Terbongkar! Inilah 24 Fakta Reklamasi yang Ditutupi Luhut dan Ahok
http://www.beritaislam24h.com/2016/09/terbongkar-inilah-24-fakta-reklamasi.html
Terbongkar! Inilah 24 Fakta Reklamasi yang Ditutupi Luhut dan Ahok
Berita Islam 24H - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI mengungkap temuan terkait Reklamasi Teluk Jakarta yang kini disembunyikan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Menko Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan. Ini didapatkan KLH setelah melakukan studi selama beberapa waktu, April 2016.
Berikut ulasan dibawah ini. Simak!
1. Pasir penguruk diambil dari Pulau Tunda, Provinsi Banten. Namun,
ternyata, proses pengambilan pasir di Pulau Tunda itu, tidak dilakukan
kajian AMDAL terlebih dahulu.
2. Tidak ada rencana yang jelas mengenai penanganan limbah terpadu di
air permukaan dan pengelolaan sedimentasi. Sungai yang bermuara di Teluk
Jakarta, di antaranya Kali Ciliwung dan puluhan kali irigasi lainnya.
3. Terjadinya degradasi ekosistem pesisir dan mangrove yang belum
ditangani. Indikasi muncul, menurut Menteri Siti Nurbaya, mangrove
tertekan dan makin hilang. “Di Muara Angke, indikasi lapangan, ada
kemungkinan mangrove mati karena air tersumbat. Alur air laut tak jalan
baik.”
4. Mitigasi dampak sosial tak memadai. Begitu juga persoalan pencegahan
kemiskinan dan ancaman kehidupan nelayan masih tak memadai. Di pantai
utara Jakarta, kurang lebih ada 200-an nelayan yang bergantung dari laut
dan pelayaran, dan jelas kehilangan lapangan kerja jika laut dikapling.
5. Pada Pulau D, reklamasi sudah terbangun, sudah banyak infrastruktur
dan gedung-gedung. Namun dalam temuan KLH, itu semua tanpa dilengkapi
Amdal, UKL/UPL dan izin lingkungan. Bahkan tak ada IMB.
6. Tak terjamin ketersediaan air bersih pada AMDAL yang dibuat dari pulau A hingga N.
7. Kegiatan vital yang akan terpengaruh seperti listrik, gas dan
lain-lain, ternyata tak dikaji. “Kecuali Pulau G dan H memang disebutkan
dan menimbulkan dampak penting. Banjir Pulau H-L tak dikaji,” tegas
Menteri Siti Nurbaya.
8. Keseluruhan pulau tak melakukan kajian pemenuhan kebutuhan bahan
urukan, kecuali Pulau Benda. Artinya, dari mana, sebesar apa, dan
terbuat dari apa bahan urukan, tidak jelas.
9. Pulau C,D dan E, I, L, tak dikaji mengenai dampaknya terhadap PLTU
Muara Karang dan Pelabuhan Tanjung Priok. Termasuk, kabel listrik dan
juga lalu lintas laut.
10. Soal limpasan endapan hasil reklamasi terhadap ekosistem terumbu
karang, Kabupaten Tangerang mencatat timbulkan dampak penting pada
perairannya tetapi tak masuk kajian di Pulau F dan G.
11. Provinsi DKI tidak mengkaji Dampak sedimentasi terhadap sentra
perikanan di Teluk Jakarta dan Pelabuhan Marina.. “Dampak sedimentasi
muara sungai dan perendaman air tawar di kawasan reklamasi, Tangerang
catat dampak penting. DKI tak mengkaji,” kata Menteri Siti lagi.
12. Di Pulau D, katanya, sudah terbangun sekitar 104 ruko dan beberapa
rumah tinggal. Dan itu semua hanya memiliki izin reklamasi, bukan izin
membangun. Artinya, tanpa IMB.
13. Pulau D menggunakan tanggul batu gunung tak sesuai dokumen Amdal.
Sumber batu gunung juga tak jelas. “Perusahaan tak dapat menunjukkan
bukti kontrak dengan supplier batu gunung.” kata Menteri Siti
menegaskan.
14. Pulau C dan D, tak dipisahkan kanal sesuai Rencana Tata Ruang dan
Wilayah Jakarta. Dalam dokumen Amdal, juga tak disebutkan detil rencana
pemisahan Pulau C dan D bagaimana.
15. Di sekitar Pulau C dan D juga terjadi pendangkalan. Kala tim KLHK
mewawancarai nelayan, kata Siti, mereka mengeluhkan jarak tempuh melaut
lebih jauh hingga pendapatan berkurang.
16. Surat izin membangun prasarana milik pengembang, PT Jakarta
Propertindo, sudah habis masa berlaku di Pulau D, surat izin membangun
prasarana terbit sebelum ada izin lingkungan.
17. Di Pulau G, yang dipegang PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan Agung Podomoro, perusahaan menolak pengawasan KLH.
18. PT Muara Wisesa Samudra tak mau memberikan dokumen perizinan
lingkungan. Untuk peninjauan lapangan, perusahaan menyatakan, perlu satu
dua hari berkoodinasi dengan kontraktor reklamasi.
19. Pulau L selatan dikerjakan PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk. Izin
prinsip sudah tak berlaku sejak 2013. Perusahaan sudah mengajukan
perpanjangan tetapi belum terbit yang baru. Perusahaan tak dapat
menunjukkan izin reklamasi.
20. Di Pulau L perusahaan PT Pembangunan Jaya Ancol sudah menanggul
sepanjang sekitar 1.800 meter sisi utara sejak Juni 2014 dan selesai
Januari 2015. Tanggul area proyek selesai kesekuruhan 2.923 meteran,
tanpa izin.
21. Tambang pasir di Rumpin, Bogor, yang mengeruk pasir untuk Reklamasi, tanpa izin. Baik untuk izin mengeruk maupun mengangkut.
22. Menteri Siti Nurbaya: “Batu dari mana? Tak ada atupun perusahaan
jawab darimana batu? Dari hulu ke hilir kemaksiatan terjadi”
23. Deddy Mizwar, Wakil Gubernur Jawa Barat: “Kalo usir, pasti pelarian
ke Jabar dan Banten. Karena industri manufaktur 60% di Jabar. Kami tak
keberatan tampung orang miskin Jakarta, tapi ini harus dijawab. Bukan
hanya peraturan yang mendukung pembangunan.”
24. 200 nelayan terusir dari Jakarta Utara dan hanya dijadikan tenaga satpam kelak jika reklamasi selesai.
24 fakta ini ditutup-tutupi Ahok dan Luhut Pandjaitan. Bahkan, reklamasi terus berjalan dan tidak mengindahkan tuntutan nelayan.
[beritaislam24h.com / ppc]
Sejak awal, proyek ini ditentang oleh kalangan nelayan. Para nelayan menganggap reklamasi akan merusak lingkungan dan membuat mereka gulung tikar. Namun Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berkukuh melaksanakan reklamasi dengan dalih proyek itu sudah direncanakan sejak zaman Presiden Soeharto.
Adanya ketidaksepahaman antaranggota menyebabkan DPRD terbelah. Ada yang pro, ada yang kontra. Sampai hari ini, pembahasan dua peraturan daerah mengenai pulau reklamasi, yakni rencana tata ruang kawasan strategis pantai utara Jakarta (RTRKSPJ) dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K), tak kunjung usai.
Hingga akhirnya, pada 31 Maret 2016, penyidik Lembaga Antirasuah menangkap tangan Ketua Komisi D DPRD Jakarta Sanusi karena menerima duit dari bos Agung Podomoro Land, pengembang proyek reklamasi.
Berikut ini adalah perjalanan pembahasan perda reklamasi.
23 November 2015
Penyampaian raperda dengan Surat Gubernur Nomor 4131/-075.61 tertanggal 16 November 2015 perihal usul pembahasan rancangan peraturan daerah tentang RTRKSPJ kepada Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta.
25 November 2015
Rapat paripurna penyampaian penjelasan Gubernur DKI Jakarta terhadap Raperda RTRKSPJ.
30 November 2015
Rapat paripurna penyampaian pemandangan umum fraksi-fraksi terhadap perda tentang RTRKSPJ.
4 Desember 2015
Rapat paripurna penyampaian jawaban Gubernur DKI Jakarta atas pemandangan umum fraksi-fraksi terhadap rancangan peraturan daerah tentang RTRKSPJ dan RZWP3K serta pendapat akhir Gubernur terhadap pembentukan peraturan daerah.
21 Desember 2015-16 Februari 2016
Pembahasan pasal-pasal Raperda RTRKSPJ bersama Balegda.
18 Februari 2016
Rapat Bamus DPRD perubahan jadwal ke-X pembahasan raperda RTRKSPJ dengan kesepakatan:
- Jumat, 19 Februari 2016, pukul 13.00, rapat kerja internal Balegda (penelitian pasal-pasal Raperda RTRKSPJ).
- Selasa, 23 Februari 2016, pukul 14.00, rapim gabungan dewan, fraksi, komisi, Balegda, dan pimpinan eksekutif.
- Kamis, 25 Februari 2016, pukul 14.00, rapat paripurna persetujuan Raperda RTRKSPJ.
23 Februari 2016
Rapat pimpinan gabungan DPRD DKI Jakarta.
25 Februari 2016
Rapat paripurna Raperda RTRKSPJ tidak dilaksanakan.
26 Februari 2016
Konsolidasi naskah akhir Raperda RTRKSPJ di lantai 9 gedung DPRD baru antara tim eksekutif dan tim Balegda (M. Taufik, M. Sanusi, Bestari Barus).
29 Februari 2016
Konsolidasi naskah akhir Raperda RTRKSPJ di lantai 9 gedung DPRD baru tim eksekutif dan tim Balegda (M. Taufik, M. Sanusi, Merry Hotma, Bestari Barus).
8 Maret 2016
Konsolidasi naskah akhir raperda tentang rencana tata ruang kawasan strategis pantura Jakarta di lantai 9 gedung DPRD baru tim eksekutif dan tim balegda (M. Taufik, Bestari Barus). M. Taufik sebagai pemimpin rapat menyampaikan dua lembar kertas berisi usulan perubahan pasal terkait dengan kontribusi tambahan. Selanjutnya, eksekutif melaporkannya ke Gubernur dan Gubernur menuliskan disposisi terhadap usulan perubahan pasal tersebut.
11 Maret 2016
Diskusi informal antara Ketua Balegda, M. Taufik, dan Sekda, Kepala Bappeda, Kepala Biro Penataan Kota dan Lingkungan Hidup, serta Kepala Biro Hukum di ruang kerja sekretaris daerah, membahas tambahan kontribusi. Sekretaris daerah memperlihatkan disposisi Gubernur tersebut kepada M. Taufik. Dalam diskusi ini, tidak diperoleh kesepakatan.
16 Maret 2016
Rapat pimpinan gabungan DPRD DKI Jakarta. Tidak diperoleh kesepakatan tentang perizinan dan tambahan kontribusi sehingga rapat ditunda.
31 Maret 2016
Rapat pimpinan gabungan DPRD DKI Jakarta terjadwal, tapidibatalkan dan diganti dengan Bamus untuk membahas ulang jadwal dengan keputusan Bamus:
1. Senin, 4 April 2016, rapim gabungan.
2. Rabu, 6 April 2016, pukul 14.00, rapat paripurna persetujuan DPRD atas Raperda RTRKSPJ dan Raperda RZWP3K.
MAYA AYU PUSPITASARI
0 Comments
Sep 16, 2016
3,626 views
Somasi Terbuka
Kepada Yth.: Jenderal (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia
Gedung BPPT 1 Lantai 3
Jalan M.H. Thamrin No. 8, Jakarta Pusat
Dengan hormat,
Perkenalkan kami -Warga Negara Indonesia, mahasiswa, nelayan tradisonal, perempuan nelayan dan masyarakat yang peduli pada kelestarian lingkungan dan nasib nelayan- bersama ini menyampaikan Somasi Terbuka kepada Saudara selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia yang telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang pada intinya memutuskan untuk melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Somasi Terbuka ini kami lakukan karena tidak adanya itikad baik dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan sebagai aparat pemerintah dalam menjalankan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta) Nomor 193/G/LH/2015/PTUN-JKT;
Melalui Somasi Terbuka ini kami menyampaikan beberapa hal:
1. Pada tanggal 31 Mei 2016 PTUN Jakarta telah memutuskan menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra dengan pertimbangan:
a. Surat Keputusan Izin Reklamasi Pulau G telah terbukti melanggar pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Izin reklamasi Pulau G melanggar prosedur formal dalam penerbitan izin lingkungan yang tidak melibatkan masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan, tidak adanya penetapan wakil masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal);
b. Surat Keputusan Izin Reklamasi Pulau G tidak sah sebab diterbitkan tidak mencantumkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014;
c. Surat keputusan tidak sah sebab tidak didasari adanya Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K);
d. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah melanggar asas kecermatan, asas ketelitian, dan asas kepastian hukum yang merupakan bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) sebab tidak memperhatikan peraturan perundang-undangan yang seharusnya dijadikan rujukan dalam penerbitan objek sengketa;
2. Dalam putusan tersebut PTUN Jakarta juga mengabulkan Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra) dengan diktum sebagai berikut:
“Memerintahkan kepada Tergugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra selama selama proses pemeriksaan persidangan berlangsung dan sampai perkara ini berkekuatan hukum tetap atau ada penetapan lainnya yang mencabutnya”
3. Pada Selasa 13 September 2016 Saudara bersama Gubernur DKI Jakarta dan aparat pemerintah lainnya mengadakan konferensi pers di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jalan Medan Merdeka Selatan No. 18, Jakarta Pusat, sekira pukul 19.00 WIB yang dalam konferensi pers tersebut menyatakan:
“Kami telah sampai kepada kesimpulan sementara bahwa tidak ada alasan bagi kami untuk tidak melanjutkan reklamasi di Pantai Utara Jakarta, dst…”
Atas hal-hal tersebut di atas kami berpendapat sebagai berikut:
1. Putusan PTUN Jakarta Nomor 193/G/LH/2015/PTUN-JKT tanggal 31 Mei 2016 harus dipatuhi oleh setiap orang di wilayah negara Republik Indonesia;
2. Bahwa adapun penundaan Pelaksanaan Reklamasi Pulau G sebagaimana tersebut di atas didasarkan atas pertimbangan bahwa:
a. Jika reklamasi dilanjutkan akan menimbulkan pencemaran terhadap perairan laut;
b. Jika reklamasi dilanjutkan maka akan merugikan nelayan tradisional di Teluk Jakarta;
c. Jika reklamasi dilanjutkan terdapat potensi kerusakan lingkungan;
d. Reklamasi tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan;
3. Bahwa yang dimaksud dengan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara -sesuai dengan namanya- adalah tindakan Pengadilan yang menunda pelaksanaan KTUN dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang matang dan dituangkan dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
4. Bahwa sebagai akibat dari penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara sebagaimana diputuskan oleh PTUN Jakarta tersebut, pelaksanaan reklamasi Pulau G berhenti. Hal ini juga diketahui dan dipahami oleh Gubernur DKI Jakarta maupun PT. Muara Wisesa Samudera yang tidak melakukan aktivitas di Pulau G;
5. Bahwa atas Putusan PTUN Jakarta tersebut tidak ada alasan bagi Saudara untuk melanjutkan Proyek Reklamasi Pulau G sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;
Kami menilai tindakan Saudara memutuskan melanjutkan reklamasi Pulau G adalah tindakan penghinaan terhadap prinsip-prinsip negara hukum dan tindakan Contemt of Court atau penghinaan terhadap lembaga peradilan dalam bentuk ketidakpatuhan terhadap apa yang telah diputuskan oleh pengadilan. Hal ini didasarkan pada:
a. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dalam sturuktur pemerintahan Indonesia dikenal lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga yudikatif yang berfungsi menegakkan hukum dan keadilan atas setiap tindakan hukum Pejabat Tata Usaha Negara yang melanggar hak orang lain. Berdasarkan doktrin hukum yang ada putusan pengadilan merupakan hukum yang berlaku untuk setiap orang tanpa kecuali. Sehingga sudah seharusnya untuk dipatuhi;
b. Tindakan Saudara melanjutkan reklamasi merupakan tindakan yang mempertontonkan arogansi kekuasaan ketimbang kebijaksanaan aparat pemerintah dalam mengelola negara. Sebagai seorang aparat pemerintah yang memegang Jabatan Menteri Koordinator hal ini merupakan preseden yang sangat buruk dalam menjalankan amanat pemerintahan yang diberikan oleh Presiden selaku atasan Saudara yang notabene dipilih secara demokratis oleh masyarakat Indonesia;
c. Tindakan saudara melanggar pasal 7 huruf K Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sehingga tindakan saudara melanggar asas kepastian hukum serta asas kecermatan demikian juga merupakan pelanggaran terhadap undang-undang;
Atas hal-hal tersebut diatas, kami menuntut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia dalam jangka waktu 3 X 24 jam sejak surat peringatan ini dibacakan wajib untuk menghormati hukum dan mencabut pernyataan melaksanakan Reklamasi Pantai Utara Jakarta termasuk Reklamasi Pulau G sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Jika Saudara tidak mematuhi Somasi Terbuka ini, kami akan:
1. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberikan sanksi teguran kepada Saudara;
2. Mendatangi Ketua Mahkamah Agung untuk turut campur memaksa Saudara untuk menghormati putusan Pengadilan Tata Usaha Negara;
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli mempercayai pernyataan pengembang untuk menuruti aturan pemerintah soal reklamasi. Jika pengembang membangkang, ia tak segan-segan akan bertindak keras.
Rizal mengatakan, setelah penataan kawasan pulau-pulau reklamasi maka akan dibangun kanal agar mempermudah kerja nelayan. Ia menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah, rakyat, dan pengembang agar proyek reklamasi berjalan sesuai koridornya tanpa merugikan salah satu pihak. Ia meminta pengembang menuruti segala peraturan perundangan yang berlaku.
"Setelah ini ditata akan dibangun kanal kita pegang omongan pengembang, kalau enggak ya ribet. Ikutin undang-undang dan aturan supaya ada win-win solution," katanya kepada wartawan saat kunjungan ke Pulau D, Rabu (4/5).
Ia menjelaskan, pemerintah tak ingin proyek reklamasi malah menjadi jembatan antara golongan menengah ke atas dan menengah ke bawah. Ia berharap proyek reklamasi juga mampu menguntungkan masyarakat kelompok menengah ke bawah.
"Saya tidak ingin di indonesia ada benteng fisik dan nonfisik (dengan adanya pulau reklamasi). Saya enggak ingin yang miskin digusur yang kaya dapat lahan. Jangan sampai terjadi di Amerika, orang super kaya punya benteng tinggi karena takut sama orang miskin," ujarnya.
Diketahui, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dan Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Kehutanan Siti Nurbaya akan mengunjungi pulau D hasil proyek reklamasi pada Rabu, (4/5).
0 Comments
Sep 27, 2016
482 views
LBH Jakarta mendampingi warga korban penggusuran paksa di kawasan
Papanggo, Jakarta Utara, dan Duri Kepa, Jakarta Barat, untuk mengajukan
permohonan judicial review Undang-Undang PrP Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.
Warga Papanggo mengalami penggusuran paksa pada tahun 2008, sementara warga Duri Kepa mengalami penggusuran paksa pada tahun 2015. Keduanya digusur secara sepihak oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanpa ganti rugi apapun dan didampingi oleh LBH Jakarta untuk menuntut hak-hak mereka.
“Undang-Undang ini melanggar hak konstitusional korban penggusuran karena memberikan wewenang kepada pemerintah untuk bertindak diskriminatif terhadap warganya sendiri pada saat melakukan penggusuran, yaitu klaim sepihak tanpa perlu menunjukkan sertifikat dan proses musyawarah, penggunaan kekerasan, hingga penggunaan aparat yang tidak berwenang, seperti TNI,” ujar Alldo Fellix Januardy, Pengacara Publik LBH Jakarta.
LBH Jakarta mengajukan pembatalan terhadap Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 Undang-Undang Prp Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya karena keseluruhan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Pasal-pasal di atas mengakibatkan hilangnya hak konstitusional warga negara yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh pemerintah. Hak tersebut, antara lain hak atas tempat tinggal, hak atas rasa aman, hak atas perlindungan harta benda, hak atas pekerjaan yang layak, dan hak atas pendidikan dari anak-anak warga yang terpaksa putus sekolah akibat berlangsungnya penggusuran paksa di rumah mereka. Ini tentu sama sekali tidak manusiawi,” tambah Alldo Fellix Januardy.
“Ini adalah ketentuan perang yang sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Undang-Undang ini diterbitkan oleh pemerintah pada masa itu untuk kepentingan pertahanan dari maraknya pemberontakan pada masanya ketika negara menetapkan situasi keadaan bahaya,” pungkas Tigor Gempita Hutapea, Pengacara Publik LBH Jakarta.
“Kami harapkan Mahkamah Konstitusi dapat bersikap arif dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat miskin kota yang terlanggar hak konstitusionalnya oleh negara dengan membatalkan Undang-Undang ini. Masyarakat miskin kota juga harus diperlakukan secara manusiawi dan tidak dilanggar haknya oleh hukum,” tutup Tigor.
Selama pengajuan permohonan, sedikitnya 30 orang perwakilan warga korban penggusuran paksa juga menggelar aksi pembentangan spanduk dan orasi di depan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pada salah satu spanduk tertulis: Batalkan UU PrP Nomor 51 Tahun 1960, Perlakukan Korban Penggusuran dengan Manusiawi.
Kontak:
0 Comments
Sep 27, 2016
482 views
LBH Jakarta mendampingi warga korban penggusuran paksa di kawasan
Papanggo, Jakarta Utara, dan Duri Kepa, Jakarta Barat, untuk mengajukan
permohonan judicial review Undang-Undang PrP Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.
Warga Papanggo mengalami penggusuran paksa pada tahun 2008, sementara warga Duri Kepa mengalami penggusuran paksa pada tahun 2015. Keduanya digusur secara sepihak oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanpa ganti rugi apapun dan didampingi oleh LBH Jakarta untuk menuntut hak-hak mereka.
“Undang-Undang ini melanggar hak konstitusional korban penggusuran karena memberikan wewenang kepada pemerintah untuk bertindak diskriminatif terhadap warganya sendiri pada saat melakukan penggusuran, yaitu klaim sepihak tanpa perlu menunjukkan sertifikat dan proses musyawarah, penggunaan kekerasan, hingga penggunaan aparat yang tidak berwenang, seperti TNI,” ujar Alldo Fellix Januardy, Pengacara Publik LBH Jakarta.
LBH Jakarta mengajukan pembatalan terhadap Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 Undang-Undang Prp Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya karena keseluruhan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Pasal-pasal di atas mengakibatkan hilangnya hak konstitusional warga negara yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh pemerintah. Hak tersebut, antara lain hak atas tempat tinggal, hak atas rasa aman, hak atas perlindungan harta benda, hak atas pekerjaan yang layak, dan hak atas pendidikan dari anak-anak warga yang terpaksa putus sekolah akibat berlangsungnya penggusuran paksa di rumah mereka. Ini tentu sama sekali tidak manusiawi,” tambah Alldo Fellix Januardy.
“Ini adalah ketentuan perang yang sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Undang-Undang ini diterbitkan oleh pemerintah pada masa itu untuk kepentingan pertahanan dari maraknya pemberontakan pada masanya ketika negara menetapkan situasi keadaan bahaya,” pungkas Tigor Gempita Hutapea, Pengacara Publik LBH Jakarta.
“Kami harapkan Mahkamah Konstitusi dapat bersikap arif dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat miskin kota yang terlanggar hak konstitusionalnya oleh negara dengan membatalkan Undang-Undang ini. Masyarakat miskin kota juga harus diperlakukan secara manusiawi dan tidak dilanggar haknya oleh hukum,” tutup Tigor.
Selama pengajuan permohonan, sedikitnya 30 orang perwakilan warga korban penggusuran paksa juga menggelar aksi pembentangan spanduk dan orasi di depan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pada salah satu spanduk tertulis: Batalkan UU PrP Nomor 51 Tahun 1960, Perlakukan Korban Penggusuran dengan Manusiawi.
Kontak:
Ini Perjalanan Pembahasan Perda Reklamasi hingga Suap Sanusi
Rabu, 06 April 2016 | 08:15 WIB
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/06/064760145/ini-perjalanan-pembahasan-perda-reklamasi-hingga-suap-sanusi
Peta 17 pulau rencana reklamasi Teluk Jakarta.
TEMPO.CO, Jakarta
- Pro-kontra proyek reklamasi teluk Jakarta kembali bergulir setelah
Komisi Pemberantasan Korupsi mencium adanya kecurangan yang dilakukan
oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta dan pengembang.Sejak awal, proyek ini ditentang oleh kalangan nelayan. Para nelayan menganggap reklamasi akan merusak lingkungan dan membuat mereka gulung tikar. Namun Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berkukuh melaksanakan reklamasi dengan dalih proyek itu sudah direncanakan sejak zaman Presiden Soeharto.
Adanya ketidaksepahaman antaranggota menyebabkan DPRD terbelah. Ada yang pro, ada yang kontra. Sampai hari ini, pembahasan dua peraturan daerah mengenai pulau reklamasi, yakni rencana tata ruang kawasan strategis pantai utara Jakarta (RTRKSPJ) dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K), tak kunjung usai.
Hingga akhirnya, pada 31 Maret 2016, penyidik Lembaga Antirasuah menangkap tangan Ketua Komisi D DPRD Jakarta Sanusi karena menerima duit dari bos Agung Podomoro Land, pengembang proyek reklamasi.
Berikut ini adalah perjalanan pembahasan perda reklamasi.
23 November 2015
Penyampaian raperda dengan Surat Gubernur Nomor 4131/-075.61 tertanggal 16 November 2015 perihal usul pembahasan rancangan peraturan daerah tentang RTRKSPJ kepada Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta.
25 November 2015
Rapat paripurna penyampaian penjelasan Gubernur DKI Jakarta terhadap Raperda RTRKSPJ.
30 November 2015
Rapat paripurna penyampaian pemandangan umum fraksi-fraksi terhadap perda tentang RTRKSPJ.
4 Desember 2015
Rapat paripurna penyampaian jawaban Gubernur DKI Jakarta atas pemandangan umum fraksi-fraksi terhadap rancangan peraturan daerah tentang RTRKSPJ dan RZWP3K serta pendapat akhir Gubernur terhadap pembentukan peraturan daerah.
21 Desember 2015-16 Februari 2016
Pembahasan pasal-pasal Raperda RTRKSPJ bersama Balegda.
18 Februari 2016
Rapat Bamus DPRD perubahan jadwal ke-X pembahasan raperda RTRKSPJ dengan kesepakatan:
- Jumat, 19 Februari 2016, pukul 13.00, rapat kerja internal Balegda (penelitian pasal-pasal Raperda RTRKSPJ).
- Selasa, 23 Februari 2016, pukul 14.00, rapim gabungan dewan, fraksi, komisi, Balegda, dan pimpinan eksekutif.
- Kamis, 25 Februari 2016, pukul 14.00, rapat paripurna persetujuan Raperda RTRKSPJ.
23 Februari 2016
Rapat pimpinan gabungan DPRD DKI Jakarta.
25 Februari 2016
Rapat paripurna Raperda RTRKSPJ tidak dilaksanakan.
26 Februari 2016
Konsolidasi naskah akhir Raperda RTRKSPJ di lantai 9 gedung DPRD baru antara tim eksekutif dan tim Balegda (M. Taufik, M. Sanusi, Bestari Barus).
29 Februari 2016
Konsolidasi naskah akhir Raperda RTRKSPJ di lantai 9 gedung DPRD baru tim eksekutif dan tim Balegda (M. Taufik, M. Sanusi, Merry Hotma, Bestari Barus).
8 Maret 2016
Konsolidasi naskah akhir raperda tentang rencana tata ruang kawasan strategis pantura Jakarta di lantai 9 gedung DPRD baru tim eksekutif dan tim balegda (M. Taufik, Bestari Barus). M. Taufik sebagai pemimpin rapat menyampaikan dua lembar kertas berisi usulan perubahan pasal terkait dengan kontribusi tambahan. Selanjutnya, eksekutif melaporkannya ke Gubernur dan Gubernur menuliskan disposisi terhadap usulan perubahan pasal tersebut.
11 Maret 2016
Diskusi informal antara Ketua Balegda, M. Taufik, dan Sekda, Kepala Bappeda, Kepala Biro Penataan Kota dan Lingkungan Hidup, serta Kepala Biro Hukum di ruang kerja sekretaris daerah, membahas tambahan kontribusi. Sekretaris daerah memperlihatkan disposisi Gubernur tersebut kepada M. Taufik. Dalam diskusi ini, tidak diperoleh kesepakatan.
16 Maret 2016
Rapat pimpinan gabungan DPRD DKI Jakarta. Tidak diperoleh kesepakatan tentang perizinan dan tambahan kontribusi sehingga rapat ditunda.
31 Maret 2016
Rapat pimpinan gabungan DPRD DKI Jakarta terjadwal, tapidibatalkan dan diganti dengan Bamus untuk membahas ulang jadwal dengan keputusan Bamus:
1. Senin, 4 April 2016, rapim gabungan.
2. Rabu, 6 April 2016, pukul 14.00, rapat paripurna persetujuan DPRD atas Raperda RTRKSPJ dan Raperda RZWP3K.
MAYA AYU PUSPITASARI
Somasi Terbuka Menolak Dilanjutkannya Reklamasi Teluk Jakarta
http://www.bantuanhukum.or.id/web/somasi-terbuka-menolak-dilanjutkannya-reklamasi-teluk-jakarta/
Kepada Yth.: Jenderal (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia
Gedung BPPT 1 Lantai 3
Jalan M.H. Thamrin No. 8, Jakarta Pusat
Dengan hormat,
Perkenalkan kami -Warga Negara Indonesia, mahasiswa, nelayan tradisonal, perempuan nelayan dan masyarakat yang peduli pada kelestarian lingkungan dan nasib nelayan- bersama ini menyampaikan Somasi Terbuka kepada Saudara selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia yang telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang pada intinya memutuskan untuk melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Somasi Terbuka ini kami lakukan karena tidak adanya itikad baik dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan sebagai aparat pemerintah dalam menjalankan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta) Nomor 193/G/LH/2015/PTUN-JKT;
Melalui Somasi Terbuka ini kami menyampaikan beberapa hal:
1. Pada tanggal 31 Mei 2016 PTUN Jakarta telah memutuskan menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra dengan pertimbangan:
a. Surat Keputusan Izin Reklamasi Pulau G telah terbukti melanggar pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Izin reklamasi Pulau G melanggar prosedur formal dalam penerbitan izin lingkungan yang tidak melibatkan masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan, tidak adanya penetapan wakil masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal);
b. Surat Keputusan Izin Reklamasi Pulau G tidak sah sebab diterbitkan tidak mencantumkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014;
c. Surat keputusan tidak sah sebab tidak didasari adanya Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K);
d. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah melanggar asas kecermatan, asas ketelitian, dan asas kepastian hukum yang merupakan bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) sebab tidak memperhatikan peraturan perundang-undangan yang seharusnya dijadikan rujukan dalam penerbitan objek sengketa;
2. Dalam putusan tersebut PTUN Jakarta juga mengabulkan Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra) dengan diktum sebagai berikut:
“Memerintahkan kepada Tergugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra selama selama proses pemeriksaan persidangan berlangsung dan sampai perkara ini berkekuatan hukum tetap atau ada penetapan lainnya yang mencabutnya”
3. Pada Selasa 13 September 2016 Saudara bersama Gubernur DKI Jakarta dan aparat pemerintah lainnya mengadakan konferensi pers di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jalan Medan Merdeka Selatan No. 18, Jakarta Pusat, sekira pukul 19.00 WIB yang dalam konferensi pers tersebut menyatakan:
“Kami telah sampai kepada kesimpulan sementara bahwa tidak ada alasan bagi kami untuk tidak melanjutkan reklamasi di Pantai Utara Jakarta, dst…”
Atas hal-hal tersebut di atas kami berpendapat sebagai berikut:
1. Putusan PTUN Jakarta Nomor 193/G/LH/2015/PTUN-JKT tanggal 31 Mei 2016 harus dipatuhi oleh setiap orang di wilayah negara Republik Indonesia;
2. Bahwa adapun penundaan Pelaksanaan Reklamasi Pulau G sebagaimana tersebut di atas didasarkan atas pertimbangan bahwa:
a. Jika reklamasi dilanjutkan akan menimbulkan pencemaran terhadap perairan laut;
b. Jika reklamasi dilanjutkan maka akan merugikan nelayan tradisional di Teluk Jakarta;
c. Jika reklamasi dilanjutkan terdapat potensi kerusakan lingkungan;
d. Reklamasi tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan;
3. Bahwa yang dimaksud dengan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara -sesuai dengan namanya- adalah tindakan Pengadilan yang menunda pelaksanaan KTUN dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang matang dan dituangkan dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
4. Bahwa sebagai akibat dari penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara sebagaimana diputuskan oleh PTUN Jakarta tersebut, pelaksanaan reklamasi Pulau G berhenti. Hal ini juga diketahui dan dipahami oleh Gubernur DKI Jakarta maupun PT. Muara Wisesa Samudera yang tidak melakukan aktivitas di Pulau G;
5. Bahwa atas Putusan PTUN Jakarta tersebut tidak ada alasan bagi Saudara untuk melanjutkan Proyek Reklamasi Pulau G sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;
Kami menilai tindakan Saudara memutuskan melanjutkan reklamasi Pulau G adalah tindakan penghinaan terhadap prinsip-prinsip negara hukum dan tindakan Contemt of Court atau penghinaan terhadap lembaga peradilan dalam bentuk ketidakpatuhan terhadap apa yang telah diputuskan oleh pengadilan. Hal ini didasarkan pada:
a. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dalam sturuktur pemerintahan Indonesia dikenal lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga yudikatif yang berfungsi menegakkan hukum dan keadilan atas setiap tindakan hukum Pejabat Tata Usaha Negara yang melanggar hak orang lain. Berdasarkan doktrin hukum yang ada putusan pengadilan merupakan hukum yang berlaku untuk setiap orang tanpa kecuali. Sehingga sudah seharusnya untuk dipatuhi;
b. Tindakan Saudara melanjutkan reklamasi merupakan tindakan yang mempertontonkan arogansi kekuasaan ketimbang kebijaksanaan aparat pemerintah dalam mengelola negara. Sebagai seorang aparat pemerintah yang memegang Jabatan Menteri Koordinator hal ini merupakan preseden yang sangat buruk dalam menjalankan amanat pemerintahan yang diberikan oleh Presiden selaku atasan Saudara yang notabene dipilih secara demokratis oleh masyarakat Indonesia;
c. Tindakan saudara melanggar pasal 7 huruf K Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sehingga tindakan saudara melanggar asas kepastian hukum serta asas kecermatan demikian juga merupakan pelanggaran terhadap undang-undang;
Atas hal-hal tersebut diatas, kami menuntut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia dalam jangka waktu 3 X 24 jam sejak surat peringatan ini dibacakan wajib untuk menghormati hukum dan mencabut pernyataan melaksanakan Reklamasi Pantai Utara Jakarta termasuk Reklamasi Pulau G sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Jika Saudara tidak mematuhi Somasi Terbuka ini, kami akan:
1. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberikan sanksi teguran kepada Saudara;
2. Mendatangi Ketua Mahkamah Agung untuk turut campur memaksa Saudara untuk menghormati putusan Pengadilan Tata Usaha Negara;
Jakarta, 16 September 2016
Hormat kami,
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta
(LBH Jakarta, KNTI, Walhi, Kiara, YLBHI, PBH Dompet Dhuafa, Icel, KNT, BEM UI, BEM-SI, PNPI, Solidaritas Perempuan)
(LBH Jakarta, KNTI, Walhi, Kiara, YLBHI, PBH Dompet Dhuafa, Icel, KNT, BEM UI, BEM-SI, PNPI, Solidaritas Perempuan)
Reklamasi Dilanjutkan, Ini Dalih Rizal Ramli
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli mempercayai pernyataan pengembang untuk menuruti aturan pemerintah soal reklamasi. Jika pengembang membangkang, ia tak segan-segan akan bertindak keras.
Rizal mengatakan, setelah penataan kawasan pulau-pulau reklamasi maka akan dibangun kanal agar mempermudah kerja nelayan. Ia menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah, rakyat, dan pengembang agar proyek reklamasi berjalan sesuai koridornya tanpa merugikan salah satu pihak. Ia meminta pengembang menuruti segala peraturan perundangan yang berlaku.
"Setelah ini ditata akan dibangun kanal kita pegang omongan pengembang, kalau enggak ya ribet. Ikutin undang-undang dan aturan supaya ada win-win solution," katanya kepada wartawan saat kunjungan ke Pulau D, Rabu (4/5).
Ia menjelaskan, pemerintah tak ingin proyek reklamasi malah menjadi jembatan antara golongan menengah ke atas dan menengah ke bawah. Ia berharap proyek reklamasi juga mampu menguntungkan masyarakat kelompok menengah ke bawah.
"Saya tidak ingin di indonesia ada benteng fisik dan nonfisik (dengan adanya pulau reklamasi). Saya enggak ingin yang miskin digusur yang kaya dapat lahan. Jangan sampai terjadi di Amerika, orang super kaya punya benteng tinggi karena takut sama orang miskin," ujarnya.
Diketahui, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dan Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Kehutanan Siti Nurbaya akan mengunjungi pulau D hasil proyek reklamasi pada Rabu, (4/5).
LBH Jakarta Ajukan Judicial Review Undang-Undang Penggusuran ke Mahkamah Konstitusi
http://www.bantuanhukum.or.id/web/lbh-jakarta-ajukan-judicial-review-undang-undang-penggusuran-ke-mahkamah-konstitusi/
Warga Papanggo mengalami penggusuran paksa pada tahun 2008, sementara warga Duri Kepa mengalami penggusuran paksa pada tahun 2015. Keduanya digusur secara sepihak oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanpa ganti rugi apapun dan didampingi oleh LBH Jakarta untuk menuntut hak-hak mereka.
“Undang-Undang ini melanggar hak konstitusional korban penggusuran karena memberikan wewenang kepada pemerintah untuk bertindak diskriminatif terhadap warganya sendiri pada saat melakukan penggusuran, yaitu klaim sepihak tanpa perlu menunjukkan sertifikat dan proses musyawarah, penggunaan kekerasan, hingga penggunaan aparat yang tidak berwenang, seperti TNI,” ujar Alldo Fellix Januardy, Pengacara Publik LBH Jakarta.
LBH Jakarta mengajukan pembatalan terhadap Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 Undang-Undang Prp Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya karena keseluruhan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Pasal-pasal di atas mengakibatkan hilangnya hak konstitusional warga negara yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh pemerintah. Hak tersebut, antara lain hak atas tempat tinggal, hak atas rasa aman, hak atas perlindungan harta benda, hak atas pekerjaan yang layak, dan hak atas pendidikan dari anak-anak warga yang terpaksa putus sekolah akibat berlangsungnya penggusuran paksa di rumah mereka. Ini tentu sama sekali tidak manusiawi,” tambah Alldo Fellix Januardy.
“Ini adalah ketentuan perang yang sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Undang-Undang ini diterbitkan oleh pemerintah pada masa itu untuk kepentingan pertahanan dari maraknya pemberontakan pada masanya ketika negara menetapkan situasi keadaan bahaya,” pungkas Tigor Gempita Hutapea, Pengacara Publik LBH Jakarta.
“Kami harapkan Mahkamah Konstitusi dapat bersikap arif dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat miskin kota yang terlanggar hak konstitusionalnya oleh negara dengan membatalkan Undang-Undang ini. Masyarakat miskin kota juga harus diperlakukan secara manusiawi dan tidak dilanggar haknya oleh hukum,” tutup Tigor.
Selama pengajuan permohonan, sedikitnya 30 orang perwakilan warga korban penggusuran paksa juga menggelar aksi pembentangan spanduk dan orasi di depan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pada salah satu spanduk tertulis: Batalkan UU PrP Nomor 51 Tahun 1960, Perlakukan Korban Penggusuran dengan Manusiawi.
Kontak:
- Alldo Fellix Januardy (087878499399)
- Tigor Gempita Hutapea (081287296684)
Warga Papanggo mengalami penggusuran paksa pada tahun 2008, sementara warga Duri Kepa mengalami penggusuran paksa pada tahun 2015. Keduanya digusur secara sepihak oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanpa ganti rugi apapun dan didampingi oleh LBH Jakarta untuk menuntut hak-hak mereka.
“Undang-Undang ini melanggar hak konstitusional korban penggusuran karena memberikan wewenang kepada pemerintah untuk bertindak diskriminatif terhadap warganya sendiri pada saat melakukan penggusuran, yaitu klaim sepihak tanpa perlu menunjukkan sertifikat dan proses musyawarah, penggunaan kekerasan, hingga penggunaan aparat yang tidak berwenang, seperti TNI,” ujar Alldo Fellix Januardy, Pengacara Publik LBH Jakarta.
LBH Jakarta mengajukan pembatalan terhadap Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 Undang-Undang Prp Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya karena keseluruhan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Pasal-pasal di atas mengakibatkan hilangnya hak konstitusional warga negara yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh pemerintah. Hak tersebut, antara lain hak atas tempat tinggal, hak atas rasa aman, hak atas perlindungan harta benda, hak atas pekerjaan yang layak, dan hak atas pendidikan dari anak-anak warga yang terpaksa putus sekolah akibat berlangsungnya penggusuran paksa di rumah mereka. Ini tentu sama sekali tidak manusiawi,” tambah Alldo Fellix Januardy.
“Ini adalah ketentuan perang yang sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Undang-Undang ini diterbitkan oleh pemerintah pada masa itu untuk kepentingan pertahanan dari maraknya pemberontakan pada masanya ketika negara menetapkan situasi keadaan bahaya,” pungkas Tigor Gempita Hutapea, Pengacara Publik LBH Jakarta.
“Kami harapkan Mahkamah Konstitusi dapat bersikap arif dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat miskin kota yang terlanggar hak konstitusionalnya oleh negara dengan membatalkan Undang-Undang ini. Masyarakat miskin kota juga harus diperlakukan secara manusiawi dan tidak dilanggar haknya oleh hukum,” tutup Tigor.
Selama pengajuan permohonan, sedikitnya 30 orang perwakilan warga korban penggusuran paksa juga menggelar aksi pembentangan spanduk dan orasi di depan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pada salah satu spanduk tertulis: Batalkan UU PrP Nomor 51 Tahun 1960, Perlakukan Korban Penggusuran dengan Manusiawi.
Kontak:
- Alldo Fellix Januardy (087878499399)
- Tigor Gempita Hutapea (081287296684)
LBH Jakarta added 4 new photos.
Dua
tahun lalu pada bulan yang sama. LBH Jakarta membuat panduan untuk
melawan penggusuran paksa. Mengapa penggusuran paksa harus dilawan?
Bagaimana caranya? Bisa kamu lihat dalam panduan ini. Semoga berguna.
gusur terus,ngapain melihara orang melarat
BalasHapuspejabat itu manusia,takan kuat lawan duit
BalasHapussekomplek warga miskin tida harganya di banding seberkas proyek
BalasHapus