taubah). Dan Mushaf Saiyidina Usman bin Affan pun
ditulis cara demikian pula. Semua pakai Bismillah, kecuali Baraah
Tentang
Bismillah ada di permulaan tiap-tiap surat, kecuali surat Baraah atau
at-Taubah tidaklah ada perselisihan Ulama. Yang diperselisihkan ialah
terletaknya dipangkal Surat itu menjadikan dia termasuk dalam Surat
itukah, atau sebagai pembatasnya dengan Suratsurat yang lainnya saja,
atau dia menjadi ayat tunggal sendiri. Golongan yang terbesar dari Ulama
Salaf berpendapat bahwa Bismillah di
awal Surat adalah ayat pertama dari Surat itu sendiri. Beginilah
pendapat Ulama Salaf Mekkah, baik Fuqahanya atau ahli Qira'at ; di
antaranya ialah Tbnu Katsir dan Ulama Kufah, termasuk dua ahli Qira'at
terkemuka, Ashim dan al-Kisaa-i. Dan sebagian sahabat- sahabat
Rasulullah dan Tabi'in di Madinah.
Dan Imam Syafi'i di dalam fatwanya yang jadid (baru),
demikian pula pengikutpengikut beliau. Dan Sufyan as-Tsauri dan Imam
Ahmad pada salah satu di antara dua katanya. Demikian pula kaum
al-Imamiyah (dari Syi'ah). Demikian pula dirawikan daripada Ulama
sahabat, yaitu Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Abbas dan Abdulloh bin
Umar dan Abu Hurairoh ; dan Ulama Tabi'in, yaitu Said bin Jubair, Athoo'
dan az-Zuhri dan Ibnul Mubarok
Alasan mereka ialah karena telah ijma seluruh sahabat Rasululloh s.a.w dan yang datang mereka. berpendapat bahwa Bismillah itu
wajib ditulis dipangkal setiap Surat, kecuali dipangkal Surat
at-Taubah. Dikuatkan lagi dengan larangan keras Rasululloh s. a.w
memasukkan kalimat-kalimat lain yang bukan temasuk kepadanya, Sehingga
al-Qur'an itu bersih daripada yang bukan wahyu. Sedangkan kalimat Amin yang jelas jelas diperintahkan membacanya oleh Rasulullah sehabis selesai membaca Waladh-dhallin, terutama di belakang imam ketika sembahyang jahar, lagi
tidak boleh dimasukkan atau dicampurkan ke dalam al-Qur'an, khususnya
al-Fatihah, ketika menulis Mushaf, apatah lagi menambahkan
Bismillahir-Rahmanir-Rahim di pangkal tiap-tiap Surat, kecuali Surat
Baraah, kalau memang dia bukan termasuk surat itu.
Pendapat
mereka ini dikuatkan lagi oleh sebuah Hadits yang dirawikan oleh Imam
Muslim di dalam Shahihnya, yang diterima dari Anas bin Malik, Berkata
Rasulullah s.a.w
"Telah
diturunkan kepadaku tadi satu Surat. Lalu beliau baca :
Bismilahir-Rohmanir-Rohim, sesungguhnya telah Kami berikan kepada engkau
sangat banyak, maka sembahyanglah engkau kepada Tuhan engkau dan
hendaklah engkau berkorban, sesungguhnya orangyangbenci kepada engkau
itulah yang akanputusketurunan"
Di dalam Hadits ini jelas bahwa di antara Bismillahir Rohmanir -Rohim dibaca senafas dengan Surat yang sesudahnya. Di siniberlakulah suatu Qiyas, yakni pada Surat Inna A'thoina yang paling pendek, lagi beliau baca senafas dengan Bismillah sebagai
pangkalnya, apatah lagi alFatihah yang menjadi ibu dari segala isi
al-Qur'an. Dan apatah lagi surat-surat yang panjang-panjang.
Dan sebuah Hadits lagi yang dirawikan ad-Daruquthni dari Abu Hurairah, berkata dia : Berkata Rasulullah s.a.w :
"Apabila
kamu membaca Alhamdulillah yaitu Surat al-Fatihah maka bacalah
Bismilllahir-Rahmanir-Rahim, maka sesungguhnya dia adalah ibu al-Qur'an
dan Tujuh yang diulang-ulang, sedang Birmillahir Rahmanir Rahim adalah
salah satu daripada ayatnya."
Demikianlah pendapat dan alasan pendapat dari Ulama-ulama yang berpendirian bahwa Bismillah dipangkal
tiap-tiap Surat termasuk dalam Surat itu sendiri, bukan terpisah, bukan
pembatas di antara satu surat dengan surat yang lain. Tetapi satu
pendapat lagi, Bismillahir-Rohmanir-Rohim di
pangkal surat itu adalah ayat tunggal, diturunkan untuk menjelaskan
batas atau pemisah, jangan tercampur-aduk di antara satu Surat dengan
yang lain. Yang berpendapat begini ialah Imam Malik dan beberapa Ulama
Madinah. Dan Imam al-Auza'i serta beberapa Ulama di Syam dan Abu Amer
dan Ya'kub dari Bashrah.
Dan ada pula satu pendapat tunggal dari Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu bahwa pada al-Fatihah sajalah Bismillahir Rohmanir Rohim itu
termasuk ayat, sedang pada surat-surat yang lain tidak demikian halnya.
Oleh karena masalah ini tidaklah mengenai pokok akidah, tidaklah kita
salah jika kita cenderung kepada salah satu pendapat itu, mana yang
lebih dekat kepada penerimaan ilmu kita sesudah turut menyelidiki.
Adapun bagi penafsir mi. terlepas daripada menguatkan salah satu
pendapat, maka di dalam menafsir Bismilahir-Rohmanir-Rohim pada
pembukaan al-Fatihah, kita jadikan dia ayat yang pertama, menurut
Hadits Abu Hurairah yang dirawikan oleh ad-Daruquthni itu.
Dan tidak mungkin BismillahirRamanir-Rahim dimuka
al-Fatihah itu disebut sebagai satu ayat pembatas dengan surat yang
lain, karena tidak ada surat lain yang terlebih dahulu dari pada surat
al-Fatihah. Karena itu maka Bismilluhir-Rohmanir-Rohim yang pada al-Fatihah inilah yang kita tafsirkan lebih luas, sedang Bismillah yang 112 surat lagi hanya akan kita tuliskan terjemahannya saja. Sebab tentu saja membosankan kalau sampai 113 Bismillah ditafsirkan, dan 114 dengan Bismillah dalam surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Balqis dalam surat an-Naml itu.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ"Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah Maha Penyayang. " (ayat 1).
Artinya, aku mulailah pekerjaanku ini, menyiarkan wahyu Ilahi kepada insan , di atas nama Allah itu sendiri , yang telah memerintahkan daku menyampaikannya.
Inilah contoh teladan yang diberikan kepada kita, supaya memulai suatu pekerjaan penting dengan nama Alloh. Laksana yang teradat bagi suatu kerajaan bila menurunkan suatu perintah, menjadi kuatlah dia kalau dia disampaikan "di atas nama penguasa tertinggi ", raja atau kepala negara, sehingga jelaslah kekuatan kata-kata itu yang bukan atas kehendak yang menyampaikan saja, dan nampak pertanggunganjawab. Nabi Muhammad s.a.w disuruh menyampaikan wahyu itu di atas nama Allah. Dia, Rasul Allah itu, tidaklah lebih dari manusia biasa, tetapi ucapan yang keluar dari mulutnya bukanlah semena-mena atas kehendaknya sendiri, tetapi Allahlah yang memerintahkan. Dari yang empunya nama itu dia mengambil kekuatan.
ALLAH, adalah Zat Yang Maha Tinggi, Maha Mulia dan Maha Kuasa. Zat pencipta seluruh alam langit dan bumi, matahari dan bulan, dan seluruh yang ada. DIA adalah yang wajibul wujud yang sudah pasti ADA, yang mustahil tidak ada.
Menurut keterangan Raghib orang Isfahan, ahli bahasa yang terkenal itu nama yang diberikan untuk Zat Yang Maha Kuasa itu ialah ALLAH. Kalimat ini telah lama dipakai oleh bangsa Arab untuk yang Maha Esa itu. Kalimat ALLAH itu -- demikian kata Raghib -adalah perkembangan dari kalimat Al-Ilah. Yang dalam bahasa melayu kuno dapat diartikan Dewa atau Tuhan. Segala sesuatu yang mereka anggap sakti dan mereka puja mereka sebutkan dia AL-ILAH. Dan kalau hendak menyebutkan banyak Tuhan, mereka pakai kata Jama' yaitu AL-ALIHAH.
Tetapi pikiran murni mereka telah sampai kepada kesimpulan bahwa dari tuhan-tuhan dan dewa-dewa yang mereka katakan banyak itu, hanya SATU jua yang Maha Kuasa, Maha Tinggi, Maha Mulia: Maka untuk mengungkapkan pikiran kepada Yang Maha Esa itu mereka pakailah kalimat ILAH itu, dan supaya lebih khusus kepada Yang Maha Esa itu mereka cantumkan dipangkalnya ALIF dan LAM pengenalan (Alif-Lam-Ta'rif), yaitu AL menjadi AL-ILAH. Lalu mereka buangkan huruf hamzah yang di tengah, AL-I-LAH menjadi ALLAH. Dengan menyebut nama Alah tidak ada lagi yang mereka maksud melainkan Zat Yang Maha Esa. Maha Tinggi, Yang Berdiri sendirinya itulah , dan tidak lagi mereka pakai untuk yang lain. Tidak ada satu berhalapun yang mereka namai ALLAH.
Dalam al-Qur'an banyak bertemu ayat-ayat yang menerangkan, jika Nabi Muhammad s.a.w bertanya kepada musyrikin penyembah berhala itu siapa yang menjadikan semuanya ini pasti mereka akan menjawab : "Allahlah yang menciptakan semuanya !"
وَ لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّماواتِ وَ الْأَرْضَ وَ سَخَّرَ الشَّمْسَ وَ الْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ "Padahal jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan semua langit dan bumi, dan menyediakan matahari dan bulan, pastilah mereka akan menjawab : "Allah!"Maka bagaimanakah masih dipalingkan mereka. " (al-Ankabut: 61)
Dan banyak lagi Surat- surat lain mengandung ayat seperti ini. Setelah kita tinjau keterangan Raghib al-Isfahani dari segi pertumbuhan bahasa (filologi) tentang kalimat Allah itu, dapatlah kita mengerti bahwa sejak dahulu orang Arab itu di dalam hati sanubari mereka telah mengakui Tauhid Uluhiyah, sehingga mereka sekali- kali tidak memakai kalimat Allah untuk yang selain daripada Zat Yang Maha Esa, Yang Tunggal, yang berdiri sendiriNya itu. Dan tidak mau mereka menyebutkan Allah untuk beratus- ratus berhala yang mereka sembah. Tentang Uluhiyah, mereka telah bertauhid, cuma tentang Rububiyah yang mereka masih musyrik. Maka dibangkitkanlah kesadaran mereka oleh Rasul s.a.w supaya bertauhid yang penuh; mengakui hanya SATU Tuhan yang menciptakan alam dan Tuhan Yang Satu itu sajalah yang patut disembah, tidak yang lain.
Dalam bahasa Melayu kalimat yang seperti Rah itu ialah dewa dan tuhan. Pada batu bersurat Trengganu yang ditulis dengan huruf Arab, kira- kira tahun 1303 Masehi, kalimat Alloh Subhanahu Wa Ta'ala telah diartikan dengan Dewata Mulia Raya. (Batu bersurat itu sekarang disimpan di Museum Kuala Lumpur).
Lama-lama, karena
perkembangan pemakaian bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, maka bila
disebut Tuhan oleh kaum Muslimin Indonesia dan Melayu, yang dimaksud
ialah ALLOH dan dengan hurup Latin pangkalnya (hurup T) dibesarkan, dan
kata- kata dewa tidak terpakai lagi untuk mengucapkan Tuhan Allah. Dalam
perkembangan memakai bahasa ini, di dalam memakai kalimat TUHAN,
haruslah diingat bahwasanya berbeda maksud pemakaian itu di antara orang
Islam dengan orang Kristen.
Kita orang Islam jika menyebut Tuhan, yang kita maksud ialah ALLOH. Zat yang berdiri sendiriNya, kepadaNya memohonkan segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada yang menandingi Dia sesuatu juapun. Tetapi kalau orang Kristen menyebut Tuhan, yang mereka maksud adalah Yesus Kristus.
Kita orang Islam jika menyebut Tuhan, yang kita maksud ialah ALLOH. Zat yang berdiri sendiriNya, kepadaNya memohonkan segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada yang menandingi Dia sesuatu juapun. Tetapi kalau orang Kristen menyebut Tuhan, yang mereka maksud adalah Yesus Kristus.
Kadang kadang bercampur
baur ; sebab menurut ajaran yang mereka pegang, bahwa Tuhan itu adalah
"Trinitas", atau "Tri-tunggal ", yang tiga tetapi satu, yang satu tetapi
tiga. Dia yang tiga tetapi satu itu ialah Tuhan Bapa, Tuhan Putera (Isa
Almasih) dan Rohul-Kudus. Dan selalu mereka mengatakan "Tuhan Yesus".
Sebab itu walaupun sama- sama memakai kata TUHAN, tidaklah sama arti dan pengertian yang dikandung.
Pemakaian kalimat Tuhan dalam kata sehari- hari akhirnya terpisah pula jadi dua ; Tuhan khusus untuk Allah dan tuan untuk menghormati sesama manusia. Untuk raja disebut Tuanku.
Sebab itu walaupun sama- sama memakai kata TUHAN, tidaklah sama arti dan pengertian yang dikandung.
Pemakaian kalimat Tuhan dalam kata sehari- hari akhirnya terpisah pula jadi dua ; Tuhan khusus untuk Allah dan tuan untuk menghormati sesama manusia. Untuk raja disebut Tuanku.
Yang terpenting terlebih
dahulu ialah memupuk perhatian yang telah ada dalam dasar jiwa, bahwa
Zat Yang Maha Kuasa itu mustahil berbilang. Adapun tentang pemakaian
bahasa terhadapNya, dengan nama apa Dia mesti disebut, terserahlah
kepada perkembangan bahasa itu sendiri.
Selain dari pemakaian bahasa Melayu tentang Tuhan itu, sebagian bangsa kitapun memakai juga kalimat lain untuk Allah itu. Dalam bahasa Jawa terhadap Allah disebut Gusti Allah, padahal dalam bahasa Melayu Banjar, Gusti adalah gelar orang bangsawan.
Demikian juga kalimat Pangeran untuk Allah dalam bahasa Sunda, padahal di daerah lain Pangeran adalah gelar bangsawan atau anak raja. Dalam bahasa Bugis dan Makassar disebut Poang Allah Ta'ala. Padahal kepada raja atau orang tua yang dihormati mereka pengucapkan Poang juga. Orang Hindu Bali, meskipun mereka menyembah berbagai berhala, namun mereka tetap percaya kepada Sang Hyang Widhi, artinya Yang Maha Esa.
Selain dari pemakaian bahasa Melayu tentang Tuhan itu, sebagian bangsa kitapun memakai juga kalimat lain untuk Allah itu. Dalam bahasa Jawa terhadap Allah disebut Gusti Allah, padahal dalam bahasa Melayu Banjar, Gusti adalah gelar orang bangsawan.
Demikian juga kalimat Pangeran untuk Allah dalam bahasa Sunda, padahal di daerah lain Pangeran adalah gelar bangsawan atau anak raja. Dalam bahasa Bugis dan Makassar disebut Poang Allah Ta'ala. Padahal kepada raja atau orang tua yang dihormati mereka pengucapkan Poang juga. Orang Hindu Bali, meskipun mereka menyembah berbagai berhala, namun mereka tetap percaya kepada Sang Hyang Widhi, artinya Yang Maha Esa.
Kepercayaan agama
Hindupun sampai kepada puncak tertinggi sekali, yaitu kepada Sang Hyang
Tunggal. Lantaran itu dapatlah dipahami keterangan Raghib al-Isfahani
yang menyatakan bahwa ALLAH itu berasal dari kalimat AL-ILAH yang
berarti Tuhan itu.
Adanya kalimat AI-Rah
membuktikan bahwa kepercayaan-kepercayaan tentang adanya Tuhan telah
tumbuh sejak manusia berakal, dan timbulnya kalimat ALLAH membuktikan
bahwa pikiran manusiapun akhirnya sampai kepada, bahwa Tuhan Yang Maha
Kuasa itu hanya SATU.
Maka kedatangan agama Islam ialah menuntut dan menjelaskan bahwa DIA memang SATU adanya.
Setelah itu diiringkanlah menyebut nama ALLAH itu dengan menyebut sifatnya, yaitu AR-ROHMAN dan AR-ROHIM. Yang kedua nama sifat itu adalah dari satu rumpun, yaitu ROHMAT, yang berarti murah, kasih sayang, cinta, santun, perlindungan dan sebagainya. Apa sebab maka kedua sifat itu yang terlebih dahulu dijelaskan sebelum menyebut sifat-sifatNya yang lain ?.
Hal ini dapatlah dipahami jika kita kaji penghayalan orang yang masih sederhana peradabannya (primitif) tentang Tuhan. Sebagai kita katakan tadi, kepercayaan akan adanya. Zat Yang Maha Kuasa, adalah sama tumbuh dengan akal manusia. Tetapi sebagian besar mereka menggambarkan 'Tuhan itu sebagai sesuatu yang amat ditakuti atau menakutkan, scram dan kejam yang orang terpaksa memujanya oleh karena akan murkanya. Lalu diadakan kurban-kurban sembelihan, sebab Tuhan itu haus darah, lalu didirikan orang berhala yang bentuknya sangat scram, matanya mendelik, saingnya terulur keluar, yang tidak reda murkanya kalau tidak diberi kurban.
Maka seketika bacaan dimulai dengan menyebut nama Allah, dengan kedua sifatNya yang Rahman dan Rahim, mulailah Nabi Muhammad menentukan rumusan baru dan yang benar tentang Tuhan. Sifat utama yang terlebih diketahui dan dirasakan oleh manusia ialah bahwa DIA Rohman dan Rohim.
Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Sayang kepada hambaNya maka utusanNya , Muhammad s.a.w telah menyampaikan seruan ini kepada manusia.
Yang lebih dahulu mempengaruhi jiwa ialah bahwa Allah itu Pemurah dan Penyayang, bukan Pembenci dan Pendendam, bukan haus kepada darah pengurbanan. Dan contoh yang diberikan Nabi itu pulalah yang kita ikuti, yaitu memulai segala pekerjaan dengan nama Allah, yang empunya beberapa sifat Yang Mulia, di antaranya ialah Rohman dan Rohim. Maka didalam bacaan itu tersimpullah suatu Pengharapan atau doa moga-moga apa saja yang kita kerjakan mendapat karunia Rohman dan Rohim dari Tuhan. DimudahkanNya kepada yang baik, dijauhkan kiranya dari yang buruk. Maka tersebutlah di dalam sebuat hadits Nabi s.a.w yang dirawikan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah yang berbunyi :
"Tiap-tiap pekerjaan yang penting, kalau tidak dimulai dengan Bismillah, dengan nama Allah, maka pekerjaan itu akan percuma jadinya'.
Berbagai-bagai sebutan hadits tentang ini; ada yang mengatakan bahwa pekerjaan itu akan ajdzam, artinya akan ditimpa sakit kusta atau lepra. Ada juga hadits mengatakan aQtho, artinya akan terputus, patah di tengah, atau gagal. Dan ada juga menyebut abtar, artinya mandul, tidak membawa hasil yang diharapkan. Semuanya itu dapat disimpulkan jadi percuma, sebab tidak diberi berkat oleh Allah.
Maka marilah kita teladan contoh Allah, bahwa Surat-suratNya atau ayat-ayat yang diturunkanNya kepada kita, dimulainya dengan menyebut namaNya dan menonjolkan sifatNya, yaitu Rohman dan Rohim.
Maka kedatangan agama Islam ialah menuntut dan menjelaskan bahwa DIA memang SATU adanya.
Setelah itu diiringkanlah menyebut nama ALLAH itu dengan menyebut sifatnya, yaitu AR-ROHMAN dan AR-ROHIM. Yang kedua nama sifat itu adalah dari satu rumpun, yaitu ROHMAT, yang berarti murah, kasih sayang, cinta, santun, perlindungan dan sebagainya. Apa sebab maka kedua sifat itu yang terlebih dahulu dijelaskan sebelum menyebut sifat-sifatNya yang lain ?.
Hal ini dapatlah dipahami jika kita kaji penghayalan orang yang masih sederhana peradabannya (primitif) tentang Tuhan. Sebagai kita katakan tadi, kepercayaan akan adanya. Zat Yang Maha Kuasa, adalah sama tumbuh dengan akal manusia. Tetapi sebagian besar mereka menggambarkan 'Tuhan itu sebagai sesuatu yang amat ditakuti atau menakutkan, scram dan kejam yang orang terpaksa memujanya oleh karena akan murkanya. Lalu diadakan kurban-kurban sembelihan, sebab Tuhan itu haus darah, lalu didirikan orang berhala yang bentuknya sangat scram, matanya mendelik, saingnya terulur keluar, yang tidak reda murkanya kalau tidak diberi kurban.
Maka seketika bacaan dimulai dengan menyebut nama Allah, dengan kedua sifatNya yang Rahman dan Rahim, mulailah Nabi Muhammad menentukan rumusan baru dan yang benar tentang Tuhan. Sifat utama yang terlebih diketahui dan dirasakan oleh manusia ialah bahwa DIA Rohman dan Rohim.
Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Sayang kepada hambaNya maka utusanNya , Muhammad s.a.w telah menyampaikan seruan ini kepada manusia.
Yang lebih dahulu mempengaruhi jiwa ialah bahwa Allah itu Pemurah dan Penyayang, bukan Pembenci dan Pendendam, bukan haus kepada darah pengurbanan. Dan contoh yang diberikan Nabi itu pulalah yang kita ikuti, yaitu memulai segala pekerjaan dengan nama Allah, yang empunya beberapa sifat Yang Mulia, di antaranya ialah Rohman dan Rohim. Maka didalam bacaan itu tersimpullah suatu Pengharapan atau doa moga-moga apa saja yang kita kerjakan mendapat karunia Rohman dan Rohim dari Tuhan. DimudahkanNya kepada yang baik, dijauhkan kiranya dari yang buruk. Maka tersebutlah di dalam sebuat hadits Nabi s.a.w yang dirawikan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah yang berbunyi :
"Tiap-tiap pekerjaan yang penting, kalau tidak dimulai dengan Bismillah, dengan nama Allah, maka pekerjaan itu akan percuma jadinya'.
Berbagai-bagai sebutan hadits tentang ini; ada yang mengatakan bahwa pekerjaan itu akan ajdzam, artinya akan ditimpa sakit kusta atau lepra. Ada juga hadits mengatakan aQtho, artinya akan terputus, patah di tengah, atau gagal. Dan ada juga menyebut abtar, artinya mandul, tidak membawa hasil yang diharapkan. Semuanya itu dapat disimpulkan jadi percuma, sebab tidak diberi berkat oleh Allah.
Maka marilah kita teladan contoh Allah, bahwa Surat-suratNya atau ayat-ayat yang diturunkanNya kepada kita, dimulainya dengan menyebut namaNya dan menonjolkan sifatNya, yaitu Rohman dan Rohim.
الحمد لله"Segala puji pujian untukAllah."(pangkal ayat 2)
Hamdan, artinya pujian,
sanjungan. Di pangkalnya sekarang diletakkan Al atau Alif-lam, sehingga
menjadilah bacaannya Al-hamdu. Al mencakup segala jenis. Dengan sebutan
Alhamdu, beratilah bahwa segala macam pujian, sekalian apa juapun macam
pujian, baik puji besar ataupun puji kecil, atau ucapan terimakasih
karena jasa seseorang, kepada siapapun kita memberikan puji, namun pada
hakikatnya, tidaklah seorang juga yang berhak menerima pujian itu,
melainkan Allah: LILLAFII, hanya semata-mata untuk Alloh.
Jadi dapatlah
dilebih-tegaskan lagi ALHAMDULILLAHI, segala puji-pujian hanya untuk
Alloh. Tidak ada yang lain yang berhak mendapat pujian itu. Meskipun
misalnya ada seseorang berjasa baik kepada kita, meskipun kita
memujinya, namun hakikat puji hanya kepada Allah. Sebab orang itu tidak
akan dapat berbuat apa-apa kalau tidak karena Tuhan Yang Maha Pemurah
dan Penyayang tadi. Kita puji seorang insinyur atau arsitek karena dia
mendapat ilham mendirikan sebuah bangunan yang besar dan indah. Tetapi
kalau kita pikirkan lebih mendalam, dari mana dia mendapat ilham
perencanaan itu kalau bukan dari'I"uhan. Oleh sebab itu kalau kita
sendiri dipujipuji orang, janganlah lupa bahwa yang empunya puji itu
ialah Allah, bukan kita.
Nabi kita Muhammad s.a.w ketika dengan sangat jayanya telah dapat menaluklukkan negeri Mekkah, beliau masuk ke dalam kota itu dengan menunggang untanya yang terkenal, al-Qashwa'. Sahabat sahabat beliau gembira dan bersyukur karena apa yang dicita-citakan selama ini telah berhasil. Namun beliau tidaklah mengangkat muka dengan pongah karena kemenangan itu, melainkan dirundukkannya wajahnya ke bawah, lekat kepada leher unta kesayangannya itu, mensyukuri nikmat Allah dan mengucapkan puji-pujian.
Nabi kita Muhammad s.a.w ketika dengan sangat jayanya telah dapat menaluklukkan negeri Mekkah, beliau masuk ke dalam kota itu dengan menunggang untanya yang terkenal, al-Qashwa'. Sahabat sahabat beliau gembira dan bersyukur karena apa yang dicita-citakan selama ini telah berhasil. Namun beliau tidaklah mengangkat muka dengan pongah karena kemenangan itu, melainkan dirundukkannya wajahnya ke bawah, lekat kepada leher unta kesayangannya itu, mensyukuri nikmat Allah dan mengucapkan puji-pujian.
رب العالمين"Pemelihara semesta alam. " (ujung ayat 2)
Atau Tuhan dari sekalian
makhluk , atau Tuhan seru sekalian alam. Pada umumnya arti alam ialah
seluruh yang ada ini , selain dari Allah. Setelah dia menjadi jama' ini,
yaitu menjadi kalimat `alamin , berbagailah dia ditafsirkan orang.
Setengah panafsiran mengatakan bahwa yang dimaksud dengan alamin ialah
makhluk insani, ditambah dengan malaikat, jin dan syaitan. Tetapi di
dalam al-Qur'an sendiri pernah bertemu kata `alamin itu hanya
dikhususkan maksudnya untuk manusia saja (lihat Surat al-Hijr, ayat
70).Yaitu ketika kaum Nabi Luth menyatakan kepada Luth, mengapa dia
rnenerima tetamu dengan tidak setahu mereka, padahal dia telah dilarang
menerima kedatangan orang-orang.
Setelah terlebih dahulu kita dikenalkan kepada Alloh sebagai Alloh yang Tunggal , sekarang kita dikenalkan lagi kepada Alloh sebagai Robbun. Kata Robbun ini rneliputi segala macam pemeliharaan, penjagaan dan juga pendidikan dan pengasuhan. Maka kalau di dalam ayat yang lain kita bertemu bahwa Alloh itu kholaqo, artinya menjadikan dan menciptakan, maka di sini dengan menyebut Alloh sebagai Robbun, kita dapat mengerti bahwa Alloh itu bukan semata mata pencipta, tetapi juga pemelihara.
Bukan saja menjadikan, bahkan juga mengatur. Seumpama matahari, bulan, bintang-bintang dan bumi ini ; sesudah semuanya dijadikan, tidaklah dibiarkan sehingga begitu saja, melainkan dipelihara dan dikuasai terus menerus. Betapalah matahari, bulan dan bintang-bintang itu akan beredar demikian teraturnya, dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, hari ke hari , jam kejam , menit ke menit dan detik ke detik , berjalan teratur telah berjutajuta tahun, kalau bukan pemeliharaan dari Allah sebagai Robbun ? Manusiapun begitu. Dia bukan semata-mata dijadikan bahkan sejak masih dalam keadaan nuthfah (air setitik kecil), sampai menjadi alaqoh dan mudhqhoh, sampai muncul ke dunia, sampai menjadi makhluk yang berakal dan sampai juga meninggal kelak , tidaklah lepas dari tilikan Alloh sebagai Pencipta dan sebagai Pemelihara.
Untuk semua pemeliharaan, penjagaan, pendidikan dan perlindungan itulah kita diajar mengucapkan puji kepadaNya : "Robbul `Alamin", Tuhan seru sekalian alam. Kalau kita pertalikan lagi dengan beberapa penafsiran tentang `alamin tadi, bahwa yang dimaksud ialah makhluk manusia, dapatlah kita pahamkan betapa tingginya kedudukan insan, sebagai khalifah Alloh, di tengah-tengah alam yang luas itu.
Maka di dalam ayat pembukaan ini, kita telah bertemu langsung dengan tauhid, yang mempunyai dua paham itu, yaitu tauhid Uluhiyah pada ucapan Alhamdu Lillahi. Dan tauhid Rububiyah pada ucapan Robbil `Alamin.
Dan sudahlah jelas sekarang bahwa dalam ayat
Ayat ini menyempurnakan rnaksud dari ayat yang sebelumnya. Jika Allah sebagai Rabb, sebagai pemelihara dan pendidik bagi seluruh alam tidak lain maksud dan isi pendidikan itu, melainkan karena Kasih sayangNya semata dan karena murahNya belaka, tidaklah dalam memberikan pemeliharaan dan pendidikan itu rnenuntut keuntungan bagi diriNya sendiri. Bukan sebagai sesuatu pemerintahan mengadakan suatu pendidikan "kader" dan latihan pegawai, ialah karena mengharapkan apabila orang-orang yang dididik itu telah lepas dari pendidikan, akan dapat dipergunakan menjadi pegawai yang baik. Pemeliharaan yang Dia berikan adalah pertama karena Ar-Rahman maknanya ialah bila sifat Allah Yang Rahman itu telah membekas dan berjalan ke atas hambaNya. nertamta h tinggi kecerdasan hamba itu, bertambah terasa olehnya betapa Ar-Rohman Allah terhadap dirinya, dan sifat Ar-Rohim ialah sifat yang tetap pada Allah. Maka Ar-Rohman ialah setelah sifat itu terpaksa pada hamba, dan Ar-Rohim ialah pada keadaannya yang tetap clan tidak pernah padam-padamnya pada Tuhan. Dan keduanya itu adalah sama mengandung akan sumber kata yaitu Rohmat.
Nanti dalam berpuluh ayat al-Qur'an, kita akan bertemu keterangan betapa Rahman dan RahimNya bagi seluruh makhluk , terutama bagi kita manusia. Bukankah matahari dan bulan dan bintang-bintang, semuanya itu rahmat dari Tuhan kepada kita ? Bagaimana jadinya kita hidup di dunia, kalau misalnya agak dua hari saja matahari tidak terbit ? Kita manusia kadang-kadang lupa akan Rahmat, karena kita tidak pernah dipisahkan dari Rahmat. Seumpama orang yang berdiam di kota besar yang telah teratur aliran listriknya dan penerangan lampu-lampu, dan telah teratur pula pipa saluran air.
Setelah terlebih dahulu kita dikenalkan kepada Alloh sebagai Alloh yang Tunggal , sekarang kita dikenalkan lagi kepada Alloh sebagai Robbun. Kata Robbun ini rneliputi segala macam pemeliharaan, penjagaan dan juga pendidikan dan pengasuhan. Maka kalau di dalam ayat yang lain kita bertemu bahwa Alloh itu kholaqo, artinya menjadikan dan menciptakan, maka di sini dengan menyebut Alloh sebagai Robbun, kita dapat mengerti bahwa Alloh itu bukan semata mata pencipta, tetapi juga pemelihara.
Bukan saja menjadikan, bahkan juga mengatur. Seumpama matahari, bulan, bintang-bintang dan bumi ini ; sesudah semuanya dijadikan, tidaklah dibiarkan sehingga begitu saja, melainkan dipelihara dan dikuasai terus menerus. Betapalah matahari, bulan dan bintang-bintang itu akan beredar demikian teraturnya, dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, hari ke hari , jam kejam , menit ke menit dan detik ke detik , berjalan teratur telah berjutajuta tahun, kalau bukan pemeliharaan dari Allah sebagai Robbun ? Manusiapun begitu. Dia bukan semata-mata dijadikan bahkan sejak masih dalam keadaan nuthfah (air setitik kecil), sampai menjadi alaqoh dan mudhqhoh, sampai muncul ke dunia, sampai menjadi makhluk yang berakal dan sampai juga meninggal kelak , tidaklah lepas dari tilikan Alloh sebagai Pencipta dan sebagai Pemelihara.
Untuk semua pemeliharaan, penjagaan, pendidikan dan perlindungan itulah kita diajar mengucapkan puji kepadaNya : "Robbul `Alamin", Tuhan seru sekalian alam. Kalau kita pertalikan lagi dengan beberapa penafsiran tentang `alamin tadi, bahwa yang dimaksud ialah makhluk manusia, dapatlah kita pahamkan betapa tingginya kedudukan insan, sebagai khalifah Alloh, di tengah-tengah alam yang luas itu.
Maka di dalam ayat pembukaan ini, kita telah bertemu langsung dengan tauhid, yang mempunyai dua paham itu, yaitu tauhid Uluhiyah pada ucapan Alhamdu Lillahi. Dan tauhid Rububiyah pada ucapan Robbil `Alamin.
Dan sudahlah jelas sekarang bahwa dalam ayat
الحمد لله رب العالمين"Segala puji pujian adalalz kepunyaan Alloh, Pemelihara dari sekalian alam" itu telah mengandung dasar tauhid yang dalam sekali. Tidaklah ada yang lain yang patut dipuji, melainkan DIA.
الرحمن الرحيم "Yang Maha Pemurah, Yang .Maha Penyayang".(ayat 3)
Atau bisa juga diartikan Yang Pengasih, lagi Penyayang.
Ayat ini menyempurnakan rnaksud dari ayat yang sebelumnya. Jika Allah sebagai Rabb, sebagai pemelihara dan pendidik bagi seluruh alam tidak lain maksud dan isi pendidikan itu, melainkan karena Kasih sayangNya semata dan karena murahNya belaka, tidaklah dalam memberikan pemeliharaan dan pendidikan itu rnenuntut keuntungan bagi diriNya sendiri. Bukan sebagai sesuatu pemerintahan mengadakan suatu pendidikan "kader" dan latihan pegawai, ialah karena mengharapkan apabila orang-orang yang dididik itu telah lepas dari pendidikan, akan dapat dipergunakan menjadi pegawai yang baik. Pemeliharaan yang Dia berikan adalah pertama karena Ar-Rahman maknanya ialah bila sifat Allah Yang Rahman itu telah membekas dan berjalan ke atas hambaNya. nertamta h tinggi kecerdasan hamba itu, bertambah terasa olehnya betapa Ar-Rohman Allah terhadap dirinya, dan sifat Ar-Rohim ialah sifat yang tetap pada Allah. Maka Ar-Rohman ialah setelah sifat itu terpaksa pada hamba, dan Ar-Rohim ialah pada keadaannya yang tetap clan tidak pernah padam-padamnya pada Tuhan. Dan keduanya itu adalah sama mengandung akan sumber kata yaitu Rohmat.
Nanti dalam berpuluh ayat al-Qur'an, kita akan bertemu keterangan betapa Rahman dan RahimNya bagi seluruh makhluk , terutama bagi kita manusia. Bukankah matahari dan bulan dan bintang-bintang, semuanya itu rahmat dari Tuhan kepada kita ? Bagaimana jadinya kita hidup di dunia, kalau misalnya agak dua hari saja matahari tidak terbit ? Kita manusia kadang-kadang lupa akan Rahmat, karena kita tidak pernah dipisahkan dari Rahmat. Seumpama orang yang berdiam di kota besar yang telah teratur aliran listriknya dan penerangan lampu-lampu, dan telah teratur pula pipa saluran air.
Mereka baru ingat akan
Rahmat adanya penerangan lampu yang teratur dan aliran air yang telah
masuk sampai ke dalam rumahnya itu ialah bilamana satu kali ada
kerusakan di sentral listrik atau ada kebocoran pada pipa air. Di waktu
semua beres, kerap dia lupa. Setelah terganggu baru dia ingat.
Rahmat llahi, pancaran daripada sifatNya yang Rohman dan yang Rohim , yang Murah dan Kasih Sayang dapat kita rasai apabila kita lihat induk ayam mengekaskan kakinya mencarikan makanan untuk anak-anaknya. Dipecah-pecahkannya remah kecil yang didapatkannya, lalu dipanggil-panggilnya anak-anaknya dengan kerkotat-kotat, maka anak-anaknya itupun berlari-lari menuju makanan itu, dan induk nya sendiri tidak mengambil bagian dari makanan itu.
Rahmat llahi, pancaran daripada sifatNya yang Rohman dan yang Rohim , yang Murah dan Kasih Sayang dapat kita rasai apabila kita lihat induk ayam mengekaskan kakinya mencarikan makanan untuk anak-anaknya. Dipecah-pecahkannya remah kecil yang didapatkannya, lalu dipanggil-panggilnya anak-anaknya dengan kerkotat-kotat, maka anak-anaknya itupun berlari-lari menuju makanan itu, dan induk nya sendiri tidak mengambil bagian dari makanan itu.
Dan apabila datang
bahaya dengan tiba-tiba, dikejar yang hendak mengganggu itu seekor gajah
besar. Dia tidak perduli bahwa dirinya akan hancur lumat diinjak gajah,
sebab dia didorong oleh sifat Rahmat yang telah dianugerahkan Allah
kepadanya, untuk mempertahankan anak-anaknya. Dan jika panas sangat
terik, dia pergi ke pinggir pagar untuk berteduh dan dilindunginya
anak-anaknya dalam naungan sayapnya, clan ada anak-anak itu yang
memanjat ke atas punggungnya. Ditahankan karena kasahnya.
Rahmat Ilahi pun nampak pada dua ekor burung, seekor jantan, seekor betina; yang betina sedang mengerami telurnya clan jantan terbang mencari makanan dan membawanya pulang, terbang lagi dan pulang lagi, sedang mulutnya menggonggong sebutir makanan kecil. Keduanya benyanyi, bercericik, bersiul yang bunyinya dapat kita rasai, penuh dengan Rahmat.
Apatah lagi dapat kita lihat pada seorang ibu ketika melahirkan anak. Sembilan bulan badan payah. Datang rayuan anak akan lahir, diapun tidur, Selompat hidup, selompat mati. Si suami berjalan jalan sekitar rumah dengan dada berdebar-debar, dipengaruhi dengan rasa cemas dan harap, cemas kalau-kalau isteri yang dicintai diserang bahaya hingga maut karena melahirkan, dan harap moga-moga si anak lahir dengan selamat, dan ibunya selamat pula.
Demikianlah beratnya penderitaan mengandung; bidan telah sedia menolong, dan setelah ditunggu dengan harap dan cemas, lahirlah anak itu, kedengaran tangisnya, si buyung atau si upik. Dengan kedengaran tangis itu, kelihatanlah wajah si ibu lega, hilang kepayahannya, kadang-kadang matanya tertidur sejenak, diliputi oleh Rahmat Ilahi. Dia sudah lupa sama sekali akan kepayahannya, diobati oleh tangis anaknya yang baru Iahir itu. Dan si suami yang telah mondar-mandir sejak tadi di luar kamar bersalin, setelah diberitahu bahwa anaknya sudah lahir, anak dan ibu selamat, kadang-kadang menangislah dia karena sangat terharu. Rahmat Tuhan telah dimasukkan ke dalam jiwa mereka semuanya.
Kabarnya konon di satu kota di Amerika Serikat, ada sebuah kuburan kecil tidak berapa jauh dari Stasiun kereta api, yaitu kuburan dari seekor anjing. Asal mulanya ialah karena sangat setianya anjing itu kepada tuannya, maka setiap tuannya berpegian dia turut mengantarkan ke stasiun, dan petang hari di waktu pulangnya, diapun pergi menjemputnya. Demikianlah berlaku tiap hari. Dia diantar dan dijemput oleh anjingnya.
Rahmat Ilahi pun nampak pada dua ekor burung, seekor jantan, seekor betina; yang betina sedang mengerami telurnya clan jantan terbang mencari makanan dan membawanya pulang, terbang lagi dan pulang lagi, sedang mulutnya menggonggong sebutir makanan kecil. Keduanya benyanyi, bercericik, bersiul yang bunyinya dapat kita rasai, penuh dengan Rahmat.
Apatah lagi dapat kita lihat pada seorang ibu ketika melahirkan anak. Sembilan bulan badan payah. Datang rayuan anak akan lahir, diapun tidur, Selompat hidup, selompat mati. Si suami berjalan jalan sekitar rumah dengan dada berdebar-debar, dipengaruhi dengan rasa cemas dan harap, cemas kalau-kalau isteri yang dicintai diserang bahaya hingga maut karena melahirkan, dan harap moga-moga si anak lahir dengan selamat, dan ibunya selamat pula.
Demikianlah beratnya penderitaan mengandung; bidan telah sedia menolong, dan setelah ditunggu dengan harap dan cemas, lahirlah anak itu, kedengaran tangisnya, si buyung atau si upik. Dengan kedengaran tangis itu, kelihatanlah wajah si ibu lega, hilang kepayahannya, kadang-kadang matanya tertidur sejenak, diliputi oleh Rahmat Ilahi. Dia sudah lupa sama sekali akan kepayahannya, diobati oleh tangis anaknya yang baru Iahir itu. Dan si suami yang telah mondar-mandir sejak tadi di luar kamar bersalin, setelah diberitahu bahwa anaknya sudah lahir, anak dan ibu selamat, kadang-kadang menangislah dia karena sangat terharu. Rahmat Tuhan telah dimasukkan ke dalam jiwa mereka semuanya.
Kabarnya konon di satu kota di Amerika Serikat, ada sebuah kuburan kecil tidak berapa jauh dari Stasiun kereta api, yaitu kuburan dari seekor anjing. Asal mulanya ialah karena sangat setianya anjing itu kepada tuannya, maka setiap tuannya berpegian dia turut mengantarkan ke stasiun, dan petang hari di waktu pulangnya, diapun pergi menjemputnya. Demikianlah berlaku tiap hari. Dia diantar dan dijemput oleh anjingnya.
Tetapi pada suatu hari,
seketika dia menjemput lagi sebagai biasa, tuannya ditunggunya tiada
turun dari kereta api. Besoknya dijemputnya juga, namun tuannya tidak
juga pulang. Di jemputnya terus tiap hari, dari hari ke hari, bulan ke
bulan; namun tuan yang ditunggu tidak juga pulang. Siapakah yang akan
memberitahukan kepadanya bahwa tuannya tidak akan pulang lagi; sebab dia
telah meninggal di tempat lain karena suatu kecelakaan . Maka pada
suatu hari bertemulah orang bahwa anjing itu telah mati kedinginan di
tempatnya biasa menunggu tuannya pulang itu.
Semua orang, penduduk di sekitar stasiun itu tahu kisah tentang anjing setia itu. Maka dari rasa Rahmat IIahi yang ada dalam hati penduduk di sana, dikuburkanlah anjing itu dengan upacara yang layak; diberi tanda dan di tulis pada tanda itu. "kuburan seekor anjing yang setia".
Maka pertalian anjing itu dengan tuannya adalah pertalian Rahmat llahi, yang ada dalam jiwa si tuan dan dimasukkan pula ke dalam naluri si anjing .Binatang-binatang itupun kadang-kadang mempunyai naluri yang mendalam sekali tentang Rahmat yang ada di hati manusia. Perhatikanlah naluri kucing yang terus saja duduk ke atas pelukan seorang tetamu yang baru sekali ziarah ke rumah orang yang memeliharanya. Atau mendekat dan meminta diberi makan, meskipun sekali itu baru bertemu dan dia tidak mendekat kepada tetamu lain yang sama-sama duduk. Dia diberi naluri oleh Tuhan bahwa di dalam hati tetamu itu ada Rahmat.
Satu kejadian yang pernah terjadi ialah seketika ayah dan guru saya Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah akan meninggal dunia. Ada seekor kucing dalam rumah beliau yang sangat dikasihinya. Biasanya beliau sendiri yang memberinya makan di piring khusus. Dan kalau beliau pulang dari mana-mana, beliau tanyakan kepada orang di rumah sudahkan si Manis diberi makan ?
Ketika beliau telah mulai sakit payah, kucing itu duduk terus di dekat pembaringan beliau. Tetapi satu hal yang sangat ajaib kejadian. Sehari sebelum beliau meninggal kucing itu hilang dari dekat tempat tidur beliau. Setelah hari sore kucing itu tidak juga muncul, dan beliau sudah mulai payah, dan tidak menanyakan lagi tentang si Manis ! Seketika orang menimba air sumur, kelihatanlah si Manis telah menjadi bangkai di dalam sumur itu. Kematian si Manis tidak diberitahukan lagi kepada beliau, sebab beliau dalam sakaratul maut. Pagi-pagi besoknya, sehari meninggal kucingnya, beliaupun meninggal.
Semua orang, penduduk di sekitar stasiun itu tahu kisah tentang anjing setia itu. Maka dari rasa Rahmat IIahi yang ada dalam hati penduduk di sana, dikuburkanlah anjing itu dengan upacara yang layak; diberi tanda dan di tulis pada tanda itu. "kuburan seekor anjing yang setia".
Maka pertalian anjing itu dengan tuannya adalah pertalian Rahmat llahi, yang ada dalam jiwa si tuan dan dimasukkan pula ke dalam naluri si anjing .Binatang-binatang itupun kadang-kadang mempunyai naluri yang mendalam sekali tentang Rahmat yang ada di hati manusia. Perhatikanlah naluri kucing yang terus saja duduk ke atas pelukan seorang tetamu yang baru sekali ziarah ke rumah orang yang memeliharanya. Atau mendekat dan meminta diberi makan, meskipun sekali itu baru bertemu dan dia tidak mendekat kepada tetamu lain yang sama-sama duduk. Dia diberi naluri oleh Tuhan bahwa di dalam hati tetamu itu ada Rahmat.
Satu kejadian yang pernah terjadi ialah seketika ayah dan guru saya Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah akan meninggal dunia. Ada seekor kucing dalam rumah beliau yang sangat dikasihinya. Biasanya beliau sendiri yang memberinya makan di piring khusus. Dan kalau beliau pulang dari mana-mana, beliau tanyakan kepada orang di rumah sudahkan si Manis diberi makan ?
Ketika beliau telah mulai sakit payah, kucing itu duduk terus di dekat pembaringan beliau. Tetapi satu hal yang sangat ajaib kejadian. Sehari sebelum beliau meninggal kucing itu hilang dari dekat tempat tidur beliau. Setelah hari sore kucing itu tidak juga muncul, dan beliau sudah mulai payah, dan tidak menanyakan lagi tentang si Manis ! Seketika orang menimba air sumur, kelihatanlah si Manis telah menjadi bangkai di dalam sumur itu. Kematian si Manis tidak diberitahukan lagi kepada beliau, sebab beliau dalam sakaratul maut. Pagi-pagi besoknya, sehari meninggal kucingnya, beliaupun meninggal.
Dengan melihat
kasih-sayang suami isteri dan ayah terhadap anak, nenek terhadap cucu.
Dengan melihat kasih-sayang di antara binatang, burung-burung dengan
berbagai jenisnya, dapatlah kita mengetahui betapa besarnya Rahman dan
Rahim Allah atas makhluk, dan akan sirnalah rasa benci, dengki dan
dendam dari hati kita. Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w. :
"Orang-orang yang ada rasa Rahim akan dirahmati oleh Tuhan yang Rahman yang memberikan berkat dan Maha Tinggi. Sayangilah orang-orang yang di bumi, supaya kamu disayangi pula oleh yang di langit. "(Dirawikan oleh lmam Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan al-Hakim dari hadits Abdulah bin Umar). "
Sampai-sampai kepada masyarakat, pergaulan hidup yang adil dan makmur di atas dunia ini, disebutkan di dalam ayat yang lain ialah masyarakat yang mengandung MARHAMAH, yaitu kasih mengasihi, cinta-mencintai, bantu-membantu, dari rasa kemurahan dan kesayangan.
"Orang-orang yang ada rasa Rahim akan dirahmati oleh Tuhan yang Rahman yang memberikan berkat dan Maha Tinggi. Sayangilah orang-orang yang di bumi, supaya kamu disayangi pula oleh yang di langit. "(Dirawikan oleh lmam Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan al-Hakim dari hadits Abdulah bin Umar). "
Sampai-sampai kepada masyarakat, pergaulan hidup yang adil dan makmur di atas dunia ini, disebutkan di dalam ayat yang lain ialah masyarakat yang mengandung MARHAMAH, yaitu kasih mengasihi, cinta-mencintai, bantu-membantu, dari rasa kemurahan dan kesayangan.
مالك يوم الدين"Yang menguasai Hari Pembalasan " (ayat 4)
Kita artikan yang
menguasai, apabila Maliki kita baca dengan memanjangkan Ma pada Maliki.
Dan kita artikan "Yang Empunya Hari Pembalasan ", kalau kita baca hanya
Maliki saja dengan tidak memanjangkan Ma
Di sini dapatlah kita memahamkan betapa arti ad-din. Kita hanya biasa rnemberi arti ad-din dengan agama. Padahal diapun berati pembalasan. Memang menurut Islam segala gerak-gerik hidup kita yang kita laksanakan tidak lepas dari lingkungan agama, dan tidak lepas dari salah satu hukum yang lima: wajib, sunnat, haram, makruh dan jaiz. Dan semuanya kelak akan diperhitungkan dihadapan hadirat Tuhan di akhirat; baik akan diberi pembalasan yang baik, buruk akan diberi pembalasan yang buruk. Dan yang memberikan itu adalah Tuhan sendiri, dengan jalan yang seadil-adilnya.
Apabila kita telah membaca sampai di sini, timbulah perimbangan perasaan dalam kalbu kita. Jika tadi seluruh jiwa kita telah diliputi oleh rasa Rahmat, pancaran Rahman dan Rahim Tuhan, maka dia harus dibatasi dengan keinsafan, bahwa betapapun Rahman dan RahimNya namun D'ra adil juga. Memang ada manusia yang karena amat mendalam rasa Rahmat dalam dirinya, dan meresap ke dalam jiwanya kasih saya.flug yang balas membalas, memberi dan menerima dengan Tuhan , Lalu dia beribadat kepada Tuhan dan berbuat bakti. Tetapi ada juga manusia yang tidak menghargai dan tidak memperdulikan Rahman dan Rahim Tuhan, jiwanya diselimuti oleh rasa benci, dengki, khizit dan khianat. Tidak ada rasa syukur, tidak ada terima-kasih. Jahatnya lebih banyak dari baiknya. Kadang-kadang pandai dia menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Sampai dia mati keadaan tetap demikian.Tentu ini pasti mendapat pembalasan.
Di dunia ini yang ada hanya penilaian, tetapi tidak ada pembalasan manusia. Banyak manusia tercengang melihat orang zalim dan curang, tetapi oleh karena "pandainya" main, tidak berkesan meskipun orang tahu juga. Dan banyak pula orang yang jujur, berbuat baik, namun penghargaan tidak ada. Atau sengaja tidak dihargai karena pertarungan-pertarungan politik.
Di sini dapatlah kita memahamkan betapa arti ad-din. Kita hanya biasa rnemberi arti ad-din dengan agama. Padahal diapun berati pembalasan. Memang menurut Islam segala gerak-gerik hidup kita yang kita laksanakan tidak lepas dari lingkungan agama, dan tidak lepas dari salah satu hukum yang lima: wajib, sunnat, haram, makruh dan jaiz. Dan semuanya kelak akan diperhitungkan dihadapan hadirat Tuhan di akhirat; baik akan diberi pembalasan yang baik, buruk akan diberi pembalasan yang buruk. Dan yang memberikan itu adalah Tuhan sendiri, dengan jalan yang seadil-adilnya.
Apabila kita telah membaca sampai di sini, timbulah perimbangan perasaan dalam kalbu kita. Jika tadi seluruh jiwa kita telah diliputi oleh rasa Rahmat, pancaran Rahman dan Rahim Tuhan, maka dia harus dibatasi dengan keinsafan, bahwa betapapun Rahman dan RahimNya namun D'ra adil juga. Memang ada manusia yang karena amat mendalam rasa Rahmat dalam dirinya, dan meresap ke dalam jiwanya kasih saya.flug yang balas membalas, memberi dan menerima dengan Tuhan , Lalu dia beribadat kepada Tuhan dan berbuat bakti. Tetapi ada juga manusia yang tidak menghargai dan tidak memperdulikan Rahman dan Rahim Tuhan, jiwanya diselimuti oleh rasa benci, dengki, khizit dan khianat. Tidak ada rasa syukur, tidak ada terima-kasih. Jahatnya lebih banyak dari baiknya. Kadang-kadang pandai dia menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Sampai dia mati keadaan tetap demikian.Tentu ini pasti mendapat pembalasan.
Di dunia ini yang ada hanya penilaian, tetapi tidak ada pembalasan manusia. Banyak manusia tercengang melihat orang zalim dan curang, tetapi oleh karena "pandainya" main, tidak berkesan meskipun orang tahu juga. Dan banyak pula orang yang jujur, berbuat baik, namun penghargaan tidak ada. Atau sengaja tidak dihargai karena pertarungan-pertarungan politik.
Di dunia ini tidak ada pembalasan yang sebenarnya dan di sini tidak ada perhitungan yang adil
Dan mata keridhaan gelap tidak melihat cacat sebagai juga mata kebencian hanya melihat yang buruk saja.
Maka apabila Ar-Rahrnan dan Ar-Rahim telah disambungkan dengan Maliki yaumiddin, barulah seimbang pengabdian dan pemujaan kita kepada Tuhan. Hidup tidalc berhenti hingga kini saja, akan ada sambungannya lagi, yaitu hari pembalasan, hari agama yang sebenarnya.
Dan mata keridhaan gelap tidak melihat cacat sebagai juga mata kebencian hanya melihat yang buruk saja.
Maka apabila Ar-Rahrnan dan Ar-Rahim telah disambungkan dengan Maliki yaumiddin, barulah seimbang pengabdian dan pemujaan kita kepada Tuhan. Hidup tidalc berhenti hingga kini saja, akan ada sambungannya lagi, yaitu hari pembalasan, hari agama yang sebenarnya.
Kita memuji Allah
pemelihara seluruh alam clan pendidiknya, kita memujiNya, karena Rahman
dan RahimNya dan kitapun memujiNya, karena buruk clan baik yang kita
kerjakan di dunia ini tidak terbuang percuma, melainkan akan
diperhitungka.n dan dibalasi dengan adil di akhirat.
Kalau sudah kita rasai dan kita percaya bahwa Dia Maha Pemurah dan Penyayang, tetapi juga dapat berlaku keras kepada yang melanggar,sebab dia meziguasai penuh akan hari pembalasan, bagaimana sikap manusia lagi ? Dan kemana kita hendak membelok lagi ? Masih adakah Tuhan lain yang seperti ALLOH ? Tidak ada !
Kita mengharapkan kasih sayang dan kemurahanNya, dan kitapun takut akan pembalasanNya.
Jiwa kita terombang di antara Khauf, artinya takut, dan raja', artinya harap. Maka lanjutan bunyi ayat :
Kalau sudah kita rasai dan kita percaya bahwa Dia Maha Pemurah dan Penyayang, tetapi juga dapat berlaku keras kepada yang melanggar,sebab dia meziguasai penuh akan hari pembalasan, bagaimana sikap manusia lagi ? Dan kemana kita hendak membelok lagi ? Masih adakah Tuhan lain yang seperti ALLOH ? Tidak ada !
Kita mengharapkan kasih sayang dan kemurahanNya, dan kitapun takut akan pembalasanNya.
Jiwa kita terombang di antara Khauf, artinya takut, dan raja', artinya harap. Maka lanjutan bunyi ayat :
إياك نعبد و إياك نستعين"Engkaulah yang kami sembah, Dan Engkaulah tempat kami memohon pertolongan. "(ayat 5)
Kalimat Iyyaka, kita artikan Engkaulah, atau boleh dilebih dekatkan lagi maknanya dengan menyebut hanya Engkau sajalah yang kami sembah. Di sini terdapat iyyaka dua kali ; hanya Engkau sajalah yang kami sembah dan hanya Engkau saja tempat kami memohonkan pertolongan. Kata Na'budu kita artikan, kami sembah dan Nasta 'inu kita artikan tempat kami memolion pertolongan.
Kalau ada lagi kata lain
dalam bahasa kita yang lebih mendekati maksud yang terkandung di
dalamnya, bolehlah kita usahakan juga. Sebab dalam hati sanubari kita
sendiripun terasa bahwa arti itu belum tepat benar, meskipun sudah
mendekati. Kata na'budu berpangkal dari kalimat ibadat dan nasta'inu
berpangkal dari kalimat isti'anah.
Lebih murnilah kita rasakan maksudnya kalau kita sebut ibadat saja. Karena meskipun telah kita pakai arti dalam bahasa kita yaitu sembah atau kami sembah, namun hakikat ibadat hanya khusus kepada Allah, sedangkan dalam bahasa kita kalimat sembah itu terpakai juga kepada raja ; di Minangkabau kalau ahli-ahli pidato adat sambut menyambut pidato secara adat, mexeka namai juga sembah-menyembah. Jadi kalau kita artikan "Hanya kepada Engkau kami beribadat barangkali lebih tepat, apatah lagi kalimat ibadat itupun telah menjadi bahasa kita.
Kalimat Isti'anah pun menghendaki keterangan yang panjang. Kalau rnenurut bahasa saja, apabila kita meminta tolong kepada seorang teman menyampaikan pikiran kita kepada anak kita di tempat yang jauh, atau meminta tolong mengangkat lemari karena terlalu berat mengangkat sendiri, dalam bahasa di sebut Isti'anah juga, padahal yang demikian tidak terlarang oleh agama.
Kita bukakan hal ini untuk mengetahui betapa sukarnya menterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain, terutama lagi bahasa agama, terutama lagi Arab dalam al-Qur'an yang turun sebagai Wahyu Ilahi. Makanya kita menguatkan pendapat sebagian besar Ulama agar disamping terjemah atau tafsir, tidak boleh tidak, hendaklah asli tulisan Arabnya dibawakan supaya orang lain yang mengerti dapat menyesuaikan maknanya dengan aslinya.
Di dalam ayat ini bertemulah kita dengan tujuan. Dengan ayat ini kita menyatakan pengakuan bahwa hanya kepadaNya saja kita memohonkan pertolongan; tiada kepada orang lain.
Lebih murnilah kita rasakan maksudnya kalau kita sebut ibadat saja. Karena meskipun telah kita pakai arti dalam bahasa kita yaitu sembah atau kami sembah, namun hakikat ibadat hanya khusus kepada Allah, sedangkan dalam bahasa kita kalimat sembah itu terpakai juga kepada raja ; di Minangkabau kalau ahli-ahli pidato adat sambut menyambut pidato secara adat, mexeka namai juga sembah-menyembah. Jadi kalau kita artikan "Hanya kepada Engkau kami beribadat barangkali lebih tepat, apatah lagi kalimat ibadat itupun telah menjadi bahasa kita.
Kalimat Isti'anah pun menghendaki keterangan yang panjang. Kalau rnenurut bahasa saja, apabila kita meminta tolong kepada seorang teman menyampaikan pikiran kita kepada anak kita di tempat yang jauh, atau meminta tolong mengangkat lemari karena terlalu berat mengangkat sendiri, dalam bahasa di sebut Isti'anah juga, padahal yang demikian tidak terlarang oleh agama.
Kita bukakan hal ini untuk mengetahui betapa sukarnya menterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain, terutama lagi bahasa agama, terutama lagi Arab dalam al-Qur'an yang turun sebagai Wahyu Ilahi. Makanya kita menguatkan pendapat sebagian besar Ulama agar disamping terjemah atau tafsir, tidak boleh tidak, hendaklah asli tulisan Arabnya dibawakan supaya orang lain yang mengerti dapat menyesuaikan maknanya dengan aslinya.
Di dalam ayat ini bertemulah kita dengan tujuan. Dengan ayat ini kita menyatakan pengakuan bahwa hanya kepadaNya saja kita memohonkan pertolongan; tiada kepada orang lain.
Sebagaimana telah kita
maklumi pada keterangan di atas, .Allah adalah Tuhan Yang Mencipta dan
Memelihara. Dia adalah Rabbun, sebab itu Dia adalah IIahi. Tidak ada Rah
yang lain, melainkan Dia. Oleh karena Dia Yang Mencipta dan Memelihara,
maka hanya Dia pula yang patut di sembah. Adalah satu hal yang tidak
wajar, kalau Dia menjadikan dan memelihara, lalu kita menyembah kepada
yang lain.
Oleh sebab itu, maka ayat yang 5 ini memperkuat lagi ayat yang kedua
Oleh sebab itu, maka ayat yang 5 ini memperkuat lagi ayat yang kedua
"Segala puji pujian bagi Allah , Pemelihara dari sekalian alam".
Hanya Dia yang patut dipuji, karena hanya Dia sendiri yang menjadikan dan memelihara a1am, tidak bersekutu dangan yang lain. Alhamdu di atas didahulukan menyebutkan bahwa yang patut menerima pujian hanya Allah, sebab hanya Dia yang mencipta clan memelihara alam.
Sedang pada ayat Iyyaka
rta'budu ini lebih jelas lagi, hanya kepadaNya dihadapkan sekalian
persembahan dan ibadat, sebab hanya Dia sendiri saja, tidak bersekutu
dengan yang lain, yang memelihara alam ini.
Maka mengakui bahwa yang patut disembah sebagai Ilah hanya Allah, dinamai Tauhid Uluhiyah. Dan mengakui yang patut untuk memohon pertolongan, sebagai Robbun hanya Allah, dinamai Tauhid Rububiyah.
Maka mengakui bahwa yang patut disembah sebagai Ilah hanya Allah, dinamai Tauhid Uluhiyah. Dan mengakui yang patut untuk memohon pertolongan, sebagai Robbun hanya Allah, dinamai Tauhid Rububiyah.
Untuk misal yang mudah
tentang Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah ini ialah seumpama kita
ditolong oleh seorang teman, dilepaskan dari satu kesulitan. Tentu kita
mengucapkan terima-kasih kepadanya. Adakah pantas kalau kita ditolong
misalnya oleh si Ahmad, lalu kita mengucapkan terima-kasih kepada si
Hamid ? Maka orang yang mengakui bahwa yang menjadikan alam dan
memelihara alam ialah Allah juga, tetapi menyembah kepada yang lain,
adalah orang itu musyrik. Tauhidnya sendiri pecah belah; menerima nikmat
dari Allah mengucapkan terima-kasih kepada berhala.
Sekarang tentang arti ibadat.
Arti yang luas daripada
IBADAT ialah memperhambakan diri dengan penuh keinsafan dan kerendahan.
Dan dipatrikan lagi oleh cinta. Kita mengakui bahwa kita hambaNya,
budakNya. Kita tidak akan terjadi kalau bukan Dia yang menjadikan.
Kita beribadat kepadaNya
disertai oleh raja', yaitu pengharapan akan kasih dan sayangNya, cinta
yang hakiki, tidak terbagi pada yang lain. Sehingga jikapun kita cinta
kepada yang lain, hanyalah karena yang lain itu nikrnat dari Dia.
Misalnya kita mencintai anak dan isteri, harta dan benda. Atau kita
mencintai tanah air tempat kita dilahirkan, ataupun yang lain-lain.
Semuanya itu adalah
karena dianya nikmat dari Dia. Tidak dapat kita mencintai yang lain
langsung, di samping mencintai Dia. Karena kalau ada cinta lain di
samping cinta kepadaNya, itulah cinta yang terbagi. Apabila telah
terbagi, itulah pangkal dari syirik.
Dan tidak ada pula yang lain yang kita puja atau kita sembah yang berupa ibadat. Karena yang lain itu semuanya adalah makhlukNya belaka.
Kita diperintahNya hormat kepada yang patut dihormati. Kita disuruhNya kasih kepada ibu bapak. Setia kepada negara dan raja atau kepala negara, dan kita diperintahkanNya supaya hormat kepada guru. Semuanya itu kita kerjakan karena Allah yang menyuruhkan. Tetapi kita tidak akan sampai beribadat kepada ayah bunda, atau kepada negara, raja dan kepada kepala negara, atau kepada guru.
Kemudian datanglah isti'anah, yaitu memohonkan pertolongan.
Dan tidak ada pula yang lain yang kita puja atau kita sembah yang berupa ibadat. Karena yang lain itu semuanya adalah makhlukNya belaka.
Kita diperintahNya hormat kepada yang patut dihormati. Kita disuruhNya kasih kepada ibu bapak. Setia kepada negara dan raja atau kepala negara, dan kita diperintahkanNya supaya hormat kepada guru. Semuanya itu kita kerjakan karena Allah yang menyuruhkan. Tetapi kita tidak akan sampai beribadat kepada ayah bunda, atau kepada negara, raja dan kepada kepala negara, atau kepada guru.
Kemudian datanglah isti'anah, yaitu memohonkan pertolongan.
Pada ayat ini kita
disuruh mengucapkan pengakuan bahwa hanya Dia tempat kita memohonkan
pertolongan. Dengan demikian kita akui sendirilah bahwa kita sendiri
tidaklah berkuasa buat mencapai segala rencana yang telah kita cadangkan
di dalam hidup ini. Tenaga kita sangat terbatas, dan kita tidak akan
sampai kalau tidak Tuhan yang menolong.
Sebagai telah diterangkan di atas tadi, dengan menyebut Iyyaka nasta'inu telah terkandung lagi Tauhid di dalam memohonkan pertolongan. Dengan mendahulukan Iyyaka, yang berarti hanya Engkau saja, sudah lebih tegas lagi maksudnya daripada misalnya kita berkata Nasta'inuka, yang berarti kami meminta tolong kepada Engkau.
Sebagai telah diterangkan di atas tadi, dengan menyebut Iyyaka nasta'inu telah terkandung lagi Tauhid di dalam memohonkan pertolongan. Dengan mendahulukan Iyyaka, yang berarti hanya Engkau saja, sudah lebih tegas lagi maksudnya daripada misalnya kita berkata Nasta'inuka, yang berarti kami meminta tolong kepada Engkau.
Dan diapun menimbulkan
kekuatan di dalam jiwa kita. bahwa kita tidak mengharapkan pertolongan
dari yang lain, sebab yang lain tidak berkuasa dan tidak ada daya-upaya
buat menolong kita.
Jangan kita campur
adukkan di antara isti'anah dengan mu'awanah. Di dalam hal memohon
pertolongan, kita tetap hanya kepada Allah. Tetapi di antara kita
rnanusia sesama manusia, mal:hluk sesama makhlukpun diperintah oleh
Allah supaya bertolong-tolongan, berkoperasi, itu namanya bukan isti
'anah, tetapi mu 'awanah. Di dalam Surat al-Maidah, surat 5 ayat 2,
Tuhan bersabda, agar hendaklah kita tolong-menolong di dalam berbuat
kebajikan dan takwa, dan janganlah kita tolong-menolong di dalam hal
dosa dan permusuhan. Tetapi di dalam ayat, mu'awanah Jill berternu lagi
intisari pertahanan isti'anah. Artinya, sebagai muslixrx yang sadar akan
nilai imannya, di dalam isti 'anah kita tetap hanya kepada Tuhan.
Tetapi terhadap orang lain kita sudi menolong sebab melaksanakan
perintah Tuhan juga. Kita tahu sabda Nabi, bahwa tangan di atas lebih
balk dari tangan yang di bawah.
Setiap orang berusaha dan bekexja menurut bakatnya. Dokter menolong orang sakit, dan orang sakit datang meminta tolong dan diberi obat. Guru menolong muridnya dengan mengajarnya tulis dan baca dan ilmu yang lain. Semuanya itu jangan dicampur adukan dengan isti'anah, sebab itu semuanya adalah hubungan manusia sesama manusia. Memang yang kuat hendaklan menolong yang lemah, yang kaya menolong yang miskin. Dan semua itu adalah dalam rangka meminta tolong kepada Allah juga.
Maka tolong menolong, yang satu meminta tolong kepada yang lain, clan yang lain meminta tolong kepada yang satu di dalam urusan kehidupan sehari-hari, tidaklah terlarang, karena itu bukan di dalam rangka memandang bahwa tempat manusia tolong itu sebagai ternpat beribadat. Di atas manusia yang tolong menolong itu ada lagi kekuasaan yang tertinggi memutuskan dengan mutlak, dan Maha Kuasa memberikan atau menahan, melangsungkan atau menggagalkan. Itulah kekuasaan Tuhan, kekuasaaxxNya rneliputi akan seluruhnya. KepadaNyalah kita bersama sesudah bertolong-tolongan sesama kita, memohon petunjuk, memohonkan diberi kekuatan, dihasilkan yang di cita-citakan, dituntun sebaik-baiknya kepada yang balk dan yang benar.
Tauhid dengan jalan isti'anah membangkitkan kekuatan pada diri sendiri, supaya langsung berhubungan dengan Tuhan, yang menjadi sumber dari segala kekuatan. Memohonkan pertolongan kepada Tuhan bukanlah kelemahan, tetapi di sanalah terletak kekuatan. Hanya orang yang tolol yang mengaku bahwa dirinya sanggup berbuat segala yang dia kehendaki.
Adapun orang yang berilmu, maka ilmunya itulah yang menunjukkan kepadanya bahwa dia tidak sanggup mengetahui segalanya.
Berkali-kali kita merencanakan suatu hal. Maka setelah dimulai menjalankan rencana itu, di tengah jalan kita bertemu hal-hal yang sama sekali tidak dalam rencana kita. Mengertilah kita bahwa ada kekuatan tertinggi yang di luar dari kemampuan kita. Taruhlah kita dapat mengatasi dengan meminta tolong kepada orang lain, sesama manusia. Tetapi kelak akan ketahuan pula ada lagi kekuatan tertinggi, yang oleh bersamapun tidak dapat di atasi. Maka lantaran itu selalulah kita mengingat bahwa tempat memohon pertolongan yang tertinggi adalah Tuhan. Dialah Tuhan dengan namaNya Ar Robb.
Memohon pertolongan dengan dasar Tauhid itulah yang masuk akal. Sebab itu tidaklah kita memohon pertolongan misalnya kepada kuburan seorang guru atau orang alim yang kita pandang keramat. Atau meminta tolong kepada berhala, atau meminta tolong kepada keris pusaka. Dengan kalimat Iyyaka nasta'inu tadi, yang berarti "Hanya kepada Engkau saja aku meminta tolong," jelaslah bahwa kita tidak akan meminta pertolongan kepada yang lain dengan cara demikian. Sebab yang lain itu tidak masuk akal bahwa dia dapat menolong.
Ayat ini diikuti lagi oleh ayat yang berikutnya :
Setiap orang berusaha dan bekexja menurut bakatnya. Dokter menolong orang sakit, dan orang sakit datang meminta tolong dan diberi obat. Guru menolong muridnya dengan mengajarnya tulis dan baca dan ilmu yang lain. Semuanya itu jangan dicampur adukan dengan isti'anah, sebab itu semuanya adalah hubungan manusia sesama manusia. Memang yang kuat hendaklan menolong yang lemah, yang kaya menolong yang miskin. Dan semua itu adalah dalam rangka meminta tolong kepada Allah juga.
Maka tolong menolong, yang satu meminta tolong kepada yang lain, clan yang lain meminta tolong kepada yang satu di dalam urusan kehidupan sehari-hari, tidaklah terlarang, karena itu bukan di dalam rangka memandang bahwa tempat manusia tolong itu sebagai ternpat beribadat. Di atas manusia yang tolong menolong itu ada lagi kekuasaan yang tertinggi memutuskan dengan mutlak, dan Maha Kuasa memberikan atau menahan, melangsungkan atau menggagalkan. Itulah kekuasaan Tuhan, kekuasaaxxNya rneliputi akan seluruhnya. KepadaNyalah kita bersama sesudah bertolong-tolongan sesama kita, memohon petunjuk, memohonkan diberi kekuatan, dihasilkan yang di cita-citakan, dituntun sebaik-baiknya kepada yang balk dan yang benar.
Tauhid dengan jalan isti'anah membangkitkan kekuatan pada diri sendiri, supaya langsung berhubungan dengan Tuhan, yang menjadi sumber dari segala kekuatan. Memohonkan pertolongan kepada Tuhan bukanlah kelemahan, tetapi di sanalah terletak kekuatan. Hanya orang yang tolol yang mengaku bahwa dirinya sanggup berbuat segala yang dia kehendaki.
Adapun orang yang berilmu, maka ilmunya itulah yang menunjukkan kepadanya bahwa dia tidak sanggup mengetahui segalanya.
Berkali-kali kita merencanakan suatu hal. Maka setelah dimulai menjalankan rencana itu, di tengah jalan kita bertemu hal-hal yang sama sekali tidak dalam rencana kita. Mengertilah kita bahwa ada kekuatan tertinggi yang di luar dari kemampuan kita. Taruhlah kita dapat mengatasi dengan meminta tolong kepada orang lain, sesama manusia. Tetapi kelak akan ketahuan pula ada lagi kekuatan tertinggi, yang oleh bersamapun tidak dapat di atasi. Maka lantaran itu selalulah kita mengingat bahwa tempat memohon pertolongan yang tertinggi adalah Tuhan. Dialah Tuhan dengan namaNya Ar Robb.
Memohon pertolongan dengan dasar Tauhid itulah yang masuk akal. Sebab itu tidaklah kita memohon pertolongan misalnya kepada kuburan seorang guru atau orang alim yang kita pandang keramat. Atau meminta tolong kepada berhala, atau meminta tolong kepada keris pusaka. Dengan kalimat Iyyaka nasta'inu tadi, yang berarti "Hanya kepada Engkau saja aku meminta tolong," jelaslah bahwa kita tidak akan meminta pertolongan kepada yang lain dengan cara demikian. Sebab yang lain itu tidak masuk akal bahwa dia dapat menolong.
Ayat ini diikuti lagi oleh ayat yang berikutnya :
اهدنا الصراط المستقيم"Tunjukilah kami jalan yang lurus" (ayat 6),
Meminta ditunjuki dan dipimpin supaya tercapai jalan yang lurus. Menurut keterangan setengah ahli tafsir, perlengkapan menuju jalan yang lurus, yang dimohonkan kepada Allah itu ialah,pertama al-Irsyad, artinya agar dianugerahi kecerdikan dan kecerdasan, sehingga dapat membedakan yang salah dengan yang benar.
Meminta ditunjuki dan dipimpin supaya tercapai jalan yang lurus. Menurut keterangan setengah ahli tafsir, perlengkapan menuju jalan yang lurus, yang dimohonkan kepada Allah itu ialah,pertama al-Irsyad, artinya agar dianugerahi kecerdikan dan kecerdasan, sehingga dapat membedakan yang salah dengan yang benar.
Kedua at-Taufiq, yaitu
bersesuaian hendaknya dengan apa yang direncanakan'Iuhan. Ketiga
al-Ilham, diberi petunjuk supaya dapat mengatasi sesuatu yang sulit.
Keempat ad-Dilalah, artinya ditunjuk dalil-dalil dan tanda-tanda dimana
tempat berbahaya, dimana yang tidak boleh dilalui dan sebagainya.
Seumpama tanda-tanda yang dipancangkan di tepi jalan, berbagai macamnya,
untuk memberi alamat petunjuk bagi pengendara kendaraan bermotor.
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, menurut beliau yang dimaksud dengan meminta ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon ditunjuki agamaMu yang benar.
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, menurut beliau yang dimaksud dengan meminta ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon ditunjuki agamaMu yang benar.
Menurut beberapa riwayat
dari ahli-ahli hadits, daripada Jabir bin Abdullah yang dimaksud dengan
Shirothol Mustaqim ialah Agama Islam. Dan menurut beberapa riwayat
lagi, Tbnu Mas'ud mentafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Shirothol
Mustaqim ialah Kitab Allah (al-Qur'an).
Menurut yang dirawikan
oleh Imam Ahmad, Tirmidzi, an-Nasa.'i, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Abu
Syaikh, al-Hakim, Ibnu Mardawaihi dan al-Baihaqi sebuah Hadits
Rasulullah s.a.w diriwayatkan daripada an-Nawwas Ibnu Sam'an, pernah
Rasulullah s.a.w berkata :
"
bahwasanya Allah Ta'ala telah membuat satu perumpamaan tentang
Shirothol Mustaqim itu ; bahwa di kedua belah jalan itu ada dua buah
dinding tinggi. Pada kedua dinding tinggi itu ada beberapa pintu
terbuka, dan di atas tiap-tiap pintu itu ada lelansir penutup (gordiyn).
Sedang diujung jalan tengah yang lurus (Shirothol Mustaqim) itu ada
seorang berdiri memanggil-manggil :
"Wahai
sekalian manusia, masuklah ke dalam Shirat ini semuanya, jangan kamu
berpecah belah", dan ada pula seorang penyeru dari atas Shirat.
Maka
apabila manusia hendak membuka salah satu dari pintu-pintu itu
berkatalah dia : "Celaka ! Jangan engkau buka itu ! Kalau dia engkau
buka, niscaya engkau akan terperosok ke dalam."
Maka
kata Rasulullah selanjutnya : Jalan Shirat itu ialah Islam, dan kedua
dinding sebelah menyebelah itu ialah segala batas-batas yang ditentukan
Allah. Dan banyak pintupintu terbuka itu ialah segala yang diharamkan
Allah. Penyeru yang menyeru di ujung jalan itu ialah Kitab Allah, dan
penyeru yang menyeru dari atas ialah Wa'izh (Pemberi Nasihat) dari Allah
yang ada dalam tiap-tiap diri
Muslim".
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa Hadits ini hasan lagi shohih.
Maka semua penafsiran tadi dapatlah digabungkan menjadi satu Shirathal Mustaqim memang agama yang benar, dan itulah Agama Islam. Dan sumber petunjuk dalam Islam itu tidak lain ialah al-Qur'an, dan semuanya dapat diambil contohnya dari perbuatan Nabi Muhammad s.a.w dan sahabat-sahabat beliau yang utama.
Hanya seorang Ulama saja mengeluarkan tafsir agak sempit, yaitu Fudhail bin Iyadh. Menurut beliau Shirothol Mustaqim ialah jalan pergi naik Haji. Memang dapat menunaikan Haji sebagai rukun Islam yang kelima, dengan penuh keinsafan dan kesadaran, sehingga mencapai Haji yang Mabrur, sudah sebagian daripada Shirath al Mustaqim juga.
Maka semua penafsiran tadi dapatlah digabungkan menjadi satu Shirathal Mustaqim memang agama yang benar, dan itulah Agama Islam. Dan sumber petunjuk dalam Islam itu tidak lain ialah al-Qur'an, dan semuanya dapat diambil contohnya dari perbuatan Nabi Muhammad s.a.w dan sahabat-sahabat beliau yang utama.
Hanya seorang Ulama saja mengeluarkan tafsir agak sempit, yaitu Fudhail bin Iyadh. Menurut beliau Shirothol Mustaqim ialah jalan pergi naik Haji. Memang dapat menunaikan Haji sebagai rukun Islam yang kelima, dengan penuh keinsafan dan kesadaran, sehingga mencapai Haji yang Mabrur, sudah sebagian daripada Shirath al Mustaqim juga.
Apatah bagi orang
semacam Fudhail bin Iyadh sendiri, adapun bagi orang lain belum tentu
naik Haji itu menjadi Shirathal Mustaqim, terutama kalau dikerjakan
karena riya, mempertontonkan kekayaan, mencari nama, atau sebagai
politik untuk mencari simpati rakyat yang bodoh. Dengan ayat ini kepada
kita telah ditunjukkan apa yang amat penting kita mohonkan pertolongan
kepadaNya. Mohon ditunjuki jalan yang lurus.
Kita telah ditakdirkanNya hidup di dunia mi. Melalui hidup di dunia ini, samalah artinya dengan melalui suatu jalan. Kita takut akan bahaya dan ingin selamat dalam perjalanan itu. Kita mau yang baik dan tidak mau yang buruk. Kita mau yang manfaat dan tidak mau yang mudharat. Dengan ayat-ayat yang di atas kita telah memulai membaca dengan namaNya. Kita telah mengakui bahwa Dia Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Kita telah memuji Dia, sebagai Tuhan Pemelihara, Pendidik sekalian alam. Dan kita telah mengakui bahwa kekuasaanNya meliputi dunia dan akhirat.
Kita telah ditakdirkanNya hidup di dunia mi. Melalui hidup di dunia ini, samalah artinya dengan melalui suatu jalan. Kita takut akan bahaya dan ingin selamat dalam perjalanan itu. Kita mau yang baik dan tidak mau yang buruk. Kita mau yang manfaat dan tidak mau yang mudharat. Dengan ayat-ayat yang di atas kita telah memulai membaca dengan namaNya. Kita telah mengakui bahwa Dia Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Kita telah memuji Dia, sebagai Tuhan Pemelihara, Pendidik sekalian alam. Dan kita telah mengakui bahwa kekuasaanNya meliputi dunia dan akhirat.
Dia Rahman dan Rahim,
tetapi Dia juga menguasai dan mempunyai Hari Pembalasan. Lantaran itu
semuanya kita telah, menyerah kepadaNya ; kepadaNya saja> tidak
kepada yang lain. Sehingga kita telah menyatakan tekad bahwa yang kita
sembah hanya Dia dan tempat kita memohon pertolongan hanya Dia. Sekarang
setelah penyerahan demikian mulailah kita memasukkan permohonan puncak
dari segala permohonan, yaitu agar supaya ditunjuki jalan yang lurus.
Kitapun mengaku bahwa petunjuk itu sejak lahir ke dunia telah diberikan
secara berangsur. Pertama sejak mulai lahir telah diberi kita persediaan
petunjuk pertama, sehingga bila terasa lapar kita menangis, bila terasa
basah kitapun menangis ; dan sejak lahir telah diberi petunjuk kita
bagaimana mencucut susu ibu.
Dan setelah itu dengan berangsur-angsur, dari hari ke hari bulan ke bulan berangsur kita dapat membedakan bunyi yang didengar dan warna yang dilihat. Dalam masa perangsuran itu kita diberi naluri untuk perlengkapan hidup, sebagai yang diberikan sekaligus kepada binatang. Tetapi pada binatang terhenti hingga demikian saja, dan pada kita manusia diteruskan lagi dengan pertumbuhan akal dan pikiran.
Dan setelah itu dengan berangsur-angsur, dari hari ke hari bulan ke bulan berangsur kita dapat membedakan bunyi yang didengar dan warna yang dilihat. Dalam masa perangsuran itu kita diberi naluri untuk perlengkapan hidup, sebagai yang diberikan sekaligus kepada binatang. Tetapi pada binatang terhenti hingga demikian saja, dan pada kita manusia diteruskan lagi dengan pertumbuhan akal dan pikiran.
Akallah yang memperbaiki
kesalahan pendapat pancaindera, mata melihat dan merasa seketika kereta
api yang kita tumpangi berhenti di sebuah stasiun dan bahwa dia telah
berangkat pula, padahal yang berangkat itu belum kereta api yang kita
tumpangi itu, melainkan kereta api yang disebelahnya. Dan lain-lain
sebagainya. Mata melihat tongkat yang lurus di dalam air menjadi
bengkok, sedang akal menolaknya.
Tetapi akal saja belumlah cukup menjadi pedoman. Sebab dalam diri kita sendiri bukan akal dan panca indera saja yang harus diperhitungkan. Kita perhitungkan juga syahwat dan hawa nafsu kita, demikian juga naluri-naluri yang lain. Kita kepingin makan dan minum, supaya hidup. Supaya berketurunan kita ingin mempunyai teman hidup ; laki-laki rnencari perempuan dan perempuan menunggu laki-laki. Kita ingin mempunyai apa-apa, kita ingin mempunyai persediaan.
Tetapi akal saja belumlah cukup menjadi pedoman. Sebab dalam diri kita sendiri bukan akal dan panca indera saja yang harus diperhitungkan. Kita perhitungkan juga syahwat dan hawa nafsu kita, demikian juga naluri-naluri yang lain. Kita kepingin makan dan minum, supaya hidup. Supaya berketurunan kita ingin mempunyai teman hidup ; laki-laki rnencari perempuan dan perempuan menunggu laki-laki. Kita ingin mempunyai apa-apa, kita ingin mempunyai persediaan.
Kita ingin orang lainpun
ingin. Untuk mencari apa yang kita ingini itu kita pergunakan alCal,
dan orang lain untuk mencari keinginannya mempergunakan akalnya pula.
Kadang-kadang seluruh orang mengingini satu macam barang, maka
terjadilah perebutan. Mendapatlah siapa yang lebih cerdik atau lebih
kuat.
Kadang-kadang nampak satu hal yang diperlukan dan sangat diingini. Dipakailah segala daya-upaya untuk mencapainya. Kemudian setelah didapat ternyata membawa celaka pada diri. Ada hal yang pahit mulanya dan manis ujungnya. Dan ada pula sebaliknya. Dengan demikian maka pengalaman manusia menunjukkan bahwa akal saja tidaklah cukup untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Mesti ada tuntunan terhadap akal itu sendiri. Itulah Hidayat Agama. Untuk itulah Rasul-rasul diutus dan Kitab-kitab wahyu diturunkan. Rasul-rasul dan Kitab-kitab wahyu itu diutus dan dikirim Allah, Tuhan seru sekalian alam, Maha Pencipta dan Maha Pemelihara.
Dengan perantara Rasul itulah Tuhan mengatakan bahwa dibelakang hidup yang sekarang ini ada lagi Hari Akhirat. Untuk memperhitungkan perbuatan dalam perjalanan hidup itu, bagaimana pemakaian panca indera dan bagaimana pemakaian akal, adakah dia membawa maslahat bagi diri sendiri dan bagi sesama manusia dan bagi hubungan dengan Allah.
Itulah yang kita mohonkan kepada Allah, agar kita ditunjuki jalan yang lurus itu.
Menurut pelajaran ilmu ukur ruang, garis lurus ialah jarak yang paling dekat di antara dua titik. Maka di dalam Shirathal Mustaqim yang kita mohonkan ini, dua titik itu ialah : yang pertama titik kita sebagai hamba, yang kedua titik Allah sebagai Tuhan kita.
Kita berjalan menuju Dia dan kita datang dari Dia. Mau atau tidak mau, namun kita adalah dari Dia, menuju Dia, dan bersama Dia. Oleh karena banyaknya rintangan, kerapkali kita lupa akan hal itu. Atau ada mengetahui, tetapi tidak tahu jalan mana yang akan ditempuh. Kadang-kadang disangka sudah jalan lurus itu yang ditempuh, padahal sudah terbelok kepada yang lain.
Kadang-kadang nampak satu hal yang diperlukan dan sangat diingini. Dipakailah segala daya-upaya untuk mencapainya. Kemudian setelah didapat ternyata membawa celaka pada diri. Ada hal yang pahit mulanya dan manis ujungnya. Dan ada pula sebaliknya. Dengan demikian maka pengalaman manusia menunjukkan bahwa akal saja tidaklah cukup untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Mesti ada tuntunan terhadap akal itu sendiri. Itulah Hidayat Agama. Untuk itulah Rasul-rasul diutus dan Kitab-kitab wahyu diturunkan. Rasul-rasul dan Kitab-kitab wahyu itu diutus dan dikirim Allah, Tuhan seru sekalian alam, Maha Pencipta dan Maha Pemelihara.
Dengan perantara Rasul itulah Tuhan mengatakan bahwa dibelakang hidup yang sekarang ini ada lagi Hari Akhirat. Untuk memperhitungkan perbuatan dalam perjalanan hidup itu, bagaimana pemakaian panca indera dan bagaimana pemakaian akal, adakah dia membawa maslahat bagi diri sendiri dan bagi sesama manusia dan bagi hubungan dengan Allah.
Itulah yang kita mohonkan kepada Allah, agar kita ditunjuki jalan yang lurus itu.
Menurut pelajaran ilmu ukur ruang, garis lurus ialah jarak yang paling dekat di antara dua titik. Maka di dalam Shirathal Mustaqim yang kita mohonkan ini, dua titik itu ialah : yang pertama titik kita sebagai hamba, yang kedua titik Allah sebagai Tuhan kita.
Kita berjalan menuju Dia dan kita datang dari Dia. Mau atau tidak mau, namun kita adalah dari Dia, menuju Dia, dan bersama Dia. Oleh karena banyaknya rintangan, kerapkali kita lupa akan hal itu. Atau ada mengetahui, tetapi tidak tahu jalan mana yang akan ditempuh. Kadang-kadang disangka sudah jalan lurus itu yang ditempuh, padahal sudah terbelok kepada yang lain.
Kita memohon agar Dia
sendiri menujuki kita jalan lurus itu, sehingga sampai dengan cepat
kepada yang dituju, jangan membuang waktu pada usia yang hanya sedikit,
merencah-rencah dan terperosok ke jalan lain.
Maka yang diminta ialah
agar seluruh keperibadian kita, yang mengandung akal, nafsu syahwat,
perasaan, kemauan, terkumpul menjadi satu dalam petunjuk hidayah Tuhan.
Inilah puncaknya
permohonan, yang tadi pada ayat sebelumnya telah kita nyatakan, bahwa
hanya kepadaNya saja kita memohon pertolongan, kita tidak hendak meminta
benda. Kita tidak meminta rum ah bagus, kekayaan melimpah, dan
lain-lain hal yang remeh. Kita memohonkan pokoknya yaitu petunjuk. Dan
yang lain adalah terserah. Kalau petunjuk jalan lurus itu tidak diberi,
walaupun yang lain hal yang remeh diberikanNya, maka yang lain itu besar
kemungkinan akan mencelakakan kita. Kemudian permohonan jalan yang
lurus itu kita jelaskan lagi
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ"Jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat atas mereka " (pangkal ayat 7)
Kita telah mendengar berita, bahwa terdahulu dari kita, Tuhan Allah telah pernah mengaruniakan nikmatNya kepada orang-orang yang telah menempuh jalan yang lurus itu, sebab itu maka kita mohon kepada Tuhan agar kepada kita ditunjukkan pula jalan itu. Telah ada Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang diutus Tuhan, dan telah ada pula orang-orang yang menjadi syahid dan telah ada pula orang-orang yang shalih; semuanya dikaruniai kebahagiaan oleh Tuhan karena menempuh jalan itu. Bekasnya kita rasakan dari jaman ke jaman. Oleh sebab itu maka kita memohonkan pulalah agar kepada kita diberikan pula petunjuk supaya kita menempuh jalan itu dengan selamat.Inilah yang kita rnohonkan dengan Isti'anah kepada Tuhan, dengan berpedoman kepada al-Qur'a.n. Kita mohonkan, tunjuki kiranya kami mana yang benar, karena yang benar hanya satu, tidak terbilang. Metode atas rencana yang benar di dalam menegakkan akhlak, budi bahasa, pergaulan hidup, filsafat, Iqtishad (perekonomian), ijtima' (kemasyarakatan) dan siasat (pohtik) dan sebagainya. Sebab jalan di atas dunia ini terlalu banyak simpang siurnya jangan sampai kita menjadi "Datuk segala Iya", atau sebagai pucuk aru yang mudah dicondongkan angin ke mana dia berkisar. Minta ditunjuki jalan tengah yang lurus yang tidak menghabiskan tenaga dengan percuma : "Arang habis besi binasa".
Kami memohon, pimpin
kiranya karni ke jalan itu, jalan bahagia yang pernah ditempuh oleh
manusia-manusia yang Engkau cintai dan mencintai Engkau, yang menegakkan
jalan terang di dunia ini.
Sekali-kali bukanlah karni meminta "kulit" nikmat. Di luar kelihatan menang, padahal di batin kami kalah. Di luar kelihatan mewah, padahal jiwa kering dan gersang, karena tidak pernah disirami oleh air hujan hidayatMu. Kami tidak memohonkan yang demikian. Yang kami mohonkan ya Tuhanku, ialah nikmat yang kekal abadi, nikmat akan menjadi suluh kami di dalam hidup di dunia ini, dan bekal yang akan kami menghadap Engkau di akhirat, diliputi oleh ridha Engkau.
Apabila Allah telah menganugerahkan nikmat ridhaNya kepada seseorang hamba, tercapailah olehnya puncak kebahagiaan jiwa di dalam hidup yang sekarang ini. Permulaan dari ridha Allah itu ialah bilamana telah tumbuh dalam jiwa keinsafan beragama, menjadi Islam yang berarti menyerah diri sukarela kepada Tuhan, dan iman yang berarti kepercayaan yang penuh. Islam dan Iman menimbulkan ihsan, yaitu bekerja terus memperbaiki dan mempertinggi mutu jiwa. Maka timbullah Nur di dalam jiwa, cahaya yang memberi sinar kepada kehidupan.
Sekali-kali bukanlah karni meminta "kulit" nikmat. Di luar kelihatan menang, padahal di batin kami kalah. Di luar kelihatan mewah, padahal jiwa kering dan gersang, karena tidak pernah disirami oleh air hujan hidayatMu. Kami tidak memohonkan yang demikian. Yang kami mohonkan ya Tuhanku, ialah nikmat yang kekal abadi, nikmat akan menjadi suluh kami di dalam hidup di dunia ini, dan bekal yang akan kami menghadap Engkau di akhirat, diliputi oleh ridha Engkau.
Apabila Allah telah menganugerahkan nikmat ridhaNya kepada seseorang hamba, tercapailah olehnya puncak kebahagiaan jiwa di dalam hidup yang sekarang ini. Permulaan dari ridha Allah itu ialah bilamana telah tumbuh dalam jiwa keinsafan beragama, menjadi Islam yang berarti menyerah diri sukarela kepada Tuhan, dan iman yang berarti kepercayaan yang penuh. Islam dan Iman menimbulkan ihsan, yaitu bekerja terus memperbaiki dan mempertinggi mutu jiwa. Maka timbullah Nur di dalam jiwa, cahaya yang memberi sinar kepada kehidupan.
Dan cahaya itu jugalah
yang akan menyuluhinya sampai ke akhirat. Nikmat inilah yang kita
mohonkan ; tercapai hendaknya oleh kita kehidupan sebagai Nabi-nabi,
Rasul-rasul dan syuhada dan shalihin itu. Karena kalau nikmat itu telah
datang, telah tercapailah oleh kita kekayaan yang sejati. Dengan
kekayaan itu kita tidak merasa takut menghadapi hidup dengan segala
tanggungjawabnya bahkan merekapun tidak gentar menghadapi maut, sebab
maut hanyalah perkisaran sejenak daripada hidup fana kepada hidup yang
khulud. Berapa banyaknya orang yang mati, rnenjadi korban karena
menegakkan IMannya kepada 'Iuhan, namun jejak kebenaran yang mereka
tinggalkan dipusakai oleh anak cucu.
"Bukan jalan mereka yang dimurkai atasnya. "
Siapakah yang dimurkai
Tuhan ? Ialah orang yang telah diberi kepadanya petunjuk, telah diutus
kepadanya Rasul-rasul telah diturunkan kepadanya kitab-kitab Wahyu,
namun dia masih saja memperturutkan hawa nafsunya. Telah ditegur
berkali-kali, namun teguran itu, tidak juga diperdulikannya. Dia merasa
lebih pintar daripada Allah, Rasul-rasul dicemoohkannya, petunjuk Tuhan
diletakkannya ke samping, perdayaan syaitan diperturutkannya.
Dalam hikayat lama ada disebutkan bahwa pada suatu hari seorang pejabat besar kerajaan datang menghadap raja bersama-sama dengan pejabat besar-besar yang lain, setelah masuk ke dalam majelis raja, maka baginda menunjukkan wajah yang girang dan tersenyum simpul melihat tiap-tiap pejabat besar itu, tetapi kepada seseorang baginda yang tidak melihat, entah karena lupa, entah karena sibuk. Maka sangatlah duka cita hati pejabat besar yang seorang itu. Apakah baginda murka kepadanya, ataukah baginda tidak senang lagi. Maka setelah bubar majelis itu diapun kembali pulang kerumahnya dengan hati sedih, lalu di minumnya racun setelah rnenulis sepucuk surat yang di wasiatkannya supaya disampaikan ketangan baginda. Di situ dia tuliskan : "Oleh karena Sri Paduka tidak berkenan lagi kepada patik, telah patik ambil keputusan menghabisi hidup patik. Karena tidak ada harga hidup lagi kalau Sri Paduka tidak senang lagi melihat patik."
Begitulah perasaan orang yang berkhidmat kepada raja apabila dia merasa bahwa rajanya tidak senang lagi kepadanya. Maka betapalah perasaan kita wahai insan yang ghafil, kalau Tuhan Allah yang murka kepada kita ? Kitapun akan dihadirkan juga ke hadapan Tuhan bersama orang yang lain, tetapi kalau Tuhan murka kepada kita, akan betapalah sikap kita. Dan Tuhanpun bersabda memang ada orang yang tidak akan dilawan bercakap oleh Tuhan pada waktu itu karena murkaNya, sebagaimana tersebut di dalam Surat 3 Ali-Imran ayat 77 tentang orang yang memperjual-belikan janji Allah dan mempermudah-mudah sumpah, karena mengharapkan harga yang sedikit. Padahal walaupun mendapat tukaran harga sebesar bumi dan langit, masih amat sedikit juga, karena ada yang akan dibawa ke akhirat.
"Itulah orang yang tidak ada bagian untuk mereka di akhirat dan tidaklah Allah akan bercakap dengan mereka dan tidak akan memandang kepada mereka di hari kiamat dan tidak Dia akan membersihkan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih. " (Ali-Imran 77)
Dan seperti itu pula tertulis pada Surat al-Baqarah, ayat 179, Tidak diajak bercakap oleh Tuhan, tidak dipandang oleh Tuhan, seakan-akan Tuhan dalam bahasa umum "membuang muka" apabila berhadapan dengan dia. Begitulah nasib orang yang dimurkai.
Orang yang dimurkai ialah yang sengaja keluar dari jalan yang benar karena memperturutkan hawa nafsu, padahal dia sudah tahu. Orang yang telah sampai kepadanya kebenaran agama, lalu ditolak dan ditentangnya. Dia lebih berpegang kepada pusaka nenek moyang, walaupun dia telah tahu bahwa itu tidak berat. Maka siksaan azablah yang akan dideritanya.
Dalam hikayat lama ada disebutkan bahwa pada suatu hari seorang pejabat besar kerajaan datang menghadap raja bersama-sama dengan pejabat besar-besar yang lain, setelah masuk ke dalam majelis raja, maka baginda menunjukkan wajah yang girang dan tersenyum simpul melihat tiap-tiap pejabat besar itu, tetapi kepada seseorang baginda yang tidak melihat, entah karena lupa, entah karena sibuk. Maka sangatlah duka cita hati pejabat besar yang seorang itu. Apakah baginda murka kepadanya, ataukah baginda tidak senang lagi. Maka setelah bubar majelis itu diapun kembali pulang kerumahnya dengan hati sedih, lalu di minumnya racun setelah rnenulis sepucuk surat yang di wasiatkannya supaya disampaikan ketangan baginda. Di situ dia tuliskan : "Oleh karena Sri Paduka tidak berkenan lagi kepada patik, telah patik ambil keputusan menghabisi hidup patik. Karena tidak ada harga hidup lagi kalau Sri Paduka tidak senang lagi melihat patik."
Begitulah perasaan orang yang berkhidmat kepada raja apabila dia merasa bahwa rajanya tidak senang lagi kepadanya. Maka betapalah perasaan kita wahai insan yang ghafil, kalau Tuhan Allah yang murka kepada kita ? Kitapun akan dihadirkan juga ke hadapan Tuhan bersama orang yang lain, tetapi kalau Tuhan murka kepada kita, akan betapalah sikap kita. Dan Tuhanpun bersabda memang ada orang yang tidak akan dilawan bercakap oleh Tuhan pada waktu itu karena murkaNya, sebagaimana tersebut di dalam Surat 3 Ali-Imran ayat 77 tentang orang yang memperjual-belikan janji Allah dan mempermudah-mudah sumpah, karena mengharapkan harga yang sedikit. Padahal walaupun mendapat tukaran harga sebesar bumi dan langit, masih amat sedikit juga, karena ada yang akan dibawa ke akhirat.
"Itulah orang yang tidak ada bagian untuk mereka di akhirat dan tidaklah Allah akan bercakap dengan mereka dan tidak akan memandang kepada mereka di hari kiamat dan tidak Dia akan membersihkan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih. " (Ali-Imran 77)
Dan seperti itu pula tertulis pada Surat al-Baqarah, ayat 179, Tidak diajak bercakap oleh Tuhan, tidak dipandang oleh Tuhan, seakan-akan Tuhan dalam bahasa umum "membuang muka" apabila berhadapan dengan dia. Begitulah nasib orang yang dimurkai.
Orang yang dimurkai ialah yang sengaja keluar dari jalan yang benar karena memperturutkan hawa nafsu, padahal dia sudah tahu. Orang yang telah sampai kepadanya kebenaran agama, lalu ditolak dan ditentangnya. Dia lebih berpegang kepada pusaka nenek moyang, walaupun dia telah tahu bahwa itu tidak berat. Maka siksaan azablah yang akan dideritanya.
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ
"Dan bukan jalan mereka yang sesat". (ujung ayat 7).
Adapun orang yang sesat
ialah orang yang berani-berani saja membuat jalan sendiri diluar yang
digariskan Tuhan. Tidak mengenal kebenaran, atau tidak dikenalnya
menurut maksud yang sebenarnya.
Sebagaimana telah kita kenal pada keterangan-keterangan di atas, tentang kepercayaan akan adanya Tuhan, sampai orang-orang Arab mengkhususkan nama Allah buat Tuhan Yang Maha Esa. Di sini telah kita maklumi bahwa kepercayaan kepada Tuhan itu telah ada dalam lubuk jiwa manusia. Tetapi kepercayaan tentang adanya Allah itu belumlah menjadi jaminan bahwa orang itu tidak akan sesat lagi. Di Eropa pernah timbul suatu gerakan bernama Deisme ; dengan dasar penyelidikan akal murni, mereka mengakui bahwa Tuhan itu memang ada. Tetapi mereka tidak mau percaya akan adanya Rasul, atau Wahyu,atau hari akhirat. Kata mereka dengan kepercayaan akan adanya Allah itu saja sudah cukup, agama tidak perlu lagi.
Tentang ketuhanan, ahli filsafat terbagi kepada dua golongan . Yaitu golongan Spiritualis dengan golongan Materialis. Golongan yang percaya adanya yang ghaib, terutama Tuhan, yang hanya percaya kepada benda saja, sudah nyata tersesat. Yang percaya ada Tuhan saja, tetapi tidak percaya akan adanya syariat yang diturunkan Allah dengan mengutus Nabi-nabi dan menurunkan wahyu, itupun tersesat, sebab penilaian mereka tentang adanya Tuhanpun berbagai ragam, sehingga ada aliran Pantheisme, yang mengatakan bahwa seluruh yang ada ini adalah Tuhan belaka, atau Polytheisme, yaitu yang mengatakan Tuhan itu berbilang.
Sebagaimana telah kita kenal pada keterangan-keterangan di atas, tentang kepercayaan akan adanya Tuhan, sampai orang-orang Arab mengkhususkan nama Allah buat Tuhan Yang Maha Esa. Di sini telah kita maklumi bahwa kepercayaan kepada Tuhan itu telah ada dalam lubuk jiwa manusia. Tetapi kepercayaan tentang adanya Allah itu belumlah menjadi jaminan bahwa orang itu tidak akan sesat lagi. Di Eropa pernah timbul suatu gerakan bernama Deisme ; dengan dasar penyelidikan akal murni, mereka mengakui bahwa Tuhan itu memang ada. Tetapi mereka tidak mau percaya akan adanya Rasul, atau Wahyu,atau hari akhirat. Kata mereka dengan kepercayaan akan adanya Allah itu saja sudah cukup, agama tidak perlu lagi.
Tentang ketuhanan, ahli filsafat terbagi kepada dua golongan . Yaitu golongan Spiritualis dengan golongan Materialis. Golongan yang percaya adanya yang ghaib, terutama Tuhan, yang hanya percaya kepada benda saja, sudah nyata tersesat. Yang percaya ada Tuhan saja, tetapi tidak percaya akan adanya syariat yang diturunkan Allah dengan mengutus Nabi-nabi dan menurunkan wahyu, itupun tersesat, sebab penilaian mereka tentang adanya Tuhanpun berbagai ragam, sehingga ada aliran Pantheisme, yang mengatakan bahwa seluruh yang ada ini adalah Tuhan belaka, atau Polytheisme, yaitu yang mengatakan Tuhan itu berbilang.
Orang-orang yang telah
mengaku beragamapun bisa juga tersesat. Kadang-kadang karena terlalu
taat dalam beragama, lalu ibadat ditambah-tambah daripada yang telah
ditentukan dalam syariat, sehingga timbul bid'ah. Disangka masih dalam
agama, padahal sudah terpesong keluar.
Ada sebuah Hadits yang
shahih, dirawikan oleh Abdulah bin Humaid dari ar-Rabbi' bin Anas, dan
riwayat Abdulah bin Humaid juga daripada Mujahid, demikian juga daripada
Said bin Jubair dan Hadits lain yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan
lain-lain daripada Abdullah bin Syaqiq, daripada Abu Zar, dan dirawikan
juga oleh Sufyan bin Uyaynah dalam tafsirnya, daripada Ismail bin Abu
Khalid, bahwa seketika orang bertanya kepada Rasulullah tentang siapa
yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat.
Lalu Rasulullah menjawab :
Lalu Rasulullah menjawab :
" Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat ialah Nasrani."
Hadits ini dengan
berbagai jalan Asbabul Wurudnya dan riwayatnya telah tercantum pada
kitab-kitab tafsir yang masyhur. Tetapi dia meminta penafsiran kita
sekali lagi. Yang wajib kita tekankan perhatian kita ialah kepada
sebab-sebab maka Yahudi dikatakan kena murka dan sebab- sebab Nasrani
tersesat.
Perhatian kita jangan hanya ditujukan kepada Yahudi dan Nasraninya saja, tetapi hendaklah kita tilik sebab mereka kena murka dan sebab mereka tersesat. Yahudi dimurkai, sebab mereka selalu mengingkari segala petunjuk yang dibawa oleh Rasul mereka, kisah pengingkaran Yahudi itu tersebut di dalam kitab-kitab mereka sendiri sampai sekarang, sehingga Nabi Musa pernah mengatakan bahwa mereka itu " keras tengkuk", tak mau tunduk, sampai mereka membunuh Nabi-nabi. Sebab itu Allah murka.
Nasrani tersesat karena sangat cinta kepada Nabi Isa al-Masih, mereka katakan Isa itu anak Allah, bahkan Allah sendiri menjelma menjadi anak, datang ke dunia menebus dosa manusia.
Maka bagi kita umat
Islam yang membaca al-Fatihah ini sekurangnya 17 kali sehari semalam,
hendaklah diingat jangan sampai kita menempuh jalan yang akan dimurkai
Allah pula, sebagai Yahudi. Apabila satu kali kita telah memandang bahwa
pelajaran yang lain lebih baik dan berguna daripada pelajaran Nabi
Muhammad s.a.w maka mulailah kita diancam oleh kemurkaan Tuhan.
Di dalam Surat an Nisa (Surat 4, ayat 65), sampai dengan sumpah Tuhan menyatakan bahwa tidaklah mereka beriman sebelum mereka bertahkim kepada Nabi Muhamad s.a.w di dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, dan mereka tidak merasa keberatan menerima keputusan yang beliau putuskan, dan merekapun menyerah sebenar-benar menyerah, kalau ini tidak kami lakukan, pastilah kita kena murka seperti Yahudi.
Dan kalau kita katakan pula misalnya bahwa Nabi Muhammad s.a.w. itu adalah "al-Haqiqatul Muhammadiyah", atau "Nur Muhammad", yaitu Allah Ta'ala sendiri yang menjelmakan diri (Ibraza Haqiqatihi), ke dalam alam ini sebagai anutan setengah ahli tasauf, niscaya sesatlah kita sebagai Nasrani. Saiyid Rasyid Ridha di dalam 'al-Manarnya menguraikan penafsiran gurunya Syaikh Mohammad Abduh tentang orang yang tersesat , terbagi atas empat tingkat :
Pertama : Yang tidak sampai kepadanya dakwah, atau ada sampai tetapi hanya didapat dengan pancaindera dan akal, tidak ada tuntunan agama. Meskipun di dalam soal-soal keduniaan mungkin mereka tidak sesat, namun mereka pasti sesat dalam mencari pelepasan jiwa dan kebahagiaannya di akhirat. Siapa yang tidak menikmati agama tidaklah dia akan merasai nikmat dari kedua kehidupan itu.
Di dalam Surat an Nisa (Surat 4, ayat 65), sampai dengan sumpah Tuhan menyatakan bahwa tidaklah mereka beriman sebelum mereka bertahkim kepada Nabi Muhamad s.a.w di dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, dan mereka tidak merasa keberatan menerima keputusan yang beliau putuskan, dan merekapun menyerah sebenar-benar menyerah, kalau ini tidak kami lakukan, pastilah kita kena murka seperti Yahudi.
Dan kalau kita katakan pula misalnya bahwa Nabi Muhammad s.a.w. itu adalah "al-Haqiqatul Muhammadiyah", atau "Nur Muhammad", yaitu Allah Ta'ala sendiri yang menjelmakan diri (Ibraza Haqiqatihi), ke dalam alam ini sebagai anutan setengah ahli tasauf, niscaya sesatlah kita sebagai Nasrani. Saiyid Rasyid Ridha di dalam 'al-Manarnya menguraikan penafsiran gurunya Syaikh Mohammad Abduh tentang orang yang tersesat , terbagi atas empat tingkat :
Pertama : Yang tidak sampai kepadanya dakwah, atau ada sampai tetapi hanya didapat dengan pancaindera dan akal, tidak ada tuntunan agama. Meskipun di dalam soal-soal keduniaan mungkin mereka tidak sesat, namun mereka pasti sesat dalam mencari pelepasan jiwa dan kebahagiaannya di akhirat. Siapa yang tidak menikmati agama tidaklah dia akan merasai nikmat dari kedua kehidupan itu.
Akan berjumpalah bekas
kekacauan dan kegoncangan dalam kepercayaan sehari-hari, diikuti oleh
macam-macam bahaya dan krisis yang tidak dapat di atasi. Yang demikian
adalah Sunnatullah dalam alam ini, yang tidak dapat jalan lain untuk
mengelakkannya. Adapun nasib mereka di akhirat kelak, nyatalah bahwa
kedudukan mereka tidak sama dengan orang yang beroleh hidayat dan
petunjuk. Mungkin juga diberi maaf oleh Tuhan, karena dia berbuat
sekehendakNya.
Kedua : Sampai kepada mereka dakwah, atas jalan yang dapat membangun pikiran ; merekapun telah mulai tertarik oleh dakwah itu, tetapi sebelum sampai menjadi keimanannya, diapun mati.
Kedua : Sampai kepada mereka dakwah, atas jalan yang dapat membangun pikiran ; merekapun telah mulai tertarik oleh dakwah itu, tetapi sebelum sampai menjadi keimanannya, diapun mati.
Bagian ini terdapat pada
orang-orang seorang dalam satu-satu bangsa, tidak umum, sehingga tidak
ada kesannya kepada masyarakat banyak. Adapun nasib orang -orang seperti
ini kelak, menurut pendapat Ulama-ulama Mazhab Asyari, diharapkan juga
moga-moga mereka mendapat Rahmat belas-kasihan Tuhan. Abul Hasan Asy'ari
sendiri berpendapat demikian.
Tetapi menurut pendapat
Jumhur ( golongan terbesar) Ulama, tidaklah diragukan bahwa persoalan
mereka lebih ringan daripada persoalan orang yang mengingkari sama
sekali, yakni orang yang tidak percaya akan nikmat akal dan yang lebih
senang dalam kejahilan.
Ketiga : Dakwah sampai
kepada mereka dan mereka akui, tetapi tidak mereka pergunakan akal buat
berpikir dan menyelidiki dari pokoknya, tetapi mereka berpegang teguh
juga kepada hawa nafsu atau kebiasaan lama atau menambah-nambah. Inilah
tukang-tukang bid'ah tentang akidah, inilah orang, yang i'tikadnya telah
jauh menyeleweng dari al-Qur'an dan dari teladan yang ditinggalkan
Salaf. Inilah yang membawa pecah ummat.
Keempat : Yang sesat
dalam beramal, atau memutar-mutarkan hukum dari maksud yang sebenarnya.
Seumpama orang yang mengelak supaya jangan sampai dia mengeluarkan
zakat. Setelah dekat habis tahun dipindahkannya pemilikan harta itu
kepada orang lain, misalnya kepada anaknya dan setelah lepas masa
membayar zakat itu, dengan persetujuan berdua, anak itu menyerahkan pula
kembali kepadanya. Dengan demikian dia merasa bangga karena telah
merasa berhasil mempermainkan Tuhan Allah, disangkanya Tuhan Allah bodoh
!
Kesesatan orang-orang
ini timbul dari kepintaran otak tetapi batinnya kosong daripada iman.
Diruntuhkan agamanya , tetapi dia sendiri yang hancur.
Sekian kita ringkaskan dari keterangan tentang orang yang sesat, adh-dhoolin menurut pembagian Ustadz Imam Muhammad Abduh.
Maka kalau sudah sampai kepada derajat yang keempat itu, meskipun umat tadi masih kelihatan beragama pada kulitnya, masih terletak merk lslam pada lainnya, dan masih diberi tanda "hijau" * dalam peta negerinya, samalah artinya dengan agamanya tidak ada lagi. Akan beruntunlah kecelakaan menimpa umat itu, kecuali apabila datang pembaharuan (tajdid) dan pembangkitan semangat.
Kalau pembaharuan tidak datang , umat itu akan hancur dan hilang , mungkin kelaknya berbondong keturunannya memeluk agama lain yang lebih kuat mengadakan propaganda.
Sekian kita ringkaskan dari keterangan tentang orang yang sesat, adh-dhoolin menurut pembagian Ustadz Imam Muhammad Abduh.
Maka kalau sudah sampai kepada derajat yang keempat itu, meskipun umat tadi masih kelihatan beragama pada kulitnya, masih terletak merk lslam pada lainnya, dan masih diberi tanda "hijau" * dalam peta negerinya, samalah artinya dengan agamanya tidak ada lagi. Akan beruntunlah kecelakaan menimpa umat itu, kecuali apabila datang pembaharuan (tajdid) dan pembangkitan semangat.
Kalau pembaharuan tidak datang , umat itu akan hancur dan hilang , mungkin kelaknya berbondong keturunannya memeluk agama lain yang lebih kuat mengadakan propaganda.
Al-Fatihah Sebagai Rukun Sembahyang
oleh karena al-Fatihah
satu Surat yang menjadi Rukun (tiang) sembahyang, baik sembahyang fardhu
yang lima waktu, ataupun sekalian sembahyang yang sunnat dan nawafil,
maka dalam hal ini tidaklah cukup kalau kita hanya sekedar menafsirkan
arti al-Fatihah, melainkan kita perlengkap lagi dengan hukum atau
ketentuan Syariat berkenaan dengan al-Fatihah.
Segala sembahyang tidak sah , kalau tidak membaca al-Fatihah. tersebut dalam hadits-hadits:
Dan hendaklah dibaca pada tiap- tiap rakaat , karena Hadits :
1. Daripada Ubadah bin as-Shamit, bahwasannya Nabi s. a. w berkata: "Tidaklah ada sembahyang (tidak sah sembahyang) bagi siapa yang tidak membaca Fatihatil Kitab. " (Dirawikan oleh al-Jamaah)
2. Dan pada lafadz yang lain : " Tidaklah memadai sembahyang bagi siapa yang tidak mernbaca Fatihatil-Kitab." (Dirawikan oleh adDaruquthni, dan beliau berkata bahwa isnad Hadits ini sahih).
3. "Tidaklah diterima sembahyang kalau tidak dibaca padanya UmmulQuran. " (Dirawikan oleh Imam Ahmad)
Dengan hadits-hadits ini dan beberapa Hadits lain sama bunyinya, sependapatlah sebagian besar Ulama Fiqh bahwa tidak sah sembahyang selain daripada membaca al-Fatihah, walaupun Surat yang mana yang kita baca. Demikianlah Mazhab Imam Malik, Imam Syafi'i dan jumhur Ulama, sejak dari sahabat- sahabat Rasulullah, sampai kepada tabi'in dan yang sesudahnya. Oleh sebab itu baik Imam atau Makmum, wajiblah semuanya membaca al-Fatihah di dalam sembahyang.
Segala sembahyang tidak sah , kalau tidak membaca al-Fatihah. tersebut dalam hadits-hadits:
Dan hendaklah dibaca pada tiap- tiap rakaat , karena Hadits :
1. Daripada Ubadah bin as-Shamit, bahwasannya Nabi s. a. w berkata: "Tidaklah ada sembahyang (tidak sah sembahyang) bagi siapa yang tidak membaca Fatihatil Kitab. " (Dirawikan oleh al-Jamaah)
2. Dan pada lafadz yang lain : " Tidaklah memadai sembahyang bagi siapa yang tidak mernbaca Fatihatil-Kitab." (Dirawikan oleh adDaruquthni, dan beliau berkata bahwa isnad Hadits ini sahih).
3. "Tidaklah diterima sembahyang kalau tidak dibaca padanya UmmulQuran. " (Dirawikan oleh Imam Ahmad)
Dengan hadits-hadits ini dan beberapa Hadits lain sama bunyinya, sependapatlah sebagian besar Ulama Fiqh bahwa tidak sah sembahyang selain daripada membaca al-Fatihah, walaupun Surat yang mana yang kita baca. Demikianlah Mazhab Imam Malik, Imam Syafi'i dan jumhur Ulama, sejak dari sahabat- sahabat Rasulullah, sampai kepada tabi'in dan yang sesudahnya. Oleh sebab itu baik Imam atau Makmum, wajiblah semuanya membaca al-Fatihah di dalam sembahyang.
"Dari Abu Qatadah, bahwasanya Nabi s. a. w adalah beliau tiap-tiap raka'at membaca Fatihatil- kitab." (Dirawikan oleh Bukhari)
Selain dari itu sunnah pula sesudah membaca al-Fatihah itu diiringkan pula dengan Surat-surat yang mudah dibaca dan dihapal oleh yang bersangkutan ; karena ada Hadits :
5. "Dia menyuruh kita supaya membaca al-Fatihah dan mana-mana yang- mudah. "(dirawikan oleh Abu Daud daripada Abu Said al Khudri).
Berkata Ibnu Sayidin Nas : "Isnad Hadits ini shahih dan rijalnya semua dapat dipercaya."
Mengiringi al-Fatihah dengan surat-surat yang mudah itu ialah pada sembahyang Subuh dan dua rakaat permulaan dari sembahyang yang lain dan pada sembahyang Jum'at.
Kalau imam sedang membaca dengan jahar hendaklah makmum berdiam diri dan mendengarkan dengan baik. Yang boleh dibaca makmum sedang imam membaca hanyalah al-Fatihah saja, supaya bacaan imam jangan terganggu.
Selain dari itu sunnah pula sesudah membaca al-Fatihah itu diiringkan pula dengan Surat-surat yang mudah dibaca dan dihapal oleh yang bersangkutan ; karena ada Hadits :
5. "Dia menyuruh kita supaya membaca al-Fatihah dan mana-mana yang- mudah. "(dirawikan oleh Abu Daud daripada Abu Said al Khudri).
Berkata Ibnu Sayidin Nas : "Isnad Hadits ini shahih dan rijalnya semua dapat dipercaya."
Mengiringi al-Fatihah dengan surat-surat yang mudah itu ialah pada sembahyang Subuh dan dua rakaat permulaan dari sembahyang yang lain dan pada sembahyang Jum'at.
Kalau imam sedang membaca dengan jahar hendaklah makmum berdiam diri dan mendengarkan dengan baik. Yang boleh dibaca makmum sedang imam membaca hanyalah al-Fatihah saja, supaya bacaan imam jangan terganggu.
6. "Daripada
Ubadah, berkata dia bahwa satu ketika Rosululloh s. a. w. Sembahyang
Subuh, maka memberati kepadanya bacaan. Maka tatkala sembahyang telah
selesai, berkatalah beliau : Saya perhatikan kamu membaca. Berkata
Ubadah : Kami jawab : Ya Rosululloh, memang kami membaca. Walloh. Lalu
berkata beliau : jangan lakukan itu, kecuali dengan Ummul Qur'an. Karena
sesunggguhnya tidaklah sah sembahyang bagi barangsiapa yang tidak
membacanya."
(Hadits dirawikan oleh Abu Daud dan Tirmidzi).
Dan sebuah Hadits lagi dari Ubadah juga; dengan lafadz lain:
7. Dari Ubadah bahwasanya Rosululloh s. a. w. pernah berkata: "sekali
kali jangan seorangpun di antara kamu membaca sesuatu dari al-Qur'an,
apabila aku menjahar, kecuali dengan Ummul Qur'an. "
(Dirawikan oleh Ad-Daruquthni)
Dan ada lagi beberapa Hadits yang lain yang bersamaan maknanya yaitu kalau imam menjahar, yang boleh dibaca oleh makmum di belakang imam yang menjahar itu hanyalah al-Fatihah saja, tetapi tidak boleh dengan suara keras, supaya jangan terganggu imam yang sedang membacanya.
Sungguhpun demikian ada juga perselisihan ijtihad di antara Ulama-ulama fikih tentang membaca di belakang iman yang sedang menjahar itu. Kata setengah ahli ijtihad, kalau imam membaca jahar, hendaklah makmum berdiam diri mendengarkan, sehingga al-Fatihahpun cukuplah bacaan imam itu saja didengarkan. Mereka berpegang kepada sebuah hadits
8. "Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rosululloh s.a.w. berkata: Sesungguhnya Imam itu lain tidak telah dijadikan menjadi ikutan kamu. Maka apabila dia telah takbir, hendaklah kamu takbir pula dan apabila dia membaca, maka hendaklah kamu berdiam diri. "(Dirawikan oleh yang berlima, kecuali Tirmidzi. Dan berkata Muslim: "Hadits ini Shahih")
Dan mereka kuatkan pula dengan ayat 204 dari pada surat 7 (Surat al-A'raf)
"Dan apabila dibaca orang al-Qur'an, maka dengarkanlah olehmu akan dia dan berdiam dirilah supaya kamu diberi rahmat. " (al-A'raf : 204)
Maka buah ijtihad dari golongan yang kedua ini, meskipun dihormati juga golongan yang pertama, tetapi tidaklah dapat menggoyahkan pendirian mereka bahwa walaupun Imam membaca jahar namun makmum masih wajib membaca al-Fatihah di belakang Imam. Sebab kata mereka baik hadits yang dirawikan Abu Hurairah tersebut, ataupun ayat dari akhir surat al A'raf itu ialah perintah yang aam, sedang hadits Ubadah dan Haditst-hadits yang lain itu adalah khash. Maka menurut ilmu Ushul dalam hal yang seperti ini ada undang-undangnya, yaitu:
(Dirawikan oleh Ad-Daruquthni)
Dan ada lagi beberapa Hadits yang lain yang bersamaan maknanya yaitu kalau imam menjahar, yang boleh dibaca oleh makmum di belakang imam yang menjahar itu hanyalah al-Fatihah saja, tetapi tidak boleh dengan suara keras, supaya jangan terganggu imam yang sedang membacanya.
Sungguhpun demikian ada juga perselisihan ijtihad di antara Ulama-ulama fikih tentang membaca di belakang iman yang sedang menjahar itu. Kata setengah ahli ijtihad, kalau imam membaca jahar, hendaklah makmum berdiam diri mendengarkan, sehingga al-Fatihahpun cukuplah bacaan imam itu saja didengarkan. Mereka berpegang kepada sebuah hadits
8. "Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rosululloh s.a.w. berkata: Sesungguhnya Imam itu lain tidak telah dijadikan menjadi ikutan kamu. Maka apabila dia telah takbir, hendaklah kamu takbir pula dan apabila dia membaca, maka hendaklah kamu berdiam diri. "(Dirawikan oleh yang berlima, kecuali Tirmidzi. Dan berkata Muslim: "Hadits ini Shahih")
Dan mereka kuatkan pula dengan ayat 204 dari pada surat 7 (Surat al-A'raf)
"Dan apabila dibaca orang al-Qur'an, maka dengarkanlah olehmu akan dia dan berdiam dirilah supaya kamu diberi rahmat. " (al-A'raf : 204)
Maka buah ijtihad dari golongan yang kedua ini, meskipun dihormati juga golongan yang pertama, tetapi tidaklah dapat menggoyahkan pendirian mereka bahwa walaupun Imam membaca jahar namun makmum masih wajib membaca al-Fatihah di belakang Imam. Sebab kata mereka baik hadits yang dirawikan Abu Hurairah tersebut, ataupun ayat dari akhir surat al A'raf itu ialah perintah yang aam, sedang hadits Ubadah dan Haditst-hadits yang lain itu adalah khash. Maka menurut ilmu Ushul dalam hal yang seperti ini ada undang-undangnya, yaitu:
"Membinakan yang aam atas yang khas adalah wajib"
Jadi kalau kita nyatakan
secara lebih mudah dipahami ialah : Isi ayat surat al-A'raf ialah
memerintahkan kita mendengar dan berdiam diri ketika Al-Qur'an dibaca
orang. Itu aam atau umum di mana saja, kecuali ketika menjadi makmum di
belakang imam yang menjahar. Maka pada waktu itu perintah mendengar dan
berdiam diri itu tidak berlaku lagi, sebab Nabi telah mengatakan bahwa
tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca al-Fatihah. Maka
kalau dia mendengarkan bacaan Imam saja dan berdiam diri, padahal dia
disuruh membaca sendiri di saat itu tidaklah sah. sembahyangnya.
Hadits Abu Hurairahpun umum menyuruh takbir apabila Imam telah takbir dan berdiam diri, apabila Imam telah membaca. hiipun umum. Maka dikecualikanlah dia oleh hadits Ubadah tadi, yang menegaskan larangan Rasulullah membaca apa-apa juapun, kecuali al-Fatihah.
Dan datang pula sebuah Hadits Anas bin Malik, dirawikan oleh Tbnu Hibban, demikian bunyinya :
9. Berkata Rasulullah s. a. w. :
Hadits Abu Hurairahpun umum menyuruh takbir apabila Imam telah takbir dan berdiam diri, apabila Imam telah membaca. hiipun umum. Maka dikecualikanlah dia oleh hadits Ubadah tadi, yang menegaskan larangan Rasulullah membaca apa-apa juapun, kecuali al-Fatihah.
Dan datang pula sebuah Hadits Anas bin Malik, dirawikan oleh Tbnu Hibban, demikian bunyinya :
9. Berkata Rasulullah s. a. w. :
"
Apakah kamu membaca di dalam sembahyang yang kamu di belakang Imam,
padahal Imam sedang membaca ? Jangan berbuat begitu. Tetapi hendaknya
membaca tiap seorang kamu akan Fatihatul Kitab di dalam dirinya. "
(Artinya, baca dengan tidak keras-keras)
Oleh sebab itu maka golongan pertama tadi menjalankari kedua maksud ini, yaitu mereka menetapkan membaca al-Fatihah, di belakang Imam yang menjahar, tetapi tidakboleh keras, supaya jangan terganggu Imam yang sedang membaca. Dan apabila telah selesai membaca al-Fatihah, merekapun menjalankan maksud hadits, yaitu berdiam diri mendengarkan segala bacaan Imam yang lain.
Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang kalau ada orang yang berhenti sama sekali membaca a1-Fatihah karena berpegang pada Hadits Abu Hurairah dan ayat 104 surat al-A'raf tadi , pegangannya ialah semata-mata ijtihad hendaklah di hormati. Adapun penulis tafsir ini, kalau orang bertanya, manakah di antara kedua paham itu yang penulis merasa puas hati memegangnya, maka penulis menjawab :
Oleh sebab itu maka golongan pertama tadi menjalankari kedua maksud ini, yaitu mereka menetapkan membaca al-Fatihah, di belakang Imam yang menjahar, tetapi tidakboleh keras, supaya jangan terganggu Imam yang sedang membaca. Dan apabila telah selesai membaca al-Fatihah, merekapun menjalankan maksud hadits, yaitu berdiam diri mendengarkan segala bacaan Imam yang lain.
Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang kalau ada orang yang berhenti sama sekali membaca a1-Fatihah karena berpegang pada Hadits Abu Hurairah dan ayat 104 surat al-A'raf tadi , pegangannya ialah semata-mata ijtihad hendaklah di hormati. Adapun penulis tafsir ini, kalau orang bertanya, manakah di antara kedua paham itu yang penulis merasa puas hati memegangnya, maka penulis menjawab :
"
Aku memegang paham yang pertama , yaitu walaupun Imam menjaharkan
bacaannya, namun sebagai makmum penulis tetap membaca al-Fatihah untuk
diri sendiri. Karena payah penulis hendak mengenyampingkan Hadits yang
terang tadi, yaitu tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca
al-Fatihah".
Adapun waktu membacanya itu, apakah seketika Imam berdiam diri sejenak, atau seketika dia membaca ? Maka Ulama-ulama dalam Mazhab Syafi'i, berpendapat boleh didengarkan Imam itu terlebih dahulu membaca a1-Fatihah dan dianjurkan supaya Imam berhenti sejenak mernberi kesempatan kepada makmum supaya mereka membaca al-Fatihah pula. Tetapi kalau Imam itu tidak berhenti sejenak, melainkan terus saja membaca ayat atau surat-surat yang mudah sehabis membaca al-Fatihah, maka sehabis Imam itu membaca al-Fatihah, terus pulalah si makmum membaca al-Fatihah sedang Imam itu membaca surat. Dan sehabis membaca al-Fatihah itu hendaklah si makmum berdiam diri mendengarkan apa yang dibaca Imam sampai selesai.
Adapun waktu membacanya itu, apakah seketika Imam berdiam diri sejenak, atau seketika dia membaca ? Maka Ulama-ulama dalam Mazhab Syafi'i, berpendapat boleh didengarkan Imam itu terlebih dahulu membaca a1-Fatihah dan dianjurkan supaya Imam berhenti sejenak mernberi kesempatan kepada makmum supaya mereka membaca al-Fatihah pula. Tetapi kalau Imam itu tidak berhenti sejenak, melainkan terus saja membaca ayat atau surat-surat yang mudah sehabis membaca al-Fatihah, maka sehabis Imam itu membaca al-Fatihah, terus pulalah si makmum membaca al-Fatihah sedang Imam itu membaca surat. Dan sehabis membaca al-Fatihah itu hendaklah si makmum berdiam diri mendengarkan apa yang dibaca Imam sampai selesai.
Di Antara Jahar Dan Siir
Selain daxi khilafiyah
tentang Bismillah (Basrnallah) apakah dia terrnasuK ayat di pangkal
suatu surat atau hanya dalam surat anNaMl itu saja, timbul pula
pertikaian pendapat tentang; apakah ketika membaca al-Fatihah dan Surat
yang berikutnya pada sembahyang sembahyang yang dijaharkan , Imam mesti
menjaharkan (membaca dengan keras) Bismillah juga ? Ataukah Bismillah
dibaca dengan Siir ? Atau yang dijaharkan cuma al-Fatihah dan surat yang
berikutnya saja ?
Golongan yang
berpendapat bahwa hendaknya Basmallah itu dijaharkan dari kalangan
sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w ialah : Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu
Umar, Ibnu Zubair. Dan yang menjaharkan dari kalangan Tabi'in ialah Said
bin Jubair, Abu Qilabah, az-Zuhri, Ikrimah, Athaa', Thaawuus, Mujahid,
Ali bin Husain, Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka'ab al Qurazhi, Ibnu
Siirin, Ibnul Munkadir, Nafi' Maula Ibnu Umar, Zaid bin Aslam, Makhuul,
Umar bin Abdil Aziz, Amir bin Dinar dan Muslim bin Khalid. Dan itu pula
pilihan (Mazhab) Imam Syafi'i. Dan begitu pula salah satu pendapat dari
Ibnu Wahab, salah seorang pemangku Mazhab Malik. Diriwayatkan orang
pula, bahwa Tbnu Mubarak dan Abu Tsaur berpendapat menjaharkan juga.
Yang berpendapat bahwa Bismillahi itu di Siir-kan saja, (tidak dlbaca keras) oleh Imam, dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w ialah : Abu Bakar, Umar, Usman, Ali bin Abu T'halib, Ibnu Mas'ud, Ammaar bin Yasir, Ibnu Maghal dan lain-lain. Dan dari tabi'in, di antaranya ialah Hasan al-Bishri, asy-Syabi, Ibrahim an-Nakhali, Qatadah, alA'masy dan as-Tsauri. Puluhan Mazhab dari Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal pun condong kepada membacanya dengan Siir.
Alasan dari yang memilih (Mazhab) jahar ialah sebuah Hadits yang dirawikan oleh jamaah daripada sahabat-sahabat,di antaranya Abu Hurairah dan isteri Rasulullah s.a.w. Ummu Salamah. Bahwasanya Rasulullah s.a.w menjaharkan membaca BismillahirRahmanir-Rahim.
Yang berpendapat bahwa Bismillahi itu di Siir-kan saja, (tidak dlbaca keras) oleh Imam, dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w ialah : Abu Bakar, Umar, Usman, Ali bin Abu T'halib, Ibnu Mas'ud, Ammaar bin Yasir, Ibnu Maghal dan lain-lain. Dan dari tabi'in, di antaranya ialah Hasan al-Bishri, asy-Syabi, Ibrahim an-Nakhali, Qatadah, alA'masy dan as-Tsauri. Puluhan Mazhab dari Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal pun condong kepada membacanya dengan Siir.
Alasan dari yang memilih (Mazhab) jahar ialah sebuah Hadits yang dirawikan oleh jamaah daripada sahabat-sahabat,di antaranya Abu Hurairah dan isteri Rasulullah s.a.w. Ummu Salamah. Bahwasanya Rasulullah s.a.w menjaharkan membaca BismillahirRahmanir-Rahim.
Kemudian itu ada pula satu riwayat dari Na'im bin Abdullah alMujmar. Dia berkata.
"Aku telah
sembahyang di belakang Abu Hurairah. Aku dengar dia membaca
Bismillahir-Rohmanir-Rohim, setelah itu dibacanya pula Ummul Qur'an.
Setelah selesai sembahyang diapun mengucapkan salam lalu berkata kepada
kami , Sesungguhnya akulah yang lebih mirip sembahyangnya dengan
sembahyang Rosululloh s. a. w ".
Hadits ini dirawikan
oleh an-Nasai dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. Lalu
disambungkannya. "Adapun jahar BismillahirRohmanir-Rohim itu maka
sesunguhnya telah tsabit dan sah dari Nabi s.a.w ."
Hadits dirawikan pula
oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim atas syarat Bukhari dan Muslim. Dan
berkata al-Baihaqi : "Shahih isnadnya". Dan meriwayatkan pula
ad-Daruquthni dengan sanadnya, daripada Abu Hurairah, daripada Nabi
s.a.w :
10. "Adalah beliau apabila membaca sedang dia mengimami manusia, dibukanya dengan Bismillahir-Rahmanir-Rahim."
Ad-Daruquthni mengatakan isnad hadits ini semuanya boleh dipercaya. Dan hadits semacam inipun ada diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi senantiasa memulai sembahyangnya dengan menjaharkan Bismillah. Tentang ini ada riwayat dari ad-Daruquthni, dan ada juga riwayat dari al-Hakim.
Tetapi apabila kita selidiki agak lebih mendalam, sebagai yang dilakukan oleh Imam asy-Syaukani di dalam Nailul Authaar, tiap-tiap hadits yang jadi pegangan buat menjahar itu ada saja Naqd (kritik) terhadap perawinya, sehingga yang betul-betul bersih dari kritik tidak ada. Sampai Tirmidzi pernah mengatakan. "Isnadnya tidaklah sampai demikian tinggi nilainya."
Tetapi Nailul Authaar pun ada mengemukakan sebuah hadits lagi:
10. "Adalah beliau apabila membaca sedang dia mengimami manusia, dibukanya dengan Bismillahir-Rahmanir-Rahim."
Ad-Daruquthni mengatakan isnad hadits ini semuanya boleh dipercaya. Dan hadits semacam inipun ada diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi senantiasa memulai sembahyangnya dengan menjaharkan Bismillah. Tentang ini ada riwayat dari ad-Daruquthni, dan ada juga riwayat dari al-Hakim.
Tetapi apabila kita selidiki agak lebih mendalam, sebagai yang dilakukan oleh Imam asy-Syaukani di dalam Nailul Authaar, tiap-tiap hadits yang jadi pegangan buat menjahar itu ada saja Naqd (kritik) terhadap perawinya, sehingga yang betul-betul bersih dari kritik tidak ada. Sampai Tirmidzi pernah mengatakan. "Isnadnya tidaklah sampai demikian tinggi nilainya."
Tetapi Nailul Authaar pun ada mengemukakan sebuah hadits lagi:
11. "Ditanyakan
orang kepada Anas, Bagaimana bacaan Nabi s. a. w . Maka diapun menjawab
: Bacaan Nabi adalah panjang. Kemudian beliau (Abu Hurairah) baca
Bismillahir-Rahman-Rahim, dipanjangkannya pada Bismillah dan
dipanjangkannya pula pada Ar-Rahman, dan Ar-Rahim. " (Dirawikan oleh Bukhari)
Pendapat yang menjahar
tidak mungkin Anas berkata sejelas itu kalau tidak didengarnya. Adapun
yan menafikan jahar dan yang memandang lebih baik siir saja , mereka
berpegang pula
kepada hadits :
12. "Daripada Abdullah bin Mughaffal : Aku dengar ayahku berkata padalzal aku membaca Bismillahir-RahmanirRahim. Kata ayahku : Hai anakku ! Sekali-kali jangan engkau mengada-ada. Dan kata Ibnu Abdullah tentang ayahnya itu : Tidak ada aku melihat sahabat-sahabat Rasulullah s. a. w. dan bersama Abu Bakar, bersama Umar dan bersama Usman, maka tidaklah pernah aku mendengar seorangpun di antara mereka membaca. Sebab itu janganlah engkau baca akan dia. Kalau engkau membaca, maka baca sajalah Alhamdulillahi Rabbil `Alamin. "
kepada hadits :
12. "Daripada Abdullah bin Mughaffal : Aku dengar ayahku berkata padalzal aku membaca Bismillahir-RahmanirRahim. Kata ayahku : Hai anakku ! Sekali-kali jangan engkau mengada-ada. Dan kata Ibnu Abdullah tentang ayahnya itu : Tidak ada aku melihat sahabat-sahabat Rasulullah s. a. w. dan bersama Abu Bakar, bersama Umar dan bersama Usman, maka tidaklah pernah aku mendengar seorangpun di antara mereka membaca. Sebab itu janganlah engkau baca akan dia. Kalau engkau membaca, maka baca sajalah Alhamdulillahi Rabbil `Alamin. "
(Dirawikan oleh berlima , kecuali Abu Daud) Hadits ini dihasankan oleh Tirmidzi.
Hadits inipun dikaji
orang dengan seksama. Al-Jariri merawikannya seorang diri. Sedang
al-Jariri ini jadi perbicangan orang pula. Sebab setelah dia tua,
pikirannya kacau, sebab itu hadits yang dirawikannya diragukan. Kemudian
Abdullah bin Mughaffal, yang jadi sumber pertama hadits ini. Setengah
ahli hadits mengatakan bahwa dia itu majhul (seorang yang tidak
dikenal).
Kemudian terdapat pula sebuah hadits dari riwayat Anas pula :
13. "Daripada Anas bin Malik, berkata dia : Aku telah sembahyang bersama Rasulullah s. a. w., Abu Bakar, Umar dan Usman, maka tidaklah saya mendengar seorangpun daripada mereka yang membaca BimillahirRahmanir Rahim. "
13. "Daripada Anas bin Malik, berkata dia : Aku telah sembahyang bersama Rasulullah s. a. w., Abu Bakar, Umar dan Usman, maka tidaklah saya mendengar seorangpun daripada mereka yang membaca BimillahirRahmanir Rahim. "
(Dirawikan oleh Ahmad dan Muslim)
Dan beberapa hadits lagi yang sama artinya, semuanya dari Anas. Dan tambahan perkataan dari riwayat Tbnu Khuzaimah : "Mereka semuanya membaca dengan Siir"
Dan beberapa hadits lagi yang sama artinya, semuanya dari Anas. Dan tambahan perkataan dari riwayat Tbnu Khuzaimah : "Mereka semuanya membaca dengan Siir"
Jelaslah sekarang bahwa
jika ada di kalangan sahabat-sahabat Nabi sendiri yang menetapkan Jahar,
memang ada hadits tempat mereka berpegang, yaitu riwayat-riwayat dari
sahabat-sahabat sendiri. Dan jika ada pula yang mengatakan bahwa rnereka
tidak pernah mendengar Nabi menjaharkan Bismillah. Artinya keduanya
sama-sama ada pegangan.
Jelas pula terdapat dua riwayat yang berlawanan, datang dari satu orang, yaitu Anas bin Malik, yaitu sahabat Rasulullah dan pelayan beliau 10 tahun lamanya.
Jelas pula terdapat dua riwayat yang berlawanan, datang dari satu orang, yaitu Anas bin Malik, yaitu sahabat Rasulullah dan pelayan beliau 10 tahun lamanya.
Diriwayatkan yang
pertama yang kita salinkan di atas , nyata sekali Anas mengatakan bahwa
Nabi membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim, dengan panjang : Bismillahnya
panjang. Ar-Rahmannya panjang dan Ar-Rahimnya panjang pula. Timbul
pertanyaan sekarang, dari mana beliau tahu bahwa Rasulullah s.a.w.
membaca masing-masing kalimat itu dengan panjang (Madd), kalau tidak
didengarnya sendiri ?
Kalau kita kembali saja kepada Qaidah Ushul fikih dan Ilmu hadits tentu kita dapat menyimpulkan :
Kalau kita kembali saja kepada Qaidah Ushul fikih dan Ilmu hadits tentu kita dapat menyimpulkan :
"Yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menidakkan. "
Artinya, riwayat Anas
yang mengatakan Rasulullah s.a.w. baca Bismillah panjang, Ar-Rahman
panjang dan Ar-Rahim panjang itulah yang didahulukan. Oleh sebab itu
Bismillahi-Rahmanir-Rahim kita Jaharkan dan Maddkan membacanya. Ini
namanya menetapkan hukum ada Jahar.
Tetapi al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana yang disalinkan oleh as-Syaukani di dalam Nailul Authaar telah mendapat jalan keluar dari kesulitan ini, katanya:
Tetapi al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana yang disalinkan oleh as-Syaukani di dalam Nailul Authaar telah mendapat jalan keluar dari kesulitan ini, katanya:
"Hal ini
bukanlah semata-mata karena mendahulukan hadits yang menetapkan hukum
(jahar) daripada yang menafsirkan (siir). Karena amat jauh dari
penerimaan akal kita bahwa Anas yang mendampingi Abu Bakar, Umar dan
Usman dua puluh lima tahun dan mendampingi Nabi s.a.w sebagai sahabat
sepuluh tahun lamanya, tidak sekali juga akan mendengar mereka menjahar
agak sekali sembahyangpun. Tetapi yang terang ialah bahwa Anas sendiri
mengakui bahwa dia tidak ingat lagi (sudah lupa) hukum itu. Karena sudah
lama masanya tidak dia ingat lagi dengan pasti, apakah mereka (Nabi
s.a.w. dan ketiga sahabat itu) memulai dengan Alhamdulillah secara jahar
atau dengan Bismillah. Lantaran itu jelaslah diambil hadits yang
menetapkan jahar.
"Sekian penjelaskan al-Hafizh Ibnu Hajar.
Keterangan Ibnu Hajar diiperkuat lagi dengan as-Syaukani dalam Nailul Authaar, katanya :
"Apa
yang dikatakan al-Hafizh Ibnu Hajar dikuatkan oleh sebuah hadits yang
menjelaskan bahwa memang Anas tidak ingat lagi soal itu. Yaitu hadits
yang dirawikan oleh ad-Dar uquthi dari Abu Salamah, demikian bunyinya"
"Aku telah tanyakan kepada Anas bin Malik, apakah ada Rasulullah s. a. w membuka sembahyang dengan Alhamdulillah, atau dengan Bismillah RahmanirRahim ?Beliau menjawab : Engkau telah menanyakan kepadaku suatu soal yang aku tidak ingat lagi, dan belum pernah orang lain menanyakan soal itu kepadaku sebelum engkau. Lalu saya tanyakan pula. Apakah ada Rasululluh s. a. w sembahyang dengan memakai sepasang terompah ? Beliau jawab : Memang ada !"
Dengan demikian selesailah soal dua Hadits Anas, bukan bertentangan, melainkan menambah cenderung kita kepada Jahar ! Setelah kita selidiki dengan seksama, semua Hadits yang membicarakan di antara jahardan siirBi,smillahir-Rahmanir-Rahim itu, jelas bahwa pedoman dari kata-kata atau sabda s.a.w sendiri (Aqwalun Nabi) tidak ada, yang memerintahkan menjahar atau menyuruh mensiirkan, dan sebaliknya.
"Aku telah tanyakan kepada Anas bin Malik, apakah ada Rasulullah s. a. w membuka sembahyang dengan Alhamdulillah, atau dengan Bismillah RahmanirRahim ?Beliau menjawab : Engkau telah menanyakan kepadaku suatu soal yang aku tidak ingat lagi, dan belum pernah orang lain menanyakan soal itu kepadaku sebelum engkau. Lalu saya tanyakan pula. Apakah ada Rasululluh s. a. w sembahyang dengan memakai sepasang terompah ? Beliau jawab : Memang ada !"
Dengan demikian selesailah soal dua Hadits Anas, bukan bertentangan, melainkan menambah cenderung kita kepada Jahar ! Setelah kita selidiki dengan seksama, semua Hadits yang membicarakan di antara jahardan siirBi,smillahir-Rahmanir-Rahim itu, jelas bahwa pedoman dari kata-kata atau sabda s.a.w sendiri (Aqwalun Nabi) tidak ada, yang memerintahkan menjahar atau menyuruh mensiirkan, dan sebaliknya.
Yang jadi pedoman ialah
riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat beliau. Baik yang menguatkan
menjahar atau yang memilih siir saja. Dan setelah diselidiki pula semua
sanad haditshadits itu, ada saja pembicaraan orang atasnya, baik hadits
yang mengatakan jahar atau yang mengatakan siir.
Malahan terdapat dua
riwayat berlawanan di antara jahar dan siir dari satu orang. Sebab
itulah masalah ini termasuk masalah khilafiyah masalah yang
dipertikaikan orang. Atau termasuk masalah ijtihadiyah, artinya yang
terserah kepada pertunbangan ijtihad masing-masing ahlinya.
Dalam hal ini terpakailah Qa'idah Ilmu Ushul yang terkenal.
Dalam hal ini terpakailah Qa'idah Ilmu Ushul yang terkenal.
"Ijtihad tidaklah dapat disalahkan dengan ijtihad pula. "
Sampai Ibnu Qayyim di dalam Zaadil-Maad mengambil satu jalan tengah. Dia berkata :
"Sesungguhnya
Nabi s.a.w adalah menjaharkan Bismillahir-Rahmanir-Rahim sekali-kali
dan membacanya dengan siir pada kebanyakan kali. Dan tidak syak lagi,
tentu tidaklah beliau selalu menjaharkan tiap hari dan tiap malam lima
kali selama-lamanya, baik ketika dia sedang berada dalam kota ataupun
sedang dalam perjalanan, akan tersembunyi saja yang demikian itu bagi
Khalifah-khalifahnya yang bijak dan bagi Jumhur sahabat-sahabatnya dan
ahli sejamannya yang mulia itu. Ini adalah hal yang sangat mustahil,
sehingga orang perlu menggapai-gapai ke sana ke mari mencari sandaran
dengan katakata yang Mujmal dan hadits-hadits yang lemah. Meskipun
hadits hadits yang diambil itu ada yang shahih, namun dia tidaklah
sharih, dan meskipun ada yang sharih , tidak pula dia shahih:"
Sekian kata Ibnu Qayyim.
Berkata al-Imam as-Syaukani selanjutnya di dalam NailulAuthaar :
Berkata al-Imam as-Syaukani selanjutnya di dalam NailulAuthaar :
"Dalam
soal Ikhtilaf (perkara jahar dan siir Bismillah) ini, paling banyak
hanyalah khilafiyah dalam soal Mustahab atau Masnuun. Maka tidaklah soal
menjaharkan atau mensiirkan bacaan ini merupakan sembahyang atau
membatalkannya. Ijma' Ulama bahwa soal siir dan jahar itu tidaklah
membatalkan sembahyang. Oleh karena itu janganlah engkau terpesona pula
mengikuti setengah Ulama yang memperbesar-besar soal ini dan
mengobar-ngobarkan khilafiyahnya, sehinggga setengah mereka itu sampai
memandangnya sebagai satu soal yang mengenai Itikad." Demikian kata as-Syaukani.
Tersebut pula dalam kitab Nailul Authaar, menurut berita dari Ibnu Abi Syaibah, bahwa an-Nasai' pernah berkata. "Menjaharkan Bismillahir-Rahmanir-Rahim itu adalah bid'ah."
Ibrahim bebas dengan pendapatnya, tetapi orang lain yang turut pula mencap bid'ah orang yang menjaharkan Bismillah, berkata demikian hanyalah karena taklidnya belaka kepada Ibrahim.
Orang ini bebas buat tidak menjaharkan Bismillah, tetapi menuduh orang lain, termasuk sahabat-sahabat perawi hadits sebagai Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah jadi tukang bid'ah, adalah suatu perbuatan yang jauh daripada sopan santun agama.
Agak panjang kita uraikan jahar atau siir Bismillah ini dalam "Tafsir" ini , gunanya ialah buat menunjukkan bahwa dalam ranting-ranting (furu'-furu') syari'at banyak terdapat hal semacam ini.
Tersebut pula dalam kitab Nailul Authaar, menurut berita dari Ibnu Abi Syaibah, bahwa an-Nasai' pernah berkata. "Menjaharkan Bismillahir-Rahmanir-Rahim itu adalah bid'ah."
Ibrahim bebas dengan pendapatnya, tetapi orang lain yang turut pula mencap bid'ah orang yang menjaharkan Bismillah, berkata demikian hanyalah karena taklidnya belaka kepada Ibrahim.
Orang ini bebas buat tidak menjaharkan Bismillah, tetapi menuduh orang lain, termasuk sahabat-sahabat perawi hadits sebagai Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah jadi tukang bid'ah, adalah suatu perbuatan yang jauh daripada sopan santun agama.
Agak panjang kita uraikan jahar atau siir Bismillah ini dalam "Tafsir" ini , gunanya ialah buat menunjukkan bahwa dalam ranting-ranting (furu'-furu') syari'at banyak terdapat hal semacam ini.
Di dalam gerakan hendak
kembali kepada al-Qur'an dan hadits pasti terdapat soal-soal, yang
meskipun kita telah kembali ke dalam al-Qur'an dan hadits itu , namun
kita tidak juga dapat mengambil keputusan pasti, kecuali denggan ijtihad
atau dengan taqlid. Bagi yang sanggup dan telah cukup syarat, niscaya
dia berijtihad dan bagi yang belum ahli niscaya dia taqlid saja kepada
yang pandai, walaupun dia bersorak-sorak menyatakan dia tidak taqlid.
Di negara kita selama ini telah timbul soal-soal khilafiyah atau ijtihadiyah semacam itu. Seumpamanya dijaharkanlah Bismillah atau disiirkan, dibaca al-Fatihah di belakang Imam yang menjahar atau tidak dibaca. Untuk mengambil satu di antara pendirian, tidak lain adalah ijtihad. Sebab itu, meskipun setengah orang mendakwakan bahwa dia tidak lagi berpegang dengan satu Mazhab sendiri, dengan pengikut sendiri pula.
Karena tidak dapat menundukkan soal menurut keadaan yang sebenarnya dan tidak dapat pula memberikan penjelasan kepada pengikut, timbullah perselisihan dan pertentangan batin yang tidak dikehendaki. Ada di beberapa tempat satu "Muballiqh" mendabik dada mengatakan bahwa yang benar adalah pegangannya sendiri, bahwa Bismillah mesti disiirkan, dan barangsiapa yang menjaharkan Bismillah adalah berbuat bid'ah. Atau ada "keputusan" dari satu golongan, yang benar adalah bahwa al-Fatihah di belakang Imam yang menjahar tidak boleh dibaca. Sebab menurut keterangan gurunya, menurut al-Qur'an dan hadits, bid'ah lah barangsiapa yang membaca al-Fatihah juga di belakang Imam yang menjahar. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Di negara kita selama ini telah timbul soal-soal khilafiyah atau ijtihadiyah semacam itu. Seumpamanya dijaharkanlah Bismillah atau disiirkan, dibaca al-Fatihah di belakang Imam yang menjahar atau tidak dibaca. Untuk mengambil satu di antara pendirian, tidak lain adalah ijtihad. Sebab itu, meskipun setengah orang mendakwakan bahwa dia tidak lagi berpegang dengan satu Mazhab sendiri, dengan pengikut sendiri pula.
Karena tidak dapat menundukkan soal menurut keadaan yang sebenarnya dan tidak dapat pula memberikan penjelasan kepada pengikut, timbullah perselisihan dan pertentangan batin yang tidak dikehendaki. Ada di beberapa tempat satu "Muballiqh" mendabik dada mengatakan bahwa yang benar adalah pegangannya sendiri, bahwa Bismillah mesti disiirkan, dan barangsiapa yang menjaharkan Bismillah adalah berbuat bid'ah. Atau ada "keputusan" dari satu golongan, yang benar adalah bahwa al-Fatihah di belakang Imam yang menjahar tidak boleh dibaca. Sebab menurut keterangan gurunya, menurut al-Qur'an dan hadits, bid'ah lah barangsiapa yang membaca al-Fatihah juga di belakang Imam yang menjahar. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Dengan sebab demikian maka perkara khilafiyah atau
ijtihadiyah yang begitu lapang pada mulanya, telah menjadi sempit dan
rnembawa fitnah dan perpecahan, dan tidak lagi menurut ukuran yang
sebenarnya sebagaimana yang tersebut di dalam kitab-kitab Ushul fikih,
yaitu kebebasan ijtihad, dan ijtihad tidaklah Qathi (pasti), melainkan
Zhanni (kecenderungan) paham. Dan tidak lagi hormat-menghormati paham,
sebagaimana yang dikehendaki oleh agama.
Timbul mau menang sendiri, yang tidak dikehendaki agama. Apatah lagi setelah orang awam bersikeras mempertahankan suatu pendirian yang telah dipilihkan oleh guru-guru.
Timbul mau menang sendiri, yang tidak dikehendaki agama. Apatah lagi setelah orang awam bersikeras mempertahankan suatu pendirian yang telah dipilihkan oleh guru-guru.
Al-Fatihah Dengan Bahasa Arab
Tadi di atas telah kita
nukilkan sebuah hadits bahwasanya sembahyang tidaklah sah kalau tidak
membaca al-Fatihah. Dan hendaknya dia dibaca pada tiap-tiap raka'at.
Oleh sebab itu menjadi jelaslah bahwa wajib bagi kita menghapalnya di
luar kepala. dan menjadi wajiblah kita tahu akan maknanya, supaya sesuai
bacaan mulut kita dengan arti terkandung dalam hati.
Ada satu saran yang amat
berbahaya di jaman-jaman akhir ini, yaitu membaca bacaan sembahyang
dengan bahasa Indonesia.. Katanya karena mempertahankan bahasa nasional.
Kalau saran itu berjalan, terancamlah kita oleh bahaya rohani yang
besar sekali, yaitu : kita terputus dari pangkalan agama kita, dari
keasliannya yang diterima dari "Nabi Muhammad s.a.w.. Kecintaan kita
kepada bahasa dan bangsa kita bukanlah berarti merusakkan pusaka akidah
dan kepercayaan yang telah kita anut. Di antara hidup kita sebagai orang
Islam tidaklah dapat dicerai-tanggalkan dari al-Qur'an. Kata-kata yang
menyarankan sembahyang dengan bahasa nasional itu dengan tidak disadari
adalah sisa-sisa peninggalan penjajahan yang 350 tahun lamanya mencoba
merubah cara kita berpikir.
Di dalam bangsa penjajah mencoba menghilangkan pengaruh bahasa Arab itu, penjajah berusaha keras memasukkan bahasanya sendiri. Sampai saat sekarang ini (1965), sudah 20 tahun kita mencapai kemerdekaan bangsa, masih ada orang yang sukar berbicara dalam bahasa nasionalnya dan lebih gampang lidahnya berbicara dalam bahasa Belanda. Padahal pramasastra dan tatabahasa kita yang berpokok pangkal dari bahasa Melayu lebih berdekat dengan bahasa Arab daripada dengan bahasa Belanda. Kalau kita dalam bahasa kita menyebut nama negeri Bukuttinggi, bukan High Moutain yang kalau diartikan ke bahasa kita menjadi Tinggi Bukit. Kalau kita menyebut dalam bahasa kita Rumahku dalam bahasa Arabnyapun disebut Baiti, yang artinya rumahku juga, bukan Mijn Huis, yang berati Saya Rumah, atau aku rumah, sehingga untuk lebih dipahami terpaksa ditambah mnejadi saya empunya rumah.
Meskipun berangkali kita bangsa-bangsa Indonesia terkernudian memeluk Islam dari bangsa Persia dan bangsa Turki, namun lidah bangsa kita di dalam mengucapkan bahasa Arab, tidaklah kalah dengan lidah mereka, malahan kadang-kadang lidah bangsa kita lebih fasih. Ini diakui oleh bangsa Arab sendiri. Namun begitu dari bangsa bangsa itu tidak ada percobaan hendak menukar bacaan sembahyangnya dengan bahasa mereka sendiri. Di satu masa ada gerakan Syu'ubiyah namanya di Persia, yaitu kira-kira pada abad ke tiga dan empat Hijriyah, yang maksudnya hendak memungkiri kelebihan bangsa Arab dari pada bangsa-bangsa yang lain, yang tergabung dalam Islam. Namun tidak ada gerakan hendak menukar bacaan sebahyang bahasa Arab itu ke dalam bahasa Persia. Memang ada seorang Imam besar Islam, Imam Hanafi pernah menyatakan Ijtihad, bahwa tidak mengapa jika orang yang baru masuk Islam belum sanggup membaca al-Fatihah dalam bahasa Arabnya , sebelum dapat dan lafadz kata beliau bolehlah sementara dia memakai bahasa Persia.
Tetapi Fatwa beliau itu tidak mendapat sambutan, malahan murid-murid mengatakan pendapat yang membantah pendapat itu. Lebih baik diam mendengar imam membaca, sebelum pandai membacanya, daripada membacanya dengan bahasa lain, yang bukan bahasa aslinya. Sedangkan menukar lafadz al-Fatihah, meskipun dalam bahasa Arab juga, lagi tidak sah, apatah lagi menukarnya dengan bahasa lain. Dan sudah sepakat ahli-ahli penyelidik bahwa satu bahasa kalau telah dipindahkan ke bahasa lain, tidak lagi tepat menurut maknanya.
Karena siasat hendak memisahkan diri dari mengaruhArab, Musthafa Kemal Attaturk pernah memerintahkan menerjemah Adzan ke bahasa Turki. Tetapi setelah dia mati, dikembalikan orang ke bahasa Arab karena dengan diterjemah itu telah hilang sari dan mengaruhnya.
Dan setelah Partai Demokrasi Jalal Bayar mengadakan kampanye pemilihan umum melawan Partai Republik pusaka Kemal Attaturk, janjinya hendak mengembalikan azan ke bahasa Arab itulah yang menyebabkan kemenangannya. Sebab meskipun sudah sekian puluh tahun Partai Republik berkuasa yang beusaha hendak menTurkikan segala yang dipandang berbau Arab, rupanya masih tetap sebagai minyak dengan air saja hubungan dengan Rakyat yang masih beragama, yang masih mengmbil kekuatan jiwanya dari al-Qur'an.
Oleh sebab itu tetaplah baca al-Fatihah dalam setiap rakaat sembahyang dalam bahasa aslinya, dalam bahasanya yang diterima dari Nabi s.a.w.. Pelajari bacaanya itu kepada yang ahli mempergunakan hurup-hurupnya menurut tajwidnya (pronounciation) yang betul. Dan dalam hukum agama, nyatalah bahwa mempelajari bacaan al-Fatihah dan mengetahui artinya dalam fardhu `ain, wajib bagi tiap-tiap muslim. Dan saran yang hendak membaca saja terjemahnya itu bukan lagi dari berpikir secara Islam, melainkan dengan tidak disadari telah kemasukan pikiran orang lain yang hendak meruntuhkan Islam.
Kalau kita merasa berat menerima pendapat Imam Syafi'i r.a. yang mengatakan wajib bagi setiap muslim mengetahui bahasa Arab, namun di dalam melakukan sembahyang dengan segala bacaanya dan khusus mengenai bacaan al-Fatihah, berpikir secara Islam yang sehat pasti menerima apa yang dikatankan Imam Syafi'i itu. Betapa tidak ! Sedang sembahyang adalah tiang agama.
Dalam sembahyang kita menghadapkan wajah hati kita kepada Tuhan, mengemukakan segala puji-pujian dan permohonan sebagai yang tersebut di dala m al-Fatihah itu. Dan hendaklah sembahyang itu kita kerjakan dengan khusyu merendahkan diri. Bagaimana khusyu akan tercapai kalau kita tidak mengerti apa yang kita katakan ? Bagaimana sembahyang akan menajdi tiang agama, kalau kita mengerjakannya hanya karena keturunan saja ? Bukan dari keinsyafan ?
Oleh sebab itu hendaklah dalam rumah tangga Islam, Ayah dan Bunda mengajar anaknya sedari kecil membaca al-Qur'an. Sekurang kurangnya buat pertama kali ialah diajarkan al-Fatihah, supaya dapat dipakainya untuk sembahyang.
Kalau ada orang mengatakan bahwa belajar al-Fatihah itu sukar, maka yang berkata begitu maka orang yang hatinya telah jauh dari Islam. Sebab sejak agama Islam rnenjadi anutan bangsa kita seribu tahun yang lalu, di Indonesia dengan seluruh kepulauan ini orang telah membaca al-Fatihah, tidak ada yang mengatakan sukar. Lidah anak hendaklah difasihkan sejak kecilnya. Kalau orang tua tidak sanggup mengajarnya, panggilah guru ke rumah.
Kalau seorang tidak juga pandai membaca al-Fatihah, maka Nabi s.a.w tidak juga ada mengajarkan atau membolehkan bacaan lain. Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Abu Daud, an-Nasal', Imam Ahmad, Ibnul Jarud, Tbnu Hibban dan ad-Daruquthni :
17. "Bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi s. a. w lalu berkata : Sesungguhnya aku tidak sanggup mengambil bacaan dari al-Qur'an walaupun sedikit. Oleh sebab itu ajarkanlah kepadaku sesuatu bacaan yang akan dapat memberi pahala bagiku pada sembahyangku. Maka berkatalah beliau : Bacalah Subhanallah,Alhamdulallah, La Ilaha Illallah, Allahu Akbar, La Haula wala Quwwata illa Billahi ".
Hadits ini menunjukkan, bahwa kalaupun tidakpandai membaca al-Fatihah, rnaka untuk menggantinya tidak boleh dengan ucapan lain, melainkan dzikir-dzikir yang tersebut itu. Namun sernbahyang dengan bahasa yang lain tidak juga boleh.
Oleh sebab itu telah termasuk ibadat, tidaklah boleh lagi kita tukar daripada apa yang diajarkan oleh Nabi. Dan kalau a1-Fatihah tidak pandai dan dzikir-dzikir yang tersebut itupun tidak pandai, bolehlah mengikut Iman dengan mendengarkan bacaan Imam, sebagaimana telah dibukakan pahamnya oleh ijtihad yang kita sebutkan tadi. Tegasnya, lebih balk berdiam diri mendengarkan imam marribaca, daripada mengerjakan sembahyang dengan bahasa yang lain, atau dengan terjemahan al-Fatihah. Sebab terjernahan itu tidak jugalah akan tepat seratus persen dengan kehendak isi aslinya.
Ini mungkin dan bisa kejadian pada seorang Muallaf yang baru masuk Islam, yang sesudah dia mengucapkan dua kalimah syahadat, dia sudah wajib sembahyang, padahal dia belum tahu baik zikir atau al-Fatihah. Dalam pada itu ia wajib belajar sehingga tidaklah lama dia hanya mendengar saja.
Di dalam bangsa penjajah mencoba menghilangkan pengaruh bahasa Arab itu, penjajah berusaha keras memasukkan bahasanya sendiri. Sampai saat sekarang ini (1965), sudah 20 tahun kita mencapai kemerdekaan bangsa, masih ada orang yang sukar berbicara dalam bahasa nasionalnya dan lebih gampang lidahnya berbicara dalam bahasa Belanda. Padahal pramasastra dan tatabahasa kita yang berpokok pangkal dari bahasa Melayu lebih berdekat dengan bahasa Arab daripada dengan bahasa Belanda. Kalau kita dalam bahasa kita menyebut nama negeri Bukuttinggi, bukan High Moutain yang kalau diartikan ke bahasa kita menjadi Tinggi Bukit. Kalau kita menyebut dalam bahasa kita Rumahku dalam bahasa Arabnyapun disebut Baiti, yang artinya rumahku juga, bukan Mijn Huis, yang berati Saya Rumah, atau aku rumah, sehingga untuk lebih dipahami terpaksa ditambah mnejadi saya empunya rumah.
Meskipun berangkali kita bangsa-bangsa Indonesia terkernudian memeluk Islam dari bangsa Persia dan bangsa Turki, namun lidah bangsa kita di dalam mengucapkan bahasa Arab, tidaklah kalah dengan lidah mereka, malahan kadang-kadang lidah bangsa kita lebih fasih. Ini diakui oleh bangsa Arab sendiri. Namun begitu dari bangsa bangsa itu tidak ada percobaan hendak menukar bacaan sembahyangnya dengan bahasa mereka sendiri. Di satu masa ada gerakan Syu'ubiyah namanya di Persia, yaitu kira-kira pada abad ke tiga dan empat Hijriyah, yang maksudnya hendak memungkiri kelebihan bangsa Arab dari pada bangsa-bangsa yang lain, yang tergabung dalam Islam. Namun tidak ada gerakan hendak menukar bacaan sebahyang bahasa Arab itu ke dalam bahasa Persia. Memang ada seorang Imam besar Islam, Imam Hanafi pernah menyatakan Ijtihad, bahwa tidak mengapa jika orang yang baru masuk Islam belum sanggup membaca al-Fatihah dalam bahasa Arabnya , sebelum dapat dan lafadz kata beliau bolehlah sementara dia memakai bahasa Persia.
Tetapi Fatwa beliau itu tidak mendapat sambutan, malahan murid-murid mengatakan pendapat yang membantah pendapat itu. Lebih baik diam mendengar imam membaca, sebelum pandai membacanya, daripada membacanya dengan bahasa lain, yang bukan bahasa aslinya. Sedangkan menukar lafadz al-Fatihah, meskipun dalam bahasa Arab juga, lagi tidak sah, apatah lagi menukarnya dengan bahasa lain. Dan sudah sepakat ahli-ahli penyelidik bahwa satu bahasa kalau telah dipindahkan ke bahasa lain, tidak lagi tepat menurut maknanya.
Karena siasat hendak memisahkan diri dari mengaruhArab, Musthafa Kemal Attaturk pernah memerintahkan menerjemah Adzan ke bahasa Turki. Tetapi setelah dia mati, dikembalikan orang ke bahasa Arab karena dengan diterjemah itu telah hilang sari dan mengaruhnya.
Dan setelah Partai Demokrasi Jalal Bayar mengadakan kampanye pemilihan umum melawan Partai Republik pusaka Kemal Attaturk, janjinya hendak mengembalikan azan ke bahasa Arab itulah yang menyebabkan kemenangannya. Sebab meskipun sudah sekian puluh tahun Partai Republik berkuasa yang beusaha hendak menTurkikan segala yang dipandang berbau Arab, rupanya masih tetap sebagai minyak dengan air saja hubungan dengan Rakyat yang masih beragama, yang masih mengmbil kekuatan jiwanya dari al-Qur'an.
Oleh sebab itu tetaplah baca al-Fatihah dalam setiap rakaat sembahyang dalam bahasa aslinya, dalam bahasanya yang diterima dari Nabi s.a.w.. Pelajari bacaanya itu kepada yang ahli mempergunakan hurup-hurupnya menurut tajwidnya (pronounciation) yang betul. Dan dalam hukum agama, nyatalah bahwa mempelajari bacaan al-Fatihah dan mengetahui artinya dalam fardhu `ain, wajib bagi tiap-tiap muslim. Dan saran yang hendak membaca saja terjemahnya itu bukan lagi dari berpikir secara Islam, melainkan dengan tidak disadari telah kemasukan pikiran orang lain yang hendak meruntuhkan Islam.
Kalau kita merasa berat menerima pendapat Imam Syafi'i r.a. yang mengatakan wajib bagi setiap muslim mengetahui bahasa Arab, namun di dalam melakukan sembahyang dengan segala bacaanya dan khusus mengenai bacaan al-Fatihah, berpikir secara Islam yang sehat pasti menerima apa yang dikatankan Imam Syafi'i itu. Betapa tidak ! Sedang sembahyang adalah tiang agama.
Dalam sembahyang kita menghadapkan wajah hati kita kepada Tuhan, mengemukakan segala puji-pujian dan permohonan sebagai yang tersebut di dala m al-Fatihah itu. Dan hendaklah sembahyang itu kita kerjakan dengan khusyu merendahkan diri. Bagaimana khusyu akan tercapai kalau kita tidak mengerti apa yang kita katakan ? Bagaimana sembahyang akan menajdi tiang agama, kalau kita mengerjakannya hanya karena keturunan saja ? Bukan dari keinsyafan ?
Oleh sebab itu hendaklah dalam rumah tangga Islam, Ayah dan Bunda mengajar anaknya sedari kecil membaca al-Qur'an. Sekurang kurangnya buat pertama kali ialah diajarkan al-Fatihah, supaya dapat dipakainya untuk sembahyang.
Kalau ada orang mengatakan bahwa belajar al-Fatihah itu sukar, maka yang berkata begitu maka orang yang hatinya telah jauh dari Islam. Sebab sejak agama Islam rnenjadi anutan bangsa kita seribu tahun yang lalu, di Indonesia dengan seluruh kepulauan ini orang telah membaca al-Fatihah, tidak ada yang mengatakan sukar. Lidah anak hendaklah difasihkan sejak kecilnya. Kalau orang tua tidak sanggup mengajarnya, panggilah guru ke rumah.
Kalau seorang tidak juga pandai membaca al-Fatihah, maka Nabi s.a.w tidak juga ada mengajarkan atau membolehkan bacaan lain. Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Abu Daud, an-Nasal', Imam Ahmad, Ibnul Jarud, Tbnu Hibban dan ad-Daruquthni :
17. "Bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi s. a. w lalu berkata : Sesungguhnya aku tidak sanggup mengambil bacaan dari al-Qur'an walaupun sedikit. Oleh sebab itu ajarkanlah kepadaku sesuatu bacaan yang akan dapat memberi pahala bagiku pada sembahyangku. Maka berkatalah beliau : Bacalah Subhanallah,Alhamdulallah, La Ilaha Illallah, Allahu Akbar, La Haula wala Quwwata illa Billahi ".
Hadits ini menunjukkan, bahwa kalaupun tidakpandai membaca al-Fatihah, rnaka untuk menggantinya tidak boleh dengan ucapan lain, melainkan dzikir-dzikir yang tersebut itu. Namun sernbahyang dengan bahasa yang lain tidak juga boleh.
Oleh sebab itu telah termasuk ibadat, tidaklah boleh lagi kita tukar daripada apa yang diajarkan oleh Nabi. Dan kalau a1-Fatihah tidak pandai dan dzikir-dzikir yang tersebut itupun tidak pandai, bolehlah mengikut Iman dengan mendengarkan bacaan Imam, sebagaimana telah dibukakan pahamnya oleh ijtihad yang kita sebutkan tadi. Tegasnya, lebih balk berdiam diri mendengarkan imam marribaca, daripada mengerjakan sembahyang dengan bahasa yang lain, atau dengan terjemahan al-Fatihah. Sebab terjernahan itu tidak jugalah akan tepat seratus persen dengan kehendak isi aslinya.
Ini mungkin dan bisa kejadian pada seorang Muallaf yang baru masuk Islam, yang sesudah dia mengucapkan dua kalimah syahadat, dia sudah wajib sembahyang, padahal dia belum tahu baik zikir atau al-Fatihah. Dalam pada itu ia wajib belajar sehingga tidaklah lama dia hanya mendengar saja.
Kesimpulan
Renungkanlah
pengertian al-Fatihah sebaik -baiknya, niseaya akan terasa bahwa dia
bukan semata-mata bacaan untuk ibadat, tetapi mengandung juga bimbingan
untuk membentuk pandangan hidup muslim. Mula-mula dipusatkan seluruh
kepercayaan kepada Allah dengan sifatNya Yang Maha Pemurah darl
Penyayang, disertai dengan KeadilanNya yang berlaku sejak dari dunia
lalu ke negeri akhirat. Dan bila kita renungkan pula pengertian dan
pengakuan kita, bahwa yang kita sembah hanya Dia dan tempat kita
memohonkan sesuatu hanya Dia. Sampailah kita kepada Islam yang sejati.
Setelah kita akui bahwa hanya Dia yang kita sembah, baruiah kita.
mengajukan perrnohonan. Jangan sampai terbalik, sebagai kebanyakan
orang-orang ghafil, yang lebih dahulu memohon dan kemudian baru
beribadah.
Sesudah pengakuan yang demikian, kita kemukakan permohonan yang pertama dan utama, yaitu meminta ditujuki jalan yang lurus. Maka tidaklah kita meminta kepada Tuhan agar diberi benda, diberi roti buat makanan hari ini, sebagi bacaan sembahyang orang Kristen. Karena apabila mengenal (ma'rifat) kita kepada Tuhan telah mendalam, tidaklah kita mengemukakan permohonan yang kecil-kecil dan remeh itu lagi, melainkan kita minta yang pokok, yaitu jalan lurus dalam menempuh hidup, dan apabila permohonan itu telah kita iringi supaya dikaruniai jalan yang dinikrnati, timbullah pada kita cita-cita yang tinggi di dalam martabat iman, setaraf dengan kehidupan Rasulrasul, Nabi-nabi, Syuhada dan Shalihin. Bahkan di dalam surat alfurQan (Surat 25 ayat 74) kita disuruh berdo'a yang jangan tanggungtanggung jangan halang kepalang.
Kita disuruh berdoa agar Tuhan menjadi IMAM dari orang-orang yang MuttaQin, artinya menjadi contoh teladan bagi orang lain. Dan setelah kita memohonkan agar kiranya kita diselamatkan Tuhan, jangan tertempuh jalan yang dimurkai Allah dan jangan pula jalan yang sesat, dengan secara tidak langsung kita sudah disuruh mempelajari ilmu sejarah, filsafat sejarah dan ilmu kemasyarakatan (sosiologi), dan juga ilmu jiwa. Kita harus mempelajari bagaimana sebab-sebab sesuatu umat atau kaum naik martabatnya atau jatuh pamornya.
Dan dengan sendirinya, bila al-Fatihah kita renungkan dapatlah kita pahamkan bahwasanya yang kita pegang di dalam hidup ini ialah dua tali. Pertama tali dengan Allah, kedua tall dengan Alam, termasuk manusia sebagai alam yang lebih penting dan kita termasuk pula di dalamnya.
Al-Fatihah inilah yang kita ulang-ulang membacanya setiap hari, sekurang-kurangnya 17 kali sehari semalam. Moga-moga selain dari dia menjadi Fatihatul kitab, pembukaan dari al-Qur'an, diapun akan membuka hati sanubari kita sendiri, sehingga hilanglah segala raguragu dan terbukalah pintu Hidayat, sehingga dia menjadi dasar persediaan bagi kita buat mengenal lagi seluruh isi al-Qur'an yang mengandung 6.236 ayat itu.
Kita misalkanlah sembahyang lima waktu, yang terdiri daripada 17 raka'at, sebagai menghadap Tuhan yang routine, yang wajib dilakukan dengan berkala. Bagaimanakah lagi kesannya ke dalam jiwa kita, bila kita ikuti lagi dengan Shalat Nawafil, sembahyang sunat ? Sembahyang Sunat Nawafil disediakan Tuhan, dengan perantaraan RasulNya, untuk orang yang merasa belum puas dengan pertemuan "resmi" saja. Pertemuan di luar "dinas" kadang-kadang lebih mesra daripada pextemuan yang "routine".
Dimulai segala sembahyang itu dengan Allahu Akbar, artinya dibulatkczn ingatan kepada Tuhan, dan diakhiri dengan Assalamu'alaikum. artinya kita kembali lagi ke dalam masyarakat dan intinya ialah al-Fatihah.
Bertali dengan ketentuan agama bahwasanya sembahyang lima waktu, sembahyang Jum'at, sernbahyang dua Hari Raya dan sembahyang dua gerhana, dianjurkan sangat supaya berjama'ah. Jama'ah kecil-kecilan di antara keluarga di rumah , jamaah sekampung atau selorong di dalam sebuah surau kecil kepunyaan kampung. Jama'ah lebih besar sekali Jum'at, di dalam sebuah Masjid Jam', jama'ah dua Hari Raya, jama'ah gerhana bulan dan matahari dan jama'ah memohon hujan (istisqaa). Dan jama'ah besar dan agung, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup dengan wuquf di Arafah waktu Haji. Semua jama'ah ini membuat seorang muslim menjadi anggota masyarakat yang aktif, sehingga terbentuklah masyarakat Islam, ukhuwah Islarniyah dan Mu'awanah `alal birri wat-taqwa. Semuanya sama bacaanya yaitu surat al-Fatihah.
Dan di dalam jama'ah itupun dididik hidup yang berdisplin. Jama'ah mempunyai imam dan yang selebihnya menjadi makmum. Bahkan di jaman nabi dan sahabat-sahabatnya, imam sembahyang berjamaah ialah Nabi, Khalifah-Khalifah, Gubernur (Wali) di tiaptiap negeri. Tidak boleh seorang makmum mendahului mengangkat kepalanya seketika ruku dan sujud sebelum imam. Sampai ada hadits mengatakan bahwa barangsiapa yang mengangkat kepalanya terdahulu daripada imam rnengangkat kepala, maka kapalanya itu akan berganti menjadi kepala keledai.
Al-Fatihahpun mendidik kita memakai adab sopan-santun yang tertinggi. Adab sopan-santun yang tinggi itu dimulai terhadap kepada Tuhan akan membawa kesannya pula kepada sikap hidup kita dalam masyarakat, perhatikanlah susunan ayat yang tujuh itu.
Sesudah pengakuan yang demikian, kita kemukakan permohonan yang pertama dan utama, yaitu meminta ditujuki jalan yang lurus. Maka tidaklah kita meminta kepada Tuhan agar diberi benda, diberi roti buat makanan hari ini, sebagi bacaan sembahyang orang Kristen. Karena apabila mengenal (ma'rifat) kita kepada Tuhan telah mendalam, tidaklah kita mengemukakan permohonan yang kecil-kecil dan remeh itu lagi, melainkan kita minta yang pokok, yaitu jalan lurus dalam menempuh hidup, dan apabila permohonan itu telah kita iringi supaya dikaruniai jalan yang dinikrnati, timbullah pada kita cita-cita yang tinggi di dalam martabat iman, setaraf dengan kehidupan Rasulrasul, Nabi-nabi, Syuhada dan Shalihin. Bahkan di dalam surat alfurQan (Surat 25 ayat 74) kita disuruh berdo'a yang jangan tanggungtanggung jangan halang kepalang.
Kita disuruh berdoa agar Tuhan menjadi IMAM dari orang-orang yang MuttaQin, artinya menjadi contoh teladan bagi orang lain. Dan setelah kita memohonkan agar kiranya kita diselamatkan Tuhan, jangan tertempuh jalan yang dimurkai Allah dan jangan pula jalan yang sesat, dengan secara tidak langsung kita sudah disuruh mempelajari ilmu sejarah, filsafat sejarah dan ilmu kemasyarakatan (sosiologi), dan juga ilmu jiwa. Kita harus mempelajari bagaimana sebab-sebab sesuatu umat atau kaum naik martabatnya atau jatuh pamornya.
Dan dengan sendirinya, bila al-Fatihah kita renungkan dapatlah kita pahamkan bahwasanya yang kita pegang di dalam hidup ini ialah dua tali. Pertama tali dengan Allah, kedua tall dengan Alam, termasuk manusia sebagai alam yang lebih penting dan kita termasuk pula di dalamnya.
Al-Fatihah inilah yang kita ulang-ulang membacanya setiap hari, sekurang-kurangnya 17 kali sehari semalam. Moga-moga selain dari dia menjadi Fatihatul kitab, pembukaan dari al-Qur'an, diapun akan membuka hati sanubari kita sendiri, sehingga hilanglah segala raguragu dan terbukalah pintu Hidayat, sehingga dia menjadi dasar persediaan bagi kita buat mengenal lagi seluruh isi al-Qur'an yang mengandung 6.236 ayat itu.
Kita misalkanlah sembahyang lima waktu, yang terdiri daripada 17 raka'at, sebagai menghadap Tuhan yang routine, yang wajib dilakukan dengan berkala. Bagaimanakah lagi kesannya ke dalam jiwa kita, bila kita ikuti lagi dengan Shalat Nawafil, sembahyang sunat ? Sembahyang Sunat Nawafil disediakan Tuhan, dengan perantaraan RasulNya, untuk orang yang merasa belum puas dengan pertemuan "resmi" saja. Pertemuan di luar "dinas" kadang-kadang lebih mesra daripada pextemuan yang "routine".
Dimulai segala sembahyang itu dengan Allahu Akbar, artinya dibulatkczn ingatan kepada Tuhan, dan diakhiri dengan Assalamu'alaikum. artinya kita kembali lagi ke dalam masyarakat dan intinya ialah al-Fatihah.
Bertali dengan ketentuan agama bahwasanya sembahyang lima waktu, sembahyang Jum'at, sernbahyang dua Hari Raya dan sembahyang dua gerhana, dianjurkan sangat supaya berjama'ah. Jama'ah kecil-kecilan di antara keluarga di rumah , jamaah sekampung atau selorong di dalam sebuah surau kecil kepunyaan kampung. Jama'ah lebih besar sekali Jum'at, di dalam sebuah Masjid Jam', jama'ah dua Hari Raya, jama'ah gerhana bulan dan matahari dan jama'ah memohon hujan (istisqaa). Dan jama'ah besar dan agung, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup dengan wuquf di Arafah waktu Haji. Semua jama'ah ini membuat seorang muslim menjadi anggota masyarakat yang aktif, sehingga terbentuklah masyarakat Islam, ukhuwah Islarniyah dan Mu'awanah `alal birri wat-taqwa. Semuanya sama bacaanya yaitu surat al-Fatihah.
Dan di dalam jama'ah itupun dididik hidup yang berdisplin. Jama'ah mempunyai imam dan yang selebihnya menjadi makmum. Bahkan di jaman nabi dan sahabat-sahabatnya, imam sembahyang berjamaah ialah Nabi, Khalifah-Khalifah, Gubernur (Wali) di tiaptiap negeri. Tidak boleh seorang makmum mendahului mengangkat kepalanya seketika ruku dan sujud sebelum imam. Sampai ada hadits mengatakan bahwa barangsiapa yang mengangkat kepalanya terdahulu daripada imam rnengangkat kepala, maka kapalanya itu akan berganti menjadi kepala keledai.
Al-Fatihahpun mendidik kita memakai adab sopan-santun yang tertinggi. Adab sopan-santun yang tinggi itu dimulai terhadap kepada Tuhan akan membawa kesannya pula kepada sikap hidup kita dalam masyarakat, perhatikanlah susunan ayat yang tujuh itu.
Pada ayat
pertama "Bismillahir-Rahmanir-Rahim", kita memujikan sifat Rahman dan
RahimNya. Sesudah itu pada ayat kedua "Alhamdulillahi Rabbil `Alamin"
kita puji Dia, kita sanjung Dia, sebab Dia yang menjadikan alam ini
tempat kita hidup. Pada ayat ketiga kita ulang lagi menyebut sifat
Rahman dan RahimNya itu. Di ayat keempat "Maliki Yaumiddin", kita
mengakui bahwa kekuasaanNya itu bukan meliputi hari sekarang saja,
bahkan berlanjut lagi kepada yang diseberang hidup ini. Setelah selesai
kita akui segala
Rahman dan Rahim, segala puji dan kekuasaan dunia akhirat hanya Dia yang empunya, tidak ada dicampuri yang lain, barulah kita menunjukkan sikap hidup pada ayat kelima
Rahman dan Rahim, segala puji dan kekuasaan dunia akhirat hanya Dia yang empunya, tidak ada dicampuri yang lain, barulah kita menunjukkan sikap hidup pada ayat kelima
إيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ ("IyyakaNa'budu waiyyaka Nasta'in." )
Oleh sebab itu kita
menyembahNya adalah dengan kesadaran bahwa hanya Dia yang patut
disembah. dan memohon pertolongan kepadaNya, karena memang hanya Dialah
yang sanggup mengabulkan segala permohonan.
Sesudah pengakuan ini
barulah kita langsung saja mengemukakan permohonan, sebelum kita
mengenal atau menyebut tuah kebesaran dari tempat kita memohon itu.
Adalah sangat tidak sopan orang langsung saja mengemukakan satu
keinginan, sebelum dengan tulus ikhlas dia mengakui kemulian dari pada
tempatnya memohon.
Kita mempunyai nyawa
atau roh, dan roh itupun hendaklah dijiwai pula. Agama Islam adalah
suatu agama yang menjadi roh dari roh kita. Tidak beragama sama artinya
dengan mati, walaupun kita masih hidup. Dan al-Fatihah adalah isinya
yang utama, sehingga dengan memahamkannya kita dapat mencapai hakikat
hidup. Amin