Kemerdekaan Indonesia: Berawal dari Palestina dan Mesir
Rabu,
17 Agustus 2011. Genap sudah 66 tahun usia Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Meskipun di usianya yang lebih dari setengah abad ini
pemerintah Indonesia belum benar-benar berhasil melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, belum benar-benar
berhasil memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, tetap saja nikmat kemerdekaan
ini harus kita syukuri.
Salah satu bentuk rasa syukur adalah dengan ‘jasmerah’—jangan
sekali-kali melupakan sejarah! Karena sejarah dapat menjadi bahan
pelajaran dan pertimbangan bagi pilihan sikap dan tindakan di masa kini
atau di masa mendatang.
Berkaitan
dengan sejarah kemerdekaan Indonesia, ada hal yang jarang sekali
diungkap, yakni tentang negara mana saja yang pertama kali membantu dan
memberikan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Patut dicatat bahwa
dukungan dan pengakuan kedaulatan Indonesia pertama kali adalah datang
dari negara-negara muslim di Timur Tengah. Bukan dari negara-negara
Barat.
Berawal dari Palestina
Gong
dukungan untuk kemerdekaan Indonesia ini dimulai dari Palestina. M.
Zein Hassan, Lc (Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia)
dalam bukunya “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” (hal. 40)
menyatakan tentang peran serta, opini dan dukungan nyata Palestina
terhadap kemerdekaan Indonesia, di saat negara-negara lain belum berani
untuk memutuskan sikap.
Dukungan
Palestina ini diwakili oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini—mufti besar
Palestina. Pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan
‘ucapan selamat’ beliau ke seluruh dunia Islam, bertepatan ‘pengakuan
Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia.
Bahkan
dukungan ini telah dimulai setahun sebelum Sukarno-Hatta benar-benar
memproklamirkan kemerdekaan RI. Seorang yang sangat bersimpati terhadap
perjuangan Indonesia, Muhammad Ali Taher (seorang saudagar kaya
Palestina) spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa
meminta tanda bukti dan berkata: “Terimalah semua kekayaan saya ini
untuk memenangkan perjuangan Indonesia”. Setelah itu dukungan mengalir.
Dukungan Mesir
Di
Mesir, sejak diketahui sebuah negeri Muslim bernama Indonesia
memplokamirkan kemerdekaannya, Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM), organisasi
Islam yang dipimpin Syaikh Hasan Al-Banna, tanpa kenal lelah terus
menerus memperlihatkan dukungannya. Selain menggalang opini umum lewat
pemberitaan media yang memberikan kesempatan luas kepada para mahasiswa
Indonesia untuk menulis tentang kemerdekaan Indonesia di koran-koran
lokal miliknya, berbagai acara tabligh akbar dan demonstrasi pun
digelar.
Para
pemuda dan pelajar Mesir, juga kepanduan Ikhwan, dengan caranya sendiri
berkali-kali mendemo Kedutaan Belanda di Kairo. Tidak hanya dengan
slogan dan spanduk, aksi pembakaran, pelemparan batu, dan
teriakan-teriakan permusuhan terhadap Belanda kerap mereka lakukan.
Kondisi ini membuat Kedutaan Belanda di Kairo ketakutan. Mereka dengan
tergesa mencopot lambang negaranya dari dinding Kedutaan. Mereka juga
menurunkan bendera merah-putih-biru yang biasa berkibar di puncak
gedung, agar tidak mudah dikenali pada demonstran.
Kuatnya
dukungan rakyat Mesir atas kemerdekaan RI membuat pemerintah Mesir
mengakui kedaulatan pemerintah RI atas Indonesia pada 22 Maret 1946.
Dengan begitu Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah itu menyusul Syria, Iraq,
Lebanon, Yaman, Saudi Arabia dan Afghanistan. Selain negara-negara
tersebut, Liga Arab juga berperan penting dalam Pengakuan RI. Secara
resmi keputusan sidang Dewan Liga Arab tanggal 18 November 1946
menganjurkan kepada semua negara anggota Liga Arab supaya mengakui
Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat. Alasan Liga Arab
memberikan dukungan kepada Indonesia merdeka didasarkan pada ikatan
keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan.
Dukungan dari Liga Arab dijawab oleh Presiden Soekarno dengan
menyatakan bahwa antara negara-negara Arab dan Indonesia sudah lama
terjalin hubungan yang kekal “Karena di antara kita timbal balik
terdapat pertalian agama”.
Pengakuan Mesir dan negara-negara Arab tersebut melewati proses yang
cukup panjang dan heroik. Begitu informasi proklamasi kemerdekaan RI
disebarkan ke seluruh dunia, pemerintah Mesir mengirim langsung konsul
Jenderalnya di Bombay yang bernama Mohammad Abdul Mun’im ke Yogyakarta
(waktu itu Ibukota RI) dengan menembus blokade Belanda untuk
menyampaikan dokumen resmi pengakuan Mesir kepada Negara Republik
Indonesia. Ini merupakan pertama kali dalam sejarah perutusan suatu
negara datang sendiri menyampaikan pengakuan negaranya kepada negara
lain yang terkepung dengan mempertaruhkan jiwanya. Ini juga merupakan
Utusan resmi luar negeri pertama yang mengunjungi ibukota RI.
Pengakuan dari Mesir tersebut kemudian diperkuat dengan
ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan Indonesia – Mesir di Kairo.
Situasi menjelang penandatanganan perjanjian tersebut duta besar Belanda
di Mesir ‘menyerbu’ masuk ke ruang kerja Perdana Menteri Mesir Nuqrasy
Pasha untuk mengajukan protes sebelum ditandatanganinya perjanjian
tersebut. Menanggapi protes dan ancaman Belanda tersebut PM Mesir
memberikan jawaban sebagai berikut: ”Menyesal kami harus menolak protes
Tuan, sebab Mesir selaku negara berdaulat dan sebagai negara yang
berdasarkan Islam tidak bisa tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia
yang beragama Islam. Ini adalah tradisi bangsa Mesir dan tidak dapat
diabaikan”.
Raja Farouk Mesir juga menyampaikan alasan dukungan Mesir dan Liga
Arab kepada Indonesia dengan mengatakan ”Karena persaudaran Islamlah,
terutama, kami membantu dan mendorong Liga Arab untuk mendukung
perjuangan bangsa Indonesia dan mengakui kedaulatan negara itu”
Dengan adanya pengakuan Mesir, Indonesia secara de jure
adalah negara berdaulat. Masalah Indonesia menjadi masalah
Internasional. Belanda sebelumnya selalu mengatakan masalah Indonesia
“masalah dalam negeri Belanda”. Pengakuan Mesir dan Liga Arab mengundang
keterlibatan pihak lain termasuk PBB dalam penyelesaian masalah
Indonesia.[1]
Untuk
menghaturkan rasa terima kasih, pemerintah Soekarno mengirim delegasi
resmi ke Mesir pada tanggal 7 April 1946. Ini adalah delegasi pemerintah
RI pertama yang ke luar negeri. Mesir adalah negara pertama yang
disinggahi delegasi tersebut.
Tanggal
26 April 1946 delegasi pemerintah RI kembali tiba di Kairo. Beda dengan
kedatangan pertama yang berjalan singkat, yang kedua ini lebih intens.
Di Hotel Heliopolis Palace, Kairo, sejumlah pejabat tinggi Mesir dan
Dunia Arab mendatangi delegasi RI untuk menyampaikan rasa simpati.
Selain pejabat negara, sejumlah pemimpin partai dan organisasi juga
hadir. Termasuk pemimpin Hasan Al-Banna dan sejumlah tokoh IM dengan
diiringi puluhan pengikutnya.
Malam tanggal 6 Mei 1946, delegasi Indonesia dipimpin oleh H. Agus
Salim, Deputi Menlu Indonesia berkunjung ke kantor pusat dan koran IM.
Beliau mengungkapkan rasa terima kasih Indonesia atas dukungan IM kepada
mereka.
Tanggal 10 November 1947, mantan PM Indonesia dan penasehat Presiden
Soekarno, Sutan Syahrir, berkunjung ke kantor pusat dan koran IM.
Kedatangan mereka disambut dengan gembira dan meriah oleh IM.
Sebuah Renungan
Fakta sejarah ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa soliditas umat
Islam adalah kekuatan dahsyat yang harus terus dipelihara. Oleh karena
itu upaya-upaya untuk melakukan konsolidasi antara bangsa-bangsa muslim,
menyangkut masalah politik, ekonomi, sosial, pertahanan keamanan, dan
peradaban Islam secara umum harus terus diperjuangkan, sehingga rahmat
Islam dapat menebar di seluruh penjuru bumi dan dirasakan oleh seluruh
umat manusia.
Khusus bagi bangsa Indonesia fakta sejarah ini mengingatkan bahwa
mereka ‘berutang budi’ pada Islam yang telah mengajarkan prinsip ukhuwah
Islamiyah. Berkat semangat persatuan dan persaudaraan Islam inilah
bangsa Indonesia dapat memperoleh dukungan kemerdekaan dari berbagai
negara di dunia.
Oleh karena itu alangkah eloknya jika bangsa ini dapat meningkatkan
penghargaannya pada ajaran Islam. Bahkan bersedia menegakkan nilai-nilai
universalnya dalam masyarakat dan bangsa Indonesia.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Wa li-Llahil hamd! Merdeka!
Sumber Tulisan
http://unimolly.multiply.com/journal/item/61/Di_Balik_Kemerdekaan_Indonesia
Palestina Bantu kemerdekaan Indonesia, http://www.suara-islam.com
Sumbangan Al-Ikhwan Al-Muslimun untuk Kemerdekaan Republik Indonesia, Rizki Ridyasmara
Sepak Terjang IM di Indonesia, Abu Ghozzah
[1]Suatu
kondisi yang patut kita kritisi selang beberapa tahun dari kemerdekaan
Indonesia, Israel memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 14 Mei
1948 pada pukul 18.01. Sepuluh menit kemudian, pada pukul 18.11, Amerika
Serikat langsung mengakuinya. Pengakuan atas Israel juga dinyatakan
segera oleh Inggris, Prancis dan Uni Soviet. Seharusnya hal yang sama
bisa saja dilakukan oleh Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Uni
Soviet untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada saat itu. Tetapi hal
tersebut tidak terjadi, justru negara-negara Muslim lah yang
berkontribusi konkret dalam mengakui dan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
15 pemikiran pada “Kemerdekaan Indonesia: Berawal dari Palestina dan Mesir”
2017, Tahun bagi Masa Depan Palestina?
By
Posted on
KTT Organisasi Kerjasama Islam (OKI)
ke 5 yang dihelat di Jakarta 6 – 7 Maret 2016 telah berakhir, dimana 605
delegasi dari negara anggota serta berbagai organisasi turut serta.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas tidak mau ketinggalan untuk menghadiri
perhelatan itu, maklum masa depan Palestina dan Al-Quds Al-Sharif
menjadi inti utama pembicaraan.
KTT Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ke-5 yang dihelat di Jakarta 6 –
7 Maret 2016 telah berakhir. 605 delegasi dari negara anggota serta
berbagai organisasi turut serta. Presiden Otoritas Palestina Mahmoud
Abbas tidak mau ketinggalan untuk menghadiri perhelatan itu. Maklum,
masa depan Palestina dan Al-Quds Al-Sharif menjadi inti utama
pembicaraan.
Deklarasi Jakarta telah lahir. Deklarasi tersebut mengutuk dan
menekan Israel untuk menghentikan pendudukan terhadap Yerusalem dan
Palestina, serta menghentikan pembangunan pemukiman ilegal di salah satu
wilayah Arab paling tua tersebut.
Namun jika berbicara tentang efektivitas suatu aksi, apakah deklarasi
tersebut akan menghasilkan solusi yang benar-benar kongkret bagi
Palestina? Kita tunggu.
Sambil menunggu jawaban dari pertanyaan di atas, mari kita mengulas beberapa bagian dari sejarah konflik Palestina dan Israel.
Pada tahun 1967, terjadi Perang Enam Hari yang juga dikenal sebagai
perang Arab-Israel. Perang ini merupakan salah satu manifestasi
ketegangan di Timur Tengah akibat pendirian negara Israel. Konflik di
tanah Palestina ini melibatkan Mesir, Suriah dan Yordania, melawan
Israel.
Hasilnya, Israel berhasil merebut Semenanjung Sinai, Kota Tua
Yerusalem, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Jalur Gaza.
Keberhasilan Israel selama Perang Enam Hari diingat sebagai An Naksah
atau “Kemunduran” dalam sejarah Palestina.
Peristiwa itu terjadi 49 tahun yang lalu, dan sekarang sedang
bergerak menuju angka 50 pada tahun 2017 mendatang. Artinya, 50 tahun
lamanya sudah Israel berdiri di atas penderitaan Palestina. Apakah
cukup? Sepertinya belum.
Sejarah yang tidak berpihak
Pada 2 November 1917, Arthur James Balfour, Menteri Luar Negeri
Britania Raya yang kini disebut Inggris, memberikan sebuah surat kepada
Lord Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris untuk dikirimkan
kepada Federasi Zionis.
Surat tertanggal 31 Oktober 1917 itu menyatakan bahwa pemerintah
Inggris mendukung rencana-rencana Zionis untuk menciptakan rumah
nasional bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat bahwa tidak ada hal-hal
yang merugikan hak-hak sipil dan politik dari penduduk non Yahudi di
Palestina.
Surat asli
- Foreign Office
- November 2nd, 1917
- Dear Lord Rothschild,
- I have much pleasure in conveying to you, on behalf of His Majesty's Government, the following declaration of sympathy with Jewish Zionist aspirations which has been submitted to, and approved by, the Cabinet.
-
- "His Majesty's Government view with favour the establishment in Palestine of a national home for the Jewish people, and will use their best endeavours to facilitate the achievement of this object, it being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non-Jewish communities in Palestine, or the rights and political status enjoyed by Jews in any other country."
- I should be grateful if you would bring this declaration to the knowledge of the Zionist Federation.
- Yours sincerelys,
- Arthur James Balfour
Terjemahan dalam bahasa Indonesia
Departemen Luar Negeri 2 November 1917
- Lord Rothschild yang terhormat,
- Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh Kabinet.
-
- "Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya ."
- Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.
- Salam,
- Arthur James Balfour
Peristiwa itu kemudian disebut dengan Deklarasi Balfour. Terjadi
seratus tahun yang lalu (jika dihitung pada tahun 2017). 50 tahun
sebelum perang enam hari berkecamuk, embrio lahirnya Israel.
Pada tahun 1947, PBB mengeluarkan sebuah resolusi yang
merekomendasikan pembentukan Negara Arab, Yahudi serta Rezim
Internasional khusus untuk Kota Yerusalem, dikenal dengan nama UN
Partition Plan.
Kronologisnya seperti ini: runtuhnya kekaisaran Turki menjadi awal
mula pendudukan Israel di Palestina. Palestina dikategorikan sebagai
daerah mandat dari Liga Bangsa-bangsa dan kemudian diteruskan oleh PBB
sebagai bagian dari trusteeship (perwalian).
Inggris sebagai pemegang mandat Palestina sejak tahun 1922, tidak
mampu mengendalikan bentrokan yang terjadi antara bangsa Arab Palestina
yang terdesak oleh imigran Yahudi yang semakin membanjir.
Setelah mengalami proses yang panjang, akhirnya Majelis Umum PBB
mengeluarkan Resolusi No. 181 (II) pada 29 November 1947 yang kemudian
dikenal sebagai UN Partition Plan. Isinya menyetujui rencana membagi
Palestina menjadi tiga bagian.
Kini resolusi tersebut akan menginjak usia 70 tahun (jika dihitung
pada tahun 2017), dan hingga kini Negara Arab maupun Yerusalem tidaklah
berdiri sebagai sebuah negara sesuai resolusi. Tetapi menjadi bagian
invasi militer Israel, karena Palestina belum diakui sebagai negara
merdeka.
Pada 9 Desember 1987, muncul Intifada pertama yang dengan cepat
menyebar ke seluruh wilayah Palestina. Intifada berasal dari bahasa
arab, yakni kebangkitan atau mengguncang.
Intifada merupakan gerakan perlawanan terhadap Israel atas pendudukan
di tepi barat dan Gaza. Gerakan ini berakhir pada tahun 1991, pada
perhelatan konferensi Madrid yang kemudian berlanjut pada persetujuan
Oslo, September tahun 1993.
Save The Children, sebuah lembaga amal, mencatat korban jiwa dari
Palestina sekitar 2 ribu orang dan 29 ribu anak-anak mendapatkan
pertolongan medis. Jumlah manusia yang tidak sedikit, yang mungkin
menghilangkan dua atau tiga generasi.
Intifada pertama berlangsung 30 tahun yang lalu (jika dihitung pada tahun 2017).
Apa yang menarik dari ketiga peristiwa diatas, tidak lain dan tidak
bukan adalah kondisi Palestina yang tidak mengalami perubahan. Semuanya
saling berkaitan, menghasilkan penindasan yang belum berakhir di bumi
Palestina hingga sekarang.
2017, sebuah pertanyaan
50 tahun hidup di bawah kekuasaan militer asing merupakan sebuah parodi yang mengerikan. Kejahatan terhadap konsep pemerintahan ala filsuf Inggris John Locke, dimana sebuah pemerintahan hanya dapat berdiri dengan sah ketika melalui persetujuan rakyat. Hal yang tidak terjadi dalam pembentukan Israel.Negara itu didirikan di atas percikan darah.
2017 didepan mata, meskipun itu memakan waktu sembilan bulan kedepan.
Namun waktu memang terlampau cepat melewati hari demi harinya, yang
kadang membuat alpa bagi mereka yang mengabaikannya.
2017 menjadi tahun yang sangat penting bagi Palestina. ketika rakyat
Palestina menginjakkan kaki di tahun tersebut, apakah rangkaian kejadian
diatas masih terus berlangsung? Apakah berbagai peristiwa sejarah kelam
tersebut sempurna menggenapkan bilangannya? Atau, mungkinkah Palestina
merdeka?
Pertanyaan yang paling penting yang harus kita tanyakan pada diri
kita sendiri, apa yang sudah kita berikan untuk terwujudnya Palestina
merdeka? [rf/Islampos]
Ahad, 17 April 2016, 05:44 WIB
Akhirnya, 65 Ribu Muslim Palestina Shalat Jumat di Masjid Al-Aqsa
Rep: C27/
Red: Angga Indrawan
Reuters/Ammar Awad
http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/16/04/17/o5qzjz365-akhirnya-65-ribu-muslim-palestina-shalat-jumat-di-masjid-alaqsa
REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Berkali-kali mendapatkan
penolakan untuk melakukan ibadah di Masjid Al-Aqsa, akhirnya umat Muslim
Palestina bisa melaksanakan shalat Jumat berjamah. Sebanyak 65 ribu
jamaah Palestina memadati Masjid tempat belangsungnya Isra Miraj
Rasulullah.
Meski harus mendapatkan pengawalan ketat ketika beribadah, ternyata
ini menjadi kebahagiaan yang tidak tertandingi. Bagi umat Islam setelah
berkali-kali tertolak untuk melakukan ibadah, akhirnya perjuangan
tersebut dapat terbayarkan.
Jumlah yang mencapai 65 ribu jamaah shalat Jumat itu termasuk 200
jamaah berasal dari Jalur Gaza. Mereka bisa melaksanakan shalat Jumat di
Masjid dengan melalui Erez.
Pasukan polisi Israel sudah disiagakan untuk menjaga penyelenggaraan shalat Jumat ini sejak pagi hari. Dikutip dari AhlulBayt News Agency, Ahad (17/4), Sheikh Youssef Abu Snineh dari Al-Aqsa memberikan khotbah dengan penuh semangat.
Dia berkali-kali menegaskan perlakuan tidak adil dengan adanya penangkapan terhadap Sheikh Mohamed Salim lebih dari seminggu setelah khotbah terakhirnya.
Dia berkali-kali menegaskan perlakuan tidak adil dengan adanya penangkapan terhadap Sheikh Mohamed Salim lebih dari seminggu setelah khotbah terakhirnya.
Sukarno dan Palestina
Sukarno berpidato dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, 1955.
Foto: KITLV.
Foto: KITLV.
MF Mukthi
Sukarno terus menyokong perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina dari kolonialisme Israel.
Perjuangan Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel telah dilakukan sejak era Presiden Sukarno. Baginya, tiap bangsa punya hak menentukan nasibnya sendiri tanpa melalui pengaturan dan campur tangan negara lain.
Sedari awal, Indonesia tak mau mengakui Israel yang diproklamasikan David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948, karena merampas tanah rakyat Palestina. Pemerintah Indonesia tak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ucapan selamat dan pengakuan kemerdekaan Indonesia yang dikirimkan Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Ben Gurion tak pernah ditanggapi serius pemerintah Indonesia. Mohammad Hatta hanya mengucapkan terimakasih, namun tak menawarkan timbal-balik dalam hal pengakuan diplomatik. Sukarno juga tak menanggapi telegram ucapan selamat dari Israel. (Baca: Israel Akui Kedaulatan Indonesia)
Sewaktu Sukarno mulai menggagas Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 1953, Indonesia dan Pakistan menolak keras diikutsertakannya Israel dalam konferensi tersebut. Keikutsertaan Israel bakal menyinggung perasaan bangsa Arab, yang kala itu masih berjuang memerdekakan diri. Sementara Israel adalah bagian dari imperialis yang hendak dienyahkan Sukarno dan pemimpin-pemimpin dunia ketiga lainnya.
Dalam pidato pembukannya di KAA pada 1955 yang juga dihadiri pejuang Palestina Yasser Arafat, Sukarno menyatakan bahwa kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya. (Baca: Bom di Tengah Konferensi Asia-Afrika)
Maka dari itu, tulis Ali Sastroamidjojo dalam Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Bung Karno mengajak supaya bangsa-bangsa Asia dan Afrika di dalam Konperensi ini membentuk satu front anti-kolonialisme dengan membangun dan memupuk solidaritas Asia-Afrika.
“Imperialisme yang pada hakikatnya internasional hanya dapat dikalahkan dan ditundukkan dengan penggabungan tenaga antiimperialisme yang internasional juga,” ujar Sukarno dalam pidato hari ulangtahun Republik Indonesia ke-21 pada 17 Agustus 1966, sebagaimana dimuat dalam Revolusi Belum Selesai.
Pasca KAA, solidaritas Asia-Afrika menguat dan semangat antikolonialisme makin membara di dada rakyat kedua benua. Sukarno makin keras mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Hal itu dia lakukan dengan berbagai cara, tak terkecuali melalui olahraga. Maulwi Saelan, pengawal Sukarno, masih ingat betul pengalamannya tatkala sepakbola menjadi salahsatu alat perjuangan Indonesia di pentas politik internasional. Menurutnya, pada 1958 Indonesia tinggal selangkah lagi masuk ke ajang Piala Dunia. Di penyisihan wilayah Asia Timur, Indonesia berhasil menundukkan Tiongkok. Indonesia tinggal memainkan pertandingan penentuan melawan Israel sebagai juara di wilayah Asia Barat. Namun, Sukarno melarangnya. “Itu sama saja mengakui Israel,” ujar Maulwi menirukan omongan Sukarno, kepada Historia. “Ya, kita nurut. Nggak jadi berangkat,” lanjut mantan penjaga gawang tim nasional yang pernah membawa Indonesia menahan imbang Uni Soviet dalam Olimpiade Melbourne 1956.
Perlawanan terhadap Israel kembali dilakukan oleh Sukarno ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962. Pemerintah Indonesia tak memberikan visa kepada kontingen Israel dan Taiwan. Meski alasan resmi yang dikeluarkan adalah, Indonesia tak mempunyai hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut, tapi alasan politik antiimperialisme Sukarno mendasari kebijakan tersebut. Saat itu, negara-negara Arab sedang bersengketa dengan Israel yang ditopang Barat. Sedangkan China dikucilkan dunia internasional setelah Barat hanya mengakui Taiwan sebagai pemerintahan China yang sah. Sukarno melihat hal ini sebagai bentuk penindasan negara-negara Old Established Forces (Oldefos) terhadap New Emerging Forces (Nefos).
Akibatnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menskors keanggotaan Indonesia dengan batas waktu yang tak ditentukan. Alih-alih patuh, Sukarno justru memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia keluar dari IOC pada Februari 1963. Sukarno terus melawan. “Sebagai jawabannya Sukarno membentuk Ganefo yang diadakan tahun 1963, yang menjadi pertanda kebesaran bangsa ini dan pertanda ketidaktergantungan pada kekuatan-kekuatan dunia yang ada,” tulis John D. Legge dalam Sukarno: Biografi Politik. (Baca: Ganefo dan Mimpi Besar Sukarno di majalah Historia Nomor 17 Tahun II, 2014)
Semasa pemerintahan Sukarno pula Indonesia aktif mendukung perjuangan kemerdekaan di berbagai penjuru dunia dengan bantuan dana dan lain sebagainya. Tak hanya di tingkat pemerintahan, rakyat Indonesia juga aktif mendukung kemerdekaan Palestina dan bangsa-bangsa lain seperti Aljazair dan Afrika Selatan. Melalui OISRAA (Organisasi Indonesia untuk Setikawanan Rakyat Asia-Afrika) yang berdiri pada 1960 dan tergabung dalam AAPSO (Organisasi Solidaritas Rakyat Asia-Afrika), kerjasama perjuangan tersebut diintensifkan.
Hingga saat kekuasaannya sudah direbut Jenderal Soeharto pada 1966, Sukarno tetap pada pendiriannya dalam hal perjuangan rakyat Palestina melawan Israel. Dalam pidatonya pada hari ulangtahun Republik Indonesia ke-21, Sukarno menyatakan, “Kita harus bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus, bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel!”
One States Solution, Jalan Keluar untuk Palestina-Israel
https://dinasulaeman.wordpress.com/2014/07/11/one-states-solution-jalan-keluar-untuk-palestina-israel/
Oleh: Dina Y. Sulaeman*PBB, AS, (bahkan juga pemerintah Indonesia), mengusulkan solusi dua negara (two states solution) untuk mendamaikan Palestina-Israel. Tawaran solusi ini adalah: Israel dan Palestina menjadi dua negara yang hidup berdampingan secara damai.
Ada lobang besar dalam tawaran ini, yaitu sifat alami (nature) dari Rezim Zionis sendiri. Penyelesaian dengan cara mendirikan dua negara terpisah yang berdampingan secara damai, sementara wilayah Palestina sendiri (Tepi Barat dan Gaza) letaknya terpisah satu sama lain, sulit terwujud. Sifat alami Rezim Zionis sejak didirikan adalah menyerang, mengusir, dan menduduki wilayah milik orang-orang Palestina. Terbukti, hingga hari ini, Israel masih terus melakukan kekerasan, yang dibalas oleh para pejuang Palestina; pembangunan permukiman terus dilanjutkan, bahkan ditambah pula dengan pembangunan Tembok Zionis. Israel juga melancarkan perang terbuka secara terang-terangan, seolah mengejek dunia internasional yang tidak mampu berbuat apa-apa. Pada tahun 2006, Israel membombardir Gaza dengan Summer Rains and Autumn Clouds Operation, tahun 2009 dengan ‘Cast Lead Operation’, tahun 2012 dengan ‘Pillar of Defence Operation, dan kini tahun 2014 aksinya diulang lagi dengan diberi nama ‘Protective Edge Operation’.
Dr. Ilan Pappe, sejarawan Yahudi, mengatakan,
“Two-state solution lebih merupakan sebuah cara untuk mengatur sejenis pemisahan antara penjajah dan yang dijajah, daripada sebuah solusi permanen yang terkait dengan kriminalitas Israel tahun 1948, dengan keberadaan 20% orang Palestina di dalam wilayah Israel, dan dengan populasi para pengungsi yang terus meningkat sejak 1948.
Ketika ide two-state menjadi landasan dari proses perdamaian, ide itu memberikan payung bagi Israel untuk meneruskan operasi pendudukannya tanpa takut. Hal ini karena pemerintah Israel, siapapun perdana menterinya, dianggap terlibat dalam proses perdamaian—dan Anda tidak bisa mengkritik sebuah negara yang terlibat dalam proses perdamaian.
Di bawah kedok ‘proses perdamaian’, atau bisa juga disebut “di bawah kedok dua negara untuk dua bangsa, permukiman-permukiman diperluas, kekerasan dan penindasan terhadap bangsa Palestina semakin mendalam.[1]Virginia Tilley, profesor ilmu politik asal AS, penulis buku The One State Solution, juga menyatakan kepesimisannya atas ide two-state solution.
“Two-state solution untuk konflik Israel-Palestina adalah ide, dan kemungkinan, yang waktunya telah habis. Kematian ide ini dikaburkan oleh tontonan sehari-hari: wacana ‘Peta Jalan’ yang tak berguna, lingkaran pembunuhan yang dilakukan tentara Israel dan bom bunuh diri orang Palestina, pertarungan politik internal Palestina, penghancuran rumah-rumah dan angka kematian – semua memperlihatkan konflik yang selalu mendominasi wilayah itu.”[2]Di Mana Jalan Keluar?
Untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini, mari kita kembali menelaah pemikiran Ahmadinejad. Dalam peringatan Intifadhah Palestina di Teheran, 15 April 2006, Ahmadinejad menyampaikan pidato berikut ini.
Apakah tragedi yang diakibatkan oleh rezim seperti ini (Zionis) dianggap kecil dibanding tragedi Holocaust yang kalian klaim itu? Jika dalam tragedi Holocaust terdapat keragu-raguan, maka dalam holocaust di Palestina tidak ada keraguan sama sekali, Holocaust ini telah dan sedang terjadi di Palestina selama 60 tahun.
Kenyataan pahit adalah, jaringan Zionisme yang luas selama puluhan tahun dengan tujuan penguasaan dan penjajahan, telah memperalat negara-negara Barat untuk melayani kepentingannya dan sebagian pemerintahan yang lemah di Barat telah menyerah di depan kekuatan kaum Zionis. Hari ini tidak hanya Palestina dan dunia Islam yang terkena pengaruh ancaman Zionisnme, melainkan bangsa-bangsa di Barat; sebagian besar keuntungan ekonomi dan kekuatan politik mereka berada dalam cengkeraman Zionis. Dengan menyesal harus saya umumkan bahwa pemerintahan-pemerintahan di sebagian negara Eropa yang berada di bawah pengaruh Zionis, untuk memperkuat kedudukan mereka, telah menyerahkan sumber-sumber keuangan, industri, pertanian dan pos-pos penting dalam negerinya kepada Zionis, begitu pula dengan kebebasan, kehormatan, dan kemuliaan rakyatnya sendiri .
Masalah Palestina bukan hanya problem bagi Dunia Islam, melainkan juga masalah kemanusiaan hari ini. Tragedi pendudukan dan kejahatan harian di Palestina telah memberikan pukulan terhadap kehormatan dan kemuliaan kemanusiaan. Manusia bebas mana yang akan rela terhadap apa yang sedang terjadi di tanah pendudukan? Betapa banyak orang Palestina yang meninggal dalam harapan untuk kembali ke rumahnya?Betapa banyak anak-anak Palestina yang berada dalam impian untuk hidup di tanah airnya sendiri dan berharap bisa kembali ke rumah ayah mereka?Di manakah jalan keluar?
Kedamaian dan ketenangan yang abadi haruslah berdasarkan keimanan kepada Tuhan, penghormatan atas kemuliaan manusia, dan keadilan yang kokoh. Kezaliman dan permusuhan tidak akan sejalan dgn keimanan, kemuliaan manusia, dan keadilan. Rezim Zionis adalah sebuah kezaliman yang terang-terangan dan esensinya adalah sebuah ancaman yang berkelanjutan; pendiriannya pun dengan tujuan yang sama, yaitu untuk menempatkan sebuah ancaman kontinyu di kawasan. Oleh karena itu keberlanjutan kehidupan rezim ini adalah keberlanjutan ancaman dan kezaliman. Rezim ini tak punya wajah lain selain ancaman dan agresi dan secara esensial, karena itu memang tidak mungkin berada dalam atmosfer yang damai dan tenang. Rezim seperti ini bahkan bila hanya hidup di satu jengkal tanah Palestina, tetap akan melanjutkan ancamannya. Perhatikanlah betapa kekuatan-kekuatan arogan saat membela rezim Zionis sama sekali tidak menghiraukan keadilan, HAM, dan kemuliaan manusia.
Pemerintahan illegal Zionis merupakan meeting point dari semua kejahatan dan ketidakadilan kekuatan-kekuatan jahat dan arogan. Konflik Palestina dan nasib bangsa-bangsa di kawasan hanya bisa selesai dengan berdirinya sebuah pemerintahan yang merakyat. Hak memerintah adalah dari rakyat Palestina dan merekalah yang harus memilih jenis dan pejabat pemerintahan mereka sendiri. Dengan kata lain, harus diberikan kesempatan supaya semua orang Palestina asli, baik itu muslim, Kristen dan Yahudi, yang tinggal di dalam Palestina serta para pengungsi Palestina yang tinggal di negara-negara lain secara bebas mengungkapkan kehendak mereka dalam penentuan jenis pemerintahan dan siapa pejabatnya.
Dengan kata lain, satu-satunya jalan yang bijaksana dan logis dalam parameter yang diakui oleh dunia internasional adalah referendum dengan diikuti oleh semua orang Palestina asli. Para pendukung rezim Zionis dalam menghadapi usulan logis ini berdiam diri. Kepada mereka kita katakan, mau tidak mau, rezim Zionis pasti akan hancur. Front perjuangan Palestina dipenuhi oleh para pemuda dan (jiwa mereka dipenuhi) oleh iman dan kebebasan. Rezim Zionis adalah pohon yang telah kering dan meranggas, yang akan segera ditumbangkan oleh sebuah topan.Yang dimaksud dengan Palestina asli oleh Ahmadinejad dalam pidatonya adalah semua orang yang tinggal di Palestina (artinya, termasuk juga orang-orang yang tinggal di wilayah Palestina yang sejak 1948 diberi nama ‘Israel’) dan orang-orang yang semula tinggal di Palestina, lalu diusir keluar oleh tentara Zionis dan hingga kini hidup di pengungsian.
Minimalnya, ada dua kesimpulan utama yang bisa diambil dari pendapat Ahmadinejad di atas, yaitu sebagai berikut.
- Rezim Zionis secara esensial tidak akan bisa mengakomodasi solusi perdamaian apapun. Karena itu, satu-satunya jalan keluar adalah perubahan rezim.
- Rezim (pemerintahan) baru harus dibentuk dan pembentukannya harus melalui referendum yang diikuti oleh semua orang Palestina asli.
Ide ini dilandaskan pada pemikiran berikut:
- Bila Rezim Zionis terus berdiri, perang tidak akan pernah berhenti karena cita-cita Zionis adalah mendirikan negara khusus Yahudi dan untuk itu, mereka akan terus mengusir orang-orang Palestina demi memperluas wilayahnya.
- Bila Palestina ingin mendirikan negara khusus Palestina dan mengusir keluar orang-orang Yahudi, perang juga akan terus berlanjut. Namun dalam perang ini, Palestina berada dalam posisi yang lebih lemah: wilayahnya lebih kecil dan terpisah, dikepung oleh wilayah Israel, serta kekurangan logistik karena blokade Israel. Akibatnya, lagi-lagi, penindasan akan terus berlangsung di Palestina.
Secara garis besar ada dua masalah dalam penerapan ide ini, pertama dari sisi orang-orang Israel dan kedua, dari sisi orang-orang Palestina. Bagi kebanyakan orang Israel, melepaskan cita-cita historis pendirian “negara khusus Yahudi” adalah hal yang sangat sulit. Cita-cita itu telah berurat-berakar dalam benak banyak orang dan sebagian mereka menyatakan, lebih baik mati daripada melepaskan cita-cita ini. Bahkan, para aktivis perdamaian Israel pun (mereka menyuarakan dihentikannya pendudukan dan kekerasan terhadap bangsa Palestina) juga banyak yang menolak ide berdirinya ‘satu negara bersama’ ini. Misalnya, Uri Avnery, aktivis perdamaian Israel, “Saya orang Israel. Saya berdiri dengan dua kaki di atas realitas Israel. Saya ingin mengubah realitas ini dari satu bentuk ke bentuk yang lain, tapi saya ingin negara ini tetap berdiri.”[3]
Orang-orang Israel juga mengkhawatirkan bahwa bila dibentuk negara bersama, otomatis mereka akan menjadi penduduk minoritas, sehingga negara yang dibentuk itu akan menjadi sebuah negara Islam dengan dipimpin oleh kelompok-kelompok ‘garis keras’ macam Hamas, Jihad Islam. Selain itu, umumnya mereka selama 60 tahun hidup dalam dunia mereka sendiri, hidup di permukiman-permukiman yang dijaga ketat dan terisolir dari kehidupan orang-orang Arab, dan menerima informasi satu arah. Banyak di antara mereka yang tidak percaya bahwa militer Israel sedemikian kejam seperti yang diceritakan orang-orang kepada mereka. Mereka memandang orang-orang Arab Palestina dengan citra yang buruk dan identik dengan teroris. Itulah sebabnya, sulit bagi mereka untuk menerima ide ini: hidup bertetangga dengan orang-orang Arab.
Di pihak Palestina sendiri, situasi juga tidak sedemikian mudah. Pihak elit politik Palestina lebih diuntungkan dengan status quo. Hal seperti ini sangat umum terjadi di banyak negara, dimana kehendak elit politik belum tentu menyuarakan kehendak rakyat. Elit politik Palestina, harus diakui, banyak hidup makmur berkat berlangsungnya konflik. Karena itu banyak dari mereka yang lebih menyukai two-states solution, yang sebenarnya hanya memperpanjang konflik.
Alasan lain adalah, adanya paham-paham radikal yang berpaham the winner takes all, tidak ada damai dengan Yahudi. Setiap jengkal Palestina harus dikembalikan, dan semua orang Yahudi harus enyah dari Palestina, begitu biasanya retorika kaum radikal. Mereka tidak bisa menerima ide ‘hidup bersama dengan Yahudi’ dalam satu negara.
Namun, dalam teori resolusi konflik, resolusi (kesepakatan, penyelesaian) sulit tercapai jika tidak ada kemauan saling ‘memberi’ secara rasional (masing-masing pihak mengalah sedikit demi keuntungan yang lebih besar).
Sebagian orang mengkhawatirkan nasib orang-orang Yahudi bila para pengungsi Palestina diizinkan kembali ke tanah/rumah mereka masing-masing. Namun, hal itu bisa diatasi bila ada undang-undang yang adil. Di antara solusinya adalah ganti rugi yang layak bagi orang-orang Palestina yang rumah/tanahnya ternyata sudah diduduki orang Yahudi. Dengan uang ganti rugi itu, mereka bisa membeli tanah/rumah baru di lokasi yang berdekatan atau di tempat lain. Tidak perlu ada pengusiran di manapun karena akan menimbulkan konflik baru. Di sini, poin utama yang dibutuhkan adalah kesamaan pandangan dan motivasi dari semua pihak yang bertikai, yaitu motivasi untuk menciptakan negara yang demokratis dan adil. Untuk mencapai kondisi seperti ini, Dr Ilan Pappe mengatakan diperlukannya ‘pendidik’ (educator).
Ada perbedaan besar antara two state solution dan one state solution. Untuk two state solution, diperlukan politisi, tapi untuk one state solution, diperlukan pendidik. Pendidik adalah orang-orang yang tidak mengharapkan hasil dalam satu-dua tahun. Bahkan mungkin terjadi, para pendidik itu tidak melihat hasil kerja mereka sampai mereka mati. Apa yang tidak bisa dilakukan Yossi Beilin, saya bisa lakukan: mati tanpa mengetahui apakah benih pendidikan tentang satu negara bersama Yahudi-Arab akan berbuah atau tidak. Seorang politisi tidak bisa melakukan hal seperti ini, bukan karena dia tidak mau konflik berakhir, tapi karena dia tidak mau karir politiknya berhenti.[4]Perkataan Pappe senada dengan seruan Ahmadinejad, yaitu bahwa para pemikir dan cendekiawanlah yang harus maju untuk memperjuangkan penghentian kejahatan di Palestina.
Saya pikir, semua pembunuhan dan perang sudah cukup. Telah tiba waktunya (untuk menegakkan) semua sisi persaudaraan dan perdamaian. Tentu saja, yang mengambil langkah awal dalam menegakkan keadilan adalah para pemikir, cendekiawan, ulama, dan orang-orang yang hatinya dipenuhi hanya oleh cinta kepada kemanusiaan, kemuliaan kemanusian, dan perdamaian. Kita harus saling bergandengan tangan dalam melakukan usaha global untuk menegakkan perdamaian dan mengikis akar ketidakamanan dan ketidakadilan di dunia.[5]*Dikutip dari buku Ahmadinejad on Palestine, karya Dina Y. Sulaeman
[1] http://www.ilanpappe.org/Interviews/Two%20States%20or%20One%20State.html
[2]Virginia Tilley, A One State Solution, http://lrb.co.uk/v25/n21/till01_.html
[3]http://www.ilanpappe.org/Interviews/Two%20States%20or%20One%20State.html
[4] http://www.ilanpappe.org/Interviews/Two%20States%20or%20One%20State.html
[4]Teheran, 12 Desember 2006, Konferensi Holocaust
Cara termudah adalah melihat kapan berdirinya negara2 tersebut dengan hari kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945). Mesir walaupun dilepas sejak tahun 1922 oleh Britania Raya, namun karena sengitnya pergolakan politik dan sistem pemerintahan, maka Mesir baru dideklarasikan sebagai negara republik pada tahun 1953, sedangkan Palestina terlibat perseteruan yang masih berlangsung sampai saat ini dan baru memproklamirkan kemerdekaannya pada 15 November 1988. Vatican menjadi negara terkecil di dunia yang berdiri secara independen dan absolut sejak 11 Februari 1929. Lebih lanjut kita saksikan saja film “Soegija”, sebuah film sejarah yang menampilkan peran aktif seorang pahlawan Nasional dalam berjuang secara diplomasi, meng-gaung-kan. kemerdekaan Indonesia di kancah politik dunia. Dari beberapa literatur ada juga yang menyebutkan Vatikan adalah negara pertama yang pertama kali mengakui kemerdekaan RI dan hal ini tidak lepas dari perjuangan pahlawan nasional Monsinyur (Mgr.) Albertus Soegijapranata. (sumber: Google)
Twitter account: @anonymousPalsu
Facebook account: http://www.facebook.com/muh.irfanasw
Personal Blog: http://www.gueirfan.wordpress.com]
mana yg anda percaya sejarahwan indonesia atau orang luar yg merekayasa..?
tentunya sejarahwan kita bukan orang2 bodoh dalam membuat pernyataan…
saya yakin sejarahwan kita tahu gak ada untungnya menipu anak cucunya dalah sejarah…
Indonesia kurang PE DE
Yang namanya sejerah tetap sejarah,
Ada yang asli ada yang rekayasa;
Ambil sisi positifnya dari sejarah untuk bekal dimasa depan.
Sisi negatif dari sejarah ambil dan jadikan pengingat, jangan sampai kesalahan masa lalu terulang kembali.
Bilang yang negatif, yang lagi dibahas komentar
Keburukan sebuah negara apa keburukan
Dari masyarakat dari sebuah negara?
Sematkan cara membaca sejarah dengan baik, dan saat membaca sejarah lakukan seperti membaca diperpustakaan, mata melihat hati yang membaca, jika ada sejarah
Yang tidak sesuai dengan pemikiran anda,
Anda baca sejarah yang beda sumber dengan tema yang sama.
Nanti pasti anda akan mengerti, mana sejarah yang salah dan mana sejarah yang palsu, dan untuk para komentar berhati hatilah jika berkomentar menyangkut masalah agama, karena orang indonesia sangat sensitf bila menyangkut dengan agama,
Untuk yang muslim, Mempercayai hal/sejarah yang bersumber dari ( Non-Muslim )
Berhati hatilah.
Rahbar: Palestina Manifestasi Janji Allah
https://buletinmitsal.wordpress.com/info-islam/rahbar-palestina-manifestasi-janji-allah/
Ahmadinejad: Zionis, Akar Seluruh Kejahatan
Hizbullah: Aliansi Segi Empat Anti Zionis Terbentuk
Khalid Meshal: Israel Berada pada Titik Terlemah
Kepala Biro Politik Hamas itu juga mengapresiasi peran Republik Islam Iran dalam membela bangsa Palestina, dan mengkritik kebungkaman sejumlah negara Arab. Dikatakannya, “Mesir selain menutup pintu gerbang Rafha, juga membangun tembok baja di perbatasan Gaza dengan bekerjasama dengan AS. Salah satu negara Arab terbesar telah berkhianat kepada kami.” Meski mengkritik pedas, Meshal mengharapkan Mesir dapat berperan lebih baik di kawasan dan internasional.
Meshal: Kami Tidak Berkepentingan dengan Amerika
Amerika Suap Negara-Negara Arab untuk Dukung Sanksi Anti-Iran
(Imam Khomeini)