WUQUF DI ARAFAH ADALAH ACUAN.
Mufti Agung
Al-Quds, Palestina, Syaikh Mohammed Hussein mengingatkan kaum Muslimin
di seluruh dunia, bahwa Arab Saudi melalui kesaksian hilal, hendaknya
diikuti negeri-negeri lainnya. Sebab kiblat dan pusat jamaah haji ada di
tanah suci Mekkah al-Mukarramah.
“Sebab ini berkaitan dengan
ibadah lainnya. Jumat (3/10) adalah Hari Arafah, di mana jutaan jamaah
haji berkumpul di padang Arafah, maka umat Muslim lainnya yang tidak
haji disunahkan puasa Arafah,” ujar Mufti Hussein.
Demikian pula, Sabtu di Mekkah dan tempat-tempat lainnya di seluruh dunia sama-sama melaksanakan Hari Raya Idul Adha 1435.
Mahkamah Agung Saudi Arabia meminta kaum Muslimin di seluruh dunia agar mengacu pada putusan Saudi Arabia sebagai kiblat yang memimpin jutaan umat Islam di seluruh dunia yang berhaji ke Tanah Suci.
“Berbeda dengan Idul Fitri yang memungkinkan perbedaan, tetapi ini Idul Adha, acuannya adalah jamaah haji di tanah suci Mekkah al-Mukarramah, umat Islam seluruh dunia merayakan Idul Adha pada saat yang sama dengan Arab Saudi,” bunyi pernyataan.
Jika kemudian Pemerintah RI melalui Kementerian Agama, yang dibacakan oleh Wamenag Nasaruddin Umar, menetapkan Idul Adha adalah Ahad (5/10), lalu mereka puasa Arafah berarti Sabtu (4/10). Yang menjadi tanda tanya sangat besar adalah puasa Arafah mengikuti Arafah yang mana? Padahal pula, Sabtu (4/10) itu kaum Muslimin di Mekkah al-Mukarramah dan di seluruh dunia, sedang melaksanakan shalat Idul Adha. Ini berarti, keputusan pemerintah tentang hari puasa Arafah yang jatuh pada Hari Raya adalah haram hukumnya. Kalau ini diikuti pula oleh jutaan umat Islam, maka berdosalah pemerintah dan umat Islam bila melaksanakan putusan itu.
Lalu, apakah keputusan sepenting itu dan menyangkut umat Islam mayoritas Indonesia tersebut, ditetapkan oleh Wakil Menag. Padahal Menteri Agama sebagai Amirul Haj Indonesia sedang berada di tanah suci Mekkah, mendengar sendiri dan menyaksikan sendiri ibadah haji disana
Mahkamah Agung Saudi Arabia meminta kaum Muslimin di seluruh dunia agar mengacu pada putusan Saudi Arabia sebagai kiblat yang memimpin jutaan umat Islam di seluruh dunia yang berhaji ke Tanah Suci.
“Berbeda dengan Idul Fitri yang memungkinkan perbedaan, tetapi ini Idul Adha, acuannya adalah jamaah haji di tanah suci Mekkah al-Mukarramah, umat Islam seluruh dunia merayakan Idul Adha pada saat yang sama dengan Arab Saudi,” bunyi pernyataan.
Jika kemudian Pemerintah RI melalui Kementerian Agama, yang dibacakan oleh Wamenag Nasaruddin Umar, menetapkan Idul Adha adalah Ahad (5/10), lalu mereka puasa Arafah berarti Sabtu (4/10). Yang menjadi tanda tanya sangat besar adalah puasa Arafah mengikuti Arafah yang mana? Padahal pula, Sabtu (4/10) itu kaum Muslimin di Mekkah al-Mukarramah dan di seluruh dunia, sedang melaksanakan shalat Idul Adha. Ini berarti, keputusan pemerintah tentang hari puasa Arafah yang jatuh pada Hari Raya adalah haram hukumnya. Kalau ini diikuti pula oleh jutaan umat Islam, maka berdosalah pemerintah dan umat Islam bila melaksanakan putusan itu.
Lalu, apakah keputusan sepenting itu dan menyangkut umat Islam mayoritas Indonesia tersebut, ditetapkan oleh Wakil Menag. Padahal Menteri Agama sebagai Amirul Haj Indonesia sedang berada di tanah suci Mekkah, mendengar sendiri dan menyaksikan sendiri ibadah haji disana
Kamis, 25 September 2014 , 15:28:00
Iduladha Beda, Pemerintah 5 Oktober, Muhammadiyah 4 Oktober. JPNN.com
BERITA TERKAIT
|
JAKARTA –
http://www.jpnn.com/read/2014/09/25/260025/Iduladha-Beda,-Pemerintah-5-Oktober,-Muhammadiyah-4-Oktober-
Pemerintah memutuskan Hari Raya Iduladha (10 Zulhijah) 1435 H jatuh pada
Minggu, 5 Oktober. Keputusan tersebut diambil setelah digelar sidang
isbat yang mengumpulkan hasil rukyatulhilal (pemantauan bulan) di 70
titik seluruh Indonesia. Hasil pemantauan menyatakan hilaltidak
terlihat.
Dengan keluarnya keputusan versi
pemerintah tersebut, Iduladha tahun ini berlangsung tidak serentak.
Sebelumnya Muhammadiyah mengeluarkan maklumat penetapan hari-hari besar
Islam. Ormas Islam tersebut menetapkan Iduladha pada Sabtu, 4 Oktober.
Sidang isbat tadi malam (24/9)
berlangsung cukup lama. Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar
mengakui bahwa sidang isbat penetapan 1 Zulhijah semalam berlangsung
lebih lama daripada sidang isbat penetapan 1 Ramadan atau 1 Syawal lalu.
Dia menuturkan, ada dua alasan sidang
isbat tadi malam berlangsung lama. ’’Bukan terkait karena ada
perbedaan,’’ tandas Nasaruddin. Sidang isbat semalam berlangsung lama
–lebih dari sejam– karena hasilnya tidak terlalu ditunggu-tunggu
masyarakat. Berbeda dengan sidang isbat penetapan 1 Ramadan (sebagai
acuan salat Tarawih) atau penetapan 1 Syawal (sebagai acuan malam
takbiran).
’’Sidang isbat malam ini memang untuk acuan Iduladha. Tetapi, Iduladha berlangsung nanti, 5 Oktober,’’ jelasnya.
Alasan kedua adalah adanya kesempatan
pertemuan banyak ormas. Nasaruddin menuturkan, sayang jika forum yang
baik seperti sidang isbat itu disia-siakan begitu saja. Dia menuturkan,
dalam sidang isbat tersebut terjadi dialog untuk mencari titik temu
kriteria penetapan hari-hari besar agama Islam ke depan.
Terkait dengan perbedaan penetapan
Iduladha, Nasaruddin menjelaskan, implikasinya tidak sebesar atau
serumit ketika ada perbedaan awal Ramadan atau Idul Fitri. Meski begitu,
Nasaruddin mengakui, masyarakat muslim Indonesia mengidamkan
kekompakan. Termasuk ketika ada penetapan hari-hari besar agama Islam.
Namun, Nasaruddin bersyukur, meski
menginginkan kekompakan, masyarakat sudah mulai menerima perbedaan
seperti penetapan Iduladha tersebut. Kemenag berharap masyarakat tidak
saling mengolok-olok atas perbedaan itu. Menurut Nasaruddin, penetapan
hari-hari besar dilandasi pada keyakinan masing-masing umat Islam.
Nasaruddin menjelaskan, dampak perbedaan
penetapan Iduladha yang berpotensi menimbulkan polemik adalah penetapan
yaumul Arafahatau hari jamaah haji wukuf di Padang Arafah. Pemerintah
Arab Saudi sudah menetapkan bahwa yaumul Arafahjatuh pada Jumat, 3
Oktober. Saat itu umat Islam yang tidak berhaji disunahkan melaksanakan
puasa Arafah.
Ketika Iduladha masyarakat Indonesia
merujuk pada ketetapan pemerintah, yakni 5 Oktober, puasa Arafah jatuh
pada Sabtu, 4 Oktober. Saat disambungkan dengan kondisi di Arab Saudi,
jamaah haji di sana pada 4 Oktober sudah menjalankan Iduladha. Dengan
demikian, puasa Arafah yang umumnya dilaksanakan ketika jamaah haji
menjalankan wukuf tidak lagi cocok.
Soal itu, Nasaruddin menuturkan, kondisi
Saudi dan Indonesia tentu tidak bisa disamakan dalam penetapan sidang
isbat. Dia menjelaskan, Indonesia sudah tergabung dalam komunitas
Majelis Agama Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia (MABIM).
Dalam komunitas itu, disepakati bahwa
penetapan bulan baru dalam kalender Islam merujuk pada sistem imkanur
rukyah. Dalam sistem tersebut, bulan dikatakan sudah berganti jika
posisi hilal minimal 2 derajat di atas ufuk. Sementara itu, kondisi tadi
malam, posisi hilal masih sekitar 0,63 derajat di atas ufuk.
Karena saat pengamatan kemarin, 24
September, posisi hilal tidak sampai 2 derajat di atas ufuk, diambil
kebijakan istikmal. Yaitu, menggenapkan jumlah hari dalam bulan
Zulkaidah menjadi 30. Dengan demikian, 1 Zulhijah baru jatuh pada Jumat,
26 September. Artinya, Iduladha (10 Zulhijah) jatuh pada 5 Oktober.
Ketua PP Muhammadiyah Yanuhar Ilyas
mengatakan, pemerintah bersama ormas lain sepakat akan mencari titik
temu untuk menyamakan kriteria penetapan hari-hari besar Islam.
’’Sekarang memang masih ada perbedaan kriterianya,’’ ujar dia.
Muhammadiyah dalam menentukan hari-hari
besar Islam merujuk pada sistem wujudul hilal. Sistem itu dilakukan
dengan hisab. Intinya, bulan dalam kalender Islam sudah berganti ketika
hilal sudah di atas ufuk, berapa pun derajatnya. ”Misalnya, hari ini
(kemarin, Red) hilal sudah ada di atas ufuk meski 0,63 derajat,” jelas
dia. Sebaliknya, pemerintah menggunakan sistem imkanur rukyah. (wan/c10/end)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar