PPKM Darurat, Masjid di Jakarta dan Bekasi Tetap Salat Jumat CNN Indonesia | Jumat, 09/07/2021 12:57 WIB Bagikan : Ilustrasi. (CNNIndonesia/Syakirun Niam) Jakarta, CNN Indonesia --
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210709124447-20-665413/ppkm-darurat-masjid-di-jakarta-dan-bekasi-tetap-salat-jumat
Sejumlah masjid di kawasan Jakarta dan Bekasi masih menggelar ibadah Salat Jumat di tengah penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang sudah dimulai sejak 3 Juli lalu. Salah satu masjid yang masih menggelar salat Jumat adalah Masjid Al-Mochtar yang terletak di Jalan Malaka, Munjul, Cipayung, Jakarta Timur.
Baca juga: PPKM Darurat, Polisi Patroli Masjid Pastikan Tak Ada Kegiatan Pantauan CNNIndonesia.com, jemaah masih ramai mendatangi masjid ini untuk Salat Jumat.
Jemaah juga memasuki masjid tanpa melalui pengecekan suhu oleh petugas terkait. Terlihat beberapa jemaah tidak mengenakan masker, terutama anak-anak yang datang untuk salat. Pengurus masjid tidak memberikan peringatan kepada jemaah yang hadir agar menjaga protokol kesehatan. Meski demikian, saf para jemaah satu sama lainnya sudah diberi jarak sekitar 40cm.
Para jemaah juga kebanyakan sudah membawa sajadah sendiri dari rumah. Ibadah salat Jumat di masjid ini berlangsung singkat. Materi khotbah yang dibacakan khatib Jumat hanya sekitar 7 menit. Beralih ke Masjid Besar Hidayattutaufiq yang terletak di Jalan Raya Pasar Kranggan, Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat. Masjid yang letaknya di samping persis Kelurahan Jatisampurna itu juga menggelar Salat Jumat berjemaah. Baca juga: Polisi Diserang Geng Motor di Jaksel, Sempat Lepas Tembakan Tak ada perbedaan berarti seperti hari-hari biasa. Padahal, saat ini Kota Bekasi turut menetapkan kebijakan PPKM Darurat.
Mayoritas jemaah salat Jumat mengenakan masker. Namun ada pula jemaah yang masih mengenakan masker namun sebatas di dagu. sebagian besar anak-anak yang salat bahkan tak mengenakan masker. Para jemaah yang hadir juga tak dicek suhu dan tak ada yang memperingatkan menggunakan masker oleh petugas. Petugas hanya menyiapkan penyemprotan cairan disinfektan melalui kipas angin di gerbang masuk masjid. Kapasitas masjid di lantai bagian bawah terlihat penuh oleh jemaah yang salat Jumat.
Bahkan, tak ada upaya untuk jaga jarak antara saf satu dengan saf lainnya. Pemandangan yang sama juga terlihat di Masjid Hidayat Rahman, Jatisampurna, Kota Bekasi. Masjid tersebut masih menggelar Salat Jumat secara berjemaah dengan dihadiri banyak jemaah. Kapasitas masjid di lantai bagian dalam juga tampak penuh oleh jemaah yang datang. Banyak di antara jemaah yang hadir telah mengenakan masker. Namun terdapat beberapa yang tidak mengenakan masker, termasuk anak-anak. Dari tiga masjid tersebut, tak terlihat ada aparat keamanan seperti TNI/Polri maupun Satpol PP yang berjaga.
Pemerintah telah memberlakukan PPKM Darurat Jawa-Bali sejak 3 sampai 20 Juli 2021 mendatang. Sejumlah pembatasan mobilitas masyarakat turut diterapkan pemerintah untuk menekan laju penularan. Salah satunya dengan menutup tempat-tempat ibadah di zona PPKM Darurat. Jakarta dan Kota Bekasi sendiri masuk dalam zona yang menetapkan PPKM Darurat. (rzr/wis)
Syarat Sah Mendirikan Sholat Jumat
Jumat 25 Sep 2020 07:45 WIB
https://republika.co.id/berita/qh6vg4430/syarat-sah-mendirikan-sholat-jumat
Red: Muhammad Hafil
Syarat Sah Mendirikan Sholat Jumat. Foto: Suasana saat khutbah pada
shalat Jumat. (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Syarat Sah Mendirikan Sholat Jumat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sarat
Syah Mendirikan Sholat Jumat:
1. Hendaklah diadakan di dalam negeri yang tetap yang telah dijadikan
wathan (tempat-tempat), baik di kota-kota maupun di desa. Maka tidak sah
mendirikan Jumat di ladang-ladang yang penduduknya hanya tinggal di sana buat
sementara waktu saja.
Di masa Rasulullah, dan di masa Khulafaur Rasyidin tidak pernah
didirikan sholat Jumat selain di negeri
yang tetap.
2. Berjamaah,
karena tidak pernah di masa Rasulullah SAW sholat Jumat dilakukan
sendiri-sendiri. Sekarang-kurang bilangan jamaah, menurut pendapat sebagian
ulama 40 orang laki-laki dewasa dari penduduk negeri. Sementara ulama yang lain
mengatakan lebih dari 40 puluh. Ada juga ulama yang mengatakan cukup dua
orang saja.
3. Dikerjakan di
waktu Zuhur
Dalam sebuah hadits
disebutkan:
حَدَّثَنَا سُرَيْجُ
بْنُ النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عُثْمَانَ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِينَ تَمِيلُ الشَّمْسُ
Telah menceritakan
kepada kami Suraij bin An Nu'man berkata, telah menceritakan kepada kami Fulaih
bin Sulaiman dari 'Utsman bin 'Abdurrahman bin 'Utsman At Taimi dari Anas bin
Malik radliallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan
shalat Jum'at ketika matahari sudah tergelincir."
4. Hendaklah sholat
Jumat didahului oleh dua khutbah
Dalam sebuah hadits
disebutkan:
و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَحَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ وَأَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ
حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ
كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَتَانِ يَجْلِسُ
بَيْنَهُمَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ
Dan Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Hasan bin Rabi'
dan Abu Bakar bin Abu Syaibah -Yahya berkata- telah mengabarkan kepada kami
-sementara dua orang yang lain berkata- telah menceritakan kepada kami Abul
Ahwash dari Simak dari Jabir bin Samurah ia berkata; "Nabi shallallahu
'alaihi wasallam melakukan khutbah Jum'at dua kali, di mana beliau duduk di
antara keduanya. Dalam khutbahnya beliau membaca Al Qur`an dan memberi
peringatan kepada jama'ah."
Kaidah Fiqih: Hukum Asal Ibadah Adalah Terlarang
Diantara kaidah fiqih yang agung dalam agama ini adalah:
الأصل في العبادة الحظر, فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله و رسوله
“Hukum asal dalam ibadah adalah terlarang, maka suatu ibadah tidak disyariatkan kecuali ibadah yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya”[1. Al Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, 72].
Penjelasan kaidah
Dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Husain Al Jizani mengenai makna kaidah ini, beliau mengatakan: “hukum mustas-hab (hukum asal) yang ada pada aktifitas taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah adalah terlarang dan haram, tertolak dan batil, kecuali ibadah yang datang dalilnya dari syariat dan diizinkan oleh syariat maka ia tidak terlarang”.
Beliau juga mengatakan: “mendekatkan diri kepada Allah tidak mungkin kecuali dengan apa yang Allah syariatkan. Ini adalah konsekuensi tauhid dan iman kepada Allah. Yaitu tauhid ittiba’, yang merupakan salah syarat dari amalan agar bisa disebut amalan shalih. Karena amalan itu tidak diterima kecuali memenuhi dua syarat: ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan syariat). Maka kaidah ini terkait dengan syarat ke dua yaitu mutaba’ah. Barang siapa yang mengklaim suatu aktifitas itu adalah ibadah, maka ia dituntut untuk mendatangkan dalil yang bisa mengesahkan ibadah tersebut, yang berupa nash dari Al Qur’an dan As Sunnah”[2. Dirasah wat Tahqiq Qaidah Al Ashl fil Ibadah Al Man’u, 35].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan perkataan yang bagus dalam bab ini:
جماع الدين اصلان: أن لا نعبد إلا الله , ولا نعبده إلا بما شرع , لا نعبده بالبدع
“Inti agama ini berporos pada 2 hal: (1) kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah semata, (2) kita tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang telah Allah syariatkan, kita tidak menyembah-Nya dengan kebid’ahan” [3. Dinukil dariDirasah wat Tahqiq Qaidah Al Ashl fil Ibadah Al Man’u, 52].
Dalil Kaidah
Kaidah ini didasari oleh dalil-dalil yang sangat banyak. Dalil-dalil yang mendasari kaidah ini dapat dibagi menjadi 4 jenis dalil:
Pertama: dalil-dalil yang menetapkan bahwa menetapkan hukum dan syariat adalah hak Allah semata. Maka tidak boleh menetapkan suatu ibadah dengan selain dari dalil-dali syar’i.
Syaikh Muhammad bin Nashir As Sa’di mengatakan: “Mengenai kaidah ini Allah Ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21).
Dan juga dalil-dalil lain yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah semata tanpa mempersekutukannya. Dan para ulama bersepakat bahwa yang disebut ibadah adalah apa yang diwajibkan atau dianjurkan”[4. Al Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, 72].
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An Nisa: 115)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Maksud ayat ini, barang siapa yang menjalani cara beragama yang bukan berasal dari Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam maka ia telah menempatkan dirinya di suatu irisan (syiqq), sedangkan syariat Islam di irisan yang lain. Itu ia lakukan setelah kebenaran telah jelas baginya” [5. Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 2/412].
Kedua: dalil-dalil yang memerintahkan untuk mengikuti wahyu, mengamalkan nash dan berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah.
Diantaranya firman Allah Ta’ala:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya” (QS. Al A’raf: 3).
Diantaranya juga kisah tentang tiga orang:
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no.5063).
Ketiga: dalil-dalil yang melarang berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu.
Karena menganggap suatu amalan sebagai ibadah tanpa ada keterangan dari syariat seolah-olah mengatakan bahwa Allah menyukai dan memerintahkan amalan tersebut padahal klaim ini tidak didasari ilmu (dalil). Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” (QS. An Nahl: 111).
Keempat: dalil-dalil yang melarang membuat-buat perkara baru dalam agama.
Diantaranya firman Allah Ta’ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”).
Dan dalil-dalil lain yang masih banyak lagi. Belum lagi jika kita tambahkan pernyataan dari para sahabat Nabi, maka akan menjadi bab yang panjang sekali. Namun apa yang disebutkan di atas sudah cukup mewakili.
Penerapan kaidah
Kaidah yang mulia ini berlaku dalam banyak permasalahan ibadah. Diantaranya dalam permasalah berikut ini:
1. Nama dan sifat Allah tauqifiyah
Artinya tidak boleh menyematkan nama dan sifat kepada Allah kecuali nama dan sifat yang terdapat dalilnya. Al Qarafi mengatakan: “Hukum asal menyematkan suatu nama bagi Allah adalah terlarang kecuali yang terdapat dalil tentang nama tersebut. Karena untuk berbicara dengan para raja di dunia saja butuh untuk mengetahui sebutan apa yang diizinkan oleh mereka untuk memanggil diri mereka, akan dipakai panggilan tersebut ketika sudah diketahui bahwa panggilan tersebut diizinkan. Maka sikap tersebut lebih layak diterapkan kepada Allah ta’ala. Karena ini adalah kaidah adab, dan adab kepada Allah itu lebih istimewa” [6. Al Furuq 3/788, dinukil dari Dirasah wat Tahqiq Qaidah Al Ashl fil Ibadah Al Man’u, 65].
2. Lafadz-lafadz dzikir itu tauqifiyah
Artinya tidak boleh mengamalkan lafadz-lafadz dzikir yang mu’ayan (bukan dzikir mutlaq) kecuali lafadz-lafadz dzikir yang terdapat dalilnya. Semisal bacaan dzikir-dzikir dalam shalat, lafadz adzan, lafadz iqamah, doa hendak makan, doa hendak masuk masjid, doa berbuka puasa, doa bersin, dan sebagainya.
Ibnu Hajar mengatakan: “Lafadz-lafadz dzikir itu tauqifiyah. Ia memiliki kekhususan-kekhususan dan rahasia-rahasia yang tidak bisa di-qiyas-kan. Maka wajib untuk tetap mengamalkan lafadz-lafadz dzikir yang warid (ada dalilnya)” [7. Fathul Baari 11/112, dinukil dari Dirasah wat Tahqiq Qaidah Al Ashl fil Ibadah Al Man’u, 67].
3. Larangan ghuluw (melebihi batas) dalam beragama
Diantara konsekuensi dari kaidah ini adalah dilarangnya ghuluw (berlebihan) dalam beragama dan perintah untuk tawasuth (pertengahan). Sikap pertengahan adalah yang sesuai dengan dalil, dan ghuluw adalah yang melebihi apa yang ditunjukkan oleh dalil.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Sikap pertengahan dalam beragama adalah sikap tidak ghuluw (ekstrem) dalam beragama, yaitu melewati batasan yang ditetapkan Allah Azza Wa Jalla, namun juga tidak kurang dari batasan yang ditetapkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bersikap pertengahan dalam beragama yaitu dengan meneladai jalan hidup Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Sedangkan sikapghuluw, adalah melebihi dari apa yang beliau ajarkan. Dan taqshiir adalah yang melakukan kurang dari apa yang beliau ajarkan.
Contohnya, seseorang mengatakan: ‘Saya ingin shalat malam dan tidak tidur setiap hari, karena shalat adalah ibadah yang paling utama maka saya ingin sepanjang malam saya dalam keadaan shalat‘. Maka kita katakan bahwa sikap ini adalah sikap ghuluw dalam beragama dan tidak benar”[8. Majmu’ Fatawa War Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 1/43, Asy Syamilah].
4. Tidak membuat-buat tata cara dan metode pelaksanaan suatu ibadah
Diantara penerapan dari kaidah ini adalah dilarangnya membuat-buat tata cara dan metode baru dalam ibadah dan wajib mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam). Syaikh Sami Asy Shuqair hafizhahullah menjelaskan:
المتابعة للنبي صلى الله عليه و سلم في العبادة أن تكون قد أذن الشارع في أوصافها , الأوصاف غير معتبرة الا إذا أذن الشارع في ستة: الأول السبب,و الثاني الجنس, و الثالث القدر, و الرابع الهيئة , و الخامس الزمان, و السادس المكان
“mengikuti tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam ibadah adalah dengan menyesuaikan sifat-sifat ibadah tersebut sebagaimana yang diizinkan oleh syariat. Suatu ibadah tidak teranggap kecuali jika diizinkan oleh syariat dalam enam sifat: (1) sebab pelaksanaannya (2) jenisnya (3) kadar bilangannya (4) tata caranya (5) waktunya (6) tempatnya”[9. Syarah Manzhumah Ushul Fiqh wa Qawa’iduh, 47].
Contohnya:
- Mengumandangkan adzan ketika hendak shalat sunnah dhuha. Ini tidak diperbolehkan karena tidak mengikuti tuntunan syariat dalam hal sebab pelaksanaannya dan juga waktunya.
- Mengerjakan shalat shubuh sebanyak 3 rakaat. Ini tidak diperbolehkan karena tidak mengikuti tuntunan syariat dalam hal kadar bilangan raka’at.
- Berqurban di hari Idul Adha dengan ayam. Ini tidak diperbolehkan karena tidak mengikuti tuntunan syariat dalam hal jenis.
- Berwudhu dengan dimulai dari muka dahulu. Ini tidak diperbolehkan karena tidak mengikuti tuntunan syariat dalam hal tata cara.
- Menyembelih qurban sebelum shalat Id, atau membayar zakat fitri setelah shalat Id. Ini tidak diperbolehkan karena tidak mengikuti tuntunan syariat dalam hal waktu.
- Berhaji bukan ke Mekkah. Ini tidak diperbolehkan karena tidak mengikuti tuntunan syariat dalam hal tempat.
Demikian sedikit yang bisa dituliskan. Mudah-mudahan dengan memahami kaidah ini dapat membantu kita memahami jalan yang benar dalam beragama. Wabillahi at taufiq was sadaad.
***
Referensi utama:
- Syarah Manzhumah Ushul Fiqh wa Qawa’iduh, Syaikh Sami Ash Shuqair
- Al Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
- Dirasah wat Tahqiq Qaidah Al Ashl fil Ibadah Al Man’u, Syaikh Muhammad bin Husain Al Jizani
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/28752-kaidah-fiqih-hukum-asal-ibadah-adalah-haram.html
Mengenal Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah
https://republika.co.id/berita/o1qz4630/mengenal-ibadah-mahdhah-dan-ghairu-mahdhah
Sabtu 30 Jan 2016 11:00 WIB
Ibadah merupakan suatu bentuk ketundukan dan ketaatan terhadap pencipta alam semesta Allah SWT. Namun, ada dua macam bentuk ibadah yang penting untuk diketahui, yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Kedua istilah ini kadang masih disalahpahami oleh umat.
Secara umum, Syekh Mahmud
Syaltut dalam tafsirnya telah menjelaskan bentuk ibadah secara singkat, yaitu
"Ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik yang tidak terbatas
(pula)," begitu dia menjelaskan.
Definisi ini, menurut
almarhum mantan pemimpin tertinggi lembaga-lembaga Al-Azhar tersebut,
menunjukkan puncak tertinggi dari kerendahan hati, kecintaan batin, serta
peleburan diri kepada keagungan Allah.
Namun, di samping pengertian
umum tersebut, ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah mempunyai pengertian yang
lebih khusus. Hal ini karena ibadah tersebut ternyata mengalami penyempitan
makna saat para ulama menguraikan hukum Islam, yang dapat menimbulkan kerancuan
tentang makna ibadah yang sesungguhnya.
Menurut seorang pembaru,
Syekh Muhammad al-Ghazali, ibadah mahdhah adalah segala bentuk aktivitas yang
cara, waktu, atau kadarnya telah ditetapkan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Kita
tidak mengetahui tentang ibadah ini kecuali melalui penjelasan Allah dalam
Alquran atau penjelasan Rasul-Nya. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi.
"Dalam soal ibadah (mahdhah) segalanya tidak boleh, kecuali yang diajarkan
Allah dan atau Rasul-Nya."
Pada awal kehadiran Islam,
istilah ini sebenarnya tidak dikenal. Istilah ini baru dikenal setelah
diperkenalkan oleh para ulama fikih untuk tujuan memilah-milah uraian hukum
atau pembagian teknis materi pembahasannya.
Pakar filsafat hukum,
Asy-Syathibi, dalam bukunya al-Muwafaqa menegaskan, pada dasarnya dalam masalah
ibadah mahdhah, seorang mukalaf harus mengindahkannya tanpa meneliti makna dan
sebabnya, sedangkan dalam hal muamalah, pada dasarnya adalah meneliti maksud
tujuannya.
Hal ini dapat dicontohkan seperti
halnya puasa. Mengapa puasa harus sebulan penuh? Mengapa tidak seminggu saja?
Atau mengapa hanya sampai terbenamnya matahari? Nah, jika pertanyaan tersebut
sudah terjawab, pertanyaan-pertanyaan baru akan tetap muncul dan tidak ada
habisnya. Karena itu, peranan akal dalam masalah ibadah mahdhah ini sangatlah
terbatas.
Di dalam masalah ibadah
mahdhah ini tampak jelas kebutuhan manusia kepada Sang Pencipta, yakni dalam
hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Penjelasan seorang filsuf Muslim,
al-Farabi, mungkin cukup untuk memberikan gambaran tentang ibadah mahdhah ini.
"Lebih wajar bila ia
diserahkan saja kepada akal manusia. Namun, kenyataannya tidak demikian.
Kehadiran wahyu melalui para Nabi membuktikan bahwa ada hal-hal yang tidak
terjangkau oleh daya nalar," kata bapak filsafat Islam tersebut.
Kendati demikian, bukan
berarti ada larangan untuk membahasnya. Tentu kita boleh membahasnya. Jika
hasil bahasan tersebut memuaskan nalar, kita harus bersyukur karena itulah yang
menjadi tumpuan harapan. Namun, jika belum memuaskan, kita harus berusaha terus
merenungkannya dan tetap melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya sesuai
dengan aturan agama.
Sementara, ibadah ghairu
mahdhah merupakan semua bentuk amal kegiatan yang tujuannya untuk mendekati
Allah. Namun, tempat dan waktunya tidak diatur secara perinci oleh Allah. Di
antara ibadah yang termasuk ibadah ghairu mahdhah, yaitu seperti sedekah,
infak, belajar, mengajar, berzikir, dakwah, tolong-menolong, dan gotong royong.
Namun, berbeda dengan ibadah
mahdhah, dalam melaksanakan ibadah ghairu mahdhah tidak perlu berpola kepada
contoh Rasulullah sehingga perkara baru dalam ibadah ini diperbolehkan. Inilah
yang kadang sering disalahpahami. Sehingga, umat perlu memahami lebih dalam
lagi tentang hal ini.
Dalam ibadah ghairu mahdhah
terdapat empat prinsip yang bisa menjadi acuan. Pertama, keberadaannya
didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Kedua, tata laksananya tidak
perlu berpola kepada contoh Rasulullah SAW. Ketiga, bersifat rasional. Dan
terakhir, azasnya adalah manfaat.
Dengan tidak adanya aturan
baku dari Rasulullah tersebut, maka dalam ibadah ghairu mahdhah ini Allah
memberikan ruang kepada hambanya untuk berijtihad.
Untuk memberikan gambaran
yang lebih jelas tentang dua istilah ibadah tersebut, Rasulullah bersabda dalam
sebuah hadis qudsi. "Allah berfirman, hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri
kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan
(ibadah mahdhah), jika hamba-Ku terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan
amal kebaikan (ibadah ghairu mahdhah) maka aku mencintai dia." (HR Bukhari
6021).n c39 ed: hafidz muftisany
BACA
JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif
Republika.co.id, Klik
di Sini
Hukum Asal Ibadah, Haram Sampai Ada Dalil
Sebagian kalangan mengemukakan alasan ketika suatu ibadah yang tidak ada dalilnya disanggah dengan celotehan, “Kan asalnya boleh kita beribadah, kenapa dilarang?” Sebenarnya orang yang mengemukakan semacam ini tidak paham akan kaedah yang digariskan oleh para ulama bahwa hukum asal suatu amalan ibadah adalah haram sampai adanya dalil. Berbeda dengan perkara duniawi (seperti HP, FB, internet), maka hukum asalnya itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkan. Jadi, kedua kaedah ini tidak boleh dicampuradukkan. Sehingga bagi yang membuat suatu amalan tanpa tuntunan, bisa kita tanyakan, “Mana dalil yang memerintahkan?”
Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan para ulama,
الأصل في العبادات التحريم
“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).”
Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri –semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- berkata, “(Dengan kaedah di atas) tidak boleh seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan. Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru dengan maksud beribadah pada Allah dengannya. Bisa jadi ibadah yang direka-reka itu murni baru atau sudah ada tetapi dibuatlah tata cara yang baru yang tidak dituntunkan dalam Islam, atau bisa jadi ibadah tersebut dikhususkan pada waktu dan tempat tertentu. Ini semua tidak dituntunkan dan diharamkan.” (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 90).
Dalil Kaedah
Dalil yang menerangkan kaedah di atas adalah dalil-dalil yang menerangkan tercelanya perbuatan bid’ah. Bid’ah adalah amalan yang tidak dituntunkan dalam Islam, yang tidak ada pendukung dalil. Dan bid’ah yang tercela adalah dalam perkara agama, bukan dalam urusan dunia.
Di antara dalil kaedah adalah firman Allah Ta’ala,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syuraa: 21).
Juga didukung dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).
Begitu pula dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah dengan perkara baru dalam agama. Karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, An Nasa-i no. 46. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa kita baru bisa melaksanakan suatu ibadah jika ada dalilnya, serta tidak boleh kita merekayasa suatu ibadah tanpa ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.
Perkataan Ulama
Ulama Syafi’i berkata mengenai kaedah yang kita kaji saat ini,
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil).” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini disebutkan oleh beliau dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
Dalam buku ulama Syafi’iyah lainnya, yaitu kitab Ghoyatul Bayan Syarh Zubd Ibnu Ruslan disebutkan,
الأصل في العبادات التوقيف
“Hukum asal ibadah adalah tawqif (menunggu sampai adanya dalil).”
Ibnu Muflih berkata dalam Al Adabu Asy Syar’iyah,
أَنَّ الْأَعْمَالَ الدِّينِيَّةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُتَّخَذَ شَيْءٌ سَبَبًا إلَّا أَنْ تَكُونَ مَشْرُوعَةً فَإِنَّ الْعِبَادَاتِ مَبْنَاهَا عَلَى التَّوْقِيفِ
“Sesungguhnya amal diniyah (amal ibadah) tidak boleh dijadikan sebagai sebab kecuali jika telah disyari’atkan karena standar ibadah boleh dilakukan sampai ada dalil.”
Imam Ahmad dan para fuqoha ahli hadits -Imam Syafi’i termasuk di dalamnya- berkata,
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ
“Hukum asal ibadah adalah tauqif (menunggu sampai adanya dalil)” (Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 29: 17)
Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah untuk membedakan ibadah dan non-ibadah. Beliau rahimahullah berkata,
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى . وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } . وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ
“Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa, 29: 17).
Contoh Penerapan Kaedah
Sumber https://rumaysho.com/3119-hukum-asal-ibadah-haram-sampai-ada-dalil.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar