Rabu, 18 Juni 2014
Suharto
Dalang Pembunuhan Para Jenderal
Suharto
Dalang Pembunuhan Para Jenderal
Tue, 10/08/2013
SELESAI bertugas dalam Operasi 17 Agustus, A. Yani diangkat menjadi
Deputi Kasad, kemudian, ketika Menteri Pertama Ir. Juanda meninggal dan reshuffle kabinet pada pertengahan tahun 1963, A. Yani menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat. Dalam kabinet yang baru di-reshuffle itu,
Dr. Subandrio, Chaerul Saleh, dan Dr. J. Leimena diangkat menjadi Wakil
Perdana Menteri (Waperdam) I, II, dan III. Jenderal A.H. Nasution
diangkat menjadi Menteri Koordinator (Menko) bidang Pertahanan dan
Keamanan. D.N. Aidit dari PKI juga diangkat sebagai Menko.
Pembicaraan antara Bung Karno dan Jenderal A. Yani ini, ternyata bukan hanya diketahui oleh mereka berdua, namun beberapa petinggi Militer juga dapat menciumnya. Dan terutama, sekali Jenderal Suharto, yang duduk sebagai Pangkostrad. Amanah Bung Karno kepada A.Yani ini membuat darah Jenderal Suharto menggelegak, dendamnya melonjak. Kenapa Yani, kenapa bukan dirinya yang dipilih, bukankah dia lebih senior dari A.Yani? Watak licik Suharto menguasai dirinya. Hatinya penuh dendam ketika A.Yani menamparnya begitu masalah penyelundupan terbongkar.
"Ketika Kolonel Suharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, ia dikenal sebagai sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi lain dengan dalih untuk kesejahteraan anak buahnya. Suharto membentuk geng dengan sejumlah pengusaha seperti Lim Siu Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, konon masih saudara tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Suharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani. Komplotan bisnis ini telah bertindak jauh antara lain dengan menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.
Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Suharto. Maka MBAD membentuk suatu tim pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal Nasution kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput Kolonel Suharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai Panglima Diponegoto dan digantikan oleh Pranoto.
Dengan keadaan yang rupa-rupanya dirasakan oleh Bung Karno, dia menyampaikan amanah kepada Jenderal A. Yani: "...kalau sampai terjadi apa-apa pada diri saya, engkau, Yani, supaya menggantikan saya." Yani yang merasa belum siap menyarankan: "....apakah tidak sebaiknya diambil dari salah seorang Waperdam saja, Mas Ban, Mas Chaerul, atau Pak Leimena." Bung Karno menjawab: "Bandrio
itu onbetrouwbaar (tidak dapat dipercaya), Chaerul masih suka ngoboy,
Pak Leimena cocok kalau jadi dominee di gereja, yang tepat adalah
Engkau."
(Mashi, hal. 44, Ultimus 2010)
Pembicaraan antara Bung Karno dan Jenderal A. Yani ini, ternyata bukan hanya diketahui oleh mereka berdua, namun beberapa petinggi Militer juga dapat menciumnya. Dan terutama, sekali Jenderal Suharto, yang duduk sebagai Pangkostrad. Amanah Bung Karno kepada A.Yani ini membuat darah Jenderal Suharto menggelegak, dendamnya melonjak. Kenapa Yani, kenapa bukan dirinya yang dipilih, bukankah dia lebih senior dari A.Yani? Watak licik Suharto menguasai dirinya. Hatinya penuh dendam ketika A.Yani menamparnya begitu masalah penyelundupan terbongkar.
"Ketika Kolonel Suharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, ia dikenal sebagai sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi lain dengan dalih untuk kesejahteraan anak buahnya. Suharto membentuk geng dengan sejumlah pengusaha seperti Lim Siu Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, konon masih saudara tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Suharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani. Komplotan bisnis ini telah bertindak jauh antara lain dengan menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.
Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Suharto. Maka MBAD membentuk suatu tim pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal Nasution kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput Kolonel Suharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai Panglima Diponegoto dan digantikan oleh Pranoto.
"Menurut Dr. Soebandrio, Waperdam I, saat
mengetahui ulah Soeharto, kontan A. Yani marah. Pada suatu kesempatan,
Yani bahkan sampai menempeleng Soeharto, karenapenyelundupan itu dinilai
memalukan korps". Kasus Suharto tersebut akhirnya dibekukan karena
kebesaran hati Presiden Sukarno. (D&R, 3 Oktober 1998:18)
Nasution mengusulkan agar Suharto diseret ke pengadilan militer,
tetapi tidak disetujui oleh Mayjen Gatot Subroto. Kemudian ia dikirim ke
Seskoad di Bandung. Suharto sendiri dalam otobiografinya mencatat
persoalan itu sebagai menolong rakyat Jawa Tengah dari kelaparan, maka
ia mengambil prakarsa untuk melakukan barter gula dengan beras dari
Singapura (Soeharto 1989:92). Ia tidak menyinggung sama sekali adanya
tim penyelidik dari MBAD. Selanjutnya ketika Suharto hendak ditunjuk
sebagai Ketua Senat Seskoad, hal itu ditentang keras oleh Brigjen
Panjaitan dengan alasan moralitas (Detak, 5 Oktober 1998:5), artinya moral Suharto sebagai manusia, apalagi sebagai prajurit, tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Silang pendapat dengan Jenderal Yani lebih serius, hal itu bersangkutan dengan bagaimana seharusnya peranan Kostrad dengan merujuk sejarah Kostrad (Crouch 1999:104). Demikianlah sedikit banyak Suharto memiliki pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan dengan ke tujuh rekannya tersebut dalam perjalanan kariernya. Selama 32 tahun kekuasaannya para anggota geng Suharto mendapatkan tempat terhormat yang setimpal, sebaliknya dengan lawan-lawannya termasuk Jenderal Nasution setelah dicopot sebagai ketua MPRS dan juga dengan Mayjen Pranoto yang kemudian ditahan bertahun-tahun tanpa proses. Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa Suharto benar-benar tidak "sebodoh" yang diperkirakan Jenderal Nasution, juga tidak sekedar koppig seperti yang disebut oleh Bung Karno". (HARSUTEJO: JEJAK HITAM SOEHARTO Rabu, 17 Mei 2006, 19:18:18 Berita Rakyat Merdeka-Baca juga Mashi hal. 28, terbitan Ultimus 2010)
Untuk membalas dendam dan sakit hati terhadap orang-orang yang "mencelakakannya" dalam peristiwa penyelundupannya itu, yaitu Jen. A.H.Nasution, A.Yani, Suprapto , S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dan D.I. Panjaitan, Suharto menggunakan tangan Letkol. Untung Samsuri yang ketika itu adalah Komandan Kesatuan Pengawalan Presiden Cakrabirawa. Suharto memulai dengan mencarikan jodoh buat Untung yang merupakan anak buahnya semenjak zaman Revolusi, menghadiri pernikahannya yang jauh dipelosok, hingga pada saatnya, melalui intel-intelnya menghembuskan isu "dewan jenderal".
Silang pendapat dengan Jenderal Yani lebih serius, hal itu bersangkutan dengan bagaimana seharusnya peranan Kostrad dengan merujuk sejarah Kostrad (Crouch 1999:104). Demikianlah sedikit banyak Suharto memiliki pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan dengan ke tujuh rekannya tersebut dalam perjalanan kariernya. Selama 32 tahun kekuasaannya para anggota geng Suharto mendapatkan tempat terhormat yang setimpal, sebaliknya dengan lawan-lawannya termasuk Jenderal Nasution setelah dicopot sebagai ketua MPRS dan juga dengan Mayjen Pranoto yang kemudian ditahan bertahun-tahun tanpa proses. Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa Suharto benar-benar tidak "sebodoh" yang diperkirakan Jenderal Nasution, juga tidak sekedar koppig seperti yang disebut oleh Bung Karno". (HARSUTEJO: JEJAK HITAM SOEHARTO Rabu, 17 Mei 2006, 19:18:18 Berita Rakyat Merdeka-Baca juga Mashi hal. 28, terbitan Ultimus 2010)
Untuk membalas dendam dan sakit hati terhadap orang-orang yang "mencelakakannya" dalam peristiwa penyelundupannya itu, yaitu Jen. A.H.Nasution, A.Yani, Suprapto , S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dan D.I. Panjaitan, Suharto menggunakan tangan Letkol. Untung Samsuri yang ketika itu adalah Komandan Kesatuan Pengawalan Presiden Cakrabirawa. Suharto memulai dengan mencarikan jodoh buat Untung yang merupakan anak buahnya semenjak zaman Revolusi, menghadiri pernikahannya yang jauh dipelosok, hingga pada saatnya, melalui intel-intelnya menghembuskan isu "dewan jenderal".
Dan ketika Untung yang fanatik kepada Bung Karno
menyampaikan kepada Suharto bahwa dia akan menangkap para jenderal yang
akan melakukan kudeta dan membawanya kepada Presiden Soekarno, dengan
bersemangat Suharto menyambut dan merestuinya. Soeharto mengatakan sikap
itu sudah benar. "Bagus kalau Kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan raguragu,"
demikian kata Soeharto menurut Letkol. Untung, seperti yang diceritakan
kepada dan kemudian dikisahkan kembali oleh Subandrio, yang selama orba
ditahan bersama Letkol. Untung. Malahan, menurut penjelasan Untung,
Soeharto menawarkan bantuan pasukan. "Kalau perlu bantuan pasukan akan saya bantu. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah."
Selaku Panglima Kostrad, Soeharto memberi perintah dengan telegram No. T.220/9 pada tanggal 15 September 1965 dan mengulanginya lagi dengan radiogram No. T.239/9 tanggal 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya Jawa Timur dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro Jawa Tengah (Batalyon dimana Untung pernah jadi Komandannya), untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan tempur penuh. Ketika datang ke Kostrad, diterima oleh Soeharto dan juga dilakukan inspeksi pasukan pada tanggal 29 September 1965. Sedangkan Yon 328 Siliwangi datang dengan tanpa peluru. Tanggal 30 September 1965 jam 17.00, Yon 454 diperintahkan ke Lubang Buaya untuk bergabung dengan pasukan lainnya guna melakukan gerakan pada malam harinya.
Suharto benar-benar telah mempersiapkan untuk melaksanakan apa yang perbah disampaikan Letkol. Untung kepadanya. Dalam pikirannya sudah terbayang akan "musuhmusuhnya" yang bakal tidak berdaya. Bahkan, ketika malam 30 September 1965 Kol. A. Latief mendatangi Suharto di RS PAD dan melaporkan bahwa "operasi" akan dilangsungkan beberapa jam lagi, Suharto ayem-ayem saja. Tiada bantahan tiada penolakan. Dalam kepalanya sudah tergambar "kemenangannya". Menurut seorang saksi, tulis Dr. Subandrio, segera sesudah itu Soeharto segera berangkat ke Kostrad untuk konsolidasi pasukan dan keliling kota melihat-lihat keadaan, lewat di depan RRI, kantor Telkom, dan TVRI.
Kedatangan-kedatangan Kolonel Latief pada tanggal 18 September, 28 September, 29 September, dan 30 September 1965 malam hari di RS PAD, yang melaporkan, membicarakan, dan mematangkan rencana gerakan penculikan para jenderal, tanpa ada pencegahan atau larangan dari Soeharto, ataupun melaporkannya kepada atasan maupun kepada Presiden, adalah merupakan bukti persetujuan dan keterlibatan Soeharto atas penculikan bahkan pembunuhan atas para Jenderal yaitu A.H. Nasution, A.Yani, Suprapto , S Parman, MT Haryono, Sutoyo dan D.I. Panjaitan.
Dan sesungguhnya, itulah yang terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965. Tidakkah Suharto adalah dalang dari pembunuhan para Jenderal AD yang merupakan rivalnya itu? Untuk lebih jelasnya, silahkan ikuti artikel dibawah ini. Salam: Y. T. Taher, 5 Oktober 2013.
Kesaksian mantan Menteri Pengairan Dasar zaman Orde Lama HARYA SUDIRJA bahwa Bung Karno menginginkan Menpangad Letjen Achmad Yani menjadi Presiden kedua bila kesehatan Proklamatoritu menurun, ternyata sudah lebih dahulu diketahui isteri dan putra-putri pahlawan revolusi tersebut.
Selaku Panglima Kostrad, Soeharto memberi perintah dengan telegram No. T.220/9 pada tanggal 15 September 1965 dan mengulanginya lagi dengan radiogram No. T.239/9 tanggal 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya Jawa Timur dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro Jawa Tengah (Batalyon dimana Untung pernah jadi Komandannya), untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan tempur penuh. Ketika datang ke Kostrad, diterima oleh Soeharto dan juga dilakukan inspeksi pasukan pada tanggal 29 September 1965. Sedangkan Yon 328 Siliwangi datang dengan tanpa peluru. Tanggal 30 September 1965 jam 17.00, Yon 454 diperintahkan ke Lubang Buaya untuk bergabung dengan pasukan lainnya guna melakukan gerakan pada malam harinya.
Suharto benar-benar telah mempersiapkan untuk melaksanakan apa yang perbah disampaikan Letkol. Untung kepadanya. Dalam pikirannya sudah terbayang akan "musuhmusuhnya" yang bakal tidak berdaya. Bahkan, ketika malam 30 September 1965 Kol. A. Latief mendatangi Suharto di RS PAD dan melaporkan bahwa "operasi" akan dilangsungkan beberapa jam lagi, Suharto ayem-ayem saja. Tiada bantahan tiada penolakan. Dalam kepalanya sudah tergambar "kemenangannya". Menurut seorang saksi, tulis Dr. Subandrio, segera sesudah itu Soeharto segera berangkat ke Kostrad untuk konsolidasi pasukan dan keliling kota melihat-lihat keadaan, lewat di depan RRI, kantor Telkom, dan TVRI.
Kedatangan-kedatangan Kolonel Latief pada tanggal 18 September, 28 September, 29 September, dan 30 September 1965 malam hari di RS PAD, yang melaporkan, membicarakan, dan mematangkan rencana gerakan penculikan para jenderal, tanpa ada pencegahan atau larangan dari Soeharto, ataupun melaporkannya kepada atasan maupun kepada Presiden, adalah merupakan bukti persetujuan dan keterlibatan Soeharto atas penculikan bahkan pembunuhan atas para Jenderal yaitu A.H. Nasution, A.Yani, Suprapto , S Parman, MT Haryono, Sutoyo dan D.I. Panjaitan.
Dan sesungguhnya, itulah yang terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965. Tidakkah Suharto adalah dalang dari pembunuhan para Jenderal AD yang merupakan rivalnya itu? Untuk lebih jelasnya, silahkan ikuti artikel dibawah ini. Salam: Y. T. Taher, 5 Oktober 2013.
Soeharto Dalang Pembunuhan Ahmad Yani....?!
Posted by Jo
10 months ago
Kesaksian mantan Menteri Pengairan Dasar zaman Orde Lama HARYA SUDIRJA bahwa Bung Karno menginginkan Menpangad Letjen Achmad Yani menjadi Presiden kedua bila kesehatan Proklamatoritu menurun, ternyata sudah lebih dahulu diketahui isteri dan putra-putri pahlawan revolusi tersebut.
"Bapak sendiri sudah cerita kepada kami (isteri dan putra-putri Yani) bahwa dia bakal menjadi Presiden.Waktu itu Bapak berpesan, jangan dulu bilang sama orang lain", ujar putra-putri Achmad Yani : Rully Yani, Elina Yani,Yuni Yani dan Edi Yani - Sebelumnya diberitakan dalam acara diskusi "Jakarta - Forum Live, Peristiwa G-30S/PKI, Upaya Mencari Kebenaran" terungkap kesaksian baru, yaitu beberapa hari sebelum peristiwa kelam dalam sejarah republik ini meletus, Bung Karno pernah meminta Menpangad Letjen Achmad Yani menggantikan dirinya menjadi presiden bila kesehatan proklamator itu menurun.
Kesaksian tersebut disampaikan salah satu peserta diskusi: Harya Sudirja. Menurut mantan Menteri Pengairan Dasar zaman Orde Lama ini, hal itu disampaikan oleh Letjen Achmad Yani secara pribadi pada dirinya dalam perjalanan menuju Istana Bogor tanggal 11 September 1965.
Putra-putri Achmad Yani kemudian menjelaskan, kabar baik itu sudah diketahui pihak keluarga 2 (dua) bulan sebelum meletusnya peristiwa berdarah G-30S/PKI. "Waktu itu ketika pulang dari rapat dengan Bung Karno beserta para petinggi negara, Bapak cerita sama ibu bahwa kelak bakal jadi presiden", kenang Yuni Yani, putri keenam Achmad Yani.
"Setelah cerita sama ibu, esok harinya sepulang main golf, Bapak juga menceritakan itu kepada kami putra-putrinya. Sambil tertawa, kami bertanya, "Benar nih Pak?" Jawab Bapak ketika itu, "Ya", ucapnya. Menurut Yuni, berita baik itu juga mereka dengar dari ajudan Bapak yang mengatakan Bapak bakal jadi presiden. Makanya ajudan menyarankan supaya siap-siap pindah ke Istana.
Sedangkan menurut Elina Yani (putri keempat), saat kakaknya Amelia Yani menyusun buku tentang Bapak, mereka menemui Letjen Sarwo Edhie Wibowo sebagai salah satu nara sumber. "Waktu itu, Pak Sarwo cerita bahwa Bapak dulu diminta Bung Karno menjadi presiden bila kesehatan Proklamator itu tidak juga membaik. Permintaan itu disampaikan Bung Karno dalam rapat petinggi negara. Di situ antara lain, ada Soebandrio, Chaerul Saleh dan AH Nasution", katanya. "Bung Karno bilang, Yani kalau kesehatan saya belum membaik kamu yang jadi Presiden", kata Sarwo Edhie seperti ditirukan Elina.
Pada prinsipnya, tambah Yuni pihak keluarga senang mendengar berita Bapak bakal jadi Presiden. Namun ibunya (Alm. Nyonya Yayuk Ruliah A.Yani) usai makan malam membuat ramalan bahwa kalau Bapak tidak jadi presiden, bisa dibunuh. "Ternyata ramalan ibu benar. Belum sempat menjadi presiden menggantikan Bung Karno, Bapak dibunuh secara kejam dengan disaksikan adik-adik kami. Untung dan Eddy. "Kalau Bapakmu tidak jadi presiden, ya nangendi (bahasa Jawa artinya: kemana) bisa dibunuh", kata Nyonya Yani seperti ditirukan Yuni. Lalu siapa pembunuhnya ?
Menurut Yuni, Ibu dulu mencurigai dalang pembunuhan ayahnya adalah petinggi militer yang membenci Achmad Yani. Dan yang dicurigai adalah Soeharto. Mengapa Soeharto membenci A. Yani ? Yuni mengatakan, sewaktu Soeharto menjual pentil dan ban yang menangkap adalah Bapaknya. "Bapak memang tidak suka militer berdagang. Tindakan Bapak ini tentunya menyinggung perasaan Soeharto".
"Selain itu, usia Bapak juga lebih muda, sedangkan jabatannya lebih tinggi dari Soeharto", katanya. Sedangkan Rully Yani (putri sulung) yakin pembunuh Bapaknya adalah prajurit yang disuruh oleh atasannya. "Siapa orangnya, ini yang perlu dicari", katanya. Mungkin juga, lanjutnya, orang-orang yang tidak suka terhadap sikap Bapak yang menentang upaya mempersenjatai buruh, nelayan dan petani. "Bapak dulu kan tidak suka rakyat dipersenjatai. Yang bisa dipersenjatai adalah militer saja", katanya. Menurut dia, penjelasan mantan tahanan politik G-30S/PKI Abdul Latief bahwa Soeharto dalang G-30S/PKI sudah bisa menjadi dasar untuk melakukan penelitian oleh pihak yang berwajib. "Ini penting demi lurusnya sejarah. Dan kamipun merasa puas kalau sudah tahu dalang pembunuhan ayah kami", katanya.
Dia berharap, kepada semua pelaku sejarah yang masih hidup
bersaksilah supaya masalah itu bisa selesai dengan cepat dan tidak
menjadi tanda tanya besar bagi generasi muda bangsa ini.
Kesaksian istri dan putra-putri A. Yani bahwa Bapaknyalah yang ditunjuk Bung Karno untuk jadi Presiden kedua menggantikan dirinya, dibenarkan oleh mantan Asisten Bidang Operasi KOTI (Komando Operasi Tertinggi), Marsekal Madya (Purn) Sri Mulyono Herlambang dan ajudan A. Yani, Kolonel (Purn) Subardi.
Apa yang diucapkan putra-putri Jenderal A. Yani itu benar. Di kalangan petinggi militer informasi tersebut sudah santer dibicarakan. Apalagi hubungan Bung Karno dan A. Yani sangat dekat, ujar Herlambang. Baik Herlambang maupun Subardi menyebutkan, walaupun tidak terdengar langsung pernyataan Bung Karno bahwa dia memilih A. Yani sebagai Presiden kedua jika ia sakit, namun keduanya percaya akan berita itu.
"Hubungan Bung Karno dengan A. Yani akrab dan Yani memang terkenal cerdas, hingga wajar jika kemudian ditunjuk presiden", kata Herlambang. "Hubungan saya dengan A. Yani sangat dekat, hingga saya tahu betapa dekatnya hubungan Bung Karno dengan A. Yani", ujar Herlambang yang saat ini sedang menyusun buku putih peristiwa G-30S/PKI.
Menyinggung tentang kecurigaan Yayuk Ruliah A. Yani (istri A. Yani), bahwa dalang pembunuh suaminya adalah Soeharto, Herlambang mengatakan bisa jadi seperti itu. Pasalnya 2 (dua) bulan sebelum peristiwa berdarah PKI, Bung Karno sudah menunjuk A. Yani sebagai penggantinya.
Tentu saja hal ini membuat iri orang yang berambisi jadi presiden. Waktu itu peran CIA memang dicurigai ada, apalagi AS tidak menyukai Bung Karno karena terlalu vokal. Sedangkan Yani merupakan orang dekat Bung Karno. Ditambahkan Herlambang, hubungan A. Yani dengan Soeharto saat itu kurang harmonis. Soeharto memang benci pada A. Yani. Ini gara-gara Yani menangkap Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban. Selain itu Soeharto juga merasa iri karena usia Yani lebih muda, sementara jabatannya lebih tinggi.
Terlebih saat A. Yani menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Bung Karno meningkatkan status KASAD menjadi Panglima Angkatan Darat. "Dan waktu itu A. Yani bisa melakukan apa saja atas petunjuk Panglima Tertinggi Soekarno, tentu saja hal ini membuat Soeharto iri pada A. Yani. Dijelaskan juga, sebenarnya mantan presiden Orde Baru itu tidak hanya membenci A. Yani,tapi semua Jenderal Pahlawan Revolusi.
D.I. Panjaitan dibenci Soeharto gara-gara persoalan pengadaan barang dan juga berkaitan dengan penjualan pentil dan ban. Sedangkan kebenciannya terhadap MT. Haryono berkaitan dengan hasil sekolah di SESKOAD. Disitu Soeharto ingin dijagokan tapi MT.Haryono tidak setuju. Terhadap Sutoyo, gara-gara ia sebagai Oditur dipersiapkan untuk mengadili Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban itu.
Menurut Subardi, ketahuan sekali dari raut wajah Soeharto kalau dia tidak menyukai A. Yani. Secara tidak langsung istri A. Yani mencurigai Soeharto. Dicontohkan, sebuah film Amerika yang ceritanya AD di suatu negara yang begitu dipercaya pemerintah, ternyata sebagai dalang kudeta terhadap pemerintahan itu. Caranya dengan meminjam tangan orang lain dan akhirnya pimpinan AD itulah yang menjadi presiden. "Peristiwa G-30S/PKI hampir sama dengan cerita film itu", kata Nyonya Yani seperti ditirukan Subardi.
Kesaksian istri dan putra-putri A. Yani bahwa Bapaknyalah yang ditunjuk Bung Karno untuk jadi Presiden kedua menggantikan dirinya, dibenarkan oleh mantan Asisten Bidang Operasi KOTI (Komando Operasi Tertinggi), Marsekal Madya (Purn) Sri Mulyono Herlambang dan ajudan A. Yani, Kolonel (Purn) Subardi.
Apa yang diucapkan putra-putri Jenderal A. Yani itu benar. Di kalangan petinggi militer informasi tersebut sudah santer dibicarakan. Apalagi hubungan Bung Karno dan A. Yani sangat dekat, ujar Herlambang. Baik Herlambang maupun Subardi menyebutkan, walaupun tidak terdengar langsung pernyataan Bung Karno bahwa dia memilih A. Yani sebagai Presiden kedua jika ia sakit, namun keduanya percaya akan berita itu.
"Hubungan Bung Karno dengan A. Yani akrab dan Yani memang terkenal cerdas, hingga wajar jika kemudian ditunjuk presiden", kata Herlambang. "Hubungan saya dengan A. Yani sangat dekat, hingga saya tahu betapa dekatnya hubungan Bung Karno dengan A. Yani", ujar Herlambang yang saat ini sedang menyusun buku putih peristiwa G-30S/PKI.
Menyinggung tentang kecurigaan Yayuk Ruliah A. Yani (istri A. Yani), bahwa dalang pembunuh suaminya adalah Soeharto, Herlambang mengatakan bisa jadi seperti itu. Pasalnya 2 (dua) bulan sebelum peristiwa berdarah PKI, Bung Karno sudah menunjuk A. Yani sebagai penggantinya.
Tentu saja hal ini membuat iri orang yang berambisi jadi presiden. Waktu itu peran CIA memang dicurigai ada, apalagi AS tidak menyukai Bung Karno karena terlalu vokal. Sedangkan Yani merupakan orang dekat Bung Karno. Ditambahkan Herlambang, hubungan A. Yani dengan Soeharto saat itu kurang harmonis. Soeharto memang benci pada A. Yani. Ini gara-gara Yani menangkap Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban. Selain itu Soeharto juga merasa iri karena usia Yani lebih muda, sementara jabatannya lebih tinggi.
Terlebih saat A. Yani menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Bung Karno meningkatkan status KASAD menjadi Panglima Angkatan Darat. "Dan waktu itu A. Yani bisa melakukan apa saja atas petunjuk Panglima Tertinggi Soekarno, tentu saja hal ini membuat Soeharto iri pada A. Yani. Dijelaskan juga, sebenarnya mantan presiden Orde Baru itu tidak hanya membenci A. Yani,tapi semua Jenderal Pahlawan Revolusi.
D.I. Panjaitan dibenci Soeharto gara-gara persoalan pengadaan barang dan juga berkaitan dengan penjualan pentil dan ban. Sedangkan kebenciannya terhadap MT. Haryono berkaitan dengan hasil sekolah di SESKOAD. Disitu Soeharto ingin dijagokan tapi MT.Haryono tidak setuju. Terhadap Sutoyo, gara-gara ia sebagai Oditur dipersiapkan untuk mengadili Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban itu.
Menurut Subardi, ketahuan sekali dari raut wajah Soeharto kalau dia tidak menyukai A. Yani. Secara tidak langsung istri A. Yani mencurigai Soeharto. Dicontohkan, sebuah film Amerika yang ceritanya AD di suatu negara yang begitu dipercaya pemerintah, ternyata sebagai dalang kudeta terhadap pemerintahan itu. Caranya dengan meminjam tangan orang lain dan akhirnya pimpinan AD itulah yang menjadi presiden. "Peristiwa G-30S/PKI hampir sama dengan cerita film itu", kata Nyonya Yani seperti ditirukan Subardi.
Catatan penulis:
Saya ambil artikel ini dari berbagai sumber dan milis-milis dengan harapan klarifikasi dari para pembaca yang budiman. Sampai saat ini masih menggelayut pertanyaan di setiap kepala rakyat Indonesia tentang bagaimana fakta yang sebenarnya dari peristiwa kelam ini. Masih ada tokoh-tokoh dan narasumber dari kisah kelam sejarah masa lalu ini yang masih hidup. Disinilah perlunya penuntasan 1000/o dan jawaban yang adil dan penyelidikan yang transparan bagi masalah yang menyangkut peristiwa G30S. Masih diperlukan penyelidikan lanjutan yang independen untuk menyingkap fakta-fakta seputar sejarah kelam ini. JAS MERAH : Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah! demikian kata Bung Karno.
http://www.memobee.com/bulcti-terbaru-g30s-plci-soeharto-dalang-pembunuhanahmad-yani-7262-eii.html (POsted by JO )
Jakarta, Oktober 2013
ExLibris 1965 <exlibris1965@gmail.com>
Sumber:
http://www.sumbawanews.com/berita/suharto-dalang-pembunuhan-para-jenderal
Pembagian Tugas Penculikan G30S/PKI
https://bukupaket.wordpress.com/2012/12/12/pembagian-tugas-penculikan-g30spki/
1. Pasukan Pasopati
Tugas pasukan pasopati adalah menculik para jendral pimpinan TNI-AD
dan membawanya ke lubang buaya. Kekuatan bersenjata yang tergabung dalam
pasukan pasopati terdiri atas satu batalyon
infantri (minus) dari brigade kolonel inf. A.Latief, satu kompi
Tjakrabirawa dari batalion pimpinan letkol inf.Untung, satu peleton dari
batalion infantri pimpinan mayor inf. Sukimo/Kapten Inf. Kuntjoro, dan
pleton-pleton sukwa PKI.
Lettu Inf. Dul Arief yang bertindak sebagai pimpinan pasukan pasopati
segera mengumpulkan pasukandalam formasi yang telah ditentukan
sebelumnya, yaitu sebagai berikut:
- Pasukan yang bertugas menculij Jendral TNI A.H. Nasution di bawah pimpinan Pelda Djahurub, anak buah Letkol Inf. Untung, dengan kekuatan lebih kurang satu kompi pasukan bersenjata dan satu peleton sukwan PKI.
- Pasukan yang ditugaskan menculik Letjen TNI A.Yani di bawah pimpinan Peltu Mukidjan, anak buah Kolonel Inf. A. Latief dengan kekuatan lebih kurang satu kompi pasukan berseenjata dan dua regu sukwan PKI
- Pasukan yang ditugasi menculik Mayjen TNI Soeprapto di bawah pimpinan Serda Sulaiman, anak buah Letkol Inf. Untung, dengan kekuatan lebih kurang satu peleton pasukan bersenjata dan satu kelompok sukwan PKI.
- Pasukan yang di tugasi menculik Mayjen TNI S.Parman di bawah pimpinan Serma Satar, anak buah Letkol Inf. Untung, dengan kekuataan lebih kurang satu peleton pasukan bersenjata dan satu kelompok sukwan PKI.
- Pasukan yang ditugaskan menculik Mayjen TNI Haryono M.T dipimpin oleh Serma Bungkus, anakn buah Letkol Inf.Untung dengan kekuatan lebih kurang satu peleton pasukan bersenjata dan kelompok sukwan PKI.
- Pasukan yang ditugasi menculik Brigjen TNI Sutojo S. di bawah pimpinan Serma Surono, anak buah Letkol Inf. Untung dengan kekuatan kurang lebih satu peleton pasukan bersenjata dan satu kelompok sukwan PKI.
- Pasukan yang ditugasi menculik Brigjen TNI D.I Pandjaitan di bawah pimpinan Serda Sukardjo anak buah Kapten Inf. Kuntjoro dengan kekuatan lebih kurang satu peleton pasukan bersenjata dan satu kelompok sukwan PKI.
2. Pasukan Bima Sakti
Kekuatan bersenjata yang di alokasikan kepada pasukan bima sakti
terdiri dari atas satu batalion infantri di pimpin oleh Mayor Inf.
Bambang Supeno, dan satu batalion infantri yang di pimpin oleh Kapten
Inf. Kuncoro, empat batalion sukwan PKI satu kompi infantri di pimpin
oleh Kapten Suradi. Pasukan Bima Sakti bertugas pokok menguasai kota
yaitu :
- Sektor jakarta
- Sektor jatinegara
- Sektor Senen dan Kemayoran
- Sektor Tanjung Priok
- Sektor Kebayoran Lama
- Sektor Grogol
3. Pasukan Pasukan Gatotkaca
kekuatan bersenjata yang tergabung dalam pasukan Gatotkaca terdiri
atas satu batalion pimpinan Mayor Udara Soejono dan pasukan-pasukan
sukwan dan sukwati PKI. Pasukan ini dibawah pimpinan Mayor Udara Gathut
Soekrisno berkedudukan di basis gerakabn lubang buaya. Satuan ini
berfungsi sebagai pasukan cadangan yang bertugas menampung tawanan hasil
penculikan serta melaksanakan pembunihan dan penguburan korban-korban
penculikan.
Aksi Penculikan
1). Usaha penculikan terhadap Jendral TNI A.H Nasution
Pasukan yang ditugasi menculik Jendral Tni A.H Nasution di bawah
pimpinan Pelda Djahurub dengan berkendaraan truk berangkat dari luban
buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00 menuju ke kediaman
Jendral TNI A.H Nasution di jalan teuku Umar Nomor 40 Jakarta.
Ibu Nasution ketika mengetahui ada sejumlah orang bersenjata masuk
secara paksa ke dalam rumah segera mengunci pintu kamar dan
memberitahukan Jendral TNI A.H Nasution tentang kedatangan orang-orang
berseragam yang mungkin bermaksud tidak baik. bapak Nasution kurang
yakin akan keterangan ibu Nasution dan segera membuka pintu kamar.
ketika melihat pintu di buka, anggota penculika segera melepaskan
tembakan ke arah Jendral TNI A.H Nasution seketika itu beliau
menjatuhkan diri ke lantai, dan ibu Nasution cepat-cepat menutup dan
mengunci pintu kamar kembali. Dengan meamnajt tembok samping rumah
Jendral TNI A.H Nasution berhasil menyelamatkan diri.
2). Penculikan terhadap Letjen TNI A. Yani
Pasukan yang bertugas menculik Letjen TNI A.Yani di pimpin oleh Peltu
Mukidjan berangkat dari lubang buaya pada tanggal 1 Oktober 1965
sekitar pukul 03.00. Setiba di rumah Letjen TNI A.Yani di jalan
Latuharhary Nomor 6 Jakarta. Sebagian Penculik menuji ke kediaman Letjen
TNI A. YAni dan mengetuk pintu yang di bukkakan oleh seorang pembantu
rumah tangga. Ibu Yani malam itu sedang berada di kediaman resmi
Men/Pangad di taman Suropati. Salah seorang pasukan penculik
menyampaikan bahwa beliau di panggil presiden, ketika beliau menjawab
bahwa hendak mandi dulu maka salah seorang anggota menagatakan “Tidak
usah” sambil menodongkan senjata . Melihat sikap kurang ajar penceulik
tersebut beliau sangat marah dan memukul hingga jatuh. tapi seketika
itu juga serda Gijadi salah seorang penculik menembak baliau dari
belakang sengan senjata Thomson hinga ronoh tujuh butir peluru menembus
tubuhnya.
3). Penculikan Terhadap Mayjen TNI Soeprapto
Pasukan yang di pimpin oleh Serda Sulaiman berangkat dari lubang
buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00. Penculik memasuki
kediaman Mayjen TNI Soeprapto di jalan Besuki Nomor 19 Jakarta dan
mengetuk pintunya. Di teras sudah menunggu beberapa orang pasukan
penculik, Serda Sulaiman mengatakan bahwa Mayjen TNI Soeprapto di
perintahkan untuk menghadap Presiden Soekarno segera. Mereka di
perintahkan untuk menunggu karena akan berganti pakaian terlebih dahulu,
Para penculik melarang dengan kasar dan kemudian menaikkan dengan paksa
ke dalam truk yang telah tersedia.
4).Penculikan Terhadap Mayjen TNI S.Parman
Pasukan yang di pimpin oleh Serma Satar, berangkat dari lubang buaya
pada tanggal 1 Oktober 11965. Setibanya di kediaman Mayjen TNI S.Parman
di jalan Samsurizal Nomor 32, Jakarta, Di luar telah menunggu pada
penculik yang mengatakan bahwa beliau di perintahkan untuk menghadap
presiden. Ibu S. Parman mulai curiga akan tingkah laku mereka yang
demiian kasar. beliau menanyakan surat perintah panggilan dari istana
Presiden. beliau menjawah surat tersebut ada pada Pelda Yanto di luar.
Sambil melangkah beliau meminta ibu S Parman agar menelpon Letjen TNI A.
Yani untuk melaporkan keadan tersebut, Ternyata kabel telepon sudah
dalam keadan putus. kemudian mayjen TNI S.Parman di masukkan ke dalam
kendaraan kemudian di bawa ke lubang buaya.
5). Penculikan Terhadap Mayjen TNI Haryono M.T
Pasukan penculik yang di pimpin oleh Serma Bungkus berangkat dari
lubang buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00 ke jalan
Prambanan Nomor 8 Jakarta. Kemudian penculik memberitahukan kepada ibu
Haryono bahwa bapak di panggil oleh presiden, kemudia ibu memberitahukan
kepada bapak yang masih di kamar tidur. Beliau memberitahukan agar
mereka itu datang lagi sekitar pukul 08.00 kemudian penculik memaksa
agar beliau berangkat malam itu juga. Beliau menuruh anak beserta ibunya
pindah ke kamar sebelah. kemudian para penculik berteriak meminta
beliau untuk segera keluar. Oleh karena beliau tidak memenuhi perintah
tersebut mereka melepaskan tembakan ke pintu yang terkunci. pada saat
itu beliau berusaha merebut senjata salah seorang anggota pasukan
penculik, tetapi gagal dan bersamaaan dengan itu beliau di tusuk
beberapa kali dengan sangkur, kemudian beliau di seret dan di masukkan
ke truk yang sudah tersedia.
6). Penculikan Terhadap Brigjen TNI Sutojo S
Pasukan penculik yang di pimpin Serma Surono berangkat dari lubang
buaya pada tangal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00 kemudian mereka
menuju ke jalan Sumenep Nomor 17 jakarta, melalui garasi di sebelah
kanan. Dengan todongan sangkur mereka meminta kepada pembantu rumah
tangga untuk menyerahkan kunci yang menuju kamar tengah, setelah membuka
pintu mereka menerobos masuk dan mengatakan kepada Brigjen TNI Sutojo S
bahwa beliau dipanggil oleh presiden. kemudian mereka membawa beliau ke
lubang buaya.
7). Penculikan terhadap Brigjen TNI D.I Pandjaitan
Pasukan penculik di pimpin oleh Serda Sukardjo, para penculik membuka
pintu kediaman Brigjen TNI D.I Pandjaitan di jl. Hasanudin Nomor 53
jakarta dengna paksa, Kemudian mereka menembak dua orang keponakan
beliau yang saat itu sedang tidur di lantai atas. salah seorang di
antaranya tewas. kemudian para penculik berteriak memanggil Brigjen TNI
D.I Pandjaitan supaya keluar untuk menghadap presiden. Setibanya di
halaman beliau tidak dapat menahan amarahnya atas sikap para anggota
pasukan penculik terhadapnya. Beliau di pukul dengan popor senjata
hingga jatuh. pada saat itu juga dua orang anggota penculik menembaknya
dengan senjata otomatis. Brigjen TNI D.I Pandjaitan gugur pada saat itu
juga, Jenazahnya dimasukkan ke dalam salahsatu kendaraan yang di
siapkan, kemudian di bawa ke lubang buaya.
1. Sebelum Peristiwa 1 Oktober 1965 (Gestok). Tampilkan semua posting
Selasa, 30 September 2014
http://soehartobukanpahlawan.blogspot.co.id/search/label/1.%20Sebelum%20Peristiwa%201%20Oktober%201965%20%28Gestok%29
Soeharto dendam Pranoto bongkar kasus korupsinya di Jawa Tengah
Soeharto dendam Pranoto bongkar kasus korupsinya di Jawa Tengah
Reporter : Ramadhian Fadillah | Selasa, 30 September 2014 03:05
Merdeka.com - Pranoto Reksosamodra sejatinya teman karib Soeharto. Saat Jepang membuka pendidikan Pembela Tanah Air (PETA), kedua pemuda tersebut terpanggil untuk mendaftar.
Pranoto dan Soeharto sama-sama lulus dengan hasil memuaskan sebagai kompandan peleton. Sebentar bertugas, keduanya dipanggil mengikuti pendidikan lanjutan sebagai komandan kompi di Bogor.
Karir Pranoto dan Soeharto juga maju beriringan. Tahun 1948, Letkol Pranoto diangkat menjadi Komandan Brigade IX/Divisi III/Diponegoro di Muntilan, sementara Letkol Soeharto menjadi Komandan Brigade X di Yogyakarta.
Saat Soeharto sebagai komandan serangan Umum 1 Maret, Pranoto dan pasukannya kebagian tugas menyerang Yogyakarta dari Utara lewat Kali Code.
Kolonel Pranoto juga yang menggantikan Kolonel Soeharto menjadi Panglima Tentara & Teritorium IV/Diponegoro. Pada saat itu Panglima menjabat penguasa perang daerah (Paperda).
Di sinilah hubungan kedua perwira Angkatan Darat ini memburuk. Penyebabnya saat tim pemberantasan korupsi Angkatan Darat turun ke daerah-daerah menyelidiki dugaan korupsi para panglima. Tim ini diketuai oleh Brigjen Soengkono.
Pranoto dan Soeharto sama-sama lulus dengan hasil memuaskan sebagai kompandan peleton. Sebentar bertugas, keduanya dipanggil mengikuti pendidikan lanjutan sebagai komandan kompi di Bogor.
Karir Pranoto dan Soeharto juga maju beriringan. Tahun 1948, Letkol Pranoto diangkat menjadi Komandan Brigade IX/Divisi III/Diponegoro di Muntilan, sementara Letkol Soeharto menjadi Komandan Brigade X di Yogyakarta.
Saat Soeharto sebagai komandan serangan Umum 1 Maret, Pranoto dan pasukannya kebagian tugas menyerang Yogyakarta dari Utara lewat Kali Code.
Kolonel Pranoto juga yang menggantikan Kolonel Soeharto menjadi Panglima Tentara & Teritorium IV/Diponegoro. Pada saat itu Panglima menjabat penguasa perang daerah (Paperda).
Di sinilah hubungan kedua perwira Angkatan Darat ini memburuk. Penyebabnya saat tim pemberantasan korupsi Angkatan Darat turun ke daerah-daerah menyelidiki dugaan korupsi para panglima. Tim ini diketuai oleh Brigjen Soengkono.
Merdeka.com - Kolonel Pranoto menuliskan peristiwa ini dalam
catatan pribadinya. Buku catatan ini kemudian disunting Imelda Bachtiar
dan diterbitkan Kompas tahun 2014 dengan judul Catatan Jenderal Pranoto
dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya.
Pranoto mengaku memberikan fasilitas dan keleluasaan untuk tim audit tersebut selama bergerak di wilayah militernya.
Pranoto mengaku memberikan fasilitas dan keleluasaan untuk tim audit tersebut selama bergerak di wilayah militernya.
Tim ini menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Kolonel Soeharto
saat menjabat Panglima di Jawa Tengah. Antara lain barter liar,
monopoli cengkeh dari asosiasi gabungan pabrik rokok kretek Jawa Tengah.
Ada juga penjualan besi tua yang disponsori sejumlah pengusaha Tionghoa
seperti Lim Sioe Liong.
Brigjen Soengkono melaporkan hal ini pada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution yang. Soeharto sempat malu dan berniat mengundurkan diri karena kasus ini. Namun Nasution menolaknya.
Nasution pula yang kemudian menyelesaikan kasus ini. Soeharto akan diberi sanksi administrasi sedangkan Pranoto diperintahkan menertibkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Jawa Tengah.
Masalah rupanya belum selesai. Soeharto sudah menaruh dendam pada Pranoto. Dia termakan kasak kusuk yang menyebut Pranotolah yang meminta tim Angkatan Darat menyelidiki masalah ini.
Brigjen Soengkono melaporkan hal ini pada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution yang. Soeharto sempat malu dan berniat mengundurkan diri karena kasus ini. Namun Nasution menolaknya.
Nasution pula yang kemudian menyelesaikan kasus ini. Soeharto akan diberi sanksi administrasi sedangkan Pranoto diperintahkan menertibkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Jawa Tengah.
Masalah rupanya belum selesai. Soeharto sudah menaruh dendam pada Pranoto. Dia termakan kasak kusuk yang menyebut Pranotolah yang meminta tim Angkatan Darat menyelidiki masalah ini.
Merdeka.com - Wakil Kasad Letjen Gatot Soebroto memanggil kedua anak buahnya ini. Dia meminta keduanya berbaikan. Namun Soeharto sempat menolak.
"Bagaimanapun aku merasa dipermalukan dan dicoreng-moreng oleh sebab perbuatannya," kata Soeharto.
Pranoto
membela diri. "Demi Allah, laporan-laporan itu bukanlah aku yang
melakukan dan aku pun tak perlu menuduh dari mana ataupun dari siapa
laporan itu dibuat. Hal itu tidak benar dan kalau perlu kolonel dapat
menuntutnya."
Letjen Gatot Subroto menyela perdebatan itu dengan gayanya yang kebapakan. Dia meminta Pranoto dan Soeharto berdamai.
"Kalian seperti anak kecil. Di hadapanku jangan pada bertengkar. Sudah bubar. Ayo pada salaman," kata Gatot.
"Kami terpaksa bersalaman. Betapapun di hati masing-masing terasa hambar," kenang Pranoto melukiskan peristiwa tahun 1960 itu.
Persahabatan dua perwira TNI ini pun berakhir.
Letjen Gatot Subroto menyela perdebatan itu dengan gayanya yang kebapakan. Dia meminta Pranoto dan Soeharto berdamai.
"Kalian seperti anak kecil. Di hadapanku jangan pada bertengkar. Sudah bubar. Ayo pada salaman," kata Gatot.
"Kami terpaksa bersalaman. Betapapun di hati masing-masing terasa hambar," kenang Pranoto melukiskan peristiwa tahun 1960 itu.
Persahabatan dua perwira TNI ini pun berakhir.
Merdeka.com -
Kelak setelah G30S meletus, Mayor Jenderal Soeharto
menahan Mayjen Pranoto dengan tuduhan terlibat aksi militer G30S yang
didalangi PKI. Tanpa pengadilan, Pranoto menjalani penahanan selama 15
tahun.
Sejumlah pihak menyangka dendam Soeharto yang melatarbelakangi penangkapan tersebut. Namun rupanya Pranoto tak mau berburuk sangka.
"Dari catatan Pak Pran, beliau juga tidak tahu apakah karena masalah itu atau yang lain. Karena itu Pak Pran selalu berharap ada pengadilan sehingga bisa menjawab semua tuduhan. Tapi pengadilan tersebut tak pernah ada," kata Imelda Bachtiar saat berbincang dengan merdeka.com.
Sejumlah pihak menyangka dendam Soeharto yang melatarbelakangi penangkapan tersebut. Namun rupanya Pranoto tak mau berburuk sangka.
"Dari catatan Pak Pran, beliau juga tidak tahu apakah karena masalah itu atau yang lain. Karena itu Pak Pran selalu berharap ada pengadilan sehingga bisa menjawab semua tuduhan. Tapi pengadilan tersebut tak pernah ada," kata Imelda Bachtiar saat berbincang dengan merdeka.com.
Sumber:
http://www.merdeka.com/peristiwa/soeharto-dendam-pranoto-bongkar-kasus-korupsinya-di-jawa-tengah-splitnews-4.html
Minggu, 15 Juni 2014
Dari Kaca Negara melihat Indonesia V
Dari Kaca Negara melihat Indonesia V
http://soehartobukanpahlawan.blogspot.co.id/search/label/3.6.2.%20Masalah%20PDI
MEGAWATI SEBAGAI IKON SEJARAH, MULAI KIPRAHNYA PADA PEMILU V REZIM ORBA (1992)
Tak dapat dimungkiri bahwa Pemilu Juni, 1992 sudah barang tentu Golkar tetap keluar sebagai pemenang. Sekalipun perolehan suaranya turun menjadi 68,1% (turun 5,1%), sedangkan PPP naik menjadi total 17% dan PDI memperoleh kenaikan yang paling besar yakni 4% menjadi 14,9%. Karena Ketua Umum Suryadi sukses menggandeng putra – putri Bung Karno. Kini ABRI dihadapkan dengan dua pilihan, satu pihak tidak boleh lalai atas isu demokratisasi yang disuarakan oleh PDI dengan clen Bung Karnonya, disisi lain juga harus mewaspadai tindakan Soeharto yang ingin menarik dukungan Islam, munculnya Habibie & pengaruh ICMI nya.
Sidang MPR pada Maret 1993 kembali menetapkan BP. Soeharto menjadi Presiden untuk ke lima kalinya,dan Pak Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden, masa bakti 1993 - 1998. Sebelum Pak Harto menetapkan wakilnya, ABRI telah terlebih dulu mendahului mengumumkan bahwa Try Sutrisno, yang merupakan mantan Panglima ABRI adalah sebagai Wakil Presiden, karena Sudharmono SH sebenarnya tidak disukai di kalangan ABRI. Oleh karenanya Pak Harto merasa di "fait accomply" dan, tampaknya ia mulai tidak percaya penuh lagi kepada ABRI. Ketika Pak Harto membentuk Kabinet barunya yang didominasi oleh (yang sebagaian memberikan stigma sebagai) musuh ABRI, yaitu Habibie dan para pendukung visi industri negara & tehnologi tinggi bagi masa depan Indonesia. Banyak yang beramsumsi bahwa Jenderal Beny Murdani diberhentikan dari Menteri Pertahanan & Keamanan dan Soeharto mempromosikan saudara iparnya, Wismoyo Aris Munandar menjadi Kepala Staff ABRI, yang beberapa tahun kemudian memilih pensiun. Jendral Faisal Tanjung, seorang muslim yang taat dan loyal terhadap Pak Harto, diangkat sebagai Panglima ABRI. Soeharto berupaya mengendalikan Golkar dengan lebih kuat dengan menunjuk seorang sipil yang setia/loyal kepadanya, bernama Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar pada 1993.(tetapi pada 1998 ibarat menusuk dari belakang?).
Sebaliknya di tubuh PDI di bawah Suryadi, Pemerintah menilai tidak lagi aman dengan memasukkan anak – anak Bung Karno. Suryadi tidak menjadi anak yang manis lagi bagi Pemerintah. Maka Pemerintah mulai aktif ikut mengendalikan PDI. Pada saat PDI menggelar konggres IV di Wisma Haji, Medan pada 21 – 25 Juli 1993, terdapat enam calon ketua umum & pemerintah menciptakan konflik internal (managemen konflik) sehingga konggres dari hari ke hari tanpa menghasilkan apa – apa. Maka pada 23 Juli 1993, Jacob Nuwawea dengan tokoh PDI Medan Edy Suparman menabrakkan jib & kijangnya ke pintu gerbang dan menguasai mimbar dengan menyatakan bahwa "konggres telah gagal". Sehingga dalam kevacuman itu 60 DPC mendesak Mega untuk menjadi Ketua Umum namun karena kehati – hatiannya, ia memilih bersikap pasif saja. Maka jalan tengahnya dibentuklah "carateker yang diketuai oleh Budi Harjono dan Latif Pujasakti selaku Sekretaris".
Usai Konggres Medan yang gagal, maka kemudian banyak DPC datang ke tempat kediaman Mega di Kebagusan untuk meminta kesediaannya agar menjadi Ketua Umum. Taufik Kiemas mencoba menjadi tuan rumah yang baik hanya sekedar melayani para simpatisannya saja. Dengan ketulusan dan keramahannya maka bak gelombang datang silih berganti & pada September 1993, setidaknya 71 cabang memberikan dukungan penuh kepada Mega. Maka barulah Taufik Kiemas ikut memprakarsai kemenangan Mega dengan membentuk team sukses yang dimotori oleh Panda Nababan cs. Maka menjelang digelarnya Konggres Luar Biasa (KLB) di Asrama Haji Sukolila, Surabaya, team sukses ini melakukan konsolidasi dengan cara bergerilya sehingga untuk menyebut para pentholan PDI pro Mega menggunakan sandi Rajawali untuk Mega, Garuda untuk Taufik dan Elang I, II dan seterusnya untuk Nababan dan teamnya. Karena begitu risistensinya Pemerintah terhadap Mega sehingga banyak hotel dan penyedia tempat keberatan untuk mengegelar acara temu Mega. Tapi ketua DPD Jatim, Sutjipto & teamnya tidak kekurangan akal baik melalui gang sempit, pintu belakang sampai mengatasnamakan sebuah perusahaan swasta, semata – mata agar konsolidasi dengan Mega tercipta dengan baik. Tekanan terhadap pengurus DPD/DPC yang pro Mega semakin masif, sehingga Ketua DPC Surakarta, Pak Makya yang mendukung pertama kali terhadap Mega terpaksa membuat pernyataan begitu kecewa memilih Mega yang ditujukan kepada berbagai pejabat sipil & militer di Jawa Tengah, karena begitu hebat tekanan yang dilakukan Pemerintah.
Pada 2 Desember 1993, KLB pun dimulai di Surabaya dan Mega pun hampir tak dapat mengikutinya sebagaimana utusan daerah – daerah yang lain yang Pro Mega. Pertentangan kembali muncul saat menentukan system pemilihan Ketua Umum, karena Ketua Carateker menghendaki system formatur yang diketuai oleh Budi Hardjono yang didukung oleh Pemerintah dan ABRI sehingga dengan demikian dapat dipastikan ia otomatis akan menjadi Ketua Umum PDI. Sebaliknya yang pro Mega meminta dengan system pemilihan langsung atau voting. Karena deadlock maka diserahkan kepada Komisi Organisasi, lagi – lagi terjadi baku hantam karena nama – nama yang pro Mega diganti sesukanya atas restu Pemerintah yang sengaja membikin markas pemantau di salah satu ruangan Gedung Komite Olah Raga Nasional Indonesia yang hanya berjarak 200 meter dari tempat KLB. Pejabat sipil & militer dengan berbagai penyamaran ikut memantau dan menghadiri sidang, yang secara inten mempersolid berbagai faksi yang ada, karena disamping kelompok Budi Hardjono ada kelompok 17 (sempalan PDI) yang dimotori oleh Yusuf Merukh & Marsusi, Dudy Singadilaga dll.) serta kelompok Pro Mega. Team sukses Mega terpaksa kucing – kucingan bahkan Yosep, harus bersembunyi di bawah tempat tidur Mega.
Pada hari terakhir, 6 Desember 1993 anggota carateker tak ada yang hadir sehingga ke 27 DPD atas sepengetahuan DPC mengadakan pertemuan yang menetapkan Mega sebagai Ketua Umum, dan baru ketahuan bahwa absennya mereka karena harus memenuhi pertemuan yang digelar oleh team pemantau Pemerintah. Dalam situasi yang tidak menentu seperti itulah Mega mengambil inisiatif dengan mengumumkan bahwa secara defacto, dirinya secara sah menjadi Ketua Umum PDIP karena setidaknya ia didukung oleh 305 DPC dan 256 Cabang atau 84% suara. Pemilihan yang ricuh tersebut alhirnya disepakati oleh kubu Mega, carateker, kelompok 17 dan DPP Peralihan, menyetujui untuk diadakan munas pada 22 – 23 Desember 1993.
Lagi – lagi Pemerintah & Markas Besar ABRI ikut campur terlampau dalam dengan menghendaki Munas hendaknya diadakan di Wisma Kopo, namun akhirnya munas diadakan di Hotel Garden, Kemang Jakarta dari 22 hingga 23 Desember 1993. Untungnya Mabes ABRI menugaskan Agum Gumelar sebagai Direktur A Bais ABRI yang merangkap menjadi Komandan Kopasus menerjemahkan penugasannya Oleh Ari Sadewo untuk mengamankan jalannya Munas ia laksanakan dengan lugas dan tegas yakni apa yang dikehendaki Munas tersebut. Maka pada jam 2200, tanggal 22 Desember 1993, hanya dalam waktu 5 menit Mega berhasil secara resmi terpilih sebagai Ketua Umum PDIP, karena sebanyak 52 fungsionaris (Ketua & Sekjen) DPD dari 27 provinsi secara aklamasi memilihnya.
Angin baru dari petinggi muda ABRI nampaknya memihak padannya. Namun karena banyaknya faksi akhirnya Mega terpaksa harus mengakomodir kepentingan mereka dengan memasukkan Gerry Mbatemoy dari kelompok Persatuan & Kesatuan (gabungan kelompok anti Mega) menjadi jajaran pengurus PDI. Akhirnya terbukti dia bikin ulah dengan dukungan Yayasan Solidaritas dan Generasi Muda PDI memprovokasi bahwa jajaran PDI harus bersih dari bau – bau komunisme sehingga tak kurang 300 orang pengurus ia laporkan ke Panglima ABRI untuk ditindak lanjuti, termasuk nama Taufik Kiemas dan ketua DPD Jawa Barat dll. (Yang setahun kemudian oleh Direktur Bais B, Hendro Priyono, nama Taufik Kiemas, dan lain - lain dinyatakan bersih diri).
Disamping itu Gerry terus bermanuver membentuk DPP PDI Resuffle di bawah kepengurusan Yusuf Merukh. Dan terjadilah penculikan Alex sang sekjen PDI serta pengkhianatan Fatimah Ahmad atas backup Kasospol ABRI dll. yang mengantarkan digelarnya Konggres IV di Medan pada 20 hingga 24 Juni 1996 yang akhirnya Pemerintah menjilat air ludahnya sendiri dengan merestui terpilihnya kembali Suryadi yang tadinya tak disukai dengan selalu menyatakan bahwa Suryadi adalah cacat hukum (karena kasus penculikan & penganiayaan dua orang anak buah Yusuf Merukh) menjadi Ketua Umum PDI dengan Butu Hutapea sebagai Sekjen dan Fatimah Ahmad sebagai bendahara.
Pada 19 Juni 1996 di Jakarta digelarlah longmars PDI Mega, sebagai protes akan digelarnya Konggres tersebut. Dan pada saat dimulai sidang, di Jakarta kembali terjadi unjuk rasa yang dikawal oleh aparat keamanan namun setibanya di Gambir mulailah tersendat karena melewati Garnisun sehingga meletuslah apa yang disebut dengan “Peristiwa Gambir” itu.
Akibatnya menyulut timbulnya mimbar bebas di depan kantor secretariat PDI Mega yang sebelumnya telah diizinkan oleh Pandam Jaya, Sutiyoso. Akan tetapi Pemerintah semakin gerah & upaya penyingkiran Megawati semakin nyata sehingga kantor secretariat PDI diserang masa yang disinyalir dilakukan oleh orang – orang suruhan Suryadi dan aparat keamanan itu sendiri. Yang terkenal dengan “Peristiwa Kudatuli” atau “Sabtu Kelabu”, 27 Juli 1996. Koban nyawa kembali bergelimpangan dan Komnas HAM yang diketuai oleh Baharuddin Lopa, memberikan laporan dengan adil. Penyebab Kudatuli sendiri, konon sebenarnya adalah berkaitan dengan rencana Menlu AS, Christhoper Warren ingin berkunjung ke Indonesia dan menemui Megawati pada 28 Juli 1996.Maka sebelumnya harus didului guna melakukan sock terapy.
Para mahasiswa yang kritis terutama yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dikomandani oleh Budiman Sujatmiko, jebolan mahasiswa UGM dianggap sebagai biang keladi terjadinya Kudatuli, sehingga menjadi target aparat keamanan, ia dan teman – temannya diburu dengan stigma sebagai klendestein atau penjelmaan neo komunisme Indonesia, sehingga umat Islam atas ingatan kolektifnya begitu mudah terpancing ikut mengutuk dan memburunya.
Karena PDI Mega didzolimi oleh Pemerintah yang sebenarnya giat mengkampanyekan "Sadarkum", untuk pembelajaran sebagai negara hukum maka Mega memilih jalur hukum untuk mengadukan pelanggaran Pemerintah & ABRI yang menginjak – injak kedaulatan rakyat dengan digelarnya Konggres Medan tersebut. Mendagri Yogie S Memet, Kasospol ABRI Sarwan Hamid dan Panglima ABRI Faisal Tanjung serta Pengurus puncak PDI Konggres Medan, melalui Ketua Team Pembela Demokrasi Indonesia R. O Tambunan (yang tokoh Golkar ini) mengadukan mereka ke Pengadilan. Taufik Kiemas beranggapan bahwa satu – satunya itulah cara perlawanan yang tepat bagi PDI Mega.
Eskalase kerusuhan social pada era 90 - an telah mulai nampak, banyak gereja yang diserang dan dibakarnya, korban jiwa berjatuhan. ABRI ikut terlibat beberapa insiden termasuk terhadap aktivis buruh Marsinah yang diculik, diperkosa dan dibunuh, di Jawa Timur. Medan pun pada April, 1994 rusuh, demontrasi yang digerakkan oleh SBSI, Dr. Mohtar Pakpahan yang akhirnya ia pun dijebloskan dalam penjara.
Nampaknya memang sudah menjadi kehendak alam, geliat dan gelombang raksasa demokrasi menerjang - terjang Nusantara sementara krisis moneter terjadi pada Juli 1997 yang menyebabkan timbulnya ultra krisis dimensional. Skandal mobil Timor terjadi pada 1996 dengan mengimpor mobil tak kurang dari 45.000 unit CBU dari Korsel, yang mendapat protes keras dari Jepang & Amerika Serikat. WTO memenangkan gugatan mereka dan Indonesia dinyatakan kalah dengan membayar klaim. Dosen UI yang amat vocal yang sekaligus sebagai pentolan Partai PUDI Sri Bintang Pamungkas mengirim kartu lebaran ke berbagai pihak dengan menuliskan penolakannya terhadap pencalonan kembali Soeharto.
Sementara Pak Harto begitu yakinnya menaikkan harga BBM dan TDL listrik, seiring panen raya, pada 4 Mei 1997, tapi tak disadarinya bahwa ini pulalah sebagai salah satu pemicu kehancuran ekonomi Indonesia & jatuhnya Pak Harto. Sementara Ketua Umum Muhammadiyah Prof. Dr. Amin Rais, menyuarakan syarat & kriteria peresiden mendatang dan secara intensif mengadakan seminar – seminar tentang kepemimpinan masa datang. Kaset – kaset pidatonya diburu banyak penggemar. Ia vokalis yang datang dari kota Pelajar, Kota Budaya atau Kota Gudeg guna melaksanakan peran kesejarahannya.
Krisis Asia menjalar dari Thailand ke Indonesia. Bila kurs pra krisis Rp 2.500/US$1 saat itu melonjak , pada Januari 1998 telah mencapai Rp 17.000/US$1 atau kehilangan 85% nilainya. Perjanjian dengan IMF pada bulan Oktober 1997 mengakibatkan ditutupnya 16 bank, akan tetapi 2 bank yang dimiliki keluarga Soeharto dibuka kembali. Dengan demikian IMF menilai bahwa KKN telah benar – benar terbukti merajalela.
BLBI yang lebih dari 634 triliun dikucurkan tapi sayangnya telah disalah gunakan oleh para debitor para konglomerat hitam yang kasusnya berlarut – larut hingga kini yang semakin kusut masai sehingga menjerat mantan gubernur BI, Burhanuddin Abdulah dkk. serta keterlibatan beberapa anggota DPR.
Dan pada akhir Januari 1998 ia menyampaikan niatnya kepada IMF untuk mencalonkan diri sebagai presiden untuk ketujuh kalinya dengan Habibie sebagai Wapres, maka rupiah kemudian mencapai kurs yang paling jelek sepanjang sejarah NKRI berdiri.
PEMILU VI DI ERA PAK HARTO, 1997
Pada kampanye Pemilu Mei 1997, merupakan refleksi ke tidak - puasan masyarakat atas keadaan social politik bangsa. Kampanye saat itu merupakan kampanye terbrutal dalam sejarah pemerintahan Pak Harto. Megawati yang didzolimi oleh rezim Seharto, terpaksa mengumumkan bahwa dirinya tidak akan menggunakan hak pilihnya dan menyerahkan sepenuhnya kepada para pendukungnya untuk menggunakan hati nuraninya. Mega berani mendeklarasikan dirinya “Golput”.
Dan berkad safarinya Mbak Tutut yang selalu didampingi oleh Gus Dur, Golkar meneguk rejeki nomplok, Golkar memperoleh 74,5%, dan PDI hanya memperoleh 11,9% (karena penggembosan Megawati, turun 3%) dan PPP mendapat 22,5%, yang ironisnya perolehan suara terwahid bagi Golkar ini seiring terjadinya masa – masa kerutuhan rezim Soeharto. Di Madura, pendukung PPP yang tidak puas membakar gedung – gedung Pemerintah & Golkar serta menghancurkan kotak – kotak suara sehingga pemungutan ulang pun harus diadakan kembali di sana. MPR kembali menetapkan HM. Soeharto sebagai presiden dan Prof. BJ. Habibe sebagai Wakil Presiden, masa bakti 1998 – 2003. Saat pelantikan Pak Harto , tanggal 11 Maret 1998, kejadian misterius terjadi yakni saat Ketua MPR, H. Harmoko mengetukkan palunya, kepala palunya terbang melesat. Yang ternyata itu pertanda alam juga atau semio buwana loka. Perjuangan Pak Harto, sisi baik Pak Harto semua seolah terkubur, yang tersisa hanyalah sisi buruknya semata. Andai saja Pak Harto itu berkenan menuruti saran dari berbagai pihak dan tuntutan hati kecilnya (TOPP) sendiri untuk tidak mau menjabat lagi presiden pada 93, tentu tidaklah menyedihkanya.
YANG MENJADI CATATAN : TERNYATA HARI WAFAT ORANG TUA, KAKEK - NENEK YANG DITABUKAN UNTUK MENGGELAR HAJAT BESAR, TERBUKTI DENGAN PENGANGKATAN PAK HARTO = HARI WAFATNYA BUNG KARNO! MINGGU KLIWON MAKA HASILNYA PALU PUN LONCAT DAN TURUN TAHTA DENGAN BEGITU TRAGIS!
SUKSESI MEGAWATI MENGGANTIAKN PRESIDEN GUS DUR
Bagi MPR, ibarat suwe mijet wohing ranti, Gus Dur dengan begitu mudah dilengserkannya setelah sebelumnya meminang Megawati untuk menjadi suksesor sebagai RI I., yang kemudian dilantiknya pada 23 Juli 2001. Ironis, stigma haram pun lenyap seiring angin sepoi – sepoi basah yang menyelusup pada diri para penyelenggara negara kala itu. Politisasi agama semakin vulgar adanya.
Tragis, sungsang bawana balik telah mulai terjadi, peri keadaban mulai ditanggalkan, sebuah komitmen, tak layak menjadi ikatan moral karena kapan saja tidak suka maka komitmen pun merana. Nilai moralitas – riligiusitas & spiritualitas telah tergadaikan & sebenarnya ini merupakan panen raya dari apa yang selama 32 tahun dikembangkan oleh rezim Orde Baru dengan managemen konfliknya. Fragmentasi politik dengan anarkisme telah menjadi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sunggu ironis, bangsaku !.
SERUNYA PEREBUTAN KURSI WAKIL PRESIDEN
Era reformasi setidaknya membuncahkan harapan demokrasi karena untuk pemilihan wakil presiden demikian serunya. Empat cawapres yakni Akbar Tanjung, Susilo Bambang Yudhoyono, Siswono Yudhohusodo dan Agum Gumelar. Karena alasan tidak ada yang menang mutlak maka begitu alot sehingga memerlukan tiga kali putaran.
a. Dalam sidang istimewa hari ke lima, pemungutan suwara cawapres - adalah sebagai berikut :Hamzah Haz (238); Akbar Tanjung (177); Susilo Bambang Yudhoyono (122); Agum Gumelar (4) dan Siswono Yidhohusodo (31) dari 609 anggota MPR yang hadir.
b. Putaran kedua : Hamzah Haz (254); Akbar Tanjung (203) dan
Susilo Bambang Yudhoyono (147), 3 abstain dan 2 rusak.
c. Putaran ke tiga : Hamhaz Haz (240), Akbar Tanjung (237) 29
abstain dan 4 tidak sah dari 610 orang anggota MPR.
Akhirnya Hamzah Haz berhasil menjadi wakil presiden R. I. dan dilantik pada 26 Juli 2001.
Karena tokoh – tokoh reformis terpesona saling mempertontonkan kecanggihannya berakrobatik demi sebuah kekuasaan, menjadikannya mereka lupa bahwa sebenarnya "semuanya mengemban amanat rakyat atas tuntutan reformasi paripurna".
Akibatnya yang terjadi adalah gelap mata sehingga tanpa mandat rakyat, anggota MPR 1999 – 2004 memandang bahwa kekisruhan berbangsa & bernegara ini akibat jeleknya UUD 1945 maka tidak ada jalan lain kecuali UUD 1945 tersebut harus dipermak, direstorasi dan diganti total sehingga memerlukan empat kali amandemen. Mereka lupa bahwa "The man is behind the gun". Undang – Undang apalagi itu UUD yang seharusnya dilaksanakan dengan baik dan benar , tepat & bersih (suci) (bener tur pener serta suci). Ini tidak (dapat) melaksanakannya namun justru mempermaknya sekehendak hatinya.
Akibatnya terjadilah "kecelakaan/tragedi/bencana konstitusi", itu !
Sebagai pemegang mandat rakyat, yang apa lagi terdiri dari insan – insan religius konon dalam mengamandemen UUD 1945 nampaknya tidak mendasarkan kepada Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa. Rakyat Sang pemilik sah kedaulatan bertanya – tanya apakah sebelum melakukan amandemen bagi yang beragama Islam telah terlebih dahulu melakukan pendekatan diri kepada Sang Khaliq guna mendapatkan "enlightening - pencerahan – NYA" ? apakah dengan laku shalat hajat, istikarah, tawasul, tahanut atau bagi yang lain dengan samadi – meditasi atau bahkan dengan berpuasa, sebagaimana dicontohkan oleh Mahapatih Gajah Mada dan raja – raja masyhur lainnya ? Sedangkan saat saban hari menggelar sidang MPR pun konon tidak didahului dan atau ditutup dengan doa. Kalau benar demikian adanya, kemanakah penghayatan spiritualitas – religiusitas mereka ? Otomatis secara spiritual Sila I Pancasila tidak lagi terjiwai !
Oleh sebab itu keputusan apapun yang diambil tidak pernah mencerminkan terpenuhinya amanat penderitaan rakyat yang sekaligus tentunya amanat Tuhan Seru Sekalian Alam. Fox Dei – Fox populi. Kebijaksanaan hanya tertuang dalam kalimat, gumpalan ribuan ton kertas yang jauh dari penghayatan dan realitas. Klaim Ketua MPR, Amin Rais bahwa amandemen UUD 1945 adalah merupakan sumbangsih & maha karya yang bijak bestari oleh anggota MPR (1999 – 2004), sejatinya pemutar balikan suatu fakta, adanya.
Semua peri kehidupan berbangsa & bernegara harus diatur dengan belasan ribu undang – undang. Kita lupa bahwa sebaik apapun undang – undang di tangan orang – orang yang tak berbudi maka tidak akan ada artinya apa – apa. Maka pernyataan Taverne yang menyatakan : "Berikan kepadaku hakim dan jaksa yang baik, maka undang – undang yang burukpun saya dapat membuat putusan yang baik. Dan Gerry Spence, advokat senior AS menyakan : "Sebelum menjadi ahli hukum profesional jadilah manusia yang berbudi luhur (evalued person) terlebih dulu, kalau tidak, para ahli hukum hanya akan lebih menjadi monster dari pada malaekat penolong orang susah". Adalah benar & mutlak adanya.
Dari berbagai peristiwa tersebut bahwa "budaya tiruan – bangsa imitasi" serta "ambisi kekuasaan" ternyata justru dapat menghancurkan bangsa dan negara. Sehebat apapun yang namanya tiruan adalah tetap tiruan. Maka hipotesis Ibnu Khaldun (1332 – 1406M) yang menyatakan bahwa : "Bangsa pecundang gemar meniru bangsa yang lebih kuat, baik dalam slogan, cara berpakaian, cara beragama, gaya hidup serta adat istiadat", adalah benar adanya.
SATRIA PININGIT HAMUNG TUWUH
(Presiden V Megawati Soekarnoputri (23 Juli – 20 Oktober 2004).
Ia acap kali didzolimi oleh rezim Pak Harto bahkan sering dilecehkan sebagai ibu rumah tangga hingga masa reformasi. Nampaknya makna piningit disitulah sehingga mereka tak tau bahwa Mega pada saatnya akan memimpin negeri ini. Makna hamung tuwuh (hanya tumbuh) karena ia putri Proklamator & mantan Presiden I, Dr. Ir. H. Soekarno, yang akan mengikuti jejak langkah ayahandanya. Sayang sebagai pemenang Pemilu 1999, ia tidak serta merta terpilih sebagai presiden ia diganjal oleh Poros Tengah dengan isu jender yang menyakitkan.
Mega adalah ikon demokrasi dan atas kepeloporannya menempuh jalur hukum terhadap pejabat negara seperti Panglima ABRI, Faisal Tanjung; Kasospol ABRI Syarwan Hamid dan Mendagri Yogi S Memet, yang sebelumnya adalah hal yang amat sangat tabu dan tak seorang pun berani melakukannya. Ia juga sebagai ikon sadarkum sehingga mulai saat itulah bahwa rakyat tak lagi merasa takut terhadap para pejabat yang sewenang – wenang. Sadarkum yang digalakkan oleh rezim Pak Harto via menteri penerangan Harmoko, ibaratnya senjata makan tuan atau senjata bumerang yang mengenai dirinya sendiri.
Sayangnya ia ditakdirkan hanya bertumbuh (hamung tuwuh) yang belum sampai berbuah.
DAUR ULANG SEJARAH :
Rezim Singhawikramawarddhana Dyah Suprabhawa, Bre Tumapel – Bre Pandan (s) alas atau Brawijaya IV (1466 – 1474), Identik Dengan Rezim Megawati Soekarnoputri (2001 – 2004)
Sebenarnya oleh ayahandanya BUNG KARNO, Mega dan atau kakak dan adik – adiknya dilarang untuk menjadi presiden atau terjun di dunia politik. Karena tidaklah mudah dan enak menjadi seorang Presiden yang sejati karena seluruh hidupnya harus diabdikan kepada kepentingan rakyat.
Tapi alam berkehendak lain, sementara Ibu Megawati Soekarnoputri ibaratnya Brawijaya IV (walau secara supranatural ada yang menyamakan beliau dengan keberadaan Kencana Wungu ?).
Bila menengok masa Majapahit, apa yang diperjuangkan oleh Pangeran Bre Wirabhumi ternyata tidak sia – sia karena putrinya Suhita (yang oleh foklore dikenal dengan Waita Puyengan) berhasil menjadi ratu paska Damarwulan tersebut. (Ada sejarawan yang menyatakan bahwa Pangeran Bre Wirabhumi ada yang menyatakan tewas di tangan Raden Gajah di tengah laut sementra sejarawan lain menyatakan bahwa antara Bre Wirabhumi dengan Brawijaya I (Damarwulan) telah mengadakan agreement atau consensus agar putrinya kelak dijadikan ratu Majapahit. Hal ini menurutnya ditandai dengan adanya candhi Minak Jinggo dan Damarwulan berada di dalam satu khomplek ?).
Mungkin itu yang lebih mirip dengan rezim Megawati yang merupakan hasil kompromistis dari poros Tengah setelah Gus Dur dilengserkannya.
Bila Megawati adalah putri Presiden I Republik Indonesia yang nota bene sebagai ibu rumah tangga demikian pula Suhita, dia adalah putri Adipati Blambangan, Pangeran Wirabhumi yang juga sebagai istri Wikramawardhana. Namun karena alur bahasan sequensikal (berurutan) tidaklah perlu menjadi polemik adanya semata – mata guna menangkap tanda – tanda alam yang bias kit abaca.
GODO WESI KUNING, nampaknya berpindah kepemilikannya dari Damarwulan (Brawijaya I) hingga Brawijaya V ? yang bisa dialegorikan dengan PANCASILA oleh NPKRI. Nampaknya warisan Majapahit yang kini berada di tangan para penyelenggaranegara akan dimintai pertangung jawaban, nah siapkah ?.
Semoga uraian di atas dapat menambah perbendaharaan kita semua//Mohon maaf dan nyumanggaaken dateng kawicaksanan para kadang//salam dan doa//SAMPURNA//PEMULUNG
Sumber:
http://suryanusa.blogspot.com/2010/07/dari-kaca-negara-melihat-indonesia-v.html
Dialektika
Dialektika Oleh: sukmadewi | September 1, 2009
Suatu hari…….,”
Ayahandaku datang ke Yogya bersama Mas Suryadi,
dan mengajakku pergi ke Semarang
mengikuti Kongres PNI.
Entah kenapa, ketika memasuki ruang sidang,
Ayah segera menyembunyikanku di kolong meja.
Aku mendengar suara-suara derap sepatu lars
di dekat meja tempatku sembunyi, aku kaget
ketakutan setengah mati, tidak berani keluar dari kolong meja itu
Hingga sore, barulah seseorang membawaku keluar
dan menggendongku menemui ayahku.di kemudian hari
aku tahu bahwa telah terjadi intervensi terhadap Kongres PNI
dengan masuknya aparat tentara ke ruang sidang.
Peristiwa ini sangat membekas dalam diriku hingga kini,
dan menjadi pengetahuan awalku tentang politik.
Sejak hari itu, tumbuh keinginanku
untuk melarutkan dan melibatkan diri
di ruang-ruang politik negeri ini.
BAB II
SEJARAH PARTAI DALAM MEMORI SEORANG KADER
Jasmerah, demikian Soekarno memberikan tanda kepada kita bahwa perjalanan berabad-abad dalam memproses diri menjadi sebuah bangsa besar telah terlewati dengan tahapan-tahapan yang kerap menguji kemanusiaan kolektifitas kita. Keindonesiaan yang tersaji bukan hadiah instan dari para aristorat maupun kelas feodal lainnya, melainkan arah waktu yang menuju kepada kita sebagai pewaris utuh sejarah. Jasmerah, sekaligus sebagai peringatan kepada generasi muda untuk memproses diri menjadi manusia-manusia beradab yang berkemauan untuk belajar dan meneruskan setiap jejak perjalanan bangsa.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia bukan hasil sulapan dari sekelompok orang, melainkan hasil kerja dari seluruh masyarakat sebagai pelaku sejarah yang berhasil memformulasi bentuk kebangsaan. Dalam pandangan Soekarno, peranan lapisan masyarakat bawah menjadi sangat penting dalam mempengaruhi wajah ke-Indonesia-an. Dengan alat produksi yang dimilikinya, kaum Marhaen menentukan arah sejarah ke mana Indonesia menuju.
Dengan demikian, Indonesia adalah karya besar dari segenap lapisan sosial yang berkontribusi dalam kapasitas sosial-politiknya masing-masing. Pun demikian, dengan perjalanan sebuah partai politik. Terasah dan terbentuk, kemudian mengkristal menjadi sebuah rumah kokoh yang tak jarang jatuh-bangun, bahkan terbelah dan terkadang terhempas dalam pusaran sejarah.
Dalam konteks Indonesia, sejarah partai politik adalah sejarah hitam-putih kekuasaan. Setiap orde mempunyai catatan sejarah tersendiri yang menghantarkan sekaligus mencerabutkan partai politik ke/dari panggung politik. Sejarah multipartai yang mulai berkecambah pada masa kekuasaan Soekarno yang menunjukkan kematangannya dalam Pemilu 1955, digilas oleh sebuah Orde yang berhasil membalikkan tatatan kemanusiaan dan kekuasaan selama puluhan tahun. Orde Baru menjalankan konsep kekuasaan yang menempatkan partai politik hanya sebagai pesanding kekuasaan yang otoriter.
Adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai hasil dari leburan banyak partai yang beragam ideologi, diantaranya PNI, Parkindo, Partai Katolik , Murba dan IPKI dikerdilkan menjadi kekuatan semu dalam politik Orde Baru. Bersanding dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Golkar, PDI menjalankan roda partai dalam kontrol kuat kekuasaan Orde Baru. Intervensi nyata dalam ruang-ruang rapat internal partai dilakukan melalui berbagai manuver yang menghabiskan energi kader, sehingga pembesaran partai tidak dapat dijalankan secara maksimal.
Dalam berbagai kongres, tercatat keterlibatan pemerintah dalam setiap pengambilan keputusan politik yang strategis. Pemilihan ketua umum partai melalui forum kongres merupakan ajang yang tidak dibiarkan berlangsung tanpa skenario dan campur tangan pemerintah melalui aparatnya, secara nyata, maupun melalui orang-orang politiknya yang ditugaskan sebagai tukang bonsai yang pada akhirnya menggerogoti fondasi partai.
Kongres sebagai forum tertinggi partai yang menentukan wajah dan perjalanan partai ke depan tidak dibiarkan luput dari intervensi pemerintah. Dalam hal ini, Pemerintah Orba sangat menyadari, bahwa PDI sebagai partai leburan dari banyak partai yang secara ideologis teramat dekat dengan Soekarno selalu menjadi ancaman bagi keberlangsungan Orba. Secara ideologi terdapat perbedaan yang sangat tegas, di mana Orba memaknai dan menelikung Pancasila menjadi ideologi yang menakutkan dan jauh dari demokratis, sementara PDI tetap menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang harus dijaga dan dilaksanakan dalam setiap kebijakan sosial-politik negara. Menterjemahkan ideologi didalam pelaksanaanya adalah setiap anggota partai harus memegang memegang teguh Pancasila, UUD 45 dan NKRI, secara murni dan konsekwen Perbedaan ini, menyebabkan PDI dan Orba sebagai kekuatan yang memiliki arah sejarah yang berbeda.
Untuk itu, dalam menjaga keberlangsungan kekuasaannya, Orba melakukan politik kontrol terhadap PDI [1]. Pemilihan ketua umum partai menjadi panggung terbuka bagi pemerintah dalam melakukan politik kontrol dan pengelabuan demokrasi. Beberapa kali kongres PDI harus berakhir tanpa hasil dan bahkan dengan konflik berdarah. Pemerintah melalui ’orang-orangnya’ selalu menjaga agar PDI tidak menjadi kekuatan politik yang besar, dengan cara menjauhkan keluarga Soekarno dari kekuatan puncak partai. Pada awal tahun 80-an, tercatat rekayasa politik ala Orba yang memasang Suryadi sebagai ketua umum dengan terlebih dulu menyingkirkan calon lain yang vokal dan terlalu nasionalis, yang dianggap berbahaya bagi kemapanan kekuasaan.
Dalam konteks demokrasi yang memahami kekuatan rakyat sebagai kekuatan riil yang menentukan perjalanan bangsa, tersedia ruang gerak bagi kekuatan politik alternatif yang otonom. Akan tetapi, dalam koridor politik Orba, kekuatan alternatif selalu dianggap sebagai ancaman. Depolitisasi yang diterapkan, sangat menentukan warna panggung politik Indonesia. Kondisi ini menumbuhkan benih perlawanan rakyat. Pengabaian terhadap eksistensi rakyat membesarkan kekuatan yang mengendap selama puluhan tahun kekuasaan Orba. Intervensi politik yang dilakukan terhadap PDI justru berbuah pahit bagi pemerintah. Pengerdilan energi politik rakyat, justru memekarkan tradisi berpolitik melalui posko-posko rakyat yang didirikan di tempat-tempat strategis (termasuk di setiap kampung) sebagai jawaban sekaligus ekspresi kemarahan terhadap pemerintah.
Budaya posko mulai hadir di tengah-tengah rakyat, ketika ruang politik dikekang secara nyata oleh pemerintah. Budaya bisik-bisik sebenarnya selalu hadir di setiap kumpulan rakyat, seperti di warung makan dan kedai kopi. Dengan pemahamannya, rakyat berkisah tentang apa yang mereka rasakan dan inginkan. Sama halnya seperti Posko Rakyat yang didirikan oleh simpatisan dan kader PDI, merupakan jawaban atas kebutuhan rakyat terhadap panggung politik, sehingga mereka dapat berbicara dan berkeluh tentang apa yang dialami dan diimpikannya.
Ketika kantor DPP PDI di jalan Diponegoro, Jakarta, menjadi panggung terbuka bagi rakyat (mimbar demokrasi) yang berlangsung selama beberapa minggu, terjadi eskalasi massa yang memiliki kesamaan cita-cita untuk keluar dari kendali politik negara yang represif. Kehadiran posko-posko menunjukkan adanya kebutuhan rakyat yang tidak terakomodir, sehingga terjadi ekspetasi kesadaran dan keberanian untuk melawan. Pada akhirnya, PDI menjadi kekuatan yang tidak hanya merepresentasikan dirinya sebagai partai politik, melainkan juga sebagai bagian dari guliran sejarah yang menentukan wajah ke-Indonesian-an saat ini dan ke depan.
A. Kongres yang Selalu Diintervensi
I. Kongres 1986
Kongres yang berlangsung di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur, salah satunya untuk menggantikan Hardjanto Soemodisastro yang telah berakhir masa jabatannya sebagai ketua umum. Seperti biasa, menjelang kongres selalu terbentuk beberapa kubu yang hendak mengusung calonnya dalam bursa ketua umum. Harjanto, Gde Djaksa, Suryadi, dan Budi Harjono sebagai representasi generasi muda Angkatan 66 adalah nama-nama yang mencalonkan diri sebagai ketua umum, walau Hardjanto pada akhirnya mengundurkan diri.Para pendukung calon ketua umum melakukan konsolidasi intensif, sebagaimana yang dilakukan oleh utusan kongres yang mendukung Gde Djaksa, seperti Fatimah Ahmad, Panangian Siregar, Steve Latuihamallo, Noto Soekardjo, Daryatmo (unsur GMNI), Parulian Silalahi (Parkindo), Purwanto DW (Partai Katolik), dan AP Batubara. Sebagai Hakim Agung, Gde Djaksa juga mendapat dukungan moral dari ketua Hakim Agung Mujono SH.
Sementara itu, Suryadi didukung oleh aktivis Angkatan 66 yaitu Akbar Tanjung, Fahmi Idris, dan Liem Bian Koen. Kekuatan pemerintah yang melibatkan opsus, intelijen dan Departemen Dalam Negeri, juga mendukung Suryadi. Bagi pemerintah, Gde Djaksa terlalu nasionalis dan dianggap anti Dwi Fungsi ABRI, bila terpilih sebagai ketua umum, dikhawatirkan akan mengganggu hubungan Indonesia dan Amerika yang sedang harmonis. Kebetulan pada saat yang bersamaan, pemerintah sedang kedatangan seorang pejabat penting Amerika Serikat.
Hari pertama kongres berjalan dengan lancar, pemandangan umum diikuti oleh seluruh peserta kongres. Dalam bursa pemilihan ketua umum, suara mayoritas menghendaki Gde Djaksa sebagai ketua umum. Dukungan datang dari Jawa, Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Sumatera lampung, Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan. Dalam kongres sempat mencuat isu SARA. Seorang utusan dari Aceh, Thaib Ali memberikan pernyataan bahwa Gde Djaksa bukan seorang Muslim. Namun pernyataan tersebut tidak mempengaruhi suara mayoritas. Agenda pada hari kedua, seharusnya penentuan ketua umum, namun pemerintah mengundur dengan alasan adanya tamu negara.
Penundaan kongres mempengaruhi konstelasi pendukung kandidat ketua umum. Terjadi penurunan jumlah dukungan terhadap Gde Djaksa. Banyak utusan yang mendapat tekanan politik agar tidak memilih Gde DJaksa. Keterlibatan pemerintah melalui Benny Murdani sebagai Pangab dan Syarwan Hamid sebagai Menteri Dalam Negeri dengan menyatakan bahwa saatnya generasi muda dari Angkatan 66 memimpin PDI sembari memberikan dukungan kepada Suryadi.
Beberapa utusan yang semula mendukung Gde DJaksa, berbalik arah mendukung Suryadi. Mereka antara lain: Fatimah Ahmad, Panangian Siregar, dll Menguatnya intervensi pemerintah menyebabkan kongres pada hari terakhir berjalan tidak kondusif, dan akhirnya dead lock, tidak berrhasil mengambil keputusan apapun. Kemudian, peserta kongres memberikan mandat kepada pemerintah untuk memilih ketua umum dan menyusun kepengurusan periode tahun 1986-1993. Dengan hasil sebagai berikut:
Susunan Kepengurusan DPP PDI Periode 1986-1993
Ketua Umum | Suryadi | |
Sekjen | Nico Daryanto | |
Wakil Sekjen | Dimy Haryanto, Titie Yuliasih | |
Bendahara | Anwar Datuk | |
Wakil Bendahara | Marcus Wauran, Steve Patrice Nafuni, Benuhardjo | |
Ketua-ketua | Sukowaluyo Mintorahardjo, BN Marbun, Anjar Siswoyo, Noor Akhari, Yahya Nasution | |
Wakil Ketua | Fatimah Ahmad, Parulian Silalahi, Marcel Beding Djupri, Royani Haminullah, Duddy Singadilaga |
II. Kongres 1993
Kongres yang berlangsung di Wisma Haji Medan sarat dengan intrik dan teror, sebagai akibat dari munculnya dua kelompok yang berseberangan. Kelompok 17 sebagai pendukung Suryadi, dan Kelompok PDI Peralihan sebagai kelompok anti Suryadi. Pada saat itu, pemerintah sudah tidak menginginkan Suryadi untuk memimpin PDI. Namun kongres berhasil memutuskan Suryadi sebagai ketua umum kembali pada tgl 21 Agustus 1993.Terpilihnya Suryadi tidak diakui oleh pemerintah. Akibatnya, situasi kongres berubah sangat panas. Pada saat genting, seharusnya Suryadi beserta para pendukungnya, bertahan dan siap mengambil resiko politik, bukannya meninggalkan arena kongres. Ternyata Suryadi bukan figur yang kuat berhadapan dengan situasi represif. Kondisi ini memudahkan pemerintah mengambil alih kongres dan membuat pers release mengumumkan bahwa Kongres Medan gagal. Pemerintah menganggap terpilihnya Suryadi tidak sah.
Selanjutnya, pemerintah memutuskan menyusun Caretaker DPP PDI pada tgl 27 Agustus 1993 yang ditetapkan di Surabaya di hadapan Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman, Dirjen Sospol Depdagri Sutoyo NK, dan 27 utusan DPD PDI seluruh Indonesia. Tugas caretaker adalah mempersiapkan Kongres Luar Biasa
Susunan Carateker DPP
Penasehat | Isnaeni, Ani Sunawar Sukowati, Imam Kadri |
Ketua umum caretaker | Latif Pujosakti (almarhum) |
Sekjen caretaker | Ismunandar |
Wakil Sekjen | TH Sitorus, A. Hairin Noor, Sardjito Darsuki, Yahya Theo, Alwi, Teuku Dahman |
Bendahara | Marcus Wauran |
Wakil Bendahara | Teuku Zainudin Ali, Neneng Asmasubrata, Gerry Mbatemoi |
Ketua-ketua | Budi Harjono, Soetardjo Suryoguritno, Kwik Kian Gie, Abdul Gani, Edwin Sunawar Sukowati, John Sara, Jurgen S, Moh Amin |
III. Kongres Luar Biasa
Kongres Luar Biasa (KLB) dilaksanakan di Wisma Haji Sukolilo Surabaya, Jawa Timur pada tgl 2-6 Desember 1993. Kongres berlangsung tidak kondusif, Latif Pujosakti sebagai tangan kanan Pemerintah Soeharto memaksakan kehendak. Mekanisme pemilihan ketua umum dilakukan tidak melalui floor, namun usulan tentang ketua formatur ditolak oleh seluruh utusan peserta KLB. Menteri Dalam Negeri ketika itu Yogi S. Memet menawarkan solusi pemilihan ketua umum dengan jalan musyawarah. Pemerintah sangat paham jika pemilihan umum dilakukan dengan pemungutan suara, Megawati akan terpilih. Namun, peserta kongres tidak menyetujui usulan Mendagri.
Pemandangan umum yang dibacakan oleh Megawati di Sidang Pleno, menyentuh perasaan seluruh utusan KLB. Terlihat emosi para peserta yang menggelorakan yel-yel; Mega, Mega, Mega, yes! Dengan mengutip kalimat dari pujangga India, Swami Vivekananda, Megawati mengatakan: “ …Telah cukup lama kita menangis. Oleh karena itu, jangan menangis lagi, tegakkan muka Anda sebagai manusia sejati untuk menegakkan kebenaran…” Pidato menyentuh perasaan ini bagai petir yang menggelegar, memenuhi ruangan sidang dan memberikan spirit luar biasa bagi peserta KLB untuk terus berjuang menjadikan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993 – 1998.
Situasi semakin tidak menentu. Panitia pelaksana kongres carataker menghilang, dan pintu kongres digembok. Ada upaya menggagalkan kongres, sementara peserta kongres di dalam asrama haji semakin menguat dengan adanya dukungan dari para simpatisan dan anggota partai yang berada di luar arena yang hadir dengan membawa mobil dan menginap di luar halaman asrama atau di sekitar asrama haji. Menjelang malam batas penyelenggaraan kongres berakhir tgl 7 Desember 1993, Megawati berpidato di pelataran asrama haji dan pidatonya membuat rakyat menghela napas. Dengan nada berat Megawati Soekarnoputri berpidato:
”…. Saudara-saudara yang saya cintai dan saya hormati, secara de facto saya adalah ketua umum, de yure kita selesaikan di Jakarta. Untuk itu, saudara-saudara saya minta kembali ke daerah masing-masing dan menunggu instruksi lebih lanjut….”
Akan tetapi, utusan peserta KLB dari berbagai daerah tidak langsung pulang ke daerah masing-masing, mereka masih mengawal Megawati sampai terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI.
VI. Musyawarah Nasional 1993
Musyawarah Nasional yang diselenggarakan di Hotel Kemang Kebayoran Baru Jakarta diikuti oleh 27 DPD seluruh Indonesia, untuk melanjutkan KLB yang gagal memutuskan Ketua Umum PDI Periode 1993-1998. Beberapa kali dilakukan musyawarah antara pemerintah dengan Megawati Soekarnoputri. Dilakukan pertemuan Menteri Dalam Negeri dengan ketua DPD di seluruh Indonesia pada tgl 13 Desember 1993. Dalam pernyataannya, Mendagri menyatakan bahwa KLB tidak gagal, namun pemerintah melihat aspirasi yang berkembang bahwa kemungkinan Megawati akan terpilih sebagai Ketua Umum PDI Periode 1993-1998. Pernyataan ini didukung oleh Panglima Kodam V Daya, Mayjen TNI AM Hendropriyono pada tgl 15 Desember 1993 yang memastikan bahwa arus bawah menghendaki Megawati sebagai ketua umum DPP PDI. Akhirnya, pada tgl 22 Desember, Megawati ditetapkan menjadi ketua umum dengan struktur kepengurusan sebagai berikut:
Kepengurusan DPP PDI Periode 1993-1998
Ketua Umum | Megawati Soekarnoputri |
Sekjen | Alex Litaay |
Wakil Sekjen | Chairul Manggabarani, Syafei Ali Gumay, Haryanto Taslam, Ratna Ratih Purnami, Titi Yuliasih, Edi Djunaedi |
Bendahara | Laksamana Sukardi |
Wakil Bendahara | Mulyono Sutarmo, Neneng Amalia Dendawacana, Untung Sutomo, Noviantika Nasution, Fx Urip Sujud, Edwin Sukowati |
Ketua-ketua | Soetardjo Soeryoguritno, Ismunandar, Fatimah Ahmad, Kwiek Kian Gie, Gery Mbatemoi, KH Abdul Khalik Murad, Subagyo, Panangian Siregar, Slamet Mulyadi, H. Yahya Theo, Abdul Gani, I Gusti Ngurah Sara, Mangara Siahaan, Suparlan |
Antara Gambir dan Diponegoro
Pemerintah Soeharto semakin khawatir dengan posisi Megawati Soekarnoputri yang semakin populer di masyarakat, terlebih lagi beberapa anggota DPR yang dimotori Aberson Sihaloho dan Sophan Sopiaan melontarkan gagasan untuk mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden, yang dibuktikan dengan pengumpulan tanda tangan pencalonan Megawati sebagai calon presiden yang diedarkan di Fraksi PDI DPR RI. Gayung bersambut, pengurus DPC PDI di daerah kemudian memberi dukungan untuk turut mencalonkan Ketua Umum PDI hasil Munas sebagai calon presiden bersaing dengan Soeharto yang sudah pasti dicalonkan oleh Golkar.Dinamika perpolitikan nasional yang berpihak kepada Megawati dianggap mengganggu status quo. Untuk itu, disusun skenario untuk menghancurkan eksistensi Megawati dengan memecah belah soliditas partai, yang diawali dengan Yusuf Merukh dan Gerry Mbatemoi yang melontarkan isu bahwa DPP PDI dan DPC PDI di daerah seluruh Indonesia banyak disusupi oleh orang yang berhaluan Komunis. Mereka menuduh 300 orang jajaran pengurus PDI dari pusat dan daerah. Nama-nama tersebut diserahkan kepada Jenderal Faisal Tanjung dan Kasospol Mabes ABRI, Jenderal Hartono.
Syarwan Hamid sangat berperan dalam perpecahan di DPP PDI Hasil Munas, yang ditandai dengan membelotnya 16 pengurus: Fatimah Ahmad, Panangian Siregar, Ismunandar, Ratna Purnami, Abdul Khalik Murad, Titi Juliasih, Subagyo, Slamet Mulyadi, Mulyono Sutarmo, Edi Junaedi, Yahya Theo, Abdul Gani, Chaerul Manggabarani, Neneng Amalia Dendawacana, FX Urip Sujud, dan Untung Sutomo. Mereka inilah yang mulai mengatur strategi menggulingkan Megawati Sukarnoputri sebagai ketua umum.
Pengurus cabang di berbagai daerah diintimidasi oleh aparat keamanan agar mengirim surat ke DPP untuk meminta Kongres Luar Biasa. Namun setelah diteliti, surat tersebut ternyata banyak yang dipalsukan. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kekacauan dan kebingungan di daerah, Megawati menggelar rapat Pleno DPP pada tgl 3 Juni 1996. Rapat ini untuk memutuskan penolakan KLB, dikarenakan surat permintaan KLB tidak sah.
Namun, ternyata Fatimah Ahmad dan kelompoknya menyetujui diselenggarakannya KLB. Keesokan harinya, 16 Pengurus DPP PDI yang dimotori oleh Fatimah Ahmad, melakukan rapat tersendiri di tempat yang bukan kantor partai. Rapat tersebut memutuskan bahwa kongres akan diadakan di Medan, dan harus dilaksanakan paling lambat tgl 20-22 Juni 1996, sebelum batas akhir pengajuan daftar nama calon anggota Legislatif untuk Pemilu 1997. Fatimah Ahmad Cs mengklaim untuk melaksanakan KLB telah memperoleh dukungan dari 19 DPD dan 215 DPC PDI.
Dirjen Sospol, Sutoyo NK dan Menteri Dalam Negeri, Syarwad Hamid mengeluarkan ijin bagi terselenggaranya KLB di Medan. Bakin dan Pusat Penerangan ABRI mengundang para pemimpin redaksi media massa dengan arahan agar media massa mendukung Kongres Medan. Megawati dan pendukungnya tidak tinggal diam dan mengirimkan surat protes ke berbagai pihak, diantaranya kepada Menteri Dalam Negeri, Syarwan Hamid dan Kepala Kepolisian RI, Dibyo Widodo. Surat untuk Menteri Dalam Negeri berisikan pemberitahuan bahwa rencana terselenggaranya KLB di Medan adalah tidak sesuai dengan peraturan AD/ART Partai. Sementara, surat yang dikirimkan ke Polri meminta agar Kepolisian Republik Indonesia tidak memberikan ijin kongres dengan alasan bahwa kongres tersebut inkonstitusional. Namun, jawaban Kapolri justru mengatakan bahwa Kepolisian RI siap mengirimkan pasukan untuk melindungi kongres di manapun diadakan.
Dalam KLB, Suryadi terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum PDI. Situasi tersebut mempengaruhi soliditas Fraksi PDI. Suryadi Cs mencoba mengambil hati anggota Fraksi PDI periode 1992-1997 yang hampir berakhir masa jabatannya dengan mengirimkan formulir pencalonan legislatif.
Aku sendiri berkesempatan dikirim 2 kali formulir pencalonan agar aku bersedia dicalonkan kembali, dan aku diberikan keleluasaan untuk memilih daerah mana yang aku minati, namun sayang aku tidak berminat dan juga sebagian besar dari anggota DPR sejumlah 59 orang juga tidak berminat mengisi formulir. Suasana di fraksi sungguh tidak nyaman, intrik dan fitnah semakin sering dilakukan oleh mereka yang seakan akan ingin merecall kami semua, meski pada akhirnya aku menghargai bahwasanya recalling itu tidak pernah terjadi hingga masa sidang berakhir, apa yang kurasakan sungguh sedih dan terasa pahit, bagaimana tidak, sekian tahun kami bersama sama mencoba membangun nama baik partai tiba tiba dipenghujung ini kami dipecah belah berkeping keping hanya karena kepentingan politik pemerintah yang takut terhadap kehadiran mbak Mega, aku serasa tidak percaya bahwa mas Suryadi, mbak Fatimah Ahmad, pak Datuk, Marcell beding, Nico Daryanto, mbak Titik Yuliasih yang semula aku kagumi menjadi berseberangan denganku, aku semakin mengerti jika politik itu tidaklah hitam putih seperti pikiranku, betapapun kami berbeda dalam berpandangan politik namun aku tetap menghargai jika mereka memilih bergabung dalam kebijakan Pemerintah, aku percaya jika kebenaran tidak akan bisa dihalau dengan kepentingan sesaat, Aku bukan takut diancam oleh pendukung Suryadi, tapi aku ingat pesan ayahku, sekali berhianat pasti berlanjut dengan penghianatan serupa. Aku bukanlah siapa siapa, Aku hanya berpandangan tidak akan mencoreng perjuangan ayahku dan menjaga nama baik keluarga besarku di Bali.
Upaya Suryadi untuk mempengaruhi dan menyogok anggota partai dengan iming-iming menjadi calon legislatif merupakan indikasi bahwa Suryadi menyadari posisinya yang tidak mengakar di kalangan anggota partai. Untuk itu, dilakukannya ikatan politik dalam bentuk yang karikatif. Pola ini, biasa dilakukan oleh orang-orang yang oportunis, yang menggunakan semua cara agar bisa berkuasa. Tentu saja, upaya ini hanya dapat mempengaruhi anggota partai yang pragmatis sesaat, tidak ideologis, yang hanya mementingkan diri sendiri, tanpa memikirkan nasib partai dan rakyat pada umumnya.
Tekanan secara halus, juga dilakukan oleh orang-orang Suryadi. Dengan memberikan pemahaman bahwa melawan keinginan pemerintah justru akan merugikan diri sendiri, orang-orang Suryadi, mencoba meyakinkan anggota partai yang duduk di DPR RI untuk mengakui hasil KLB Medan. Karena hasil KLB Medan adalah yang disetujui oleh pemerintah.
Suatu hari aku dipanggil Mbak Fatimah Ahmad ( yang sesungguhnya sangat kusegani, karena selama ini beliaulah yang mendidikku sebagai kader perempuan PDI ) beliau memberitahuku jika ayahku sudah diblack list pemerintah dan jangan sampai aku sebagai putrinya mengalami hal yang sama. Aku mengucapkan terimakasih, dan mengatakan kepada mbak Fat, bahwa aku banyak belajar bagaimana cara berpolitik praktis yang elegan dari mbak , lebih takut lagi jika berbohong terhadap hati nurani dan aku tidak siap kehilangan keluargaku di Bali akibat penghianatanku terhadap mbak Mega “ , selanjutnya mbak Fat menyerahkan keputusan yang kuambil dan menghargainya, bahkan himbauan itu tidak hanya muncul dari mbak Fat tetapi juga dari sesepuh Perwanas yaitu Ibu Ratjih (ibunda Ginanjar Kartasasmita) dalam sebuah kesempatan, juga menasehati aku, agar jangan berani menabrak tembok besar yang ada di depanku. Agar aku tidak hancur sebelum waktunya, Aku hanya tersenyum dan mengatakan bahwa hari telah magrib dan sebentar lagi berganti malam. Aku menunggu datangnya hari esok yang lebih cerah.
Reaksi dari setiap anggota partai terhadap sogokan kelompok Suryadi berbeda-beda. Pada dasarnya, terjadi perubahan konstelasi dalam hal dukungan terhadap Suryadi maupun Megawati. Bagi anggota yang tetap mendukung Megawati, menyadari bahwa memiliki sikap politik yang berbeda dengan pemerintah yang otoriter akan memiliki konsekwensi pada karier/posisi secara ekonomi-politik. Hal ini lebih dapat diterima, daripada harus berhianat pada komitmen politik dan ideologi. Kesadaran ini semakin dikuatkan dengan realita sosial-politik bahwa mendukung Megawati bukan hanya mendukung keluarga Soekarno, melainkan lebih dari itu. Bahwa Megawati adalah representasi dari kesadaran dan harapan rakyat kecil akan kehidupan yang lebih baik dan demokratis.
Sejak itu, aku berjanji dalam hati tidak akan berhianat dengan Megawati Soekarnoputri. Aku dan keluarga besarku sangat menghormati dan menghargai Bung Karno. Kapan lagi aku bisa membalas jasa beliau ?, selain ada kesempatan memberikan kesetiaan kepada putrinya yang juga berjuang membebaskan bangsa yang merdeka dari rasa takut, aku akan berjuang bersamanya sekuat hati, dengan segala resiko yang harus ku tanggung. Aku tak pernah bisa dibeli dengan apapun dan kapanpun, aku menghirup kemerdekaan sebagai bangsa karena dedikasi dan Ayah Megawati.
Situasi di DPR semakin tidak menentu. Perpecahan semakin tidak dapat dihindarkan. Pendukung Megawati, disebut PDI ProMega (PDI ProMega) merencanakan unjuk rasa ke Departemen Dalam Negeri. Unjuk rasa ini dimotori oleh Sophan Sophiaan, SGB Tampubolon (alm), dan Djatikusumo yang diikuti oleh kader yang setia kepada DPP PDI Hasil Munas. Sukmawati Soekarnoputri juga mengikuti long march dari jalan Diponegoro ke jalan Merdeka Utara yang juga diikuti oleh ratusan masyarakat yang bersimpati kepada Megawati. Dalam kesempatan ini, Megawati berpesan agar tidak terjadi kerusuhan selama aksi berlangsung.
Aku bertugas mendrop air mineral di jalan-jalan yang dilalui unjuk rasa. Ketika berada di jalan Untung Suropati, mobil kijangku yang penuh berisi aqua dipepet oleh mobil patrol polisi, mobil kularikan dengan kencang dan bersembunyi di halaman parkir kantor PPP berharap mereka tidak menemukanku kembali. Rupanya mobil patroli tersebut menemukan jejak kami dan bersiap mengeluarkan pentungan kayu dari dalam mobil dan memukul kaca belakang mobilku hingga retak , aku bergegas melarikan lagi mobil kijangku dengan kencang kearah jalan Kimia membaur ditengah kerumunan massa yang simpati terhadap perjuangan kami, hingga berhasil bebas. Aku tidak pernah melupakan peristiwa itu, shock dan ketakutan. Membayangkan keganasan mereka dan Ketika melintas di jalan Merdeka Timur banyak kerumunan massa dan jeep merah yang ditinggalkan penumpangnya entah kemana mereka pergi..
Aksi damai berubah menjadi aksi berdarah. Terjadi pemukulan dan tindak kekerasan lainnya oleh aparat keamanan terhadap peserta aksi. Tank ABRI mondar-mandir berkeliaran, mengejar, dan menakuti orang-orang yang unjuk rasa. Suasana sangat gaduh dan berdarah. Peristiwa Gambir menjadi bagian yang menyatu dari percepatan suhu politik nasional. Setelah Gambir Berdarah, Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso mengeluarkan ancamam tidak akan membiarkan terjadinya aksi massa lagi.
Panggung Diponegoro semakin memperlihatkan existensinya. Kader dan simpatisan berbondong-bondong menghadiri Mimbar Demokrasi bagi siapa saja yang hendak berorasi. Aktivis LSM, pemerhati demokrasi, rekan-rekan wartawan, dan kader-kader partai, seperti: Sutardjo Suryoguritno, Sabam Sirait, Sophan Sopiaan, Aberson Sihaloho, Sukowaluyo, SGB Tampubolon, juga fungsionaris partai dari daerah-daerah selalu berkunjung ke Diponegoro untuk melakukan orasi politik dan memberikan dukungan dalam bentuk lain kepada kumpulan massa yang semakin massif. Begitu juga dengan Budiman Sujatmiko sebagai aktivis dan ketua PRD kala itu, Selalu hadir untuk menyemangati dan menggerakkan kekuatan massa. Kantor DPP PDI berubah menjadi lebih hidup, bagai kawah candradimuka yang diharapkan membawa perubahan bagi atmosfir demokrasi.
Pada tgl 25 Juli, aku pamit kepada Ibu Mega untuk melakukan kunjungan kerja ke Mataram NTB, aku berpikir lumayan juga jika aku pergi, uang jalanku dapat digunakan untuk perjuangan selanjutnya. Pada tgl 26 Juli pagi, kami kedatangan rombongan Reog dari Ponorogo kira kira berjumlah 50 orang . Aku mempersilahkan mereka untuk beristirahat dan makan siang seadanya di dapur perjuangan. Bu rapih, petugas di dapur mengatakan padaku jika bahan bahan makanan sudah semakin menipis dan aku meminta alm mas Tarto untuk mensuplai yang dibutuhkan, Selanjutnya Pk. 13.00 aku beranjak ke airport untuk perjalanan kerja ke NTB. Hari itu, pikiranku kacau dan tidak konsern, ingin segera pulang saja. Aku memikirkan gerangan apa yang terjadi selanjutnya. Apa akhir dari perjuangan ini, aku berharap mereka masih tegar bertahan.
Saat menjelang istirahat malam sebelum aku tertidur, tak lupa menitip pesan kepada room boy di hotel tempat aku menginap, untuk membangunkan aku kapan saja jika ada kabar dari Jakarta. Benar saja, jam 4 pagi aku dibangunkan oleh room boy yang mengatakan bahwa “temanku” satu fraksi katanya lompat-lompat kegirangan mengatakan kalau Kantor PDI Perjuangan di Jakarta diserbu massa.. Aku kaget setengah mati, kakiku serasa lemas dan jantungku hampir berhenti, aku bergegas pesan tiket pesawat untuk kembali ke jakarta, langsung pagi itu, aku pulang ke Jakarta dengan perasaan yang berkecamuk . Sampai di airport Cengkareng aku naik taksi menuju jalan Diponegoro, tapi ditutup. Aku masih ingat wajah beberapa orang dari ponorogo yang kuberikan saran agar menginap di kantor perjuangan ini, aku merasa sangat bersalah dan lesu, aku meronta ingin mencari rombongan Reog Ponorogo, namun keadaan sudah kacau balau…tubuhku didorong dengan keras oleh beberapa polisi yang megenakan penutup muka semacam helm, aku menangis sejadi jadinya, apa yang terjadi dengan mereka, dan kemana orang orang itu yang setia menunggu kantor, ? dengan lemas lunglai aku berjalan menyusuri sepanjang jalan diponegoro, meski suasana hiruk pikuk massa, aku merasakan ”feeling guilty”.
Asap hitam mengepul di udara, gedung-gedung terbakar dan orang-orang berlarian tak tentu arah. Kantor PDI yang semula semarak, tiba-tiba menjadi redup, berantakan, dan bau anyir. Darah berhamburan di mana-mana, ada pemadam kebakaran di halaman kantor dan jip merah yang teronggok menjadi saksi atas kebrutalan ’orang-orangnya’ Soeryadi dan perangkatnya penguasa. Mereka menyangka, cara-cara seperti itu dapat melemahkan semangat kader dan massa. Sebaliknya, hal itu adalah tantangan. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, demikian kata-kata magnet dari Soekarno yang disambut dan dibahasakan oleh Megawati; Pantare…Pantare…Pantare….!
Situasi politik semakin mencekam. Tidak berhenti pada penyerbuan kantor partai namun terjadi Teror terhadap fungsionaris partai di seluruh Indonesia. Haryanto Taslam dan Alex Litaay diculik. Tidak diketahui tempat dimana ditahan dan diperlakukan secara tidak manusiawi, termasuk Ribka Tjiptaning, harus berurusan dengan kantor polisi dan keluarganya mendapat teror secara fisik. Banyak aktivis mahasiswa yang ditangkap dan dipenjarakan, termasuk Budiman Sudjatmiko dan beberapa aktivis PRD lainnya. Pada kenyataannya, Peristiwa 27 Juli justru menjadi energi tersendiri bagi kader partai dan aktivis prodemokrasi lainnya dalam melanjutkan perjuangan partai menuju Indonesia yang demokratis.
Untuk melanjutkan perjuangan yang tak tahu kapan berhentinya, aku menjual rumahku di Cinere dengan harga 90 juta. Hasilnya, sebagian untuk membangun rumah kreditanku di Pondok Gede yang belum selesai, dan sebagian lagi untuk biaya perjuangan. Kendati aku tidak memiliki tabungan sesenpun, aku tak peduli. Demi idealisme, aku siap menjual apapun harta yang aku miliki . rumahku di pondok gede menjadi Posko perjuangan yang dihidupkan oleh ratusan massa yang melanjutkan perjuangan dengan membuat panggung dan mimbar bebas, puluhan aktivis dan mahasiswa dari UKI dan universitas lain menginap ditempat ini, kami bersyukur karena bantuan bahan makanan seperti roti, telur, air mineral dan nasi bungkus terus mengalir dari masyarakat. Orasi demi orasi diseling oleh nyanyian perjuangan dari gitar seadanya menyemarakkan suasana dengan yel yel seperti ini, …rakyat melawan tak bisa dikalahkan, rakyat melawan tak bisa dikalahkan !!! ada energi yang mengalir di Posko ini, …
B. Posko Rakyat dan Lenteng Agung
Ada pengalaman lucu sekaligus menjengkelkan. Suatu hari, Pk. 18. 00, ada intel yang datang ke rumahku dengan beberapa mobil patroli dan satu truk tentara. Salah satu dari mereka turun menanyakan apakah Megawati akan berorasi di Poskoini ? Kami menggelengkan kepala, dan mereka meminta maaf mengatakan jika salah informasi, ternyata Megawati bukan berada di Pondok Gede, tetapi di Pondok Indah. Kami semua tertawa geli, atas keamatirannya, intel kok bisa salah informasi. Namun, sebagian orang menganggap itu hanyalah alasan, sebenarnya mereka memang ingin mengetahui kegiatan Posko kami. Ah, masa bodohlah, yang penting mereka sudah pergi dan selamatlah kami dari serbuan “ kecoa” dan “lalat hijau” (kecoa= polisi, lalat hijau=tentara). Kadang aku sendiri heran atas semangat yang tak pernah habis habisnya itu, padahal satu mobil perjuangan kami milik para mahasiswa itu sudah diambil paksa oleh para aparat yang membuntuti mereka dan mencoba dihancurkan, meski sudah dirobah nomor plat mobilnya, namun mereka tetap mengetahui keberadaan mobil butut ini, pada akhirnya kami menemukan akal dengan meminjam ambulance rumah sakit untuk operasi selanjutnya, syukur setelah itu jejak kami tidak dapat dipantau lagi oleh aparat aparat itu, setiap malam bebas keluar masuk pondok gede – cawang . dalam rangka keperluan transportasi dan komunikasi dengan berbagai elemen dan kekuatan pro demokrasi, mempersiapkan simpul simpul perjuangan dan mengatur strategi selanjutnya, dll
Pada saat yang bersamaan, rakyat mengikuti kampanye Mega-Bintang yang merupakan koalisi rakyat, antara pendukung PDI dan PPP. Koalisi ini sebagai jawaban atas situasi politik yang semakin memanas. Rakyat butuh sandaran partai yang dianggap alternatif. Mega-Bintang adalah pilihan cerdas rakyat dalam mengartikulasikan kekuasaan politik yang sudah pada titik nadir, di mana rakyat tidak dapat lagi dikelabui dan dibungkam. Kekuasaan Suharto sudah berada di ujung tanduk. Kampanye Mega-Bintang di berbagai daerah diikuti dengan antusias oleh rakyat yang telah memiliki kesadaran bahwa sudah saatnya kekuasaan berganti.
Situasi politik semakin memanas, mahasiswa turun ke jalan menuntut Soeharto mundur. Para ibu aktivis PDI melakukan pencarian dana untuk membeli nasi bungkus, minuman, telur, atau roti yang akan diberikan kepada para mahasiswa yang sedang berdemontrasi di jalan-jalan. Namun, di tengah eskalasi perlawanan rakyat, terjadi amuk massa yang disertai penjarahan dan pembakaran beberapa gedung di Jakarta.
Dari inforamasi radio terdapat dua ratus lima puluh orang menjadi mayat yang hangus terbakar, siaran pers pemerintah menganggap bahwa yang meninggal hangus terbakar itu adalah perusuh dan penjarah yang terjebak kebakaran. Para ibu yang menangis mencari keluarganya, dan mereka mengatakan jika sanak keluarganya yang meninggal di Yogya Departemen Store bukanlah perusuh atau penjarah, melainkan sedang bekerja sebagai karyawan toko atau sedang berbelanja di tempat itu. Dari kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat di Jakarta, tim relawan mencatat 1.190 jiwa meninggal dunia dalam waktu 2 hari dari tgl 13 dan 14 Mei 1998. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah kian melemah. Dan tuntutan reformasi semakin menguasai kesadaran rakyat, bahwa saatnya untuk melakukan perubahan secara ekonomi, sosial, dan politik.
Fajar Baru di Lenteng Agung
Sebuah bangunan yang kokoh tapi tidak terawat, kotor dan rimbun dengan rumput dan ilalang yang telah menjalar ke mana-mana. Menurut Tarto Sudiro (alm) gedung ini yang akan dijadikan kantor DPP PDI yang baru. Kantor ini membawa harapan baru bagi seluruh kader partai.Kami sangat antusias membersihkan kantor baru itu, kami membagi tugas siapa memperoleh tugas apa, yang mendesak adalah mengisi perabot kantor, mas Tarto (alm) membawa meja makan, komputer dan peralatan kantor lainnya, mbak Rita Hendro (alm) membawa bufet dan lemari penyimpanan arsip, juga sumbangan peralatan kantor dibawa oleh Sdr Noviantika Nasution ada sumbangan beberapa komputer dari simpatisan namun kursi masih sangat kurang. Aku kemudian membeli kursi plastik berwarna merah sebanyak 50 buah sesuai dengan kemampuanku. Pembiayaan operasional dilakukan dengan gotong royong. Mas Tarto sering memberikan dorongan dan harapan tentang kebangkitan PDI yang tidak akan lama lag. Beliau sangat percaya Fajar baru itu akan menyingsing. Kami harus menyingsingkan lengan baju, bekerja keras memenangkan dukungan rakyat dengan ideologi, bukan dengan uang dan janji manis..
Aktivitas partai dijalankan dalam suasana politik yang lebih memberi harapan. Turunnya Suharto memberi semangat tersendiri bagi pejuang demokrasi. Walau Orde Baru belum runtuh dalam makna berubahnya tatatan kekuasaan dan nilai-nilai politik, namun keberhasilan gerakan rakyat dalam menurunkan Suharto adalah kemenangan yang mampu memformulasi ulang konsepsi demokrasi dan orientasi kekuasaan dari partai politik.
Kegiatan partai seakan tidak pernah berhenti. Teman-teman dari media cetak dan elektronik dalam dan luar negeri sering hadir di kantor. Aktivis partai yang selalu hadir di kantor baru yang aku ingat adalah: Mas Tarto (alm), Mangara Siahaan Meilono, Mbak Hera, Rita Hendro (alm), Novi, Yongky, Herman, Cece, Jibeng, Dewita Hadi, Irmadi Lubis dll, pernah pada suatu pagi kami terkejut mendapatkan laporan dari Satgas, bahwa dinihari tadi kantor ini disatroni oleh beberapa orang yang naik melalui atap genteng dengan mengenakan seragam hitam hitam ala Ninja, untung para satgas sigap dan mengusir mereka yang kemudian hilang ditelan kegelapan malam, sejak hari itu jumlah Satgas yang menjaga kantor ditambah dengan personil dari DPD DKI,
PDI seperti gadis jelita yang siap dilamar banyak anggota baru yang ingin bergabung di Partai. Dibuatlah acara pelantikan 100 anggota baru secara simbolis dengan pemberian rompi yang disampaikan oleh Megawati. Mereka yang dilantik antara lain; Yakub Tobing, Postdam Hutasoit, Wijanarko Puspoyo, Tjahyo Kumolo, RK Sembiring Meliala, Sidharto, Alfian Husein. Selain itu, Kwiek Kian Gie juga merekrut anggota baru melalui Balitbang, diantaranya Heru Lelono Suko Sudarso, Prakosa, dan Pataniari Siahaan.
Kegiatan partai selanjutnya menghantarkan agenda yang paling penting yaitu membentuk kepanitiaan kongres yang disusun oleh DPP ProMega dengan jadwal pelaksanaannya tgl 8-10 Oktober 1998 di Grand Hotel Sanur Beach Denpasar Bali
C. Kongres Pascakekerasan Rezim Orba
I. Kongres 1998 di Bali
Aku ditugaskan sebagai Steering Comitee Panitia Kongres, merangkap sebagai protokoler khusus tamu Kedutaan Besar. Aku membeli buku khusus alamat pejabat korps diplomatik yang ada di Indonesia. Sungguh mengejutkan, banyak dari kedutaan yang bersedia hadir dalam Kongres PDI di Bali.Bali sangat meriah bagai lautan merah, sejurus mata memandang yang ada hanyalah warna merah. Hadir di acara kongres ini sejumlah 35 Duta Besar. Untuk menjemput para duta besar telah disediakan mobil gratis bantuan masyarakat, dan sebagai driver adalah pemiliknya sendiri, diantaranya Adi Wiryatama yang sekarang sebagai Bupati Tabanan. Salah seorang Tim Kesehatan di kongres adalah Winasa, sekarang sebagai Bupati Jembrana. Puji syukur kami panjatkan kepada Sang Pencipta Hyang Widhi Wasa atas anugerah dan kemudahan yang diberikan.
Konggres Rakyat yang Fantastik
Belum ada satupun kongres yang dilaksanakan di Republik ini yang semeriah dan fantastis seperti suasana Kongres PDI ke V di pulau seribu Pura ini. Sejauh mata memandang hanyalah warna merah yang terhampar, sehingga Surat kabar mensinyalir bahwa perputaran uang di Kongres ini yang digunakan untuk kaos, spanduk, dan bendera mencapai kurang lebih 65 milyar, tentu bisa dibayangkan bangkitnya kekuatan pro demokrasi yang berharap terhadap perubahan politik Nasional, padahal hampir selama 30 tahun lebih, Bali merupakan basis Partai Golongan Karya. Sebelum Orde Baru berkuasa, Bali merupakan basis Partai Nasionalis dan Partai Komunis. Melihat antusiasme masyarakat mengelu-elukan Megawati, terbersit harapan, adakah saatnya untuk mengembalikan banteng ke kandangnya?Dalam kongres ini, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum, Sekjen adalah Alex Litaay. Bendahara: Meliono Suwondo, Noviantika Nasution. Ketua-ketua: Roy BB Yanis, John Sara, Mangara Siahaan, Haryanto Taslam, Tarto Sudiro. Keputusan Kongres menetapkan secara resmi Megawati Soekarnoputri sebagai calon Presiden RI Periode 1999-2004.
Seiring dengan perubahan situasi sosial-politik, maka pada tgl 14 Februari 1999, PDI mendeklarasikan diri menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang merubah logo Banteng dengan garis segilima menjadi Banteng bermulut putih di dalam lingkaran putih.
II. Kongres PDI Perjuangan ke I Tahun 2000
Hotel Patra Jasa Semarang menjadi saksi dari terlaksananya sebuah kongres yang berbeda dengan kongres sebelumnya, bersahaja dan biasa-biasa saja. Walaupun penjagaan aparat cukup ketat karena posisi Megawati sebagai Wakil Presiden. Dalam pencalonan ketua umum, tanpa diduga muncul kandidat baru yang bersaing dengan Megawati untuk menjadi calon ketua umum, yaitu Eros Jarot yang berpasangan dengan Haryanto Taslam sebagai calon Sekjen. Dalam hal ini, harus diakui, Eros memiliki keberanian mencalonkan diri, walaupun tahu, kesempatan Megawati masih sangat besar untuk dicalonkan oleh dewan pimpinan cabang seluruh Indonesia.
Megawati terpilih sebagai ketua umum dengan Sekjen Sucipto. Pendatang baru yang duduk menjadi pengurus DPP PDI Perjuangan adalah Pramono Anung dan Arifin Panigoro. Pramono Anung adalah mantan aktifis HMI dikampus ITB. Dan cucu dari seorang kakek pengikut setia bung Karno (PNI) Sementara Arifin Panigoro adalah figur pengusaha minyak yang sukses, juga kendati sulit menemukan benang merah dengan historis partai. Tentu saja, nama-nama baru ini mengemban tugas yang tidak ringan dalam membawa kejayaan partai.
Jujur setelah berlangsungnya konggres Partai, kami berkumpul bersama di Cilandak dirumah mas Tarto dan bersama sama prihatin karena Mas Tarto Sudiro tidak duduk dalam struktur kepengurusan DPP PDI Perjuangan. Mas Tarto Sudiro yang sangat kami hormati, sebagai sahabat dan senior aku banyak belajar tentang kehormatan dan kewibawaan partai menjaga ideologi nasionalisme kemajemukan dan Pancasilais, sekaligus kekhawatiran mas Tarto akan penghianatan dari dalam yang akan berulang tanpa dapat dideteksi sejak awal karena mas Tarto tidak lagi berada di DPP, hingga akhir hayatnya aku bersyukur bisa berada di sampingnya. Yang pasti, aku sangat kehilangan dengan kepergiannya…… selamat jalan mas Tarto, semangatmu menjadi semangat kami untuk melanjutkan perjuangan yang tidak akan pernah selesai, life must go on….
III. Kongres PDI Perjuangan ke II Tahun 2005
Kongres yang diselenggarakan di Bali Beach Denpasar Bali ini, sesungguhnya tidak serumit yang digambarkan di media cetak maupun elektronik, meskipun menjelang kongres suasana agak memanas, dengan manuver kader kader partai yang kurang puas dengan perjalanan partai di bawah DPP PDI Perjuangan hasil Kongres Semarang.
Terpilihnya Megawati sebagai ketua umum, menjadi jawaban atas kegelisahan pengurus partai sekaligus representasi dari mengakarnya kekuatan dan karisma Megawati sebagai pemimpin partai dan pemimpin nasional. Karisma ini menjadi semakin kokoh dengan ke-Soekarno-an yang melekat demikian kuat pada Megawati, termasuk bila dibandingkan dengan anak-anak Soekarno yang lain. Kekalahan di Pemilu 2004, tidak membuat citra Megawati jatuh di hadapan pemilih setianya, terutama di hadapan anggota dan pengurus partai. [2]
Suatu hari menjelang diselenggarakan Konggres PDI Perjuangan di Bali, aku memenuhi undangan deklarasi PDI Pembaharuan di hotel Sahid jalan Sudirman, sungguh aku ingin mengetahui secara jelas apa yang ingin mereka sampaikan dalam pertemuan itu, saat aku memasuki ruangan yang hiruk pikuk dengan banyaknya wartawan, aku melihat beberapa kawanku yang duduk di panggung. Diantaranya, Roy BB Yanis, Noviantika Nasution, Angelina Patiasina, Sukowaluyo mintorahardjo, Didi Supriyadi, Arifin Panigoro , Laksamana Sukardi, dll dengan moderator sdr Uni Lubis, kebetulan aku dalam posisi berdiri karena tidak memperoleh kursi untuk duduk, dari tempat aku berdiri melihat Laksamana Sukardi sedang orasi menyampaikan sesuatu yang terkait dengan PDI Pembaharuan, namun aku terkejut ternyata ucapannya hanya berisikan pendeskriditan terhadap Megawati Soekarnoputri, Ketua umumnya sendiri dihujat habis habisan didepan publik, bukan langsung didepan megawati, secara spontanitas aku menuding ke podium ditempat Laksamana berpidato, dengan kemarahan yang tak bisa lagi kubendung aku berteriak sejadi jadinya, sungguh tidak adil selama ini Laksamana bahkan mendapatkan kesempatan 2 kali diberi penugasan sebagai mentri dalam kabinet Gotong royong, dan aku tahu betul bagaimana kehidupan mereka yang berobah terkenal setelah bergabung dengan Megawati, betapa teganya mereka itu, secara khusus kukatakan dengan lantang kepada Laksamana. “ Bukankah anda yang harus bertanggung jawab terhadap penjualan aset ? secara tehnis anda yang membuat keputusan atas penjualan aset tsb ? padahal teman teman di DPR berusaha mencegah tetapi anda jalan terus ? kok sekarang mau cuci tangan, anda ini siapa ? .. dengar wartawan kalau seorang megawati saja bisa dilecehkan, oleh seorang Laksamana yang justru dibesarkan oleh Megawati ? lantas sebesar apakah sesungguhnya penghianatan itu…. ?” sepintas aku lihat Laksamana langsung kabur meninggalkan podium entah kemana, dan aku berlalu sambil geram dan tertawa geli, semula aku kira akan mendengar orasi paparan tentang apa dan bagaimana PDI Pembaharuan yang hendak dideklarasikan, ternyata isinya hanya caci maki dan ucapan yang sungguh tidak etis didengar keluar dari bibir orang orang terhormat yang mengaku kader partai, aku katakan terhormat karena sebagian besar mereka bukan anggota biasa namun mereka adalah anggota DPR dan pejabat eksekutive Partai, lantas ikatan apakah sesungguhnya yang mengumpulkan mereka bergabung menjadi satu membangun Partai baru ? sakit hatikah ? ahh sungguh sayang mereka tidak sabar, padahal Roy Yanis adalah sahabatku yang tak dapat aku lupakan semangatnya membangun partai, aku jadi ingat pada suatu hari mas Soeryadi membawa seseorang kepadaku, yang dikenalkan sebagai aktivis GMNI komisariat UI yang bernama Roy Bb Yanis, mas Sur memintaku untuk melibatkan Roy dalam setiap aktivitas politikku, ketika itu aku masih sebagai anggota Departemen Wanita DPP PDI, dan sejak saat itu aku selalu melibatkan Roy memberikan motivasi dan pengetahuan bagaimana berpolitik praktis, jika saja Roy mau bersabar… saat indah itu pasti akan datang waktunya. Pantang bagiku merusak apa yang sudah dibangun bersama sama, tidak hanya keringat, tapi juga air mata dan materi yang tak terhingga. Kurenungkan ucapan mas Tarto yang khawatir terhadap penghianatan dari dalam yang akan berulang, dan didepan mataku peristiwa itu terjadi, .
Sekalipun nama-nama seperti Abdul Madjid, Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, dan Roy Janis, telah meninggalkan Megawati dan PDI Perjuangan, Kongres Bali tetap berjalan seperti yang diagendakan dengan terpilihnya ketua umum, sekaligus sebagai formatur tunggal yang berwenang menentukan susunan kepengurusan dewan pimpinan pusat partai. Keputusan adanya formatur tunggal sempat dipertanyakan oleh peserta kongres, meskipun pada akhirnya konsep formatur tunggal diterima oleh seluruh peserta kongres. Pada tingkat pemilihan nama pengurus, hanya Bali yang meminta klarifikasi di luar forum resmi kongres atas dipilihnya Sukmadewi Djakse sebagai Wakil Bendahara DPP. Sukmadewi dianggap bukan sebagai representasi perwakilan Bali. Ke-Bali-annya dianggap telah hilang, karena bersuamikan laki-laki Batak dan beragama Kristen. Padahal PDI adalah partai nasionalis , tidak membedakan suku bangsa, agama, pekerjaan, status dan pendidikan, setiap orang memiliki kesempatan yang sama, pada akhirnya, perwakilan Bali dapat menerima keputusan tersebut.[3]
Di samping keputusan yang bersifat internal, beberapa keputusan eksternal juga dihasilkan. Salah satunya adalah keputusan politik sebagai partai oposisi terhadap pemerintahan SBY-Kalla. Keputusan ini diambil atas dasar pembacaan politik, bahwa keberadaan partai OPOSISI sudah saatnya dihadirkan secara nyata dalam ruang politik Indonesia, di samping sebagai pengontrol dan penanding kebijakan pemerintah, juga sebagai penegasan sikap politik PDI Perjuangan yang tidak akan memberikan dukungan kepada Pemerintah SBY-Kalla. [4]
Dalam kongres di Bali ini, Megawati kembali terpilih sebagai ketua umum secara aklamasi untuk kembali memimpin DPP PDI Perjuangan perode tahun 2005-2010.
Kepengurusan DPP Periode 2005-2010
Ketua Umum | Megawati Soekarnoputri |
Sekjen | Pramono Anung |
Wakil Sekjen | Mangara Siahaan, Agnita Singadikane, Sutradara Ginting |
Bendahara | Philip Wijaya |
Wakil Bendahara | Daniel Setiawan, Ni Gusti Ayu Sukmadewi Djakse |
Ketua-ketua | Tjahyo Kumolo, Soewarno, Alexander Litaay, Murdaya Poo, Panda Nababan, Maruarar Sirait, Yacob Nuwawea, Guruh Soekarnoputra, Mindo Sianipar, Hamka Haq, Dudhie Murod, Daryatmo M, Sonny Keraf, Theo Syafei, Adang Ruchiatna, Emir Moeis, Sucipto, Firman Jaya Daely, Arif Budimanta |
[1] PPP sebagai representasi kekuatan Islam juga menjadi musuh bagi Orba, sehingga pola kontrol terhadap PDI juga berlaku bagi PPP. Bagi Orba, Islam adalah wajah lain dari kekuatan riil masyarakat yang harus dikontrol sekalipun dengan cara-cara kekerasan. [2] dikutip dari paper Sosiologi Politik Pascasarjana Sosiologi UI yang berjudul “PDI Perjuangan Menjelang Pemilu 2009, Kunjungan Megawati ke Daerah-daerah” yang disusun oleh penulis sendiri
[3] ibid
[4] ibid
Sumber:
http://sukmadewi.wordpress.com/2009/09/01/dialektika/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar