Imam Ali Mengakui Kepemimpinannya : Hujjah Hadis Ghadir Khum
Hadis Ghadir Khum yang menunjukkan kepemimpinan Imam Ali adalah salah
satu hadis shahih yang sering dijadikan hujjah oleh kaum Syiah dan
ditolak oleh kaum Sunni. Kebanyakan mereka yang mengingkari hadis ini
membuat takwilan-takwilan agar bisa disesuaikan dengan keyakinan
mahzabnya. Padahal Imam Ali sendiri mengakui kalau hadis ini adalah
hujjah bagi kepemimpinan Beliau. Hal ini terbukti dalam riwayat-riwayat
yang shahih dimana Imam
Ali ketika menjadi khalifah mengumpulkan orang-orang di tanah lapang
dan berbicara meminta kesaksian soal hadis Ghadir Khum.
عن سعيد بن وهب وعن زيد بن يثيع قالا نشد
على الناس في الرحبة من سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير
خم الا قام قال فقام من قبل سعيد ستة ومن قبل زيد ستة فشهدوا انهم سمعوا
رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لعلي رضي الله عنه يوم غدير خم أليس
الله أولى بالمؤمنين قالوا بلى قال اللهم من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم
وال من والاه وعاد من عاداه
Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin
Yutsai’ keduanya berkata “Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di
tanah lapang “Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada
hari Ghadir Khum maka berdirilah?. Enam orang dari arah Sa’id pun
berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka
bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda kepada Ali di Ghadir Khum “Bukankah Allah lebih berhak terhadap
kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda “Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. [Musnad Ahmad 1/118 no 950 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir]
Sebagian orang membuat takwilan batil bahwa kata mawla dalam hadis Ghadir Khum bukan menunjukkan kepemimpinan tetapi menunjukkan persahabatan atau yang dicintai, takwilan ini hanyalah dibuat-buat. Jika memang menunjukkan persahabatan atau yang dicintai maka mengapa ada sahabat Nabi yang merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mendengar kata-kata Imam Ali di atas.
Adanya keraguan di hati seorang sahabat Nabi menyiratkan bahwa Imam Ali
mengakui hadis ini sebagai hujjah kepemimpinan. Maka dari itu sahabat
tersebut merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya karena hujjah
hadis tersebut memberatkan kepemimpinan ketiga khalifah sebelumnya.
Sungguh tidak mungkin ada keraguan di hati sahabat Nabi kalau hadis
tersebut menunjukkan persahabatan atau yang dicintai.
عن أبي الطفيل قال جمع علي رضي الله تعالى
عنه الناس في الرحبة ثم قال لهم أنشد الله كل امرئ مسلم سمع رسول الله صلى
الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم ما سمع لما قام فقام ثلاثون من الناس
وقال أبو نعيم فقام ناس كثير فشهدوا حين أخذه بيده فقال للناس أتعلمون انى
أولى بالمؤمنين من أنفسهم قالوا نعم يا رسول الله قال من كنت مولاه فهذا
مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه قال فخرجت وكأن في نفسي شيئا فلقيت
زيد بن أرقم فقلت له انى سمعت عليا رضي الله تعالى عنه يقول كذا وكذا قال
فما تنكر قد سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك له
Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang
dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang
mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah
didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari
mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi
kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan
bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih
berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat
menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya
dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya.
Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam
hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya
“sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata
“Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti
itu tentangnya”.[Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang
shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib
Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini]
Kata mawla dalam hadis ini sama halnya dengan kata waliy yang berarti pemimpin,
kata waly biasa dipakai oleh sahabat untuk menunjukkan kepemimpinan
seperti yang dikatakan Abu Bakar dalam khutbahnya. Inilah salah satu
hadis Ghadir Khum dengan lafaz Waly.
عن سعيد بن وهب قال قال علي في الرحبة أنشد
بالله من سمع رسول الله يوم غدير خم يقول إن الله ورسوله ولي المؤمنين ومن
كنت وليه فهذا وليه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وأنصر من نصره
Dari Sa’id bin Wahb yang berkata
“Ali berkata di tanah lapang aku meminta dengan nama Allah siapa yang
mendengar Rasulullah SAW pada hari Ghadir Khum berkata “Allah dan
RasulNya adalah pemimpin bagi kaum mukminin dan siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ini (Ali) menjadi pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya dan jayakanlah orang yang menjayakannya. [Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 93 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].
Dan perhatikan khutbah Abu Bakar ketika
ia selesai dibaiat, ia menggunakan kata Waly untuk menunjukkan
kepemimpinannya. Inilah khutbah Abu Bakar
قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم
ولست بخيركم فان أحسنت فأعينوني وإن أسأت فقوموني الصدق أمانة والكذب
خيانة والضعيف فيكم قوي عندي حتى أرجع عليه حقه إن شاء الله والقوي فيكم
ضعيف حتى آخذ الحق منه إن شاء الله لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا
خذلهم الله بالذل ولا تشيع الفاحشة في قوم إلا عمهم الله بالبلاء أطيعوني
ما أطعت الله ورسوله فاذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم قوموا الى
صلاتكم يرحمكم الله
Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan
bukanlah aku yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan
bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran
adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara
kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika
Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah
hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika
Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan
Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di
suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah
aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak
mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku.
Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati
kalian. [Sirah Ibnu Hisyam 4/413-414 tahqiq Hammam Sa’id dan
Muhammad Abu Suailik, dinukil Ibnu Katsir dalam Al Bidayah 5/269 dan
6/333 dimana beliau menshahihkannya].
Terakhir kami akan menanggapi syubhat paling lemah soal hadis Ghadir Khum yaitu takwilan
kalau hadis ini diucapkan untuk meredakan orang-orang yang merendahkan
atau tidak suka kepada Imam Ali perihal pembagian rampasan di Yaman. Silakan perhatikan hadis Ghadir Khum yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada banyak orang, tidak ada di sana disebutkan perihal orang-orang yang merendahkan atau mencaci Imam Ali.
Kalau memang hadis ghadir khum diucapkan Rasulullah SAW untuk menepis
cacian orang-orang terhadap Imam Ali maka Rasulullah SAW pasti akan
menjelaskan duduk perkara rampasan di Yaman itu, atau menunjukkan
kecaman Beliau kepada mereka yang mencaci Ali. Tetapi kenyataannya dalam
lafaz hadis Ghadir Khum tidak ada yang seperti itu, yang ada malah Rasulullah
meninggalkan wasiat bahwa seolah Beliau SAW akan dipanggil ke
rahmatullah, wasiat tersebut berkaitan dengan kepemimpinan Imam Ali dan
berpegang teguh pada Al Qur’an dan ithrati Ahlul Bait. Sungguh betapa jauhnya lafaz hadis tersebut dari syubhat para pengingkar.
Hadis yang dijadikan hujjah oleh penyebar
syubhat ini adalah hadis Buraidah ketika ia menceritakan soal para
sahabat yang merendahkan Imam Ali. Hadis tersebut bukan diucapkan di
Ghadir Khum dan tentu saja Rasulullah SAW akan marah kepada sahabat yang
menjelekkan Imam Ali karena Imam Ali adalah pemimpin setiap mukmin (semua sahabat Nabi) sepeninggal Nabi SAW . Disini
Rasulullah SAW mengingatkan Buraidah dan sahabat lain yang ikut di
Yaman agar berhenti dari sikap mereka karena Imam Ali adalah pemimpin
bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW.
عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال بعث
رسول الله صلى الله عليه و سلم بعثين إلى اليمن على أحدهما علي بن أبي
طالب وعلى الآخر خالد بن الوليد فقال إذا التقيتم فعلي على الناس وان
افترقتما فكل واحد منكما على جنده قال فلقينا بنى زيد من أهل اليمن
فاقتتلنا فظهر المسلمون على المشركين فقتلنا المقاتلة وسبينا الذرية فاصطفى
علي امرأة من السبي لنفسه قال بريدة فكتب معي خالد بن الوليد إلى رسول
الله صلى الله عليه و سلم يخبره بذلك فلما أتيت النبي صلى الله عليه و سلم
دفعت الكتاب فقرئ عليه فرأيت الغضب في وجه رسول الله صلى الله عليه و سلم
فقلت يا رسول الله هذا مكان العائذ بعثتني مع رجل وأمرتني ان أطيعه ففعلت
ما أرسلت به فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تقع في علي فإنه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي وانه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي
Dari Abdullah bin Buraidah dari
ayahnya Buraidah yang berkata “Rasulullah SAW mengirim dua utusan ke
Yaman, salah satunya dipimpin Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya
dipimpin Khalid bin Walid. Beliau SAW bersabda “bila kalian bertemu maka
yang jadi pemimpin adalah Ali dan bila kalian berpisah maka
masing-masing dari kalian memimpin pasukannya. Buraidah berkata “kami
bertemu dengan bani Zaid dari penduduk Yaman kami berperang dan kaum
muslimin menang dari kaum musyrikin. Kami membunuh banyak orang dan
menawan banyak orang kemudian Ali memilih seorang wanita diantara para
tawanan untuk dirinya. Buraidah berkata “Khalid bin Walid mengirim surat
kepada Rasulullah SAW memberitahukan hal itu. Ketika aku datang kepada
Rasulullah SAW, aku serahkan surat itu, surat itu dibacakan lalu aku
melihat wajah Rasulullah SAW yang marah kemudian aku berkata “Wahai
Rasulullah SAW, aku meminta perlindungan kepadamu sebab Engkau sendiri
yang mengutusku bersama seorang laki-laki dan memerintahkan untuk
mentaatinya dan aku hanya melaksanakan tugasku karena diutus. Rasulullah
SAW bersabda “Jangan membenci Ali, karena ia
bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian
sepeninggalKu, ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah
pemimpin kalian sepeninggalKu. [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain hadis no 22908 dan dinyatakan shahih].
Syaikh Al Albani berkata dalam Zhilal Al Jannah Fi Takhrij As Sunnah no 1187 menyatakan bahwa sanad hadis ini jayyid, ia berkata
أخرجه أحمد من طريق أجلح الكندي عن عبد الله
بن بريدة عن أبيه بريدة وإسناده جيد رجاله ثقات رجال الشيخين غير أجلح وهو
ابن عبد الله بن جحيفة الكندي وهو شيعي صدوق
Dikeluarkan Ahmad dengan jalan Ajlah
Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah dengan sanad
yang jayyid (baik) para perawinya terpercaya, perawi Bukhari dan Muslim
kecuali Ajlah dan dia adalah Ibnu Abdullah bin Hujayyah Al Kindi dan dia
seorang syiah yang (shaduq) jujur.
Justru hadis Buraidah di atas menjadi
penguat bahwa Imam Ali adalah pemimpin bagi setiap mukmin (semua sahabat
Nabi) sepeninggal Nabi SAW dan sungguh tidak berguna syubhat dari para
pengingkar.
Salam Damai
“Jelas di sini bahwa Imam Ali telah menjadi Khalifah saat mengingatkan mengenai hadits ghadir khum tersebut, pertanyaannya mengapa Imam Ali mengingatkan hal ini baru setelah beliau menjadi khalifah? setelah hampir 25 th setelah Rasulullah wafat? mengapa beliau tidak gunakan hal tersebut saat Abu Bakar baru dibai’at, atau saat Abu Bakar akan meninggal, atau saat Umar baru dilantik atau saat pemilihan kepemimpinan setelah Umar, yg saya yakin beliau mempunyai byk kesempatan saat itu bahkan beliau menjadi panitia formatur pemilihan khalifah setelah Umar?”
Jawabannya gampang : karena Abu Bakar cs tidak pikun alias masih ingat wasiat Nabi di Ghadir Khum. Jarak antara peristiwa Ghadir Khum sangat dekat dg wafatnya nabi/peristiwa Saqifah.
@bob:
“Jadi maksudnya org yg menolak hadits ghaidir ghum itu nggak sehat akalnya @ rizal”
Benar. Buktinya imem masih mati2-an menghubung2kan hadis Buraidah dg hadis Ghadir Khum yg memang sama sekali tdk ada hubungannya.
@imem:
“So intinya ya sama ajah,.. hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah untuk mazhab Syiah tulen .. wuakakakak ..”
Kalau memang Abu Bakar yg sdh ditunjuk nabi sblm wafatnya, tolong jelaskan kenapa Nabi tdk memanfaatkan KESEMPATAN TERAKHIRNYA di Ghadir Khum untuk mengumumkan untuk terakhir kalinya kpd umat bhw pengganti beliau adalah Abu Bakar ketimbang meminta org2 untuk mencintai Ali atau mengangkatnya sbg pelindung ? Apa masalah ekspedisi Ali ke Yaman lebih penting ketimbang pengumuman suksesi kepemimpinan di saat-saat akhir Nabi ?
Anda menolak hadits tsb saya tidak heran sekali lagi saya tidak heran. Karena anda berada dijaman 1400 thn kemudian. Mereka yang hidup bersama dikala Rasul masih hidupun tak mentaati Rasul. Apalagi sesudah Rasul meninggal. Itu mereka2 yang hidup bersama Rasul apalagi anda yang hidup jaman sekarang.
Padahal banyak Firman2 Allah yang memerintahkan kepada kita untuk TAAT pada Allah dan Rasul.
Dan sabda Rasul yang yang disampaikan di Khadir Ghum itu adalah WAHYU pada Rasul berubah perintah.
Disebut apa mereka yang tidak mentaati perintah Allah dan Rasul ya.
Yah, hanya pemimpin rombongan ke yaman.
hampir sama dg:
1.Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Abu Said dan Abu Hurairah Marfu’ (yang tetap sanadnya sampai kepada Rasul): “Jika keluar tiga orang dalam sebuah perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat pemimpin salah satunya. Dan bentuk permintaan dalam hadits adalah perintah sebab menggunakan ungkapan Fi’il Mudhari (kata kerja sekarang dan akan datang) dengan disertai Lamul Amr (Huruf Lam yang mengandung arti perintah) maka ia mengandung makna kewajiban.
2.Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya dari hadits Abdullah bin Amr sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Tidaklah dibenarkan bagi tiga orang yang berada pada sebuah padang di bumi kecuali mereka mengangkat pemimpin salah seorang di antara mereka”.
Dua hadits telah jelas menetapkan kewajiban mengangkat pemimpin pada sebuah kelompok dan golongan yang kecil dalam sebuah perjalanan yang mereka lakukan.
Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin, HANYA dalam perjalanan.
LUCU YA…ngomongnya.
K’lo menurut penakwilan anda berarti rumusannya jd begini : Ali kw menjadi pemimpin dlm perjalanan ke Yaman = Nabi SAW menjadi pemimpin perjalanan.
Kesimpulannya anda telah menganggap derajat Nabi SAW = derajat Ali kw, yakni hanya memimpin umat Islam dlm perjalanan ke luar kota.
LUCU yah ngomongnya…?
hadits yg anda bawa itu arabnya spt ini:
من كنت مولاه فعلى مولاه .
“ Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”.
Adapun yang dimaksud dari hadits : “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”, maka dalam kitab-kitab sejarah yang ditulis oleh ulama-ulama Ahlussunnah diterangkan sebagai berikut :
Pada tahun 10 H, Rasulullah beserta para sahabat berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji dan haji tersebut kemudian dikenal dengan haji Wada’.
Bertepatan dengan itu, rombongan Muslimin yang dikirim oleh Rasulullah ke Yaman sudah meninggalkan Yaman, mereka menuju Mekkah, untuk bergabung dengan Rasulullah. Rombongan tersebut dipimpin oleh Imam Ali bin Abi Thalib.
Begitu rombongan sudah mendekati tempat dimana Rasulullah berada, maka Imam Ali segera meninggalkan rombongannya guna bertemu dan melapor kepada Rasulullah SAW, dan sebagai wakilnya adalah sahabat Buraidah.
Sepeninggal Imam Ali, Buraidah membagi-bagikan pakaian hasil rampasan yang masih tersimpan dalam tempatnya, dengan maksud agar rombongan jika masuk kota (bertemu dengan yang lain) kelihatan rapi dan baik.
Namun begitu Imam Ali kembali menghampiri rombongannya beliau terkejut dan marah, serta memerintahkan agar pakaian-pakaian tersebut dilepaskan dan dikembalikan ke tempatnya. Hal mana karena Imam Ali berpendapat, bahwa yang berhak membagi adalah Rasulullah SAW.
Tindakan Imam Ali tersebut membuat anak buahnya kecewa dan terjadilah perselisihan pendapat.
Selanjutnya begitu rombongan sudah sampai ditempat Rasulullah, Buraidah segera menghadap Rasulullah dan menceritakan mengenai kejadian yang dialaminya bersama rombongan dari tindakan Imam Ali. Bahkan dari kesalnya, saat itu Buraidah sampai menjelek-jelekkan Imam Ali di depan Rasulullah SAW.
Mendengar laporan tersebut, Rasulullah agak berubah wajahnya, karena beliau tahu bahwa tindakan Imam Ali tersebut benar.
Kemudian Rasulullah bersabda kepada Buraidah sebagai berikut :
يا بريدة ألست أولى بالمؤمنين من أنفسهم.
“ Hai Buraidah, apakah saya tidak lebih utama untuk diikuti dan dicintai oleh Mukminin daripada diri mereka sendiri”.
Maka Buraidah menjawab :
بلى يارسول الله
“ Benar Yaa Rasulullah”.
Kemudian Rasulullah bersabda :
من كنت مولاه فعلى مولاه رواه الترمذى والحاكم
“ Barangsiapa menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka terimalah Ali sebagai pemimpin”.
Yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah, apabila Muslimin menganggap Rasulullah sebagai pemimpin mereka, maka Imam Ali harus diterima sebagai pemimpin, sebab yang mengangkat Imam Ali sebagai pemimpin rombongan ke Yaman itu Rasulullah SAW. Karena itu dia harus dicintai dan dibantu serta dipatuhi semua perintahnya.
Demikian maksud dari hadits : “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”. Sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah (baca kitab Al Bidayatul Hidayah oleh Ibnu Katsir).
Selanjutnya, oleh karena perselisihan tersebut, tidak hanya terjadi antara Imam Ali dengan Buraidah saja, tapi dengan seluruh rombonganya, dimana orang-orang tersebut menjelek-jelekkan Imam Ali dengan kata-kata tidak baik, yang berakibat dapat menjatuhkan nama baik Imam Ali, bahkan perselisihan tersebut didengar oleh orang-orang yang tidak ikut dalam rombongan ke Yaman itu, maka setelah Rasulullah selesai melaksanakan ibadah haji, disaat Rasulullah dan Muslimin sampai di satu tempat yang bernama Ghodir Khum, Rasulullah berkhotbah, dimana diantaranya beliau mengulangi lagi kata-kata yang telah disampaikan kepada Buraidah tersebut, yaitu “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”
Itulah sebabnya hadits tersebut dikenal sebagai hadits Ghodir Khum. Karena waktu disampaikan di Ghodir Khum itu, disaksikan oleh ribuan sahabat.
Jadi sekali lagi, bahwa hadits : “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”. Itu tidak ada hubungannya dengan penunjukan Imam Ali sebagai Khalifah sesudah Rasulullah wafat. Tapi sebagai pemimpin rombongan ke Yaman yang harus dicintai dan ditaati semua perintahnya.
Sebenarnya apabila hadits tersebut akan diartikan sebagaimana orang-orang Syiah mengartikan hadits tersebut, yaitu dianggap sebagai pengangkatan Imam Ali sebagai Khalifah, maka faham yang demikian itu akan membawa konsekuensi dan resiko yang sangat besar. Sebab sangsi bagi orang-orang yang menolak atau meninggalkan nash Rasulullah, apalagi menghianati Rasulullah adalah kafir.
Dengan demikian, Sayyidina Abu Bakar akan dihukum kafir karena melanggar dan meninggalkan nash Rasulullah, demikian pula para sahabat yang membai’at Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar dan Khalifah Ustman mereka juga akan dihukum kafir, sebab tidak melaksanakan dan melanggar nash Rasulullah. Bahkan Imam Ali sendiri akan terkena sangsi kufur tersebut, sebab dia melanggar dan menolak bahkan menghianati nash Rasulullah tersebut.
Itulah resiko dan konsekuensi bila hadits “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”, diartikan sebagai penunjukan Imam Ali sebagai Khalifah pengganti Rasulullah SAW.
Semoga kita diselamatkan oleh Allah dari aqidah Syiah yang sesat dan menyesatkan. Amin.
@nomaden
COPAS di atas juga buat anda…..
Konsekuensi dan resiko hadis tsb menurut penafisran Wahabi adl derajat Nabi SAW = derajat Ali kw yakni hanya pemimpin perjalanan ke luar kota. Kira 2x apa yah sangsi bg muslim yg merendahkan derajat nabi SAW?
Sedikitpun tidak heran kalau ketemu orang super nekad yg melecehkan perkataan Rasul saw hanya karena tidak sesuai dengan pendapat ulamanya,…
@@@kepada Kembali Kepada Aqidah yang benar ”
kalimat a.. “”””Itu tidak ada hubungannya dengan penunjukan Imam Ali sebagai Khalifah sesudah Rasulullah wafat. Tapi sebagai pemimpin rombongan ke Yaman yang harus dicintai dan ditaati semua perintahnya.”””
itu memang hadits dari nabi atau asumsi ulama ahli sunnah saja… ?
b….. juga akan dihukum kafir, sebab tidak melaksanakan dan melanggar nash Rasulullah. Bahkan Imam Ali sendiri akan terkena sangsi kufur tersebut, sebab dia melanggar dan menolak bahkan menghianati nash Rasulullah tersebut…..
itu memang begitu ya… menurut ulama ahli sunnah … ?
apakah begitu aqidah yang benarnya….
Kepada yang punya blog maaf ikut-ikutan jua, terimakasih..
Hadits point 1 & 2 kami tidak bantah. Tapi anda harus pakai akal anda dalam menganalisa/membaca sabda Rasul. Hadits tsb adalah sabda Rasul mengenai urusan dunia mereka. Tapi terhadap urusan Agama Allah, pemimpinnya Allah yang menentukan, bukan manusia yang penuh dengan kesalahan, dengki, hasut, munafik dlsb.Maka untuk kepimpinan para Mukmin/ Kerajaan Allah ada orang2 yang Allah telah persiapkan dengan bimbingan Rasulullah untuk memimpin Umat ini pasca Rasulullah SAW.. Bukan manusia2 yang serakah DUNIA yang akan memilih Pemimpin para Mukmin/Islam. Dan untuk itu Allah telah berfirman. Taati Allah dan Rasul dan Ulil Amri. Wasalam
Sudah sedemikian rendahkah Dienul Islam?? Sudah merosotkah kwalitas sifat-sifat dan nama-nama Allah ?? yg Allah di Zaman ini “lebih rendah” dari Allah di masa Rosul??
Campakkan kertas kuning PAHAMI Allah dan Islam selalu SAMA disetiap Zaman !!
anda berkata:
syiah berargumen
tetapi telah jelas siapa yg berDUSTA atas nama Ali ra dan rasul.
Adalah berasal dari abu hurairah yang menatas namakan Rasulullah SAW. Ada juga hadits dalam Sahih Bukhari yang disampaikan abu Hurairah dan mengatas namakan Rasulullah. Bersabda abu Hurairah: Aku mendengar Rasulullah berkata, pada waktu Allah mengutus Malikkilmaut untuk mencabut nyawa Nabi Musa. Nabi Musa menampar matanya kemudian mencongkel mata Malikilmaut. Sungguh hebat Nabi Musa menentang Allah. Hadits ini mungkin utk sdr kembali ke….. diangkap BENAR. Dan siapa yang tidak percaya oleh sdr kembali ke.. diakatakan PENDUSTA. Kalu saya lebih baik dikatakan pendusta dari pada menghina Rasulullah SAW.
“Dengan demikian, Sayyidina Abu Bakar akan dihukum kafir karena melanggar dan meninggalkan nash Rasulullah, demikian pula para sahabat yang membai’at Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar dan Khalifah Ustman mereka juga akan dihukum kafir, sebab tidak melaksanakan dan melanggar nash Rasulullah.”
langsung : ketika situasi Nabi memerintahkan Ali sebagai pemimpin rombongan menuju suatu tempat (suatu hal biasa ketika itu banyak dikirim rombongan dakwah dan itu MUSTI ada amir rombongan, tentunya)
tidak langsung : ketika suatu saat Ali menjadi khalifah (dan itu entah kapan, bisa setelah nabi wafat, atau setelahnya, setelahnya dan setelahnya karena Allah yang menskenariokannya, dan ternyata sejarah mencatat Ali sebagai khalifah keempat)
“sudahlah ribut-2 siapa yang jadi khalifah/imam..seperti ngomongin pepesan kosong atau menggantang asap..semua sudah terjadi, sudah terjadi!”
“kenapa sih jadi ribut melulu?? kalian kayak anak kecil aja..”
Ada website: syiahindonesia.com, tapi isinya mendeskriditkan syiah. Kok cara2nya mirip dengan org kafir yang bikin website tentang Islam, tapi isinya justru mendeskriditkan Islam.
Saking takut ketahuan siapa yang berada di belakang layar, lalu merekapun pake fasilitas Privacyprotect.org supaya ga keliatan siapa pemilik website tsb.
Btw, kajian tentang ahlul bait as yang dibukukan sangat jarang nih. Mohon pencerahannya.
hadits yg saya bawa itu ada di sini:
(Shahih al-Bukhari, kitab al-Jizyah wal muwada’ah bab zimmah al-muslimin 6/273 dari Fathul Bari, Shahih Muslim Hadits no. 1370, Abu Dawud dalam al-Manasik 2/216, Musnad Ahmad 2/44)
Jadi sejak kapan KO PING HO jadi ahli hadits? hehe…
lagian ngapain anda bawa hadits yg ga nyambung?
udah ketahuan DUSTAnya yee? dasar rafidah.
argumen terpatahkan oleh dUSTA2,maksudnya?
iiih ga ngerti ya?
maksudnya kalau syiah menganggap pengangkatan Imam Ali sebagai Khalifah sebagai nash Rasul, maka
konsekuensinya SANGAT BESAR…………………….dst
Sebab sangsi bagi orang-orang yang menolak atau meninggalkan nash Rasulullah, apalagi menghianati Rasulullah adalah kafir.
Termasuk para sahabat yg mengadakan pertemuan di Saqifah untuk menunjuk abu bakar ra sebagai khalifah.
pertanyaanya:
Apakah saya berkata bahwa pengangkatan abu bakar ra, ummar ra dll sebagai khalifah SEBAGAI nash Rasul?
ini ada tambahan referensi buat anda :
http://alfanarku.wordpress.com/2009/10/12/analisa-hadits-ghadir-khum-bagian-1/
Karena saya lihat MANHAJ SALAF di bangun di atas AQIDAH YANG TERAMAT RAPUH
he..he..he..
Bahwa Imam Ali telah diangkat dan ditunjuk atas perintah Allah dan Rasul-Nya di Ghadir Khum sebagai Pemimpin umat Islam pada saat Rasulullah saw masih hidup dan setelah Beliau wafat. Maka dari itu, suatu kewajiban bagi Imam Ali untuk menyampaikannya kepada umat Islam dgn mengakui sebagai kepemimpinannya, karena itu adalah perintah Allah dan Rasul-Nya.
Wassalam…
Sy hanya ingin mengatakan bahwa ada masalah di cara berpikir anda. Semoga tdk di hati anda.
Pernyataan yg bagaimana sebenarnya yg ingin anda dengar dari Rasul saw bahwa Imam Ali adalah pemimpin pengganti Rasul saw? Sehingga isyarat kekhalifahan/kepemimpinan Imam Ali as di riwayat perang Tabuk & sekarang di Ghadir Khum serta isyarat-isyarat lainnya mengenai keutamaan Imam Ali as belum membukakan mata anda?
Apakah tdk terfikir oleh anda mengapa Rasul saw menggunakan kalimat2 isyarat kepememimpinan/ kekhalifahan atas diri Imam Ali as? Mengapa Rasul saw membandingkan kepemimpinan Imam Ali as dgn diri Beliau? Mengapa Rasul saw tdk menggunakan kalimat2 yg biasa saja tanpa isyarat apa-apa?
Adakah Rasul saw kemudian mentakwilkan yg seperti anda takwilkan? Adakah kemudian Rasul saw membatasi penetapan kepemimpinan Ali as? Jika tidak, maka zahir hadits itu sdh “muhkamat”. Berhati-hatilah. Jangan2 dengki & hasut yg berbicara.
Selanjutnya apa yg anda bayangkan mengenai konsekuensi thd Abubakar, Umar, Utsman dan Ali as jika Imam Ali as benar sebagai pengganti kepemimpinan Rasul saw, sy tdk berani berkomentar lebih jauh, yg jelas hal tsb tdk terkena pada Imam Ali as, karena alasan yg mendasari tdk dijalankannya amanat Rasul saw tsb berbeda antara Imam Ali as dengan Abubakar & Umar.
Wallahua’lam
Salam
“iiih ga ngerti ya?
maksudnya kalau syiah menganggap pengangkatan Imam Ali sebagai Khalifah sebagai nash Rasul, maka
konsekuensinya SANGAT BESAR…………………….dst”
Lantas menurut anda peristiwa di Ghadir Khum itu bukan nash Rasul begitu ?
Dapat dalil dari mana pula anda?..hmmm.. Sedikit kesalahn bagi anda semua masuk kategori kafir kali yaa?.
Bagaimana hukumnya mereka yang tidak shalat, atau tidak puasa? Bukankah mereka melanggar nash Allah dan Rasul?
Apakah mereka kafir?…ccck..cckkk Pantas saja jika banyak orang dengan mudah mengkafirkan orang lain.
Saran saya lebih berhati2lah. Kehidupan itu tidak hanya hitam putih. Setiap hal ada derajatnya.
Wassalam
Ammar mennasihati khalifah Abu Bakr:
“Hai Abu Bakr, jgnlah enggkau mengambil hak yg sdh diberikan kpd org selain engkau, jgnlah engkau menjadi org yg pertama menentang Rasul SAW dan melawannya dlm urusan ahlulbaitnya. Kembalikannlah hak itu kpd ahlinya supaya ringan punggumu, supaya kamu berjumpa dgn Rasul dlm keadaan beliau ridokpdmu, kemudian kamu kmbl jod Allah yg maha pengasih dan ia akan menghisab amal kamu dan meminta pertanggung jawaban dr yg kamu kerjakankan”
Ammar mennasihati khalifah Utsman:
“K’lo kalian ingin atar org2x tsb tdk bertengkar satu sama lain maka bai’at;lah imam Ali.”
Miqdad menasihati khalifah Utsman:
“Benarlah Ammar, k’lo engkau membaiat Ali kami akan berkata sami’na wa atho’na.”
Ammar berkata kpd umat muslimin :
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah sdh memuliakan kita dgn mendatangkan nabinya dan sdh meninggikan kita dgn agamanya, bgm mungkin kalian mengalihkan urusan ini dr Ahli Bait nabi kalian?! Duhai yg akan menagisi kepergian Islam, menangislah skrg ini, krn kebenaran sdh mati dan kemungkaran mulai hidup.”
IMAM ALI MENASIHATI AMMAR :
“.DEMI ALLAH HAI ABU YA’DZON (PANGGILAN AMMAR), KITA INI TDK PUNYA BANYAK PENDUKUNG DAN AKU TDK INGIN MEMBEBANKAN KPD KALIAN APA YG KALIAN TDK MAMPU.”
Anda berkata:kembali ke aqidah yg benar, di/pada Oktober 12th, 2009 pada 4:32 pm Dikatakan:
@rafidah
lagian ngapain anda bawa hadits yg ga nyambung?
udah ketahuan DUSTAnya yee? dasar rafidah.
kembali ke aqidah yg benar, di/pada Oktober 12th, 2009 pada 4:34 pm Dikatakan
Maaf saya lupa bahwa ilmu dan AKAL anda belum mapu MENYAMBUNGKAN/menghubungkan satu data dengan data yang lain.
1. Anda membawakan hadits tanpa sanad dan dari mana anda kutip maka saya katakan Kho ping Ho
2. Hadite yang anda sampaikan periwayat adalah Abu Hurairah. Saya tidak mau katakan ia pembohong
Tapi saya tunjukan suatu hadits yang jelas2 menunjukan kebohongan mengataskan Nabi.
Kalau orang yang berakal akan tahu hubungan kata2 saya. Yakni bahwa Bukhari bisa memasukan ke Shahinya kata2 Abu Hueairah yang bohong. Jadi supaya jelas bagi anda bahwa hadits yang anda sampaikan adalah bukan dari Rasulullah.
Jika Nabi saw mengatakan: “barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya” dengan berbagai redaksi, tidakkah itu berarti bahwa sesaat kemudian jama’ah sudah memiliki 2 pemimpin dalam waktu yg bersamaan. Bukan wakil atau orang kepercayaan, misalnya jika Nabi saw berhalangan. Bukan pula pewaris, karena tidak disebutkan “setelah aku”.
Mohon komentarnya?
Silahkan pula menjenguk 1syahadat.wordpress.com
Anda mengatakan bahwa kepimpinan umat setelah Rasul bujan merupakan wasisan (seperti anda inginkatakan bahwa Imam Ali bukan PEWARIS) Karena tidak disebut “setelah aku”
Anda BENAR berdasarkan pemikiran anda. Karena umat ini bukan milik Rasul jadi tidak diwariskan. Tapi kalau anda maksudkan Imam Ali sebagai pelanjut tugas Rasul yaitu MENJELASKAN dan MENGABARKAN (utk fungsi mengabarkan adalah milik Rasul. Imam Ali bertugas menjelasakan dan mengawasi). Maka banyak nash2nya. Wasalam
Keengganan Rasullullah muhammad SAW, untuk menjadi saksi bagi abu bakar setelah perang Uhud, hingga abubakar menangis…..”aku (rasulullah) tidak tau apa yang engkau lakukan sepeninggalku”…..sudah mematahkan dalil2 yang mengatakan ali lebih layak menjadi khalifah dibanding kan abu bakar….(dalam pengangkatan khalifah I, ke II, dan III…ali tidak pernah diberi kesempatan sama sekali untuk dipilih dah terpilih) baru setelah Usman dibunuh ali diangkat oleh Muhajirin dan Ansar…Meski Muawiyah bin sufyan yang menjadi gubernur Syam(diangkat oleh abu bakar) tidak mau setia pada khalifahnya…….Perhatikan sejarah dan adillah dalam menilai…berpikir jernih…
maka akan engkau temukan kebenaran…insyallah
kalian pikir rasul itu manusia paling bodoh y???
1.jika memang rasul mw mengangkat Ali sebagai pengganti beliau,,tentu-a rasul akan mengumumkan-a di hadapan semua umat muslim.
2.semua orang arab pada zaman rasul adalah cinta akan kedudukan,harta dan persaudaraan,jadi wajar jika Ali menginginkan jabatan.
3.jika memang hadits Ghadir Khum itu shahih,,,knp tidak ada yg memprotes kepemimpinan Abu Bakar , Umar , dan Utsman?
4.pake akal kalian,,,Ali memang jadi pemimpin unat islam,apalagi yg dipermasalahkan.
5.Ali mendukung kepemimpinan Abu BAkar , Umar ,dan Utsman…..kenapa syiah malah sewot.
6.perbaiki dulu akhlak kalian (syiah) baru bicara tentang islam…..bagaimana mungkin segerombolan pecinta pelacuran(mut’ah) mengagung2kan Rasul.
bagaimana mungkin segerombolan manusia yg menambahkan kalimat syahadat mengucapkan AQ ISLAM.
Sebaiknya sampeyan kalau ngomong itu ya hati-hati, apalagi menyangkut pribadi Rasul saw.
Apakah sampeyan tdk menyadari dengan pernyataan sampeyan ini; “kalian pikir rasul itu manusia paling bodoh y???” Sampeyan menganggap Rasul saw termasuk manusia bodoh?
Sudah komennya ngawur2 tanpa fakta, menghina Rasul lagi. Uhh…!
Salam
Masa hadits yang MUTAWATIR tidak dianggap.
Malahan mengatak: 1.jika memang rasul mw mengangkat Ali sebagai pengganti beliau,,tentu-a rasul akan mengumumkan-a di hadapan semua umat muslim.
Ya terang dong, masa Imam Ali menjadi pengganti Nabi.
Sesufah Nabi Muhammad SAW sdh TIDAK ADA NABI LAGI
kudedikasikan artikel Mas @SP ini utk
mengenang 18 Dzulhijjah 14 abad yg lalu….
قال اللهم من كنت مولاه فعلي مولا
mankuntu maula fa ‘aliyun maula..
semoga dgn wilayah pada Amirul mukminin menjadikan keberkahan kita dunia akhirat
الراوي: علي المحدث: الهيثمي – المصدر: مجمع الزوائد – الصفحة أو الرقم: 5/200
خلاصة حكم المحدث: رجاله ثقات
الراوي: شقيق المحدث: الهيثمي – المصدر: مجمع الزوائد – الصفحة أو الرقم: 9/50
خلاصة حكم المحدث: رجاله رجال الصحيح غير إسماعيل بن أبي الحارث وهو ثقة
Dari komentar anda yang berbu “Sekiranya pendiri blog ini seorang sunni, maka sepatutnya dia memperhatikan sekian banyak riwayat sunni yang menunjukkan Rasulullah saw tidak menunjuki pengganti baginda sebaliknya menyerahkannya kepada orang-orang Islam. Beliau hanya memberikan indikasi kepada Abu Bakar tapi tidak memaksa muslim menerimanyanyi :”
Dapat dipastikan bahwa anda tidak mengerti APA ITU MENCARI KEBENARAN. Orang yang mencari kebenaran tidak melihat siapa yang menyampaikan tapi apa yang disampaikan.
Karena itu saya tdk akan membahas kebodohon lain. Wasalam
Man kuntu maula faaliyun maula….
.Dengan adanya hadits yang kemudian maka hadits Khaidir Ghum BATAL. Sungguh memalukan. Rupanya anda menganggap Allah dan Rasul PLIN PLAN ya. Pantas. Karena anda menganggap demikian maka hadits DHAIF bisa membatalkan Firman Allah dan Sabda Rasul
dialog dr imam ali n ibnu abbas dr riwayat yg anda bawakan,adalah menunjukan kelas seorang imam ali
coba anda bayang kan apa bila imam ali memenuhi apa yg diminta oleh ibnu abbas.
tentu ini jadi peluang utk nashibi merendahkan posisi imam ali.
dan imam ali tau jaman yg akan datang akan ada orang2 sprt nashibi
Aliy r.a tidak menggunakannya ketika sebagai jalan untuk melantiknya.
Inilah bukti hadith-hadith sahih
Maksudnya: ” maka datang kepada beliau para Sahabat Rasulillah s.a.w lalu mereka berkata: “Sesungguhnya lelaki ini (Amirul Mukminin Usman r.a) telah dibunuh sedangkan manusia memerlukan Imam (pemimpin) sedangkan kami tidak menemui seorang pun yang lebih berhak memegang urusan ini (khilafah) daripada kamu, orang yang terawal menyaksikan dan paling dekat dengan Rasulullah s.a.w…”
Hadis ini atau riwayat ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad r.h dalam kitab beliau: Fadail al-Sahabah no.969 dan al-Khallal dalam al-Sunnah, no. 620, 622, dan 623, Al-Ajurry dalam al-Syari’ah, no; 1215 dan ianya riwayat bermartabat Hasan atau Sahih.
“Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar)[ii] membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia pasti tahu bahwa kedudukan saya sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dari saya dan burung tak dapat terbang sampai kepada saya. Saya memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya.
Maaf saya tidak cukup paham tentang diskusi kalian. Bagi saya (dengan cara pandang saya), saya melihat bahwa tidak pertentangan atas hujjah2 kalian, hujjah2 kalian malah saling mendukung ketika saya menggunakan persepsi saya atas Imam Ali krw as.
Jika Ali tidak menggugat mereka semua, lalu anda siapa, berani menggugatnya?
Soalan ini pernah dibahas dalam pengajian Sirah Nabawiyah di salah satu madjid yg saya ikuti pengajianya di Singapore.
Hadist itu shoheh jelas dan tidak meragukan, namun latar belakang kenapa Rasulullah sampai mengucapkan itu patut di lihat.
Diantara sahabat nabi yg maju dalam perang, imam Ali adalah yg termuda dibanding dengan Sayyidina Abubakar, Sayyidina Umar dan Sayyidina Usman. Dan imam Ali yg lebih banyak membunuh para musuh Islam dalam perang. Nah dalam masyarakat Arab saat itu, orang akan mengingat terus siapa yg membunuh keluarganya.
Saat itu di masa akhir kehidupan Rasulullah dan beliau tahu persis banyak sahabat sahabat yg salah satu atau lebih keluarganya yg masih kafir terbunuh secara hak oleh tangan imam Ali di saat peperangan (sejarah menulis dengan jelas imam Ali tidak membunuh musuh melainkan hanya karena perintah Allah Subhanuwataala dan RasulNYA), sebelum para sahabat tersebut menerima imam Islam.
Dan ini tampak banyak sahabat yg punya kecenderungan tidak suka terhadap imam Ali.
Di situlah letak asal muasal kenapa kemudian Rasulullah bersabda hadist yg sedang kita bahas ini.
“Bukankah Allah lebih berhak terhadap kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda “Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”
Karena Rasulullah paham betul sepeninggal beliau akan banyak orang yg akan memusuhi imam Ali baik dari kalangan sahabat dan kaum musrikin.
Dalam pengajian di masjid Baalwie di jelaskan inilah hadist yg sering di gunakan sebagai hujjah pendukung imam Ali terhadap hak beliau untuk memimpin sepeninggal Rasulullah.
Namun jelas beliau menerima kepemimpinan Sayyidina Abubakar, Sayyidina Umar dan Sayyidina Usman, cukup ini sebagai contoh akan akhlak beliau.
Berikut adalah saya ambil dari pengajian yg lain.
Namun imam Ali bukanlah seorang muslim yg haus akan kekuasaan dan cinta dunia. Dan saat para sahabat membaiat (bersumpah setia terhadap Sayyidina Abubakar, Sayyidina Umar dan Sayyidina Usman) beliau pun membaiat pula.
Beliau melihat itu tidak membahayakan akidah iman Islam maka beliau membiarkan nya namun beliau tegas dan akan mengangkat senjata saat apapun yg terjadi dapat membahayakan iman Islam (perang Jamal dan pembangkangan Muawiyah).
Sejarah tetap sejarah kita ambil ibrohnya untuk menata masa depan, Imam Ali tidak pernah memcerca sahabat dimasa hidupnya, itu contoh jelas tentang penghormatan namun layakkah kita mencela sesuatu yg tidak beliau lakukan.
Namun beliau di cela terus terusan di setiap sholat jumat atas perintah Muawiyah di masa Bani ummaiyah sampai kemudian di hapuskan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz.
“Di masa kekuasaan Muawiyah, karena kebencian Muawiyah pada Imam Ali, para khatib Jumat diperintahkan untuk mengakhiri setiap khutbahnya dengan kecaman kepada Ali. Cacian dan makian ini berlangsung selama hampir puluhan tahun. Ketika Umar bin Abdul Aziz berkuasa, perintah ini dihapuskan. Namun meskipun Muawiyah begitu membenci Ali, ia harus mengakui keutamaan sifat-sifat Ali”
Latar belakang politik kekuasaan sangat kentara di balik perseteruan syiah dan sunni (tidak semua syiah membenci sahabat dan tidak semua sunnni berada di barisan Muawiyah)
Kalau lah saya hidup di masa beliau, tentulah saya akan berada di barisan imam Ali maju perang melawan Muawiyah.
Bagaimana mungkin saya akan ikut pemimpin yg berasal dari golongan yg tadinya memerangi Rasulullah (abu Sofyan ayahanda Muawiyah) di banding dengan imam Ali yg sedari kecil hidup bersama dan di didik langsung oleh Rasulullah dan memberikan hidupnya untuk Rasulullah, jelas beda kualitasnya.
Mari bersatu dan hilangkan saling curiga dan saling merasa benar sendiri.
Semoga Allah Ta’ala selalu melindungi kita dan menjaga dari godaan iblis dan turunannya yg terkutuk aamiin aamiin ya Robbal Alamin.
Salam,
ht
Hadits 2
حدثنا إسماعيل بن أبي حارث، ثنا شبابة بن سوَّار، ثنا شُعيب ابن ميمون، عن حصين بن عبد الرحمن، عن الشعبي عن شقيق، قال : قيل لعلي رضي الله عنه : ألا تَستخلف ؟ قال : ما استخلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فَستخلف، وإن يردِ الله تبارك وتعالى بالناس خيرًَا فَسيجمَعهم على خيرهم، كما جمعهم بعد نبيِّهم على خيرهم.
http://musuhsyiah.blogspot.com/2013/04/takhrij-riwayat-tidak-adanya-khalifah.html
Kalau tidak bisa maka riwayat yang saya bawakan itu lebih rajih sebagai hujjah. Apalagi ditambah hadis shahih berikut
Maka riwayat shahih di atas sesuai dengan pengakuan Imam Aliy bahwa ia yang paling berhak akan kekhalifahan karena sudah ditetapkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
3. Husain bin walid → Sufyan → Al Aswad → Amr bin Sufyan → Ali
Dan sanad Al Aswad → ayahnya
sama dengan jalur Sufyan → Amr bin Sufyan → Ibnu Abbas
sama dengan jalur Syarik → Amr bin Sufyan → Ibnu Abbas
Kalau anda tidak mau disebut sebagai syiah rafidhah, tentunya anda mau merujuk pula kepada atsar Umar tentang tidak adanya penunjukan dari Nabi saw atas pangganti beliau yang sanadnya sudah jelas SHAHIH.
waduh maaf ya Mas kayaknya anda tipe orang yang “terlambat”. Sebelum anda berkomentar saya sudah membahas detail syubhat ala “sok ilmu hadis” versi anda tersebut. Silakan lihat disini
https://secondprince.wordpress.com/2014/08/28/takhrij-atsar-aliy-bin-abi-thalib-rasulullah-tidak-pernah-berwasiat-tentang-kepemimpinan-kepada-dirinya/
Silakan anda sampaikan bantahan anda lebih lanjut, maaf kalau memang yang anda tulis itu memang benar hasil analisis anda sendiri atau silakan anda sampaikan kepada orang lain yang mungkin menurut anda lebih paham. Saya akan siap menanggapi hujjah yang ilmiah dari siapapun
Maaf bung kalau anda juga termasuk orang pengidap penyakit waham maka tolong jangan bawa-bawa saya ke dalam waham anda tentang Syi’ah. Saya tidak pernah menyerukan bahwa ajaran ahlus sunnah harus bersatu dengan ajaran Syi’ah. Saya sendiri berdasarkan pembelajaran saya mengakui bahwa ahlus sunnah dan syi’ah itu berbeda. Tetapi tidak ada alasan untuk satu sama lain saling mengkafirkan, seharusnya sesama muslim baik itu ahlus sunnah ataupun syi’ah bisa saling menghargai dan hidup rukun.
Cara pikir anda terbalik. Di sisi saya hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Imam Aliy pemimpin atau khalifah orang mukmin adalah shahih [sudah ada pembahasannya secara khusus]. Maka saya menerimanya. Adapun atsar sahabat Umar [radiallahu ‘anhu] tidak menjadi hujjah di sisi saya karena jika sudah jelas nash Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka perkataan sahabat tidak menjadi hujjah. Apalagi Umar pernah menetapkan perkara yang bertentangan dengan nash yang shahih misalnya pelarangan haji tamattu. Kesimpulannya atsar Umar tidak menjadi hujjah dalam perkara ini
Pembahasan ini yang ingin saya tekankan kepada anda….
Perbedaan anda dengan saya adalah pada syarat sima’ untuk Musawwir Al Waraq.
Musawwir bukan perawi mudalis,sehingga tidak disyaratkan sima’ baginya.
Oleh karena itu ketika Marwan menyampaikan riwayat dengan sima’ maka hilanglah mudalisnya. Ini pendapat kami, bila anda berbeda maka itu hak anda.
Mengenai Amr bin Sufyan, adalah orang yang berbeda itupun hak anda berpendapat seperti itu. Dan bagi kami Amr bin Sufyan adalah orang yang sama sebagaimana pendapat Al Mizzi, dengan pertimbangan bahwa Al Aswad menerima riwayat dari Amr bin Sufyan dan tidak diketahui ada Amr bin Sufyan yang lain. Dan sangat memungkinkan bahwa selain mendengar dari Ibnu Abbas ia pun mendengar dari Ali, sebagaimana disyaratkan Imam Muslim. Ini perbedaan kami dengan anda yang kedua.
Wal hasil bagi kami riwayat tersebut SHAHIH, dengan penunjukan dilalah yang jelas dibandingkan dengan dalil anda, yang seandainya shahih tapi pendalilannya tidak sejelas riwayat Al Ajuri diatas.
Ini yang saya maksud sampai kapanpun tidak akan tuntas.
Dan bagi saya yang men SHAHIH dalil saya, tidak berpikir terbalik, justru andalah yang harus menunjukkan kepada saya riwayat yang shahih dengan penunjukan dilalah yang jelas.
1.Riwayat Al Ajuri merupakan qarinah pertama dari pemegang amanah langsung bahwa beliau (Ali) tidak merasa ditunjuk sebagai pengganti Nabi saw.
2.Qarinah kedua atsar Umar juga menyatakan hal yang sama.
3.Qarinah ketiga ma’ruf bahwa khalifah pertama Nabi saw adalah Abu Bakar, terlalu berat menerima LOGIKA riwayat anda (sekali lagi LOGIKA anda) dengan konsekwensi mencela Abu Bakar dan mereka yang meridhai kekhalifan beliau.
Maaf BUNG !!! anda waham terhadap ahlussunnah atau tidak itu bukan urusan saya.
Saya hanya akan memberikan pertimbangan dalil dan pemahaman yang lain yang tidak anda beberkan dalam tulisan anda.
Semoga anda mengerti.
Buktinya sudah saya paparkan bahwa tidak ada satupun ulama rijal yang menyebutkan bahwa Musawwir Al Warraaq adalah guru dari Marwan bin Mu’awiyah bahkan ulama rijal seperti Al Mizzi, Adz Dzahabiy dan Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Rijal mereka bahwa guru dari Marwan bin Mu’awiyah adalah Musaawir yang lain dan ia majhul sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar.
Ada tambahan illat [cacat] bagi riwayat Al Ajurriy. Daruquthni dalam Al Ilal 4/86 menyebutkan riwayat Marwan dari Musaawir dari Amru bin Sufyaan secara mursal dari Aliy kemudian dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam biografi Musaawir kitab Tahdzib At Tahdzib bahwa Musaawir meriwayatkan dari Amru bin Sufyaan dari Ayahnya bahwa Aliy berkhutbah kepada kami. Maka kuat penunjukkannya bahwa terdapat perantara ayahnya antara Amru bin Sufyaan dan Aliy.
Ulama yang membedakannya adalah Al Bukhariy dan Ibnu Hibbaan [sebagaimana sudah kami tunjukkan]. dan kedua ulama tersebut lebih mu’tabar dan mutaqaddimin dibanding Al Mizziy. Dan sedikit catatan yang disebutkan Al Mizziy itu adalah ‘Amru bin Sufyaan yang meriwayatkan dari Ayahnya, meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas dan dari Ibnu Umar, tidak ada keterangan kalau ia meriwayatkan dari Aliy. Jadi dari mana datangnya anda tiba-tiba berhujjah dengan Al Mizziy
Dan barang siapa yang berpegang teguh pada Ahlul Bait maka hendaknya ia meneladani Imam Aliy yang tetap memuliakan dan menghormati Abu Bakar dan Umar.
Mari kita lanjutkan ……
Anda mengesankan bahwa syarat diterima rawi tadlis taswiyah adalah dengan penyimakan syaikhnya, dan penyimakan syaikhnya tersebut atas syaikhnya lagi, dan anda tidak menyebutkan syarat lain yang lebih longgar. Padahal Imam Dzahabi mempunyai metode, bahwa cukup dengan penyimakan perawi tersebut, sebagaimana penilaian beliau terhadap Al Walid bin Muslim.
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
الوليد بن مسلم الدمشقي، إمام مشهور، صدوق، ولكنه يدلس عن ضعفاء، لا سيما في الأوزاعي. فإذا قال : ثنا الأوزاعي، فهو حجة.
Lalu tentang pembedaan Amr bin Sufyan yang dilakukan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Hibban…(maaf) anda kurang teliti.
Dan membeberkan sanad-sanad “riwayat tidak ada wasiyat kepemimpinan bagi Ali”, diantaranya sanad Amr bin Sufyan dari Ali, dan sanad-sanad yang lain.
Abu Nu’aim → Syarik → Al Aswad → Amr bin Sufyan → Ali
sama dengan jalur Sufyan → Al Aswad →Amr bin Sufyan → Ibn Abbas
sama dengan jalur Syarik → Al Aswad →Amr bin Sufyan → Ibnu Abbas
Bahkan ia seorang yang tsiqah. Telah ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’iin dan Ibnu Hibbaan. Ahmad berkata : “Aku berpendapat haditsnya tidak mengapa”. Al-Fasawiy berkata : “laki-laki shaalih, tidak mengapa dengannya” [Tahdziibut-Tahdziib 10/103 no. 190 dan Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 3/116 no. 4281].
Catatan : Al-Mizziy rahimahullah ketika menyebutkan biografi Al-Musaawir yang berstatus majhuul (bukan Al-Musaawir Al-Warraaq) menyebutkan hadits di atas adalah miliknya. Ini keliru, karena yang benar ia adalah hadits milik Al-Musaawir bin Al-Warraaq (perbedaannya di kata “bin” Al Warraaq)
Kalau toh beliau (Ali) merasa lebih berhak maka itu adalah ijtihad beliau, bukan karena beliau ditunjuk oleh Nabi, sebagaimana shahabat yang lain-pun ada yang merasa berhak atas kepemimpinan kaum muslimin ( seperti Saad bin Ubadah), dan itu manusiawi dan tidak salah.
1.Metode Imam Dzahabi dalam menerima perawi mudalis taswiyah adalah cukup dengan lafal penyimakan rawi mudalis tersebut saja. Sebagaimana komentar beliau terhadap Al Walid bin Muslim.
الوليد بن مسلم الدمشقي، إمام مشهور، صدوق، ولكنه يدلس عن ضعفاء، لا سيما في الأوزاعي. فإذا قال : ثنا الأوزاعي، فهو حجة.
“Al-Waliid bin Muslim Ad-Dimasyqiy, seorang imam masyhuur, shaduuq, akan tetapi ia sering melakukan tadlis dari para perawi dla’iif, khususnya dalam hadits Al-Auzaa’iy. Apabila ia berkata : ‘Telah menceritakan kepada kami Al-Auzaa’iy’, maka perkataannya itu hujjah” [Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’, 2/501 no. 6888].
Telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan Ibnu Hibbaan (Ats-Tsiqaat, 5/172), Al-‘Ijliy (Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/177), dan Al-Haakim pada riwayatnya dari Al-‘Abbaas dalam Al-Mustadrak. Al-Bukhariy dalam Shahiih-nya memakainya secara mu’allaq.
Sufyan → Al Aswad → Amr bin Sufyan → Ali
sama dengan jalur Sufyan → Al Aswad → Amr binSufyan → Ibnu Abbas.
sama dengan jalur Syarik → Al Aswad → Amr bin Sufyan → Ibnu Abbas
Ambil contoh Walid bin Muslim, dalam tadlis taswiyah perawi yang digugurkan Walid bukan perawi diantara Walid dan gurunya Al Auzaa’iy melainkan perawi diantara Al Auzaa’iy dan gurunya Al Auzaa’iy. Aneh dan lucu, anda kopipaste perkataan Adz Dzahabiy dari tulisan Abul-Jauzaa tetapi anda tidak paham tulisannya dengan baik. Abul Jauzaa itu sudah menukil contoh tadlis taswiyah Waliid sebagaimana disebutkan Abu Dawud. Abul Jauzaa menyebutkan dalam artikelnya
Abu Daawud rahimahullah berkata :
Ibnu ‘Asaakir rahimahullah berkata :
Adz-Dzahabiy menukil perkataan Abu Mus-hir rahimahumallah :
Ucapan anda soal Adz Dzahabiy punya metode penilaian tadlis taswiyah tidak lain ucapan dusta [btw saya tidak menuduh anda sengaja berdusta lho, ucapan dusta itu muncul saya anggap dari ketidaktahuan anda] karena tidak paham hakikat perawi Walid bin Muslim. Ucapan Adz Dzahabiy tersebut bisa menghilangkan cacat tadlis biasa yang dilakukan Waalid bin Muslim tetapi tidak bisa menghilangkan cacat tadlis taswiyah. Coba lihat nukilan yang anda kutip
Terimakasih, ada faidah yang dapat diambil.
Sudah saya katakan, bahwa tidak akan tuntas pembahasan ini.
Sejak awal saya katakan perbedaan pertama saya dan anda adalah tentang penyimakan Marwan.
Tentang Imam Adz Dzahabi, beliau telah faham benar siapa Al Walid, tadlis isnad maupun tadlis taswiyah Al walid, dan diakhir kesimpulan beliau menyatakan cukup dengan sima’ Al Walid saja. Mungkin dibenak Imam Dzahabi hanya terbayang bahwa tadlis Al Walid hanya tadlis biasa, lupa Al Walid juga mudalis taswiyah…?
Saya yang ngeyel apa anda yang melampaui Imam Dzahabi…? (afwan)
Tentang Marwan, beliau seorang tsiqat, kalau beliau mendengar dari Musawwir Al Waraq,saya percaya, bahwa beliau mendengar dari Musawwir Al Waraq,bukan sawwar, bukan Musawwir bin Al waraq dan yang lainnya.Apa ada Musawwir Al Waraq yang lain?
Maaf, tadlis syuyukh bukan merupakan dusta, hanya menyamarkan gurunya saja akan tetapi tetap yang dimaksud adalah orang itu yang disebut oleh perawi tersebut. Ketika marwan menyebut Sawwar atau Musawwir bin Al waraq atau Musawwir Al waraq, maka beliau menyamarkan ketiga nama tersebut. Ketika beliau menegaskan bahwa beliau mendengar dari MUSAWWIR AL WARAQ, maka saya yang menganggap tsiqat, beliau jujur mendengar dari MUSAWWIR AL WARAQ.(bukan sedang bertadlis), karena nama Musawwir Al Waraq ada dalam rijalul hadits.
Kalau anda tidak percaya dan menganggap beliau masih bertadlis syuyukh ya monggo….
Saya yang ngeyel apa anda yang melampaui Marwan..? (maaf)
(Sepertinya saya mendengar anda sedang tertawa….)
Saya menganggap anda lupa bahwa Marwan tsiqat, sehingga anda tidak menggubrisnya, padahal tsiqat memfaidahkan diterimanya riwayatnya.
Saya yang ngeyel atau anda yang melampaui batas ilmu musthalah ? (sekali lagi maaf)
(Mungkin tertawa anda semakin keras….)
maaf kalau keterangan saya ini anda anggap panjang dan ngeyel..
Persoalan Marwan ini saya rasa tidak akan tuntas, tapi materinya tidak jauh dari persoalan diatas.
Anda begitu…saya begini…anda ahli ilmu…saya minim ilmu..hmmm.
Tentang jarh terhadap Amr bin Sufyan, menurut ilmu musthalah,jarh yang tidak dijelaskan tidak bisa menghilangkan ta’dil,begitu kan bung?
Tentang Ibnu Hibban yang memasukkan Amr bin Sufyan (Ali) dalam Ats tsiqat, ini merupakan tautsiq, dan menandakan Amr bin Sufyan tsiqat.
Saya yang ngeyel apa anda yang melampaui Ibnu Hibban ?
Maaf se tasahulnya Ibnu Hibban lebih saya pegang daripada pernyataan anda.
Ibnu Hajar menyatakan Amr bin Sufyan (Ali) maqbul,… anda ….?
Maaf saya yang ngeyel…
Al Ijli menyatakan Amr bin Sufyan tsiqat dari kuffah, dan kita tidak tahu Amr bin Sufyan (Ali) dari mana, lalu anda menyatakan dari Bashrah, karena mendengar pada waktu perang jamal. Tapi ada kemungkinan lain…beliau termasuk pasukan Ali ra, yang berangkat dari kuffah. Mana yang lebih munasabah..? Anda atau Al ijli..?
Sekali lagi maaf, saya sering ngeyel dan ngawur…
Terakhir mengenai Al Bukhari… beliau menyatakan secara mu’alaq,kalau beliau tidak menjarh berarti Imam Bukhari ada kemungkinan memakai beliau sebagai perawinya, seandainya riwayat yang sampai pada beliau bersambung.
Saya kira ini dulu, terimakasih atas faidah ilmunya…
Kalau masih mau meladeni saya yang ngeyel, ngawur, dan minim ilmu ini,saya siap !!!
Terima kasih masih mau diskusi …
Persoalan Marwan
Tadlis syuyukh marwan akan hilang manakala ia menyatakan dengan sima’ dan diketahui dengan jelas siapa perawi yang diatasnya.
Dalam hal ini jelas sima’ Marwan, dan jelas penisbahannya kepada AL WARAQ.
Bagi saya qarinah hilangnya tdlis syuyukh Marwan adalah : PENISBATAN BELIAU KEPADA AL WARRAQ.
Tentang perawi sawwar anda, menduga itu adalah perawi yang ditadlis sebagai Musawwir Al Waraq, ada kemungkinan lain…?
Bisa saja sawwar ini ditadlis oleh Marwan sebagai Musawwir Al Warraq atau Abu Hamzah Sawwar Al Muzaniy Ash Shayrifiy atau yang lainnya….kita tidak tahu….
Tentang Musawwir bisa saja ditadlis sebagai Musawwir Al Waraq atau Abu Al Musawwir Abdur Rahman bin Al Musawwir bin Makhramah atau Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdur Rahman bin Al Musawwir atau yang lainnya ….kita tidak tahu.
Tapi ketika beliau dengan tegas menyatakan MUSAWWIR AL WARRAQ, maka tadlis sawwar dan Musawwir menjadi hilang, bukan sawwar al muzani, bukan abul musawwir dan bukan pula abdullah bin muhammad al musawwir bukan pula sawwar yang lain, bukan pula musawwir yang majhul, akan tetapi MUSAWWIR AL WARRAQ yang tsiqat.
Tentang terkenal menjadi guru Marwan atau tidak, bukan masalah..asal dalam satu masa dan bisa kemungkinan bertemu,sudah dapat diterima.
Tentang Amr bin Sufyan
Imam Bukhari memakai sebagai mu’alaq dan tidak menjarh bukan berarti menta’dilnya, tapi bisa dipakai sebagai ibarat bahwa Amr bin Sufyan bukan majhul dan tercela…
Ibnu Hibban menempatkan dalam ats tsiqat, kalau tidak ada qarinah kelemahan, maka ini tanda tautsiq beliau.
Ibnu Hajar menghukumi maqbul, adalah diterima jika tidak tafarud, maka Amr bin Sufayan diiringi oleh Abdullah bin sabu.
Jazakalloh, atas faidah ilmu dalam membedakan Amr bin Sufyan (Ali dengan Ibnu Abbas) saya ruju’ dari menyamakan Amr bin Sufyan.
Jazakalloh pula atas infonya bahwa Amr bin Sufyan (Ibnu Abbas) adalah Al Bashri, maka Amr bin Sufyan yang dinyatakan Al Ijli adalah Amr bin Sufyan Al Kuffi.
Maaf lho saya tidak mengatakan anda ngeyel ….
Tentang tadlis isnad dan taswiyahnya Marwan.
1. Derajat Marwan tidak lebih rendah dari Al Walid bin Muslim.
2. Adz Dzahabi faham benar terhadap tadlis isnad dan taswiyah Al Walid.
3. Entoh demikian beliau mencukupkan sima’ dari perawi itu saja untuk diterimanya riwayatnya.
4. Demikian pula terhadap marwan.
Tentang tadlis Syuyukhnya Marwan.
1. Tadlisnya tidak mempengaruhi tsiqatnya.
2. Tadlisnya yang bersamaan tsiqatnya, mengkonsekwensikan berhusnuzon kepada beliau, bahwa beliau tidak memaksudkan untuk memasukkan perawi lemah dalam sanad.
3. Nama sawwar atau Musawwir, sekali lagi bagi saya, tidak beliau maksudkan perawi sawwar atau musawwir yang lemah.
4. Tapi, dalam periwayatan harus diketahui secara pasti sawwar atau musawwir tersebut.
5. Nama sawwar atau musawwir adalah nama samar yang belum bisa ditarjih siapa dia itu.
6. Sedangkan nama Musawwir Al waraq adalah nama yang tidak ada kesamarannya terhadap nama perawi yang lain, yaitu Musawwir Al Waraq yang terdapat dalam Taqriibut-Tahdziib, hal. 933 no. 6632.
7. Bagi saya nama Musawwir Al waraq merupakan tarjih dari nama sawwar atau musawwir dalam sanad yang lain.
8. Tapi bagi anda nama Musawwir Al Waraq masih merupakan nama samar akibat tadlis syuyukh Marwan.
9. Disinil letak perbedaan kita.
10. Oleh karena itu berkali-kali saya ingatkan anda akan ‘adalahnya Marwan.
11. Orang yang tsiqat walaupun tadlis, tetap tsiqat.
12. Saya kira ini sangat sederhana untuk dipahami.
Tentang Usia Musawwir Al Waraq.
1. Tarohlah usia beliau 100 th.
2. Maka beliau lahir tahun 50 H.
3. Tarohlah menerima riwayat dari Amr usia 20 tahun.
4. Berarti bertemu dengan Amr tahun 70 H.
5. Tarohlah pada tahun 36 H, usia Amr 30 tahun.
6. Berarti Amr baru berusia 66 tahun ketika bertemu beliau.
7. Berarti semasa dan ada kemungkinan bertemu.
Tentang Amr bin Sufyan
1. Amr ini ada 2 orang.
2. Yang pertama Amr al Bashri, tsiqat.
3. Yang kedua Amr bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ali ra.
4. Tidak diketahui nama Amr selain kedua orang tersebut.
5. Dari keterangan no.4, ketika bukan Amr al Bashri, dipastikan Amr (Ali).
Tentang Amr bin Sufyan (Ali)
1. Empat ulama menulis namanya dalam kitab mereka.
2. Mereka itu : Bukhari, Ibnu Hibban, Al Ijli, Ibnu Hajar.
3. Ini menunjukkan ke-4 ulama tersebut mengenal Amr.
4. Tapi ini tidak menyelamatkan Amr dari ke-majhul-an.
5. Ibnu Hibban adalah ulama jarh dan ta’dil.
6. Ibnu Hibban punya kitab Ats Tsiqat dan kitab Adh Dhu’afa.
7. Perawi yang ditulis di Ats Tsiqat tentu tsiqat menurut beliau.
8. Ibnu Hibban terkenal tasahul.
9. Beliau memasukkan perawi majhul dalam Ats Tsiqat.
10. Secara ILMIAH, karena beliau ulama jarh dan ta’dil, ketika beliau menulis perawi di ats tsiqat, berstatus tsiqat di mata beliau, akan tetapi belum selamat ke-majhul-an di sisi ulama yang lain.
11. Di sini perlu ditimbang, ketika tidak ada keterangan lain dari ulama lain, maka data yang ada, adalah beliau tsiqat dimata Ibnu Hibban, sampai ada keterangan lain.
12. Al Ijli menyatakan bahwa Amr bin Sufyan adalah tabi’in dari Kuffah yang tsiqat.
13. Kalau bukan Amr bin Sufyan Al Bashri, bisa dipastikan adalah Amr (Ali).
14. Jadi Al Ijli mentsiqatkan Amr bin Sufyan (Ali).
15. Ibnu hajar menghukumi maqbul, menjadikan riwayat Amr sebagai I’tibar selama tidak ada mutaba’ah atau syahid baginya.
16. Dapat disimpulkan Ibnu Hajar menghukumi riwayat Amr bin Sufyan minimal berderajat HASAN.
17. Apalagi terdapat banyak riwayat yang bisa dijadikan syahid dan mutaba’ahnya.
18. Makanya di awal diskusi saya persilahkan anda mempertimbangkan atsar umar dan qarinah lain yang menjadi syahid bagi riwayat ini.
Inilah keterangan, yang menurut saya mudah difahami dan ILMIAH serta berdasarkan pada ilmu mushthalah hadits semampu yang saya fahami, semoga terhindar dari sifat ngeyel dan ngawur.
Silahkan dilanjut,…terimakasih !!!
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan telah menuduh antum syiah rafidhah.
Hanya mau mengingatkan … semoga anda tidak melampaui batas emosi anda.
Saya kira tidak ada hal baru dalam diskusi ini.
Saya hanya mau himbau pada anda untuk mau berpikir perlahan-lahan atas hujjah orang lain.
Akan saya jawab seperlunya saja….
Anda tidak sadar ketika saya sodorkan kasus Al walid bin Muslim, apakah ini termasuk tadlis isnad dan taswiyah atau bukan ?
de..el…el…de ..el…el….
Resume hasil akhir diskusi ini akan saya kirim ke email antum saja.
sedikit tambahan buat antum, agar orang tidak salah persepsi dengan antum, apakah antum syiah atau bukan, antum cantumkan pula hujjah ahlussunnah secara utuh. terimakasih
Anda berkata :
“Anda tidak sadar ketika saya sodorkan kasus Al walid bin Muslim, apakah ini termasuk tadlis isnad dan taswiyah atau bukan ?”
Sepertinya saya selaku penyimak diskusi anda ber-dua sudah bisa memahami apa yang disampaikan oleh Bung @SP atas kasus Waalid bin Muslim. Saya jadi bertanya-tanya siapa yang sebenarnya yang tidak mau “berpikir perlahan-lahan atas hujjah orang lain”? Anda ataukah Bung @SP ? Bukankah Bung @SP sudah menjelaskan kedudukan Waalid bin Muslim dan penilaian Imam Dzahabi terhadapnya ? Kesimpulan yang dapat saya tarik dari penjelasan Bung @SP adalah bahwa ucapan Adz Dzahabiy yang anda kutip di atas terkait kedudukan Al Walid bin Muslim hanya bisa menghilangkan cacat tadlis biasa yang dilakukan Waalid bin Muslim tetapi tidak bisa menghilangkan cacat tadlis taswiyah yang dilakukannya. Dan sampai saat terakhir diskusi ini berlangung anda sendiri belum menjawab pertanyaan Bung @SP ketika beliau berkata : ” Tolong dijawab pertanyaan saya. Anda paham atau tidak apa itu tadlis taswiyah, coba jelaskan disini? ”
Saya sebagai “penikmat” dari diskusi anda ber-dua berharap moga-moga komentar anda selanjutnya tidak melampaui batas kengeyelan anda saja. Salam damai . .
Baiklah akan saya jawab.
Tadlis isnad adalah satu hadits diriwayatkan oleh seorang rawi dari seorang yang ia bertemu atau semasa dengannya, tetapi ia tidak mendengar hadits yang diriwayatkannya itu daripadanya, sedang ia meragu-ragukan, seolah-olah ia mendengar hadits itu daripadanya. (tudhihul afkar 1:350)
Kalau seorang berkata : dari fulan…
Sedangkan orang itu seorang tsiqat, maka diterima riwayatnya kecuali ada keterangan tidak ada sima’ antara dia dengan fulan.
Contohnya : dari Zuhri dari ‘Urwah, sepintas Zuhri menerima hadits dari ‘Urwah, tapi ternyata Ibnu Hatim menyatakan Zuhri tidak mendengarhadits ini dari ‘Urwah. (illalul hadits 1:324)
Anda perhatikan : disini perlu ada keterangan tentang tadlisnya Zuhri.
Kalau perawi orang yang tsiqat tapi mudallas, maka riwayatnya ditolak sampai diketahui sima’ ia terhadap fulan tersebut.
Tadlis taswiyah adalah menggugurkan sanad dari perawi lemah, baik satu atau lebih, agar sanadnya menjadi shahih.
Contohnya :
Baqiyah dari Ubaidullah dari Ishaq dari Nafi’ dari Ibnu Umar.
Lalu Baqiyah mentadlis : dari Ubaidullah dari Nafi” dari Umar.
Baqiyah menggugurkan Ishaq (lemah) agar sanadnya kelihatan shahih.
Tentang Al Walid bin Muslim :
Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Taqriibut-Tahdziib (hal. 1041 no. 7506, tahqiq : Abu Asybaal Al-Baakistaaniy; Daarul-‘Aashimah) berkata :
الوليد بن مسلم القرشي مولاهم، أبو العبّاس الدمشقي، ثقة لكنه كثير التدليس والتسوية، من الثامنة، مات آخر سنة أربع [أو أول] سنة خمس وتسعين
“Al-Waliid bin Muslim Al-Qurasyiy maula mereka, Abul-‘Abbaas Ad-Dimasyqiy. Seorang yang tsiqah, akan tetapi banyak melakukan tadlis taswiyyah. Termasuk thabaqah ke-8, wafat pada akhir tahun 194 H atau awal tahun 195 H .
Kira-kira, menurut anda, status tadlis taswiyah ini diketahui ndak oleh Imam Adz Dzahabi ? Beliau tahu kan mas ?
Entoh seperti itu beliau berkata terhadap Al walid bin Muslim :
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
الوليد بن مسلم الدمشقي، إمام مشهور، صدوق، ولكنه يدلس عن ضعفاء، لا سيما في الأوزاعي. فإذا قال : ثنا الأوزاعي، فهو حجة.
“Al-Waliid bin Muslim Ad-Dimasyqiy, seorang imam masyhuur, shaduuq, akan tetapi ia sering melakukan tadlis dari para perawi dla’iif, khususnya dalam hadits Al-Auzaa’iy. Apabila ia berkata : ‘Telah menceritakan kepada kami Al-Auzaa’iy’, maka perkataannya itu hujjah” [Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’, 2/501 no. 6888].
Kalimat beliau “tadlis dari para perawi dlaif”, tidak hanya menunjukkan tadlis isnad saja, tapi juga tadlis taswiyah.
Entoh demikian beliau mencukupkan diterimanya Al Walid dengan sima’ terhadap Al Auza’i.
Harusnya, kalau menurut persepsi anda Imam Adz Dzahabi mengatakan : Apabila ia berkata sima terhadap Al auza’i dan diketahui pula sima’ dari perawi diatasnya, maka ia menjadi hujjah.
Tapi sayang beliau tidak mengatakan seperti itu.
Kalau anda tetap berkeras mengatakan seperti itu berarti anda menuduh bahwa Adz Dzahabi tidak tahu tadlis taswiyah dari Al walid.
Maaf siapa yang ngeyel, dan siapa melampaui batas terhadap Adz Dzahabi.
Semoga menambah faidah ilmu bagi anda.
Untuk menjaga kewibawaan mas SP sengaja bantahan terakhir, saya kirimkam melalui email kepada beliau.
Kalau beliau mengijinkan saya menulis secara lengkap atas hujjah saya di sini, ya ndak papa.
Kalau anda perhatikan komentar saya yang akhir (yang bernomor), maka akan anda dapati bahwa saya berdasarkan kepada data-data apa adanya, mengistimbathkannya menurut cara berpikir yang wajar, dan data tersebut telah diketahui dan disepakati bersama.
Contoh:
Adz Dzahabi…
Datanya beliau tahu tadlis taswiyah Al walid.
Datanya beliau mencukupkan dengan sima’ perawi saja.
Makanya wajar kalau saya berpendapat bahwa menurut Adz Dzahabi tadlis taswiyah Al walid cukup dengan sima’ Al Auza’i saja.
Kalau mas SP, karena menurut ilmu beliau, bahwa tadlis taswiyah harus adanya sima’ dari guru keatas, maka beliau memahami ucapan Adz Dzahabi tersebut hanya pada tadlis biasa.
Ibnu Hibban….
Datanya Amr di ats tsiqat.
Tidak ada qarinah kelemahan Amr oleh Ibnu Hibban.
Ya wajar kalau saya berpendapat : Amr tsiqat di MATA IBNU HIBBAN.
Kalau di mata yang lain, saya tidak punya data.
Al Ijli…
Datanya, menurut Al Ijli Amr bin Sufyan adalah tabi’in tsiqat dari Kuffah
Datanya, dalam kitab rijalul hadits hanya ada 2 Amr, yaitu Amr bin Sufyan Al Bashri dan Amr bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ali.
Ya wajar kalau saya berpendapat Amr nya Al Ijli bukan Amr Al bashri.
Ya wajar kalau Amr nya Al Ijli adalah Amr yang meriwayatkan dari Ali.
Ibnu Hajar….
Datanya, beliau mengatakan Amr adalah maqbul
Datanya kata maqbul berarti diterima
Datanya lafal maqbul adalah lafal untuk perawi hasan martabat ke-3 (Alfiyah Suyuti 158)
Ya wajar kalau saya berpendapat hadits Amr adalah minimal dapat dijadikan i’tibar sampai diketahui mutaba’ah atau syahidnya, artinya berderajat hasan.
Mengenai tadlis syuyukh…
Datanya, Marwan adalah tsiqat tapi tadlis.
Tadlis tidak mempengaruhi ke-tsiqat-an Marwan.
Datanya, nama Sawwar, dalam data diskusi dan dalam rijalul hadits didapati : Abu Hamzah Sawwar Al Muzaniy Ash Shayrifiy, atau Musawwir guru majhul Marwan, atau Musawwir Al Waraq, atau siapa ? (ini nama yang samar tidak bisa ditarjih), bukan begitu kan mas ?
Datanya, nama Musawwir Al Waraq, adalah hanya satu dalam kitab rijalul hadits yaitu Musaawir Al-Warraaq Al-Kuufiy, Asy-Syaa’ir; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 933 no. 6632].
Bahkan ia seorang yang tsiqah. Telah ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’iin dan Ibnu Hibbaan. Ahmad berkata : “Aku berpendapat haditsnya tidak mengapa”. Al-Fasawiy berkata : “laki-laki shaalih, tidak mengapa dengannya” [Tahdziibut-Tahdziib 10/103 no. 190 dan Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 3/116 no. 4281].
Maka wajar to mas kalau saya mempercayai bahwa Marwan menerima dari Musawwir Al Waraq, karena Marwan seorang yang tsiqat.
Kalau belum terima, berarti tidak percaya atas tsiqatnya Marwan.
Mudah-mudahan anda dapat lebih arief dalam menimbang.
Terima kasih.
Mengetahui adanya tadlis taswiyah harus ada keterangan untuk itu pada jalur sanad yang di duga ditadlis taswiyah.
Sebagai contoh :
Hadis yang menyatakan,
من بدأ بالكلام قبل السلام فلا تجيبوه
”Siapa yang memulai bicara sebelum salam maka janganlah kalian menjawabnya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dalam amal al-yaum wa lailah no.212 dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah (8/199), dari jalur Baqiyah bin Walid dari Abdul Aziz bin Abi Rawad dari Nafi.
Baqiyah bin Walid terkenal mentadlis taswiyah.
Tapi untuk menyatakan jalur ini ditadlis taswiyah oleh Baqiyah harus ada keterangan, siapa-siapa yang digugurkan pada jalur sanad ini.
Bukan hanya disandarkan kepada keterangan bahwa Baqiyah mudallis taswiyah saja.
Harus ada keterangan yang lain !!!!
Lalu ada keterangan :
Imam Abu Hatim ar-Razi mengatakan,
هذا حديث باطل ، ليس من حديث ابن أبي رواد
“Ini hadis bathil, bukan hadisnya Ibnu Abi Rawad.” (al-Ilal, 2/294).
Kemudian, Ibnu Abi Hatim menukil keterangan Abu Zur’ah – ulama besar ahli hadis, gurunya Muslim, Turmudzi, Nasai dan ulama lainnya – (w. 264 H),
Abu Zur’ah ditanya tentang hadis yang diriwayatkan Abu Taqi, dari Baqiyah, dari Abdul Aziz bin Abi Rawad, bahwa siapa yang bicara sebelum salam maka jangan dijawab. Kata Abu Zur’ah,
قال أبو زرعة : هذا حديث ليس له أصل ؛ لم يسمع بقية هذا الحديث من عبدالعزيز إنما هو عن أهل حمص ، وأهل حمص لا يميزون هذا
Hadis ini tidak ada asalnya. Baqiyah tidak pernah mendengar hadis ini dari Abdul Aziz. Namun dia dengar hadis ini dari penduduk Hims. Dan penduduk Hims tidak bisa membedakan hadis. (al-Ilal, 2/331).
Dalam ilmu mushtolah hadis, pada kasus di atas, perowi yang bernama Baqiyah bin Walid melakukan tadlis taswiyah, menyembunyikan sama sekali satu jalur perawi, agar hadis ini dikesankan shahih. Seharusnya, jalur normalnya: dari baqiyah dari seorang penduduk Hims, dari Abdul Aziz bin Abi Rawad.
Yang digugurkan Baqiyah adalah seorang penduduk dari Hims.
Baru kalau ada keterangan seperti ini, baru kita tahu bahwa perawi itu sedang mentadlis taswiayah.
Apakah ada keterangan adanya tadlis taswiyahnya Marwan pada jalur ini ?, Siapakah yang digugurkan Marwan ?
Tidak ada keterangan…
Mungkin pada jalur lain pada riwayat yang lain ditemukan tadlis taswiyah Marwan ini, sebagaimana yang diterangkan mas SP, rawi yang digugurkan diduga bernama Al Kalbi. Tapi ini tidak berkaitan dengan riwayat yang sedang kita bahas.
Semoga tidak ada tuduhan lagi adanya tadlis taswiyah Marwan pada riwayat ini.
Contoh-contoh “kasuistik” yang anda bawakan terkait keberadaan perawi mudallis dalam sebuah mata rantai periwayatan itu saya akui sangat bagus. Yang saya sayangkan adalah terkait kesimpulan “nyeleneh” yang anda buat, bahwa untuk menolak sebuah riwayat yang terdapat di dalamnya seorang yang tertuduh sebagai mudallis harus mengikuti pembuktian sebagaimana contoh2 kasus yang anda bawakan. Ini yang saya sangat tidak sepakati.
Kesimpulan yang anda tarik dari contoh-contoh tersebut berkonsekwensi menghancurkan bangunan kaidah hadits yang telah ditetapkan secara baku dan disepakati oleh para ahli hadits mengenai kriteria seorang perawi mudallis riwayatnya dapat diterima atau ditolak. Karena buat apa para ulama menetapkan kaidah tersebut kalau pada akhirnya setiap hadits per hadits yang datang/diriwayatkan dari seorang mudallis harus mengikuti “metode pembuktian” sebagaimana yang anda persyaratkan. Bagi saya cukuplah bagi kita apa yang telah ditetapkan oleh para ulama terkait kaidah bagaimana menerima dan menolak kebenaran periwayatan dari seorang mudallis dalam segala tingkatan tadlis yang mereka lakukan.
Minta izin copas