ALIRAN SYIAH, KHAWARIJ, MURJIAH, QADARIYAH, JABARIAYAH, MU’TAZILAH, DAN AHLUSSUNAH WALJAMA’AH
https://miazart.blogspot.com/2011/02/aliran-syiah-khawarij-murjiah-qadariyah.html
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam materi Aqidah akhlak di Madrasah Aliyah ada di bahas tentang
aliran-aliran dalam Islam. Dan materi ini merupakan materi yang harus
disampaikan secara obyektif, sehingga benar-benar materi ini tidak
memandang jelek agama Islam. Dimana menurut Harun Nasution, kemunculan
persoalan aliran-aliran ini dipicu oleh persoalan politik yang
menyangkut peristiwa pembunuhan ‘utsman bin Affan yang berbuntut pada
penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib mengkristal
menjadi perang Siffin yang berakhir pada keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash, utusan dari pihak Mu’awiah dalam peristiwa tahkim, sungguhpun
dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya.
Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka
meninggalakan barisannya. Dan mereka inlah yang disebut dengan Khawarij
dan menjadi aliran Khawarij. Dan mereka yang tetap mendukung Ali merka
disebut Syiah dan menjadi aliran Syiah.
Kemudian Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan aliran islam yang
pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang
bukan kafir[1].
Oleh kerena itu dalam makalah ini kami akan membahas
materi tentang aliran-aliran yang ada dalam islam yang diajarkan di
Madrasah Aliyah sesuai dengan kemampuan berpikir pelajar, sehinga mereka
tidak sampai salah paham.
BAB II
PEMBAHSAN
ALIRAN SYIAH, KHAWARIJ, MURJIAH, QADARIYAH, JABARIAYAH, MU’TAZILAH, DAN AHLUSSUNAH WALJAMA’AH
- Aliran Syiah
Syiah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini Ali bin Abi
Talib dan keturunannya sebagai pemimpin Islam setelah Nabi saw. wafat. Para
penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula golongan
syiah. Sebagian menganggap Syiah lahir setelah Nabi Muhammad saw. wafat,
yaitu pada suatu perebutan kekuasaan antara kaum Muhajirin dan Anshar.
Pendapat yang palingpopular tentang lahirnya golongan Syiah adalh
setelah gagalnya perundingan antara Ali bin Abi Talib a Mu’awiyah bin
Abi Sufyan di Siffin. Perundingan ini diakhiri dengan tahkim atau arbitrasi.
Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali memberontak terhadap
kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka itu disebut golongan
Khawarij atau orang-orang yang keluar, sedangkan sebagian besar pasukan
yang tetap setia kepada Ali disebut Syiah atau pengikut Ali.
Beberapa sekte aliran Syiah, di antaranya adalah sebagai berikut :
- Sekte Kaisaniyah
Kaisiniyah adalah sekte Syiah yang mempercayai Muhammad bin Hanafiah
sebagai pemimpin setelah Husein bin Ali wafat. nama Kaisaniyah diambil
dari nama seorang budak Ali yang bernama Kaisan.
- Sekte Zaidiah
Sekte ini mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin
sebagai pemimpin setelah Husein Bin Ali wafat. dalam Syiah Zaidiyah,
seseorang dapat diangkat sebagai imam apabila memenuhi lima
kriteria. Kelima kriteria itu adalah keturunan Fatimah binti Muhammad
saw. berpengatuhan luas tentang agama, hidupnya hanya untuk beribadah,
berjihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata, dan berani. Selain
itu sekte ini mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
- Sekte Imamiyah
Sekte ini adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. telah
menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadinpemimpin atau imam sebagai pengganti
beliau dengan petunjuk yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, sekte ini
tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sekte Imamiyah
pecah menjadi beberapa golongan. Golongan terbesar adalah golongan Isna
Asy’ariyah ata Syiah Duabelas. Golongan kedua terbesar adalah golongan
Ismailiyah.
- Aliran Khawarij
Khawarij berarti orang-orang yang keluar barisan Ali bin Abi Thalib.
Golongan ini menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang keluar dari
rumah dan semata-mata untuk berjuang di jalan Allah. Meskipun pada
awalnya khawarij muncul karena persoalan politik, tetapi dalam teapi
dalam perkembangannya golongan ini banyak berbicara masalah teologis.
Alasan mendaar yang membuat golongan ini keluar dari barisan Ali adalh
ketidak setujuan mereka terhadap arbitrasi atau tahkim yang dijalankan Ali dalam menyelesaikan masalah dengan Mu’awiyah.
Menurut keyakinan Khawarij, semua masalah antara Ali dan Mu’awiyah
harus diselesaikan dengan merujuk kepada hokum-hukum Allah yang tertuang
dalam Surah al-Maidah Ayat 44 yang artinya,” Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”. Berdasarkan ayat ini, Ali, Mu’awiyah dan orang-orang yang menyetujui tahkim telah menjadi kafir karena mereka dalam memutuskan perkara tidak merujuk Al-Qur’an.
Dalam aliran Khawarij terdapat enam sekte penting, yaitu al-Muhakkimah,
al-Azariqah, an-Najdat, al-Ajaridah, asy-Syufriyah dan al-Ibadiyah.
- Aliran Murji’ah
Aliran ini disebut juga Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda
persoalan konflik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
dan kaum Khawarij pada hari perhitungan kelak. Oleh karena itu, mereka
tidak ingin smengeluarkan pendapat entang siapa syang benar dan dan
siapa yang kafir di antara ketiga kelompok yang bertikai itu.
Dalam perkembangannya, aliran initernyata tidak dapat melepaskan diri
dari persoalan teologis yang muncul pada waktu itu.ketika itu terjadi
perdebatan mengenainhukum orang yang berdosa besar. Kaum Murji’ah
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat dikatakan kafir
selama ia tetap mengakui Allah sebagai Tuhannya dan Nabi Muhammad saw.
sebagai rasul. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij
yang menyatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya kafir.
Dalam perjalanan sejarahnya, aliran ini aliran ini terpecah menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok moderat dan kelompok ekstrem. Tokoh-tokoh
kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu
Hanifah dan Abu Yusuf. Kelompok ekstrem terbagu dalam beberapa kelompok,
diantaranya adalah al-Jahamiyah, as-Salihiyah, al-Yunusiyah,
al-Ubaidiyah, al-Gailaniyah, as-Saubariyah, al-Marisiyah dan
al-Karamiyah.
- Aliran Qadariyah
Nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah
atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya dan bukan nberasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Allah. Dalam sejarah
perkembangan teologi Islam, tidak diketahui secara pasti kapan aliran
ini muncul.
Pendiri aliran ini adalah Ma’bad al-Juhani dan Gailan ad-Dimasyqi.
Aliran ini mempunyai pendapat bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbuatan baik ataupun jahat. Selain itu, menurut aliran ini
manusia mempunyai kemerdekaan atas tingkah lakunya. Ia berbuat baik
ataupun jahat atas kehendaknya sendiri. Degan demikian, menurut aliran
ini manusia diciptakan Allah mempunyai kebebasan untuk mengatur jalan
hidupnyatanpa campur tangan Allah. Oleh karena itu, jika manusia diberi
ganjaran yang baik berupa surga atau disiksa di neraka, semua itu adalah
pilihan mereka sendiri.
- Aliran Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung sarti
memaksa. Smenurut al-Syahrastani, Jabariyah berarti menghilangkan
perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatamn tersebut
kepada Allah.
Dalam sejarah tercatat bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham
Jabariyah di kalangan umat Islam adalh al-Ja’ad Ibnu Dirham.
Pandangan-pandangan Ja’ad ini, kemudian disebarluaskan oleh para
pngikutnya, seperti Jahm bin Safwan. Manusia menurut aliran Jabariyah
adalah sangat lemah, tidak berdaya, serta terikat dengan kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Manusia tidak mempunyai kehendak dan kemauan
bebas, sebagaimana dimiliki soleh paham qadariyah. Seluruh tindakan dan
perbuatan manusia tidak boleh lepas dari aturan, scenario, dan kehendak
Allah. Segala akibat baik baik dan buruk yang diterima oleh manusia
dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah. Akan tetapi,
ada kecendrungan bahwa Tuhan bahwa Tuhan lebih memperlihatkan sikap-Nya
yang mutlak, absolute, dan berbuat sekehenak-Nya. Hal ini dapat
menimbulkan paham seolah-olah Tuhan tidak adil. Misalnya, Tuhan menyiksa
orang yang berbuat dosa yang dilakukan orang itu terjadi atas
kehendak-Nya.
Baik aliran Qadariyah maupun Jabariyah tampaknya memperlihatkan paham
yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada
Al-Qur’an. Hal ini memperlihatkan betapa terbukanya kemungkinan
terjadinay perbedaan pendapat dalm Islam.
- Aliran Muktazilah
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antar aliran Khawarij
dan aliran Murji’ah mengenai persoalan orang mukmin yang berdosa besar.
Menghadapi dua pendapat ini, Wasil bin Ata yang ketika itu menjadi
murid Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra,
mendahuli gurunya dalam mengeluarkan pendapat. Wasil mengatakan bahwa
orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan
kafir. Tegasnya, orang itu bukan mukmin dan bukan kafir[2].
Aliran Mu’tazilah merupakan golongan yang membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mandalam dan bersifat filosofis. Dalam pembahasannya
mereka banyak memakai akal sehingga mendapat nama “kaum rasionalis Islam”[3].
Setelah menyatakan pendapat itu, Wasil bi Ata meninggalkan perguruan
Hasan al-Basri, lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok ini dikenal
dengan Muktazillah. Pada awal perkembangannya aliran ini tidak mendapat
simpati umat Islam karena ajaran Muktazillah sulit dipahami oleh
beberapa kelompok masyarakat. Hal itu disebabkan ajarannya bersifat
rasional dan filosofis. Alas an lain adalah aliran Muktaszillah dinilai
tidak berpegang teguh pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabat.
Aliran baru ini memperoleh dukungan pada masa pemerintahan Khalifah
al-Makmun, penguasa Bani Abbasiyah.
Aliran Muktazillah mempunyai lima dokterin yang dikenal dengan al-usul al- khamsah. Berikut ini kelima doktrin aliran Muktazillah.
a. At-Taauhid (Tauhid)
Ajaran pertama aliran ini berarti meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah
SWT. Konsep tauhid menurut mereka adalah paling murni sehingga mereka
senang disebut pembela tauhid (ahl al-Tauhid).
b. Ad-Adl
Menurut aliaran Muktazillah pemahaman keadilan Tuhan mempunyai
pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat zalim
kepada hamba-Nya. Mereka berpendapat bahwa tuhan wajib berbuat yang
terbaik bagi manusia. Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat,
mengirimkan nabi dan rasul, serta memberi daya manusia agar dapat
mewujudkan keinginannya.
c. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman).
Menurut Muktazillah, Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang
mukmin ke dalam sorga. Begitu juga menempati ancaman-Nya mencampakkan
orang kafir serta orang yang berdosa besar ke dalam neraka.
d. Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di Antara Dua Posisi).
Pemahaman ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan
Muktazillah. Pemahaman ini yang menyatakan posisi orang Islam yang
berbuat dosa besar. Orang jika melakukan dosa besar, ia tidak lagi
sebagai orang mukmin, tetapi ia juga tidak kafir. Kedudukannya sebagai
orang fasik. Jika meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan ke neraka
selama-lamanya. Akan tetapi, sikasanya lebih ringan daripada orang
kafir.
e. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Perintah Mengerjakan Kebajikan dan Melarang Kemungkaran).
Dalam prinsip Muktazillah, setiap muslim wajib menegakkan yang ma’ruf
dan menjauhi yang mungkar. Bahkan dalam sejarah, mereka pernah
memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Orang yang menentang akan
dihukum.
- Ahlussunah Waljama’ah
Adapun ungkapan Ahlussunah (sering juga disebut sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok syiah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah-sebagaimana juga Asy’ariayah-masul dalam barisan sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mahzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan
merupakan lawan Mu’tazilah. Selanjutnya, term Ahlussunah banyak dipakai
setalah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang
menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah[4].
1. Aliran Asy’ariyah
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap paham Muktazillah yang
dianggap menyeleweng dan menyesatkan umat Islam. Dinamakan aliran
Asy’ariyah karena dinisbahkan kepada pendirinya, yaitu Abu Hasan
al-Asy’ari[5].
Dan nama aslinya adalah Abu al-hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy’ari,
dilahirkan dikota Basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada
tahun 324 H/ 935 M, keturunan Abu Musa al-Asy’ari seorang sahabat dan
perantara dalam sengketa antara Ali r.a. dan Mu’awiyah r.a.[6]
Setelah keluar dari kelompok Muktazillah, al-Asy’ari merumuskan
pokok-pokok ajarannya yang berjumlah tujuh pokok. Berikut ini adalah
tujuh pokok ajaran aliran As’ariyah.
a. Tentang Sifat Allah
Menurutnya, Allah mempunyai sifat, seperti al-Ilm (mengetahui),
al-Qudrah (kuasa), al-Hayah (hidup), as-Sama’ (mendengar), dan al-Basar
(melihat).
b. Tentang Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk dalam arti baru dan
diciptakan. Dengan demikian, Al-Qur’an bersifat qadim (tidak baru).
c. Tentang melihat Allah Di Akhirat
Allah dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah mempunyai wujud.
d. Tentang Perbuatan Manusia
Perbuatan-perbuatan manusia itu ciptaan Allah.
e. Tentang Antropomorfisme
Menurut alAsy’ari, Allah mempunyai mata, muka, dan tangan, sebagaimana
disebutkan dalam surah al-Qamar ayat 14 dan ar-Rahman ayat 27. akan
tetapi bagaimana bentuk Allah tidak dapat diketahui.
f. Tentang dosa Besar
Orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin selam ia masih beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
g. Tentang Keadilan Allah
Allah adalah pencipta seluruh alam. Dia milik kehendak mutlak atas ciptaan-Nya.
Ketujuh pemikiran al-Asy’ari tersebut dapat diterima oleh kebanyakan umat Islam karena sederhana dan tidak filosofis.
2. Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah didirikan oleh Muhammad bin Abu Mansur. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarqand (termasuk daerah Uzbekistan).
Al-Maturidy mendasarkan pikiran-pikiran dalam soal-soal kepercayaan
kepada pikiran-pikiran Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya
Al-fiqh Al-Akbar dan Al-fiqh Al-Absath dan memberikan ulasan-ulasannya
terhadap kedua kitab-kitab tersebut. Al-Maturidy meninggalkan
karangan-karangan yang banyak dan sebagian besar dalam lapangan ilmu
tauhid.
Maturidiyah lebih mendekati golongan Muktazillah. Dalam membahas kalam,
Maturidiyah mengemukakan tiga dalil, yaitu sebagai berikut:
a. Dalil perlawanan arad:
dalil ini menyatakan bahwa ala mini tidak akan mungkin qasim karena
didalamnya terdapat keadaan yang berlawanan, seperti diam dan derak,
baik dan buruk. Keadaan tersebut adalah baru dan sesuatu yang tidak
terlepas dari yang baru maka baru pula.
b. Dalil
terbatas dan tidak terbatas: alam ini terbatas, pihak yang terbatas
adalah baru. Jadi alam ini adalah baru dan ada batasnya dari segi
bendanya. Benda, gerak, dan waktu selalu bertalian erat. Sesuatu yang
ada batasnya adalah baru.
c. Dalil
kausalitas: alam ini tidak bisa mengadakan dirinya sendiri atau
memperbaiki dirinya kalau rusak. Kalau alam ini ada dengan sendirinya,
tentulah keadaannya tetap msatu. Akan tetapi, ala mini selalu berubah,
yang berarti ada sebab perubahan itu[7].
BAB III
PENUTUP
Syiah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini Ali bin Abi
Talib dan keturunannya sebagai pemimpin Islam setelah Nabi saw. wafat
Khawarij berarti orang-orang yang keluar barisan Ali bin Abi Thalib.
Golongan ini menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang keluar dari
rumah dan semata-mata untuk berjuang di jalan Allah. Meskipun pada
awalnya khawarij muncul karena persoalan politik, tetapi dalam teapi
dalam perkembangannya golongan ini banyak berbicara masalah teologis
Aliran Murji’ah bisa bernama Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka
menunda persoalan konflik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, dan kaum Khawarij pada hari perhitungan kelak.
Aliran Qadariyah yang menganggap bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya dan bukan nberasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Allah. Dalam sejarah
perkembangan teologi Islam, tidak diketahui secara pasti kapan aliran
ini muncul
Nama Jabariyah pada aliran Jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung sarti memaksa. Smenurut al-Syahrastani, Jabariyah
berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan
menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah.
Aliran Mu’tazilah muncul sebagai reaksi atas pertentangan antar aliran
Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai persoalan orang mukmin yang
berdosa besar.
Ahlussunah waljama’ah dalam pengertian umum adalah lawan kelompok syiah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah-sebagaimana juga Asy’ariayah-masul dalam barisan sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mahzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan
merupakan lawan Mu’tazilah. Selanjutnya, term Ahlussunah banyak dipakai
setalah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang
menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul, Dkk, Ilmu Kalam, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2007.
Aldul Rahman, Roli, Dkk, Aqidah Akhlak MA 2, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007.
Nasution, Harun, Teologi IslamAliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI Press, 1986.
Hanafi, A., Pengantar Theologi Islam, Jakarta, PT. Al Husna Zikra, 1995.
[1] DR. Abdul Rozak, M.Ag., Dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), Cet. ke-3, h. 27-28
[2] Roli Aldul Rahman, Dkk, Aqidah Akhlak MA 2, (Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007), h.14-18
[3] Harun Nasution, Teologi IslamAliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. ke-5, h. 38
[4] DR. Abdul Rozak, M.Ag., Dkk, op, cit., h. 119
[5] Roli Aldul Rahman, Dkk, op, cit., h. 19
[6] A. Hanafi M.A., Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995), Cet. ke-6, h. 104
[7] Roli Aldul Rahman, Dkk, op, cit., h. 20-21
Ini Dia Macam-Macam Nikah Mut’ah Di Iran
NIKAH mut’ah jelas-jelas diharamkan oleh Islam. Nikah mut’ah atau kawin kontrak yaitu pernikahan antara seorang pria dan wanita dalam batas waktu tertentu, dengan suatu pemberian berupa harta, makanan, pakaian dan yang lainnya. Jika masanya telah selesai, dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.Uniknya, nikah mut’ah ini dilanggengkan dan dilestarikan di negeri Iran dengan mengatasnamakan agama. Majalah Ulumul Quran no.4 tahun 1995 pernah mengangkat masalah Syiah dan realitanya di negeri Iran oleh Sahla Haeri, mahasiswa Pasca Doktoral di pusat studi Islam Timur Tengah Universitas Harvard, tulisan tersebut membahas secara khusus masalah nikah mut’ah berdasarkan hasil penelitiannya di Iran tahun 1981-1982. Berikut petikannya:“Secara ideologi, doktrin Syiah membedakan perkawinan temporer, mut’ah dari perkawinan permanen, nikah, dalam hal tujuan mut’ah adalah untuk memperoleh kesenangan seksual, istimta’, sementara nikah untuk mendapat keturunan….”“….Perkawinan mut’ah akad personal yang berdasarkan kepada persetujuan antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak bersuami, biasanya tanpa intervensi dari keluarga wanita. Suatu akad perkawinan mut’ah tidak memerlukan saksi-saksi dan juga tidak perlu tercatat. Lamanya kontrak perkawinan mut’ah adalah tergantung dari keinginan pasangannya……” (hal. 47)Sahla Haeri selanjutya menjelaskan macam-macam mut’ah yang ada dan terjadi di negeri Iran.Mut’ah Seksual“…..karena akad perkawinan mut’ah relatif tidak menimbulkan noda bagi pria, praktek tersebut tidak terbatas kepada suatu kelas tertentu. Akan tetapi, faktor umum bagi pria yang memasuki perkawinan ini adalah afiliasi religius mereka. Diketahui bahwa semakin dekat seorang pria mengidentifikasikan diri dengan tatanan keagamaan, semakin besar kecenderungannya untuk melakukan mut’ah. Karena itu, tidak mengherankan bila perkawinan mut’ah khususnya populer di kalangan Mullah. Mayoritas pria yang dapat saya wawancarai, yang kebetulan para mullah, adalah mendukung kepercayaan ini”. (hal. 40)Perkawinan Percobaan“Dengan menampilkan tema non seksual Mut’ah, beberapa pemimpin rezim Islam sendiri telah menciptakan variasi lain tentang Mut’ah, walaupun kata itu diganti dengan istilah “perkawinan percobaan”. Alasan ulama dan prosedur bagi perkawinan ini tercantum dalam teks agama sekolah lanjutan di Iran, dan diajarkan kepada pelajar-pelajar dari kelas 10 ke atas.Mereka berpanutan kepada almarhum Ayatullah Muthahhari, Dr. Bahunar (mantan Perdana Mentri Islam) dan Gulyadih Gafuri (seorang anggota Dewan Perwakilan) yang berpendapat karena dorongan-dorongan seksual secara biologis adalah determinan, dorongan-dorongan tersebut tidak terhindar dan harus terpenuhi. Mereka mengatakan bahwa dalam konteks masyarakat kontemporer, perkawinan permanen adalah mahal, memaksa kalangan muda banyak bertanggung jawab yang tidak kondusif terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi mereka.Pada saat yang sama mereka berpendapat tidak harus –dan tidak bisa- diharapkan menjalani “masa aksetisme”, melainkan mereka diinstruksikan untuk memanfaatkan perkawinan temporer atau untuk mempergunakannya sebagai suatu bentuk perkawinan percobaan” (hal. 80)Mut’ah Kelompok“Mut’ah improvisasi par exelence, mut’ah kelompok secara jelas merupakan suatu gabungan antara mut’ah seksual dan non seksual. Dalam suatu wawancara dengan seorang Mullah di Qum, ia secara grafik menguraikan secara variasi mut’ah ini. Suati mut’ah kelompok bisa dilakukan antara seorang wanita dengan beberapa pria, agaknya secara serial, namun kadangkala juga dalam periode terbatas selama beberapa jam.Dalam salah satu perjalanan Mullah tersebut ke Teheran (pada Desember 1981) ia dihadapi oleh sekelompok pemuda yang sedang berkumpul. Para pemuda itu mulai mengusik sang Mullah, dengan mengklaim bahwa Islam membatasi kesenangan manusia tidak membolehkan hubungan heteroseksualplural, seperti antara empat pria dan seorang wanita” (hal. 81)Mut’ah Pertobatan“Sebagai langkah pertama untuk “membersihkan”, paksazi, dekadensi Barat, Pemerintahan revolusi Islam menggusur daerah pelacuran di Teheran dan menangkap, memenjarakan dan juga menghukum sejumlah penduduk wanitanya, akan tetapi banyak yang lain yang dibawa ke rumah sitaan di Teheran untuk direhabilitasi dan purifikasi.Uang mengalir dari mereka yang merasa simpatik dengan revolusi dan ingin membantu program-program revolusi tersebut. Dua di antara informan saya menyumbang sejumlah besar uang kepada pusat rehabilitasi itu dengan harapan dapat membantu wanita yang “terjerumus” untuk mengubah hidup mereka dan memulai dengan lebih baik.Dengan menganggap bahwa keperluan finansial adalah penyebab di belakang prostitusi, pusat rehabilitasi tersebut menyediakan kamar dan makanan bagi pelacur dan sebagai imbalannya mengharapkan mereka dapat membantu berbagai pekerjaan di pusat rehabilitasi tersebut. Mereka dilarang meninggalkan pusat rehabilitasu tersebut dan terus diawasi oleh para pengawal revolusi, dengan harapan dengan adanya gemblengan yang intensif, mereka dapat direhabilitasi.Akan tetapi keberhasilan bisa diraih dan pertobatan akan tercapai ketika seseorang menjadi istri mut’ah dari salah seorang pengawal revolusi atau seorang serdadu yang kembali dari perang Iran-Irak. Dalam bahasa metafora dan tidak terlalu halus, hal ini dikenal sebagai Ab-Itubih Rikhtan, yang artinya adalah kemerdekaan (pencucian) melalui pertobatan. Sementara dilaporkan bahwa beberapa wanita memilih cara ini untuk memperoleh keselamatan di akhirat, banyak yang lainnya dipaksa berulangkali untuk melakukan perkawinan mut’ah, banyak di antara mereka yang tidak menyukai cara ini.Biasanya perkawinan mut’ah itu jangka pendek, dan setelah itu menyelesaikan masa ‘iddahnya, perkawinan mut’ah jangka pendek dilakukan untuk wanita tersebut dengan pengawal revolusi lain atau serdadu yang baru kembali lainnya. Alasan utama di belakang perkawinan ini adalah bahwa janda yang tidak terikat merupakan sumber godaan dan immoralitas. Karena itu untuk mencegah perbuatan dosa, perkawinan cara ini dilakukan”. (hal. 81-82)Mut’ah Hukuman“Begitu faksionalisme antara rezim Islam yang baru terbentuk dengan pihak oposisi menjadi jelas, pembersihan oposisi besar-besaran dimulai. Karena banyak di antara mereka yang ditahan dan dipejarakan adalah wanita belasan tahun, rezim Islam dihadapkan pada situasi yang sulit. Jika mereka dijatuhi hukuman sementara mereka masih perawan, menurut kepercayaan agama, mereka akan masuk surga. Karena itu sebelum dijatuhi hukuman (hal ini dipercaya secara luas), para perawan remaja ini dipaksa melakukan mut’ah dengan salah seorang sipir penjara. Dengan “menodai” pada perawan remaja ini, bukan hanya untuk merendahkan mereka tetapi juga untuk mencegah mereka ke surga.Mut’ah hukuman hampir merupakan antitesis terhadap Mut’ah Pertobatan. Sementara pada Mut’ah yang satu tindakan seksual dipercayai untuk “membersihkan” dosa wanita (mut’ah pertobatan), sedangkan pada mut’ah yang lain (mut’ah hukuman) dipercayai untuk “menodai” kemurnian dan kepolosan” (hal. 82).Inilah keterangan tentang realitas mut’ah di negeri Iran, dan untuk menggalakkan serta menghimbau pengikut mereka untuk kawin mut’ah, Syiah telah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya, dan berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa kawin mut’ah satu kali derakatnya sama dengan derajat Alhusain, dan barangsiapa kawin mut’ah dua kali derajatnya sama dengan Alhasan, dan barangsiapa kawin mut’ah tiga kali maka derajatnya sama dengan derajat Ali bin Abi Thalib, dan barangsiapa kawin mut’ah empat kali maka derajatnya sama dengan derajatku”. (Tafsir Minhajusshadiqin 2: 493)Demikianlah dusta mereka kepada Rasulullah saw, mereka juga berkata, kawin mut’ah itu bermula dan berakhir; tanpa saksi, tanpa wali, tanpa warisan, tanpa perceraian dan boleh untuk satu jam, satu hari atau lebih dari itu, menurut hajat keperluan kepada wanita-wanita itu.Telah diriwayatkan oleh Alkulaini, bahwa Abban bin Thal’ab berkata kepada Ja’far Ash-Shadiq: Pada suatu waktu saya dalam perjalanan melihat wanita cantik (untuk saya kawin mut’ah) tetapi saya ragu-ragu kalau wanita itu punya suami atau wanita jalang, dijawab oleh Ja’far Ash-Shadiq: Itu tidak menjadi soal bagimu, yang penting percaya saja apa yang dikatakan wanita itu. [sumber: ahmadbinhanbal]
(nahimunkar.com)
(Dibaca 8.282 kali, 1 untuk hari ini)