Penerapan Syariah Islam
dalam Perjanjian dan Opsi
Penyelesaian Sengketa Secara
Syariah Islam
Lulusan Sarjana Teknik Elektro (ST.) dari Institut Teknologi Nasional
Bandung, Sarjana
Hukum (SH.) Universitas Yos Soedarso Surabaya, dan Magister Ilmu
Hukum (MH.)
Universitas Narotama Surabaya. Telah Memperoleh Sertifikat Ahli Pengadaan
Nasional
dari LKPP
OPINI | 12 March 2012 | 07:51l
Judul ini saya buat berdasarkan pertanyaan dari seorang teman
pengusaha muslim yang bertanya kepada saya melalui email
pribadi. Semakin menguatnya pemahaman syariah Islam di
kalangan pengusaha muslim membuat keinginan untuk menerapkan
syariah Islam juga semakin menguat, tidak hanya sekedar ritual saja,
tetapi bagaimana menerapkan syariah Islam di dalam sendi-sendi
kehidupan termasuk dalam hubungan muamalah, khususnya
dalam membuat kontrak/perjanjian. Hukum perjanjian di Indonesia
bersumberkan pada kitab undang-undang yang dikodifikasi pada
jaman pemerintahan kolonial belanda, yaitu Kitab Undang-undang
Hukum Perdata / KUHPerdata (bugerlijk wetboek).
Meskipun dikodifikasi pada jaman pemerintahan kolonial belanda,
pemberlakuannya adalah untuk seluruh wilayah Indonesia yang
merupakan jajahan pemerintah kolonial belanda saat itu, dan berlaku
hingga saat ini. Opini ini tidak akan membahas lebih jauh kenapa
KUHPerdata masih digunakan hingga saat ini.
Bagi umat Islam, KUHPerdata bukanlah hukum yang berasal
dari syariah Islam, sehingga isinya dan apa yang diatur didalamnya
tidak sesuai dengan kondisi dan jiwa umat Islam. Disamping itu
pula dalam Syariah Islam telah ada hukum-hukum yang
mengatur tentang perjanjian sebagai bagian dari hukum muamalah,
yang mana menunjukkan Syariah Islam telah lengkap dan lebih baik
menyangkut tentang hukum yang berlaku bagi umat Islam.
Dengan latar belakang pemikiran tersebut timbul pertanyaan, yaitu :
1. Apakah dimungkinkan dalam tata hukum nasional Indonesia,
umat Islam menerapkan syariah Islam dalam hukum perjanjian?
2. Apakah penyelesaian sengketa yang terjadi atas perjanjian
tersebut dapat diselesaikan berdasarkan syariah Islam?
Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut diatas maka kita
dapat meninjau berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah lagi
dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Agar lebih
mudah dalam penyebutannya saya singkat saja UU Peradilan Agama.
Dalam pasal 49 UU Peradilan Agama dinyatakan :
Pasal 49
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari’ah.
(Untuk lebih jelas mengenai masing-masing bidang dapat di lihat di penjelasan)
Pasal tersebut menjelaskan tentang kompetensi peradilan
agama, yaitu kewenangan memutuskan terhadap perkara apa saja
yang dapat diajukan ke pengadilan agama. Jadi semua sengketa
antara orang yang beragama Islam dalam bidang-bidang yang
disebutkan dalam pasal 49 dapat diajukan gugatan melalui pengadilan
agama.
Selain kompetensi, peraturan perundang-undangan yang dijadikan
dasar hukum atau referensi dalam sengketa di lingkungan Pengadilan
Agama adalah Kompilasi Hukum Islam, yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 1991
yang membahas bidang a sampai h. Khusus huruf i bidang ekonomi
syariah digunakan Kompilasi Hukum ekonomi Syariah yaitu
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 dan lebih khusus
lagi dalam bidang perbankan syariah menggunakan UU No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah. Selain peraturan perundang-
undangan yang telah disebutkan, pada dasarnya sumber hukum
dari peraturan tersebut adalah Al-Quran dan Assunnah Rasulullah,
sehingga sebagai sumber hukum tertinggi bagi umat Islam,
keduanya dapat digunakan sebagai dasar hukum dalam mencari
jalan keluar persamasalahan yang disengketakan.
Bagaimana bila ada sengketa yang bersifat khusus yang
terjadi dalam hubungan muamalah di antara orang yang
beragama Islam di Indonesia selain yang disebutkan dalam
pasal 49 diatas? Apakah sengketa tersebut dapat diselesaikan
di pengadilan agama? Jawabannya dapat dilihat dalam pasal 3A
ayat (1) dan ayat (3) UU Peradilan Agama. Berikut kutipan
pasal 3A dan penjelasannya :
Pasal 3A
(1) Di lingkungan peradilan agama dapat dibentuk pengadilan khusus
yang diatur dengan undang-undang.
(3) Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, yang membutuhkan
keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu.
Penjelasan pasal 3A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “diadakan pengkhususan pengadilan”
adalah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan peradilan
agama dimana dapat dibentuk pengadilan khusus, misalnya pengadilan
arbitrase syariah, sedangkan yang dimaksud dengan “yang diatur
dengan undang-undang” adalah susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.
Ayat (3)
Tujuan diangkatnya “hakim ad hoc” adalah untuk membantu
penyelesaian perkara yang membutuhkan keahlian khusus misalnya
kejahatan perbankan syari’ah dan yang dimaksud dalam “jangka
waktu tertentu” adalah bersifat sementara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pasal 3A ayat (1) dan ayat (3) UU Peradilan
Agama kita dapat mengajukan permohonan untuk
diadakannya pengadilan khusus di dalam Pengadilan
Agama (menggunakan hakim ad hoc) yang mempunyai
fungsi sebagai pengadilan arbitrase syariah untuk
memeriksa sengketa yang bersifat khusus
(di luar bidang yang disebutkan dalam pasal 49)
diantara orang yang beragama Islam. Ini merupakan
terobosan yang hampir dapat dikatakan tidak diketahui
oleh umat Islam, padahal peranannya mencakup
bidang yang luas, semua perjanjian yang dibuat
antara orang yang beragama Islam dapat
dipilih penyelesaian sengketanya di Pengadilan Agama.
Dengan demikian sebagai umat Islam dan juga sebagai
Warga Negara Indonesia kita tidak lagi terikat secara
mutlak kepada KUH Perdata (BW), tetapi kita juga dapat
menggunakan dalil-dalil yang bersumber pada Al-Quran
dan Assunnah sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan
sengketa dalam hubungan muamalah diantara umat Islam.
Dengan adanya ketentuan tersebut makadalam suatu
perjanjian kita dapat memuat klausul yang menyatakan
penyelesaian sengketa akan dipilih melalui pengadilan
agama, dengan syarat semua pihak yang membuat perjanjian
beragama Islam dan lingkup perjanjian adalah sesuai bidang
yang disebutkan dalam pasal 49 dan juga yang bersifat
muamalah (pilihan pengadilan agama sebagai arbitrase syariah).
Hukum perdata Indonesia
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang
dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya
berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai
dengan sanksi bagi pelanggarnya
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki
padasubyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata
disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik.
Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan
sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana),
maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara
sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian,
kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang
bersifat perdata lainnya.
hukum tersebut juga memengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum
Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris
Raya dan negara-negarapersemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh
oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental,
sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya.
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda,
khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang
berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari
Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan
Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda)
berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih
bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata
Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis
dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata
(disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
- Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan
- hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan
- kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan
- mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan,
- perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus
- untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan
- tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang
- perkawinan.
- Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum
- yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan
- dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan.
- Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak
- bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu);
- (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain
- yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda
- tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah,
- sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan
- di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian
- mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan
- di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
- Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang
- disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna
- yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban
- antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis
- perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan)undang-undang
- dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara
- pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab
- undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD
- berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD
- adalah bagian khusus dari KUHPer.
- Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek
- hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya
- dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli
hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
Hukum pidana Indonesia
Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat
dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur
hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg
mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum
pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi
dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum
pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak
pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil
diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana(KUHP). Hukum pidana
formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia,
pengaturan hukum pidana
Hukum tata negara
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara,
yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan
lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar
lembaga negara, wilayah dan warga negara. Hukum tata negara mengatur
mengenai negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan
nyata dari suatu negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari
negara tertentu) tetapi lebih pada negara dalam arti luas. Hukum ini
membicarakan negara dalam arti yang abstrak.
Hukum tata usaha (administrasi) negara
Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur
kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata
pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum
administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.
kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan
dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi
konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam
hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara
dimana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukum tata usaha negara
juga sering disebut HTN dalam arti sempit.
Hukum acara perdata Indonesia
Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara
beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata.
Dalam hukum acara perdata, dapat dilihat dalam berbagai peraturan
Belanda dulu(misalnya; Het Herziene Inlandsh Reglement/HIR, RBG, RB,RO).
Hukum acara pidana Indonesia
Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata
cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana.
Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.
Asas dalam hukum acara pidana
Asas di dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:
- Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan
- berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
- Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu
- serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan
- hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
- Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan,
- bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya
- (pasal 54 KUHAP).
- Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka
- untuk umum (pasal 64 KUHAP).
- Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban
- pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.
Hukum antar tata hukum
Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua
golongan atau lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.
Dll....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar