PERSEPSI DERIVATIF DALAM SYARIAH
Memilih Kontrak Berjangka Murabahah
MEMILIH KONTRAK BERJANGKA MURABAHAH
Subagiyo
*) Kepala Bagian Pengawasan Transaksi Biro Perniagaan, Bappebti
PRINSIP KONTRAK BERJANGKA DALAM ISLAM HARUS DIIKUTI DENGAN SERAH TERIMA RIIL ATAU FISIK, BUKAN MERUPAKAN BIZ PERMAINAN HARGA N SPEKULASI SEMATA, ATAU SEPRTI BERJUDI..
Dewasa ini ada wacana hangat dikalangan stakeholder, pelaku usaha dan investor industri Perdagangan Berjangka Komoditi Indonesia untuk memperdagangkan produk kontrak berjangka Murabahah, dalam rangka pengembangan kontrak berjangka Syariah. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan, atau sebagai bahan diskusi, di ruang publik ini penulis mencoba menyalurkan pandangan-pandangan dari berbagai sisi tentang kontrak berjangka Murabahah.
Apa sebenarnya Kontrak Berjangka Murabahah itu? Dan, jenis kontrak berjangka seperti apa yang patut dijadikan komoditi kontrak berjangka Murabahah?
Perdagangan kontrak berjangka Murabahah adalah akad jual-beli atas barang tertentu yang didasarkan atas Syariah Islam. Dalam transaksi jual-beli tersebut, penjual menyebutkan dengan jelas komoditi yang diperjualbelikan termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil, serta penyerahan atas barang yang diperjualbelikan telah disepakati bersama.
Apa sebenarnya Kontrak Berjangka Murabahah itu? Dan, jenis kontrak berjangka seperti apa yang patut dijadikan komoditi kontrak berjangka Murabahah?
Perdagangan kontrak berjangka Murabahah adalah akad jual-beli atas barang tertentu yang didasarkan atas Syariah Islam. Dalam transaksi jual-beli tersebut, penjual menyebutkan dengan jelas komoditi yang diperjualbelikan termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil, serta penyerahan atas barang yang diperjualbelikan telah disepakati bersama.
Pada Al-Qur'an (QS: 2 :275-279), secara tegas disebutkan bahwa pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi yang tidak didasarkan Syariah Islam. Misalnya transaksi yang dilarang itu memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi semata tanpa didukung dengan nilai harga yang jelas dan tidak adanya serah terima fisik barang sebagai bentuk riil dalam hukum jual-beli. Serta, kurang memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi kemakmuran masyarakat.
Tambahan (gain) yang diperoleh dari jual-beli itu termasuk kepada riba, karena gain yang diperoleh itu adalah bighairi wadhin, yakni tanpa ada sektor riil (tanpa adanya barang) yang dipertukarkan, kecuali mata uang atau kertas-kertas itu sendiri.
Prinsip-prinsip yang dianut dalam perdagangan berjangka di bursa berjangka selama ini pada dasarnya sudah sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi secara Islam. Karena adanya penyerahan fisik atas barang yang diperjual-belikan, selain itu dalam perdagangan berjangka tidak ada istilah gambling sebagaimana judi yang diharamkan karena harga yang ditawarkan cukup transparan dan dapat diprediksi dan dianalisa berdasarkan teori ekonomi, baik fundamental maupun teknikal, serta kesepakatan adanya penyerahan fisik barang dikemudian hari setelah kontrak jatuh tempo sebagaimana diatur dalam ketentuan perdagangan berjangka.
Selain itu, dalam perdagangan berjangka produk kontrak berjangka yang diperjualbelikan jelas sesuai standar yang ditetapkan dalam spesifikasi kontrak berjangka, baik jenis, mutu dan harganya pun jelas. Dalam perdagangan berjangka selain memberikan manfaat ekonomi sebagai sarana referensi dan pembentukan harga, perdagangan berjangka juga dapat dimanfaatkan bagi para pelaku usaha dalam rangka sarana pengalihan risiko akibat adanya ketidakpastian atas harga di pasar fisik, maka kerugian tersebut dialihkan di bursa bejangka melalui lindung nilai (hedging) di pasar berjangka. Dalam perdagangan berjangka di samping memberikan manfaat ekonomi dan keuntungan (return) yang cukup besar akibat terjadinya fluktuasi harga di pasar, perdagangan berjangka juga memiliki risiko kerugian (risk) yang tidak sedikit. Dan harus mnghindari unsur2 Maghrib.
Maghrib (Maysir, Gharar dan Riba)
Selanjutnya, apakah semua jenis kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka dapat dijadikan sebagai kontrak berjangka Murabahah?
Apabila kita mengacu kepada ketentuan Hukum Islam, maka tidak semua produk kontrak berjangka di bursa berjangka dapat dikatagorikan produk berjangka Syariah. Karena produk Murabahah harus menghindari adanya unsur Maghrib (Maysir, Gharar dan Riba) yang dilarang dalam Syariat Islam.
Maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan spekulasi. Gharar ialah transaksi maya dan derivatif karena itu ia menjadi bisnis dengan resiko yang sangat tinggi. Sedangkan Riba ialah pencarian keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riil.
Seperti halnya di pasar berjangka, di pasar modal seringkali para investor meraup keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau sektor riil yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk melakukan transaksi secara riil di sebuah transaksi futures trading yang pada dasarnya merupakan sarana lindung nilai (hedging) atas kontrak berjangka yang diperdagangkan dengan memperkecil risiko yang terjadi apabila terjadi fluktuasi kenaikan atau penurunan harga di pasar fisik serta apabila dimungkinkan transaksi tersebut dilakukan melalui penyerahan fisik (fisical delivery), akan tetapi para spekulator semata hanya untuk meraih gain melalui praktik margin trading di pasar berjangka.
Selain itu, harus diketahui bahwa di dalam financial market atau index market khususnya di pasar derivatif, margin trading dan fiat standart ditetapkan berdasarkan instrumen bunga. Di pasar uang kegiatan transaksi spekulasi valas semacam transaksi Swap, Forward dan Options selalu terjadi. Semua transaksi tersebut bertentangan dengan Syariah, karena mengandung riba. Sementara itu, ekonomi Syariah adalah ekonomi yang berusaha menempatkan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil (atau bisa disebut economy 1 on 1). Artinya ekonomi yang mengkaitkan secara ketat antara sektor moneter dan sektor riil.
Tegasnya, one monetery unit for one real asset dalam kerangka ekonomi Islam mengajarkan kegiatan bisnis riil melalui jual-beli, bagi hasil dan ijarah. Mengingat sistem ekonomi kapitalisme saat ini cenderung mengarah kepada riba, seperti spekulasi dalam bentuk margin trading dan short selling di pasar uang (capital market) dan indeks saham di pasar modal, karena tanpa dilandasari oleh underlying transaction yang riil.
Kegiatan traksaksi derivatif baik indeks dan forex di bursa berjangka dapat dikatagorikan riba, karena kegiatan spekuasi valas dan indeks dengan motif untuk spekulasi yang hanya mencari keuntungan semata dari selisih fluktuasi harga yang terjadi dan tidak didukung dengan transaksi yang bersifat riil (tanpa penyerahan barang), maka kegiatan tersebut adalah kegiatan ribawi (mencari keuntungan dari selisih harga dan bunga). Sedangkan untuk jagajaga (preceutionary) hukumnya makruh.
Dalam buku-buku Islam (fiqh, tafsir dan hadits) menurut pakar ekonomi Islam dari Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEII) Agustianto, kita bisa melihat dan menganalisa definisi riba. Dari ratusan definisi riba itu disimpulkan, bahwa riba ialah azziyadah lam yuqabilha 'iwadh, artinya, riba adalah tambahan yang diperoleh tanpa didasarkan adanya 'iwadh.
Iwadh ialah transaksi bisnis riil yang terdiri dari tiga macam, yaitu jual-beli, bagi hasil dan ijarah. Jual-beli contohnya ialah seperti jual-beli dengan segala macamnya (jual-beli murabahah, salam, istisna). Transaksi bisnis riil juga dapat diwujudkan dengan bagi hasil dan ijarah.
Bagi hasil diwujudkan dengan konsep murabahah, syirkah, mudharabah musytarakah, musyarakah mutanaqishah dan muzara'ah. Sedangkan ijarah diwujudkan dengan ijarah biasa, ijarah muwazy (paralel). Sedangkan untuk transaksi mudharabah dan musyarakah serta transaksi jual-beli murabahah, salam, istisna' dan ijarah (leasing), memastikan keterkaitan sektor moneter dan sektor riil.
Oleh karena itu pula, salah satu rukun jual beli ialah ada uang ada barang (ma'kud 'alaihi). Dengan demikian, future trading dan margin trading yang tidak diikuti dengan penyerahan barang (fisical delivery) adalah haram menurut Islam karena kurang memiliki persyaratan Syariah. Jelasnya bahwa konsep ekonomi Islam menjaga keseimbangan sektor riil dan sektor moneter.
Begitu pula dengan perbankan Islam yang pertumbuhan pembiayaannya tidak dapat terlepas dari pertumbuhan sektor riel yang dibiayainya. Yang jelas tidak boleh ada tambahan (keuntungan) tanpa adanya transaksi bisnis riil. Seorang spekulan mata uang, yang meraup keuntungan dari selisih harga beli dolar dan jualnya, adalah pelaku riba. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadikan sebagai komoditi sebagaimana yang banyak dipraktikkan dewasa ini dalam kegiatan transaksi bisnis valuta asing.
Menurut Ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan transaksi di sektor riil, seperti membeli barang untuk kebutuhan impor, berbelanja atau membayar jasa di luar negeri dan sebagainya. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam Islam. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulatif menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
Dampak spekulasi valas ialah nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang mengandung riba, seperti transaksi-transaksi maya di pasar uang. Mengambil gain dan keuntungan tanpa didasarkan pada kegiatan bisnis sektor riil adalah riba, baik di pasar uang maupun di pasar derivatif. Maka seorang spekulan saham di pasar modal juga telah melakukan praktik riba, bahkan lebih jauh ia telah masuk kepada praktik gharar dan maysir. Demikian pula, seorang yang ikut dalam transaksi bursa berjangka komoditi tanpa didukung adanya penyerahan fisik atas barangnya jua telah melakukan praktek-praktek ribawi, karena ekonomi Islam tidak memisahkan sektor moneter dan sektor riil, maka jumlah uang yang beredar menurut Islam, ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riil atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Demikian kata Ibnu Taymiyah di buku Majmu' Fatawa pada abad pertengahan Islam.
Dalam Ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riil. Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riil. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis. Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang. Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, apalagi negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riil.
Spekulasi mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong dan Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya. Di pasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya seperti Indonesia, jelas menjadi bulan-bulanan para spekulan. Demikian pula ulah George Soros di Asia Tenggara tahun 1997.
Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian. Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.
Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan sistem moneter kapitalisme seperti itu. Teori bubble growth dan random walk telah memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang bahaya transaksi maya (bisnis dan spekulasi mata uang dan bisnis (spekulasi) saham di pasar modal).
Para pemimpin negara-negara G7 pun, telah menyadari bahaya dan keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada tahun 1998 mereka menyepakati bahwa perlu adanya pengaturan di pasar uang sehingga tidak menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Jadi, bila negara-negara G7 telah menyadari bahaya transaksi maya, mengapa Indonesia masih belum melihat dampak negatifnya bagi perekonomian dan segera mendorong konsep dan blueprint Ekonomi Islam.
Selanjutnya, untuk meminimalisir kegiatan spekulasi dan bubble economy para ekonom Barat mengusulkan untuk mengetatkan regulasi investasi. Ben Bernake, Chairman of Federal Reserve bahkan sampai meminta kepada konggres Amerika Serikat untuk menyetujui penambahan regulasi bagi bank investasi agar tidak terjadi spekulasi yang berlebihan di pasar aset keuangan. Pendapat senada juga diutarakan oleh mantan Direktur IMF, Strauss-Kahn, yang mengatakan perlunya penambahan aturan dan transparansi untuk menghidari krisis yang lebih parah.
Meskipun kedua pernyataan ini terdengar berlawanan dengan semangat kapitalisme Amerika, namun akhirnya sebagian ekonom dan pengamat pasar keuangan sepakat bahwa liberalisasi pasar keuangan cenderung mendorong kepada ketidakstabilan ekonomi. Joseph Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel 2002 dari Harvard University mengatakan, "Pada akhirnya, Amerika Serikat yang selama ini membanggabanggakan sistem kapitalisme yang dianutnya ke berbagai negara di dunia, mendapat kritikan tajam setelah Amerika sendiri tidak mampu membuktikan bahwa model ekonomi yang dianutnya adalah model ekonomi yang bisa mensejahterakan umat manusia".
Berkaitan dengan hal tersebut, bursa berjangka seharusnya agar lebih cerdas memilih produk berjangka yang akan diluncurkan sebagai produk berjangka Murabahah. Sehingga kita tidak keliru dalam memilih produk sesuai dengan praktik-praktik murabahah yang memang dianggap relevan untuk saat ini.
Mengapa diperlukan hal tersebut, karena konsep ini dapat memberikan pencerminan kepada kita bahwa sistem perdagangan berjangka konvensional yang dilakukan selama ini terutama kontrak-kontrak berjangka derivatif seperti: indek, forex dan derivatif lainnya yang diperdagangkan di luar bursa melalui Sistem Perdagangan Alternatif (SPA), ternyata belum sepenuhnya dapat dijadikan sebagai produk Murabahah karena belum memiliki unsur Syariah yang dipersyaratkan dalam Hukum Islam. Dan, cenderung bersifat Maysir, Gharar dan Riba.
Investor Muslimin
Sehubungan dengan hal itu, untuk memberikan alternatif pilihan investasi bagi investor muslimin yang menginginkan produk berjangka halal perlu diberikan alternatif pilihan investasi berjangka secara Syariah. Sehingga kalangan muslimin terhindar dari perbuatan Maysir, Gharar dan Riba. Untuk itu, agar kita tidak keliru memahami produk berjangka Syariah tersebut, diperlukan kajian para pakar ekonomi Islam untuk membahas hal tersebut agar kontrak berjangka Murabahah benarbenar sesuai dengan Syariat Islam. Maka diperlukan kajian dan fatwa dari Dewan Syariah Indonesia dalam menentukan produk Murabahah tersebut, sebelum mendapat persetujuan Bappebti.
Seperti halnya produk Syariah yang ada di perbankan, produk perdagangan berjangka murabahah tentunya tidak jauh berbeda dengan kontrak berjangka konvensional yang ada di bursa berjangka seperti produk komoditi primer, karena harganya kurang menarik dan tidak fluktuatif, serta transaksi perdagangannya tidak seliquid dan seramai kontrak-kontrak berjangka finansial dan indeks yang ada di SPA yang harganya jauh lebih fluktuatif. Itulah pilihan ekonomi kadang yang terbaik belum tentu diminati, akan tetapi kontrak derivatif yang cenderung haram menurut Islam lebih banyak diminati karena memang harga dan keuntungan sangat menarik.
Pertanyaannya adalah, apakah kontrak berjangka murabahah yang akan diperdagangkan tersebut mengambil konsep perdagangan berjangka (futures trading) dalam pengertian kontrak berjangka komoditi primer atau kontrak fisik forward, sebagaimana yang ada di bursa berjangka atau akad jual-beli antar perbankan dengan penyediaan komoditi di Bursa Berjangka.
Itulah yang perlu dikaji dan disosialisasikan terlebih dahulu, konsep murabahah seperti apa yang mau diperdagangkan di bursa berjangka agar kita semua mengerti tentang subyek kontrak murabahah tersebut dengan dasar hukum dan konsep yang jelas.
https://media.neliti.com/media/publications/314771-akad-mudharabah-musyarakah-dan-murabahah-452e5de8.pdf
AKAD MUDHARABAH, MUSYARAKAH, DAN MURABAHAH SERTA APLIKASINYA DALAM MASYARAKAT
Heru Maruta Dosen Tetap STIE Syariah Bengkalis Sungai Alam-Bengkalis-Riau Kode Pos 28751
Abstrak
Penerapan ekonomi syariah di Indonesia dewasa ini semakin marak dan semakin dikenal oleh masyarakat.Ekonomi syariah merupakan alternatif yang dapat dipilih oleh masyarakat yang menginginkan setiap muamalah yang dilakukan bebas dari unsur-unsur yang dilarang agama Islam.Umat Islam di Indonesia sudah semakin menyadari bahwa urusan bermuamalah khususnya dalam bidang ekonomi juga ada aturan-aturan serta rambu-rambu yang harus dipatuhi demi keselamatan dunia dan akherat.
Maka dalam bermuamalah, umat Islam berusaha menggunakan akad-akad yang diperbolehkan menurut aturan agama Islam.
Di antara sekian banyak akad, mudharabah, musyarakah, dan murabahah termasuk paling banyak digunakan oleh masyarakat di Indonesia.Akad-akad tersebut banyak digunakanpada perbankan syariah untuk bertransaksi dengan para nasabah.Namun di luar perbankan syariah, masyarakat secara perorangan ada juga yang menerapkan menerapkan akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah walaupun jumlahnya sedikit.Penerpan oleh perbankan syariah maupun masyarakat perorangan harus tetap sesuai dengan yang difatwakan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI).Dalam fatwa DSN-MUI sudah dijelaskan mengenai syarat dan rukunnya masing.
Kata kunci: Akad, Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Aplikasi A.
A. PENDAHULUAN
Di Indonesia bunga bank masih menjadi polemik tersendiri karena para ulama masih belum sepakat tentang boleh-tidaknya sehingga dalam praktek, baik perbankan syariah maupun perbankan konvensional berjalan bersama-sama.
1 Perbedaan pendapat ini diklasifikasikan menjadi tiga pandangan, yaitu:
pertama, bunga bank adalah termasuk dalam kategori riba sehingga hukumnya haram, sedikit atau banyak unsur;
kedua, bunga bank bukan termasuk dalam kategori riba sehingga halal untuk dilakukan;
ketiga, riba termasuk dalam klasifikasi mutasyabihat sehingga sebaiknya bunga bank tidak dilakukan.
2 Hikmah diharamkannya riba antara lain:
pertama, riba dapat menimbulkan sikap permusuhan antar individu dan juga menghilangkan tolong-menolong sesame manusia;
kedua, riba menumbuhkan mental boros dan malas yang mau mendapatkan harta tanpa kerja keras, menjadi benalu yang tumbuh di atas jerih payah orang lain;
ketiga, riba adalah salah satu bentuk penjajahan; dan
keempat, Islam mengajak manusia agar mendermakan kepada saudaranya yang membutuhkan.
Alasan lain
1 Edwin Nasution (et.al.), Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), cet. II, hlm. 294.
2 Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 80. 81 pelarangan riba antara lain:
pertama, riba tak lain adalah perampasan hak milik orang lain tanpa ada nilai imbangan; kedua, riba dilarang karena menghalangi orang dari keikutsertaan dalam profesi-profesi aktif; ketiga, perjanjian riba menimbulkan hubungan yang tegang antara sesama manusia; keempat, perjanjian riba adalah alat yang digunakan orang kaya untuk mendapatkan kelebihan dari modal dan ini bertentangan dengan keadilan dan persamaan; dan kelima, keharaman riba dinyatakan oleh nas Al-Qur‟an dan manusia tidak harus mengetahui alasannya.
Dengan melarang riba, Islam berusaha membangun sebuah masyarakat berdasarkan kejujuran dan keadilan
3 Keadilan dalam konteks ini memiliki dua dimensi, yaitu pemodal berhak untuk mendapatkan imbalan, tetapi harus sepadan dengan resiko dan usaha yang dibutuhkan, dan imbalan yang didapat ditentukan oleh keuntungan dari proyek yang dimodalinya.Yang dilarang dalam Islam adalah keuntungan yang ditetapkan sebelumnya.
Perkembangan ekonomi syariah pada saat ini cukup menggembirakan dan mulai bergairah. Kondisi ini antara lain disebabkan semakin banyaknya umat muslim yang berkeyakinan bahwa transaksi yang mengandung riba hukumnya haram. Bagi yang tidak mau menanggung resiko dosa di akherat nanti, mereka akan beralih dari kebiasaan bertransaksi dengan perbankan konvensional kepada transaksi dengan perbankan syariah.
Masyarakat lebih meyakini, bahwa perbankan syariah telah menerapkan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional MajelisUlama Indonesia (DSN MUI), sehingga dalam melakukan muamalah lebih bersih dari riba. Kebutuhan sumber daya insani bidang ekonomi syariah semakin hari samakin banyak.Peluang ini dimanfaatkan oleh institusi pendidikan untuk segera mencetak tenaga-tenaga terdidik dalam bidang ekonomi syariah. Yang paling banyak disediakan antara lain bidang keuangan syariah dan akuntansi syariah. Kedua bidang tersebut sangat diperlukan dalam mengelola lembaga-lembaga keuangan syariah.
Maka bermunculanlah perguruan tinggi, baik yang berada dibawah naungan Kemetrian Agama maupun dibawah Kemenristekdikti membuka jurusan ekonomi islam dalam rangka mengejar peluang ini. Dalam agama Islam dikenal berbagai akad yang dibenarkan dalam bermuamalah.
Diantaraya adalah akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah.Akad-akad tersebut lazim digunakan dalam transaksi antara perbankan syariah dengan para nasabahnya.Namun tidak menutup kemungkinan, akad-akad itu digunakan oleh sebagian masyarakat di luar perbankan syariah.
Misalnya saja dalam praktek hubungan kerja di rumah makan padang telah menerapkan akad mudharabah, para petani berusaha bersama dengan cara patungan modal dan bekerja besama atau musyarakah, serta antara pedagang dan pembeli menerapkan akad murabahah.
B. TELAAH LITERATUR
1. Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka bumi. Dan berjalan di muka bumi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu usaha, berdagang atau berjihad di jalan Allah, sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Muzzammil, ayat ke-20.
Mudharabah disebut juga qiraadh, berasal dari kata al–qardhu yang berartial-qath‟u (sepotong), karena
3Masyhuri (Ed), Teori Ekonomi dalam Islam, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 138. 82 pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
4 Sedangkan menurut istilah fiqih, Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.5 Mudharabah hukumnya boleh berdasarkan dalil-dalil berikut:
1. Al-Qur‟an: Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”.
(QS. alMuzzammil: 20) Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
(QS. alMa‟idah: 1) Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283).
2. Al-Hadits: Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. AlBaihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra(6/111)) Shuhaib radhiyallahu anhu berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), danmencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)
3. Ijma: Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah. (Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (2/136))Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan 4 AFiqhus Sunnah, karya Sayid Sabiq III/220, dan Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil „Aziz,karya „Abdul „Azhim bin Badawi al-Khalafi,hal.359. 5 Fiqhus Sunnah Karya Sayid Sabiq III/220. 83 (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka.karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma‟.6 4. Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah. 5. Kaidah fiqih “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka.
Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhoribmemanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
7 Sebagai sebuah akad, mudharabah memiliki syarat dan rukun.Imam AnNawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:
1. Modal.
2. Jenis usaha.
3. Keuntungan.
4. Shighot (pelafalan transaksi)
5. Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola. (Ar-Raudhahkarya imam Nawawi (5/117)) Sedangkan syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak. 6 al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaily, 4/838 7Lihat Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq (hlm.221) 84
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari‟ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu. Mudharabah hukumnya boleh, baik secara mutlak maupun muqayyad(terikat/bersyarat), dan pihak pengelola modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang.Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengelola modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.”
8 Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Ad-Daruquthni II: 63 no: 242, Al-Baihaqi VI: 111) 8 al-Ijma‟ hal. 125, dinukil dari Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil „Aziz, karya „Abdul „Azhim bin Badawi al-Khalafi, hal.359. 85 Kerugian dalam mudharabah ini mutlak menjadi tanggung jawab pemilik modal.
Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya.Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan.Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).
Usaha Mudharabah dapat dibatasi waktunya dan dibatalkan oleh salah satu pihak dari pemilik modal maupun pengelola modal.Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini.
Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia mau.Al-Kasani berkata: “Sekiranya seseorang menerima modal untuk usaha mudharabah selama satu tahun, maka menurut pandangan kami hal itu hukumnya boleh.” (Bada-i‟u Ash-Shanai‟ VIII/3633).Ibnu Qudamah berkata: “Boleh membatasi waktu mudharabah seperti mengatakan, “Aku memberimu modal sekian dirham agar kamu mengelolanya selama satu tahun. Bila sudah berakhir waktunya maka kamu tidak boleh membeli atau menjual.” (Al-Mughni V/69).
2. Musyarakah
Musyarakah adalah bentuk kerjasama dua orang atau lebih dengan pembagian keuntungan secara bagi hasil.Menurut Dewan Syariah Nasional MUI dan PSAK Np. 1069 mendefinisikan musyarakah sebagai akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing – masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan kontribusi dana.
Para mitra bersama – sama menyediakan dana untuk mendanai suatu usaha tertentu dalam masyarakat, baik usaha yang sudah berjalan maupun yang baru. Investasi musyarakah dapat dalam bentuk kas, setara kas atau asset non kas.Jenis akad musyarakah berdasarkan eksistensi terdiri dari :
10 a. Syirkah Al Milk atau perkongsian amlak Mengandung kepemilikan bersama yang keberadaannya muncul apabila dua orang atau lebih memperoleh kepemilikan bersama atas suatu kekayaan.Syirkah ini bersifat memaksa dalam hukum positif.Misalnya : dua orang atau lebih menerima warisan atau hibah atau wasiat sebidang tanah.
b. Syirkah Al Uqud Yaitu kemitraan yang tercipta dengankesepakatan dua orang atau lebih untuk bekerja sama dlam mencapai tujuan tertentu. Setiap mitra berkontribusi dana dn atau dengan bekerja, serta berbagai keuntungan dan kerugian. Syirkah jenis ini dapat dianggap kemitraan yang sesungguhnya karena pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk membuat kerjasama investasi dan berbagi keuntungn dan resiko.Syirkah uqud sifatnya ikhtiariyah (pilihan sendiri).
Syirkah Al Uqud dapat dibagi menjadi sebagai berikut : 9 Ikatan Akuntan Indonesia, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 106. (Jakarta: Salemba Empat, 2009) h. 106.1 10Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik.(Jakarta: Gema Insani, 2001) h.92. 86
1) Syirkah abdan, yaitu bentuk syirkah antara dua pihak atau lebih dari kalangan
Syirkah abdan, yaitu bentuk syirkah antara dua pihak atau lebih dari kalangan pekerja atau professional dimana mereka sepakat untuk bekerjasama mengerjakan suatu pekerjaan dan berbagi penghasilan yang diterima.
Syirkah ini dibolehkan oleh ulama malikiyah, hanabilah dan zaidiyah dengan alasan tujuan dari kerjasama ini adalah mendapat keuntungan selain itu kerjasama ini tidak hanya pada harta tetapi dapat juga pada pekerjaan. Sedangkan ulama syafiiyah, imamiyah dan zafar dari golongan hanafiyah menyatakan bahwa sirkah jenis ini batal karena syirkah itu dikhususkan pada harta (modal) dan bukan pada pekerjaan.
2) Syirkah wujuh, yaitu kerjasama antara dua pihak dimana masing – masing pihak sama sekali tidak menyertakan modal dan menjalankan usahanya berdasarkan kepercayaan pihak ketiga. Penamaan wujuh ini dikarenaknan jual beli tidak terjadi secara kontan. Kerjasama ini hanya berbentuk kerjasama tanggungjawab bukan modal atau pekerjaan. Ulama hanafiyah, hanabilah dan zaidiyah membolehkan syirkah ini sebab mengandung unsure perwakilan dari seorang partner dalam penjualan dan pembelian.
Ulama malikiyah, sayifiiyah berpendapat bahwa syirkah ini tidak sah karena syirkah ini gada unsur kerjasama modal atau pekerjaan.
3) Syirkah inan, yaitu sebuah persekutuan dimana posisi dan komposisi pihak – pihak yang terlibat di dalamnya adalah tidak sama, baik dalam modal maupun pekerjaan. Ulama fiqih membolehkan syirkah ini.
4) Syirkah muwafadah, yaitu sebuah persekutuan dimana posisi dan komposisi pihak – pihak yang terlibat didalamnya harus sama, baik dalam hal modal, pekerjaan, agama, keuntungan maupun resiko kerugian. Jika komposisi modal tidak sama maka syirkahnya batal. Menurut pendapat ulama hanafiyah dan maliki syirkah ini boleh. Namun menurut syafii dan hanabilah dan kebanyakan ulama fiqih lain menolaknya karena syirkah ini tidak dibenarkan syara, selain itu syarat untuk menyamakan modal sangatlah sulit dilakukan dan mengundang unsur ke-gharar-an.
5) Musyarakah berdasarkan PSAK terdiri dari:
a) Musyarakah permanen Musyarakah permanen adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra dotentukan saat akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad (PSAK No 106 par 04). Contohnya : Antara mitra A dan mitra p yang telah melakukan akad musyarakah menanamkan modal yang jumlah awal masing – masing Rp 20 juta, maka sampai akhir masa akad syirkah modal mereka masing – masing tetap Rp 20 juta.
b) Musyarakah menurun atau musyarakah mutanaqisah. Musyarakah menurun adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana salah satu mitra akan dialihkan secara bertahap kepada mitra lainnya sehingga bagian dananya akan menurun dan pada akhir masa akad mitra lain tersebut akan menjadi pemilik penuh usaha musyarakah tersebut.
Contohnya: Mitra A dan mitra P melakukan akad usyarakah, mitra P menanmkan Rp 100 juta dan mitra A menanamkan Rp 200 juta. Seiring berjalannya kerjasama akad musyarakah tersebut, modal mitra P sebesar Rp 100 juta akan beralih kepada mitra A melalui pelunasan secara bertahap yang dilakukan oleh mitra A. 87
6) Perlakuan Akuntansi PSAK 106 Perlakuan akuntansi untuk transaksi musyarakah akan dilihat dari dua sisi pelaku yaitu mitra aktif dan mitra pasif.
Yang dimaksud dengan mitra aktif adalah pihak yang mengelola usaha musyarakah baik mengelola sendiri maupun menunjuk pihak lain untuk mengelola atas namanya, sedangkan mitra pasif adalah pihak yang tidak ikut mengelola usaha (biasanya lembaga keuangan). Mitra aktif adalah pihak yang bertanggungjawab melakukan pengelolaan sehingga ia yang wajib melakukan pencatatan akuntansi .
7) Rukun dan ketentuan syariah dalam akad musyarakah
a) Unsur – unsur yang harus ada dalam akad musyarakah ada 4 :
(1) Pelaku terdiri dari para mitra
(2) Objek musyarakah berupa modal dan kerja
(3) Ijab qabul
(4) Nisbah keuntungan (bagi hasil)
b) Ketentuan syariah
(1) Pelaku : mitra harus cakap hukum dan baligh
(2) Objek musyarakah:
c) Modal :
(1) Modal yang diberikan harus tunai
(2) Modal yang diserahkan dapat berupa uang tunai, emas, asset perdagangan atau asset tak berwujud seperti hak paten dan lisensi.
(3) Apabila modal yang diserahkan dalam bentuk nonkas, maka harus ditentukan nilai tunainyaterlebih dahulu dan harus disepakati bersama.
(4) Modal para mitra harus dicampur, tidak boleh dipisah.
d) Kerja :
(1) Partisipasi mitra merupakan dasar pelaksanaan musyarakah
(2) Tidak dibenarkan jika salah satu mitra tidak ikut berpartisipasi
(3) Setiap mitra bekerja atas dirinya atau mewakili mitra‟
(4) Meskipun porsi mitra yang satu dengan yang lainnya tidak harus sama, mitra yang bekerja lebih banyak boleh meminta bagian keuntungan lebih besar.
e) Ijab qabul Ijab qabul disini adalah pernyataan tertulis dan ekspresi saling ridha antara para pelaku akad.
f) Nisbah (1) Pembagian keuntungan harus disepakati oleh para mitra. (2) Perubahan nisbah harus disepakati para mitra.
g) Keuntungan yang dibagi tidak boleh menggunakan nilai proyeksi akan tetapi harus menggunakan nilai realisasi keuntungan.
h) Berakhirnya akad musyarakah
(1) Jika salah satu pihak menghentikan akad
(2) Salah seorang mitra meninggal atau hilang akal. Dalam hal ini bisa digantikan oleh ahli waris jika disetujui oleh para mitra lainnya.
(3) Modal musyarakah habis 88 Landasan Hukum Musyarakah a. Al-Qur‟an Firman Allah,” …maka mereka berserikat pada sepertiga…(an-nisa : 12) Firman Allah,“Dan, sesungguhnya kabanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh.”(Shaad:24) Kedua ayat di atas menunjukkan perkenan dan pengakuan Allah SWT akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta.
Hanya saja dalam surah an-nisa: 12 perkosian terjadi secara otomatis (jabr) karena waris; Sedangkan dalam surah Shaad: 24 terjadi atas dasar akad (ikhtiyari)
b. Al-hadis Hadis yang diriwayatkan oleh abu hurairah yang artinya: Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfiman, „Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satuhnya tidak mengkhianati lainnya.” (HR Abu Dawud no 2936, dalam kitab al;buyu, dan hakim) Hadits qudsi tersebut menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hambanya yang melakukan perkongsian selama saling menjujung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan.
c. Ijma Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mugni11 telah berkata, “kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.” 3. Murabahah Konsep Murabahah Dalam Fiqh Murabahah berasal dari kata dasar Øِ َ َر - ب berarti yang ÙŠَ ْربَ ُØ - ِرْب اً beruntung.
Jadi, pengertian murabahah secara bahasa adalah mengambil keuntungan yang disepakati.Bai‟ murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
Dalam bai‟ murabahah penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.12 Dibawah ini defenisi tentang murabahah menurut pendapat para ekonom muslim yaitu :
a. Muhammad Syafi‟i Antonio: Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam murabahah, penjual harus 11Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, mughni wa Syarh Kabir (Beirut: Darul-Fikr, 1979) vol. V, hlm91 12 Harisman, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syari‟ah, (Jakarta : Direktorat Perbankan Syari‟ah, 2006), Hal : 48 89 memberitahu harga pokok yang ia beli dan menentukan tingkat keuntungan yang disepakati.13
b. Menurut Adiwarman A. Karim: Murabahah adalah transaksi jual beli dimana Bank menyebutkan jumlah keuntungan yang diperoleh. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).
14 Murabahah dalam istilah fiqh merupakan suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang (al-tsaman al-awwal) dan tingkat keuntungan yang diinginkan.15 Murabahah masuk kategori jual beli muthlaq dan jual beli amanat. Ia disebut jual beli muthlaq karena obyek akadnya adalah barang dan uang. Sedangkan ia termasuk kategori jual beli amanat karena dalam proses transaksinya penjual diharuskan dengan jujur menyampaikan harga perolehan dan keuntungan yang diambil ketika akad. Para ulama telah sepakat (ijma‟) akan kebolehan akad murabahah, tetapi Alquran tidak pernah secara langsung dan tersurat membicarakan tentang murabahah, walaupun di dalamnya ada sejumlah acuan tentang jual beli dan perdagangan.
Demikian juga tampaknya tidak ada satu hadis pun yang secara spesifik membicarakan mengenai murabahah. Oleh karena itu, meskipun Imam Malik dan Imam Syafii membolehkan jual beli murabahah, tetapi keduanya tidak mempekuat pendapatnya dengan satu hadis pun. Sedangkan dasar hukum yang dijadikan sandaran kebolehan jual beli murabahah di buku-buku fikih muamalat kotemporer lebih bersifat umum karena menyangkut jual beli atau perdagangan pada umumnya.
Di samping itu, keberadaan model jual beli murabahah sangat dibutuhkan masyarakat karena ada sebagian mereka ketika akan membeli barang tidak mengetahui kualitasnya maka ia membutuhkan pertolongan kepada yang mengetahuinya, kemudian pihak yang dimintai pertolongan tersebut membelikan barang yang dikehendaki dan menjualnya dengan keharusan menyebutkan harga perolehan (harga beli) barang dengan ditambah keuntungan. Sebagai bagian dari jual beli, murabahah memiliki rukun dan syarat yang tidak berbeda dengan jual beli (al-bai‟) pada umumnya.
Namun demikian, ada beberapa ketentuan khusus yang menjadi syarat keabsahan jual beli murabahah yaitu:
a. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal awal (harga perolehan/ pembelian), semuanya harus diketahui oleh pembeli saat akad; dan ini merupakan salah satu syarat sah murabahah.
b. Adanya keharusan menjelaskan keuntungan yang ambil penjual karena keuntungan merupakan bagian dari harga. Sementara keharusan mengetahui harga barang merupakan syarat sah jual beli pada umumnya. 13 Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori Ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2001),Hal: 101 14Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Hal : 88 15 Ah Azharuddin Latif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di Indonesia (jurnal). Hal : 2 90
c. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki/hak kepemilikan telah berada di tangan penjual. Artinya bahwa keuntungan dan resiko barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi dari kepemilikan yang timbul dari akad yang sah.
d. Transaksi pertama (antara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (antara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah), karena murabahah adalah jual beli dengan harga pertama disertai tambahan keuntungan.
e. Hendaknya akad yang dilakukan terhindar dari praktik riba, baik akad yang pertama (antara penjual dalam murabahah sebagai pembeli dengan penjual barang) maupun pada akad yang kedua antara penjual dan pembeli dalam akad murabahah.
16 Konsep Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Paparan tentang jual beli murabahah di atas merupakan konsep dan praktik murabahah yang banyak dituangkan dalam berbagai literatur klasik, dimana barang yang menjadi obyek murabahah tersedia dan dimiliki penjual pada waktu negosiasi atau akad jual beli berlangsung. Kemudian ia menjual barang tersebut kepada pembeli dengan menjelaskan harga pembelian dan keuntungan yang akan diperoleh. Karena itu, dapat dikatakan praktik tersebut adalah transaksi jual beli biasa, kelebihannya terletak pada pengetahuan pembeli tentang harga pembelian awal sehingga menuntut kejujuran penjual dalam menjelaskan harga awal yang sebenarnya.
Dalam praktik di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk bank syariah, bentuk murabahah dalam fiqh klasik tersebut mengalami beberapa modifikasi. Murabahah yang dipraktikkan pada LKS dikenal dengan Murabahah Li al-„Amir Bi asy-Syira‟ yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah barang dengan kriteria tertentu, dan ia akan membeli barang tersebut secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara cicilan berkala sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki.
Mengenai kedudukan hukum praktik murâbahah li al-âmir bi al-Syira‟ ulama kontemporer berbeda pendapat.Ada yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang atau mengharamkan.
Di antara ulama yang mengakui keabsahan/kebolehanmurabahah li al-„amir bi al-Syira‟ adalah Sami Hamid, Ali Ahmad Salus, Shadiq Muhammad Amin, Ibrahim Fadhil, dan lainnya.
Adapun argumentasi mereka adalah sebagai berikut :
a. Hukum asal dalam muamalah adalah diperbolehkan dan mubah kecuali terdapat nash shahih dan sharih yang melarang dan mengharamkannya.
b. Keumuman nash Al-Qur‟an dan hadis yang menunjukan kehalalan segala bentuk jual beli, kecuali terdapat dalil khusus yang melarangnya.
c. Terdapat nash ulama fikih yang mengakui keabsahan akad ini, di antaranya pernyataan Imam Syafi‟i dalam kitab al-Umm: “dan ketika seseorang memperlihatkan sebuah barang tertentu kepada orang lain, dan berkata: 16Ibid., Hal : 3-5 91 “belikanlah aku barang ini, dan engkau akan aku beri margin sekian”, kemudian orang tersebut mau untuk membelikannya, maka jual beli tersebut diperbolehkan”.
d. Transaksi muamalah dibangun atas asas maslahat.
e. Pendapat yang memperbolehkan bentuk murabahah ini dimaksudkan untuk memudahkan persoalan hidup manusia.
Adapun ulama kontemporer yang melarang dan mengharamkan praktik murabahah li al-amir bi al-Syira‟ antara lain: Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Rafîq al-Mishrî dan lainnya. Berikut ini argumen yang memperkuat pendapat mereka:17
a. Transaksi murabahah di LKS/bank syariah sebenarnya bukan dimaksudkan untuk melakukan jual beli tapi hanya sekedar hîlahatau trik untuk menghalalkan riba. Mereka mengatakan bahwa maksud dan tujuan sebenarnya transaksi murabahah adalah untuk mendapatkan uang tunai, sebab kedatangan nasabah ke LKS/bank syariah sebenarnya adalah untuk mendapatkan uang tunai.
b. Transaksi murabahah termasuk jual beli „ înah yang diharamkan. Jual beli „înah adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan praktik jual beli.
c. Bank syariah dalam melakukan transaksi murabahah, menjual barang yang tidak atau belum dimilikinya , dimana pihak bank syariah dan nasabah berjanji untuk melakukan transaksi murabahah.
Atas dasar perbedaan ulama di atas, Muhammad Taqi Usmani mengakui bahwa pada mulanya murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan melainkan hanya alat untuk menghindari “bunga bank” dan juga bukan merupakan instrumen ideal untuk mengembangkan tujuan riil ekonomi Islam.
Instrumen murabahah hanya digunakan sebagai langkah transisi yang diambil dalam proses islamisasi ekonomi.
Sedangkan untuk menghindari praktik murabahah yang akan terjebak pada praktikhilah, bai‟„inah, dan bai‟ al-ma‟dum maka para ulama kontemporer mensyaratkan dalam praktik jual beli murabahah di lembaga keuangan syariah sebagai berikut:
a. Jual beli murabahah bukan pinjaman yang diberikan dengan bunga, tetapi merupakan jual beli komoditas dengan harga tangguh termasuk margin keuntungan di atas biaya perolehan yang disetujui bersama.
b. Pemberi pembiayaan dalam hal ini bank atau lembaga keuangan syariah lainnya, harus telah membeli komoditas/barang dan menyimpan dalam kekuasaannya, atau membeli melalui orang ketiga sebagai agennya sebelum dijual kepada nasabahnya.
c. Pembelian komoditas tidak boleh dari nasabah sendiri (komoditas milik nasabah) dengan perjanjian buy back (pembelian kembali) karena model perjanjian seperti ini masuk kategori bai „ inah yang diharamkan oleh sebagian besar ulama.
Sejalan dengan syarat-syarat di atas, maka praktik murabahah li al-amir bi al-Syira‟ di lembaga Keuangan Syariah (LKS) ditempuh dengan prosedur sebagai berikut: 17Ibid., Hal : 5-7 92
a. Nasabah dan LKS menandatangani perjanjian umum ketika LKS berjanji untuk menjual dan nasabah berjanji untuk membeli komoditas atau barang tertentu pada tingkat margin tertentu yang ditambahkan dari biaya perolehan barang;
b. LKS selanjutnya bisa menunjuk nasabah sebagai agennya untuk membeli komoditas yang diperlukan nasabah atas nama LKS, dan perjanjian keagenan dengan akad wakalah ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. Nasabah membelikan komoditas atas nama LKS dan mengambil alih penguasaan barang sebagai agen LKS, pada tahap ini resiko komoditas masih ada pada LKS;
d. Nasabah menginformasikan kepada LKS bahwa ia telah membeli komoditas/atau barang atas nama LKS, dan pada saat yang sama menyampaikan penawaran untuk membeli barang tersebut dari LKS
e. LKS menerima penawaran tersebut dan proses jual beli berlangsung dengan pembayaran secara cicilan/tangguh sesuai kesepakatan.
Jika proses jual beli telah berlangsung maka kepemilikan dan resiko komoditas/barang telah beralih ke tangan nasabah.
Langkah-langkah di atas diperlukan apabila LKS menjadikan nasabah sebagai agennya, tetapi jika LKS membeli komoditas/barang langsung ke supplier maka perjanjian keagenan seperti di atas tidak diperlukan. Dalam hal ini, setelah LKS membelikan barang langsung ke pihak supplier maka proses jual beli antara LKS dan nasabah bisa dilaksanakan.
18 Landasan Hukum Murabahah Murabahah merupakan suatu akad yang dibolehkan secara syar'i, serta didukung oleh mayoritas ulama dari kalangan Shahabat, Tabi'in serta Ulama-ulama dari berbagai mazhab dan aliran.Landasan hukum akad murabahah ini adalah: 1. Al-Quran Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya adalah:
a. Firman Allah yang artinya: "..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275). Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan murabahah merupakan salah satu bentuk dari jual beli.
b. Firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29).
c. Firman Allah yang artinya: “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah:198). Berdasarkan ayat tersebut, maka murabahah merupakan upaya mencari rezki melalui jual beli.
Murabahah menurut Azzuhaili (1997., hal.3766.) adalah jual beli berdasarkan suka sama suka antara kedua belah pihak yang bertransaksi. 18Ibid., Hal : 8-10 93 2. Assunnah
a. Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal (utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
b. Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
c. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam akan hijrah, Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya", Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu menjawab, "salah satunya jadi milik anda tanpa ada kompensasi apapun", Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam bersabda, "kalau tanpa ada harga saya tidak mau".
d. Sebuah riwayat dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, menyebutkan bahwa boleh melakukan jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham untuk setiap sepuluh dirham harga pokok (Azzuhaili, 1997, hal 3766).
e. Selain itu, transaksi dengan menggunakan akad jual beli murabahah ini sudah menjadi kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan. Banyak manfaat yang dihasilkan, baik bagi yang berprofesi sebagai pedagang maupun bukan.
3. Al-Ijma Transaksi ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada yang mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya (Ash-Shawy, 1990., hal. 200.).
4. Kaidah Fiqh, yang menyatakan: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
5. Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia No.04/DSNMUI/IV/2000, tentang murabahah
a. Rukun murabahah adalah:
1) Adanya pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu penjual dan pembeli
2) Obyek yang diakadkan, yang mencakup barang yang diperjualbelikan dan harga
3) Akad/Sighat yang terdiri dari Ijab (serah) dan Qabul (terima)
b. Syarat-syarat sebagai berikut:
1) Pihak yang berakad, harus cakap hukum dansukarela (ridha), tidak dalam keadaan terpaksa atau berada dibawah tekanan atau ancaman.
2) Obyek yang diperjualbelikan harus:
a) Tidak termasuk yang diharamkan atau dilarang
b) Memberikan manfaat atau sesuatu yang bermanfaat.
c) Penyerahan obyek murabahah dari penjual kepada pembeli dapat dilakukan.
d) Merupakan hak milik penuh pihak yang berakad. 94
e) Sesuai spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dan yang diterima pembeli.
3) Akad/Sighat, harus:
a) Jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad.
b) Antara ijab dan qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifikasi barang maupun harga yang disepakati.
c) Tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi pada kejadian yang akan datang.
4. PEMBAHASAN
Mudharabah Aplikasi Mudharabah di Perbankan Syariah19 Al-mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Al-mudharabah diterapkan pada:
a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya;
b. Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja;
c. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
d. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah diterapkan oleh shahibul maal. Salah satu produk yang menjadi unggulan perbankan syariah adalah pembiayaan mudharabah.20 Sebagaimana contoh-contoh di bawah ini: Anda mantan pegawai dengan jabatan terakhir sebagai manajer pemasaran disebuah perusahaan kurir ternama. Anda sudah 20 tahun malang melintang di dunia perkuriran, dan keluar dari perusahaan Anda sebelumnya karena ingin mulai berbisnis kurir.
Dengan jaminan tanah 100 meter persegi, Anda mengajukan pembiayaan bisnis kurir yang membutuhkan modal Rp100 juta.Bank syariah menyepakati pembiayaan tersebut dengan kesepakatan nisbah 60:40.
Setiap bulan, Anda harus menyetor laporan laba rugi dan berbagi kesepakatan apakah dibayar sekaligus pada saat berakhirnya kontrak mudharabah atau dicicil.21 Dalam mudharabah istilah profit and loss sharing tidak tepat digunakan karena yang dibagi hanya keuntungannya saja (profit), tidak termasuk kerugiannya (loss).
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Dalam mudharabah yang dibagihasilkan 19Dr. Muhammad Syafi‟i Antonio, M.Ec, Bank Syariah dari teori ke praktek,(Depok, Gema Insani bekerja sama dengan Tazkia Cendekia: 2011) cet ke-17, h. 97 20Yusak Lasmana, Account Officer Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia, 2009) h. 82 21 Siti Najma, Bisnis Syariah dari Nol, (Jakarta:Hikmah, 2007), hlm 173-174 95 adalah pendapatan.Pendapatan terkecil adalah nol.
Maka dimaksudkan kerugian dalam mudharabah adalah ketidak mampuan nasabah dalam membayar cicilan pokok senilai pembiayaan yang telah diterimanya, atau jumlah seluruh cicilan lebih kecil dari pembiayaan yang telah diterimanya.
Bila terjadi demikian, kerugian ditanggung oleh bank syariah, kecuali akibat:
a. nasabah melanggar syarat yang telah disepakati.
b. nasabah lalai dalam menjalankan modalnya. Contoh 1 Contoh perhitungan bagi hasil bagi dana pihak ketiga (tabungan/deposito masyarakat). Bapak ahmad memiliki deposito Rp 10.000.000,00 jangka waktu satu bulan (1 Desember 2000 s/d 1 januari 2001), dan nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank 57%:43%. Jika keuntungan bank yang diperoleh untuk deposito satu bulan per 31 desember 2000 adalah Rp 20.000.000,00 dan rata-rata deposito jangka waktu satu bulan adalah Rp 950.000.000,00. Berapa keuntungan yang diperoleh Bapak Ahmad?
Jawab:
Keuntungan diperoleh bapak Ahmad adalah : (Rp 10.000.000,00 / Rp 950.000.000,00) x 57 % x Rp 20.000.000,00 = Rp 120.000,00 Jadi keuntungan yang diperoleh bapak Ahmad sebesar Rp 120.000,00 Contoh perhitungan pembiayaan mudharabah Mudharabah ternak qurban sebesar Rp 10.000.000, dan nisbah bagi hasil 60:40 (bank:nasabah).
Rencana pengembalian modal sekaligus tanggal 1 Maret.
Ternyata aktualisasi hasil yang ada diperhitungkan sebesar Rp 1.000.000,00 maka perhitungannya: Nisbah 60:40 aktualisasi hasil Rp 1.000.000,00 Profit bank 60/100 x Rp 1.000.000 = Rp 600.000,00 Keuntungan nasabah Rp 400.000,00 Jadi pembayaran ke bank tanggal 1 Maret = Rp 10.600.000,00
Contoh 2. Bank Jayen Syariah (BJS) melakukan kerjasama bisnis dengan Bapak Irfa, seorang pedagang buku di Pasar Shoping Yogyakarta menggunakan akad mudharabah (BJS sebagai pemilik dana dan Irfa sebagai pengelola dana). BJS memberikan modal kepada Irfa sebesar Rp 10.000.000 sebagai modal usaha pada Tanggal 1 Januari 2009 dengan nisbah bagi hasil BJS : Irfa = 30% : 70%.
Pada tanggal 31 pebruari 2009, Irfa memberikan Laporan Laba Rugi penjualan buku sebagai berikut: 96 Penjualan Rp. 1.000.000 Harga Pokok Penjualan (Rp. 700.000) Laba Kotor Rp. 300.000 Biaya-biaya (Rp 100.000) Laba bersih Rp 200.000 Hitunglah pendapatan yang diperoleh BJS dan Irfa dari kerjasama bisnis tersebut pada tanggal 31 Pebruari 2009 bila kesepakan pembagian bagi hasil tersebut menggunakan metode:
a. Profit sharing b. Revenue sharing
Jawab:
a. Profit sharing Bank Syariah = 30% x Rp 200.000 (Laba bersih) = Rp 60.000 Irfa = 70% x Rp 200.000 = Rp 140.000 b. Revenue sharing Bank Syariah = 30% x Rp 300.000 (Laba Kotor) = Rp 90.000 Irfa = 70% x Rp 300.000 = Rp 210.000
Aplikasi Mudharabah Selain di Perbankan Syariah Bagi Hasil untuk Akad Mudharabah Musytarakah.
Ketentuan bagi hasil untuk akad jenis ini dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yaitu:
a. Hasil investesi dibagi antara pengelolaan dana dan pemilik dana sesuai nisbah yang disepakati, selanjutnya bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana tersebut dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dengan pemilik dana sesuai dengan porsi modal masing-masing, atau
b. hasil investasi dibagi diantara pengelola dana (sebagai musytarik) dan pemilik dana sesuai dengan porsi modal masing-masing, selanjutnya bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana (sebagai musytarik) sesuai dengan nisbah yang disepakati.
97 Contoh: jika terjadi kerugian atas investasi, maka kerugian dibagi sesuai dengan porsi modal para musytarik.22 Bapak A menginvestasikan uang sebesar Rp 2 juta untuk usaha somay yang dimiliki oleh Bapak B dengan akad mudharabah. Nisbah yang disepakati oleh bapak A dan bapak B adalah 1:3.
Setelah usaha berjalan, ternyata dibutuhkan tambahan dana, maka atas persetujuan bapak A, bapak B ikut menginvestasikan uangnya sebesar Rp 500.000. dengan demikian bentuk akadya adalah akad mudharabah musytarakah. Laba yang diperoleh untuk bulan januari sebesar Rp 1.000.000.
Berdasarkan PSAK 105 par 34 maka bagi hasil jika terdapat keuntungan dapat dilakukan dengan cara:
Alternatif 1: Pertama, hasil investasi dibagi antara pengelola dana dan pemilik dana sesuai nisbah yang disepakati: Bagian A: ¼ x Rp 1.000.000 = 250.000 Bagian B: 3/4 x Rp 1.000.000 = 750.000
Kemudian bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana tersebut (Rp 1.000.000-Rp 750.000) dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dengan pemilik dana sesuai dengan porsi modal masing-masing.
Bagian A: Rp 2.000.000/Rp 2.500.000 x 250.000 = Rp 200.000
Bagian B: Rp 500.000/Rp 2.500.000 x 250.000 = Rp 50.000 Sehingga B sebagai pengelola dana akan memperoleh Rp 750.000 + Rp 50.000 = Rp 800.000, dan A sebagai pemilik dana akan memperoleh Rp 200.000.
Alternative 2: Pertama hasil investasi dibagi antara pengelola dana dan pemilik dana sesuai dengan porsi masing-masing modal, Bagian
A: Rp 2.000.000/Rp 2.500.000 x Rp 1.000.000 = Rp 800.000 Bagian
B: Rp 500.000/Rp 2.500.000 x Rp 1.000.000 = Rp 200.000 Kemudian bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana sebesar Rp 800.000 (Rp 1.000.000- Rp 200.000) tersebut dibagi antara pengeola dana dengan pemilik dana sesuai dengan nisbah yang disepakati.
Bagian A: ¼ x Rp 800.000 = 200.000 Bagian B: ¾ Ro 800.000 = 600.000 22Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat: 2011),
h. 127-128 98 Sehingga B sebagai pengelola dana akan memperoleh Rp 200.000 + Rp 600.000 = Rp 800.000, dan A sebagai pemilik dana akan memperoleh Rp 200.000.
Jika terjadi kerugian atas investasi, maka kerugian dibagi sesuai dengan porsi modal para musytarik. Misalnya terjadi kerugian sebesar Rp 1.000.000 maka, A akan menanggung rugi sebesar: Rp 2.000.000/Rp 2.500.000 x Rp 1.000.000 = Rp 800.000 B akan menanggung rugi sebesar: Rp 500.000/Rp 2.500.000 z Rp 1.000.000 = Rp 200.000,-
Aplikasi mudharabah juga dilaksanakan oleh masyarakat, yaitu kerjasama yang dilakukan oleh perorangan.Namun biasanya orang yang melakukan kerjasama tidak mengetahui bahwa kerjasama yang dilakukan termasuk akad mudharabah.
Sering dijumpai seseorang yang mempunyai dana berlebih, sementara yang bersangkutan tidak memiliki kehalian yang memadai dalam menggunakan uang yang dimiliki. Sehingga uang yang dimiliki dipercayakan kepada orang yang dipandang mampu untuk mengeloladana tersebut agar menghasilkan keuntungan.
Mudharabah dalam masyarakat seperti ini skalanya relatif kecil karena dananya hanya dari perorangan.
Bidang usaha yang ditekuni biasanya meliputi:
a. Perdagangan, misalnya pemilik dana ingin menginvestasikan dananya pada usaha jual beli hasil pertanian, peternakan, atau toko kelontong yang dikelola oleh pihak lain. b. Pertanian, misalnya pemilik dana ingin menginvestasikan dananya pada usaha pertanian seperti menanam padi, jagung, kedelai dan lain-lain. Dalam hal ini tanah yang digunakan berasal dari menyewa tanah pihak ketiga.
c. Peternakan, misalnya pemilik dana ingin menginvestasikan dananya untuk membeli dan memelihara ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan sebagainya dalam rangka penggemukan ataupun penangkaran.
d. Perikanan, misalnya pemilik dana ingin menginvestasikan dananya dalam usaha penangkapan ikan yang dipercayakan kepada seorang nelayan yang professional.
Musyarakah
Aplikasi Musyarakah di Perbankan Syariah23 Implementasi musyarakah dalam perbankan syariah dapat dijumpai pada pembiayaan-pembiayaan seperti:
a. Pembiayaan Proyek Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyektersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebutbersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. 23 http://amanata-shofa.blogspot.co.id/2012/05/praktik-riil-mudharabah-musyarakahyang.html
PRAKTIK RIIL MUDHARABAH & MUSYARAKAH YANG DIJALANKAN OLEH PERBANKAN 24 Januari 2017 99
b. Modal Ventura Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap. Mekanisme Perhitungan Musyarakah Yang Dijalankan Oleh Perbankan adalah sebagai berikut: Nasabah Bank ABC mengajukan pembiayaan Pengembangan software ADLCdari sebuah perusahaan Telekomunikasi terkemuka di Indonesia, PT XYZ. TotalNilai proyek yang akan dikerjakan adalah sebesar Rp 2.970.000.000, termasukPPN 10%.
Berdasarkan perhitungan kebutuhan modal kerja, nasabah membutuhkan MK sebesar Rp 1.744.947.500.Bank memiliki aturan untuk memberikan share pembiayaan maksimum 70% dari kebutuhan pembiayaan. Berdasarkan proyeksi cashflow nasabah penarikan modal kerja dilakukan secara bertahap dan pembayaran dari Bouwheer dilakukan berdasarkan progress penyelesaian pekerjaan sesuai dengan kontrak.
Pertanyaan:
e. Berapakah pembiayaan yang dapat diberikan oleh Bank dan dana yang harusdipersiapkan nasabah (denganangka pembulatan 7digit ke bawah)
f. Bagaimana proyeksi pembayaran bagi hasil dari nasabah dan berapa besar nisbah yang harus dibayar nasabah jika ekspektasi return yang diharapkanoleh Bank adalah setara dengan 14,5% pa ?
Adakah perbedaan dengan perhitungan bunga yang dihitung setiap bulan sesuai dana bank yg digunakanoleh nasabah?
Jawab:
a. pembiayaan yang dapat diberikan oleh Bank ABC adalah senilai Rp 1.744.947.500 x 70% = Rp 1.221.463.250,- atau dibulatkan ke bawah menjadiRp 1.220.000.000,00
b. Menghitung nisbah bagi hasil didasarkan atas pendapatan nett nasabah setelah mengeluarkan PPN, sehingga pendapatan nett nasabah adalah sebesar Rp2.700.000.000,00 Proyeksi pembayaran bagi hasil dihitung berdasarkan ekspekatasi return yang diinginkan oleh Bank setara 14,5% pa dengan model dropping pembiayaan secara bertahap sesuai tabel dan juga schedule pembayaran dari Bouwheer secara bertahap sesuai dengan progress penyelesaian proyek.
Proyeksi pencairan pembiayaan secara bertahap ini diperoleh dari proyeksi cashflow proyek nasabah sehingga besaran pembiayan yang diberikan benar-benar langsung secara produktif dugunakan atas proyek yang dibiayai secara musyarakah ini. Setiap pencairan pembiayaan, nasabah pun memasukkan share atau dana syirkah bagian nasabah untuk kemudian digunakan oleh nasabah guna membiayai proyek tersebut, dalam hal ini sekitar 70% share bank dan 30% share nasabah. 100 Penurunan pokok pembiayaan dilakukan secara proporsional sesuai dengan progress pembayaran dengan memperhitungkan prosentase Modal Kerja atasPendapatan yang diperoleh nasabah dalam proyek ini (sebesar rata-rata 65%)dengan perhitungan = MK/NP(nilaiProyek) = 1.744.947.500 / 2.700.000.000,- = 64,63% ataudibulatkan menjadi 65% Pada pembayaran tahap 1 sebesar Rp 540 juta (20% dari nett nilai kontrak), maka pokok turun sebesar Rp 540 juta x 70% x 65% = Rp245.700.000,-
Sisa dana yang masuk sebagian menjadi bagian keuntungan Bank dan Nasabah dan sebagian sebagai pengembalian share pokok nasabah, sehingga nasabah dapat memanfaatkan dana tersebut untuk proyek lainnya.
Berdasarkan schedule proyeksi penyelesaian proyek, return yang diharapkan oleh Bank ABC atas pembiayaan ini sampai dengan akhir adalah sebesar Rp 75.885.750,-, sehingga nisbah bagi hasil antara Bank ABC dengannasabah berdasarkan revenue sharing adalah 2,81% untuk Bank dan 97,19% untuk nasabah.
Prosentase pembayaran nisbah pada pembayaran tahap selanjutnya tetap sama mengingat jumlah porsi pembiayaan sama-sama turunsecara proporsional. Terlihat perbedaan jumlah pembayaran nisbah dengan perhitungan bunga bulanan setara 14,5% meskipun secara total pembayaran yg diterima memiliki nilai/jumlah yang sama.
Manfaat musyarakah dalam pembiayaan sistim perbankan, di antaranya sebagai berikut:
a. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat
b. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan /hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow / arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan mengutungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benarbenar terjadi itulah yang akan dibagikan.
e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah / musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi. Aplikasi Musyarokah Selain di Perbankan Syariah Pembiayaan dengan Akad musyarakah bisa juga dilakukan diluar perbankan syariah. Seringkali ada ide usaha dari seseorang, namun modal yang diperlukan tidak mencukupi.
Maka orang yang memiliki ide tersebut mencari mitra yang ma diajak berkerja sama, baik dari segi permodalan maupun pelaksanaannya. Sehingga terjadilah kerjasama usaha antara beberapa orang dengan kesepakatan ditentukan diawal mengenai penyertaan modal dan bagi hasilnya. Skim seperti ini dapar dialakukan misalnya pada usaha penggilingan padi, pertanian, perkebunan, peternakan, usaha dagang dan industri kecil. 101 Di sekolah tinggi ilmu ekonomi (STIE) Syariah Bengkalis, akad musyarakah telah digunakan oleh mahasiswa dalam mempraktekkan teori- teori yang telah diperoleh mahasiswa. Nama kegiatannya adalah Kuliah Kerja Profesi (K2P).
Dalam pelaksanaannya mahasiswa membentuk kelompok- kelompok yang terdiri dari 5 (lima) orang anggota. Masing- masing anggota menyetorkan dana sebagai modal usah. Bentuk usahanya dituangkan dalam proposal yang dibuat sebelumnya. Setelah dana terkumpul, selanjutnya usaha dijalankan secara bersama-sama dalam waktu 6 (enam) bulan. Karena modal yang disetor jumlahnya sama, dan bekerja juga bersama- sama maka apabila terjadi keuntungan atau kerugian juga dibagi rata.
Murabahah 1.
Aplikasi Murabahah Dalam Perbankan Syariah Di Indonesia, aplikasi jual beli murabahah pada bank syariah didasarkan pada Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Menurut keputusan fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan murabahah pada perbankan syariah adalah sebagai berikut :
a. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
b. Barang yang diperjual-belikan tidak diharamkan oleh syari‟ah Islam.
c. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
f. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
g. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
h. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. i. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.24 Selain itu, ketentuan pelaksanaan pembiayaan murabahah di perbankan syariah diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008, sebagai berikut :
a. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang.
b. Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya. 24Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, (Jakarta; CV. Gaung Persada, 2006), Cet. 3, hlm. 24-25 102
c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah.
d. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital ), dan/atau prospek usaha (Condition).
e. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. f. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah. g. Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal Pembiayaan atas dasar Murabahah dan tidak berubah selama periode Pembiayaan.
h. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Murabahah.
i. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.25 Atas dasar peraturan yang berkaitan dengan murabahah baik yang bersumber dari Fatwa DSN maupun PBI, perbankan syariah melaksanakan pembiayaan murabahah.
Namun demikian, dalam praktiknya tidak ada keseragaman model penerapan pembiayaan murabahah karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Berbagai tipe praktek jual beli murabahah dilatar belakangi motivasi yang bermacam-macam. Ada kalanya untuk lebih menyederhanakan prosedur sehingga bank tidak perlu repot-repot membeli barang yang dibutuhkan nasabah tetapi cukup dengan menunjuk atau menghubungi supplier agar menyediakan barang dan langsung mengirimkan ke nasabah sekaligus dengan atas nama nassabah (Tipe II). Atau dengan cara bank langsung memberikan uang ke nasabah kemudian nasabah membeli sendiri barang yang dibutuhkan dengan melaporkan nota pembelian kepada pihak bank (tipe III). Kedua cara tersebut sering dilakukan perbankan syariah untuk menghindari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dua kali yang dinilai akan mengurangi nilai kompetitif produk bank syariah dibandingkan bank konvensional yang dikecualikan dari PPN. Ini terjadi karena dalam jual beli murabahah tipe
I, di mana bank terlebih dahulu akan membelikan barang yang dibutuhkan nasabah atas nama bank baru kemudian dijual ke nasabah secara murabahah maka akan terjadi perpindahan kepemilikan dua kali, yaitu dari supplier ke bank dan dari bank ke nasabah.26 25 Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Akad penghimpunan dan Penyaluran dana Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, PBI. No. 9/19/PBI/2007. dan Bank Indonesia , Surat Edaran tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa bank Syariah, Surat Edaran No. 10/14/DPbS, Jakarta, 17 Maret 2008, pada point III.3 26 Ah Azharuddin Latif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di Indonesia (jurnal). Hal : 12 – 16. 103 Mekanisme pembiayaan murabahah dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal kerja, pembangunan rumah dan lain-lain.
Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah:
a. Pengadaan Barang Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murabahah, seperti pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk pabrik dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas, ia dapat datang ke bank syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar bank membelikannya.
Setelah bank syariah meneliti keadaan nasabah dan menganggap bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan untuk pengadaan kulkas, bank kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada pemohon, yaitu nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak bank ingin mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-.
Jika pembayaran angsuran selama dua tahun, maka nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain memberikan keuntungan kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya administrasi yang jumlahnya belum ada ketentuannya.Dalam praktiknya biaya ini menjadi pendapatan fee base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh nasabah adalah biaya asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga.
b. Modal Kerja (Modal Kerja Barang) Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip jual beli murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu akad dengan pembelian barang berulang-ulang.
Sebenarnya, penyediaan modal kerja berupa uang tidak terlalu tepat menggunakan prinsip jual beli murabahah.Transaksi pembiayaan modal kerja dalam bentuk barang atau uang lebih tepat menggunakan prinsip mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah (penyertaan modal). Karena, jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang menggunakan mekanisme murabahah, maka transaksi ini sama denganconsumer finance (pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur bunga.
Transaksi dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan dalam murabahah menggunakan transaksi jual beli. c. Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah) Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli murabahah.Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang dibutuhkan untuk renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lain-lain.
Transaksi dalam pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan berulang-ulang. Adapun contoh perhitungan pembiayaan murabahah pada perbankan syariah adalah sebagai berikut: Tuan A, pengusaha toko buku, mengajukan permohonan pembiayaan murabahah (modal kerja) guna pembelian bahan baku kertas, seniali Rp. 100 juta.
Setelah dievaluasi bank syariah, usahanya layak dan permohonannya disetujui, maka 104 bank syariah akan mengangkat Tuan A sebagai wakil bank syariah untuk membeli dengan dana dan atas namanya kemudian menjual barang tersebut kembali kepada Tuan A sejumlah Rp 120 juta, dengan jangka waktu 3 bulan dan dibayar lunas pada saat jatuh tempo. Asumsi penetapan harga jual Rp. 120 juta telah dilakukan:
a. Tawar menawar harga jual antara Tuan A dengan bank syariah.
b. Harga jual yang disetujui, tidak akan berubah selama jangka waktu pembiayaan (dalam hal ini 3 bulan) walaupun dalam masa tersebut terjadi devaluasi, inflasi, maupun perubahan tingkat suku bunga bank konvensional di pasar.27 2. Aplikasi Murabahah pada Selain Perbankan Syariah Dari segi hukumnya bertransaksi dengan menggunakan sistem murabahah adalah suatu hal yang dibenarkan dalam Islam.
Keabsahannya juga bergantung pada syarat-syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Adapun rukun jual beli murabahah yang disepakati oleh jumhur ulama adalah:28
a. Penjual (ba‟i), yaitu pihak yang memiliki barang untuk dijual atau pihak yang ingin menjual barangnya. Dalam transaksi pembiayaan murabahah di perbankan syariah merupakan pihak penjual.
b. Pembeli (musytari) yaitu pihak yang membutuhkan dan ingin membeli barang dari penjual, dalam pembiayaan murabahah nasabah merupakan pihak pembeli.
c. Barang/objek (mabi‟) yaitu barang yang diperjual belikan. Barang tersebut harus sudah dimiliki oleh penjual sebelum dijual kepada pembeli, atau penjual menyanggupi untuk mengadakan barang yang diinginkan pembeli.
d. Harga (tsaman). Harga yang disepakati harus jelas jumlahnya dan jika dibayar secara hutang maka harus jelas waktu pembayaranya.
e. Ijab qabul (sighat) sebagai indikator saling ridha antara kedua pihak (penjual dan pembeli) untuk melakukan transaksi.
Sedangkan syarat untuk jual beli bai‟ al- murabahah menurut Syafi‟i Antonio adalah sebagai berikut:
a. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.
b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c. Kontrak harus bebas dari riba
d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembeli, misalnya jika pembeli dilakukan secara utang. Menilik rukun dan syarat seperti telah disebutkan sebelumnya, sebenarnya setiap hari terjadi transaksi jual beli di kalangan masyarakat, namun tidak bisa dikatakan sebagai akad murabahah karena meskipun secara rukun sudah ada penjual, pembeli barang/objek, harga, dan ijab qabul, pada umumnya penjual tidak 27Ibid, Hal : 16-18 28 http://caknenang.blogspot.co.id/2010/12/rukun-dan-syarat-aqad-murabahah-dan.html 31 Januari 2017. 105 memberitahu berapa biaya modalnya kepada pembeli. Bahkan kalua bisa pembeli jangan sampai tahu berapa biaya modal tersebut. Tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali praktik jual beli dengan akad murabahah dalam masyarakat secara perorangan. Misalnya ada orang yang mengerti tentang hukum mengenai syariah islam dalam jual beli, sedangkan orang tersebut memiliki kelebihan dana yang bisa untuk diinvestasikan.
Di lain pihak ada orang yang memiliki toko, dan memerlukan tambahan modal. Maka pemilik dan tersebut bersedia membelikan barang dagangan yang diperlukan apabila diberi keuntungan yang besarnya disepakati kedua belah pihak.Pembayaran oleh pemilik toko kepada pemilik dana bisa dilakukan secara angsuran, karena kalau secara tunai akan memberatkan pemilik toko.
KESIMPULAN Akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah merupakan akad bermuamalah yang diperbolehkan dalam islam. Mudharabah dan musyarakah menggunakan prinsip bagi hasil, sedangkan murabahah menggunakan prinsip jual beli.Pada umumnya akad-akad tersebut diterapkan pada perbankan syariah. Akad mudharabah diterapkan pada penghimpunan dana maupun pembiayaan. Pada penghimpunan dana misalnya ada tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Sedangkan pembiayaan mudharabah sudah umum dilakukan antara perbankan syariah dengan para nasabahnya. Akad musyarakah tidak ada penerapan dalam penghimpunan dana, yang ada hanya pembiayaan musyarakah antara perbankan syariah dengan para nasabahnya. Demikian juga dengan akad murabahah, tidak digunakan dalam penghimpunan dana melainkan hanya untuk pembiayaan. Namun praktik mudharabah, musyarakah, dan murabahah tidaklah menjadi monopoli perbankan syariah. Akad-akad tersebut dapat juga digunakan atau diaplikasikan oleh perorangan. Akad mudharabah dan musyarakah bisa diterapkan dalam bidang perdagangan, pertanian, peternakan, penangkapan ikan, bahkan industri kecil.Akad murabahah dapat diterapkan pada pembelian barang dagangan ataupun barang konsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004).
Ah Azharuddin Latif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di Indonesia (jurnal).
Edwin Nasution (et.al.), Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), cet. II.
Masyhuri (Ed), Teori Ekonomi dalam Islam, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005). Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari teori ke praktek,(Depok, Gema Insani bekerja sama dengan Tazkia Cendekia: 2011) cet ke-17.
Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2005). Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah III. Siti Najma, Bisnis Syariah dari Nol, (Jakarta:Hikmah, 2007). 106 Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat: 2011). Wahbah Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu. Yusak Lasmana, Account Officer Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia, 2009).
Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, (Jakarta; CV. Gaung Persada, 2006), Cet. 3. al-Ijma‟ hal. 125, dinukil dari Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil „Aziz, karya „Abdul „Azhim bin Badawi al-Khalafi, hal.359 Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, mughni wa Syarh Kabir (Beirut: Darul-Fikr, 1979) vol. V, hlm91 Harisman, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syari‟ah, (Jakarta : Direktorat Perbankan Syari‟ah, 2006).
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Akad penghimpunan dan Penyaluran dana Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, PBI. No. 9/19/PBI/2007. dan Bank Indonesia , Surat Edaran tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa bank Syariah, Surat Edaran No. 10/14/DPbS, Jakarta, 17 Maret 2008, pada point III.3 http://amanata-shofa.blogspot.co.id/2012/05/praktik-riil-mudharabah-musyarakahyang.html PRAKTIK RIIL MUDHARABAH & MUSYARAKAH YANG DIJALANKAN OLEH PERBANKAN 24 Januari 2017 http://caknenang.blogspot.co.id/2010/12/rukun-dan-syarat-aqad-murabahah-dan. html31 Januari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar