Inilah Para Ilmuwan Muslim Legendaris dari Dinasti Buwaihi
Senin, 02 April 2012, 07:00 WIB
Ibnu Sina (ilustrasi).
Berita Terkait
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Ruslan
* Ibnu Sina
Avicenna, begitu orang Barat biasa memanggilnya. Ilmuwan bernama Abu ‘Ali al-Husayn bin ‘AbdullĂ„h bin SĂ„«na itu terlahir pada tahun 980 di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan. Ia adalah ilmuwan Muslim yang sangat legendaris. Tak kurang dari 450 judul buku berhasil ditulisnya.
Melalui Al-Qanun fi At Tibb – buku kedokteran klasik paling terpopuler – Ibnu Sina kemudian ditabalkan peradaban manusia sebagai "Bapak Kedokteran Modern". Sejarawan Sains, George Sarton menyebut Ibnu Sina sebagai ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu.
Ilmu kedokteran dipelajarinya saat berusia 16 tahun. Hebatnya, dia tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi langsung praktik dengan merawat orang sakit. Ia berhasil menemukan metode-metode baru perawatan melalui perhitungannya sendiri.
* Al-Farghani
Abu'l-Abbas Ahmad ibnu Muhammad ibnu Kathir Al-Farghani adalah insinyur sipil terkemuka yang terlahir di Farghana, Tansoksiana. Orang Barat biasa menyebutnya Al-Fraganus. Sebelum terjun dalam bidang teknik sipil, sejatinya Al-Farghani adalah seorang astronom. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Kitab fi al-Harakat al-Samawiya wa Jawami Ilm al-Nujum (Elemen-elemen Astronomi).
Pada tahun 987 M, Ibnu Al-Nadim mengungkapkan, Al-Farghani berhasil menulis dua buku penting dalam bidang teknik yakni, Kitab al-Fusul, Ikhtiyar al-Majisti dan Kitab Amal Al-Rukhmat atau 'Book on the Construction of Sun-dials.
* Abul Wafa Al-Buzjani
Ia adalah seorang ahli matematika Muslim yang fenomenal pada abad ke-10 M. “Ia adalah salah satu matematikus terhebat yang dimiliki perabadan Islam,” papar Bapak Sejarah Sains, George Sarton dalam bukunya bertajuk “Introduction to the History of Science.
Abul Wafa adalah seorang saintis serba bisa. Selain jago di bidang matematika, ia pun terkenal sebagai insinyur dan astronom terkenal pada zamannya. Kiprah dan pemikirannya di bidang sains diakui peradaban Barat.
Abul Wafa tercatat sebagai matematikus pertama yang mencetuskan rumus umum sinus. Selain itu, sang matematikus pun mencetuskan metode baru membentuk tabel sinus. Ia juga membenarkan nilai sinus 30 derajat ke tempat desimel kedelapan. Yang lebih mengagumkan lagi, Abul Wafa membuat studi khusus tentang tangen serta menghitung sebuah tabel tangen.
Abul Wafa tumbuh besar di era bangkitnya sebuah dinasti Islam baru yang berkuasa di wilayah Iran. Dinasti yang bernama Buwaih itu berkuasa di wilayah Persia -- Iran dan Irak – pada tahun 945 hingga 1055 M. Kesultanan Buwaih menancapkan benderanya di antara periode peralihan kekuasaan dari Arab ke Turki.
* Muhammad Al-Karaji,
Di era keemasan Islam, para ilmuwan Muslim memang telah menguasai bidang hidrologi. Penguasaan di bidang ini meliputi masalah penyediaan berbagai sarana air bersih, pengendalian gerakan air, serta penemuan berbagai teknologi hidrologi.
Mohammed Abattouy dalam karyanya bertajuk Muhammad Al-Karaji: A Mathematician Engineer from the Early 11th Century, mengungkapkan, pengusaan teknologi mesin air di dunia Islam telah melahirkan sebuah revolusi pertanian yang berbasis pada penguasaan di bidang hidrologi.
Salah seorang ilmuwan Muslim yang menjadi perintis di bidang mesin air adalah Muhammad al-Karaji. Ia adalah seorang ahli matematika dan juga ahli mesin. Menurut Abattouy, pada masa itu, al-Karaji sudah mampu menjelaskan tentang air bawah tanah dan segala perlengkapannya.
Ilmuwan bernama lengkap Abu Bakr Muhammad b al-Hasan (al-Husayn) itu adalah seorang ahli matematika dan ahli mesin terkemuka . Di usianya yang masih muda, ia telah melanglangbuana ke Baghdad. Di pusat pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah, yang saat itu dikuasai Dinasti Buwaih, ia memegang posisi tinggi dalam bidang administrasi, sekitar tahun 402 H/1011-12 M. Setelah itu dia kembali ke tanah kelahirannya.
Al-Karaji diyakini telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peradaban Islam dan umat manusia saat tinggal di Baghdad. Risalah pentingnya dalam aljabar telah didedikasikan kepada wazir Fakhr al-Mulk, menteri Baha'al-Dawla, penguasa Dinasti Buwaih di Baghdad (wafat 406 H/1015 M).
Al-Karaji meninggalkan pemerintah Abbasiyah untuk hidup dalam apa yang digambarkannya sebagai "mountain countries". Dia telah menyumbangkan pemikirannya dalam bidang hidrologi dan matematika.
Redaktur: Heri Ruslan
Dinasti Buwaihi: Rezim Syiah dalam Kekhalifahan Abbasiyah
Senin, 02 April 2012, 05:58 WIB
Peninggalan Dinasti Buwaihi
Berita Terkait
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Ruslan
Dinasti Buwaihi dibangun oleh tiga putra Abu Syuja' Buwaihi – seorang pencari ikan dari Dailam, Iran utara.
Memasuki abad ke-10 M, kejayaan Kekhalifahan Abbasiyah mulai meredup. Ketika dipimpin oleh Khalifah Ar-Radhi Billah – penguasa Abbasiyah ke-20 yang berkuasa pada 940-944 M – kekuatan politik dan militer Adidaya dari dunia Islam itu mulai tak berdaya.
Pada era itu, wilayah-wilayah yang tergabung dalam Kekhalifahan Abbasiyah mulai memisahkan diri. Mereka mendirika dinasti-dinasti kecil. Wilayah kekuasaan Abbasiyah mulai menyempit, ketika di Mesir, Afrika Utara berdiri Kekhalifahan Fatimiyah, dan perwakilan Abbasiyah di Andalusia (Spanyol) memproklamirkan berdirinya Kekhalifahan Ummayah.
Di tengah situasi yang tak menguntungkan itulah, sebuah dinasti bermazhab Syiah yang berkuasa di wilayah Persia dan Irak masuk dan mengendalikan kekuatan politik dan pemerintahan Abbasiyah. ‘’Kegagalan Kekhalifahan Abbasiyah untuk merekrut dan membayar militer selama paruh pertama abad ke-4 H/10 M yang membuat dinasti itu mengendalikan Abbasiyah,’’ ujar Prof Syafiq Mughni dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Khilafah.
Dinasti Syiah yang menguasai politik dan pemerintahan Abbasiyah selama 110 tahun (945-1055 M) itu bernama Buwaihi. Dinasti Buwaihi dibangun oleh tiga putra Abu Syuja' Buwaihi – seorang pencari ikan dari Dailam, Iran utara. Ketiganya adalah Ali bin Buwaihi yang berkuasa di Isfahan, Iran; Hasan bin Buwaihi yang berkuasa di Rayy dan Jabal, Iran; serta Ahmad yang membangun kekuatan di Khuzistan dan Al-Ahwaz (sekitar Irak).
Menurut Ensiklopedi Islam, ketiga bersaudara itu memulai karier sebagai prajurit pada bani Samaniyah. Mereka menjadi pasukan perang yang dipimpin seorang panglima bernama Makan Ibnu Kali. Tak lama setelah pamor panglima perang di wilayah Dailam, Iran utara itu meredup, tiga bersaudara itu bergabung dengan pasukan Mardawij ibnu Zayyar Al-Dailamy.
Prestasi mereka dalam militer begitu kinclong. Ibnu Maskawih dalam Tajarub Al-Umam mengisahkan, panglima Mardawij yang begitu puas dengan prestasi tiga bersaudara itu, kemudian mengangkat Ali sebagai gubernur Al-Karaj. Hasan dan Ahmad pun menduduki jabatan penting.
Ketiga bersaudara itu membangun kekuatan dan kekuasaannya dari Al-Karaj. Pasukan pimpinan Ali berhasil melebarkan sayap kekuasaannya ke daerah-daerah di Persia. Kota Syiraz mereka jadikan pusat pemerintahan Bani Buwaih. Sepeninggal panglima Mardawij, ketiganya berhasil menaklukkan kota penting di Persia, seperti Isfahan, Ray dan Jabal.
***
Saat itu kekuasaan Abbasiyah masih begitu kuat. Untuk menunjukkan eksistensi Dinasti Buwaih, Ali pun beruapaya mendapatkan pengakuan dari khalifah Abbasiyah. Setelah menyetorkan upeti ke Baghdad, Dinasti Buwaih pun secara resmi diakui oleh Khalifah Al-Radhi Billah. Berbekal legalitas dari Baghdad, Bani Buwaih melebarkan sayap kekuasaannya hingga mencapai Irak, Ahwaz dan Wasith.
Di tengah menguatnya kekuatan militer Bani Buwaih, pusat pemerintahan Abbasiyah justru dilanda kekisruhan. Pangkal persoalannya adalah perebutan kursi Amir Al-Umara (penguasa politik negara) antara wazir dengan petinggi militer. Pejabat militer di ibu kota Abbasiyah memohon bantuan Dinasti Buwaihi.
Pada 11 Jumadilawal 334 Hijiriah/945 M, pasukan Hasan bin Buwaihi memasuki Baghdad dan disambut oleh penduduk metropolitan dunia itu. Kehadiran pasukan tentara di bawah dinasti bermazhab Syiah itu menawarkan harapan baru bagi masyarakat di kota Baghdad yang sudah jengah dengan tekanan-tekanan dari keturunan Turki dan budak-budak yang menguasai istana.
Menurut Prof Badri Yatim dalam Sejarah Peradaban Islam, kehadiran pasukan Buwaih itu juga mendapat sambutan dari khalifah. Meski tak menerima gelar Amir Al-Umara (pemimpin para pemimpin), Hasan mendapat anugerah kehormatan berupa gelar Mu'izz Al-Daulah (penegak negara). Kedua saudara kandungnya, Ali dan Ahmad dan masing-masing mendapat gelar Imad ad-Daulah (tiang negara) dan Rukn ad-daulah (penopang negara).
Berdasarkan kesepakatan antara Khalifah Abbasiyah dan Ali bin Buwaihi, keturunan Buwaihi akan diakui sebagai sultan. Dinasti Buwaihi pun mengakui kedudukan khalifah. Nama-nama mereka dan khalifah akan disebutkan dalam khutbah-khutbah Jumat, dan diukir pula dalam mata uang logam. ‘’Sejatinya, para penguasa Buwaihi adalah penguasa Abbasiyah,’’ tulis Ensiklopedi Islam.
Sejak saat itulah, Kekhalifahan Abbasiyah dikendalikan para amir Bani Buwaih. Khalifah tak lebih hanya sebagai simbol, tak berdaya dan tak memiliki kekuatan politik dan militer. ‘’Pada masa pemerintahan Bani Buwaihi inilah, para Khalifah Abbasiyah hanya tinggal namanya saja,’’ tutur Prof Badri Yatim. Sebab, pelaksanaan pemerintahan berada dalam genggaman amir-amir Buwaihi.
Dinasti Buwaih pun memindahkan pusat kekuasaannya dari Syiraz ke Baghdad. Di kota itu mereka membangun Dar Al-Mamlakah. Meski begitu, pusat kekuasaan Dinasti Buwaihi yang sebenarnya berada di Syiraz, tempat Ali bin Buwaihi (saudara tertua) bertahta. Berkuasanya Bani Buwaih di Baghdad ternyata mampu menyatukan kembali dinasti-dinasti kecil yang sempat menyatakan keluar dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Menurut Prof Badri Yatim, pada masa kepemimpinan amir-amir Buwaihi, sering terjadi bentrokan dan konflik antara penganut Sunni dan Syiah. Setelah 110 tahun mengendalikan kekhalifahan Abbasiyah, kekuatan politik Dinasti Buwaih pun terus meredup.
Tak seperti tiga pendahulunya yang kompak dan saling melengkapi, generasi penerus Buwaih juga dilanda pertikaian. Lagi-lagi jabatan dan kekuasaan yang menjadi pangkal masalah. Kendali kekuasaan Dinasti Buwaih di Kekhalifahan Abbasiyah akhirnya diambil alih oleh Dinasti Seljuk dari Turki. Redaktur: Heri Ruslan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar