Kejahilan Bantahan Abu Azif Tentang Riwayat Abdullah bin Saabu’
Posted on April 28, 2015 by secondprince
https://secondprince.wordpress.com/2015/04/28/kejahilan-bantahan-abu-azif-tentang-riwayat-abdullah-bin-saabu/
Kejahilan Bantahan Abu Azif Tentang Riwayat Abdullah bin Saabu’
Baru-baru ini muncul blog yang sepertinya dibuat dengan tujuan “Membantah Secondprince”.
Awalnya kami pikir ini sesuatu yang menarik tetapi setelah membaca
tulisannya ternyata orang ini adalah orang yang memang sudah pernah
diskusi dengan kami sok membantah sana sini padahal hakikatnya jahil
dalam ilmu. Bahkan setelah ditunjukkan kaidah ilmu yang benar ia tetap
bersikeras dengan kejahilannya.
Orang ini sok ingin membela Abul-Jauzaa
padahal ia tidak memahami kesalahan Abul-Jauzaa dalam tulisannya
tersebut. Bersikeras membela sesuatu yang salah hanya menunjukkan
kesombongan dan kejahilan. Berikut akan kami tunjukkan betapa rusaknya
bantahan tersebut. Seperti biasa bantahan dari orang tersebut akan kami
blockquote. Bagi para pembaca yang ingin mengetahui tulisan kami yang
dibantah blog tersebut maka silakan lihat tulisan kami Takhrij Atsar Aliy bin Abi Thalib : Rasulullah Tidak Pernah Berwasiat Tentang Kepemimpinan Kepada Dirinya
Mengenai riwayat Ali ra sebagai wali bagi kaum muslimin memang ditetapkan dari riwayat yang shahih, akan tetapi pengertian wali diartikan dengan kepemimpinan merupakan kesalahan, apalagi sampai mempunyai anggapan bahwa Abu Bakar cs merampas hak kepemimpinan Ali, kalau sudah beranggapan seperti itu maka tidak syak lagi status dia sebagai syiah rafidhah.Hal ini dibuktikan dengan ke-shahih-an riwayat yang sedang kita bahas.
Lebih baik kami tidak usah sibuk dengan
tuduhan atau prasangka dustanya. Kami langsung saja menunjukkan hujjah
yang ilmiah dan objektif dan mari kita lihat nanti bagaimana ia akan
bersikeras untuk menolak. Riwayat tentang Imam Aliy sebagai Waliy kaum
muslimin adalah sebagai berikut
حدثنا يونس قال حدثنا أبو داود قال حدثنا أبو عوانة عن أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن بن عباس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لعلي أنت ولي كل مؤمن بعدي
Telah menceritakan kepada kami Yuunus
yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawud yang berkata
telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abu Balj dari ‘Amru bin
Maimun dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
berkata kepada Aliy “engkau adalah Waliy bagi setiap mukmin sepeninggalku” [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisiy no 2875]
ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari
‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda
kepada Aliy “KedudukanMu di sisiKu sama seperti kedudukan Harun di sisi
Musa hanya saja Engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya
Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin sepeninggalku. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1222]
Jadi apa yang perlu ditafsirkan, lha
hadisnya memang menyebutkan kalau Waliy yang dimaksud adalah Khalifah.
Makna Waliy sebagai Khalifah itu sudah dikenal di kalangan orang Arab
bahkan dikalangan para sahabat. Buktinya adalah sahabat Nabi yaitu Abu
Bakar [radiallahu ‘anhu] sendiri menggunakan kata Waliy untuk menyatakan
kepemimpinannya
وقال محمد بن إسحاق بن يسار : حدثني الزهري ، حدثني أنس بن مالك قال : لما بويع أبو بكر في السقيفة وكان الغد ، جلس أبو بكر على المنبر ، فقام عمر فتكلم قبل أبي بكر ، فحمد الله وأثنى عليه بما هو أهله ، ثم قال : أيها الناس ، إني قد قلت لكم بالأمس مقالة ما كانت مما وجدتها في كتاب الله ، ولا كانت عهدا عهده إلي رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ولكني قد كنت أرى أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سيدبر أمرنا – يقول : يكون آخرنا – وإن الله قد أبقى فيكم كتابه الذي به هدى رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فإن اعتصمتم به هداكم الله لما كان هداه له ، وإن الله قد جمع أمركم على خيركم ; صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم وثاني اثنين إذ هما في الغار ، فقوموا فبايعوه . فبايع الناس أبا بكر بيعة العامة بعد بيعة السقيفة ، ثم تكلم أبو بكر فحمد الله وأثنى عليه بالذي هو أهله ، ثم قال : أما بعد ، أيها الناس ، فإني قد وليت عليكم ولست بخيركم ، فإن أحسنت فأعينوني ، وإن أسأت فقوموني ، الصدق أمانة ، والكذب خيانة ، والضعيف فيكم قوي عندي حتى أريح عليه حقه ، إن شاء الله ، والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ الحق منه ، إن شاء الله ، لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا ضربهم الله بالذل ، ولا تشيع الفاحشة في قوم إلا عمهم الله بالبلاء ، أطيعوني ما أطعت الله ورسوله ، فإذا عصيت الله ورسوله ، فلا طاعة لي عليكم ، قوموا إلى صلاتكم يرحمكم الله . وهذا إسناد صحيح
Dan Muhammad bin Ishaq berkata telah
menceritakan kepada kami Az Zuhri yang berkata telah menceritakan kepada
kami Anas bin Malik yang berkata ketika Abu Bakar dibaiat di Saqifah,
esok harinya ia duduk diatas mimbar dan Umar berdiri di sampingnya
memulai pembicaraan sebelum Abu Bakar. Umar mulai memuji Allah sebagai
pemilik segala pujian, kemudian berkata “wahai manusia aku telah katakan
kepada kalian kemarin perkataan yang tidak terdapat dalam kitabullah
dan tidak pula pernah diberikan Rasulullah SAW kepadaku. Aku
berpandangan bahwa Rasulullah SAW akan hidup terus dan mengatur urusan
kita maksudnya Rasulullah akan wafat setelah kita. Dan sesungguhnya
Allah SWT telah meninggalkan kitab-Nya yang membimbing Rasulullah SAW
maka jika kalian berpegang teguh dengannya Allah SWT akan membimbing
kalian sebagaimana Allah SWT membimbing Nabi-Nya. Sesungguhnya Allah SWT
telah mengumpulkan urusan kalian pada orang yang terbaik diantara
kalian yaitu Sahabat Rasulullah dan orang yang kedua ketika ia dan
Rasulullah SAW bersembunyi di dalam gua. Maka berdirilah kalian dan
berilah baiat kalian kepadanya. Maka orang-orang membaiat Abu Bakar
secara umum setelah baiat di saqifah. Kemudian Abu Bakar berkata setelah
memuji Allah SWT pemilik segala pujian. Ia
berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah
dipilih sebagai [Waliy] pimpinan atas kalian dan bukanlah aku orang yang
terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku.
Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah
dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kalian ia
kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika Allah
menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah
hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika
Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan
Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di
suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah
aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak
mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku.
Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati
kalian. Riwayat ini sanadnya shahih. [Al Bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir
9/414-415]
Apa yang mas SP tulis secara panjang lebar tersebut hanyalah berupa teori-teori kemungkinan saja, faktanya Abu Bakar bin Ayyasy menjayyid-kan sanad tersebut.Dan kalau bermain teori kemungkinan, maka dapat juga dikemukakan teori lawan : bahwa Abu Bakar bin Ayyasy setelah tahu sanad Salamah dan Salim, maka beliau merajihkan sanad Salim.Masyhur Ishaq bin Ibrahim merupakan murid Abu Bakar bin Ayyasy dan sima’ nya dengan lafaz sami’tu, dua hal tersebut menjadi qarinah bahwa kemungkinan besar riwayat ini terjadi ketika Abu Bakar tidak ikhtilath.
Seperti biasa ini hanya jawaban
akal-akalan orang yang tidak paham kaidah ilmu hadis atau sebenarnya ia
paham tetapi pura-pura bodoh. Jika seorang perawi dikatakan ikhtilath
maka yang harus diperhatikan adalah apakah perawi yang meriwayatkan
darinya adalah perawi yang meriwayatkan sebelum ikhtilath atau sesudah
ikhtilath. Maka perinciannya adalah sebagai berikut
- Jika perawi yang meriwayatkan darinya adalah perawi yang mendengar sebelum ikhtilath maka hadisnya diterima
- Jika perawi yang meriwayatkan darinya adalah perawi yang mendengar setelah ikhtilath maka hadisnya ditolak
- Jika perawi yang meriwayatkan darinya tidak diketahui mendengar sebelum atau sesudah ikhtilath maka hukumnya tawaqquf sampai ada qarinah yang menguatkan kalau perawi tersebut mendengar darinya sebelum ikhtilath. Salah satu qarinah yang sering dipakai para ulama adalah periwayatan Bukhariy dan Muslim. Jika riwayat perawi tersebut dari gurunya yang ikhtilath dipakai Bukhariy dan Muslim maka ini termasuk qarinah yang menguatkan kalau perawi tersebut mendengar dari gurunya sebelum ikhtilath.
Aneh bin ajaib dalam bantahan terhadap riwayat ‘Amru bin Sufyaan, orang ini berlagak sok paham dan mengucapkan kalimat yang menentang dirinya sendiri
JAWAB :
Benar Qutaibah dari Jarir telah disebutkan dalam shahih Bukhari dan Muslim, akan tetapi ketika disebutkan dalam riwayat selain mereka berdua harus dilihat, bila mendengar sebelum ikhtilath diterima, bila mendengarnya sesudah ikhtilath atau tidak diketahui sebelum atau sesudah ikhtilath, maka riwayatnya ditolak.
Ishaaq bin Ibrahim tidak diketahui
mendengar dari Abu Bakar bin ‘Ayasy sebelum atau sesudah ikhtilath maka
sesuai dengan perkataannya sendiri di atas seharusnya riwayat Ishaaq
dari Abu Bakar itu ditolak. Jadi ngapain dia sok membela atau berhujjah
dengan riwayat Abu Bakar bin ‘Ayasy tersebut.
Dan lucunya orang ini mengatakan bahwa Ishaaq sebagai murid Abu Bakar dan menggunakan lafal sami’tu
adalah qarinah Ishaaq mendengar Abu Bakar sebelum ikhtilath. Alangkah
mengherankannya orang ini, bagaimana bisa hal seperti itu jadi qarinah
perawi mendengar sebelum ikhtilath. Ilmu hadis dari mana itu?. Orang ini
memang ajib selalu punya kaidah ilmu hadis yang mencengangkan dan tidak
tahu datang dari mana.
Seandainya toh, riwayat tautsiq ini lemah, tidak mempengaruhi terangkatnya ke-majhulan Abdullah bin Sabu’. (Salim, Tsa’labah, Ibnu Hibban, dan Ibnu Hajar mengenal Abdullah bin Sabu’)
Ucapan ini tidak ada nilai hujjahnya.
Abdullah bin Sabu’ berdasarkan pendapat yang rajih adalah perawi majhul
‘ain. Berikut kita bahas perkataan orang ini. Ia mengatakan
Salim mengenal Abdullah bin Sabu’.
Perkataan ini tidaklah mengangkat jahalah Abdullah bin Sabu’. Memang
dalam kitab Rijal disebutkan bahwa tidak ada yang meriwayatkan dari
Abdullah bin Saabu’ kecuali Salim bin Abi Ja’d [Mizan Al I’tidal Adz
Dzahabiy 4/105 no 4348]. Hukum perawi yang dikenal hanya satu orang yang
meriwayatkan darinya adalah majhul ‘ain.
Tetapi kalau diteliti kembali maka periwayatan Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ tidak tsabit dengan dua alasan
- Riwayat tersebut mudhtharib sebagaimana telah kami bahas sebelumnya dan sumber idhthirabnya berasal dari A’masy
- Jika alasan mudhtharib ini tidak diterima oleh orang itu maka tetap saja riwayat tersebut tidak tsabit sampai Salim bin Abil Ja’d karena tadlis A’masy dan ia disini meriwayatkan dengan ‘an anah.
Jadi kesimpulannya hal ini tidaklah mengangkat predikat majhul ‘ain dari ‘Abdullah bin Sabu’.
Tsa’labah mengenal Abdullah bin Sabu’. Perkataan ini tidaklah benar. Riwayat Tsa’labah bin Yazid yang dimaksud tidak tsabit sanadnya hingga Tsa’labah karena ‘an anah A’masy dan Habiib bin Abi Tsabit padahal keduanya mudallis.
Maka bagaimana bisa dikatakan Tsa’labah mengenal ‘Abdullah bin Sabu’
kalau riwayat Tsa’labah tersebut dhaif. Kalau memang riwayat tersebut
shahih sanadnya sampai Tsa’labah bin Yaziid maka baru bisa dikatakan
Tsa’labah mengenal ‘Abdullah bin Sabu’.
Ibnu Hibban mengenal ‘Abdullah bin Sabu’.
Perkataan ini tidaklah mengangkat predikat majhul ‘ain Abdullah bin
Sabu’. Hal ini disebabkan Ibnu Hibban sering memasukkan perawi majhul
dalam kitabnya Ats Tsiqat [termasuk perawi majhul ‘ain]. Siapapun yang
meneliti kitab Ibnu Hibban maka ia akan menemukan kalau disisi Ibnu
Hibban, predikat majhul atau jahalah perawi bukanlah cacat. Oleh karena
itu wajar jika Ibnu Hibban memasukkan para perawi majhul [baik majhul
‘ain atau majhul hal] yang tidak dikenal jarh-nya [cacatnya] dalam
kitabnya Ats Tsiqat. Kalau Ibnu Hibban sering memasukkan perawi majhul
‘ain dalam Ats Tsiqat maka bagaimana bisa dikatakan hal itu
menghilangkan predikat majhul ‘ain perawi tersebut.
Ibnu Hajar mengenal ‘Abdullah bin Sabu’.
Perkataan ini juga patut diberikan catatan. Mungkin orang ini hanya
melihat apa yang disebutkan Ibnu Hajar dalam kitab Taqrib At Tahdzib
bahwa ia menyatakan Abdullah bin Sabu’ maqbul. Hal ini tidaklah benar
dan menyalahi metode Ibnu Hajar sendiri karena Ibnu Hajar dalam Tahdzib
At Tahdzib tidak menukil satupun tautsiq terhadap Abdullah bin Sabu’ dan
menyebutkan hanya satu orang perawi yang meriwayatkan darinya yaitu
Salim bin Abil Ja’d.
Oleh karena itu Syaikh Syu’aib Al Arnauth
dan Syaikh Basyaar Awad Ma’ruf mengkoreksi perkataan maqbul Ibnu Hajar
dan yang benar adalah majhul. Keduanya berkata
Majhul, tafarrud [menyendiri] dalam
meriwayatkan darinya Salim bin Abil Ja’d, tidak ada yang mentsiqatkan
selain Ibnu Hibban dan demikianlah disebutkan Adz Dzahabiy dalam Al
Miizan, hanya memiliki satu hadis yang dikeluarkan An Nasa’iy dalam
Musnad ‘Aliy, terdapat perselisihan [sanad-sanadnya] atas Al A’masy,
[hadis tersebut] tidak shahih [Tahrir Taqriib At Tahdziib no 3340]
Mas SP, karena salah sangka maka terlontarlah ucapan makian kepada Ust. Abul Jauza, padahal perkataan Ust. Abul Jauza begini :
Bakr bin ‘Ayyaasy dalam sanad riwayat ini mempunyai mutaba’ah dari : Jarir dan Abdullah bin Dawud. (yaitu dalam sanad Salamah)
Mudah-mudahan ini bukan akhlaq asli mas SP.
Ada baiknya jika orang ini sebelum
berbicara meneliti dahulu permasalahan yang dibicarakan dengan baik.
Abul Jauzaa itu sudah jelas keliru, ini buktinya saya tunjukkan langsung
dari situsnya
Perhatikan poin no 2 tersebut yaitu sanad
riwayat dengan jalan dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari
Abdullah bin Sabu’ dari Aliy. Ini adalah salah satu riwayat Abu Bakar
bin ‘Ayyasy dari Al A’masy. Kemudian Abul Jauzaa mengatakan
Abu Bakar bin ‘Ayyasy dalam sanad riwayat ini mempunyai mutaba’ah dari Jarir bin ‘Abdul Hamiid dan ‘Abdullah bin Dawud
Bukankah itu sudah sangat jelas “sanad riwayat ini” yang dituliskan Abul Jauzaa adalah
Al A’masy—Salamah bin Kuhail—-Abdullah bin Sabu’—‘Aliy
Sekarang silakan orang itu lihat riwayat
Jarir bin ‘Abdul Hamiid dan riwayat ‘Abdullah bin Dawud yang disebutkan
Abul Jauzaa. Silakan lihat salah satu riwayat Jarir bin ‘Abdul Hamiid
yang disebutkan Abul Jauzaa, misalnya dari Abu Ya’la dalam catatan kaki
no 14
حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبُعٍ، قَالَ: خَطَبَنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ
Kemudian silakan lihat salah satu riwayat
‘Abdullah bin Dawud yang disebutkan Abul Jauzaa, misalnya dari Aajurriy
dalam catatan kaki no 18
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ الْوَاسِطِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ، قَالَ: سَمِعْتُ الأَعْمَشَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ
Bagaimanakah sanad riwayat Jarir dan Abdullah bin Dawuud tersebut?. Orang yang punya mata akan melihat sanad tersebut adalah
Al A’masy—Salamah bin Kuhail—Salim bin Abil Ja’d—Abdullah bin Sabu’—‘Aliy
Silakan bandingkan dengan apa yang ditulis Abul Jauzaa “sanad riwayat ini” yaitu riwayat Abu Bakar bin ‘Ayyasy
Al A’masy—Salamah bin Kuhail—-Abdullah bin Sabu’—‘Aliy
Sudah jelas berbeda, riwayat
Jarir dan Abdullah bin Dawud menyebutkan Salim bin Abil Ja’d dalam
sanadnya sedangkan riwayat Abu Bakar bin ‘Ayyasy tidak menyebutkannya.
Dalam pembahasan sanad-sanad yang idhthirab jelas sangat penting
membedakan sanad-sanadnya untuk mengetahui sumber idhthirab atau dimana
letak idhthirabnya. Orang ini sok ingin membela Abul Jauzaa padahal
sudah jelas-jelas Abul Jauzaa itu keliru dalam masalah ini.
Mas SP, sekali lagi salah sangka, riwayat Abu Bakar bin Ayyasy dari Salim adalah shahih karena ada Waki’, sedangkan riwayat Yahya bin Yaman menurut Ust. Abul Jauza lemah karena (mungkin) tidak ada mutaba’ahnya. Dalam tautsiq Abu Bakar yang dibicarakan jalur sanad, sedang dalam riwayat Yahya yang dibicarakan adalah status perawi yang menyebabkan kelemahan riwayat. Harap dibedakan ini !.
Maaf justru orang ini yang salah sangka
karena tidak meneliti dengan baik apa yang ditulis Abul Jauzaa’. Abul
Jauzaa’ itu telah berhujjah dengan hadis Abu Bakar bin ‘Ayyasy dalam
masalah tautsiq terhadap Abdullah bin Sabu’ yaitu riwayat Abu Bakar bin
‘Ayyasy yang berkata “menurutku, hadis ini sanadnya jayyid”.
Kalau memang Abul Jauzaa’ melemahkan Yahya bin Yaman maka orang
semisalnya yaitu Abu Bakar bin ‘Ayyasy harusnya lemah juga oleh karena
itu tautsiq terhadap ‘Abdullah bin Sabu’ itu hakikatnya lemah tidak bisa
dijadikan hujjah.
.
.
Riwayat Bakr sudah sah dijadikan qarinah tarjih, karena kelemahannya hanya berkisar dalam masalah hafalan dan munkarul hadits bahkan ada yang menta’dilnya. Dan tentunya yang ditarjih pertama kali adalah riwayat tanpa Abdullah bin Sabu’, akan tetapi ternyata ada qarinah lain pula bahwa sanad yang lain pun dapat terangkat pula.
Riwayat Bakr itu kedudukannya dhaif bahkan lebih dhaif dari riwayat Al A’masy. Kelemahannya ada pada Bakr bin Bakkaar dan Hakim bin Jubair.
Pendapat yang rajih Bakr bin Bakkaar dan Hakim bin Jubair keduanya
adalah perawi yang dhaif tetapi dapat dijadikan i’tibar. Hadis yang
didalamnya terdapat seorang perawi yang dhaif dapat dijadikan i’tibar
maka hadisnya bisa dikuatkan oleh hadis lain yang memiliki kelemahan
yang sama atau lebih kuat sanadnya. Adapun jika dalam satu sanad hadis
terdapat dua orang perawi yang dhaif dapat dijadikan i’tibar maka kedudukannya menjadi lebih berat dan jatuh ke derajat hadis dhaif.
Sebenarnya cukup dengan apa yang dinukil oleh Abul Jauzaa’ mengenai kelemahan Bakr bin Bakkaar dan Hakim bin Jubair
Silakan para pembaca pikirkan jika dalam
sanad suatu hadis terdapat dua cacat yaitu perawi yang dilemahkan jumhur
ulama dan perawi yang dhaif maka apakah hadisnya bisa dipakai sebagai
hujjah? Bukankah seharusnya riwayat tersebut ditolak dan tidak bisa
dipakai.
.
.
SP memotong pengertian perkataan Ibnu Asaakir, lanjutan perkataan Ibnu Asaakir adalah : Salim HANYALAH meriwayatkan melalui perantaraan Abdullah bin Sabu’, pernyataan ini umum terhadap seluruh periwayatan Salim dari Ali ra. Termasuk riwayat Bakr ini-pun menjadi bersambung kepada Ali, termasuk riwayat riwayat mursal Salim dari Ali, dan termasuk pula riwayat mausul Salim dari Abdullah bin Sabu dari Ali ra.
Orang ini berdusta, kami tidak pernah memotong pengertian perkataan Ibnu Asakir. Inilah yang kami katakan
Silakan perhatikan kami justru menuliskan lafaz hanyalah meriwayatkan melalui perantara Abdullah bin Sabu’.
Adapun ucapannya bahwa pernyataan itu
umum terhadap seluruh periwayatan Salim dari Aliy adalah ucapan ngawur
yang muncul dari kejahilan. Yang dimaksud Ibnu Asakir itu adalah khusus
dalam hadis yang sedang dibahas ini. Perkataan Ibnu Asakir tersebut
justru berlandaskan pada riwayat Al A’masy.
Silakan cek berikut yang tertulis dalam kitab Ibnu Asakir setelah ia menyebutkan riwayat Bakr bin Bakkaar
سالم لم يسمعه من علي وإنما يرويه عن عبد الله بن سبع
أخبرناه أبو علي الحسن بن المظفر أنا أبو محمد ح وأخبرنا أبو القاسم بن الحصين أنا أبو علي قالا أنا أحمد بن جعفر نا عبد الله حدثني أبي نا وكيع نا الأعمش عن سالم بن أبي الجعد عن عبد الله بن سبع قال سمعت عليا
Saalim tidak mendengarnya [hadis itu] dari ‘Aliy, sesungguhnya ia hanyalah meriwayatkannya [hadis itu] dari ‘Abdullah bin Sabu’.
Telah mengabarkan kepada kami Abu
‘Aliy Hasan bin Muzhaffar yang berkata telah menceritakan kepada kami
Abu Muhammad. Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Qaasim bin Hushain
yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aliy. Keduanya [Abu
Muhammad dan Abu ‘Aliy] berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang
berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah
menceritakan kepada kami Wakii’ yang berkata telah menceritakan kepada
kami Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang
berkata aku mendengar Aliy…[Tarikh Ibnu Asakir 42/538]
Jadi sebenarnya Ibnu Asakir menjadikan
riwayat A’masy sebagai hujjah untuk menutup cacat riwayat Bakr bin
Bakkaar. Padahal sebenarnya riwayat A’masy itu sendiri mudhtharib.
Sedangkan Abul Jauzaa’ justru menjadikan
riwayat Bakr bin Bakkaar sebagai qarinah tarjih riwayat Al A’masy yang
idhthirab. Kemudian Abul Jauzaa’ mengakali riwayat Bakr bahwa Salim
meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Sabu’ padahal zhahir sanad riwayat Bakr
tidak menyebutkan Abdullah bin Sabu’. Ucapan Ibnu Asakir itu tidak bisa
dijadikan hujjah oleh Abul Jauzaa’ karena Ibnu Asakir justru sedang
berhujjah dengan riwayat A’masy yang sedang ingin ditarjih oleh Abul
Jauzaa’.
Bisa saja ada qarinah tarjih untuk menghilangkan idhthirabnya, yaitu riwayat Bakr, atau sanad asli (yang lengkap dan urut sesuai dengan riwayat yang tidak lengkap).Atau kedua-duanya dipakai, alias riwayat tersebut tidak idhthirab.Melihat beberapa jalan riwayat di atas nampak bahwasannya jalan riwayat ‘Abdullah bin Sabu’ ini yang raajih adalah dari jalan Saalim bin Abi Ja’d dari ‘Abdullah bin Sabu’ – wallaahu a’lam –. Atau bisa jadi jalan riwayat Salamah bin Kuhail, dari ‘Abdullah bin Sabu’ juga mahfudh; atau dengan kata lain : ‘Abdullah bin Sabu’ mempunyai dua jalan, yaitu dari Saalim bin Abi Ja’d dan Salamah bin Kuhail. Dalam hal ini, Al-A’masy meriwayatkan dari dua jalan tersebut.
Orang ini sok mengatakan sebelumnya bahwa
penjelasan kami hanya berupa teori-teori kemungkinan saja tetapi
kenyataannya justru ia sekarang yang bersemangat berandai-andai teori
kemungkinan. Toh gampang saja ditolak perkataannya bahwa itu cuma
kemungkinan tidak ada nilai hujjah.
Dalam ilmu hadis sudah jelas status
riwayat seperti Al A’masy ini adalah mudhtahrib. Untuk menghilangkan
idhthirab ya silakan dinilai dan ditarjih mana riwayat A’masy tersebut
yang mahfuzh. Tetapi tentu saja mentarjih itu harus dengan dasar ilmiah
bukan ala teori kemungkinan orang ini. Bahkan hakikatnya tidak ada
satupun riwayat Al A’masy yang mahfuzh sampai Saalim bin Abil Ja’d dan
Salamah bin Kuhail karena ‘an anah A’masy dan ia seorang mudallis yang
juga sering melakukan tadlis dari para perawi dhaif.
Ini adalah kesalahan utama mas SP, yaitu menghukumi idhthirab riwayat A’masy.Perhatikan riwayat no. 3, jalur ini adalah jalur asli dari ke-4 riwayat A’masy.Dimana jalaur 1,2 dan 4 urut-urutannya tidak menyalahi jalur ke-3 ini.Jalur 1,2 dan 4 adalah sesuai dengan ungkapan kalau A’masy rajin menyambung sanad kalau malas beliau memutus sanad, dikarenakan situasi yang berbeda-beda ketika menyampaikan hadits.
Maaf rasanya lebih masuk akal untuk
dikatakan idhthirab ketimbang ocehan orang ini yang tidak karuan. Orang
ini mengatakan jalur asli adalah yang no 3, nah itu dasarnya dari mana?.
Seenak perutnya bilang itu yang asli, terus jalur yang lain [no 1, 2
dan 4] itu tidak asli?. Dengan logika orang ini maka bisa dipastikan
yang namanya hadis mudhtharib akan lenyap dari muka bumi. Mengapa?
Karena setiap ada hadis yang mudhtharib bisa ditarjih seenaknya yang ini
asli dan yang lain tidak asli.
Memang ada kasus dimana seorang perawi
tsiqat karena banyak melakukan rihlah dalam menuntut ilmu maka ia
memiliki banyak guru, sehingga seolah-olah dalam suatu hadis sanadnya
berselisih padahal sebenarnya itu berasal dari guru-gurunya yang
berbeda. Tetapi dalam kasus riwayat Al A’masy di atas hal ini tidak bisa
diterapkan dengan alasan berikut
- Al A’masy telah dikenal sering melakukan tadlis dari para perawi dhaif oleh karena itu ‘an anah A’masy dari perawi yang tidak dikenal sebagai Syaikh [gurunya] yang ia banyak meriwayatkan darinya [seperti Abu Wail, Ibrahim, dan Abu Shalih] tidak bisa dianggap muttashil. Maka disini ‘an anah A’masy dari Salamah bin Kuhail dan Salim bin Abil Ja’d tidak bisa dianggap bahwa A’masy memang mendengar dari keduanya. Bahkan bisa saja dalam riwayat ini dikatakan A’masy melakukan tadlis dari para perawi dhaif tertentu dan para perawi dhaif inilah yang terkadang menambah atau mengurangi sanadnya. Kemungkinan ini bisa saja terjadi mengingat semua riwayat disampaikan A’masy dengan lafaz ‘an anah.
- Perselisihan sanad ini tidak hanya pada thabaqat guru Al A’masy tetapi juga pada thabaqat di atasnya. Misalnya Salim bin Abil Ja’d terdapat perselisihan apakah ia meriwayatkan dari Aliy atau dari Abdullah bin Sabu’ dari Aliy. Kemudian Salamah bin Kuhail juga terdapat perselisihan apakah ia meriwayatkan dari Salim bin Abil Ja’d atau dari Abdullah bin Sabu’.
Sehingga cacat riwayat ini hanyalah tadlis dari A’masy saja.Mengenai Abdullah bin Sabu’ tidak benar ia majhul ‘ain.Beliau diriwayatkan oleh Salim dan dikenal oleh Tsa’labah dari riwayat A’masy yang tidak idhthirab.Selain itu beliau ditsiqatkan oleh Ibnu Hibban, dimana pentsiqatan Ibnu Hibban seorang dapat dijadikan sebagai penguat, menurut Syaikh Muqbil.Selain itu syarat perawi maqbul dari Ibnu Hajar telah terpenuhi dengan adanya mutaba’ah dari Tsa’labah.
Tadlis A’masy memang menjadi cacat
[illat] atas riwayat tersebut tetapi idhthirab pada sanad A’masy juga
menjadi cacat [illat] bagi riwayat tersebut. Pembahasannya sudah kami
jelaskan secara detail. Adapun bantahan orang ini tidak memiliki nilai
hujjah karena hanya bersumber dari waham khayal-nya saja. Idhthirab bisa
diangkat jika salah satu riwayat bisa ditarjih dengan metode tarjih
yang ilmiah bukan dengan waham khayal atau riwayat dhaif.
Adapun status majhul ‘ain Abdullah bin
Sabu’ sudah dibahas di atas. Orang ini sok berhujjah dengan perkataan
Syaikh Muqbil tentang tautsiq Ibnu Hibban padahal ia tidak bisa
menunjukkan sumber yang valid perkataan Syaikh Muqbil tersebut. Silakan
para pembaca tanyakan pada orang ini, di kitab mana Syaikh Muqbil pernah
mengatakan secara mutlak pentsiqatan Ibnu Hibban dapat dijadikan
penguat.
Hakikatnya perawi yang ada dalam Ats
Tsiqat Ibnu Hibban itu ada beberapa macam yaitu ada perawi yang majhul
‘ain, ada yang majhul hal, ada yang shaduq, ada yang tsiqat dan ada yang
sebenarnya berdasarkan pendapat yang rajih ia dhaif. Jadi jelas tidak
bisa dipukul rata bahwa setiap yang dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats
Tsiqat maka bisa dijadikan penguat. Perawi yang majhul ‘ain itu
berdasarkan kesepakatan para ulama hadis, hadisnya tidak bisa dijadikan
penguat. Abdullah bin Sabu’ ini adalah perawi yang majhul ‘ain maka
hadisnya tidak bisa dijadikan penguat walaupun Ibnu Hibban memasukkannya
dalam Ats Tsiqat.
Riwayat Tsa’labah bin Yazid tidak tsabit
sebagai mutaba’ah bagi Abdullah bin Sabu’ karena riwayat tersebut
sanadnya lemah karena ‘an anah A’masy dan Habib bin Abi Tsabit. Apalagi
baik riwayat Tsa’labah dan riwayat Abdullah bin Sabu’ memiliki kelemahan
yang sama yaitu bersumber dari ‘an anah Al A’masy. Daruquthniy berkata
ورواه عمار بن رزيق عن الأعمش عن حبيب بن أبي ثابت عن ثعلبة بن يزيد عن علي ولم يضبط إسناده
Dan diriwayatkan ‘Ammaar bin Ruzaiq
dari Al A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Tsa’labah bin Yaziid dari
‘Aliy, tidak dhabit sanadnya [Al Ilal Daruquthniy 3/266 no 396]
Dalam riwayat Tsa’labah, disebutkan : Tsa’labah berkata : …… lalu Abdullah bin Sabu berkata …..Perhatikan ini ….
- Perkataan Abdullah bin Sabu ada 2 kali, dan beliau tidak termasuk dalam jalur sanad, akan tetapi masih dalam kalimat matan riwayat.
- Kalimat “LALU” menunjukkan peristiwa yang berurutan, yaitu setelah Ali berkata, lalu Abdullah bin sabu berkata.
- Yang menyampaikan perkataan Abdullah bin Sabu adalah Tsa’labah, bukan A’masy.
Dari 3 alasan tersebut dapat dipastikan kalau perkataan Abdullah bin Sabu adalah asli matan dari riwayat bukan merupakan penggabungan riwayat akibat idhthirabnya A’masy.
Tidak mengapa kalau orang ini tidak
sepakat dengan kemungkinan yang kami katakan bahwa A’masy
mencampuradukkan matan riwayat Abdullah bin Sabu’ dan matan riwayat
Tsa’labah. Hujjah kami disini sebenarnya adalah riwayat Tsa’labah tersebut tidak tsabit sebagai mutaba’ah karena ‘an anah A’masy dan ‘an anah Habib bin Abi Tsabit dimana keduanya adalah mudallis ditambah lagi Daruquthniy mengatakan “tidak dhabit sanadnya”. Kesimpulannya riwayat ini tidak bisa menjadi hujjah sebagai penguat riwayat Abdullah bin Sabu’.
A’masy—Salim bin Abil Ja’d—Abdullah bin Sabu’—Aliy
A’masy—Habib bin Abi Tsabit—Tsa’labah bin Yaziid—Aliy
Riwayat Bakr bin Bakkaar dhaif karena Bakr bin Bakkaar dan Hakim bin Jubair keduanya dhaif.
“Riwayat A’masy diatas memang mudhtharib, bahkan dengan metode tarjih yang ketat telah ditunjukkan bahwa riwayat A’masy tetap mudhtharib. SEANDAINYAPUN RIWAYAT A’MASY TIDAK MUDHTHARIB MAKA RIWAYAT TERSEBUT TETAP SAJA LEMAH. Dua jalur yang orang itu sebutkan tetap dhaif kedudukannya dan tidak saling menguatkan.”
Perhatikan kalimat yang berhuruf besar diatas baik-baik.
benar riwayat A’masy berstatus lemah karena tadlisnya A’masy, akan tetapi TIDAK BENAR bahwa riwayat A’masy tersebut mudhtharib.
Jalur A’masy dari Salim terdapat dalam shahih Bukhari, bab mandi no. 249.
Jalur A’masy dari Salamah terdapat dalan shahih Bukhari bab orang yang wafat meninggalkan hutang puasa no. 1817
Sehingga dipastikan bahwa A’masy menerima dari Salim dan Salamah, yang berarti A’masy tidak idhthirab antara Salim atau Salamah, akan tetapi A’masy menerima dari Salim dan Salamah.
Tentang mengatakan A’masy dari Habib idhthirab, sungguh ini kebodohan yang nyata.
Terkesan dalam tulisan anda bahwa jalur A’masy maupun jalur Tsa’labah mengalami idhthirab dengan sebab ‘an’anah A’masy, padahal dua hal tersebut (yaitu antara idhthirab dengan tadlis) berbeda.
Jalur A’masy dari Habib dari Tsa’labah dengan jalur A’masy dari Salim/Salamah dikatakan idhthirab dimana letak idhthirabnya mas ?
Kalau idhthirab dikarenakan riwayat Adz Dzahabi (tarikh Islam) dan Ibnu Abdil Barr (Al Isti’ab) maka ini baru logis, tapi kalau idhthirab karena dibandingkan dengan jalur A’masy dari Salim/Salamah, maaf maka ini merupakan kebodohan.
Kalau anda sudah mengakui bahwa jalur A’masy dari Salim/Salamah tidak idhthirab dan hanya lemah dikarenakan ‘an ‘anah nya A’masy, maka kita akan urai persoalan yang kedua, yaitu tentang tadlis A’masy.
Kalau anda mengatakan bahwa jalur A’masy dari Salim/Salamah ini lemah karena tadlis A’masy, maka ini benar.
Kalau anda salahkan saya karena ucapan saya tentang hilangnya tadlis A’masy dikarenakan riwayat Bakr, maka yang saya maksud adalah bahwa riwayat A’masy bisa menjadi kuat karena riwayat Bakr walaupun ‘an’anah.
Dan menurut keterangan anda pula bahwa manhaj Ibnu Asakir adalah menjadikan riwayat A’masy sebagai penambal keterputusan riwayat Bakr, sehingga riwayat Bakr menjadi maushul, walupun dalam sanadnya terdapat Bakr dan Hakim.
Oleh karena itu riwayat ‘an’anah A’masy dengan riwayat bakr saling kuat menguatkan, memberi faedah akan benarnya peristiwa tersebut.
Perhatikan jarh para ulama dibawah ini :
Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya” ini jarh yang mujmal..
Nasa’i terkadang berkata “tidak kuat” dan terkadang berkata “tidak tsiqat” ini jarh yang mujmal.
Abu Hatim berkata “tidak kuat”.ini jarh yang mujmal.
Al Uqailiy, Ibnu Jaruud dan As Saajiy memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [At Tahdzib juz 1 no 882], ini jarh yang mujmal.
Ibnu Abi Hatim berkata “dhaif al hadits, buruk hafalannya dan mengalami ikhtilath, inilah jarh yang mufassar.
Sebagai pencuri hadits, ini akibat buruk hafalannya.
So…Bakr adalah perawi yang buruk hafalannya bersama dengan ke-tsiqatannya.
Ahmad berkata “dhaif al hadits mudhtharib”, akibat pernah meriwayatkan hadits yang mungkar.
Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”, ini jarh yang mujmal
Yaqub bin Syaibah berkata “dhaif al hadits”. jarh yang mujmal
Abu Hatim berkata “dhaif al hadits mungkar al hadits”, ini jarh yang mufasar
Nasa’i berkata “tidak kuat”, jarh yang mujmal
Daruquthni berkata “matruk”, akibat meriwayatkan hadits yang mungkar
Abu Dawud berkata “tidak ada apa-apanya” [At Tahdzib juz 2 no 773] jarh yang mujmal.
So…Hakim seorang yang pernah meriwayatkan hadits yang mungkar bersama dengan ke-shaduq-annya.
Ini dikarenakan anda bercampur aduk dalam memahami idhthirab dengan ‘an’anah.
Riwayat ‘an’anah dapat dijadikan sebagai penguat dari riwayat perawi yang bermasalah dalam kedhabitan. Bukan begitukan mas ?
Inilah yang dilakukan oleh Imam Ibnu Asakir dalam menambal keterputusan Salim dengan Ali melalui jalur A’masy.
Dan inilah pula yang dilakukan oleh Ustadz Abul Jauza untuk menaikkan status tadlisnya A’masy dengan riwayat Bakr dimana riwayat ini diluar jalur sanad A’masy yang bercacat ‘an’anah tadi.
A’masy—Salim bin Abil Ja’d—Abdullah bin Sabu’—Aliy
A’masy—Habib bin Abi Tsabit—Tsa’labah bin Yaziid—Aliy
Aliy bin ‘Abdul A’laa dari Zaid bin ‘Arqam dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Terlihat disini pencampuradukan pemahaman anda antara idhthirab dengan tadlis.
Idhthirab dapat hilang manakala dapat didudukkan posisinya, dan tadlis dapat diterima manakala diketemukan adanya jalur sima’ atau adanya penguat.
7 jalur A’masy dapat dikatakan mudhtharib, betul, lalu kita tarjih menjadi 2 jalur, dimana 2 jalur tadi dapat didudukkan posisinya masing-masing, merupakan jalur tersendiri dari A’masy, akan tetapi tiap-tiap jalur tetap lemah karena tadlisnya A’masy.
Coba anda perhatikan antara 7 jalur dengan 2 jalur, kalau anda campuadukkan antara idhthirab dengan tadlis, dan tidak bisa hilang idhthirabnya karena tadlis, buat apa kita merajih menjadi 2 jalur ? Kalau begitu dirajih atau-pun tidak tetap idhthirab.
Coba anda perhatikan jalur :
A’masy ——————> Salim –> Abdullah
A’masy –> Salamah –> Salim –> Abdullah
Jalur ini bisa terlihat idhthirab.
Tapi Coba anda perhatikan jalur :
A’masy –> Salim/Salamah –> Abdullah
A’masy –> Habib –> Tsa’labah
Dimana idhthirabnya bung ?
Sekali lagi coba anda berpikir yang tenang, jangan dicampuradukkan dulu antara idhthirab dengan tadlis, nanti anda akan tahu posisi masing-masing jalur berdiri sendiri. TAPI MASIH LEMAH KARENA TADLIS.
Aliy bin ‘Abdul A’laa dari Zaid bin ‘Arqam dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
A’masy—Salim bin Abil Ja’d—Abdullah bin Sabu’—Aliy
A’masy—Habib bin Abi Tsabit—Tsa’labah bin Yaziid—Aliy
Soal no. 184 :
Apa status rowi yang dikatakan ia meriwayatkan hadits dari
beberapa jalan ?
Jawaban :
Meriwayatkan hadits dari banyak jalan ada beberapa sebab :
a. karena jelek hapalannya berarti ini menunjukkan kegoncangan haditsnya
b. si rowi banyak melakukan rihlah dalam menuntut ilmu, sehingga memiliki banyak guru, oleh karena itu jika seorang tsiqot yang banyak menuntut ilmu dan berselisih riwayatnya dari gurunya, maka mereka mengatakan bisa dimungkinkan hadits ini datang dari dua jalan.
c. Si rowi meriwayatkan dengan makna dalam kondisi Ia seorang yang tsiqoh.
d. Si rowi pendusta sehingga ia memperbagus sanadnya.
e. atau si rowi Mudalis
dan semua kondisi ini memiliki hukum khusus yang dikaitkan dengan qorinah-qorinahnya.
A’masy — Abu Shalih — Abu Hurairah
A’masy — Abu Sufyaan — Jabir
رواه الثوري هكذا وتابعه عبد الله بن بشر. وقال قطبة وأبو معاوية ، عَن الأعمش ، عَن عمارة ، عَن عبد الرحمن بن يزيد.
وقال أبو مريم ، عَن الأعمش ، عَن عمارة ، عَن زيد بن وهب.
وقال زيد أبي أنيسة ، عَن الأعمش ، عَن أبي الضحى ، عَن مسروق وقال المسعودي والحسن بن عمارة ، عَن الأعمش ، عَن أبي وائل. وقال شعبة ، عَن الأعمش ، عَن رجل ، عَن عبد الله. وهو صحيح من حديث منصور وابن أبي نجيح ، عَن مجاهد ، عَن أبي معمر
A’masy — Abi Wail
A’masy — seorang laki-laki — Abdullah
A’masy—Salim bin Abil Ja’d—Abdullah bin Sabu’—Aliy
A’masy—Habib bin Abi Tsabit—Tsa’labah bin Yaziid—Aliy
A’masy — Habiib bin Abi Tsabiit —- Tsa’labah bin Yaziid —- Aliy
Untuk jalur A’masy -> Salamah/Salim, sudah saya tunjukkan ada qarinah periwayatan mereka dalam shahih Bukhari, sehingga idhthirabnya hilang.
Sebagai tambahan, bentuk-bentuk idhthirab adalah diantaranya : idhthirab dalam makna matan, idhthirab dalam penyampaian lafal matan, idhthirab dalam menentukan status seorang perawi, idhtirab dalam menentukan jalur sanad.
waduh.
kalo ulama hadits debat, benar2 ndak ngerti saya..
mbok dijelaskan istilah2 nya… spt istilah idhtirab, tadlis, an’anah, makruf, dll.. biar2 kita2 juga bisa mengikuti..
maaf kalo ada salah penulisan istilah dari saya..
Perkataan idhthirab Imam Daraquthni dan Imam yang lainnya dalam semua riwayat A’masy diatas bukan merupakan kalimat melemahkan riwayat tersebut, hanya memberi informasi bahwa dalam sanad A’masy terjadi idhthirab atau dalam qarinah yang lain yang menyebabkan idhthirab, akan tetapi bila dapat didudukkan pada posisinya, maka idhthirab tersebut dalam hilang.
Ucapan anda qarinah periwayatkan A’masy dari gurunya dalam Shahih Bukhariy dapat menghilangkan idhthirab adalah ucapan ngayal yang muncul dari waham anda saja. Tidak mungkin idhthirab bisa hilang dengan qarinah seperti itu. Hal ini hanya diucapkan oleh orang yang tidak mengerti apa itu idhthirab.
Sekedar informasi buat anda, periwayatan A’masy dari Abu Dhuha dan dari Abu Wail juga terdapat dalam kitab Shahih Bukhariy dan Shahih Muslim dan periwayatan tersebut tidak menjadi qarinah menghilangkan idhthirab. Tentu saja ulama seperti Daruquthniy tahu persis kalau periwayatan A’masy dari Abu Dhuha dan Abu Wail ada dalam Shahih Bukhariy dan itu tetap tidak mencegah Daruquthniy menyatakan idhthirab
Waduh sudah jelas saya nukilkan dari kitab Daruquthniy ya mbok dibaca benar-benar. Lagian apa gunanya Daruquthniy memasukkan dalam kitab Al Ilal kalau tidak menganggap hadis tersebut lemah atau cacat. Apalagi contoh yang saya kutip dari kitab Al Ilzaamaat Wat Tatabbu’ jelas-jelas di kalimat akhir Daruquthniy menyatakan yang shahih adalah hadis dengan sanad lain. itu berarti hadis idhthirab yang dimaksud lemah di sisi Daruquthniy. Wah lama-lama bosan juga saya melihat anda kok semakin lama semakin banyak ngawurnya. Saya berdoa semoga suatu saat anda sadar akan kapasitas diri anda yang terlalu banyak bicara melampaui ilmu yang anda punya.
Imam Daraquthni memasukkan riwayat ini dalam Al Illal menunjukkan bahwa ini termasuk pembahasan yang rumit.
Membahas idhthirab dan menghilangkannya merupakan persoalan yang pelik yang membutuhkan ekstra perhatian dan penelitian dari berbagai qarinah yang ada, dan tidak pada tempatnya kita membahas contoh illath Imam Daraquthni yang anda sodorkan.
Jalur A’masy -> Salim dengan jalur A’masy -> Salamah, sepintas dapat dikatakan idhthirab, setelah diperiksa ternyata berporos kepada A’masy, A’masy seorang yang tsiqat, hafidz, dan alim, serta seorang mudallis. Setelah diperiksa ternyata jalur A’masy -> Salim/Salamah terdapat dalam shahih Bukhari. Maka idhthirab disini berbentuk tadlis A’masy atau memang 2 jalur itu berdiri sendiri, bukan berbentuk idhthirab akibat salah menyambungkan sanad seperti yang dialami para perawi yang buruk hafalannya.
Kalau idhthirab dalam bentuk tadlis, maka bisa diketahui bahwa yang rajih adalah sanad A’masy -> Salamah -> Salim
Hal seperti inilah yang dilakukan Ibnu Asakir yang menggunakan jalur A’masy -> Salim sebagai penambal jalur Bakr. Menurut anda riwayat mudhtharib tidak dapat menambal, tapi ternyata Ibnu Asakir menggunakannya, berarti beliau tidak menganggap riwayat ini idhthirab.
Seperti ini pula yang dilakukan Syaikh Ahmad Syakir, dalam dalam catatan kaki no 1339 bahwa A’masy menerima dari Salim dan Salamah.
Seperti ini pula yang dilakukan oleh Ustadz Abul Jauza : A’masy menerima dari Salim dan Salamah.
Orang-orang yang sebutkan tadi adalah orang yang tahu dalam masalah ilmu hadits, yang tidak mengatakan setelah melalui penelitian.
Halah kalau mau sibuk pamer klaim ya silakan saja. Lagian apa urusannya sama Syi’ah. Syi’ah punya dalil sendiri dari kitab mereka gak ada urusannya disini. Untuk membedakan mana yang ngotot dan mana yang memang berniat mencari kebenaran itu tergantung dengan siapa yang berpegang pada kaidah ilmu. Kaidah ilmu adalah penentu siapa yang benar disini. Saya sudah bawakan hujjah saya beserta penjelasannya dengan panjang lebar. Maaf anda saja yang tidak paham penjelasan saya karena memang kualitas anda ya cuma segitu. Silakan tuh pelajari ilmu hadis dengan baik baru banyak bicara.
Kekonyolan anda sudah banyak sekali anda tunjukkan yaitu tidak paham tadlis taswiyah, tidak paham persyaratan Imam Muslim tentang lafaz an anah, tidak paham lafaz maqbul Ibnu Hajar, tidak paham makna tadlis, tidak paham makna idhthirab. Tetapi gayanya berlagak sok tahu menyalahkan dan menuduh yang bukan-bukan kepada saya bahkan secara tidak sadar anda juga sudah berdusta atas para ulama. Kasihan sekali
Maaf kalau tidak mengerti tolong tidak usah banyak bicara. Kalau belum pernah membaca kitab Al Ilal Daruquthniy tolong tidak usah sok tahu. Namanya saja kitab Ilal yang membahas cacat hadis, ya secara sederhana itu kumpulan hadis yang dinilai cacat oleh Daruquthniy si penulis kitab.
Lho memangnya siapa yang menyuruh anda membahas contoh hadis idhthirab Daruquthniy tersebut. Saya hanya menunjukkan bahwa perselisihan sanad dalam riwayat A’masy di atas itu adalah idhthirab. Kan anda yang seenaknya menolak riwayat A’masy dari Habib dari Tsa’labah sebagai bukan bagian idhthirab. Pakai sok nanya “dimana letak idhthirab” padahal di sisi Daruquthniy itu sudah jelas idhthirab. Contoh-contoh itu hanya sebagai gambaran bahwa perselisihan sanad seperti itu memang idhthirab di kalangan para ulama dalam hal ini Daruquthniy. Jadi sangat jelas orang yang bertanya “dimana letak idhthirab-nya” adalah orang yang memang tidak paham contoh-contoh hadis mudhtharib
Kalau mau ngeyel dan bersilat lidah ya silakan. Orang seperti anda bukan barang baru di dunia ini. Saya sudah sering melihat orang yang kehabisan hujjah akhirnya ngeyel begini begitu membawa-bawa asumsi khayalnya sendiri dan menjadikan seolah khayalannya itu ilmiah. Sungguh menjijikkan
Akan saya ulang satu kali lagi, orang yang menjadikan hujjah periwayatan A’masy dari Salim atau Salamah dalam Shahih Bukhariy sebagai petunjuk untuk menghilangkan idhthirab adalah orang yang sebenarnya tidak paham apa itu idhthirab. Dalam ilmu hadis Idhthirab itu bahkan bisa terjadi pada perawi tsiqat, tsabit bahkan hafizh sekalipun tidak peduli ia mau perawi Bukhari Muslim atau tidak. Idhthirab itu adalah perselisihan sanad yang tidak bisa ditarjih, jadi ya tidak akan hilang hanya dengan sekedar adanya periwayatan perawi tersebut dalam Shahih Bukhariy.
Aduh maaf gak usah mengatasnamakan Ibnu Asakir deh. Gak sekalian anda bilang Ibnu Asakir tidak menganggap riwayat tersebut adalah tadlis A’masy. Ibnu Asakir menggunakan riwayat ini artinya ia tidak menganggap A’masy itu perawi mudallis. Ya kan bung, begitulah konsekuensi logika anda.
Faktanya A’masy itu memang perawi mudallis jadi ya sangat tidak berguna berpegang pada ulama yang sudah jelas sekali salah. Banyak kok ulama yang baik sadar maupun tidak sadar berpegang pada riwayat yang dhaif. Itu bukan fenomena baru di kalangan para peneliti. Tetapi orang yang berniat mencari kebenaran maka mereka akan meninggalkan kesalahan ulama dan berpegang pada kebenaran.
Maaf anda juga sok tahu terhadap Syaikh Ahmad Syakir. Anda lihat tidak hadis no 1339 yang anda kutip, itu adalah riwayat Abu Bakar bin Ayasy dari A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’.
Siapa Abul Jauzaa di mata anda?. ulama besar yang bisa anda jadikan pegangan taklid?. Kalau benar begitu ya silakan saja. Tulisan saya tentang ini memang dibuat untuk membantah Abul Jauzaa’. Itu artinya saya tidak menganggap dia berada di dalam kebenaran tentang riwayat A’masy di atas.
Maaf, ini cuma logika orang awam dan sebenarnya inilah hakikat anda yang sebenarnya. Jadi tidak perlulah anda bergaya sok tahu sibuk membantah sana sini tetapi miskin ilmu. Diam saja, yakini apa yang menurut anda benar dan tidak usah sibuk membantah apa yang diyakini orang lain. Silakan anda taklid kepada ulama yang anda inginkan sesuai dengan hawa nafsu anda. Sedangkan saya lebih berpegang pada kaidah ilmu hadis dan ulama yang berpegang pada kaidah ilmu hadis dalam pembahasan hadis ini. Bagi orang yang sudah sering membaca kitab hadis dan kitab fiqih maka mereka akan tahu bahwa tidak semua ulama itu benar dalam pendapatnya dan tolak ukur yang utama adalah kaidah ilmu dimana para ulama tersebut berdiri bukan semata-mata pendapat ulama tersebut. Saya yakin hal seperti ini tidak dipahami oleh orang seperti anda wahai abu azifah. Jadi silakan anda berpegang pada keyakinan anda dan begitu pula saya. Salam
huft…
mbok minta tolong dijelaskan istilah2nya ya..
Sebenarnya saya tidak bertaklid kepada semua ulama tadi, cuma saya sampaikan bahwa pendapat A’masy menerima dari Salim dan dari Salamah juga difahami oleh mereka, bukan merupakan faham khayal saya.
Akan saya ringkasan berbagai qarinah dalam masalah riwayat Abdullah bin Sabu, ada 9 jalur riwayat, 7 riwayat berporos pada A’masy, yang lain adalah riwayat Bakr dan riwayat Tsa’labah.
Qarinah 1.
Tujuh riwayat A’masy tadi dapat ditarjih menjadi 2 jalur, yaitu :
1. A’masy->Salim->Abdullah
2. A’masy->Salamah->Salim->Abdullah.
A’masy seorang hafidz,alim,tsiqat, tapi mudallas.
Sehingga 2 jalur tadi idhthirab dalam bentuk tadlis, bukan idhthirab dalam bentuk goncang dalam menyampaikan sanad karena buruk hafalan/ikhtilath.
Karena A’masy seorang mudallis, maka kita ketahui bahwa dalam jalur 1 Salamah digugurkan oleh A’masy.
Hal ini menjadikan jalur no.2 adalah jalur yang rajih.
Sehingga tersisa 3 jalur, yaitu :
1. A’masy->Salamah->Salim->Abdullah
2. Bakr->Hamzah->Hakim->Salim->Ali
3. A’masy->Habib->Tsa’labah
Jalur 1 dan 3, masih berporos di A’masy sehingga masih idhthirab.,
Lalu datanglah jalur 2 tidak melalui A’masy, tetapi melalui Salim, sehingga jalur ini dapat merajihkan jalur 1 dan memarjuhkan jalur 3.
Akhirnya tersisa 2 jalur yang tidak ada idhthirabnya, yaitu :
1. A’masy->Salamah->Salim->Abdullah->Ali
2. Bakr->Hamzah->Hakim->Salim->Ali.
Riwayat mudallas dengan riwayat dhaif (dari segi ke-dhobitan) dapat saling menguatkan, naik menjadi hasan lighairihi.
Sehingga idhtirab A’masy dapat dihilangkan.
Ini adalah Qarinah yang pertama.
Silahkan anda mau menerima atau tidak.
Tersisa 2 jalur A’masy :
1. A’masy->Salim->Abdullah
2. A’masy->Salamah->Salim->Abdullah
HADITS MUDHTHORIB YANG DHOIF
Soal no. 127 :
Kapan hadits Mudhtorib didhoifkan dan kapan tidak didhoifkan ?
Jawaban :
mudthorib yang merusak hadits kriterianya adalah sbb :
1. Takafau Thuruq : mereka berselisih terhadap seorang rowi dengan kedudukan yang satu, dan tidak bisa dikuatkan salah satu sisinya.
2. sulit untuk mengkompromikan perselisihan tersebut, akan tetapi jika perselisihan yang terjadi misalnya dari orang yang tsiqoh kemudian menyebutkan syaikh yang berbeda yang semuanya tsiqoh dan porosnya masih berkisar pada rowi yang tsiqoh, maka bisa kita katakan bahwa rowi ini mungkin memiliki banyak guru karena banyak melakukan rihlah (menuntut ilmu).
” Sehingga ungkapan ia malas, maka memursalkan hadits dan ia rajin maka menyambungkan sanad bisa diterapkan”.
akan tetapi jika bersumber dari rowi yang jelek hapalannya maka harus mentamtsil haditsnya, yakni karena kemungkinan kegoncangan ini bersumber dari jeleknya hapalannya, dan jika ternyata selamat dari kegoncangan, maka shohih haditsnya. Lihat ittihafun-nabiil-jilid-1
Dari penjelasan diatas, kita ketahui A’masy seorang yang tsiqat, hafidz,alim, hafalannya tidak buruk.
Jalur 1 adalah jalur yang dimursalkan A’masy karena kondisi malas, sedang jalur 2 jalur yang disambungkan ketika kondisi bersemangat dalam menyampaikan riwayat.
Sehingga 2 jalur tersebut tidak idhthirab, hanya berstatus lemah karena mudallisnya A’masy.
Lalu datang jalur Bakr, yang berstatus dhaif (dari segi kedhabitan) dan keterputusan antara Salim dengan Ali.
Sudah maklum bahwa riwayat mudallas dapat dijadikan penguat riwayat dhaif (akibat kedhabitan).
Maka tidak salah kalau Ibnu Asakir menjadikan riwayat jalur 1 ini sebagai penguat (penambal) riwayat Bakr.
Sehingga jalur 1 dan riwayat Bakr menjadi hasan lighairihi.
Dari qarinah kedua ini diketahui bahwa idhthirabnya A’masy dapat dihilangkan.
Terserah bagi anda mau menerima atau tidak.
Setelah anda terpojok maka keluarlah jurus dusta anda. Menyatakan ulama keliru itu bukan hal yang aneh bahkan anda sendiri pada hakikatnya juga menyalahkan ulama yang saya kutip sebelumnya.
Soal Adz Dzahabiy sudah lewat pembahasannya dan andalah yang terbukti berdusta. Anda mengatasnamakan Adz Dzahabiy bahwa kaidahnya dalam menerima tadlis taswiyah hanya dengan lafaz ‘an anah perawi tersebut padahal Adz Dzahabiy cuma berbicara tentang Walid bin Muslim bukan tentang tadlis taswiyah. Dan saya menyalahkan Adz Dzahabiy yang berkata “Walid bin Muslim jika mengucapkan haddatsana maka ia hujjah” itu dengan menggunakan bukti yang kuat dan saya juga menukil pendapat Ibnu Hajar yang mendukung pendapat saya. Anda berdusta dan saya berhujjah dengan bukti yang kuat. Jauh sekali bedanya
Soal Ibnu Hajar yang menyatakan maqbul terhadap Abdullah bin Sabu’ itu memang terbukti keliru dan yang benar ia majhul. Pendapat yang menyalahkan Ibnu Hajar bukan cuma saya kok tetapi ulama hadis juga yaitu Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Basysyaar Awwad Ma’ruf.
Soal Ibnu Asakir yang keliru, itu sudah terbukti jelas kok. Riwayat A’masy itu mudhtharib ya tidak menjadi hujjah atau bagi yang menolak itu mudhtharib maka riwayat A’masy disana dengan lafaz ‘an anah dan A’masy dikenal sebagai mudallis maka riwayatnya tetap tidak tsabit sanadnya sampai Salim. Ada begitu banyak ulama yang melemahkan lafaz ‘an anah A’masy
Soal Syaikh Al Albani saya tidak mengerti di bagian mana dalam diskusi ini saya menyalahkannya. Soal Syaikh Muqbil, saya justru meluruskan kekeliruan atau kedustaan anda terhadap Syaikh Muqbil. Syaikh Muqbil tidak mengatakan bahwa semua perawi dalam kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban bisa menjadi penguat. Yang dikatakan Syaikh Muqbil adalah perawi yang mendapat tautsiq dari Ibnu Hibban yaitu dengan lafaz tautsiq yang jelas sebagaimana Al Ijliy berkata “tsiqat” itu bisa dijadikan penguat dalam syawahid dan mutaba’ah.
Soal Syaikh Ahmad Syakir, tolong berkaca dulu bung, Anda hakikatnya juga orang yang menyalahkan Syaikh Ahmad Syakir tersebut. Baca saja riwayat yang anda sebutkan no 1339 itu riwayat Abu Bakar bin Ayasy yang anda anggap lemah padahal Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan.
Saya bisa juga tuh mengumpulkan para ulama yang anda anggap salah karena tidak sesuai dengan keyakinan anda disini yaitu Daruquthniy, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Basysyar Awwad Ma’ruf dan Syaikh Ahmad Syakir. Jangan anda pikir cuma anda yang berpegang pada ulama. Tidak perlu sok suci, anda sendiri pernah menyalahkan sebagian ulama yang tidak sesuai dengan keyakinan anda atau tidak sesuai dengan ulama yang anda ikuti.
Coba nukilkan dengan jelas kalimat ulama yang anda maksud bahwa mereka menyatakan A’masy menerima hadis ini dari Salim dan juga dari Salamah. Saya gak nemu kok kalimat tersebut. Jadi wajar saja kalau saya katakan itu waham khayal anda saja. Dan yang paling penting sesuai kaidah ilmu riwayat itu sanadnya tidak tsabit sampai ke Salamah dan Salim karena tidak selamat dari cacat tadlis A’masy.
Kesalahan anda yang pertama riwayat no 2 itu dhaif tidak bisa dijadikan penguat atau qarinah tarjih. Kedhaifannya tidak hanya dari segi dhabit, contohnya Bakr bin Bakkaar yang dikatakan pernah mencuri hadis. Maka sangat mudah untuk dikatakan bisa saja ia mencuri hadis A’masy ini dan membawakan dengan sanadnya sendiri.
Kesalahan anda yang kedua, tolong berhujjahlah dengan baik dan benar. Riwayat no 2 itu anda katakan merajihkan jalur satu dan menghilangkan jalur 3 adalah hujjah yang konyol karena riwayat no 2 yaitu dari Salim dari Aliy ternyata sanadnya juga tidak sama dengan sanad riwayat no 1 yang menyebutkan Salim dari Abdullah bin Sabu’ dari Aliy. Bagaimana bisa anda merajihkan no 1 lha sanadnya saja beda. Maaf cara berhujjah anda saja sembarangan bagaimana bisa orang lain menerima.
Sekarang giliran saya yang berhujjah, riwayat no 1 dan no 2 dalam kasus ini lebih masuk akal dikatakan idhthirab karena A’masy selain ia seorang hafizh, tsiqat dan mudallis, ia juga dikatakan idhthirab dalam sebagian hadisnya sebagaimana yang dikatakan ulama mu’tabar yaitu Ahmad bin Hanbal dan Aliy bin Madiniy. Apalagi ditambah dengan qarinah riwayat Tsa’labah yang lebih menguatkan fakta kalau A’masy idhthirab dalam hadis ini.
Hujjah anda kan kelihatan sekali lemahnya. Pertama tidak ada ulama yang anda jadikan dasar anda dalam mengatakan A’masy terkadang malas dan terkadang bersemangat menyampaikan riwayat. Itu hanya ucapan yang anda kopipaste dari Ittihaf An Nabil kemudian anda pakai seenaknya pada kasus A’masy. Silakan bandingkan hujjah saya yang berpegang pada ulama mu’tabar Ahmad bin Hanbal dan Aliy bin Madiniy dimana mereka menyatakan bahwa A’masy juga sering idhthirab dalam riwayatnya.
Kedua, hujjah anda dengan riwayat Bakr itu sudah saya jelaskan sangat dhaif. Bakr itu dhaif tidak hanya dari segi dhabit, ia juga dikatakan pernah mencuri hadis. Kemudian Hakim bin Jubair lemah dan Salim sanadnya mursal dari Aliy. Silakan bandingkan dengan hujjah saya yang menambahkan riwayat A’masy dari Habiib dari Tsa’labah dari Aliy sebagai bagian idhthirab A’masy. Riwayat ini sanadnya jayyid sampai A’masy dan Daruquthniy dalam Al Ilal memasukkan sanad ini sebagai bentuk perselisihan sanad A’masy artinya termasuk bagian idhthirab A’masy. Saya berhujjah dengan riwayat bersanad jayyid sampai A’masy dan juga memakai ulama mu’tabar seperti Daruquthniy. Mudah sekali untuk melihat siapa yang berpegang pada kaidah ilmiah, anda atau saya?. Silakan para pembaca saja yang menilai. Jadi mana mungkin saya akan menerima hujjah abal-abal anda seperti itu karena saya sudah punya hujjah yang kuat sesuai dengan kaidah ilmu hadis
Anda berkata :
Tujuh riwayat A’masy tadi dapat ditarjih menjadi 2 jalur, yaitu :
1. A’masy->Salim->Abdullah
2. A’masy->Salamah->Salim->Abdullah.
A’masy seorang hafidz,alim,tsiqat, tapi mudallas.
Sehingga 2 jalur tadi idhthirab dalam bentuk tadlis, bukan idhthirab dalam bentuk goncang dalam menyampaikan sanad karena buruk hafalan/ikhtilath.
Karena A’masy seorang mudallis, maka kita ketahui bahwa dalam jalur 1 Salamah digugurkan oleh A’masy.
Hal ini menjadikan jalur no.2 adalah jalur yang rajih.
—————
Sedikit tanggapan saya :
Anda berkata bahwa pada 2 jalur dari A’masy terjadi “idhthirab dalam bentuk tadlis”.
Kenapa terjadi “idhthirab dalam bentuk tadlis” ? Maka selanjutnya anda mengemukakan alasan : Karena A’masy seorang mudallis, maka kita ketahui bahwa dalam jalur 1 Salamah digugurkan oleh A’masy.
Sampai disini maka penjelasan anda menurut saya masih logis.
Nah yang membuat saya heran dan tak habis pikir adalah pada pernyataan anda selanjutnya yang berkata :
“Hal ini menjadikan jalur no.2 adalah jalur yang rajih. . . “. Pertanyaan saya kepada anda adalah : Kalau penilaian idhthirabnya kedua jalur tersebut disebabkan karena A’masy adalah seorang mudallis, maka apakah jalur yang anda rajihkan tersebut memang sudah terbukti tidak mengandung kemungkinan terjadi tadlis sebagai alasan untuk menanggapnya sebagai jalur yang marjuh juga?
Kalau anda bisa berkata bahwa faktor marjuhnya jalur no 1 karena A’masy menggugurkan satu rawi antara dirinya dan Salim yaitu Salamah, maka apakah tidak mungkin bahwa faktor tersebut bisa juga terjadi di antara A’masy dan Salamah bahwa kemungkinan terjadi pengguguran seorang rawi diantara keduanya ? Kalau ditanya apa indikasinya, maka alasannya jelas bahwa kemungkinan terjadi tadlis pada jalur no 2 tidak bisa dikatakan sepenuhnya telah hilang sampai anda dapat menemukan “jalur lain” yang menunjukkan terdapat lafaz penyimakan antara A’masy dengan Salamah.
Kesimpulannya : jalur no 2 tetap tidak bisa dianggap lebih rajih dari jalur 1 karena faktor kemungkinan terjadinya tadlis oleh A’masy tidak bisa dihilangkan dari kedua jalur tersebut.
Anda berkata :
Dari penjelasan diatas, kita ketahui A’masy seorang yang tsiqat, hafidz,alim, hafalannya tidak buruk.
Jalur 1 adalah jalur yang dimursalkan A’masy karena kondisi malas, sedang jalur 2 jalur yang disambungkan ketika kondisi bersemangat dalam menyampaikan riwayat.
Sehingga 2 jalur tersebut tidak idhthirab, hanya berstatus lemah karena mudallisnya A’masy.
——————————–
Tadi anda berkata bahwa ke 2 jalur tesebut telah “idhthirab dalam bentuk tadlis”. . . eh sekarang anda berkata lain lagi : “Jalur 1 adalah jalur yang dimursalkan A’masy karena kondisi malas, sedang jalur 2 jalur yang disambungkan ketika kondisi bersemangat dalam menyampaikan riwayat.
Sehingga 2 jalur tersebut tidak idhthirab, hanya berstatus lemah karena mudallisnya A’masy.”
Yang tsabit dari pendapat anda tentang 2 jalur tersebut yang mana sih sebenarnya ?
Dua perkataan anda :
1. “idhthirab dalam bentuk tadlis” dan
2.”Sehingga 2 jalur tersebut tidak idhthirab, hanya berstatus lemah karena mudallisnya A’masy” . . . jelas menunjukkan “kebingungan” anda memahami apa itu tadlis dan idhthirab serta perbedaan antara keduanya.
Tentang idhthirabnya jalur Tsa’labah, bukan berkaitan idhthirab dengan jalur sanad Salamah/Salim mas.
Berkaitan dengan penyampaian lafal yang berbeda antara riwayat ini, dengan riwayat Adz Dzahabi dan riwayat Ibnu Abdil Barr.
Dan ini sudah saya bantah.
Waduh ngawur anda ini, yang dimaksud idhthirab disini adalah pada sanadnya yang berselisih dari A’masy dan itulah yang disebutkan Daruquthniy dalam Al Ilal
Mana ada penyebutan riwayat Adz Dzahabiy dan riwayat Ibnu Abdil Barr itu dikaitkan dengan idhthirab sanad. Ya gak nyambung. Berbeda masalahnya kalau yang anda singgung itu idhthirab pada matannya. Beginilah anda, hujjah orang lain saja anda tidak paham terus sok bilang sudah membantah. Kasihan
1. Dapat ditambalnya riwayat Bakr dengan riwayat A’masy berdasarkan kepada :
SYARAT HADITS DHOIF YANG LEMAH YANG BISA
DIJADIKAN PENGUAT UNTUK MURSAL
Soal no. 137 :
Jika datang hadits yang bersambung tapi didalamnya ada dhoif
Munjabir (yang bisa dijadikan penguat) kemudian datang hadits shohih
tapi mursal, maka bagaimana status haditsnya ?
Jawaban :
Jika ada hadits dhoif yang besambung dan datang jalan lain hadits
yang shohih mursal, maka haditsnya hasan. Akan tetapi harus dilihat
apakah dua jalan tersebut atau satu jalan, apabila asalnya satu jalan
maka dihukumi mana yang rojih dari jalan tersebut, atau misalnya
ternyata salah satu jalan adalah illatnya, maka tidak bisa saling
menguatkan. Baru jika itu adalah dua jalan yang berbeda bisa saling
menguatkan.
2. Status pencuri hadits, sependek pengetahuan saya adalah seorang perawi mengganti sanad milik orang lain.
Hal ini dapat terjadi akibat buruknya hafalan si perawi akan jalur-jalur sanad masing-masing perawi, sehingga hanya tercacat dari segi ke-dhabit-annya saja.
3. Menurut mas SP, yang dimaksud syaikh Muqbil tautsiq Ibnu Hibban adalah perawi yang hanya mendapat ta’dil Ibnu Hibban saja, ini keliru, karena sudah maklum para ulama sepakat akan diterimanya ta’dil Ibnu Hibban, akan tetapi berselisih terhadap perawi yang tercantum dalam ats tsiqat. Dan ini yang dimaksud syaikh Muqbil (hanya layak dijadikan penguat).
Ini saja dari saya, astaghfirullahal ‘adzim, mohon maaf atas segala kesalahan, insya Allah bertemu kembali dalam bantahan/diskusi yang lain (kalau berkenan).
sungguh ulasan ustd SP sangat dalam… ohya, negeri ini masih banyak kekurangan literatur syiah, apalagi sampai yang mengkaji validitas sebuah riwayat.
Hadirnya blog analisis pencari kebenaran, mengisi celah yang memang belum dimuat disitus-situs atau blog-blog … lain, maju telus ustd SP…
Ohya… mohon ustad ulas… tentang do’a Sonamay Quraisy…
di situs misykat belum tuntas sepertinya :
http://misykatnews.blogspot.com/2015/05/menjawab-tentang-sonamay-quraisy-1.html
http://misykatnews.blogspot.com/2015/05/menjawab-tentang-sonamay-quraisy-2.html
Bila ustad luang waktu… mohon blog dari nashibi
jaser-leonheart.blogspot.com ›
ustad tanggapi… (meskipun sudah ustd tanggapi) tapi kayaknya dia sangat rajin melakukan penyesatan informasi…
syukran untuk ustd… Maju terus Ustd SP untuk Indonesia yang mencintai Ahlul Ba’it….
Shahih : Imam Ali Pelaksana Tugas Nabi SAW
Diantara tugas Nabi SAW adalah memimpin umatnya memberikan pengajaran memberi petunjuk ke jalan yang lurus agar umatnya tidak tersesat. Sepeninggal Beliau SAW maka tugas ini seharusnya dilaksanakan oleh pribadi yang dikatakan oleh Nabi SAW bahwa ia adalah pegangan bagi umat islam agar tidak tersesat. Pribadi yang dikatakan Nabi SAW kalau ia akan memberikan petunjuk ke jalan yang lurus dan Pribadi yang selalu bersama kebenaran. Beliau adalah Imam Ali AS
أخبرنا أحمد بن سليمان قال أنا يحيى بن آدم قال أنا إسرائيل عن أبي إسحاق قال حدثني حبشي بن جنادة السلولي قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم علي مني وأنا منه ولا يؤدي عني إلا أنا أو علي
Hadis ini juga diriwayatkan dalam Sunan Tirmidzi 5/636 no 3719 dan Sunan Ibnu Majah 1/86 no 119 dari jalan Syarik dari Abu Ishaq dari Hubsy bin Junadah dari Rasulullah SAW. Kedudukan hadis ini adalah shahih diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya.
Kedudukan Hadis “Ali Khalifah Setelah Nabi SAW”
ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي
Muhammad bin Al Mutsanna Abu Musa Al Bashri adalah seorang Hafiz yang tsiqat. Hadisnya telah dijadikan hujjah oleh Bukhari dan Muslim serta Ashabus Sunan. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Daruquthni, Al Khatib dan Ibnu Hajar. Dalam At Tahdzib juz 9 no 698 disebutkan
قال عبد الله بن أحمد عن بن معين ثقة وقال أبو سعد الهروي سألت الذهلي عنه فقال حجة وقال صالح بن محمد صدوق اللهجة
وقال أبو حاتم صالح الحديث صدوق
.
Yahya bin Hamad Al Bashri adalah seorang perawi tsiqat yang dijadikan hujjah oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dalam Nasikh Wa Mansukh, Trimidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Disebutkan dalam At Tahdzib juz 11 no 338
قال بن سعد كان ثقة كثير الحديث وقال أبو حاتم ثقة وذكره بن حبان في الثقات
.
وضاح أبو عوانة بصرى ثقة مولى يزيد بن عطاء الواسطي
قال يحيى بن معين أبو عوانة ثقة واسمه الوضاح
.
Yahya bin Sulaim adalah perawi Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Beliau dikenal dengan kunniyah Abu Balj dan ada pula yang menyebutnya Yahya bin Abi Sulaim. Beliau telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad dan Daruquthni. Dalam At Tahdzib juz 12 no 184 Ibnu Hajar menyebutkan
وقال بن معين وابن سعد والنسائي والدارقطني ثقة وقال البخاري فيه نظر وقال أبو حاتم صالح الحديث لا بأس به
قال يعقوب بن سفيان أبي بلج كوفي لا بأس به
يحيى بن أبي سليم قال إسحاق نا سويد بن عبد العزيز وهو كوفي ويقال واسطي أبو بلج الفزاري روى عنه الثوري وهشيم ويقال يحيى بن أبي الأسود وقال سهل بن حماد نا شعبة قال نا أبو بلج يحيى بن أبي سليم
.
Amr bin Maimun Al Audi adalah seorang tabiin yang tsiqah termasuk Al Mukhadramun menemui masa jahiliyah tetapi tidak bertemu dengan Nabi SAW. Ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA. Al Ajli dalam Ma’rifat Ats Tsiqah no 1412 berkata
عمرو بن ميمون الأودي كوفي تابعي ثقة
.
Hadis di atas telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat. Dimana semua perawinya adalah perawi Bukhari dan Muslim kecuali Yahya bin Sulaim Abi Balj dan dia adalah perawi yang tidak diragukan ketsiqahannya. Oleh karena itu hadis tersebut sanadnya Shahih.
Analisis Tafsir Salafy Terhadap Hadis Ali Khalifah Setelah Nabi SAW
ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي
Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?”. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”. [Shahih Sunan Tirmidzi no 3205].عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي
Salafy berkata
Salafy berkata
Salafy berkata
وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده
Salafy berkata
وَقَالَ مُوسَى لاَِخِيه هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِين
Salafy berkata
Salafy berkata
Salafy berkata
Ternyata Hadis Manzilah Diucapkan Nabi SAW Selain Pada Perang Tabuk
خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب على أهله، وأمره بالإقامة فيهم، فارجف به المنافقون وقالوا ما خلفه إلا استثقالاً له وتخففاً منه. فلما قال ذلك المنافقون، أخذ علي سلاحه ثم خرج حتى أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو نازل بالجرف، فقال يا رسول الله، زعم المنافقون أنك إنما خلفتني تستثقلني وتخفف مني. قالكذبوا، ولكن خلفتك لما تركت ورائي، فارجع فاخلفني في أهلي وأهلك، ألا ترضى أن تكون مني بمنزلة هارون من موسى، إلا أنه لا نبي بعدي. فرجع إلى المدينة.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى تَبُوكَ وَاسْتَخْلَفَ عَلِيًّا فَقَالَ أَتُخَلِّفُنِي فِي الصِّبْيَانِ وَالنِّسَاءِ قَالَ أَلَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ نَبِيٌّ بَعْدِي
Hadis Bukhari di atas mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW telah berangkat terlebih dahulu menuju perang tabuk baru kemudian Ali menghadap Nabi SAW kembali. Hal ini disebutkan pula dalam Musnad Ahmad dimana Syaikh Syu’aib berkata “shahih dengan syarat Bukhari”
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو سعيد مولى بنى هاشم ثنا سليمان بن بلال ثنا الجعيد بن عبد الرحمن عن عائشة بنت سعد عن أبيها ان عليا رضي الله عنه خرج مع النبي صلى الله عليه و سلم حتى جاء ثنية الوداع وعلى رضي الله عنه يبكى يقول تخلفني مع الخوالف فقال أو ما ترضى أن تكون منى بمنزلة هارون من موسى الا النبوة
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا حماد يعنى بن سلمة أنبأنا على بن زيد عن سعيد بن المسيب قال قلت لسعد بن مالك انى أريد ان أسألك عن حديث وأنا أهابك ان أسألك عنه فقال لا تفعل يا بن أخي إذا علمت أن عندي علما فسلني عنه ولا تهبني قال فقلت قول رسول الله صلى الله عليه و سلم لعلي رضي الله عنه حين خلفه بالمدينة في غزوة تبوك فقال سعد رضي الله عنه خلف النبي صلى الله عليه و سلم عليا رضي الله عنه بالمدينة في غزوة تبوك فقال يا رسول الله أتخلفني في الخالفة في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون منى بمنزلة هارون من موسى قال بلى يا رسول الله قال فأدبر علي مسرعا كأني أنظر إلى غبار قدميه يسطع وقد قال حماد فرجع على مسرعا
Jika kita menarik kesimpulan dari riwayat-riwayat di atas maka Nabi SAW keluar pergi menuju Tabuk dan menugaskan Imam Ali memimpin Madinah. Lantas kaum munafik membuat fitnah sehingga Imam Ali kembali menghadap Nabi SAW yang ketika itu ada di Jarf, ketika itu baik Imam Ali dan Nabi SAW sedang berjalan hingga sampai di balik bukit dan menyebutkan hadis ini yang disaksikan oleh para sahabat yang ikut dalam perang Tabuk. Dan setelah mendengar hadis tersebut Imam Ali kembali ke Madinah.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الله بن نمير قال ثنا موسى الجهني قال حدثتني فاطمة بنت علي قالت حدثتني أسماء بنت عميس قالت سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يا علي أنت مني بمنزلة هارون من موسى الا انه ليس بعدي نبي
Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan kalau hadis ini shahih dan memang demikianlah keadaannya. Perhatikan baik-baik Asma’ binti Umais mengaku mendengar langsung Rasulullah SAW berkata kepada Ali RA dan pendengaran ini bukan saat perang tabuk. Asma’ binti Umais jelas termasuk wanita yang tinggal di Madinah atau tidak ikut berperang saat perang tabuk. Padahal telah disebutkan bahwa Nabi SAW mengucapkan hadis ini setelah Beliau SAW keluar menuju perang tabuk [Adz Dzahabi menyebutkan ketika Nabi SAW berada di Jarf] dan ketika itu Asma’ binti Umais berada di Madinah. Sehingga lafaz pendengaran langsung Asma’ binti Umais menunjukkan bahwa Nabi SAW mengucapkan hadis ini bukan pada saat perang Tabuk tetapi situasi lain dimana Asma’ binti Umais menyaksikan Nabi SAW mengucapkannya. Hadis Asma’ binti Umais menjadi bukti kalau Rasulullah SAW mengucapkan hadis Manzilah juga pada saat lain selain perang tabuk. Tentu saja hadis Asma’ binti Umais ini meruntuhkan klaim ngawur salafy nashibi sekaligus menunjukkan bahwa berbagai tafsiran basa-basi ala salafy itu hanya dibuat-buat untuk mengurangi keutamaan Imam Ali. Begitulah mereka salafy nashibi jika tidak bisa menolak hadisnya maka setidaknya tebarkan syubhat atau kurangi keutamaannya.
Silakan perhatikan hadis Shahih Bukhari di atas. Imam Ali bertanya kepada Nabi “Engkau menugaskanku untuk menjaga anak-anak dan wanita” maka Nabi SAW berkata “Tidakkah engkau rela bahwa engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahku”. Apakah itu maksudnya Imam Ali memimpin anak-anak dan wanita sama seperti Harun?. Jelas tidak karena Harun memimpin semua umat Musa tidak hanya wanita dan anak-anak, jadi Nabi SAW tidak sedang menyamakan kepemimpinan Imam Ali dengan kepemimpinan Harun tetapi sedang menunjukkan bahwa kedudukan Imam Ali itu di sisi Nabi sehingga ia mendapatkan tugas memimpin Madinah sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa sehingga Harun mendapatkan tugas menggantikan Musa . Jadi sekali lagi penyerupaan itu terletak pada kedudukan orang yang satu di sisi orang yang lain dan kedudukan ini tidak mencakup kepemimpinan semata tetapi juga mencakup sebagai saudara satu sama lain, wazir, orang paling mulia setelah yang satunya dan lain-lain kecuali Kenabian [karena Nabi SAW telah mengecualikannya]
Sebutan Alaihis Salam kepada Ahlul Bait : Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain
Posted on Desember 5, 2009 by secondprince
إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
حدثنا الربيع المرادي حدثنا أسد بن موسى حدثنا حاتم بن إسماعيل حدثنا بكير بن مسمارعن عامر بن سعد عن أبيه قال لما نزلت هذه الآية دعا رسول الله صلى الله عليه وسلم عليا وفاطمة وحسنا وحسينا عليهم السلام فقال اللهم هؤلاء أهلي ففي هذا الحديث أن المرادين بما في هذه الآية هم رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة وحسن وحسين
Shahih Bukhari : Alaihis Salam Kepada Ahlul Bait [Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain]
Tulisan ini kami hadiahkan kepada para pendengki yang tidak rela terhadap keutamaan Ahlul Bait yang berlimpah, kepada para pemalas yang terlalu malas untuk membaca kitab yang katanya fenomenal Shahih Bukhari, kepada para nashibi agar bertambah sakit hatinya, kepada orang awam yang terlalu paranoid dengan Syiah [Syiahphobia] yaitu orang yang ketika mendengar ucapan Alaihis Salam kepada Ahlul Bait keningnya berkerut dgn ekspresi jijik di mukanya sambil bergumam “dasar syiah”. Dan yang paling utama buat da’i salafy konyol yang menuduh ucapan Alaihis Salam kepada Ahlul Bait adalah ghuluw.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاجِدٌ وَحَوْلَهُ نَاسٌ مِنْ قُرَيْشٍ جَاءَ عُقْبَةُ بْنُ أَبِي مُعَيْطٍ بِسَلَى جَزُورٍ فَقَذَفَهُ عَلَى ظَهْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَرْفَعْ رَأْسَهُ فَجَاءَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلَام فَأَخَذَتْهُ مِنْ ظَهْرِهِ وَدَعَتْ عَلَى مَنْ صَنَعَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ عَلَيْكَ الْمَلَأَ مِنْ قُرَيْشٍ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَشَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ أَوْ أُبَيَّ بْنَ خَلَفٍ شُعْبَةُ الشَّاكُّ فَرَأَيْتُهُمْ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ فَأُلْقُوا فِي بِئْرٍ غَيْرَ أُمَيَّةَ بْنِ خَلَفٍ أَوْ أُبَيٍّ تَقَطَّعَتْ أَوْصَالُهُ فَلَمْ يُلْقَ فِي الْبِئْرِ
مناقب قرابة رسول الله صلى الله عليه وسلم، ومنقبة فاطمة عليها السلام بنت النبي صلى الله عليه وسلم
باب مناقب فاطمة عليها السلام
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ حُسَيْنَ بْنَ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ كَانَتْ لِي شَارِفٌ مِنْ نَصِيبِي مِنْ الْمَغْنَمِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَانِي شَارِفًا مِنْ الْخُمْسِ فَلَمَّا أَرَدْتُ أَنْ أَبْتَنِيَ بِفَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاعَدْتُ رَجُلًا صَوَّاغًا مِنْ بَنِي قَيْنُقَاعَ أَنْ يَرْتَحِلَ مَعِي فَنَأْتِيَ بِإِذْخِرٍ أَرَدْتُ أَنْ أَبِيعَهُ مِنْ الصَّوَّاغِينَ وَأَسْتَعِينَ بِهِ فِي وَلِيمَةِ عُرُسِي
حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جُحَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ عَلَيْهِمَا السَّلَام يُشْبِهُهُ قُلْتُ لِأَبِي جُحَيْفَةَ صِفْهُ لِي قَالَ كَانَ أَبْيَضَ قَدْ شَمِطَ وَأَمَرَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثَ عَشْرَةَ قَلُوصًا قَالَ فَقُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ نَقْبِضَهَا
.
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ أَنَّ حُسَيْنَ بْنَ عَلِيٍّ عَلَيْهِمَا السَّلَام أَخْبَرَهُ أَنَّ عَلِيًّا قَالَ كَانَتْ لِي شَارِفٌ مِنْ نَصِيبِي مِنْ الْمَغْنَمِ يَوْمَ بَدْرٍ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَانِي شَارِفًا مِنْ الْخُمُسِ
.
Hadis Yang Menjelaskan Siapa Ahlul Bait Yang Disucikan Dalam Al Ahzab 33
عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير
عن حكيم بن سعد قال ذكرنا علي بن أبي طالب رضي الله عنه عند أم سلمة قالت فيه نزلت (إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا) قالت أم سلمة جاء النبي صلى الله عليه وسلم إلى بيتي, فقال: “لا تأذني لأحد”, فجاءت فاطمة, فلم أستطع أن أحجبها عن أبيها, ثم جاء الحسن, فلم أستطع أن أمنعه أن يدخل على جده وأمه, وجاء الحسين, فلم أستطع أن أحجبه, فاجتمعوا حول النبي صلى الله عليه وسلم على بساط, فجللهم نبي الله بكساء كان عليه, ثم قال: “وهؤلاء أهل بيتي, فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا, فنزلت هذه الآية حين اجتمعوا على البساط; قالت: فقلت: يا رسول الله: وأنا, قالت: فوالله ما أنعم وقال: “إنك إلى خير”
حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
حدثنا الحسن بن أحمد بن حبيب الكرماني بطرسوس حدثنا أبو الربيع الزهراني حدثنا عمار بن محمد عن سفيان الثوري عن أبي الجحاف داود بن أبي عوف عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه في قوله عز و جل إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قال نزلت في خمسة في رسول الله صلى الله عليه و سلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم
عن أم سلمة رضي الله عنها أنها قالت : في بيتي نزلت هذه الآية { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت } قالت : فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى علي و فاطمة و الحسن و الحسين رضوان الله عليهم أجمعين فقال : اللهم هؤلاء أهل بيتي قالت أم سلمة : يا رسول الله ما أنا من أهل البيت ؟ قال : إنك أهلي خير و هؤلاء أهل بيتي اللهم أهلي أحق
حدثنا الحسين بن الحكم الحبري الكوفي ، حدثنا مخول بن مخول بن راشد الحناط ، حدثنا عبد الجبار بن عباس الشبامي ، عن عمار الدهني ، عن عمرة بنت أفعى ، عن أم سلمة قالت : نزلت هذه الآية في بيتي : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا ، يعني في سبعة جبريل ، وميكائيل ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم ، وعلي ، وفاطمة ، والحسن ، والحسين عليهم السلام وأنا على باب البيت فقلت : يا رسول الله ألست من أهل البيت ؟ قال إنك من أزواج النبي عليه السلام وما قال : إنك من أهل البيت
Riwayat Ummu Salamah ini memiliki sanad yang shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat
عن أم سلمه رضي الله عنها قالت نزلت هذه الاية في بيتي إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قلت يارسول الله ألست من أهل البيت قال إنك إلى خير إنك من أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم قالت وأهل البيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم أجمعين
ياأهل العراق اتقوا الله فينا, فإِنا أمراؤكم وضيفانكم, ونحن أهل البيت الذي قال الله تعالى: {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيراً} قال فما زال يقولها حتى ما بقي أحد في المسجد إِلا وهو يحن بكاءً
قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي, حدثنا أبو الوليد, حدثنا أبو عوانة عن حصين بن عبد الرحمن عن أبي جميلة قال: إِن الحسن بن علي
Inilah Qunut Dalam Mazhab Syi’ah : Hadiah Untuk Orang Jahil
أحمد عن الحسين عن ابن أبي نجران عن صفوان الجمال قال صليت خلف أبي عبدالله (عليه السلام) أياما فكان يقنت في كل صلاة يجهر فيها ولا يجهر فيها
علي بن أبراهيم عن أبيه عن ابن أبي عمير عن زرارة عن أبي جعفر (عليه السلام) قال القنوت في كل صلاة في الركعة الثانية قبل الركوع
.
اتفق الأصحاب على استحباب القنوت في كل صلاة فرضا كانت أو نفلا مرة وهو مذهب علمائنا كافة
Syubhat Qunut Shubuh Secondprince? Bantahan Untuk Toyib Mutaqin
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ ، حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ يُوسُفَ ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : سُئِلَ عَنِ الْقُنُوتِ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ ، فَقَالَ : كُنَّا نَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ وَبَعْدَهُ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَيَقُولُ عُصَيَّةُ عَصَتْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعِينَ رَجُلًا لِحَاجَةٍ يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ فَعَرَضَ لَهُمْ حَيَّانِ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ رِعْلٌ وَذَكْوَانُ عِنْدَ بِئْرٍ يُقَالُ لَهَا بِئْرُ مَعُونَةَ فَقَالَ الْقَوْمُ وَاللَّهِ مَا إِيَّاكُمْ أَرَدْنَا إِنَّمَا نَحْنُ مُجْتَازُونَ فِي حَاجَةٍ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَتَلُوهُمْ فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ وَذَلِكَ بَدْءُ الْقُنُوتِ وَمَا كُنَّا نَقْنُتُ قَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ وَسَأَلَ رَجُلٌ أَنَسًا عَنْ الْقُنُوتِ أَبَعْدَ الرُّكُوعِ أَوْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ قَالَ لَا بَلْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ
ولكن ليس في هذه الرواية تصريح بأن قنوت النَّبيّ صلى الله عليه وسلم كانَ قبل الركوع ، إنما هوَ من فتيا أنس . والله سبحانه وتعالى أعلم
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعِينَ رَجُلًا لِحَاجَةٍ يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ فَعَرَضَ لَهُمْ حَيَّانِ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ رِعْلٌ وَذَكْوَانُ عِنْدَ بِئْرٍ يُقَالُ لَهَا بِئْرُ مَعُونَةَ فَقَالَ الْقَوْمُ وَاللَّهِ مَا إِيَّاكُمْ أَرَدْنَا إِنَّمَا نَحْنُ مُجْتَازُونَ فِي حَاجَةٍ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَتَلُوهُمْ فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ وَذَلِكَ بَدْءُ الْقُنُوتِ وَمَا كُنَّا نَقْنُتُ
قَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ وَسَأَلَ رَجُلٌ أَنَسًا عَنْ الْقُنُوتِ أَبَعْدَ الرُّكُوعِ أَوْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ قَالَ لَا بَلْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَيَقُولُ عُصَيَّةُ عَصَتْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، نَا أَبُو مُعَاوِيَةَ ، عَنْ عَاصِمٍ الأَحْوَلِ قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ الْقُنُوتِ ، فَقَالَ : قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ الرُّكُوعِ
وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب قالا حدثنا أبو معاوية عن عاصم عن أنس قال سألته عن القنوت قبل الركوع أو بعد الركوع ؟ فقال قبل الركوع قال قلت فإن ناسا يزعمون أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قنت بعد الركوع فقال إنما قنت رسول الله صلى الله عليه و سلم شهرا يدعو على أناس قتلوا أناسا من أصحابه يقال لهم القراء
وَهَذَا الْحَدِيثُ لا نَعْلَمُهُ يُرْوَى عَنْ أَنَسٍ مِنْ وَجْهٍ صَحِيحٍ إِلَّا عَنْ عَاصِمٍ ، عَنْ أَنَسٍ . وَقَدْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ الْحُفَّاظُ مِنْ أَصْحَابِ أَنَسٍ ، عَنْ أَنَسٍ ، مِنْهُمْ : مُحَمَّدُ ابْنُ سِيرِينَ ، وَأَبُو مِجْلَزٍ ، وَقَتَادَةُ وَغَيْرُهُمْ ، عَنْ أَنَسٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ
Ahlul Bait Jaminan Keselamatan Dunia Akhirat : Membantah Syubhat Salafy Nashibi
حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ قَالَ ثنا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ ثنا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَضَرَ الشَّجَرَةَ بِخُمٍّ فَخَرَجَ آخِذًا بِيَدِ عَلِيٍّ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ رَبُّكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ مَوْلَيَاكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ فَمَنْ كُنْت مَوْلَاهُ فَإِنَّ هَذَا مَوْلَاهُ أَوْ قَالَ فَإِنَّ عَلِيًّا مَوْلَاهُ شَكَّ ابْنُ مَرْزُوقٍ إنِّي قَدْ تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
.
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُلَيَّةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِي أَبُو حَيَّانَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدٍ وَهُوَ ابْنُ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا لَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ خَيْرًا لَقَدْ صَاحَبْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي حَيَّانَ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللَّهِ مَنْ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ وَفِيهِ فَقُلْنَا مَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ نِسَاؤُهُ قَالَ لَا وَايْمُ اللَّهِ إِنَّ الْمَرْأَةَ تَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ الْعَصْرَ مِنْ الدَّهْرِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَرْجِعُ إِلَى أَبِيهَا وَقَوْمِهَا أَهْلُ بَيْتِهِ أَصْلُهُ وَعَصَبَتُهُ الَّذِينَ حُرِمُوا الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ
Kami pribadi tidak menolak hadis Shahih Muslim di atas, yang kami tolak adalah hujjah salafy dengan hadis ini yang menolak status Ahlul Bait sebagai pedoman umat islam. Perlu diperhatikan telah tsabit baik dari Imam Ali AS maupun dari Zaid bin Arqam RA lafaz “berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Oleh karena itu riwayat Shahih Muslim tersebut tidak bisa dipandang bersendiri dan dijadikan hujjah untuk menyimpangkan makna hadis Tsaqalain yang lain. Janganlah diantara pembaca tertipu dengan perkataan “hadits yang mempunyai latar belakang kisah itu lebih kuat penunjukkan hukumnya daripada yang tidak” karena kisah yang dimaksud dalam hadis Zaid bin Arqam [yang dicetak biru] tidaklah jauh berbeda dengan kisah yang terdapat dalam hadis Ali bin Abi Thalib bahkan riwayat Imam Ali lebih kuat dikarenakan hadis Ghadir-khum tersebut ditujukan kepadanya dan diucapkan Nabi SAW saat Beliau SAW memegang tangannya.
وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي
إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
تارك فيكم أمرين لن تضلوا إن اتبعتموهما وهما كتاب الله وأهل بيتي عترتي
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله وسنة نبيه
يا أيها الناس إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة نبيه
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لقد تركت فيكم ما إن أخذتم به لن تضلوا كتاب الله وسنة نبيه
عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).
فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس
عن عكرمة أن عليا عليه السلام أحرق ناسا ارتدوا عن الإسلام فبلغ ذلك ابن عباس فقال لم أكن لأحرقهم بالنار إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ” لاتعذبوا بعذاب الله ” وكنت قاتلهم بقول رسول الله صلى الله عليه و سلم فإن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ” من بدل دينه فاقتلوه ” فبلغ ذلك عليا عليه السلام فقال ويح ابن عباس
وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَصَدَقَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ ارْقُبُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ