https://www.google.com/search?q=LASKAR+HIZBULLAH+DALAM+PERJUANGAN+NKRI&client=firefox-b&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwi2gOfphpPOAhXMQY8KHWYBBmcQsAQIQQ&biw=949&bih=631
Peran Laskar Hizbullah dan Sabilillah dalam Kemerdekaan RI yang Tersisihkan
Islamedia
– Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa
dilepaskan dari peran para pejuang muslim, atau lebih tepatnya kaum
santri. Kurun 1943-1945 hampir semua pondok pesantren membentuk
laskar-laskar, dan yang paling populer adalah Laskar Hizbullah dan
Sabilillah.
Pada kurun waktu tersebut kegiatan
Pondok Pesantren adalah berlatih perang dan olah fisik. Bahkan
peristiwa-peristiwa perlawanan sosial politik terhadap penguasa
kolonial, pada umumnya dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama,
para haji, dan guru-guru ngaji.
Pada 21 Oktober 1945, berkumpul para
kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah
rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 Oktober dideklarasikan seruan
jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi
Jihad”.
Sejarah negeri ini ternyata tidak pernah
berkata jujur tentang peran Laskar santri yang terhimpun dalam
Hizbullah maupun laskar kiai yang tergabung dalam Sabilillah, dalam
berperang melawan penjajah. Ketika itu Hizbullah berada di bawah
Masyumi, dimana KH. Hasyim Asy’ari menjabat sebagai Ketua Masyumi.
Laskar Hizbullah (Tentara Allah) dan
Sabilillah (Jalan Allah) didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang,
dan mendapat latihan kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten
Bekasi, Jawa Barat. Laskar Hizbullah berada di bawah komando spiritual
KH. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin.
Adapun laskar Sabilillah dipimpin oleh KH. Masykur. Konon, pemuda
pesantren dan anggota Ansor NU (ANU) adalah pemasok paling besar dalam
keanggotaan Hizbullah.
Peran kiai dalam perang kemerdekaan
ternyata tidak hanya dalam laskar Hizbullah-Sabilillah saja, tetapi
banyak diantara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah
Air) yang merupakan cikal bakal terbentuk TKR, ABRI atau TNI. Menurut
penelitian Agus Sunyoto, dari enam puluh bataliyon tentara PETA, hampir
separuh komandannya adalah para kiai.
Patut diketahui, Hizbullah dan
Sabilillah adalah laskar rakyat paling kuat yang pernah hidup di bumi
Indonesia. Meskipun dalam sejarah, keberadaan laskar tersebut
disisihkan. Buktinya, perjuangan mereka tidak ditemukan dalam
museum-museum.[berbagai sumber/islamedia/YL]
Sejarah Dunia Islam published a note.
resolusi Jihad Laskar Hizbullah dalam melawan agresi militer Belanda
https://m.facebook.com/notes/sejarah-dunia-islam/resolusi-jihad-laskar-hizbullah-dalam-melawan-agresi-militer-belanda/422585647779641/?p=10
Peristiwa
10 November 1945 merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi
berdirinya bangsa Indonesia. Momentum tersebut dapat dilihat bagaimana
semangat nasionalisme mendapatkan makna yang cukup mendalam dalam
paradigma agama, nasionalisme Indonesia bukanlah dipahami sebagai faham
dan ideologi yang berada di luar wilayah agama (Islam) namun menjadi
sebuah bagian dari kewajiban beragama yang harus diperjuangkan. Kerangka
pemikiran tersebut merupakan dasar bagi seluruh umat beragama terutama
Islam dalam menjaga Pancasila dan UUD ’45.
Kemerdekaan
Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 merupakan tantangan
Sekutu yang saat itu berkuasa setelah Jepang menyerah, datang dengan
diboncengi Belanda dengan tujuan mengambil alih kekuasaan Indonesia yang
dianggap wilayah jajahan Jepang yang secara otomatis dikuasai oleh
Sekutu sebagai pemenang perang. Pasukan sekutu mendarat di Jakarta pada
September 1945 dibawah pimpinan Let.Jend Sir Philip Christison dengan
kekuatan 3 divisi: Divisi May.Jend Hawthorn menguasai Jawa Barat,
Divisi May.Jend Mansergh menguasai Jawa Timur dan Divisi May.Jend
-Chambers menguasai Sumatera, Adapun Brig. Jend A.W.S.Mallaby yang
mendarat di Surabaya merupakan bagian pimpinan Mayjen D.C Hawthorn.
Ketiga divisi itu bertugas mengambil alih kekuasaan Indonesia dari
Jepang. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan
Tanjung Perak Surabaya dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby.
laskar hizbullah
Surabaya
merupakan kota Industri terbesar saat itu, kota pelabuhan tersebut
merupakan pusat pergerakan dan berkumpulnya santri Nahdlatul Ulama (NU).
Di kota ini juga para pemuda pesantren yang dekat dengan para kiai
membentuk perkumpulan yang bernama Syubbanul Wathon, Pemuda Tanah Air.
Kelak setelah NU berdiri organisasi para pemuda pesantren ini berganti
nama menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) dan menyatu dalam pasukan
Hizbullah di bawah komando para kiai yang berada di garda depan
perjuangan.
Perobekan Bendera
Para pemuda
Surabaya, selain taat beragama terkenal radikal dalam menghadapi
Belanda, saat mendengar rencana kedatangan Belanda dan Sekutu dengan
persenjataan modernnya berbagai organisasi pemuda yang sebelumnya
terpencar kemudian bersatu. Kekerasan awal kali terjadi pada 19
September 1945, ketika dikibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato
(Sekarang Hotel Majapahit). Para pemuda Surabaya yang mudah terbakar
darahnya kemudian merobek warna biru bendera Belanda dan berkibarlah
Sang Merah Putih. Sehari setelah peristiwa perobekan bendera itu
terjadi arak-arakan bergerak keliling kota tanpa menghiraukan peringatan
tentara Jepang yang melarang membawa bambu runcing dan senjata lainnya.
Pertemuan Soekarno dan K.H Hasyim Asyari K.H Hasyim Asy'ari
Mendekati
kedatangan Sekutu dan Belanda di Surabaya, Presiden Soekarno menemui
K.H Hasyim Asy’ari. Dalam pertemuan bersejarah di Pondok Pesantren Tebu
Ireng, kedua pemimpin tersebut membahas situasi politik terkait
kedatangan Pasukan Sekutu dibawah Komando Inggris. “Kiai, dipundi
Inggris datang niku (dalam bahasa jawa artinya: Kiai, bagaimana tentang
kedatangan Inggris itu?), gimana umat Islam menyikapinya? “tanya
Soekarno. Mendapat pertanyaan tersebut, Hasyim Asy’ari menjawab dengan
tegas. “Lho Bung, umat Islam jihad fisabilillah untuk NKRI, ini Perintah
Perang!” menjawab sekaligus bersedia memenuhi permintaan bantuan
Soekarno menghadapi ancaman pasukan Sekutu. Soekarno meminta Hasyim
Asy’ari dan warga pesantren untuk tidak segan-segan dalam bertempur.
Kiai Wahab Chasbullah
Hasyim Asy’ari kemudian memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri
Syamsuri dan para kiai lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan
Madura berkumpul di Surabaya untuk segera mengadakan rapat darurat,
dipimpin Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober, Hasyim Asy’ari
mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang terkenal dengan istilah
Resolusi Jihad. Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan
Madura menjadi markas pasukan non regular Hizbullah dan Sabilillah dan
tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi
pelatihan menggunakan senjata. Pada kondisi ini pesantren-pesantren
didatangi para pejuang dari berbagai kalangan untuk meminta kesaktian
para kiai untuk menghadapi pasukan Belanda dan Sekutu dengan
persenjataan beratnya. Ribuan kiai dan santri dari Jawa dan Madura mulai
bergerak ke Surabaya.
Soekarno menemui K.H Hasyim Asy’ari
karena pengaruhnya yang sangat besar di kalangan umat Islam. Selain
itu, pasukan PETA yang terbentuk saat itu semua komandan batalyonnya
adalah ulama, diantaranya Panglima Divisi Suropati yaitu Kiai Imam
Sujai, Divisi Ranggalawe Panglimanya Jatikusumo, di Jawa Barat komandan
resimennya Kiai Haji Noor Ali. Pilihan Soekarno menemui K.H Hasyim
Asy’ari tepat, karena mampu menggerakkan umat Islam saat itu. Dampak
perangnya pun luar biasa, pertempuran Surabaya bagaikan neraka bagi
pasukan Sekutu. Orang bisa mati-matian berperang karena perintah jihad
tadi. Sehingga, hari Pahlawan 10 November tidak bisa dilepaskan dari
Resolusi Jihad NU.
Resolusi Jihad
Seruan
jihad melawan sekutu yang dikeluarkan Hasyim Asy’ari dikenal sebagai
Resolusi Jihad, yaitu perintah untuk segera meneriakkan perang suci
melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali, dan disambut rakyat
dengan semangat berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November. Para kiai
dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang
dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam
barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin.
Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin dipimpin oleh KH.
Wahab Hasbullah. Disamping itu, Hasyim Asy’ari meminta Bung Tomo supaya
teriak “Allahu Akbar.!!” untuk menggerakkan para pemuda, jasa utama
Bung Tomo saat itu sebagai orator perang.
Ada tiga poin
penting dalam Resolusi Jihad itu. Pertama, setiap muslim baik tua dan
muda, miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang merintangi
kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan
layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah
dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum
mati. Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram
hukumnya untuk mundur. Berikut ini kutipan resolusi jihad tersebut;
- Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan;
- RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong;
- Musuh RI ialah Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan tentara Sekutu;
- Umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali; dan
- Perang suci wajib bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, bantuan material bagi yang berada di luar radius tersebut
pidato Bung Tomo
Fatwa jihad tersebut kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio untuk
membakar semangat, ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah segera
menuju Surabaya. Fatwa K.H Hasyim Asy’ari ditulis 17 September 1945
kemudian dijadikan keputusan NU pada 22 November dan diperkuat pada
muktamar ke-16 di Purwekorto, 26-29 Maret 1946. Dalam pidatonya, ia
menyatakan bahwa “…tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan
syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan,” tegasnya. Atau dalam bahasa
lain, syariat Islam tidak akan bisa dilaksanakan di negeri yang
terjajah.
Tewas Jenderal Sekutu
Mallaby
dan pasukannya berada dalam posisi sulit, setiap gerakannya menjadi
pusat perhatian warga yang tampak semakin gelisah. Awalnya, mereka
disambut baik karena bertugas mengungsikan tentara Jepang. Namun keadaan
berubah, ketika warga menyaksikan kotak senjata yang jatuh berantakan
di rel kereta api berisi senjata api yang sebelumnya mengaku bahwa
kotak-kotak itu berisi bahan makanan. Pada 27 Oktober, ketika selebaran
disebarkan dari udara berisi perintah agar rakyat Indonesia segera
menyerahkan senjata apa pun dalam tempo 48 jam segera memicu kemarahan.
Brigjen. Mallaby
Pertempuran
besar tak terhindarkan antara 6 ribu pasukan Inggris dengan 120 ribu
pemuda Indonesia yang terdiri dari para santri dan tentara. Akibat kalah
jumlah, Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar pihak Indonesia
menghetikan pertempuran. Hawthorn meminta Soekarno agar mau membujuk
panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran. Terjepitnya
pasukan sekutu itu digambarkan dalam buku Donnison “The Fighting Cock” sebagai “Narrowly escape complete destraction” alias hampir musnah seluruhnya”, kalau tidak dihentikan Soekarno-Hatta dan Amir Syarifuddin.
Brig.Jen Mallaby
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta pun akhirnya
datang dari Jakarta untuk berunding dengan Mallaby. Pertempuran agak
mereda. Namun tidak lama setelah rombongan Sukarno kembali ke Jakarta,
pada 30 Oktober pukul 17.00, pertempuran kembali berlangsung. Tempat
terakhir yang digempur adalah Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah
yang masih dikuasai Inggris. Mallaby menjadi sasaran utama. Dia ditusuk
dengan bayonet dan bambu runcing oleh para pemuda yang tidak tahan
lagi melihat penjajah kembali berkeliaran. Para pengawalnya lari
tunggang langkang. Mallabi tewas.
Panglima AFNEI Letjen
Philip Sir Christison mengirim pasukan Divisi ke-5 dibawah Komando
May.Jen E.C Mansergh, jenderal yang terkenal karena kemenangannya dalam
Perang Dunia II di Afrika saat melawan Jenderal Rommel. Mansergh
membawa 15 ribu tentara, dibantu 6 ribu personel brigade 45 The
Fighting Cock dengan persenjataan serba canggih, termasuk menggunakan
tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser, kapal Perang HMS Sussex dibantu 4
kapal perang destroyer, dan 12 kapal terbang jenis Mosquito.
Dengan
mesin pembunuhnya itu, Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya untuk
bertekuk lutut alias menyerah, yang berarti mengakui Indonesia belum
merdeka. Ultimatum Sekutu itu pun tak digubris sehingga terjadilah
pertempuran 10 November 1945 dengan korban yang tidak sedikit..
Semangat dan tekad untuk merdeka itu merupakan semangat yang dipupuk
melalui Resolusi Jihad NU yang digagas para ulama NU Surabaya. Dampak
perlawanan tersebut tidak pernah terpikir oleh Sekutu yang
mengultimatum agar seluruh pemuda dan pasukan bersenjata bertekuk
lutut. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
bersenjata bambu runcing
Perlawanan Indonesia berlangsung dalam 2 tahap, pertama pengorbanan
diri secara fanatik dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan
pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman kemudian dengan cara
yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat
buku-buku petunjuk militer Jepang. Pertempuran berlangsung dengan ganas
selama tiga minggu. Akhir November 1945 seluruh kota telah jatuh ke
tangan sekutu, namun semangat perlawanan oleh para pejuang Indonesia
yang masih hidup tak bisa dipadamkan. Para santri, dan tentara mengikuti
ribuan pengungsi yang melarikan diri meninggalkan Surabaya dan
kemudian mereka membuat garis pertahanan baru mulai dari Mojokerto di
Barat hingga ke arah Sidoarjo di Timur. Beberapa versi menyebut, korban
dari RI mencapai 20 ribu bahkan ada yang menyebut 30 ribu jiwa.
laskar hizbullah
Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, para kiai pesantren berada
di medan pertempuran menghadapi tank, pesawat tempur, dan peluru-peluru
mematikan. Di sudut pertempuran, salah seorang komandan pasukan India
Zia-ul-Haq yang belakangan menjadi Presiden Republik Islam Pakistan
tertegun melihat para kiai dan santri sedang bertakbir dan berdoa sambil
mengacungkan senjata. Ia tidak tahan menyaksikannya kemudian menjauhi
medan perang, keputusan tersebut segera menyebabkan pasukan Inggris
kocar-kacir. Sejak awal, sebagian besar pasukan Inggris merupakan
serdadu India. Semangat nasionalisme Indonesia yang semakin meningkat
disertai tuntutan untuk tidak menindas perjuangan sesama bangsa Asia
telah muncul sehingga para serdadu India bertempur setengah hati. Selain
itu, peringatan dari Gubernur Inggris di tanah jajahan India akan
mengerahkan semakin banyak pasukan-pasukan India untuk menyerang
Indonesia sedangkan keadaan di India sendiri semakin gawat.
Perang
terus berkecamuk, jihad terus berlangsung. Belanda yang sebelumnya
membonceng tentara Sekutu terus melancarkan agresi-agresi militernya.
Pihak Inggris sebenarnya tidak senang dengan cara-cara yang ditempuh
oleh Belanda. Pada Desember 1945, pemerintah Inggris mendesak Belanda
mengambil sikap yang lebih luwes terhadap RI. Pada 1946 diplomat
Inggris, Sir Archibald Clark Kerr mengusahakan tercapainya persetujuan
Linggarjati antara RI dengan Belanda. Persetujuan ditandatangani namun
Belanda melanggar dengan melancarkan agresi militer. Menjelang akhir
1946, komando Inggris di Asia Tenggara dibubarkan, sejak itu peran
asing yang kemudian terlibat menggantikan Inggris adalah Amerika
Serikat.
July 11, 2012 at 8:48am · Public
Sejarah Yang Telah Hilang ; Kiyai Pesantren Menjadi Komandan Batalyon
https://www.facebook.com/notes/himpunan-santri-indonesia/sejarah-yang-telah-hilang-kiyai-pesantren-menjadi-komandan-batalyon/10151323675330646/
Tanggal
3 Oktober 1943, adalah hari yang bersejarah bagi Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan juga bagi kalangan Pesantren. Sebab hari itu, 68
tahun silam, Saiko Sikikan dari Tentara Pendudukan Jepang mengeluarkan
Osamu Seirei No.44 tentang pembentukan Tentara Sukarela Pembela Tanah
Air (PETA) atau Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai yang terdiri atas 65
Daidan (batalyon) di Jawa dan 3 Daidan di Bali. Tiap Daidan
beranggotakan 535 personil dipimpin Daidancho (komandan batalyon)
pangkat setingkat mayor dibantu kepala staf berpangkat shodancho. Setiap
Daidan terdiri dari 4 Chudan yang dipimpin seorang Chudancho (komandan
kompi) pangkat setingkat kapten. Tiap Chudan terdiri dari 3 shodan yang
dipimpin seorang shodancho (komandan peleton) pangkat setingkat letnan.
Tiap shodan terdiri dari 4 bundan yang dipimpin seorang bundancho
(komandan regu) pangkat setingkat sersan. Tiap bundan (regu)
beranggotakan 11 giyuhei - prajurit.
Tujuan dibentuknya Tentara Sukarela PETA oleh pemerintah pendudukan Jepang selain berkewajiban mempertahankan wilayah teritorial (syuu) di Jawa dan Bali, juga disiapkan untuk melawan sekutu. Oleh sebab itu, Tentara Sukarela PETA dilatih langsung oleh tentara Jepang dan berada di bawah langsung komando Panglima Tentara Jepang.
Jepang faham bahwa usaha memobilisasi massa guna menghadapi kekuatan sekutu dibutuhkan kekuatan massa sekaligus keberanian moral dalam suasana perang. Itu sebabnya dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang telah memiliki akar di tengah rakyat serta memiliki pengaruh ajaran agama yang diyakini. Perang butuh orang-orang yang memiliki keberanian dan jiwa rela berkorban. Dan berdasar catatan arsip kolonial (colonial archive) yang dimiliki Belanda, Jepang mengetahui bahwa rakyat Indonesia yang memenuhi syarat untuk berperang adalah umat Islam sebagaimana data kolonial arsip yang menyebutkan bahwa antara tahun 1800 - 1900 (100 tahun) telah terjadi usaha-usaha pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dilakukan rakyat di bawah pimpinan tokoh-tokoh tarekat sebanyak 112 kali.
Atas dasar alasan itu, dalam rekruitmen anggota Tentara Sukarela PETA para kyai, ulama, guru agama Islam diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin PETA dengan diangkat menjadi daidancho. Selain itu, yang bisa diangkat menjadi daindancho adalah pamong praja setingkat wedana, asisten wedana, jaksa, pimpinan partai. Untuk pangkat chudancho diangkat dari kalangan pegawai negeri, guru sekolah. Sedang untuk shodancho dipilih siswa-siswa sekolah menengah atas.
Dengan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang seperti itu dalam rekruitmen Tentara Sukarela PETA, maka sebagian di antara komandan batalyon PETA yang terpilih dengan pangkat Daidancho (Mayor) itu adalah para kyai dari komunitas pesantren, yang memiliki latar pendidikan pesantren. Keberadaan para kyai tersebut terlihat saat latihan pertama Tentara Sukarela PETA yang dimulai pada 5 Oktober 1943, terdapat sejumlah nama komandan batalyon dan kepala staf batalyon yang bergelar kyai, yaitu :
1.Daindancho K. Tubagus Achmad Chatib (Daidan I Labuan - Banten);
2.Daidancho K E. Oyong Ternaya (Daidan II Kandangsari - Malingping - Banten);
3.Daidancho K Sjam'oen (Daidan III Cilegon - Serang - Banten);
4.Chudancho K.Zainoel Falah (Kastaf Daidan III Cilegon - Serang - Banten);
5.Daidancho K.R.M. Moeljadi Djojomartono (Daidan I Manahan - Surakarta);
6.Daidancho K Idris (Daidan II Wonogiri - Surakarta);
7.Daidancho K. R. Abdoellah bin Noeh (Daidan I Jampang Kulon - Bogor);
8.Daidancho K.M. Basoeni (Daidan II Pelabuhan Ratu - Bogor);
9.Daidancho K Soetalaksana (Daidan I Tasikmalaya - Priangan);
10.Daidancho K. Pardjaman (Daidan II Pangandaran - Priangan);
11.Chudancho K. Hamid (Kastaf Daidan II Pangandaran - Priangan);
12.Daidancho K. Iskandar Idris (Daidan I Pekalongan)
13.Daidancho K. R. Aroedji Kartawinata (Daidan IV Cimahi - Priangan);
14.Daidancho K Masjkoer (Daidan I Babad - Bojonegoro);
15.Daidancho K Cholik Hasjim (Daidan IV Gresik-Surabaya);
16.Daidancho K Iskandar Soelaeman (Daidan I Gondanglegi - Malang);
17.Daidancho KH Doerjatman (Daidan II Tegal - Pekalongan);
18.Daidancho K. R. Amien Djakfar (Daidan I Pamekasan -Madura);
19.Daidancho K Abdoel Chamid Moedhari (Daidan IV Ambunten-Sumenep - Madura);
20.Daidancho K. Tahirroeddin Tjakra Atmadja (Daidan II Bondowoso - Besuki).
Akibat cukup banyak kyai yang menjabat komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka "Apa para kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?"
Peristiwa pembentukan Tentara Sukarela PETA ini adalah babak baru dari sejarah umat Islam dalam bidang kemiliteran. Jika sebelumnya, dalam berbagai perlawanan bersenjata terhadap pemerintah kolonial Belanda selalu dilakukan peperangan dengan teknik-teknik tempur tradisional, maka melalui Tentara Sukarela PETA ini umat Islam memasuki babak baru sejarah perang modern dengan dilatih langsung oleh tentara-tentara professional Jepang yang sejak tahun 1905 sudah berhasil menunjukkan kehebatannya dengan menghancurkan armada Rusia dalam pertempuran di Teluk Tchusima dan pada Maret 1942 menghancurkan kekuatan Belanda dalam pertempuran di Laut Jawa.
Setahun kemudian, tepatnya pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), K. Mawardi (Solo), K. Zarkasi (Ponorogo), K. Mursyid (Pacitan), K. Syahid (Kediri), K. Abdul Halim (Majalengka), K. Thohir Dasuki (Surakarta), K. Roji'un (Jakarta), K. Munasir Ali (Mojokerto), K. Abdullah, K. Wahib Wahab (Jombang), K. Hasyim Latif (Surabaya), K. Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dan lain-lain.
Fenomena militerisme di lingkungan umat Islam tradisional di pesantren tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi yang didirikan orang-orang berlatar pendidikan pesantren. Jauh sebelum organisasi Nahdlatul Ulama diproklamasikan pada tahun 1926, telah lahir lebih dulu organisasi kepemudaan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Organisasi yang didirikan KH Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansyur itu bergerak di bidang sosial, pendidikan dan dakwah. Tahun 1918 KH Wahab Hasbullah, KH Mas Mansyur, HOS Tjokroaminoto, KH A. Dahlan Ahyad, dan P. Mangun membentuk organisasi Taswirul Afkar (Pertukaran Pikiran). Organisasi ini bagian dari perkumpulan Suryo Sumirat dan sejak didirikan 1918 papan nama Taswirul Afkar ditulis "Suryo Soemirat Afdeeling Taswirul Afkar." Itu sebabnya, latihan militer yang berat di PETA maupun Hizbullah bukanlah sesuatu yang asing bagi para kyai yang berasal dari kalangan pesantren, apalagi mereka disemangati oleh cerita-cerita perlawanan para ulama pendahulu mereka yang tidak mau tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda.
Ketika Jepang terdesak hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pusat latihan militer yang salah satunya adalah di Besuki. Berdasar Keputusan Bersama antara penguasa militer Jepang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang diketuai KH Mursyid, Yogeki Shodancho Wahyudi, dan pimpinan Hizbullah yang baru lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggarakan pendidikan dan latihan bagi bintara selama satu bulan dengan pusat latihan di Desa Awu-awu, Kecamatan Temuguru, Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945.
Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat, Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho), dan 23 perwira Hizbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki. Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter.
Keberadaan Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah, menjadi penting karena saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk tanggal 18 Agustus 1945, tetapi sampai awal Oktober belum memiliki tentara, dan setelah dikritik oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR), berbondong-bondonglah masyarakat mendaftarkan diri. Namun yang kompeten memiliki kemampuan militer yang terlatih adalah elemen Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah ditambah mantan anggota Heiho (orang Indonesia yang menjadi tentara reguler Jepang) dan mantan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger - pribumi yang menjadi Angkatan Darat Hindia Belanda). Itu sebabnya, elemen-elemen terlatih itu menduduki posisi vital di BKR.
Sejak awal dibentuknya BKR sampai berkembang menjadi TKR, TRI dan TNI, para kyai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di kesatuan PETA dan Hizbullah dan Sabilillah memiliki peran vital dalam pembentukan barisan-barisan dalam kemiliteran setingkat batalyon. Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang tercatat sebagai komandan batalyon yang berasal dari kesatuan PETA, Hizbullah dan Sabilillah dewasa itu adalah:
K. Choliq Hasjim, K. Amien Djakfar, K. Abdoel Chamid, K. Iskandar Idris, K. Joenoes Anis, K. Basoeni, K. Doerjatman, K. Abdoellah bin Noeh, K. Ternaya, K. Idris, K. R.M. Moeljadi Djojomartono, K. Sjam'oen, K Iskandar Sulaiman, K Zarkasi, K. Mursyid, K. Syahid, K. Abdullah, K. Zainudin, K. Masjkoer, K. Bisri Sjansoeri, K. Zainal Arifin, K. Sulam Sjamsun, K. Moenasir Ali, K. Wahib Wahab, K. Jasin, K. Mansjoer Sholichy, K. Achjat Chalimi, K. Hasjim Latif, K. Anwar Zen, K. Hasan Sjaifoerrizal, K. Zaini Moen'im, K. Djoenaidi, K. Asnawi Hadisiswoyo, K. R. Salimoelhadi, K. Bolkin, K.Abdoellah Abbas, K. Mahfoedz, K. P. Hadisoenarto, K. Abdoel Moeslim, K. Moeslim, K. Dimjati Moeid, K. Moeslich, K. Ridwan, K. Imam Nawawi, K. Zaeni, K. Soedjak, K. Asfani, K. Abdoel Syoekoer, K. Djarkasi, K.Ma'roef, K.Siradj, K.Abdoerrachman, K.Martowikoro, dan lain-lain serta tokoh-tokoh Ansor seperti . Sulthan Fajar, Hamid Rusdi, Zein Thoyyib, dll.
Bertolak dari paparan singkat sejarah pembentukan Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah yang berperang penting dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), menjadi sangat wajar jika kalangan pesantren memiliki hubungan historis yang sangat kuat dengan Negara Republik Indonesia dan khususnya TNI. Itu sebabnya, ketika Negara Indonesia menghadapi ancaman, baik ancaman territorial maupun ideologis, kalangan pesantren secara refleks akan terpanggil untuk menjadi bumper yang bersedia syahid untuk negerinya. Sebab tanpa perlu pengakuan formal sejarah, kalangan pesantren memiliki kewajiban moral untuk melindungi dan membela Negara Indonesia, karena mereka ikut membidani lahirnya Negara Indonesia, terutama membidani lahirnya TNI.
Tujuan dibentuknya Tentara Sukarela PETA oleh pemerintah pendudukan Jepang selain berkewajiban mempertahankan wilayah teritorial (syuu) di Jawa dan Bali, juga disiapkan untuk melawan sekutu. Oleh sebab itu, Tentara Sukarela PETA dilatih langsung oleh tentara Jepang dan berada di bawah langsung komando Panglima Tentara Jepang.
Jepang faham bahwa usaha memobilisasi massa guna menghadapi kekuatan sekutu dibutuhkan kekuatan massa sekaligus keberanian moral dalam suasana perang. Itu sebabnya dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang telah memiliki akar di tengah rakyat serta memiliki pengaruh ajaran agama yang diyakini. Perang butuh orang-orang yang memiliki keberanian dan jiwa rela berkorban. Dan berdasar catatan arsip kolonial (colonial archive) yang dimiliki Belanda, Jepang mengetahui bahwa rakyat Indonesia yang memenuhi syarat untuk berperang adalah umat Islam sebagaimana data kolonial arsip yang menyebutkan bahwa antara tahun 1800 - 1900 (100 tahun) telah terjadi usaha-usaha pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dilakukan rakyat di bawah pimpinan tokoh-tokoh tarekat sebanyak 112 kali.
Atas dasar alasan itu, dalam rekruitmen anggota Tentara Sukarela PETA para kyai, ulama, guru agama Islam diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin PETA dengan diangkat menjadi daidancho. Selain itu, yang bisa diangkat menjadi daindancho adalah pamong praja setingkat wedana, asisten wedana, jaksa, pimpinan partai. Untuk pangkat chudancho diangkat dari kalangan pegawai negeri, guru sekolah. Sedang untuk shodancho dipilih siswa-siswa sekolah menengah atas.
Dengan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang seperti itu dalam rekruitmen Tentara Sukarela PETA, maka sebagian di antara komandan batalyon PETA yang terpilih dengan pangkat Daidancho (Mayor) itu adalah para kyai dari komunitas pesantren, yang memiliki latar pendidikan pesantren. Keberadaan para kyai tersebut terlihat saat latihan pertama Tentara Sukarela PETA yang dimulai pada 5 Oktober 1943, terdapat sejumlah nama komandan batalyon dan kepala staf batalyon yang bergelar kyai, yaitu :
1.Daindancho K. Tubagus Achmad Chatib (Daidan I Labuan - Banten);
2.Daidancho K E. Oyong Ternaya (Daidan II Kandangsari - Malingping - Banten);
3.Daidancho K Sjam'oen (Daidan III Cilegon - Serang - Banten);
4.Chudancho K.Zainoel Falah (Kastaf Daidan III Cilegon - Serang - Banten);
5.Daidancho K.R.M. Moeljadi Djojomartono (Daidan I Manahan - Surakarta);
6.Daidancho K Idris (Daidan II Wonogiri - Surakarta);
7.Daidancho K. R. Abdoellah bin Noeh (Daidan I Jampang Kulon - Bogor);
8.Daidancho K.M. Basoeni (Daidan II Pelabuhan Ratu - Bogor);
9.Daidancho K Soetalaksana (Daidan I Tasikmalaya - Priangan);
10.Daidancho K. Pardjaman (Daidan II Pangandaran - Priangan);
11.Chudancho K. Hamid (Kastaf Daidan II Pangandaran - Priangan);
12.Daidancho K. Iskandar Idris (Daidan I Pekalongan)
13.Daidancho K. R. Aroedji Kartawinata (Daidan IV Cimahi - Priangan);
14.Daidancho K Masjkoer (Daidan I Babad - Bojonegoro);
15.Daidancho K Cholik Hasjim (Daidan IV Gresik-Surabaya);
16.Daidancho K Iskandar Soelaeman (Daidan I Gondanglegi - Malang);
17.Daidancho KH Doerjatman (Daidan II Tegal - Pekalongan);
18.Daidancho K. R. Amien Djakfar (Daidan I Pamekasan -Madura);
19.Daidancho K Abdoel Chamid Moedhari (Daidan IV Ambunten-Sumenep - Madura);
20.Daidancho K. Tahirroeddin Tjakra Atmadja (Daidan II Bondowoso - Besuki).
Akibat cukup banyak kyai yang menjabat komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka "Apa para kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?"
Peristiwa pembentukan Tentara Sukarela PETA ini adalah babak baru dari sejarah umat Islam dalam bidang kemiliteran. Jika sebelumnya, dalam berbagai perlawanan bersenjata terhadap pemerintah kolonial Belanda selalu dilakukan peperangan dengan teknik-teknik tempur tradisional, maka melalui Tentara Sukarela PETA ini umat Islam memasuki babak baru sejarah perang modern dengan dilatih langsung oleh tentara-tentara professional Jepang yang sejak tahun 1905 sudah berhasil menunjukkan kehebatannya dengan menghancurkan armada Rusia dalam pertempuran di Teluk Tchusima dan pada Maret 1942 menghancurkan kekuatan Belanda dalam pertempuran di Laut Jawa.
Setahun kemudian, tepatnya pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), K. Mawardi (Solo), K. Zarkasi (Ponorogo), K. Mursyid (Pacitan), K. Syahid (Kediri), K. Abdul Halim (Majalengka), K. Thohir Dasuki (Surakarta), K. Roji'un (Jakarta), K. Munasir Ali (Mojokerto), K. Abdullah, K. Wahib Wahab (Jombang), K. Hasyim Latif (Surabaya), K. Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dan lain-lain.
Fenomena militerisme di lingkungan umat Islam tradisional di pesantren tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi yang didirikan orang-orang berlatar pendidikan pesantren. Jauh sebelum organisasi Nahdlatul Ulama diproklamasikan pada tahun 1926, telah lahir lebih dulu organisasi kepemudaan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Organisasi yang didirikan KH Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansyur itu bergerak di bidang sosial, pendidikan dan dakwah. Tahun 1918 KH Wahab Hasbullah, KH Mas Mansyur, HOS Tjokroaminoto, KH A. Dahlan Ahyad, dan P. Mangun membentuk organisasi Taswirul Afkar (Pertukaran Pikiran). Organisasi ini bagian dari perkumpulan Suryo Sumirat dan sejak didirikan 1918 papan nama Taswirul Afkar ditulis "Suryo Soemirat Afdeeling Taswirul Afkar." Itu sebabnya, latihan militer yang berat di PETA maupun Hizbullah bukanlah sesuatu yang asing bagi para kyai yang berasal dari kalangan pesantren, apalagi mereka disemangati oleh cerita-cerita perlawanan para ulama pendahulu mereka yang tidak mau tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda.
Ketika Jepang terdesak hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pusat latihan militer yang salah satunya adalah di Besuki. Berdasar Keputusan Bersama antara penguasa militer Jepang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang diketuai KH Mursyid, Yogeki Shodancho Wahyudi, dan pimpinan Hizbullah yang baru lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggarakan pendidikan dan latihan bagi bintara selama satu bulan dengan pusat latihan di Desa Awu-awu, Kecamatan Temuguru, Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945.
Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat, Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho), dan 23 perwira Hizbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki. Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter.
Keberadaan Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah, menjadi penting karena saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk tanggal 18 Agustus 1945, tetapi sampai awal Oktober belum memiliki tentara, dan setelah dikritik oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR), berbondong-bondonglah masyarakat mendaftarkan diri. Namun yang kompeten memiliki kemampuan militer yang terlatih adalah elemen Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah ditambah mantan anggota Heiho (orang Indonesia yang menjadi tentara reguler Jepang) dan mantan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger - pribumi yang menjadi Angkatan Darat Hindia Belanda). Itu sebabnya, elemen-elemen terlatih itu menduduki posisi vital di BKR.
Sejak awal dibentuknya BKR sampai berkembang menjadi TKR, TRI dan TNI, para kyai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di kesatuan PETA dan Hizbullah dan Sabilillah memiliki peran vital dalam pembentukan barisan-barisan dalam kemiliteran setingkat batalyon. Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang tercatat sebagai komandan batalyon yang berasal dari kesatuan PETA, Hizbullah dan Sabilillah dewasa itu adalah:
K. Choliq Hasjim, K. Amien Djakfar, K. Abdoel Chamid, K. Iskandar Idris, K. Joenoes Anis, K. Basoeni, K. Doerjatman, K. Abdoellah bin Noeh, K. Ternaya, K. Idris, K. R.M. Moeljadi Djojomartono, K. Sjam'oen, K Iskandar Sulaiman, K Zarkasi, K. Mursyid, K. Syahid, K. Abdullah, K. Zainudin, K. Masjkoer, K. Bisri Sjansoeri, K. Zainal Arifin, K. Sulam Sjamsun, K. Moenasir Ali, K. Wahib Wahab, K. Jasin, K. Mansjoer Sholichy, K. Achjat Chalimi, K. Hasjim Latif, K. Anwar Zen, K. Hasan Sjaifoerrizal, K. Zaini Moen'im, K. Djoenaidi, K. Asnawi Hadisiswoyo, K. R. Salimoelhadi, K. Bolkin, K.Abdoellah Abbas, K. Mahfoedz, K. P. Hadisoenarto, K. Abdoel Moeslim, K. Moeslim, K. Dimjati Moeid, K. Moeslich, K. Ridwan, K. Imam Nawawi, K. Zaeni, K. Soedjak, K. Asfani, K. Abdoel Syoekoer, K. Djarkasi, K.Ma'roef, K.Siradj, K.Abdoerrachman, K.Martowikoro, dan lain-lain serta tokoh-tokoh Ansor seperti . Sulthan Fajar, Hamid Rusdi, Zein Thoyyib, dll.
Bertolak dari paparan singkat sejarah pembentukan Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah yang berperang penting dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), menjadi sangat wajar jika kalangan pesantren memiliki hubungan historis yang sangat kuat dengan Negara Republik Indonesia dan khususnya TNI. Itu sebabnya, ketika Negara Indonesia menghadapi ancaman, baik ancaman territorial maupun ideologis, kalangan pesantren secara refleks akan terpanggil untuk menjadi bumper yang bersedia syahid untuk negerinya. Sebab tanpa perlu pengakuan formal sejarah, kalangan pesantren memiliki kewajiban moral untuk melindungi dan membela Negara Indonesia, karena mereka ikut membidani lahirnya Negara Indonesia, terutama membidani lahirnya TNI.
JEJAK PERJUANGAN A.M. SANGAJI DI KALIMANTAN
Juni 30, 2011
Oleh WAJIDI
https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2011/06/30/jejak-perjuangan-a-m-sangaji-di-kalimantan/
Di Jakarta Pusat, Yogyakarta, Samarinda, atau mungkin di kota
lainnya, terdapat nama Jalan A.M. Sangaji. Penamaan jalan untuk
mengenang A.M. Sangaji selaku pejuang perintis kemerdekaan Indonesia
kelahiran Maluku. Ia seangkatan dengan pejuang perintis kemerdekaan
lainnya seperti H.O.S. Cokroaminoto dan H. Agus Salim. Oleh para pejuang
kemerdekaan sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, A.M.
Sangaji disebut sebagai pemimpin tua. “Jago Tua”, kata beberapa surat
kabar di ibukota Republik. “Hindeburg Kalimantan”, kata s.k. Merdeka
Solo. Belanda dan Jepang pun tahu tentang kedudukan beliau sebagai
pemimpin tua itu. A.M. Sangaji memiliki mobilitas. Ia tidak hanya di
Maluku, tapi juga pernah berkiprah di Borneo, terlebih lagi di Jawa. Di
tahun 1920-an, saat berada di Surabaya, ia melakukan korespondensi
dengan Mohamad Horman, seorang tokoh pergerakan Sarekat Islam cabang
Banjarmasin.
Tidak hanya itu, ia juga pernah lama tinggal di Borneo untuk menggelorakan semangat kebangsaan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Di Samarinda Kalimantan Timur, A.M. Sangaji melalui Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rakjat (BPPR) yang didirikannya ia mengelola Neutrale School untuk menampung anak-anak sekolah dari kalangan bumiputera.
Setelah mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, A.M. Sangaji mengkoordinir suatu perjalanan panjang yang dilakukan oleh 3 grup/gelombang dari Samarinda ke Banjarmasin untuk bertemu dengan pimpinan BPRI sekaligus memberitahukan proklamasi kemerdekaan, mengibarkan bendera, dan memberikan kesadaran kepada rakyat di daerah-daerah yang dilalui.
Rombongan A.M. Sangaji tiba di Marabahan Kalimantan Selatan, akan tetapi beberapa saat kemudian yakni pada bulan April 1946 polisi Belanda berhasil menangkap A.M. Sangaji dan memenjarakannya di penjara Banjarmasin, yakni bangunan penjara yang lokasinya sekarang ditempati Gedung Pos Besar Banjarmasin. Penjara Banjarmasin saat itu penuh sesak dengan tawanan. Sebagian besar adalah hasil penangkapan besar-besaran yang dilakukan Belanda pasca meletusnya pemberontakan 9 November 1945 di Banjarmasin, pemberontakan 5 Desember 1945 di Marabahan, dan pemberontakan “trikesuma” di Barabai tanggal 19 ke 20 Maret 1946.
Banyaknya pejuang yang ditangkap Belanda, mengakibatkan penjara Banjarmasin penuh sesak dengan para tawanan. Mereka yang mengalami mengatakan hanya berdiri, dan sukar bebas bernapas dan bahkan kelaparan karena makanan seringkali diberikan satu kali sehari dengan porsi sepiring dibagi empat, sehingga kulit pisang yang dilempar penjaga pun menjadi santapan dan rebutan. Akan tetapi, banyaknya pejuang dan saat dijebloskannya A.M. Sangaji ke dalam penjara Banjarmasin, telah menjadikan penjara itu seolah-olah
daerah kekuasaan Republik.
Pak Sangaji masuk dengan lenggang yang gagah, ayun tangan sebagai seorang prajurit yang menang perang. Seruan merdeka bergemuruh sebagai sambutan dari segenap bilik penjara. Dan dari bangsal D (bangsal yang besar) bergema lagu Indonesia Raya. Polisi tak bisa bertindak apa-apa.
Di dalam Majalah Mandau yang diterbitkan oleh Ikatan Perjuangan Kalimantan (IPK) di Yogyakarta (1948) Pak Sangaji menceritakan, “Keadaan kami ketika itu dalam penjara adalah sebagai dalam daerah merdeka, daerah Republik, di tengah-tengah daerah musuh. Di sana ada pamong prajanya, ada polisinya, ada dokternya, ada kadi-nya dan terutama pemuda-pemuda sebagai prajurit yang menjadi isi tempat tahanan itu”, kata Pak Sangaji.
Selepas keluar penjara Banjarmasin, A.M. Sangaji menyeberang ke pulau Jawa. Ia kemudian memimpin Laskar Hisbullah yang berpusat di Yogyakarta dan pernah menugaskan R. Soedirman untuk membentuk Laskar untuk daerah Martapura dan Pelaihari, serta Tamtomo sebagai penghubung Markas Besar Hisbullah Yogya untuk Kalimantan. Akan tetapi, ia kemudian tewas ditembak militer ketika Agresi Militer Belanda I di Yogyakarta tahun 1947. Sumber: Buku “Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942 (2007)”, Buku “Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik (2007)”, Buku “Sejarah Banjar (2003)”, Buku “Provinsi Kalimantan” (1950), buku “Republik Indonesia: Kalimantan” (1953), dan Majalah “Mandau” (1948).
Pejuang Berpanji Laskar Hizbullah
Dibaca: 11663 | Suara: 0 Favorit: 0 | Komentar: 0
?
16.66%
Social URL: http://tokoh.in/654~qtokoh.in/654
?
Kutip
zoom in
zoom out
font color
bold
Pejuang Berpanji Laskar Hizbullah
Zainul Arifin | Tokohindonesia.com | nu
Ia merupakan tokoh berwawasan kebangsaan. Berbendera organisasi laskar Hizbullah yang berazaskan keagamaan, ia bersama tentara resmi berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Zainul Arifin Tambahkan untuk dibandingkan
[Kartu TI :: Zainul Arifin]
[Daftar Biografi Zainul Arifin]
Ketua DPR Gotong Royong
Lihat Curriculum Vitae (CV) Zainul Arifin
QR Code Halaman Biografi Zainul Arifin
Bio Lain
Click to view full article
Syamsiar Seman
Click to view full article
Surisman Marah
Click to view full article
Djaduk Ferianto
Click to view full article
Tan Malaka
Click to view full article
Danto Pramonosidi
Click to view full article
Abdullah Harahap
Click to view full article
Erwin Parengkuan
BERITA TERBARU
Seperti Kampung Narkoba Lainnya, Polisi Bangun Posko di Pantai Burung
16 Jul 2016
Tamu Hotel Dewarna Tewas Tanpa Busana
20 Mar 2016
Pesta Kembang Api Dilarang di Medan
31 Dec 2015
Polisi Tangkap Penembak Tiga Wartawan
2 Dec 2015
Tiga Wartawan di Medan Ditembak saat Meliput
29 Nov 2015
Index
KH. Zainul Arifin, seorang Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan kemerdekaan yang mengawali perjuangan pergerakan nasional di bawah naungan organisasi Pendiri Nahdlatul Ulama 1926
Nahdlatul Ulama (NU).
Pada zaman Jepang, pergerakan Zainul Arifin dengan nama organisasi Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), yang kelak kemudian berganti nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Di bidang kemiliteran, Zainul pernah menjabat Panglima Hizbullah (Tentara Allah) untuk seluruh Indonesia dan Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI. Setelah kemerdekaan, ia berturut-turut menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), Wakil II Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri, Wakil Ketua DPR , dan Ketua DPRGR.
Gemeente Batavia atau Kotapraja Jakarta, itulah pekerjaan Zainul Arifin pada masa pendudukan Belanda. Dengan demikian, beliau adalah seorang pegawai negeri yang mendapat upah atau gaji dari pemerintah kolonial Belanda. Bekerja seperti itu memang sudah lajim pada zaman itu. Namun bedanya, walaupun bekerja pada pemerintah Belanda, pria kelahiran Barus, Tapanuli, tahun 1909, ini aktif dalam pergerakan nasional. Beliau masuk organisasi Pendiri Nahdlatul Ulama 1926
Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keislaman yang waktu itu juga sekaligus menjadi partai.
Dalam perjalanan sejarah, pemerintah pendudukan Belanda akhirnya harus keluar dari bumi Indonesia akibat kalah perang dari Jepang pada Perang Dunia Kedua. Pemerintahan Belanda di Indonesia kemudian digantikan Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang ini menerapkan kebijakan baru mengenai partai-partai. Semua partai yang ada dilarang berdiri, tak terkecuali Partai NU. Tapi kemudian mengizinkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai satu-satunya wadah bagi umat Islam. Zainul Arifin yang memperoleh pendidikan Sekolah Dasar dan pesantren, kemudian memasuki organisasi tersebut yang kemudian terpilih sebagai Kepala Bagian Umum.
Di bidang kemiliteran, Zainul Arifin boleh dikata merupakan salah seorang tokoh yang sukses. Sebelum masuk ke dunia militer, beliau terlebih dulu latihan militer selama dua bulan. Selepas menjalani latihan, beliau masuk Hizbullah, sebuah organisasi semi militer yang anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda Islam. Organisasi ini merupakan salah satu laskar di antara sekian banyak laskar bersenjata di Indonesia yang melakukan perjuangan di samping tentara resmi.
Di laskar Hizbullah ini, Zainul Arifin kemudian terpilih menjadi Panglima Hizbullah seluruh Indonesia. Di bawah organisasi tersebutlah ia melakukan perjuangan. Hingga era revolusi kemerdekaan, mereka berjuang bersama tentara resmi untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dalam rangka penyatuan satu wadah tentara sebagai kekuatan pertahanan nasional, maka semua laskar yang ada dilebur atau disatukan ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Begitu pula halnya dengan Hizbullah, kemudian melebur menjadi TNI. Zaenul Arifin yang hingga akhir keberadaan Hizbullah duduk dalam pucuk pimpinan, kemudian diangkat sebagai Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI hasil penggabungan.
Sementara di pemerintahan, KH Zaenul Arifin lebih banyak duduk di lembaga legislatif. Awal kemerdekaan, beliau duduk sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Kemudian sesudah pengakuan kedaulatan, tepatnya sejak tahun 1950 sampai tahun 1953, duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Di lembaga eksekutif, beliau memang sempat duduk sebagai Wakil II Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo. Namun pada Pemilihan Umum tahun 1955, beliau kembali duduk di lembaga legislatif sebagai anggota DPR, dan bahkan kemudian terpilih sebagai Wakil Ketua DPR.
Satu hal bersejarah terjadi pada periode ini. Pada periode ini, pertentangan politik di tanah air khususnya di lembaga legislatif sangat tajam. Negara Republik Indonesia ketika itu tidak lagi memakai UUD 45 sebagai dasar konstitusional negara, tapi telah memakai Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) sebelum dibuat UUD yang baru. Dan menjadi tugas DPR-lah menyusun undang-undang dasar baru tersebut. Namun, dengan proses yang sangat panjang dan melelahkan, Konstituante tidak berhasil membuat undang-undang dasar baru tersebut. Bahkan, pertentangan di tubuh lembaga legislatif itu semakin besar dan tajam. Melihat keadaan demikian, Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Presiden Soekarno akhirnya mengeluarkan dekrit yang menyatakan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
Masih berkaitan dengan kebuntuan yang terjadi di lembaga legislatif tersebut, akhirnya lembaga legislatif itupun dibubarkan dan selanjutnya dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). KH Zainul Arifin yang sejak awal diangkat menjadi Pejabat Ketua, kemudian dikukuhkan sebagai Ketua DPRGR.
Begitulah perjalanan hidup dan perjuangan salah seorang putra terbaik bangsa, KH Zainul Arifin. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap mengabdi kepada nusa dan bangsa. Beliau meninggal dunia di usia 54 tahun, tepatnya pada 2 Maret 1963 di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Kalibata, Jakarta.
Mengingat jasa-jasanya pada nusa dan bangsa, maka negara menganugerahkan gelar penghormatan kepada KH Zainul Arifin sebagai Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar penghormatan tersebut dikukuhkan dengan SK Presiden Republik Indonesia No.35 Tahun 1963, tanggal 4 Maret 1963. e-ti | tl
© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/654-pejuang-berpanji-laskar-hizbullah
Copyright © tokohindonesia.com
Dibaca: 11663 | Suara: 0 Favorit: 0 | Komentar: 0
?
16.66%
Social URL: http://tokoh.in/654~qtokoh.in/654
?
Kutip
zoom in
zoom out
font color
bold
Pejuang Berpanji Laskar Hizbullah
Zainul Arifin | Tokohindonesia.com | nu
Ia merupakan tokoh berwawasan kebangsaan. Berbendera organisasi laskar Hizbullah yang berazaskan keagamaan, ia bersama tentara resmi berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Zainul Arifin Tambahkan untuk dibandingkan
[Kartu TI :: Zainul Arifin]
[Daftar Biografi Zainul Arifin]
Ketua DPR Gotong Royong
Lihat Curriculum Vitae (CV) Zainul Arifin
QR Code Halaman Biografi Zainul Arifin
Bio Lain
Click to view full article
Syamsiar Seman
Click to view full article
Surisman Marah
Click to view full article
Djaduk Ferianto
Click to view full article
Tan Malaka
Click to view full article
Danto Pramonosidi
Click to view full article
Abdullah Harahap
Click to view full article
Erwin Parengkuan
BERITA TERBARU
Seperti Kampung Narkoba Lainnya, Polisi Bangun Posko di Pantai Burung
16 Jul 2016
Tamu Hotel Dewarna Tewas Tanpa Busana
20 Mar 2016
Pesta Kembang Api Dilarang di Medan
31 Dec 2015
Polisi Tangkap Penembak Tiga Wartawan
2 Dec 2015
Tiga Wartawan di Medan Ditembak saat Meliput
29 Nov 2015
Index
KH. Zainul Arifin, seorang Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan kemerdekaan yang mengawali perjuangan pergerakan nasional di bawah naungan organisasi Pendiri Nahdlatul Ulama 1926
Nahdlatul Ulama (NU).
Pada zaman Jepang, pergerakan Zainul Arifin dengan nama organisasi Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), yang kelak kemudian berganti nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Di bidang kemiliteran, Zainul pernah menjabat Panglima Hizbullah (Tentara Allah) untuk seluruh Indonesia dan Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI. Setelah kemerdekaan, ia berturut-turut menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), Wakil II Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri, Wakil Ketua DPR , dan Ketua DPRGR.
Gemeente Batavia atau Kotapraja Jakarta, itulah pekerjaan Zainul Arifin pada masa pendudukan Belanda. Dengan demikian, beliau adalah seorang pegawai negeri yang mendapat upah atau gaji dari pemerintah kolonial Belanda. Bekerja seperti itu memang sudah lajim pada zaman itu. Namun bedanya, walaupun bekerja pada pemerintah Belanda, pria kelahiran Barus, Tapanuli, tahun 1909, ini aktif dalam pergerakan nasional. Beliau masuk organisasi Pendiri Nahdlatul Ulama 1926
Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keislaman yang waktu itu juga sekaligus menjadi partai.
Dalam perjalanan sejarah, pemerintah pendudukan Belanda akhirnya harus keluar dari bumi Indonesia akibat kalah perang dari Jepang pada Perang Dunia Kedua. Pemerintahan Belanda di Indonesia kemudian digantikan Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang ini menerapkan kebijakan baru mengenai partai-partai. Semua partai yang ada dilarang berdiri, tak terkecuali Partai NU. Tapi kemudian mengizinkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai satu-satunya wadah bagi umat Islam. Zainul Arifin yang memperoleh pendidikan Sekolah Dasar dan pesantren, kemudian memasuki organisasi tersebut yang kemudian terpilih sebagai Kepala Bagian Umum.
Di bidang kemiliteran, Zainul Arifin boleh dikata merupakan salah seorang tokoh yang sukses. Sebelum masuk ke dunia militer, beliau terlebih dulu latihan militer selama dua bulan. Selepas menjalani latihan, beliau masuk Hizbullah, sebuah organisasi semi militer yang anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda Islam. Organisasi ini merupakan salah satu laskar di antara sekian banyak laskar bersenjata di Indonesia yang melakukan perjuangan di samping tentara resmi.
Di laskar Hizbullah ini, Zainul Arifin kemudian terpilih menjadi Panglima Hizbullah seluruh Indonesia. Di bawah organisasi tersebutlah ia melakukan perjuangan. Hingga era revolusi kemerdekaan, mereka berjuang bersama tentara resmi untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dalam rangka penyatuan satu wadah tentara sebagai kekuatan pertahanan nasional, maka semua laskar yang ada dilebur atau disatukan ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Begitu pula halnya dengan Hizbullah, kemudian melebur menjadi TNI. Zaenul Arifin yang hingga akhir keberadaan Hizbullah duduk dalam pucuk pimpinan, kemudian diangkat sebagai Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI hasil penggabungan.
Sementara di pemerintahan, KH Zaenul Arifin lebih banyak duduk di lembaga legislatif. Awal kemerdekaan, beliau duduk sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Kemudian sesudah pengakuan kedaulatan, tepatnya sejak tahun 1950 sampai tahun 1953, duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Di lembaga eksekutif, beliau memang sempat duduk sebagai Wakil II Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo. Namun pada Pemilihan Umum tahun 1955, beliau kembali duduk di lembaga legislatif sebagai anggota DPR, dan bahkan kemudian terpilih sebagai Wakil Ketua DPR.
Satu hal bersejarah terjadi pada periode ini. Pada periode ini, pertentangan politik di tanah air khususnya di lembaga legislatif sangat tajam. Negara Republik Indonesia ketika itu tidak lagi memakai UUD 45 sebagai dasar konstitusional negara, tapi telah memakai Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) sebelum dibuat UUD yang baru. Dan menjadi tugas DPR-lah menyusun undang-undang dasar baru tersebut. Namun, dengan proses yang sangat panjang dan melelahkan, Konstituante tidak berhasil membuat undang-undang dasar baru tersebut. Bahkan, pertentangan di tubuh lembaga legislatif itu semakin besar dan tajam. Melihat keadaan demikian, Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Presiden Soekarno akhirnya mengeluarkan dekrit yang menyatakan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
Masih berkaitan dengan kebuntuan yang terjadi di lembaga legislatif tersebut, akhirnya lembaga legislatif itupun dibubarkan dan selanjutnya dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). KH Zainul Arifin yang sejak awal diangkat menjadi Pejabat Ketua, kemudian dikukuhkan sebagai Ketua DPRGR.
Begitulah perjalanan hidup dan perjuangan salah seorang putra terbaik bangsa, KH Zainul Arifin. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap mengabdi kepada nusa dan bangsa. Beliau meninggal dunia di usia 54 tahun, tepatnya pada 2 Maret 1963 di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Kalibata, Jakarta.
Mengingat jasa-jasanya pada nusa dan bangsa, maka negara menganugerahkan gelar penghormatan kepada KH Zainul Arifin sebagai Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar penghormatan tersebut dikukuhkan dengan SK Presiden Republik Indonesia No.35 Tahun 1963, tanggal 4 Maret 1963. e-ti | tl
© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/654-pejuang-berpanji-laskar-hizbullah
Copyright © tokohindonesia.com
HARI PAHLAWAN
Resolusi Jihad: Urat Nadi Perang Mempertahankan NKRI
Senin, 10 November 2014 17:01
Opini
Bagikan
http://www.nu.or.id/post/read/55639/resolusi-jihad-urat-nadi-perang-mempertahankan-nkri
Oleh Zainul Milal Bizawie
--Apa yang dikhawatirkan Pangeran Hendrik, seorang Pangeran Muda Belanda berusia 16 tahun ketika mendatangi Pangeran Diponegoro di tempat pengasingannya, kiranya terbukti ketika terjadi revolusi fisik 1945-1949. Meskipun Belanda harus menghadapi Indonesia secara militer dan diplomasi, namun akhirnya kalah.<>
"Kelak para penerus trah Diponegoro, tidak saja akan meneruskan perjuangannya, namun akan tiba satu masa, ketika Belanda hanya akan menghadapi dua pilihan, berhadapan secara hitam putih dengan nusantara. Dan ketika itu buat Belanda hanya dua pilihan. Kalah atau memang. Tidak ada jalan tengah," ujar Pangeran Hendrik.
Jejaring Ulama Santri, Membentuk Laskar
Sejak kolonial bercokol di Nusantara, pusat-pusat kekuasan di kerajaan Mataram dan Banten mulai tergerus oleh perebutan kekuasaan dan campur tangan kolonial. Perpecahan demi perpecahan terus terjadi sehingga memberikan angin segar bagi Kolonial Belanda makin memperkukuh kekuasaannya. Pihak yang selalu konsisten anti kolonial adalah para ulama-santri, sehingga mereka terus menjaga tradisi perlawanan melawan Kolonial.
Tradisi perlawanan tersebut tidaklah didasarkan pada pembelaan terhadap suatu kekuasaan salah satu pihak, tapi karena tindakan kolonial Belanda yang menindas dan mengganggu tegaknya agama Islam. Banyak ulama-santri yang tidak pernah padam melakukan perlawanan terhadap kolonial sehingga meledakkan perang besar sepanjang sejarah, yaitu Perang Jawa Diponegoro. Pasukan Pangeran Diponegoro selain terdapat para bangsawan juga dipenuhi para ulama-santri dari berbagai penjuru Jawa.
Para Ulama santri itulah yang di kemudian hari meneruskan perjuangannya ketika Pangeran Diponegoro ditangkap. Kyai Abdus Salam Jombang, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, Kyai Hasan Basyari Tegalsari Ponorogo dengan muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan adalah diantara sisa-sisa pasukan Diponegoro yang dikemudian hari menjadi pionir-pionir terbentuknya kembali jaringan ulama nusantara baik di lokal maupun internasional.
Setelah Pangeran Diponegoro tertangkap, perlawanan terhadap Belanda yang tidak pernah surut datang dari para ulama-santri dan justru lebih strategis dan efektif. Bahkan lebih dari 130 pertempuran dilakukan kalangan pesantren sejak Diponegoro ditangkap. Selain melalui pertempuran, pembinaan kader-kader penerus juga dilakukan. Di akhir abad ke-19 Muncullah Syekh Nawawi Banten yang meneruskan perjuangan Syekh Yusuf al Makassari, Kyai Sholeh Darat yang meneruskan perjuangan ayahnya Kyai Umar Semarang, Syekh Mahfudz at Tirmasy cucu Kyai Abdul Manan yang meneruskan perjuangan Kyai Hasan Besyari, Kyai Abdul Djamil dan Kyai Abbas Buntet yang meneruskan perjuangan Kyai Muta’ad, dan Syekh Hasyim Asy’ari serta Kyai Wahab Hasbullah keturunan Kyai Abdus Salam Jombang, dan masih banyak lagi ulama lainnya.
Ulama-ulama tersebut telah berhasil membangun jaringan ulama nusantara yang menjahit keterikatan hubungan antara guru-murid yang di kemudian hari membangun jam’iyah Nahdlatul Ulama yang memiliki kontribusi penting bagi terbangunnya pergerakan nasional menegakkan bangsa dan Negara Indonesia.
Begitu strategisnya jejaring ulama-santi, sehingga sebelum menemui Marsekal Terauchi ke Dalat, Soekarno telah mengadakan konsultasi dengan beberapa pemuka agama Islam di antaranya Hadlaratussyaikh Hasyim Asy’ari mengenai kemungkinan hari atau tanggal diumumkannya kemerdekaan serta jaminan dari umat Islam jika proklamasi jadi diumumkan. Hadlaratussyaikh Hasyim Asy’ari memberikan jaminan bahwa pihaknya telah menghubungi Angkatan Laut Jepang di Surabaya dan mereka setuju jika Sukarno nantinya yang akan dijadikan sebagai pimpinan negara begitu kemerdekaan diumumkan. Jaminan dari Hadlaratussyaikh Hasyim Asyari merupakan penegasan bahwa Nahdlatul Ulama akan berdiri di belakang proklamasi dan membelanya dari pihak-pihak yang mencoba menggagalkan dan menentangnya.
Pergerakan ulama-santri melawan kolonial yang bermuara pada terbentuknya Laskar Hizbullah. Pada era politik etis kolonial Belanda, kalangan pesantren begitu terpinggirkan, sehingga tidak mendapatkan perhatian dari kebijakan pendidikan, bahkan terkesan dirugikan. Meskipun demikian, karakteristik pendidikan ala pesantren tetap dipertahankan dan menjadi ciri khas kalangan Islam tradisional. Meski tidak mendapatkan perhatian, justru pesantren telah membangun dan menjaga suatu gerakan menjahit bangsa ini melalui jejaring ulama baik lokal maupun internasional.
Berdirinya NU, merupakan hasil dari rangkaian Jejaring Ulama dan Santri tersebut. Tradisi perlawanan terhadap kolonial terus dijaga oleh ulama dan melalui NU serta MIAI (Masyumi) bahkan perjuangan dan pergerakan melawan kolonial tersebut lebih efektif karena mapannya struktur NU dan basis massanya menyebar di pedesaan. Di saat Perang Dunia II meletus, dan Jepang menguasai Hindia Belanda, para ulama terus berijtihad agar kemerdekaan RI segera terwujud. Memanfaaatkan kelemahan Jepang yang terjepit oleh sekutu meski penindasaan Jepang begitu kejam terhadap rakyat, para ulama mencoba membangun persiapan-persiapan menyongsong kemerdekaan. Jepang memahami, kalangan Islam sangat penting dan memiliki posisi strategis, karenanya Jepang berupaya merangkul Islam khsusnya Islam tradisional. Dalam konteks inilah laskar Hizbullah dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan RI dan mempertahankannya.
Saat kemerdekaan RI diproklamirkan, laskar Hizbullah baik secara moral maupun organisasional dalam keadaan utuh dan penuh semangat juang tinggi. Secara organisasional, Hizbullah dalam keadaan solid hingga masa-masa setelah Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan, Laskar Hizbullah menjadi salah satu kesatuan bersenjata yang paling siap dalam menyongsong satu era baru yakni era Revolusi Kemerdekaan. Bahkan, untuk membela tanah air, pada 17 September 1945 Fatwa Jihad telah ditandatangani Hadlaratussyaikh Hasyim Asy’ari yang kemudian dikukuhkan oleh sebuah rapat para kyai pada tanggal 21-22 Oktober 1945 yang dikenal resolusi Jihad.
Resolusi Jihad, Nadi Perlawanan
Resolusi jihad tidak hanya sebagai pengobar semangat ulama-santri, tapi juga bertujuan “mempengaruhi” pemerintah agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan. Banyak terjadi pertempuran-pertempuran yang melibatkan para Kyai dan santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan fisabillah. Di saat tentara negara belum efektif terutama jalur komandonya, laskarnya ulama santri telah sigap menghadapi berbagai ancaman yang akan terjadi. Bahkan konsolidasi dan jalur komando laskar Hizbullah dengan dukungan struktur NU dan Masyumi begitu massif hingga ke pedesaan.Padahal Presiden Sukarno mengeluarkan dan menandatangani maklumat tentang pembentukan tentara nasional yang dinamakan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, dan masih menitikberatkan fungsi keamanan. Karenanya, fungsi pertahanan acapkali dilakukan oleh kesatuan-kesatuan laskar di berbagai daerah. Hizbullah merupakan kesatuan laskar yang cukup solid dan telah memiliki anggota yang cukup banyak. Di bawah bendera Masyumi, semua ormas Islam telah membentuk laskar-laskar Hizbullah di daerahnya masing-masing.
Pada saat terbentuknya TKR pada 5 Oktober 1945, pemerintah dan Hizbullah bersepakat untuk menempatkan diri sebagai bagian dari organisasi tentara nasional yang baru dibentuk. Garis pimpinan Hizbullah meliputi pimpinan tingkat pusat hingga mencapai ke satuan-satuan lokal juga mengikuti TKR. Sepanjang Oktober 1945 Hizbullah terus melakukan konsolidasi dan rekrutmen di berbagai daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, bahkan Sumatera. Konsolidasi dan pengorganisasian Hizbullah bertitik tolak dari keprihatinan dan kewaspadaan terhadap musuh tiada henti melakukan aksinya dengan tujuan mengagalkan kemerdekaan.
Surabaya menjadi medan pertempuran yang cukup menghentakkan pihak sekutu. Surabaya menjadi Melting Pot Laskar Hizbullah dari berbagai daerah. Dengan berbekal Fatwa Jihad yang diteguhkan Resolusi Jihad, para pejuang pantang mundur menolak kedatangan kolonial. Resolusi Jihad tersebut menyeru seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk membela NKRI.
Pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar ulama santri dari berbagai daerah berada di garda depan pertempuran. Resolusi jihad juga membahana di Semarang dan sekitarnya, bahkan telah mengiringi keberhasilan dalam Perang Sabil Palagan Ambarawa. Para laskar ulama santri juga terus melakukan pertempuran mempertahankan daerahnya masing-masing termasuk di tanah Pasundan juga di luar Jawa.
Meskipun Pertemuan BKR di Yogyakarta untuk memilih seorang panglima TKR baru pada 12 November 1945 namun Resolusi Jihad telah menjadi pegangan seluruh umat Islam di Indonesia untuk merapatkan barisan dan melakukan perlawanan terhadap Sekutu dan Belanda di seluruh wilayah Indonesia.
10 November yang hingga ini dijadikan Hari Pahlawan bukan tanpa alasan.Selain pada hari tersebut pihak Sekutu, pemenang Perang Dunia II yang tidak pernah terkalahkan benar-benar menghadapi lawan yang cukup tangguh meski bersenjata ala kadarnya. 10 November memang tidak membuahkan kemenangan bagi pejuang Indonesia, bahkan Pada 24-25 November 1945 pasukan Sekutu akhirnya menguasai seluruh kota Surabaya atau setelah dua minggu penuh bertempur tanpa henti. Namun, pertempuran terus dilakukan dan menyebar di seluruh pelosok negeri. Pesantren menjadi basis-basis perlawanan yang tidak pernah surut.
Diplomasi yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa telah dimanfaatkan pihak kolonial menyusun kekuatan. Loyalitas ulama-santri diuji, terutama adanya proses-proses politik dalam reorganisasi dan rasionalisasai tentara Negara. Karena yang diusung para ulama adalah politik kebangsaan, maka Laskar Hizbullah tidak mempermasalahkan kebijakan-kebijakan Negara terkait dengan tentara Negara. Bahkan para ulama tetap menjaga semangat juang dengan meneguhkan kembali resolusi jihad II. Meskipun perjanjian Linggarjati dan Renville telah merugikan, namun semangat juang ulama-santri tetap berkobar. Perlawanan tiada henti dilancarkan untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia tetap eksis. Belanda akhirnya melakukan Agresi Militer Belanda dua kali untuk menghancurkan Republik Indonesia.
Meskipun demikian, para pejuang tidak mengenal menyerah. Kegigihan para pejuang menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tetap eksis meskipun ibukota sudah diluluhlantahkan kolonial Belanda. Resolusi Jihad telah menggerakkan seluruh jaringan ulama santri dan seluruh rakyat Indonesia untuk terus melakukan perlawanan terhadap berbagai upaya-upaya Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Para laskar ulama santri, tidak berhenti menjadikan nadi resolusi jihad bagi para pejuang-pejuang bangsa Indonesia untuk menjaga tegaknya negara Indonesia. Dan akhirnya, pertempuran selama empat tahun mendapatkan dukungan dunia internasional hingga diakuinya kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949.
Inilah kekhawatiran Pengeran Hendrik, tidak ada tawar menawar lagi, Belanda pasti kalah. Resolusi Jihad telah membentangkan darah para syuhada sebagai saksi sejarah ditegakkannya NKRI.
Zainul Milal Bizawie, penulis buku “Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949)” dan “Syekh Mutamakkin, Perlawanan Kultural Agama Rakyat”.
Oleh Zainul Milal Bizawie
--Apa yang dikhawatirkan Pangeran Hendrik, seorang Pangeran Muda Belanda berusia 16 tahun ketika mendatangi Pangeran Diponegoro di tempat pengasingannya, kiranya terbukti ketika terjadi revolusi fisik 1945-1949. Meskipun Belanda harus menghadapi Indonesia secara militer dan diplomasi, namun akhirnya kalah.<>
"Kelak para penerus trah Diponegoro, tidak saja akan meneruskan perjuangannya, namun akan tiba satu masa, ketika Belanda hanya akan menghadapi dua pilihan, berhadapan secara hitam putih dengan nusantara. Dan ketika itu buat Belanda hanya dua pilihan. Kalah atau memang. Tidak ada jalan tengah," ujar Pangeran Hendrik.
Jejaring Ulama Santri, Membentuk Laskar
Sejak kolonial bercokol di Nusantara, pusat-pusat kekuasan di kerajaan Mataram dan Banten mulai tergerus oleh perebutan kekuasaan dan campur tangan kolonial. Perpecahan demi perpecahan terus terjadi sehingga memberikan angin segar bagi Kolonial Belanda makin memperkukuh kekuasaannya. Pihak yang selalu konsisten anti kolonial adalah para ulama-santri, sehingga mereka terus menjaga tradisi perlawanan melawan Kolonial.
Tradisi perlawanan tersebut tidaklah didasarkan pada pembelaan terhadap suatu kekuasaan salah satu pihak, tapi karena tindakan kolonial Belanda yang menindas dan mengganggu tegaknya agama Islam. Banyak ulama-santri yang tidak pernah padam melakukan perlawanan terhadap kolonial sehingga meledakkan perang besar sepanjang sejarah, yaitu Perang Jawa Diponegoro. Pasukan Pangeran Diponegoro selain terdapat para bangsawan juga dipenuhi para ulama-santri dari berbagai penjuru Jawa.
Para Ulama santri itulah yang di kemudian hari meneruskan perjuangannya ketika Pangeran Diponegoro ditangkap. Kyai Abdus Salam Jombang, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, Kyai Hasan Basyari Tegalsari Ponorogo dengan muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan adalah diantara sisa-sisa pasukan Diponegoro yang dikemudian hari menjadi pionir-pionir terbentuknya kembali jaringan ulama nusantara baik di lokal maupun internasional.
Setelah Pangeran Diponegoro tertangkap, perlawanan terhadap Belanda yang tidak pernah surut datang dari para ulama-santri dan justru lebih strategis dan efektif. Bahkan lebih dari 130 pertempuran dilakukan kalangan pesantren sejak Diponegoro ditangkap. Selain melalui pertempuran, pembinaan kader-kader penerus juga dilakukan. Di akhir abad ke-19 Muncullah Syekh Nawawi Banten yang meneruskan perjuangan Syekh Yusuf al Makassari, Kyai Sholeh Darat yang meneruskan perjuangan ayahnya Kyai Umar Semarang, Syekh Mahfudz at Tirmasy cucu Kyai Abdul Manan yang meneruskan perjuangan Kyai Hasan Besyari, Kyai Abdul Djamil dan Kyai Abbas Buntet yang meneruskan perjuangan Kyai Muta’ad, dan Syekh Hasyim Asy’ari serta Kyai Wahab Hasbullah keturunan Kyai Abdus Salam Jombang, dan masih banyak lagi ulama lainnya.
Ulama-ulama tersebut telah berhasil membangun jaringan ulama nusantara yang menjahit keterikatan hubungan antara guru-murid yang di kemudian hari membangun jam’iyah Nahdlatul Ulama yang memiliki kontribusi penting bagi terbangunnya pergerakan nasional menegakkan bangsa dan Negara Indonesia.
Begitu strategisnya jejaring ulama-santi, sehingga sebelum menemui Marsekal Terauchi ke Dalat, Soekarno telah mengadakan konsultasi dengan beberapa pemuka agama Islam di antaranya Hadlaratussyaikh Hasyim Asy’ari mengenai kemungkinan hari atau tanggal diumumkannya kemerdekaan serta jaminan dari umat Islam jika proklamasi jadi diumumkan. Hadlaratussyaikh Hasyim Asy’ari memberikan jaminan bahwa pihaknya telah menghubungi Angkatan Laut Jepang di Surabaya dan mereka setuju jika Sukarno nantinya yang akan dijadikan sebagai pimpinan negara begitu kemerdekaan diumumkan. Jaminan dari Hadlaratussyaikh Hasyim Asyari merupakan penegasan bahwa Nahdlatul Ulama akan berdiri di belakang proklamasi dan membelanya dari pihak-pihak yang mencoba menggagalkan dan menentangnya.
Pergerakan ulama-santri melawan kolonial yang bermuara pada terbentuknya Laskar Hizbullah. Pada era politik etis kolonial Belanda, kalangan pesantren begitu terpinggirkan, sehingga tidak mendapatkan perhatian dari kebijakan pendidikan, bahkan terkesan dirugikan. Meskipun demikian, karakteristik pendidikan ala pesantren tetap dipertahankan dan menjadi ciri khas kalangan Islam tradisional. Meski tidak mendapatkan perhatian, justru pesantren telah membangun dan menjaga suatu gerakan menjahit bangsa ini melalui jejaring ulama baik lokal maupun internasional.
Berdirinya NU, merupakan hasil dari rangkaian Jejaring Ulama dan Santri tersebut. Tradisi perlawanan terhadap kolonial terus dijaga oleh ulama dan melalui NU serta MIAI (Masyumi) bahkan perjuangan dan pergerakan melawan kolonial tersebut lebih efektif karena mapannya struktur NU dan basis massanya menyebar di pedesaan. Di saat Perang Dunia II meletus, dan Jepang menguasai Hindia Belanda, para ulama terus berijtihad agar kemerdekaan RI segera terwujud. Memanfaaatkan kelemahan Jepang yang terjepit oleh sekutu meski penindasaan Jepang begitu kejam terhadap rakyat, para ulama mencoba membangun persiapan-persiapan menyongsong kemerdekaan. Jepang memahami, kalangan Islam sangat penting dan memiliki posisi strategis, karenanya Jepang berupaya merangkul Islam khsusnya Islam tradisional. Dalam konteks inilah laskar Hizbullah dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan RI dan mempertahankannya.
Saat kemerdekaan RI diproklamirkan, laskar Hizbullah baik secara moral maupun organisasional dalam keadaan utuh dan penuh semangat juang tinggi. Secara organisasional, Hizbullah dalam keadaan solid hingga masa-masa setelah Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan, Laskar Hizbullah menjadi salah satu kesatuan bersenjata yang paling siap dalam menyongsong satu era baru yakni era Revolusi Kemerdekaan. Bahkan, untuk membela tanah air, pada 17 September 1945 Fatwa Jihad telah ditandatangani Hadlaratussyaikh Hasyim Asy’ari yang kemudian dikukuhkan oleh sebuah rapat para kyai pada tanggal 21-22 Oktober 1945 yang dikenal resolusi Jihad.
Resolusi Jihad, Nadi Perlawanan
Resolusi jihad tidak hanya sebagai pengobar semangat ulama-santri, tapi juga bertujuan “mempengaruhi” pemerintah agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan. Banyak terjadi pertempuran-pertempuran yang melibatkan para Kyai dan santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan fisabillah. Di saat tentara negara belum efektif terutama jalur komandonya, laskarnya ulama santri telah sigap menghadapi berbagai ancaman yang akan terjadi. Bahkan konsolidasi dan jalur komando laskar Hizbullah dengan dukungan struktur NU dan Masyumi begitu massif hingga ke pedesaan.Padahal Presiden Sukarno mengeluarkan dan menandatangani maklumat tentang pembentukan tentara nasional yang dinamakan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, dan masih menitikberatkan fungsi keamanan. Karenanya, fungsi pertahanan acapkali dilakukan oleh kesatuan-kesatuan laskar di berbagai daerah. Hizbullah merupakan kesatuan laskar yang cukup solid dan telah memiliki anggota yang cukup banyak. Di bawah bendera Masyumi, semua ormas Islam telah membentuk laskar-laskar Hizbullah di daerahnya masing-masing.
Pada saat terbentuknya TKR pada 5 Oktober 1945, pemerintah dan Hizbullah bersepakat untuk menempatkan diri sebagai bagian dari organisasi tentara nasional yang baru dibentuk. Garis pimpinan Hizbullah meliputi pimpinan tingkat pusat hingga mencapai ke satuan-satuan lokal juga mengikuti TKR. Sepanjang Oktober 1945 Hizbullah terus melakukan konsolidasi dan rekrutmen di berbagai daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, bahkan Sumatera. Konsolidasi dan pengorganisasian Hizbullah bertitik tolak dari keprihatinan dan kewaspadaan terhadap musuh tiada henti melakukan aksinya dengan tujuan mengagalkan kemerdekaan.
Surabaya menjadi medan pertempuran yang cukup menghentakkan pihak sekutu. Surabaya menjadi Melting Pot Laskar Hizbullah dari berbagai daerah. Dengan berbekal Fatwa Jihad yang diteguhkan Resolusi Jihad, para pejuang pantang mundur menolak kedatangan kolonial. Resolusi Jihad tersebut menyeru seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk membela NKRI.
Pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar ulama santri dari berbagai daerah berada di garda depan pertempuran. Resolusi jihad juga membahana di Semarang dan sekitarnya, bahkan telah mengiringi keberhasilan dalam Perang Sabil Palagan Ambarawa. Para laskar ulama santri juga terus melakukan pertempuran mempertahankan daerahnya masing-masing termasuk di tanah Pasundan juga di luar Jawa.
Meskipun Pertemuan BKR di Yogyakarta untuk memilih seorang panglima TKR baru pada 12 November 1945 namun Resolusi Jihad telah menjadi pegangan seluruh umat Islam di Indonesia untuk merapatkan barisan dan melakukan perlawanan terhadap Sekutu dan Belanda di seluruh wilayah Indonesia.
10 November yang hingga ini dijadikan Hari Pahlawan bukan tanpa alasan.Selain pada hari tersebut pihak Sekutu, pemenang Perang Dunia II yang tidak pernah terkalahkan benar-benar menghadapi lawan yang cukup tangguh meski bersenjata ala kadarnya. 10 November memang tidak membuahkan kemenangan bagi pejuang Indonesia, bahkan Pada 24-25 November 1945 pasukan Sekutu akhirnya menguasai seluruh kota Surabaya atau setelah dua minggu penuh bertempur tanpa henti. Namun, pertempuran terus dilakukan dan menyebar di seluruh pelosok negeri. Pesantren menjadi basis-basis perlawanan yang tidak pernah surut.
Diplomasi yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa telah dimanfaatkan pihak kolonial menyusun kekuatan. Loyalitas ulama-santri diuji, terutama adanya proses-proses politik dalam reorganisasi dan rasionalisasai tentara Negara. Karena yang diusung para ulama adalah politik kebangsaan, maka Laskar Hizbullah tidak mempermasalahkan kebijakan-kebijakan Negara terkait dengan tentara Negara. Bahkan para ulama tetap menjaga semangat juang dengan meneguhkan kembali resolusi jihad II. Meskipun perjanjian Linggarjati dan Renville telah merugikan, namun semangat juang ulama-santri tetap berkobar. Perlawanan tiada henti dilancarkan untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia tetap eksis. Belanda akhirnya melakukan Agresi Militer Belanda dua kali untuk menghancurkan Republik Indonesia.
Meskipun demikian, para pejuang tidak mengenal menyerah. Kegigihan para pejuang menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tetap eksis meskipun ibukota sudah diluluhlantahkan kolonial Belanda. Resolusi Jihad telah menggerakkan seluruh jaringan ulama santri dan seluruh rakyat Indonesia untuk terus melakukan perlawanan terhadap berbagai upaya-upaya Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Para laskar ulama santri, tidak berhenti menjadikan nadi resolusi jihad bagi para pejuang-pejuang bangsa Indonesia untuk menjaga tegaknya negara Indonesia. Dan akhirnya, pertempuran selama empat tahun mendapatkan dukungan dunia internasional hingga diakuinya kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949.
Inilah kekhawatiran Pengeran Hendrik, tidak ada tawar menawar lagi, Belanda pasti kalah. Resolusi Jihad telah membentangkan darah para syuhada sebagai saksi sejarah ditegakkannya NKRI.
Zainul Milal Bizawie, penulis buku “Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949)” dan “Syekh Mutamakkin, Perlawanan Kultural Agama Rakyat”.
Pejuang Berpanji Laskar Hizbullah
Dibaca: 11663 | Suara: 0 Favorit: 0 | Komentar: 0
?
16.66%
Social URL: http://tokoh.in/654~qtokoh.in/654
?
Kutip
zoom in
zoom out
font color
bold
Pejuang Berpanji Laskar Hizbullah
Zainul Arifin | Tokohindonesia.com | nu
Ia merupakan tokoh berwawasan kebangsaan. Berbendera organisasi laskar Hizbullah yang berazaskan keagamaan, ia bersama tentara resmi berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Zainul Arifin Tambahkan untuk dibandingkan
[Kartu TI :: Zainul Arifin]
[Daftar Biografi Zainul Arifin]
Ketua DPR Gotong Royong
Lihat Curriculum Vitae (CV) Zainul Arifin
QR Code Halaman Biografi Zainul Arifin
Bio Lain
Click to view full article
Syamsiar Seman
Click to view full article
Surisman Marah
Click to view full article
Djaduk Ferianto
Click to view full article
Tan Malaka
Click to view full article
Danto Pramonosidi
Click to view full article
Abdullah Harahap
Click to view full article
Erwin Parengkuan
BERITA TERBARU
Seperti Kampung Narkoba Lainnya, Polisi Bangun Posko di Pantai Burung
16 Jul 2016
Tamu Hotel Dewarna Tewas Tanpa Busana
20 Mar 2016
Pesta Kembang Api Dilarang di Medan
31 Dec 2015
Polisi Tangkap Penembak Tiga Wartawan
2 Dec 2015
Tiga Wartawan di Medan Ditembak saat Meliput
29 Nov 2015
Index
KH. Zainul Arifin, seorang Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan kemerdekaan yang mengawali perjuangan pergerakan nasional di bawah naungan organisasi Pendiri Nahdlatul Ulama 1926
Nahdlatul Ulama (NU).
Pada zaman Jepang, pergerakan Zainul Arifin dengan nama organisasi Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), yang kelak kemudian berganti nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Di bidang kemiliteran, Zainul pernah menjabat Panglima Hizbullah (Tentara Allah) untuk seluruh Indonesia dan Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI. Setelah kemerdekaan, ia berturut-turut menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), Wakil II Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri, Wakil Ketua DPR , dan Ketua DPRGR.
Gemeente Batavia atau Kotapraja Jakarta, itulah pekerjaan Zainul Arifin pada masa pendudukan Belanda. Dengan demikian, beliau adalah seorang pegawai negeri yang mendapat upah atau gaji dari pemerintah kolonial Belanda. Bekerja seperti itu memang sudah lajim pada zaman itu. Namun bedanya, walaupun bekerja pada pemerintah Belanda, pria kelahiran Barus, Tapanuli, tahun 1909, ini aktif dalam pergerakan nasional. Beliau masuk organisasi Pendiri Nahdlatul Ulama 1926
Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keislaman yang waktu itu juga sekaligus menjadi partai.
Dalam perjalanan sejarah, pemerintah pendudukan Belanda akhirnya harus keluar dari bumi Indonesia akibat kalah perang dari Jepang pada Perang Dunia Kedua. Pemerintahan Belanda di Indonesia kemudian digantikan Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang ini menerapkan kebijakan baru mengenai partai-partai. Semua partai yang ada dilarang berdiri, tak terkecuali Partai NU. Tapi kemudian mengizinkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai satu-satunya wadah bagi umat Islam. Zainul Arifin yang memperoleh pendidikan Sekolah Dasar dan pesantren, kemudian memasuki organisasi tersebut yang kemudian terpilih sebagai Kepala Bagian Umum.
Di bidang kemiliteran, Zainul Arifin boleh dikata merupakan salah seorang tokoh yang sukses. Sebelum masuk ke dunia militer, beliau terlebih dulu latihan militer selama dua bulan. Selepas menjalani latihan, beliau masuk Hizbullah, sebuah organisasi semi militer yang anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda Islam. Organisasi ini merupakan salah satu laskar di antara sekian banyak laskar bersenjata di Indonesia yang melakukan perjuangan di samping tentara resmi.
Di laskar Hizbullah ini, Zainul Arifin kemudian terpilih menjadi Panglima Hizbullah seluruh Indonesia. Di bawah organisasi tersebutlah ia melakukan perjuangan. Hingga era revolusi kemerdekaan, mereka berjuang bersama tentara resmi untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dalam rangka penyatuan satu wadah tentara sebagai kekuatan pertahanan nasional, maka semua laskar yang ada dilebur atau disatukan ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Begitu pula halnya dengan Hizbullah, kemudian melebur menjadi TNI. Zaenul Arifin yang hingga akhir keberadaan Hizbullah duduk dalam pucuk pimpinan, kemudian diangkat sebagai Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI hasil penggabungan.
Sementara di pemerintahan, KH Zaenul Arifin lebih banyak duduk di lembaga legislatif. Awal kemerdekaan, beliau duduk sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Kemudian sesudah pengakuan kedaulatan, tepatnya sejak tahun 1950 sampai tahun 1953, duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Di lembaga eksekutif, beliau memang sempat duduk sebagai Wakil II Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo. Namun pada Pemilihan Umum tahun 1955, beliau kembali duduk di lembaga legislatif sebagai anggota DPR, dan bahkan kemudian terpilih sebagai Wakil Ketua DPR.
Satu hal bersejarah terjadi pada periode ini. Pada periode ini, pertentangan politik di tanah air khususnya di lembaga legislatif sangat tajam. Negara Republik Indonesia ketika itu tidak lagi memakai UUD 45 sebagai dasar konstitusional negara, tapi telah memakai Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) sebelum dibuat UUD yang baru. Dan menjadi tugas DPR-lah menyusun undang-undang dasar baru tersebut. Namun, dengan proses yang sangat panjang dan melelahkan, Konstituante tidak berhasil membuat undang-undang dasar baru tersebut. Bahkan, pertentangan di tubuh lembaga legislatif itu semakin besar dan tajam. Melihat keadaan demikian, Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Presiden Soekarno akhirnya mengeluarkan dekrit yang menyatakan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
Masih berkaitan dengan kebuntuan yang terjadi di lembaga legislatif tersebut, akhirnya lembaga legislatif itupun dibubarkan dan selanjutnya dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). KH Zainul Arifin yang sejak awal diangkat menjadi Pejabat Ketua, kemudian dikukuhkan sebagai Ketua DPRGR.
Begitulah perjalanan hidup dan perjuangan salah seorang putra terbaik bangsa, KH Zainul Arifin. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap mengabdi kepada nusa dan bangsa. Beliau meninggal dunia di usia 54 tahun, tepatnya pada 2 Maret 1963 di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Kalibata, Jakarta.
Mengingat jasa-jasanya pada nusa dan bangsa, maka negara menganugerahkan gelar penghormatan kepada KH Zainul Arifin sebagai Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar penghormatan tersebut dikukuhkan dengan SK Presiden Republik Indonesia No.35 Tahun 1963, tanggal 4 Maret 1963. e-ti | tl
© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/654-pejuang-berpanji-laskar-hizbullah
Copyright © tokohindonesia.com
Dibaca: 11663 | Suara: 0 Favorit: 0 | Komentar: 0
?
16.66%
Social URL: http://tokoh.in/654~qtokoh.in/654
?
Kutip
zoom in
zoom out
font color
bold
Pejuang Berpanji Laskar Hizbullah
Zainul Arifin | Tokohindonesia.com | nu
Ia merupakan tokoh berwawasan kebangsaan. Berbendera organisasi laskar Hizbullah yang berazaskan keagamaan, ia bersama tentara resmi berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Zainul Arifin Tambahkan untuk dibandingkan
[Kartu TI :: Zainul Arifin]
[Daftar Biografi Zainul Arifin]
Ketua DPR Gotong Royong
Lihat Curriculum Vitae (CV) Zainul Arifin
QR Code Halaman Biografi Zainul Arifin
Bio Lain
Click to view full article
Syamsiar Seman
Click to view full article
Surisman Marah
Click to view full article
Djaduk Ferianto
Click to view full article
Tan Malaka
Click to view full article
Danto Pramonosidi
Click to view full article
Abdullah Harahap
Click to view full article
Erwin Parengkuan
BERITA TERBARU
Seperti Kampung Narkoba Lainnya, Polisi Bangun Posko di Pantai Burung
16 Jul 2016
Tamu Hotel Dewarna Tewas Tanpa Busana
20 Mar 2016
Pesta Kembang Api Dilarang di Medan
31 Dec 2015
Polisi Tangkap Penembak Tiga Wartawan
2 Dec 2015
Tiga Wartawan di Medan Ditembak saat Meliput
29 Nov 2015
Index
KH. Zainul Arifin, seorang Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan kemerdekaan yang mengawali perjuangan pergerakan nasional di bawah naungan organisasi Pendiri Nahdlatul Ulama 1926
Nahdlatul Ulama (NU).
Pada zaman Jepang, pergerakan Zainul Arifin dengan nama organisasi Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), yang kelak kemudian berganti nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Di bidang kemiliteran, Zainul pernah menjabat Panglima Hizbullah (Tentara Allah) untuk seluruh Indonesia dan Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI. Setelah kemerdekaan, ia berturut-turut menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), Wakil II Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri, Wakil Ketua DPR , dan Ketua DPRGR.
Gemeente Batavia atau Kotapraja Jakarta, itulah pekerjaan Zainul Arifin pada masa pendudukan Belanda. Dengan demikian, beliau adalah seorang pegawai negeri yang mendapat upah atau gaji dari pemerintah kolonial Belanda. Bekerja seperti itu memang sudah lajim pada zaman itu. Namun bedanya, walaupun bekerja pada pemerintah Belanda, pria kelahiran Barus, Tapanuli, tahun 1909, ini aktif dalam pergerakan nasional. Beliau masuk organisasi Pendiri Nahdlatul Ulama 1926
Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keislaman yang waktu itu juga sekaligus menjadi partai.
Dalam perjalanan sejarah, pemerintah pendudukan Belanda akhirnya harus keluar dari bumi Indonesia akibat kalah perang dari Jepang pada Perang Dunia Kedua. Pemerintahan Belanda di Indonesia kemudian digantikan Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang ini menerapkan kebijakan baru mengenai partai-partai. Semua partai yang ada dilarang berdiri, tak terkecuali Partai NU. Tapi kemudian mengizinkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai satu-satunya wadah bagi umat Islam. Zainul Arifin yang memperoleh pendidikan Sekolah Dasar dan pesantren, kemudian memasuki organisasi tersebut yang kemudian terpilih sebagai Kepala Bagian Umum.
Di bidang kemiliteran, Zainul Arifin boleh dikata merupakan salah seorang tokoh yang sukses. Sebelum masuk ke dunia militer, beliau terlebih dulu latihan militer selama dua bulan. Selepas menjalani latihan, beliau masuk Hizbullah, sebuah organisasi semi militer yang anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda Islam. Organisasi ini merupakan salah satu laskar di antara sekian banyak laskar bersenjata di Indonesia yang melakukan perjuangan di samping tentara resmi.
Di laskar Hizbullah ini, Zainul Arifin kemudian terpilih menjadi Panglima Hizbullah seluruh Indonesia. Di bawah organisasi tersebutlah ia melakukan perjuangan. Hingga era revolusi kemerdekaan, mereka berjuang bersama tentara resmi untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dalam rangka penyatuan satu wadah tentara sebagai kekuatan pertahanan nasional, maka semua laskar yang ada dilebur atau disatukan ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Begitu pula halnya dengan Hizbullah, kemudian melebur menjadi TNI. Zaenul Arifin yang hingga akhir keberadaan Hizbullah duduk dalam pucuk pimpinan, kemudian diangkat sebagai Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI hasil penggabungan.
Sementara di pemerintahan, KH Zaenul Arifin lebih banyak duduk di lembaga legislatif. Awal kemerdekaan, beliau duduk sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Kemudian sesudah pengakuan kedaulatan, tepatnya sejak tahun 1950 sampai tahun 1953, duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Di lembaga eksekutif, beliau memang sempat duduk sebagai Wakil II Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo. Namun pada Pemilihan Umum tahun 1955, beliau kembali duduk di lembaga legislatif sebagai anggota DPR, dan bahkan kemudian terpilih sebagai Wakil Ketua DPR.
Satu hal bersejarah terjadi pada periode ini. Pada periode ini, pertentangan politik di tanah air khususnya di lembaga legislatif sangat tajam. Negara Republik Indonesia ketika itu tidak lagi memakai UUD 45 sebagai dasar konstitusional negara, tapi telah memakai Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) sebelum dibuat UUD yang baru. Dan menjadi tugas DPR-lah menyusun undang-undang dasar baru tersebut. Namun, dengan proses yang sangat panjang dan melelahkan, Konstituante tidak berhasil membuat undang-undang dasar baru tersebut. Bahkan, pertentangan di tubuh lembaga legislatif itu semakin besar dan tajam. Melihat keadaan demikian, Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Presiden Soekarno akhirnya mengeluarkan dekrit yang menyatakan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
Masih berkaitan dengan kebuntuan yang terjadi di lembaga legislatif tersebut, akhirnya lembaga legislatif itupun dibubarkan dan selanjutnya dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). KH Zainul Arifin yang sejak awal diangkat menjadi Pejabat Ketua, kemudian dikukuhkan sebagai Ketua DPRGR.
Begitulah perjalanan hidup dan perjuangan salah seorang putra terbaik bangsa, KH Zainul Arifin. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap mengabdi kepada nusa dan bangsa. Beliau meninggal dunia di usia 54 tahun, tepatnya pada 2 Maret 1963 di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Kalibata, Jakarta.
Mengingat jasa-jasanya pada nusa dan bangsa, maka negara menganugerahkan gelar penghormatan kepada KH Zainul Arifin sebagai Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar penghormatan tersebut dikukuhkan dengan SK Presiden Republik Indonesia No.35 Tahun 1963, tanggal 4 Maret 1963. e-ti | tl
© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/654-pejuang-berpanji-laskar-hizbullah
Copyright © tokohindonesia.com
Rabu, 21 Maret 2012
LASKAR HIZBULLAH ANTARA JIHAD DAN NASIONALISME MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-1949.
http://cubinet-edukasia.blogspot.co.id/2012/03/laskar-hizbullah-antara-jihad-dan.html
A. LATAR BELAKANG SOSIAL POLITIK
A.1. Keadaan lingkungan Daerah Ciranjang
A.1.1. Lingkungan fisik
Kecamatan Ciranjang merupakan salah satu kecamatan
yang merupakan bagian dari kabupaten Cianjur yang terletak di kawasan Jawa
Barat bagian Tengah. Daerah itu dibatasi sebelah Barat Kecamatan Sukaluyu;
sebelah Utara Kecamatan Mande; sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Bojongpicung;
sebelah selatan dibatasi oleh kecamatan Bojong Picung.
Menurut ketinggian dari permukaan laut, daerah
Ciranjang sebagian besar terdiri dari bukit-bukit dan persawahan. Sawah-sawah
di dataran rendah Ciranjang sangat subur sehingga di kawasan ini terdapat
konsentrasi penduduk yang sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan di
sepanjang Ciranjang terdapat deretan-deretan desa yang panjang dan tidak
putus-putusnya.
A.2. Pelapisan Masyarakat
A.2.1. Elite formal
Soejono Soekanto, 1983 menjelaskan bahwa pelapisan
masyarakat adalah sistem hierarki kelompok di dalam suatu masyarakat. Hal
senada dikemukakan pula oleh Pitirim A. Sorokin (dalam Soejono Soekanto, 1982)
bahwa pelapisan masyarakat adalah pembedaan penduduk atau masyarakat dalam
kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Terlebih lagi Max Weber berpendapat
tentang adanya dimensi-dimensi pelapisan masyarakat, yakni dimensi ekonomis,
social, dan politis.
Dalam setiap tertib warga masyarakat terbagi dalam
kelas-kelas (ekonomis), kelompok status (sosial), dan partai-partai politik
(politik). Hubungan ketiganya bersifat timbal balik. (Soejono Soekanto, 1984).
Dalam kaitan dengan penelaahan kondisi sosial
ekonomi, kita harus menyelidiki sistem status dalam masyarakat Ciranjang. Kita
harus mengetahui bagaimana sistem pelapisan masyarakat di Ciranjang pada masa
tradisional dan perubahan-perubahannya di masa revolusi fisik.
Selain itu, juga harus mengidentifikasi kelas sosial
atau golongan status yang dicap sebagai “Laskar”. Juga harus mengetahui apakah
ada mobilitas sosial, dan apabila ada sejauh manakah hal itu membantu ke arah
terjadinya perlawanan Laskar Hizbullah kepada sekutu yang diboncengi oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Mengingat corak perlawanan Laskar Hizbullah di
dalamnya masih terdapat unsur-unsur bapakisme yang terbilang cukup besar pada
masa perang kemerdekaan, maka sebaiknya lebih mengarahkan perhatian pada
kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat. Yang penulis maksud adalah
sistem pelapisan masyarakat yang membagi masyarakat menjadi dua strata umum,
sebagaimana yang diaungkapkan oleh Pareto, (Sartono Kartodirjo, 1984) yakni:
1.
lapisan yang lebih rendah, yang bukan elite, atau rakyat
biasa
2.
lapisan yang lebih tinggi yang disebut elite
Golongan elite yang dimaksud di sini adalah golongan
yang terkemuka dalam suatu masyarakat. Atau dapat juga disebut bahwa golongan
elite merupakan suatu kelompok atau golongan yang mempunyai peran penting atau
berkuasa dalam suatu masyarakat. Golongan elite sebagai minoritas namun menguasai
rakyat biasa (nonelite) yang mayoritas. Sehingga pendapat-pendapat, keputusan-keputusan,
dan tindakan-tindakan kelompok elite mempunyai akibat penting dalam menentukan
kehidupan warga suatu masyarakat.
Elite formal adalah golongan yang diangkat oleh pemerintah
Republik Indonesia (RI) secara resmi untuk memangku jabatan dalam struktur
organisasi pemerintahan tertentu dengan segala hak dan kewajiban yang telah
ditetapkan.
Dengan demikian dapat pula dikatakan kelompok elite
ini memegang kepemimpinan yang legal-rasional (Sartono Kartodirjo, 1982).
Berbeda dari masa kolonial, maka para pemimpin fomal ini pada masa revolusi,
kecuali pamong desa, dijadikan pegawai pemerintah dengan diberikan gaji. Hal
inilah yang menjadikan para elite formal jauh dari masyarakat (nonelite).
Padahal kita ketahui situasi perang kemerdekaan
tidak banyak memaksa nonelite untuk berhubungan dengan kelompok elite formal,
tetapi mereka lebih banyak berhubungan dengan elite nonformal yang memang
sangat dibutuhkan dalam situasi semacam itu, yaitu dapat memberikan
perlindungan secara praktis dan langsung bila dibandingkan dengan elite formal
yang lebih banyak bicara soal politik, perundingan, dan keterikatan dengan
hal-hal formal lainnya. Termasuk perlawanan Laskar Hizbullah Ciranjang dikomandani
oleh tokoh yang berasal dari elite nonformal. Selain diakibatkan para pemimpin
formal sebelum kemerdekaan merupakan kepanjangan tangan dari penjajah. Secara
umum yang termasuk ke dalam elite formal pada masa revolusi fisik di Ciranjang
adalah para birokrat dan golongan tentara pemerintah yang sekarang lazim
disebut Tentara Nasional Indonesia (TNI). Walaupun semua itu tidak dapat digeneralkan.
A.2.1. Elite Non formal
Yang dimaksud elite nonformal adalah golongan elite
yang keberadaannya bukan karena mendapat pengangkatan dan restu secara formal
dari pemerintah RI, melainkan karena memiliki kualitas yang unggul dalam
pandangan masyarakat. Baik ditokohkan karena pemahaman akan agama, status
sosial, dan ekonominya.
Golongan ini dapat memiliki pengaruh yang besar
terhadap kondisi psikis dan prilaku kelompok masyarakat. Kedudukan elite
nonformal cukup penting terutama dalam kehidupan masyarakat desa. Bahkan
kadang-kadang pengaruhnya lebih kuat bila dibandingkan dengan elite formal.
Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang dapat
diakui sebagai elite nonformal antara lain keturunan, kekayaan, pendidikan,
pengalaman, keberanian, karisma (Sartono Kartodirjo, 1982). Yang dapat
dikatagorikan sebagai elite nonformal di Ciranjang semasa revolusi fisik
adalah:
a)
Para kiai dan haji di Ciranjang biasanya mempunyai pondok
pesantren, tanah yang luas, dan usaha yang maju.
b)
Pimpinan laskar/badan perjuangan di luar TNI;
c)
Golongan bangsawan/raden yang merupakan keturunan dari
kerajaan-kerajaan yang berada di priangan. Dilain sisi mereka dapat masuk ke
dalam lapisan elit formal dan juga elit nonformal.
Pembahasan mengenai munculnya organisasi militer
baik yang didirikan oleh pemerintah atau TNI maupun laskar-laskar atau
badan-badan perjuangan dari kelompok ataupun organisasi tertentu di masa
revolusi sangat menarik perhatian. Dapat dikatakan masa revolusi fisik di
Ciranjang merupakan booming-period
baik bagi munculnya organisasi-organisasi bersenjata, yang satu diantaranya
adalah Laskar Hizbullah.
Laskar Hizbullah merupakan alat perlawanan dari
golongan elite agama Islam nonformal, yang lahir dari rahim tubuh kaum sarekat
Islam Ciranjang.
A.4. Keresahan sosial
Berita telah diproklamasikannya Kemerdekaan
Indonesia itu tidak serta merta diterima oleh masyarakat Ciranjang pada hari Jum’at
17 Agustus 1945, walaupun pada waktu itu telah disebarluaskan dengan
menggunakan media komunikasi massa yang telah ada pada waktu itu, tetapi media
komunikasi massa pada waktu itu masih sederhana dan terbatas, di samping itu
juga karena adanya sensor Jepang yang sangat ketat. Demikian juga yang terjadi
di Ciranjang, adanya kepastian bahwa Kemerdekaan Indonesia telah di
proklamasikan diterima pada keesokan harinya, yaitu hari Sabtu tanggal 18
Agustus 1945.
Dengan adanya berita itu, bergembiralah masyarakat
Ciranjang terutama kaum pergerakan Nasional Sarekat Islam (SI) Ciranjang, maka
pimpinan-pimpinan Sarekat Islam Ciranjang terus mengadakan rapat-rapat non stop
di rumah Haji Maksudi/Ibu Syarifah di Curug, sekarang Jl. Raya Bandung No. 80
atau di rumah Mohammad Ali di komplek BPPI.
Kemudian mereka juga terus mengadakan
pertemuan-pertemuan dengan pemerintah Kawedanaan Ciranjang, pertemuan itu
dimaksudkan untuk segera mengambil sikap menyambut Proklamasi Kemerdekaan, dan
mengumumkannya kepada rakyat, sebab rakyatpun sudah banyak yang tahu dari
mulut-kemulut, terutama para pemudanya yang sudah mulai berkelompok dengan
menyandang golok dan bambu runcing, yang pada waktu itu sudah dikoordinasikan
oleh Mohammad Ali. Dimana Mohammad Ali waktu itu secara informal masih menjabat
Chudanco Keisyat (Komandan Kompi) Suishintai Kewadanaan Ciranjang.
Pembahasan tentang keresahan sosial di sini tidak
lebih dimaksudkan untuk menghubungkannya sebagai penyebab langsung perlawanan Laskar
Hizbullah terhadap penjajah. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama,
dalam perjalanan sejarah Ciranjang baik pada masa penjajahan maupun setelah
kemerdekaan banyak diwarnai keresahan sosial yang termanifestasikan menjadi
berbagai aksi.
Salah satu bentuk keresahan sosial yang terjadi di
kewadanaan Ciranjang, adalah aksi massa dalam melucuti kekuatan tentara Jepang,
menurunkan para pangreh praja yang selama penjajahan terjadi, menjadi
kepanjangan tangan mereka, menduduki tempat-tempat yang menjadi sarana vital
penjajah, dan mengambil alih perekonomian dari monopoli pihak Tionghoa.
Sampai dengan awal September, kekuasaan sipil masih
penuh di tangan Jepang, walaupun sudah tampak gejala-gejala pembangkangan di
kalangan pegawai-pegawai Indonesia yang bekerja di kantor-kantor Jepang.
Penduduk umumnya sudah berani dengan terang-terangan menentang penguasa Jepang,
dengan menurunkan bendera Hinomaru untuk digantikan dengan Merah-Putih di
mana-mana, serta memekikkan kata “Merdeka” tanpa merasa takut.
Keresahan sosial yang dimaksud di sini, jangan diartikan
dengan mobilisasi massa yang banyak dan selalu disertai dengan tindakkan
anarkis. Tetapi lebih diartikan sebagai akumulasi dari tekanan yang dialami
oleh masyarakat Kecamatan Ciranjang secara khusus dan bangsa Indonesia secara
umum. Sebagai akibat dari penjajahan bangsa asing, dalam hal ini Belanda dan
Jepang yang berlangsung dalam waktu yang relatif lama.
B. LATAR BELAKANG KEAGAMAAN
Pada bagian ini akan diketengahkan latar belakang
keagamaan perlawanan Laskar Hizbullah di Ciranjang. Berhubungan dengan hal itu,
pertama-tama harus diakui perlawanan dari Laskar Hizbullah dapat dikatagorikan
sebagai perlawanan yang dodorong oleh faktor keagamaan. Meskipun demikian,
kurang tepat jika perlawanan Laskar Hizbullah dibicarakan semata-mata sebagai
gerakan agama, Islam, karena aspek-aspek atau kondisi-kondisi lain pun penting.
Walaupun demikian, pembicaraan khusus mengenai
kondisi-kondisi lain yang turut menimbulkan perlawanan itu, bukanlah
dimaksudkan untuk mengemukakan bahwa Islam tidak memainkan peran penting sebagai
tenaga penggerak bagi Laskar Hizbullah. Semangat-semangat yang berbau Islam
jelas mewarnai perlawanan Laskar Hizbullah Batalyon III, Resimen IV, Divisi I
Jakarta terhadap sekutu yang diboncengi NICA. Karena itu, latar belakang
keagamaan Laskar Hizbullah sangat penting untuk dibahas.
B.1. Kondisi
Keagamaan di Ciranjang
Meskipun
tidak ada data yang detail mengenai jumlah penganut berbagai macam agama secara
terperinci di Ciranjang, terdapat sumber yang menyatakan sebagian besar
penduduk di Kecamatan Ciranjang adalah penganut agama Islam yang cukup kuat,
hanya terdapat komunitas kecil kristen
yang terkonsentrasikan di desa Sindang Jaya atau lebih dikenal dengan sebutan
Palalangon.
Kentalnya masyarakat Kawedanaan / Kecamatan
Ciranjang terhadap agama Islam, dapat dilihat dari banyaknya
pesantren-pesantren tradisional yang tersebar hampir di setiap desa. Terlebih
lagi dapat dilihat pula dari banyaknya masyarakat Ciranjang yang masuk secara
organisasi ke dalam Sarekat Islam (SI). Dimana kegiatan-kegiatan keagamaan di
Ciranjang hampir sebagian besar dilaksanakan oleh Sarekat Islam Ciranjang.
B.2. Peranan
Elite Agama Islam
Elite
agama atau tokoh agama Islam di Ciranjang memiliki andil yang cukup besar dalam
membangkitkan semangat perjuangan sebagian besar masyarakatnya. Terlebih
masyarakat yang memiliki cita-cita untuk memperjuangkan Islam sebagai aturan
hidup dalam setiap aspek kehidupan. Peranan dari elit agama Islam ini,
dimanifestasikan dan dilembagakan dalam bentuk partai. Sarekat Islam (SI), yang
lebih dikenal sebagai kaum pergerakan nasional Islam pertama di Indonesia,
umumnya di kecamatan Ciranjang.
Peranan dari para elit agama Islam ini, dikemas
dalam berbagai bentuk kegiatan yang diselenggarakan oleh Sarekat Islam. Salah
satu diantaranya adalah dengan mengadakan pendidikan kilat bagi para pemuda
Islam Ciranjang. Pendidikan kilat tersebut memiliki tujuan untuk menumbuhkan
semangat pemuda dalam memperjuangkan kebebasan bangsanya dari cengkeraman
tangan penjajah. Hal ini sesuai dengan tujuan dari didirikannya partai Sarekat Islam.
Yakni, membebaskan bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan asing dan
menegakan syariat Islam.
Lebih jauh lagi, peranan dari elit agama Islam di
ciranjang yang salah satu bentuk kegiatannya, latihan kilat. Memiliki tujuan
untuk mendidik kader-kader yang memiliki semangat kebangsaan, nasionalisme, dan
militan. Yang dimana mereka akan menggerakan rakyat di desanya masing-masing.
Latihan kilat yang terselenggara atas kerjasama antara komite nasional
Indonesia (KNI) dengan partai sarekat Islam kecamatan Ciranjang.
Tokoh-tokoh agama Islam tersebut antara lain,
Mohammad Basyir, Mohammad Ali, Haji Djaenoedin, Dam Rosyadi, Abdullah Zahid, dan
Roekma. (Tahkimula B. Arifin, 1998).
Selain yang telah diuraikan diatas, elit agama Islam
pun memiliki peranan lainnya, yang inti dari peranan mereka tersebut adalah
memobilisasi masyarakat untuk dapat bangkit dan berjuang melawan para penjajah,
serta mengisi kemerdekaan Indonesia.
B.3. Gerakan
Jihad
Jihad atau holy
war adalah perang membela agama Islam yang merupakan kewajiban setiap
Muslim. Mereka yang gugur dalam rangka jihad di jalan Allah (jihad
fiesabilillah) dikatakan sebagai mati syahid dan akan masuk surga.
Perlawanan Laskar Hizbullah terhadap sekutu yang
diboncengi NICA berkaitan erat dengan kesadaran yang kuat dikalangan para
laskarnya bahwa mereka harus benar-benar melenyapkan campur tangan orang-orang
kafir dari negara Indonesia, baik orang-orang Belanda, pengkhianat yang atheis
komunis, para antek-antek Belanda maupun orang-orang yang bekerja sama atau
membantu mereka. Hal senada dikuatkan dengan pernyataan salah seorang mantan Laskar
Hizbullah.
Melihat tujuan Laskar Hizbullah yang tertulis dalam
banyak sumber memang dapat difahami dengan jelas, yakni bertujuan untuk
mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dari upaya Belanda yang ingin
kembali menancapkan kekuasaannya di Indonesia, yang dimotivasi oleh dorongan
keyakinan akan agama Islam. Sebagaimana diungkapkan oleh Pak Omek, sebagai
berikut: (Wawancara dengan Pak Omek, 2006)
Kami dulu
para Laskar Hizbullah berjuang hanya semata-mata bertujuan untuk membebaskan
bangsa ini dari penjajahan. Meskipun kami tidak memiliki persenjataan yang
seimbang dengan pihak Tentara Sekutu yang diboncengi oleh NICA (Belanda).
Semangat yang sangat kuat dalam mendorong Laskar Hizbullah Batalyon III,
Resimen IV, Divisi I Jakarta. Dan termasuk bapak (Pak Omek) dikarenakan seruan
Jihad yang diajarkan oleh Islam, dengan konsekwensi mempertahankan kemerdekaan
atau syahid.
Namun yang jelas bahwa semangat untuk memperjuangkan
agar aturan-aturan Islam berjalan dalam masyarakat atau minimal hukum yang
berlaku dalam masyarakat tidak bertentangan dengan Islam, selalu ada dalam jiwa
para anggota Laskar Hizbullah Ciranjang. Keinginan tersebut salah satu faktor
pendorongnya, dikarenakan Laskar Hizbullah lahir dan didirikan oleh para tokoh
pejuang Sarekat Islam (SI) yang memiliki keinginan untuk memperjuangkan
tegaknya syariat Islam di Indonesia.
Mereka yang dianggap merusak tatanan masyarakat yang
telah dibangun, terlebih merusak hukum-hukum Islam, bukan hanya musuh-musuh Laskar
Hizbullah tetapi juga musuh Allah. Mereka dianggap sebagai “orang yang tidak
percaya” atau kafir.
Oleh sebab itu, bekerja sama dengan mereka merupakan
sesuatu yang haram, karena mereka selamanya adalah penipu. Oleh karena
orang-orang semacam itu dianggap musuh Allah maka usaha menaklukan atau kalau
perlu membasmi mereka dengan senjata merupakan kewajiban suci sebagai Perang
Sabil atau Jihad.
Dalam hal ini sangatlah mudah dipahami mengapa Laskar
Hizbullah tidak pernah menerima dan melaksanakan, serta mengakui hasil-hasil
perundingan dengan Belanda selama perang kemerdekaan mulai perundingan
Linggarjati, Renville, Roem Royen, Konfrensi Meja Bundar (KMB) dan pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS). Menurutnya hasil-hasil perundingan itu bukan saja
merugikan Indonesia, tetapi juga “orang kafir” itu masih turut campur tangan
dalam pemerintahan di Indonesia dan berarti memerintahnya.
Dan karena itu jihadlah jalan yang paling baik dan
benar. Laskar Hizbullah tidak takut kalah meskipun ia menyadari bahwa laskarnya jauh dari cukup untuk melawan
Belanda (wawancara dengan Tahkimul B Arifin, 2006). Dalam hal ini para pemimpin
Laskar Hizbullah tidak pernah bosan-bosannya berusaha menanamkan kecurigaan
terhadap Belanda yang menurutnya merupakan sarang orang-orang kafir tersebut
menjadi musuh bebuyutannya. Dengan demikian perlawanan Laskar Hizbullah telah
dijiwai semangat fanatisme jihad yang tidak mengenal takut.
Suatu contoh yang patut dikemukakan di sini adalah
cara-cara bagaimana Laskar Hizbullah bertempur melawan Belanda. Seperti
pertempuran di Jembatan Cisokan, Pongpok Landak, Pertempuran Curug dan lain
sebagainya. Mengenai pertempuran-pertepuran akan dibahas lebih jauh pada
bahasan selanjutnya.
Meskipun mendapat gempuran dari tentara Belanda yang
bagaimanapun hebatnya, mereka tidak akan mundur sebab mereka telah meyakini
perjuangan yang dilakukannya sebagai Jihad; hidup mulia atau mati syahid
sebagai mottonya dan atau mundur dalam rangka menyusun syiasat.
C. LATAR BELAKANG SOSIAL POLITIK
C.1. Keadaan sosial politik Indonesia 1945-1949
Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia tanggal 17
Agustus 1945 ternyata mempunyai konsekuensi yang besar. Di samping harus
berjuang keras mengatur jalannya pemeintah yang meliputi daerah yang luas juga
ia harus mempertahankan kemerdekaan dari kekuatan asing yang ingin menancapkan
kekuasaannya lagi di Indonesia, terutama sekutu dan Netherland Indies Civil
Administration (NICA). Selain itu RI muda harus mampu mengatasi konflik sosial
politik intern di kalangan masyarakat yang cenderung melahirkan situasi anarki
dan antagonis.
Berhubungan dengan masalah itu maka Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera menetapkan UUD 1945, memilih
presiden dan wakilnya serta dibentuknya Komite Nasional Indonesia (KNI) untuk
menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia yang berkedaulatan rakyat.
Dalam kondisi seperti inilah Laskar Hizbullah Ciranjang
lahir, itulah yang membedakan Laskar Hizbullah Ciranjang dengan Laskar
Hizbullah yang didirikan oleh Masyumi, walaupun pada waktu-waktu berikutnya
tetap melebur sebagai bagian integral dari Laskar Hizbullahnya Masyumi. Masa
berikutnya ditandai dengan perjuangan bersenjata untuk mempertahankan
kemerdekaan dari pihak sekutu yang diboncengi NICA, yang keduanya tidak
mengakui eksistensi kemerdekaan RI dan bahkan ingin menjajah lagi. Ketegangan
memuncak tatkala diketahui bahwa NICA mempersenjatai bekas tentara Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang baru
di lepas dari tahanan Jepang kemudian mereka banyak memancing kerusuhan,
sehingga menimbulkan perlawanan di mana-mana, seperti peristiwa pertempuran di
jembatan cisokan dan sebagainya.
C.2. Perkembangan politik di Ciranjang 1945-1949
Berita telah diproklamasikannya Kemerdekaan Republik
Indonesia tidak langsung diterima pada waktu dan hari yang sama di Kecamatan
Ciranjang, meskipun berita mengenai proklamasi disebarluaskan melalui media
komunikasi massa yang telah ada pada waktu itu. Salah satu penyebabnya adalah
adanya sensor dari pihak Jepang yang masih berkuasa di Ciranjang.
Kepastian mengenai berita tentang proklamasi
Kemerdekaan Indonesia sampai ke Ciranjang pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus
1945. sambutan kebahagianpun mulai mengalir dari masyarakat Ciranjang, terutama
dari kaum pergerakan nasional Sarekat Islam (SI) Ciranjang. Sebagai tindak
lanjut dari peristiwa yang menggembirakan tersebut, maka kaum pergerakan
nasional Ciranjang mulai mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membicarakan
sikap terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang telah dikumandangkan.
Pada tanggal 29 Agustus 1945, pemerintah pusat
membentuk komite nasional Indonesia (KNI) dan badan keamanan rakyat (BKR), di
daerah pun termasuk di Ciranjang segera dibentuk pula KNI dan BKR itu sampai ke
desa-desa. Kemudian pada tanggal 2 September 1945, di Jakarta diselenggarakan
rapat pangreh praja (Pegawai Negeri Sipil) se-Jawa yang menyatakan kesetiannya
kepada presiden republik Indonesia, dengan demikian secara otomatis Pegawai
Negeri Sipil (PNS) terpenting, mulai dari tingkat kabupaten sampai tingkat
kecamatan sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil republik Indonesia. Walaupun secara
resminya baru diumumkan pada tanggal 29 September 1945, yaitu dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden Republik Indonesia yang menyatakan seluruh pangreh
praja menjadi Pegawai Sipil Republik Indonesia, sedangkan mereka yang diragukan
loyalitasnya kepada Republik Indonesia harus disingkirkan. (Tahkimula B. Arifien,
1998: 127-128).
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka di Ciranjang
pada awal-awal bulan September 1945, telah terbentuk pemerintahan sipil Republik
Indonesia Kewadanaan/Kecamatan Ciranjang, Komite Nasional Indonesia (KNI), dan
Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan susunan sebagai berikut:
1.
Wedana : Rd. Adikoesoemah
2.
Camat : Rd. Dawan
3.
Ketua KNI : Rd. Sapar Soeparman
4.
Kepala BKR : Rd. Aom Boy adikoesoemah
5.
Kepolisian Negara :
M. Karnadisastra
Setelah komite nasional indonesia (KNI) terbentuk.
Hampir sebagian besar pengurus Sarekat Islam (SI) Ciranjang itu masuk di seksi
penerangan, namun ada tim inti yang terdiri dari:
1.
Mohammad Basyir
2.
Mohammad Ali
3.
Haji Djaenoedin
4.
Dam Rosyadi
Sedang yang lainnya masuk di seksi perlengkapan dan
dapur umum bersama orang-orang Ciranjang lainnya, seperti:
1.
Ajengan Tobri
2.
Ajengan Syaefudin
3.
Haji Madjid
4.
Haji Maksoedi
5.
Ibu Syarifah
6.
Uhin
7.
Engkon
8.
Tohir
9.
Adad
10.
Ocid
11.
B. Wirasasmita
12.
Acen
13.
Sahro
14.
Partondo
Demikian pula para ketua Ranting Sarekat Islam (SI)
dan Pemuda Muslim, Pandu SIAP mereka memelopori para pemuda lainnya masuk ke
dalam KNI atau BKR baik di Ciranjang maupun di Desanya masing-masing. Pada saat
inilah mulai banyak bermunculan badan-badan keamanan atau laskar-laskar. Yang
satu diantaranya adalah laskar Hizbullah Ciranjang. Sebuah kelaskaran yang
lahir dari tubuh kaum pergerakan sarekat Islam Ciranjang. Didirikan oleh Kiai Mohammad
Basyir beserta elit agama Islam Ciranjang lainnya.
Hal tersebut bukan hanya di Daerah, tetapi para
pimpinan sarekat islam (SI) di pusatpun, mereka aktif memeloporinya seperti
Anwar Cokroaminoto putera H.O.S. Cokroaminoto, kemudian Arudji Kartawinata dan
lain-lainnya.
Pada pertengahan bulan september 1945 kantor
kawedanaan/kecamatan Ciranjang mulai dipergunakan untuk menampung tentara
Jepang yang dilucuti oleh Tentara Sekutu, karenanya pemerintahan Kewadanaan / Kecamatan
Ciranjang untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari pindah ke balai desa Ciranjang
Hilir di Cibogo, sedang kantor KNI mengisi salah satu toko di sebelah timur
kantor Kawedanaan/Kecamatan Ciranjang, yang sekarang dipakai toko pamili 77.
sedangkan kantor Kawedanaan / Kecamatan Ciranjang sendiri sekarang dijadikan
Ruko.
D. PERKEMBANGAN DAN PERANAN LASKAR HIZBULLAH
D.1. Asal mula terbentuknya Laskar Hizbullah
Ciranjang
Laskar hizbullah Ciranjang pada awal dibentuknya
itu, laskarnyapun belum banyak, yang mana laskar intinya hanya terdiri dari para
pemuda muslim, Pandu SIAP dari Sarekat Islam (SI), yang pada awal-awal
kemerdekaan bergabung ke dalam badan keamanan rakyat (BKR). Akan tetapi setelah
BKR dibubarkan, dimana mantan-mantan laskarnya dikoordinir oleh Mohammad Ali.
Dimana Mohammad Ali waktu itu secara informal masih menjabat Chudanco Keisyat
(Komandan Kompi) Suishintai Kewadanaan Ciranjang. Kemudian setelah terbentuknya
badan-badan perjuangan / kelaskaran, mantan-mantan laskar BKR inipun terbagi
menjadi tiga golongan, yaitu ada yang bergabung dengan Barisan Banteng Republik
Indonesia (BBRI) Moch. Ali, ada yang bergabung dengan Laskar Hizbullah Pimpinan
Mohammad Basyir, dan ada yang bergabung dengan Laskar Sabilillah Rd. Iim
Ibrahim.
Walaupun latar belakang pendiri Laskar Hizbullah
Ciranjang ini tidak mempunyai dasar pengetahuan kemiliteran baik teori maupun
lapangan, dikarenakan berpuluh-puluh tahun berjuang untuk meraih kemerdekaan
dengan menggunakan jalur politik. Tepatnya 3 Februari 1946, tersusunlah satu
Batalyon Laskar Hizbullah, yang pada waktu itu masih bediri sendiri, maka lebih
dikenal dengan sebutan Hizbullah Mohammad Basyir atau Hizbullah Ciranjang yang
berkedudukan di Desa Gunung Halu
Setelah terbentuknya batalyon Hizbullah Ciranjang
yang berkedudukan di Gunung Halu, komandan Batalyon Hizbullah ini menerima
sumbangan dari komunitas Nasrani (Kristen) Palalangon yang disampaikan oleh
Pendeta Empi, yaitu:
1. Satu buah mesin Tik Portable
2. Dua ekor kuda tunggang.
Kedua jenis sumbangan itu merupakan barang
inventaris pertama yang dimiliki oleh batalyon Hizbullah Ciranjang, dan kedua
ekor kuda ini merupakanm kendaraan yang vital dan sangat membantu dalam
mempercepat proses Batalyon Hizbullah Ciranjang yang berkedudukan di Gunung
Halu ini masuk ke dalam jajaran Hizbullah Divisi I Jakarta yang berkedudukan di
Purwakarta.
Hubungan-hubungan dan untuk mengantarkan
berkas-berkas dokumen ke markas Hizbullah Divisi I di Purwakarta, dipercayakan
kepada Komandan Seksi II Rd. Sulaeman dengan dibantu oleh seorang anak buahnya
Oping dari Calingcing, kedua Laskar ini berasal dario Hizbullah Kompi I Gunung
Halu Pimpinan Rd. Ruba’i, dengan mengendarai kedua ekor kuda tanpa sadel itu
dengan rute Mande – Palumbon – Maniis – Parung Kalong – Warung Jeruk – Plered.
Dari Plered ke Purwakarta dengan menggunakan kereta Api. (Wawancara dengan
Mayor Rd. Sulaeman, 1998 oleh Danung)
Karena lancarnya hubungan-hubungan dengan markas
Hizbullah Divisi I di Purwakarta itu, maka pada akhir bulan Februari 1946
Hizbullah Ciranjang yang berkedudukan di Gunung Halu ini, resmi menjadi
Hizbullah Batalyon III, Resimen IV (Sakhdi), Divisi I Jakarta (P.A. Nunung).
Pun demikian, setelah resmi sebagai bagian dari Divisi I Jakarta secara
struktur kemiliteran, namun pada waktu itu tidak lajim orang menyebut
satuan-satuan tersebut secara lengkap. Biasanya mereka hanya menyebut nama
komandannya saja, seperti Hizbullah Mohammad Basyir.
Hizbullah Resimen IV ini terdiri dari:
1. Hizbullah Batalyon I Bogor, berkedudukan di Jonggol
dengan Komandannya Engkar.
2. Hizbullah Batalyon II Mande, dengan Komandannya Utom
Bustomi.
3. Hizbullah Batalyon III Ciranjang yang berkedudukan di
Gunung Halu dengan Komandannya Mohammad Basyir.
D.2. Keorganisasian Laskar Hizbullah
Pada awal-awal bulan Februari 1946, tepatnya 3
Februari 1946 itu tersusunlah satu Batalyon Laskar Hizbullah, yang pada waktu
itu masih bediri sendiri, maka lebih dikenal dengan sebutan Hizbullah Mohammad
Basyir atau Hizbullah Ciranjang yang berkedudukan di Gunung Halu, dengan
susunan sebagai berikut:
I. Komandan Batalyon :
Mohammad Basyir – Pasir Nangka
II. Wakil Komandan Batalyon : Rd. Hidayat – Sukanagara
III. Kepala Staf :
Nani Syaefudin – Pasir Gombong
IV. Staf Administrasi :
1. Juru
Tik : Sudamo –
Cikoronjo
2.
Tekhnisi :
Nabot – Jatinunggal
3. Juru
Pikul : Moyo
(Mojo) – Calingcing
V. Kompi I Gunung Halu : Rd. Ruba’i – Sipon
VI. Seksi-seksi :
1. Seksi
I : Rd.
Momo – Pasir Nangka
2. Seksi
II : Rd.
Sulaeman – Pasir Nangka
3. Seksi
III : Rd.
Sena – Cikoronjo
VII. Kompi II Sindang Raja : Syamsudin – Sindang Raja
VIII. Dapur Umum :
Suhari – Cibanteng
IX. Kedudukan / Lokasi
1. Staf
Batalyon : Pasir Nangka
(Rumah Moh. Basyir)
2. Markas : Kanayakan Kidul
3. Dapur
Umum : Pasir Nangka
(Rumah Haji Solihin)
Sedangkan untuk perlengkapan dan kesehatan
bekerjasama dengan seksi perlengkapan dan kesehatan KNI Desa Gunung Halu,
yaitu:
Perlengkapan :
1. Raiin Majiah – Palalangon
2. Samuel Simatupang – Rawa Selang
3. Atmo Sujono – Cikoronjo
4. Ajengan Sukarma – Sampih
5. Syair – Kanayakan
6. Maad – Pangarengan
7. Madris – Pangarengan
Kesehatan :
1. Cipto Adhi – Ciendog
2. Alfius – Pasir Kuntul
D.3. Perjuangan-perjuangan Laskar Hizbullah
D.3.1. Memulai dengan satu Karaben
Hizbullah Batalyon III, Resimen IV, Divisi I Jakarta
ini secara keanggotaan atau jumlah Laskar sudah banyak, tetapi dilihat dari
kelengkapan tempur belum sepucukpun senjata Api yang dimiliki., mereka baru
memiliki beberapa buah “Granat Nanas” dan beberapa buah “Granat Lulub”, itupun
atas usaha masing-masing Laskar.
Sebagaimana dituturkan oleh Pak Omek (Wawancara,
2006). Pada suatu malam datanglah Pak Raiin Majiah dari Perlengkapan membawa
sepucuk Steyer kaliber 6,5 organik Polisi Kolonial Belanda, dan lengkap dengan
10 hower pelurunya.
Menurut keterangan Pak Raiin Majiah, karaben itu
diperoleh dari seorang mantan Pilisi Kolonial Belanda, yang kabur ketika Jepang
masuk ke Indonesia pada tahun 1942, senjata itu dikubur di perkebunan
Citembong, dan Pak Raiin Majiah sendiri yang mengambilnya. Pagi harinya karaben
itu dicoba oleh Alfius dari Kesehatan, ternyata Karaben itu masih baik.
Karena baru sepucuk senjata api saja yang dimiliki,
maka oleh Mohammad Basyir (Komandan Batalyon) dan oleh Ruba’i (Komandan Kompi
I), karaben itu diberi nama “Si Cikal”, yang kemudian dipegang oleh Usman dari
Calingcing, dan seterusnya dipegang oleh Komandan Seksi II Rd. Sulaeman.
Secara berangsur-angsur senjata Api itu terus
bertambah, walaupun diantaranya bukan senjata api organik militer, seperti
“Cuplis”, “Bedil Teteg”, dan “Bedil Anjing” (senjata berburu dengan kaliber
kecil), kemudian diterima kiriman “Granat-granat Lulub” dari Markas Divisi I di
Purwakarta, bahkan diterima pula “Granat Plered”, yaitu granat yang dibuat dari
tanah liat yang dibakar seperti bata.
Sukarnya untuk memperoleh senjata api bagi laskar
Hizbullah Batalyon III ini dapat difahami, Ciranjang sebagai kota kecil tidak
seperti di kota-kota besar, mereka bisa dengan cepat mempersenjatai Pasukannya,
yaitu dengan merebut senjata dari tentara Jepang yang ada di penampungan-penampungan
atau dari polisi-polisi Hindia Belanda.
Bahkan dalam area lebih luas, yakni di Cianjur
sebagai sebuah kabupaten. Badan- badan perjuangan / kelaskaran yang hampir
bersamaan berdirinya dengan laskar Hizbullah Batalyon III Ciranjang, seperti
BBRI yang dibentuk oleh para manta “Suishintai”, pimpinan Kuswaya Harjakusumah,
Abdullah Zahid, dan lain-lain, merekapun sangat minim sekali dalam masalah
persenjataan ini, karenanya mereka segera mengirim utusan ke Solo untuk meminta
bantuan senjata, sebab pusat BBRI itu ada di sana. (Wawancara dengan T.A.H.D.
Sofyan, 2001 oleh Nunun Nurkholifah)
D.3.2. Menculik Tentara Sekutu
Setelah Ciranjang diduduki oleh Tentara Sekutu yang
bermarkas di Kantor Pos, walaupun telah terjadi bentrokan di Pongpok Landak.
Badan-badan perjuangan / kelaskaran di Ciranjang yang sudah mundur menjauhi
jalan raya, tidak pernah mengusik Tentara sekutu yang ditempatkan di Ciranjang,
juga tidak pernah ada Laskar yang secara terang-terangan membawa Senjata Api ke
Ciranjang.
Tentara-tentara sekutu yang ditempatkan di
Ciranjang, kalau siang hari suka berkeliaran dengan memakai celana pendek dan
kaos oblong, dalam artian tidak berseragam lapangan. Mereka itu berjalan kaki
terdiri dari beberapa orang, dan biasanya mereka itu berjalan kaki sampai ke
Andir. Alasan pasukan sekutu mondar-mandir di wilayah Ciranjang ternyata dalam
rangka mencari makanan, sebab katanya mereka sudah kehabisan ransum, terlebih
mereka sudah tidak diperhatikan lagi oleh induk pasukannya di Bandung,
kadang-kadang dikirim dan sebaliknya.
Sebagaimana dituturkan Pak Omek (wawancara, 2006).
Pada suatu hari jam 10.00 ada seorang tentara Sekutu yang terpisah dari
pasukannya, dia masuk ke kampung Kandang Sapi samapai ke “Sawah Garung” (sawah
yang tidak ditanami) di Pasir Sengkong. Masturi seorang laskar dan seorang
temannya, diberitahu oleh penduduk bahwa ada seorang Gurkha yang sedang
berkeliaran. Masturi dan temannya segera menangkap seekor ayam, kemudian di
bawa ke Gurkha itu dan dengan bahasa isyarat ditawarkannya. Begitu Gurkha itu
mengambil ayam, dengan cepat pula Masturi “merengkas” kaki Gurkha itu sambil
merebut senjatanya, dan terjadilah pergumulan yang seru di “sawah garung itu”,
Masturi kewalahan sebab ibu jari kakinya diinjak keras sekali dengan sepatu bot
Gurkha itu hingga berdarah. Teman Masturi dan penduduk yang melihat segera
membantunya, dan menangkap Gurkha itu, lalu dibawa ke staf Hizbullah Batalyon
III di Pasir Nangka bersama “kukri” dan senapan “kirop”nya.
Waktu diperiksa dengan bahasa isyarat oleh staf
Hizbullah, ia mengaku orang Nepal, tetapi seorang Muslim katanya, sambil
menunjukkan rambut di atas kepalanya yang dibiarkan memanjang, tanda seorang
Muslim Nepal.
Tidak lama kemudian datang Masturi menyusul, dia
tidak bersama-sama dengan Gurkha itu karena mengobati ibu jari kakinya yang
pecah. Begitu mereka bertemu lagi, merekapun bersalaman dan berangkulan,
kemudian bersama-sama makan nasi bungkus rangsum dari Dapur Umum.
Setelah tiga hari baru Gurkha itu dikembalikan
bersama dua orang temannya yang diculik di tempat lain, tetapi senjata-senjata
mereka termasuk senjata Gurkha yang diculik tadi, tidak dikembalikan lagi
kepada tentara sekutu di di Ciranjang.
D.3.3. Pertempuran Pongpok Landak Citarum
Setelah diketahui bahwa Belanda / KNIL dan NICA ikut
memboncengi kedatangan konvoi-konvoi Tentara Sekutu yang mengalir ke Bandung,
gangguan secara kecil-kecilan di sekitar Pongpok Landak Citarum itu sudah
sering dilakukan dari Kebun Karet yang ada di sebelah Sleatan Jembatan (lama),
terutama untuk mengganggu pengawal-pengawal konvoi yang ditempatkan di sekitar
Jembatan Citarum (lama).
Pertempuran Pongpok Landak yang terjadi pada tanggal
1 Januari 1946, sebenarnya tidak hanya terjadi di Pongpok Landak, tetapi juga
dari sebelah Timur Jembatan (lama) Citarum juga terjadi penghadangan-penghadangan
serupa, yang dilakukan oleh Laskar Hizbullah Batalyon III, Hizbullah dari
Cikalong Wetan, Cipeundeuy, bahkan yang datang dari Plered. Sedangkan dari
sebelah Jembatan (lama Citarum ke Barat dilakukan oleh Badan-badan perjuangan /
kelaskaran dari Ciranjang, Bojong Picung, Karang Tengah, Mande, dan dibantu
oleh TKR dari Karang Tengah Pimpinan Dasuni Zahid.
Pertempuran Pongpok Landak terhitung seru dan
heroik, di samping medannya yang menantang, jalan yang berkelok-kelok, juga
bertebing-tebing tinggi di kiri – kannya, juga hutan dan Kebun Jati yang
strategis sekali untuk penghadangan, dan para laskar dari kelaskaran pada waktu
itu sudah menggunakan “Granat Lulub” dan “Granat Plered”, dan TKR yang sudah
cukup lumayan persenjataannya.
D.3.4. Pertempuran Cisokan
Sejak Ciranjang terbagi dua, badan-bdan perjuangan /
kelaskaran terus menata pasukannya di tempat yang dikuasai masing-masing,
sambil terus mengadakan perlawanan dalam bentuk penghadangan terhadap
konvoi-konvoi Tentara Sekutu. Pada tanggal 30-31 Maret 1945 terjadi lagi
pertempuran yang paling besar dan heroik, melebihi pertempuran Pongpok Landak,
pertempuran tersebut lebih dikenal dengan “Pertempuran Cisokan” yang
berlangsung selama dua hari dua malam, dengan arena pertempuran mulai dari Cikijing sampai Pasanggrahan di
Ciranjang, dan memakan korban yang tidak sedikit dari kedua belah pihak.
Pada awal mulanya yang memprakarsai “Pertempuran
Cisokan” ialah Laskar Sabilillah pimpinan Rd. Iim Ibrahim yang berkedudukan di
Selajambe, Laskar Sabilillah telah mempersiapkan segala bentuk persiapan dalam
rangka menghadang konvoi-konvoi Tentara Sekutu, baik yang datang dari Barat
maupun dari Timur. “Bom Batok” (ranjau darat) telah ditanam dibeberapa ruas
jalan antara Cikijing dan Tungturunan, demikian juga dengan fasilitas
penunjang, seperti dapur umum telah disiapkan di beberapa tempat. Namun selama
dua hari mereka menunggu, ternyata konvoi-konvoi itu tidak ada yang lewat,
besar dugaan pada waktu itu mungkin pengawal-pengawal konvoi yang ditempatkan di
Ciranjang telah mengetahuinya serta melaporkannya ke Jakarta dan Bandung.
(Wawancara dengan Tahkimula B. Arifien, 2006)
Rencana penghadangan konvoi di Cisokan ini pada
akhirnya diketahui juga oleh Badan-badan Perjuangan / Kelaskaran lainnya dan
TRI. Terlebih awal diketahui oleh Hizbullah Batalyon II Pimpinan Utom Bustomi
yang berkedudukan di Mande, Hizbullah Batalyon III Pimpinan Mohammad Basyir,
satu Kompi dari Hizbullah Batalyon III ini, yaitu Kompi II Pimpinan Syamsudin
yang berkedudukan di Sindang Raja, yang bergabung dengan Hizbullah Batalyon II
Pimpianan Utom Bustomi, BBRI Mohamad Ali, dan BBRI dari Cianjur, ditempatkan
disekitar Cikamunding dan Tungturunan.
Setelah badan-badan perjuangan / kelaskaran dan TRI
berdatangan, maka terpilihlah Utom Bustomi, Komandan Hizbullah Batalyon II
sebagai Komandan Gabungan Penghadangan Konvoi-konvoi. Keputusan awal yang
diambil adalah dengan mengosongkan kampung-kampung mulai dari Pasir Nangka
sampai Tungturunan dikosongkan dari penduduk, dan diisi oleh Laskar-laskar dari
masing-masing kelaskaran dan TRI. Sebelah Barat diisi oleh TRI dan BBRI dari
Cianjur dan Karang Tengah, di barisan tengah oleh Laskar Sabilillah, Tegal Teri
dan Bantar Gebang BBRI Mohammad Ali, sedangkan di Cikamuning, Tungturunan,
terutama di Kebon Jati pinggiran Cisokan diisi oleh Laskar Hizbullah Batalyon
II dan Hizbullah Kompi II Batalyon III. Sedangkan di Pasanggrahan diisi oleh
Hizbullah Kompi I Pimpinan Rd. Ruba’i dari Hizbullah Batalyon III Pimpinan
Mohammad Basyir bersama “Laskar Eredan” dari BBRI Mohammad Ali, yang dipimpin
noleh Partondo dan Yotham. (Adjat Sukandi, 1990: 47)
Selang beberapa hari konvoi-konvoi Tentara Sekutu
datang dari arah Barat maupun Timur, yang didahului oleh dua buah pesawat Speed
Fire (Pesawat Pemburu) dan dua buah Bomber B. 25, dan ketika Pesawat Terbang
itu ada di atas kebun Jati Pinggiran Cisokan itu ditembaki dengan karaben oleh
laskar-laskar yang berada di sana. Tentara Sekutu membalas dengan tembakan
senapan mesin kaliber 12,7 dari pesawat-pesawat Speed Fire secara membabi buta
ke kedudukan-kedudukan para laskar, baik yang berada di sebelah Utara Jalan
Raya maupun mereka yang ada di sebelah Sleatan Jalan Raya. Kemudian untuk
beberapa waktu keempat pesawat Terbang itu menghilang dan datanglah
iring-iringan konvoi Tentara Sekutu dari Barat yang didahului dengan
kendaraan-kendaraan Berlapis Baja, kemudian menembaki daerah sekitar dengan
senapan otomatis, Mortir, dan kanon secara membabi buta juga. Setelah konvoi
dari Barat itu melanggar “Bom Batok” yang diatanam di ruas Jalan antara
Cikijing dan Tungturunan.
Selang waktu tidak lama kemudian datang juga konvoi
dari Timur dan terjadilah tembak-menembak dengan seru, laskar-laskar yang
ditempatkan di Kebun Jati pinggiran Cisokan terus terdesak oleh Tentara Sekutu,
dan mereka mundur untuk menyelamatkan diri, tapi malang mereka terperosok ke
dalam jurang-jurang yang tinggi dan berbatu-batu di pinggiran Cisokan, dan
kebetulan sekali pada waktu itu air Cisokan sedang meluap, maka selain dari
mereka banyak yang patah tangan atau kakinya, karena terjerumus ke jurang,
terlebih banyak yang hanyut terbawa banjir. Demikian juga para laskar yang ada
di sebelah Selatan, mereka didesak Tentara Sekutu sampai rel Kereta Api.
Tidak lama kemudian dua buah Bomber B. 25 kembali
lagi, dan menerjunkan tidak kurang dari lima buah parasut di atas Jembatan
Cisokan, tetapi karena terbawa angin, parasut itu jatuh di sebelah Utara
Cikijing, dan diburu oleh para laskar yang ditempatkan di sana. Ternyata kelima
parasut itu Cuma berisi peralatan untuk memperbaiki Jembatan, seperti mur,
baud, dan potongan-potongan besi. Besar kemungkinan Tentara Sekutu mengira
bahwa Jembatan Cisokan itu sudah dihancurkan oleh para laskar.
Kemudian disusul lagi dengan kembalinya dua buah
pesawat Speed Fire yang sempat menghilang, dan terus menembaki kembali sasaran
yang mereka curigai secara membabi buta.
Pertempuran di Jembatan Cisokan ini berlangsung
selama dua hari dua malam, korban yang gugur dari pihak laskar yang dapat
diketahui, yaitu hanya empat orang, sedang yang luka-luka itu banyak sekali,
terutama yang terjerumus ke dalam jurang, sedangkan yang terbawa hanyut dengan
banjir tidak diketahui lagi nasibnya. Namun, dari pihak Sekutu juga banyak
jatuh korban, menurut Adjat Sukandi (Wawancara Nunun Nurkholifah, 2001), selain
korban dengan peluru-peluru dan granat-granat para laskar, juga oleh
peluru-peluru dari pesawat pemburu, dikarenakan waktu Tentara Sekutu yang terus
mendesak para Laskar, kemudian dapat merebut dan menduduki tempat-tempat para
Laskar bertahan, pesawat-pesawat pemburu tersebut tetap terus melepaskan
tembakan, maka yang tertembak tersebut adalah tentaranya sendiri. Selain itu
para laskar pun berhasil menawan beberapa tentara Gurkha yaitu Basin, Tek Dur,
Dal Badur, Besin, dan dua orang tentara NICA, yaitu Garule Tamang dan Idris
Ali.
Setelah dua hari pertempuran itu baru mereda, tetapi
Tentara Sekutu, baik yang mundur ke Barat maupun ke Timur, mereka itu sambil
terus membakari rumah-rumah di sepanjang Jalan Raya.
Dalam buku “Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia
jilid 5 halaman 187-188”, Jenderal A.H. Nasution juga menuslikan tentang
Pertempuran Cisokan ini, antara lain:
Sesungguhnya
kami terus melakukan serangan-serangan Jalan Raya Puncak – Padalarang menjadi
perhatian musuh yang utama, akan tetapi pihak kitapun terus mengganggu dan
menghadang mereka. Pada tanggal 30-31 Maret 1946 berkobar pertempuran sejak
Cianjur sampai Rajamandala dari Barat Citarum musuh datang dengan lebih 125
kendaraan. Pertempuran di Cisokan dan Ciranjang berlangsung cukup lama. Musuh membakari
kampung-kampung sepanjang Jalan. Rakyat
mengungsi dan meninggalkan sawah-sawahnya yang dekat ke Jalan Raya. Jalan
Kereta Api Padalarang – Cianjur putus sama sekali, karena vak ini tidak aman
lagi. Musuh menduduki Stasiun Selajambe, Ciranjang dan Cipeuyeum serta merintangi
rel di beberapa tempat
D.3.5. Mencangkul, Berlatih, dan Bertempur
Dengan dimilikinya senjata-senjata sederhana dan
“Granat-granat Lulub” oleh Laskar Hizbullah Batalyon III, maka untuk mengganggu
konvoi sekutu makin intensif dilakukan, mulai dari jembatan Cisokan di sebelah
Barat sampai pintu kereta api di sebelah Timur (Cipeuyeum),. Merupakan daerah
operasi Laskar Hizbullah Batalyon III, dikatakan mendominasi, dikarenakan pada
kenyataannya demikian. Walaupun pada waktu itu banyak juga laskar-laskr BBRI
Moh. Ali di Gunung Halu, Regu Partondo di Cikoronjo, Regu Yotham di Rawa Selang
dan Regu Acin di kanayakan, tetapi setelah Ciranjang terbagi dua, mereka tidak
bisa bergabung lagi dengan induk pasukannya di Selatan, yang pada waktu itu
sudah mundur lagi ke Pangicisan, karenanya pada waktu ada istilah “Laskar
Eredan” –Laskar yang terasing.
Ketika Markas Hizbullah Batalyon III menempati rumah
Rachel di Kanayakan Kidul (Kebon Kalapa), masyarakat umum tidak dapat
membedakan mana laskar BBRI Moh. Ali dan mana Laskar Hizbullah Batalyon III,
bahkan para Laskar sendiri banyak yang tidak tahu, kalu markas itu milik
Hizbullah Batalyon III.
Mayor Infantri Purnawirawan Rd. Sulaeman menjelaskan
ini sebagai berikut: (Wawancara Tahkimul B. Arifien, 2006)
Saya ini
orang lapangan, sejak Ciranjang dibagi dua, di sebelah Utara jalan raya itu
tidak ada lagi pasukan lain, dalam arti pasukan yang mempunyai struktur dan
komando tersendiri, kecuali Hizbullah batalyon III. Mungkin saja kalau secara
perorangan itu ada, tetapi tidak merupakan pasukan khusus. Sebab laskar-laskar
BBRI Moh. Ali yang berada di Gunung Halu dan tidak bisa bergabung ke Selatan,
dalam kegiatannya sehari-hari, mereka itu bersama-sama kami dalam satu komando
dari Hizbullah Batalyon III.
Kemudian
mengenai keberadaan Yotham di lingkungan Hizbullah Batalyon III. Waktu itu,
pada mulanya Yotham dari Rawa Selang itu hanya sebagai pelatih dengan seorang
temannya bernama Carson mantan Prajurit PETA, tetapi Carson ini dan Nabot dari
jati Nunggal serta kawan-kawan lainnya terus bergabung dengan Hizbullah
Batalyon III ini sampai kami mundur ke Warung Jeruk.
Walaupun Markas Hizbullah Batalyon III itu di
Kanayakan Kidul (Kebon Kalapa), tetapi tidak seluruh Laskar ditampung di sana
dan hanya mereka yang sedang “Hosho” (piket) saja, laskar-laskar lainnya
tersebar di rumahnya masing-masing, hanya pada malam hari mereka tidak tidur di
markas dan tajug Kanayakan.
Meskipun mereka itu tersebar, tetapi ada pos-pos
tertentu tempat Hizbullah Batalyon III, maksudnya agar mudah dihubungi kalau
ada kegiatan untuk berlatih, atau mengganggu Konvoi Tentara Sekutu itu. Pos-pos
tersebut antara lain:
1. Pasir Nangka – Staf Batalyon.
2. Sampih – Sajun
3. JatiNunggal – Asa
4. Rawa Selang – Yotham
5. Calingcing – Oping
6. Leuweng Konde – Omek
7. Kanayakan – Markas Hizbullah Batalyon III
8. Pangarengan – Amir
Adanya pos-pos tersebut agar para laskar juga dapat
bekerja dan menghidupi keluarganya, namun demikian mereka juga disiplin dan
selalu siap untuk mengadakan latihan menggunakan senjata dan perang-perangan,
biasanya dilakukan setiap lepas lohor (Dzuhur) bertempat di Kanayakan Kidul
(Kebon Kalapa), di Tegal Pasir Nangka atau Kebun Jati Calingcing.
Sejak terjadinya “Bandung Lautan Api” tanggal 24
Maret 1946, dan Bandung telah dikuasai sepenuhnya oleh Tentara Sekutu,
sedangkan Pemerintahan Sipil, TRI, dan Kelaskaran mundur ke Selatan, kegiatan
untuk mengganggu konvoi Tentara Sekutu itu makin ditingkatkan di mana-mana
sepanjang Jalan Raya Puncak – Bandung, karena disamping NICA / Belanda yang
mendarat bersama Tentara Sekutu dan RAPWI di Jakarta pada tanggal 15-19
September 1945, diketahui juga tentara Belanda Divisi B KNIL, yang kebanyakan
terdiri dari orang Ambon, dan Manado, terus mengalir ke Bandung bersama Konvoi
Tentara Sekutu. Dan laskar-laskarpun sudah makin berani karena mereka sudah
memiliki senjata yang cukup memadai.
Dan sejak “pertempuran Cisokan” itulah tentara
Sekutu diperkuat di Cianjur, Karang Tengah, dan Ciranjang. Rumah-rumah di
pinggir Jalan Raya sudah banyak yang dibakr dan rakyat yang dpinggir jalan
Rayapun mengungsi menjauhi Jalan Raya.
Sedangkan para laskar juga terus mengganggu
konvoi-konvoi itu, mereka tidak peduli lagi apakah konvoi Tentara Sekutu, yang
di dalamnya orang India dan Gurkha, atau Konvoi NICA / Belanda dan KNIL yang
menyamar, kalau ada kesempatan merekapun terus mengganggunya secara sporadis,
dan kadang-kadang dilakukan hanya atas inisiatif satu atau dua regu saja, yang
lainnya tidak diajak atau tidak diberi tahu.
Biasanya para Laskar Hizbullah Batalyon III
mengganggu konvoi-konvoi itu dilakukan setelah Dzuhur, sebab dari pagi sampai
Dzuhur, para laskar bekerja dulu untuk kepentingan Keluarganya, seperti;
mencangkul, mencari kayu bakar, dan lain sebagainya, di samping itu memang
konvoi-konvoi dari Jakarta yang berangkat jam 06.00 atau jam 07.00 pagi itu,
sampai di daerah Ciranjang jam 12.00 atau jam 13.00 siang.
Mengenai penghadangan-penghadangan di sepanjang
Jalan Raya Puncak – Bandung ini, Jenderal A.H. Nasution dalam bukunya yang
berjudul Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 3 halaman 172 menjelaskan
antara lain:
Gangguan-gangguan
terhadap konvoi lawan dilakukan sampai sekarang oleh pasukan-pasukan kecil,
terutama oleh laskar-laskar setempat di sepanjang jalan. Hanya kurang sekali
pimpinan dan koordinasi. Tempo-tempo di balas oleh Belanda dengan serangan
balasan tetapi atas kampung-kampung, seperti dialami oleh rakyat Ciawi, Pacet,
Cugenang, Ciranjang, Rajamandala, Cipatat dan Padalarang.
Penghadangan-penghadangan terhadap konvoi sekutu yang
dilakukan oleh laskar-laskar Hizbullah Batalyon III itu hampir setiap hari,
namun seperti diketahui di daerah Ciranjang ini, daerah Pesawahan jadi medannya
terbuka, sulit sekali untuk mencari tempat-tempat strategis untuk menghadang,
dan tempat yang paling strategis untuk melemparkan “Granat-granat Lulub”, yaitu
kalau di sebelah Barat di sekitar jembatan Cisokan (lama), bekas arena
“pertempuran Cisokan” dan disebelah timur yaitu di sekitar desa dan sekolah
Cipeuyeum, yang pada waktu itu kiri-kanannya masih bertebing-tebing tinggi dan
hutan-hutan Jati. Tetapi dalam penghadangan tersebut ada kalanya “Granat-granat
Lulub” yang menjadi senjata andalan tidak meledak semua.
D.3.6. Pertempuran Curug
April 1946, Tentara Sekutu sudah mulai secara
terang-terangan memihak kepada Belanda, sebagai bukti wilayah Bandung Selatan
yang sebelumnya dikuasai oleh Tentara Sekutu diserahkan kepada Belanda. Di
samping itu untuk mempercepat masuknya Belanda ke Bandung, Tentara Sekutupun
membantunya dengan mengangkut mereka dari Jakarta ke Bandung dengan menggunakan
Pesawat Terbang Sekutu jenis Dakota. Mereka tidak menggunakan jalur darat,
dikarenakan banyaknya penghadangan-penghadangan yang dilakukan oleh badan-badan
perjuangan atau kelaskaran. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh A.H. Nasution
dalam bukunya Sekelumit Peristiwa Bandung Lautan Api halaman 24-25, antara lain:
Maka
setelah seluruh kota Bandung diduduki oleh Sekutu, didatangkanlah
pasukan-pasukan Belanda. Pada awal-awal bulan April 1946, selama 3 hari
Dakota-dakota Inggris mundar-mandir mendatangkan 2.500 orang Belanda. Disini
ditugaskan Brigade V di bawah Kolonel Moier. Dan buat pertama kali kita
berhadapan dengan Belanda.
Demikian pula Tentara Sekutu yang ditempatkan di
Ciranjang sudah mulai berulah pula, mereka menempatkan posnya di sekitar
Jembatan Ciranjang (Curug), sedang kalu siang hari mereka juga menempatkan
pengawalnya di Sipon dan Leuwung Lame.
pada suatu mala laskar-laskar tanpa sepengetahuan
Komandan Hizbullah Batalyon III (Mohammad Basyir), laskar-laskar itu di bawa
oleh pak Juhnawi, --yang kemudian ikenal dengan H. Durahman, dari kampung
Sukasirna sebelah Timur Kanayakan, rupanya ingin sekali memberikan dorongan
semangat kepada para laskar yang akan pergi bertempur. Mereka dimandikan dan
diberi minum dengan air dari buyung yang telah diberi jampi-jampi dan ada
batu-batu ajimat di dalamnya. Namun, setelah diketahui oleh Komandan Hizbullah
Batalyon III, memandikan dan memberi minum dengan memakai batu-batu ajimat itu
tidak diperkenankan lagi, tapi kalau memberi minum dan memandikan para laskar
yang habis bertempur boleh-boleh saja katanya.
Waktu akan berangkat menyerang Curug, para laskar
dibariskan terlebih dahulu, mulai dari Curugan sampai mendekati Curugan Pasir
Nangka. Sebelum berangkat mereka membaca takbir terlebih dahulu beberapa kali,
kemudian berangkat dibagi menjadi beberapa kelompok.
Walaupun serangan para laskar itu tidak berarti
apa-apa buat Tentara Sekutu yang diserang, tapi bagi laskar-laskar yang
melakukan penyerangan, hal itu sangat berarti sekali, karena dianggap sebagai
latihan bagaimana kalau mereka menyerang musuh di malam hari, dan membiasakan
diri untuk mendengar desingan-desingan peluru yang ditembakan Tentara Sekutu.
D.4. Tanggapan Laskar Hizbullah Batalyon III Ciranjang
terhadap reorganisasi badan-badan / laskar-laskar ke dalam TNI
Setelah penandatanganan
Perundingan Lingga Jati, pada akhir April 1947 Badan-badan Perjuangan /
Kelaskaran yang ada di Ciranjang dan Warung Jeruk dikumpulkan di Purwakarta
untuk menerima pengarahan dari Pimpinan-pimpinan TRI baik dari Jawa Barat,
maupun dari Markas Besar Tentara (MBT) dari Jogjakarta, terutama dari Letna
Jenderal Urip Sumoharjo. Dalam pengarahan itu pada intinya, bahwa semua
kekuatan yang ada harus ditata kembali karena perang melawan Belanda ini diduga
akan berlangsung lama, karena pasukan-pasukan Bersenjata itu harus betul-betul
profesional. (Tahkimula B. Arifien, 1998)
Sejak adanya pengarahan, yang sekaligus sebagai
sosialisasi awal untuk dilakukannya reorganisisasi badan-badan perjuangan dan
kelaskaran yang ada ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tanggapan
terhadap pengarahan tersebut, disambut positif oleh Laskar Hizbullah Divisi I
Jakarta yang pada saat itu berkedudukan di Purwakarta. Respon tersebut dalam
bentuk dilakukannya kembali penataan Resimen dan Batalyon-batalyonnya. Walaupun
tidak semua Laskar Hizbullah menerima proses reorganisasi tersebut, salah satu
diantaranya adalah sebagian besar Laskar Hizbullah Batalyon III Ciranjang.
Dengan adanya penataan kembali tersebut, maka pada
bulan Mei 1947 Komandan Batalyon III Resimen IV Divisi I Jakarta dipanggil ke
Purwakarta untuk menyerahkan semua Laskar Hizbullah yang berada di bawah
kepemimpinannya kepada Panglima Hizbullah Divisi I Jakarta, dan sejak itu pula
semua Laskar Hizbullah Batalyon III ditarik dari Ciranjang dan Warung Jeruk ke
Purwakarta.
Tetapi dengan dioserahkannya Laskar Hizbullah
Batalyon III Resimen IV Divisi I Jakarta ini banyak yang mengundurkan diri
diantaranya, yaitu:
1.
Komandan Hizbullah Batalyon III (Bapak Mohammad Basyir)
2.
Wakil Komandan Hizbullah Batalyon III (Rd. Ruba’i)
3.
Kepala Staf Hizbullah Batalyon III (Nani Syaefudin)
4.
Komandan Kompi I Gunung Halu (Rd. Ruba’i)
5.
Komandan Kompi II Sindang Raja (Rd. Syamsudin)
Sedangkan yang tetap tergabung dalam Batalyon III yang
nantinya masuk ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI), hanya dari Komandan
Seksi, Komandan Regu, dan sebagian Laskarnya.
Adanya reorganisasi Badan-badan Perjuangan /
Kelaskaran ini ternyata tidak hanya terjadi di Jawa Barat, tetapi seluruh
Indonesia, hingga satu Kompi Laskar Hizbullah dari Yogyakarta yang ditempatkan
di Purwakarta juga segera ditarik ke Induk Pasukannya, sedangkan
senjata-senjatanya yang kebanyakan senjata Jepang diserahkan kepada Hizbullah
Divisi I Jakarta, kemudian diserahkan kembali kepada Laskar-laskar Hizbullah
Batalyon III hasil penataan tersebut. Maka bertambah lengkaplah persenjataan
Hizbullah Batalyon III Ciranjang.
Masih dalam bulan Mei 1947, Mantan Komandan
Hizbullah Batalyon III Mohammad Basyir membentuk Dewan Persatuan Perjuangan
Cianjur Utara, bersama para mantan Pimpinan yang mengundurkan diri dari
Kelaskaran-kelaskaran tersebut, diantaranya :
1.
Abdullah Zahid (BBRI)
2.
Rukma (BBRI)
3.
Nani Syaefudin (Hizbullah)
4.
Rd. Ruba’i (Hizbullah)
5.
Osip (Lurah Desa Gunung Halu).
Sementara itu pada tanggal 5 Mei 1947 Pemerintah
telah memutuskan untuk mempersatukan Laskar-laskar dari Badan-badan Perjuangan
/ Kelaskaran dalam satu wadah dengan TRI, disusul dengan Dekrit Presiden
tanggal 8 Juni 1947. berdasarkan Dekrit Presiden 8 Juni 1947, maka pada tanggal
15 Juni 1947 Pemerintah memiliterisasikan Laskar-laskar dari seluruh
Badan-badan Perjuangan / Kelaskaran yang ada di Indonesia menjadi TRI dengan
membentuk Batalyon-batalyon dan Resimen-resimen baru dengan menggabungkan
Laskar-laskar tersebut. Kemudian pada tanggal 3 Juli 1947 TRI diubah menjadi
Tentara Nasional Indonesia (TNI), di Jawa Barat seluruhnya masuk ke Divisi I
Siliwangi, yang pada tanggal 20 Mei 1947 itu baru saja diresmikan dengan
memperkenalkan Panji-panji Siliwangi, dengan Panglimanya A.H. Nasution.
Laskar-laskar Hizbullah dari Batalyon II Pimpinan
Utom Bustomi dan Hizbullah Batalyon III Pimpinan Mohammad Basyir digabungkan
menjadi satu Batalyon TNI, yaitu Batalyon “Surya Kencana” Resimen 7 Divisi I
Siliwangi, dengan Komandan Batalyon Kapten Tabrani Idris mantan Pejuang Tanah
Air (PETA) dari Cikijing Selajambe, sedang Kepala Stafnya Utom Bustomi, mantan
Komandan Hizbullah Batalyon II.
Kemudian sisa Laskar-laskar dari Badan-badan
Perjuangan / Kelaskaran lainnya juga digabungkan menjadi satu Batalyon TNI,
yaitu Batalyon “Benteng Ketaton” Resimen 7 Divisi Siliwangi, dengan Komandan
Batalyon Kapten Sakhdi, mantan Komandan Hizbullah Resimen IV Divisi I Jakarta.
Dengan telah dibentuknya Batalyon-batalyon baru
tersebut, mantan-mantan Komandan Laskar yang telah mengundurkan diri dan
bergabung dalam Dewan Persatuan Perjuangan Cianjur Utara itu diantaranya ada
yang diaktifkan kembali dan dimasukan ke dalam Batalyon “Benteng Ketaton”,
diantaranya yaitu:
1.
Abdullah Zahid menjadi Kepala Staf Batalyon II/BK/Resimen
7 Divisi I Siliwangi, dengan pangkat Letnan.
2.
Mohammad Basyir Wakil kepala Staf Batalyon II/BK/Resimen
7 Divisi I Siliwangi, dengan pangkat Letnan Muda.
3.
Rukman Komandan Kompi II Batalyon II/BK/Resimen 7 Divisi
I Siliwangi, dengan pangkat Letnan Muda.
Namun ketiga orang di atas belum sepenuhnya aktif,
terutama mantan Komandan Hizbullah Batalyon III, Mohammad Basyir yang tidak
bisa lagi bersama-sama dengan Laskar-laskarnya, yang telah dibawanya sejak
memulai perjuangan dengan dibekali satu Karaben, Geranat Lulub, satu Mesin Tik,
dan dua ekor Kuda, sekarang harus berpisah dengan mereka, dan bergabung dengan
Laskar-laskar yang belum dikenalnya sama sekali. Di samping itu karena masih
terus mengadakan penyusunan formasi, Mohammad Basyir tetap berada di Purwakarta
belum bergabung dengan Pasukan yang diresmikan pada awal-awal bulan juli 1947
dan telah ditempatkan pada pos-pos baru., seperti dijelaskan juga oleh Jenderal
A.H. Nasution Jilid 5. Halaman 157, antara lain:
Di sektor
Padalarang yang bersumbu jalan raya Purwakarta Bandung, berada Resimen 7 Omon
Abdurakhman. Pos Komando Resimen berada di Plered di persimpangan jalan
Purwakarta – Cianjur dan Purwakarta – Bandung. Batalyon “Banteng” (Kapten
Syahdi) dan Batalyon “Hizbullah” (kapten Tabrani), berada di jalan Plered –
Cikalong Kulon (Cianjur). Batalyon ini masing-masing bernama “Banteng Ketaton”
dan “Surya Kencana”, yang pada awal Juli dilantik oleh Panglima Divisi
Siliwangi menjadi TNI.
Mengenai pembentukan Batalyon baru TNI yang
merupakan perwujudan lain dari Badan-badan Perjuangan / Kelaskaran terutama
dari Laskar Hizbullah ditanggapi senada oleh Tahkimula B. Arifien (Wawancara,
2006), yakni:
Batalyon
“Surya Kencana” Resimen VII Divisi I Siliwangi ini, seperti sudah dikemukakan,
merupakan gabungan Laskar Hizbullah Batalyon I Pimpinan Engkar, Batalyon II
Pimpinan Utom Bustomi, dan Batalyon III Pimpinan Mohammad Basyir, namun
Mohammad Basyir tidak aktif lagi di Batalyon itu dan menjabat Wakil Kepala Staf
Batalyon Banteng Ketaton, yang juga merupakan gabungan dari Badan-badan /
Kelaskaran yang dibentuk menjadi TNI, tapi juga tidak terus aktif, karena
mengungsi ke Priangan Timur dan bergerilya di sana.
Namun pada
masa-masa Gerilya, batalyon “Surya Kencana” Resimen VII Divisi I Siliwangi ini,
pada waktu itu sudah mulai dikenal dan berganti nama menjadi T.I.I. “Surya
Kencana” 88 atau “TII/SK 88.
Peranan TII/SK 88 di sebelah Utara ini memang sangat
dominan, bahkan dalam prakteknya di lapangan, mereka beroperasi sampai Daerah
Bogor, dan pernah pula diperbantukan ke Sukanagara. Mengenai penggunaan istilah TII ini, ternyata kedepannya ada
hubungan dengan gerakan Darul Islam (DI) yang dipimpin oleh Komandan Hizbullah
Priangan, yakni Sekarmaji Marijan Kartosuwiro. S.M. Kartosuwiryo yang pernah
ditawari untuk menjadi Menteri Muda Pertahanan Republik Indonesia pada tanggal
7 Agustus 1949 memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). (Van
Dijk, 1983; Karl D. Jackson, 1990; al-Chaidar, 1999).
Mengenai DI/TII tidak akan dibahas lebih jauh dan
mendalam, dikarenakan ini bukan dalam ruang lingkup penelitian yang penulis
lakukan. Meskipun ada, hanyalah pembahasan secara sekilas, yang bertujuan untuk
mengambil benang merah antara Laskar Hizbullah dengan sayap militer NII atau
lebih dikenal dengan Tentara Islam Indonesia (TII).
D.5 Hubungan dengan DI/TII
Mulai dipergunakannya istilah
“TII/SK 88” terjadi sesudah adanya instruksi untuk mengadakan long march
“Hijrah” ke Yogyakarta setelah ditandatanganinya perjanjian Renville. Di dalam
masa-masa bergerilya itu, banyak sekali serangan-serangan terhadap
kedudukan-kedudukan Belanda di Wilayah Cianjur, khususnya Ciranjang, baik oleh
para Gerilyawan yang berada di Selatan, maupun oleh para Gerilyawan yang ada di
Utara, yang didominasi oleh Pasukan Batalyon “Surya Kenca” yang kadang-kadang
disebut juga “TII/SK 88”, dan Batalyon “Banteng Ketaton”.
Tetapi dalam operasi-operasi militer, mereka itu
kadang-kadang lebih cenderung sebagai pasukan sempalan dari Batalyon “Surya
Kencana”, dengan nama-nama TII/SK 88, “Pasukan Istimewa (PI)”, atau juga
disebut “SP 88”. Pasukan Istimewa (PI) atau “SP 88” dari Utara ini lebih
dikenal dengan nama “Pasukan Koim”, sebab dipimpin oleh Koim. Dan memang pada
awal-awal Kemerdekaan Koim itu tidak dikenal, tetapi setelah Agresi Belanda I
dan II, terlebih setelah TNI berhijrah ke Yogyakarta, Koim yang berasal dari
Hizbullah itu tiba-tiba muncul. (Tahkimula B. Arifien, 1998: 375).
Terdapat hal menarik dalam poin ini, adalah adanya
hubungan yang erat antara Batalyon Surya Kencana dengan pasukan Koim, yang
sekitar akhir tahun 1948 dan tepatnya sesudah diproklamasikannya NII oleh S.M.
Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1949 di Malangbong. Identitas Koim pun
akhirnya terkuak, beliau merupakan Laskar Hizbullah yang mengintegrasikan diri
ke dalam TII yang menolak mentah-mentah terhadap semua perjanjian yang
dilakukan pemerintah dengan pihak Belanda, terlebih pada perjanjian Renville.
Pasukan Koim yang lebih dikenal dengan TII/SK 88
merupakan pasukan yang menggentarkan pihak Penjajah Belanda. Hal tersebut dapat
dilihat dari perlawanannya terhadap Belanda, sebagaimana diuraikan oleh
Tahkimula B. Arifien dalam bukunya “Catatan Ciranjang dan Desa Gunung Halu di
Sekitar Perang Kemerdekaan RI tahun 1945-1949” halaman 378-379, menjelaskan:
1.
Pada awal tahun 1947, “Pasukan Koim” dapat mencuri 3 buah
senapan L.E., 1 Stand Gun, dari Markas Belanda di Ciranjang, ketika mereka
sedang asyik menonton Sandiwara yang dikirim dari Negara Belanda untuk
menghibur mereka, di kantor Kewadanaan / Kecamatan Ciranjang.
2.
Pada awal tahun 1947 itu juga, “Pasukan Koim” dapat
mencuri lagi 4 buah L.E. dari Markas Belanda di Jangari yang sedang asyik
menonton Main Bola.
3.
Pada bulan April 1947 “Pasukan Koim” dapat mencuri 2 buah
L.E. dan 1 buah Brand Gun, dari Markas Belanda di Pacet.
4.
“Pasukan Koim” merebut pistol-pistol dari Lurah-lurah
NICA, diantaranya dari Lurah Encep di Karang Tengah.
Dari hasil mencuri tersebut sampai akhir tahun 1947
dapat dikumpulkan senjata-senjata sebanyak 19 buah, terdiri dari 8 buah L.E., 7
buah Stand Gun, 1 buah Brand Gun dan 3 buah pistol.
5.
Bulan Mei 1948 “Pasukan Koim” bersama-sama R. Basar,
Encep Mukhtar, Sadewa, dan Cece Gani serta Batalyon F. 22 Jaya Pangrerot
Pimpinan Rd. Akhmad Sungkawa (TII Cililin), terus mengadakan serangan-serangan
terhadap Markas-markas Belanda yang ada di daerah Ciranjang. Selama
serangan-serangan ini telah banyak memakan korban, baik di pihak Gerilyawan
maupun di pihak Belanda, terutama waktu pertempuran di Sela Eurih Karang
Tengah, diantaranya yang gugur itu Darna dari Batalyon F 22 Jaya Pangrerot.
6.
Bulan Juni 1948 jam 10.00 malam “Pasukan Koim” menyerang
Markas Belanda di Jalan Cikidang Cianjur, pada serangan itu Tentara Belanda
tidak sempat mengadakan perlawanan dan mundur ke dalam kota. Kemudian serangan
diteruskan secara berantai ke Sadang dan Maleber, dalam serangan-serangan itu
dapat direbut beberapa buah senjata dan beberapa puluh stel pakaian seragam
Tentara Belanda, kemudian Pasukan mundur ke Palumbon.
7.
Bulan Juli 1948 jam 11.00 siang di jalan Raya Ciranjang –
Cianjur yaitu di Kampung Belendung, “Pasukan Koim” dengan menyamar sebagai
Polisi NICA mencegat sebuah sedan yang berisi 5 orang Tentara Belanda, yang
satu ditembak mati di tempat dan sedannya dibakar, sedangkan yang empat orang
lainnya diculik dibawa ke Palumbon.
8.
Bulan Juli 1948 jam 05.00 pagi “Pasukan Koim” mencegat
satu Truk Tentara Belanda yang membawa 12 orang dan semuanya dapat dibunuh,
senjatanya dirampas dan Truknya dibakar, kemudian pasukan mundur ke Plered
Purwakarta.
Walaupun serangan-serangan Gerilyawan itu sporadis tapi
fatal, maka Belanda pun pernah mengadakan operasi besar-besaran dengan
mendatangkan KNIL Baret Hijau, dengan dilengkapi Artileri berat dan kendaraan
Lapis Baja.
Daerah Mande, Cirameuwah Hilir, Palumbon terus
digempur dengan Artileri itu yang ditembakan dari Cikijing. Kemudian yang
lainnya menyisir kampung-kampung, Hutan, dan sepanjang pinggiran Cisokan. Pada
waktu itu 9 orang Gerilyawan gugur dari Batalyon “Surya Kencana” Resimen VII
Divisi I Siliwangi atau TII/SK 88, ketika mereka sedang beristirahat di Masjid
Bongas Sindang Raja, dan mayat-mayat mereka dibuang ke Kali Cisokan, demikian
juga dari SP 88 gugur 6 orang.
Namun sejarah berbicara lain, pada bulan Agustus
1948, Koim tertangkap di Daerah Purwakarta, dan dibawa ke Kantor Polisi
Cianjur. Setelah Koim tertangkap yang selalu dipimpin oleh Koim, diteruskan
oleh Cece Gani, yang juga terus mengadakan serangan-serangan, diantaranya
menyerang Marakas Belanda di Curug Ciranjang pada bulan September 1948 jam
11.00, kemudian pasukannya mundur ke Bojong Picung.
Pada akhir Perang Kemerdekaan awal tahun 1950, Koim
dibebskan oleh Belanda, namun pada tahun itu juga dia ditembak oleh seseorang
bersenjata tak dikenal, dikarenakan sejak tahun 1949 semakin jelas terlihat
mana yang memihak RI dan NII. Berbeda dengan Cece gani yang akhirnya masuk juga
ke dalam TNI pada Januari 1950 dengan pangkat Kopral.
Mengenai hubungan antara Laskar Hizbullah Batalyon
III Ciranjang dengan DI/TII diperkuat oleh pernyataan Pak Omek, sebagai
berikut: (Wawancara, 2006)
Setelah
ditandatanganinya Perjanjian Renville yang merugikan Indonesia, sebagian besar
Laskar Hizbullah Ciranjang tidak ikut hijrah ke Yogyakarta, tetapi bergabung
dengan Laskar Hizbullah Priangan Pimpinan S.M. Kartosuwiryo untuk
mempertahankan Jawa Barat. Begitupun dengan Bapak Mohammad Basyir tetap
melanjutkan perlawanan terhadap Belanda bersama Ajengan Khoer Afandi Manon Jaya.
Dan akhirnya saya (Bapak Omek) masuk ke dalam TII
Berdasarkan paparan di atas, dapat diambil garis
besarnya, bahwa terdapat hubungan antara Laskar Hizbullah Batalyon III
Ciranjang dengan DI/TII Pimpinan S.M. Kartosuwiryo. Dikarenakan Shampir
sebagain besar laskar Hizbullah di Jawa Barat tidak ikut dalam berhijrah ke
Yogyakarta. Tetapi tetap mempertahankan Jawa Barat di bawah Pimpinan S.M.
Kartosuwiryo.
Hubungan antara Hizbullah Batalyon III Ciranjang
dengan DI/TII diperkuat dengan ditangkap dan ditolaknya permohonan Mohammad
Basyir menjadi anggota Veteran RI pada tahun 1964. alasan penolakan tersebut
dikarenakan Mohammad Basyir itu sebagai Pimpinan “DI/TII” dan anti Nasakom.
Meskipun akhirnya Mohammad Basyir, mantan Komandan Hizbullah Batalyon III
Resimen IV Divisi I Jakarta diterima juga menjadi anggota Veteran RI atas
bantuan dari mantan anak buahnya, yakni Mayor TNI Rd. Sulaeman, dengan nomor
pokok Veteran 66.108/B yang ditandatangani oleh Menteri Urusan Veteran pada
waktu itu Brigadir Jenderal Sambas Atmadinata tertanggal 31 Desember 1962.
-Wijaya, S.Pd
Pejuang Berpanji Laskar Hizbullah
Dibaca: 11663 | Suara: 0 Favorit: 0 | Komentar: 0
?
16.66%
Social URL: http://tokoh.in/654~qtokoh.in/654
?
Kutip
zoom in
zoom out
font color
bold
Pejuang Berpanji Laskar Hizbullah
Zainul Arifin | Tokohindonesia.com | nu
Ia merupakan tokoh berwawasan kebangsaan. Berbendera organisasi laskar Hizbullah yang berazaskan keagamaan, ia bersama tentara resmi berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Zainul Arifin Tambahkan untuk dibandingkan
[Kartu TI :: Zainul Arifin]
[Daftar Biografi Zainul Arifin]
Ketua DPR Gotong Royong
Lihat Curriculum Vitae (CV) Zainul Arifin
QR Code Halaman Biografi Zainul Arifin
Bio Lain
Click to view full article
Syamsiar Seman
Click to view full article
Surisman Marah
Click to view full article
Djaduk Ferianto
Click to view full article
Tan Malaka
Click to view full article
Danto Pramonosidi
Click to view full article
Abdullah Harahap
Click to view full article
Erwin Parengkuan
BERITA TERBARU
Seperti Kampung Narkoba Lainnya, Polisi Bangun Posko di Pantai Burung
16 Jul 2016
Tamu Hotel Dewarna Tewas Tanpa Busana
20 Mar 2016
Pesta Kembang Api Dilarang di Medan
31 Dec 2015
Polisi Tangkap Penembak Tiga Wartawan
2 Dec 2015
Tiga Wartawan di Medan Ditembak saat Meliput
29 Nov 2015
Index
KH. Zainul Arifin, seorang Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan kemerdekaan yang mengawali perjuangan pergerakan nasional di bawah naungan organisasi Pendiri Nahdlatul Ulama 1926
Nahdlatul Ulama (NU).
Pada zaman Jepang, pergerakan Zainul Arifin dengan nama organisasi Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), yang kelak kemudian berganti nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Di bidang kemiliteran, Zainul pernah menjabat Panglima Hizbullah (Tentara Allah) untuk seluruh Indonesia dan Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI. Setelah kemerdekaan, ia berturut-turut menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), Wakil II Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri, Wakil Ketua DPR , dan Ketua DPRGR.
Gemeente Batavia atau Kotapraja Jakarta, itulah pekerjaan Zainul Arifin pada masa pendudukan Belanda. Dengan demikian, beliau adalah seorang pegawai negeri yang mendapat upah atau gaji dari pemerintah kolonial Belanda. Bekerja seperti itu memang sudah lajim pada zaman itu. Namun bedanya, walaupun bekerja pada pemerintah Belanda, pria kelahiran Barus, Tapanuli, tahun 1909, ini aktif dalam pergerakan nasional. Beliau masuk organisasi Pendiri Nahdlatul Ulama 1926
Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keislaman yang waktu itu juga sekaligus menjadi partai.
Dalam perjalanan sejarah, pemerintah pendudukan Belanda akhirnya harus keluar dari bumi Indonesia akibat kalah perang dari Jepang pada Perang Dunia Kedua. Pemerintahan Belanda di Indonesia kemudian digantikan Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang ini menerapkan kebijakan baru mengenai partai-partai. Semua partai yang ada dilarang berdiri, tak terkecuali Partai NU. Tapi kemudian mengizinkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai satu-satunya wadah bagi umat Islam. Zainul Arifin yang memperoleh pendidikan Sekolah Dasar dan pesantren, kemudian memasuki organisasi tersebut yang kemudian terpilih sebagai Kepala Bagian Umum.
Di bidang kemiliteran, Zainul Arifin boleh dikata merupakan salah seorang tokoh yang sukses. Sebelum masuk ke dunia militer, beliau terlebih dulu latihan militer selama dua bulan. Selepas menjalani latihan, beliau masuk Hizbullah, sebuah organisasi semi militer yang anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda Islam. Organisasi ini merupakan salah satu laskar di antara sekian banyak laskar bersenjata di Indonesia yang melakukan perjuangan di samping tentara resmi.
Di laskar Hizbullah ini, Zainul Arifin kemudian terpilih menjadi Panglima Hizbullah seluruh Indonesia. Di bawah organisasi tersebutlah ia melakukan perjuangan. Hingga era revolusi kemerdekaan, mereka berjuang bersama tentara resmi untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dalam rangka penyatuan satu wadah tentara sebagai kekuatan pertahanan nasional, maka semua laskar yang ada dilebur atau disatukan ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Begitu pula halnya dengan Hizbullah, kemudian melebur menjadi TNI. Zaenul Arifin yang hingga akhir keberadaan Hizbullah duduk dalam pucuk pimpinan, kemudian diangkat sebagai Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI hasil penggabungan.
Sementara di pemerintahan, KH Zaenul Arifin lebih banyak duduk di lembaga legislatif. Awal kemerdekaan, beliau duduk sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Kemudian sesudah pengakuan kedaulatan, tepatnya sejak tahun 1950 sampai tahun 1953, duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Di lembaga eksekutif, beliau memang sempat duduk sebagai Wakil II Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo. Namun pada Pemilihan Umum tahun 1955, beliau kembali duduk di lembaga legislatif sebagai anggota DPR, dan bahkan kemudian terpilih sebagai Wakil Ketua DPR.
Satu hal bersejarah terjadi pada periode ini. Pada periode ini, pertentangan politik di tanah air khususnya di lembaga legislatif sangat tajam. Negara Republik Indonesia ketika itu tidak lagi memakai UUD 45 sebagai dasar konstitusional negara, tapi telah memakai Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) sebelum dibuat UUD yang baru. Dan menjadi tugas DPR-lah menyusun undang-undang dasar baru tersebut. Namun, dengan proses yang sangat panjang dan melelahkan, Konstituante tidak berhasil membuat undang-undang dasar baru tersebut. Bahkan, pertentangan di tubuh lembaga legislatif itu semakin besar dan tajam. Melihat keadaan demikian, Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Presiden Soekarno akhirnya mengeluarkan dekrit yang menyatakan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
Masih berkaitan dengan kebuntuan yang terjadi di lembaga legislatif tersebut, akhirnya lembaga legislatif itupun dibubarkan dan selanjutnya dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). KH Zainul Arifin yang sejak awal diangkat menjadi Pejabat Ketua, kemudian dikukuhkan sebagai Ketua DPRGR.
Begitulah perjalanan hidup dan perjuangan salah seorang putra terbaik bangsa, KH Zainul Arifin. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap mengabdi kepada nusa dan bangsa. Beliau meninggal dunia di usia 54 tahun, tepatnya pada 2 Maret 1963 di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Kalibata, Jakarta.
Mengingat jasa-jasanya pada nusa dan bangsa, maka negara menganugerahkan gelar penghormatan kepada KH Zainul Arifin sebagai Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar penghormatan tersebut dikukuhkan dengan SK Presiden Republik Indonesia No.35 Tahun 1963, tanggal 4 Maret 1963. e-ti | tl
© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/654-pejuang-berpanji-laskar-hizbullah
Copyright © tokohindonesia.com