Salafynews.com,
JAKARTA – Sesuai data dalam sejarah “al-masajid al-sab’ah” atau 7
(tujuh) masjid yang terletak di kota Madinah al-Munawarah itu memiliki
hubungan yang erat dengan perang Khandaq, bangunannya hingga saat ini
masih kokoh berdiri sebagai sumber peninggalan dan situs sejarah Islam,
serta pengetahuan kejadian tersebut, 7 (tujuh) masjid itu berkaitan
dengan Rasulullah (Saw), keluarga dan para sahabatnya yang menjadi pusat
ziarah bagi orang-orang yang umroh dan berhaji dari seluruh dunia
Islam. Tempat ini merupakan salah satu tempat bersejarah yang ada di
Madinah al-Nabi, tempat bersejarah lainnya seperti masjid Quba, masjid
Dzul Qiblatain, tempat peperangan Uhud dan makam Hamzah paman Nabi, dan
Abar Ali dan Masyrabah Ummu Ibrahim yang merupakan salah satu Istri Nabi
(Saw). ( Baca Wahabi, Radikalisme Diantara ISIS dan ATHEIS)
Perang Khandaq atau biasa disebut juga
perang al-Ahzab terjadi pada tahun ke-5 H, pada kejadian perang tersebut
pasukan pemuja kesyirikan berkumpul dibawah kepemimpinan Abu Sufyan,
mereka berencana menghadang dakwah Islam dan menghancurkan kota
Madinah. Rasulullah (Saw) menggali parit berdasarkan usulan yang
diberikan oleh Sahabatnya yang bernama Salman al-Farisi, disana Sayidina
Ali berhasil membunuh Pahlawan musyrikin dari Jazirah Arab yang bernama
Amr bin Abdiwud al-Amiri. (Baca Arab Saudi Hancurkan 95 % Tempat-Tempat Suci dan Situs-Situs Bersejarah)
Dinamakan 7 masjid karena disana dahulu
terdapat sekumpulan mihrab yang terletak sepanjang pegunungan Sala’,
mihrab tersebut adalah masjid-masjid mungil yang memiliki nilai historis
dan untuk mengenang kembali perang Khandaq. Pegunungan Sala’ adalah
sebuah gunung yang berada di tengah kota Madinah, jaraknya kurang lebih
700 meter dari masjid Nabawi. Gunung tersebut begitu dikenal karena Nabi
pernah mendirikan kemah dipuncak sehingga dapat mengawasi medan perang
pada waktu itu. (Baca Darimana Asal Usul Kebengisan Ajaran Salafy Wahabi?)
7 Masjid yang dikenal itu diantaranya,
Masjid al-Mauqi’, Masjid al-Fath, Masjid Sayidina Salman al-Farisi,
Masjid Sayidina Ali bin Abi Thalib, Masjid Siti Fatimah binti
Rasulullah, Masjid Sayidina Abu Bakar, dan Masjid Sayidina Umar bin
Khatab.
Abdullah al-Anshari ( penulis buku
sejarah “ al-Masajid al-Sab’ah ) menyatakan bahwa dirinya menyakini
keutamaan masjid-masjid tersebut karena Nabi Saw pernah melaksanakan
shalat disana dan doanya di ijabahi oleh Allah SWT , seperti yang
disampaikan penulis kepada Koran Al-Hayah Arab. (Baca Wahabi Agama rekayasa monarki saudi)
Masjid tersebut memiliki nilai historis
karena sebagai saksi penting dalam perjalanan hidup kaum muslimin ketika
perang Khandaq, dimana dapat merealisasikan kemenangan yang sangat
penting saat itu. Penulis melanjutkan, bahwa peninggalan sejarah Islam
di kota Madinah al-Munawarah jumlahnya cukup banyak dan beragam,
diantaranya al-Masajid al-Sab’ah, para sahabat juga pernah melaksanakan
shalat disana disela-sela kesibukan mereka dalam berperang melawan kaum
musyrikin sehingga sebagian masjid dinamakan dengan nama-nama mereka,
tempat-tempat seperti inilah yang menyampaikan keotentikan sejarah Islam
pada kita.
Gerakan penghancuran terhadap
peninggalan dan situs sejarah Islam terus berlanjut, khususnya yang
berhubungan dengan peninggalan Nabi (Saw), Keluarganya dan juga para
Sahabatnya. Anggota dewan Ulama wahabi dan anggota komite ilmiah pemberi
fatwa di Arab Saudi, Syeikh Shaleh al-Fauzan menyarankan untuk
menghancurkan masjid-masjid yang menyebabkan bid’ah, muslimin wajib
berlepas diri dari hal-hal tersebut. “Sesungguhnya masjid-masjid –baca :
tujuh masjid di Madinah- itu hanyalah bid’ah, maka wajib untuk
dihancurkan dan membebaskan muslimin dari keburukannya dan keburukan
orang yang beribadah didalamnya, karena sesungguhnya itu bukanlah masjid
tapi tempat –tempat bid’ah” ucapnya. (Baca MUFTI MAKKAH FATWAKAN GERAKAN WAHABI SESAT)
Fatwa yang dikeluarkan ulama wahabi
seperti ini merupakan sebuah fatwa yang membentuk pola pikir dan
perusakan opini, gerakan Wahabi ini juga sama dengan landasan kelompok
teroris ISIS dan sebagian kelompok takfiri di Irak, Suriah, Mesir,
Libya, dan beberapa Negara Islam di dunia, kelompok penyusup agama ini
(Wahabi) terus menghancurkan masjid-masjid, makam para sahabat, serta
makam para wali, dan fatwa itu pada akhirnya menjadi sebuah landasan
mereka dalam menghancurkan makam para Nabi dan situs sejarah Islam
dimana saja. (Baca Wahabi Ideologi Radikal Cetak Teroris)
Pihak pemerintah Arab Saudi pun sudah
melakukan penghancuran terhadap sebagian masjid-masjid itu dan pihak
kerajaan membangun sebuah masjid besar disana sebagai gantinya demi
menghapus sejarah perang khandaq sehingga masjid-masjid itu kini hanya
sebagian saja yang tersisa.
Sejak berkuasanya Monarki Wahabi di Arab
Saudi, penghancuran terhadap tempat-tempat bersejarah dan suci telah
dilakukan sejak lama, diantaranya menghancurkan pemakaman Baqi,
disanalah tempat dikebumikannya istri-istri Nabi, Putra-putri Nabi dan
para sahabat. Agenda penghancuran dilakukan tanpa henti dengan alasan
bid’ah, akan tetapi justru setelah dihancurkan mereka menjadikan
tempat-tempat suci tersebut sebagai pusat berbagai bisnis dan proyek.
Dengan dalih perluasan Masjidil Haram merupakan mereka membongkar dan
menghancurkan situs-situs Islam, ini merupakan sebuah agenda penuh
kepalsuan karena muslimin dapat menyaksikan sendiri sekarang, banyak
hotel-hotel dan gedung pencakar langit berdiri tegak menggantikan
peninggalan sejarah Nabi (Saw) yang mereka hancurkan di Makkah
al-Mukaramah. (Baca Kebencian Wahabi Terhadap Nabi Muhammad Dan Islam)
Ini bukan suatu hal yang mengherankan,
tapi sebuah pemikiran yang tidak normal. Semua masih ingat bagaimana
seorang Ulama besar Wahabi, Muqbil bin Hadi al-Wida’i dalam bukunya
menyampaikan pernyataannya bahwa Kubah Nabi Saw harus dihancurkan, dia
beralasan disana tempat bid’ah dan merupakan manifestasi dari
kemusyrikan!.
Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah
wahabi Arab Saudi merupakan agenda yang sama, yang dilakukan oleh
Zionis Israel yang hingga kini menjajah Masjidil Aqsa.
(SFA/HH/BerbagaiMedia)
Salafynews.com – Peringatan Sekretaris Jenderal
Hizbullah Lebanon, Sayed Hasan Nasrallah atas ancaman Wahabi terhadap
al-Haramain di Arab Saudi, mendapat tanggapan yang luar biasa. Dan
jejaring sosial pun mengedarkan dokumen-dokumen yang mengkonfirmasi apa
yang telah dilakukan oleh rezim Saudi yang melecehkan dan merusak
situs-situs peninggalan Islam. Selain itu, mereka juga berupaya
menghancurkan makam Nabi saw dan keluarganya.
Nasrallah menyatakan dalam pidatonya Jumat sore (17/4), yang
disampaikan dalam rangka solidaritas Yaman, mengatakan, “Haram suci
Nabi saw berada dalam bahaya,memang benar. Tapi bahaya dari mana? Saya
beritahukan kepada anda. Makam Nabi terancam dari dalam Arab Saudi dan
dari dalam Pemikiran Wahabisme serta budayanya.”
Peringatan yang dilontarkan oleh Nasrallah tentang bahaya Wahabi
Saudi dan ISIS terhadap al-Haramain menuai reaksi dan respon luas di
situs-situs internet dan jejaring sosial, serta membuka lembar-lembar
sejarah yang telah mengecam tindakan-tindakan mereka terhadap sejarah
Islam sebelum dekade rezim Saudi dan Wahabisme .
Salah satu halaman sebuah artikel yang diterbitkan di koran al-Kaun
selama hampir sembilan puluh tahun, tepatnya pada tahun 1926, berbicara
tentang pelecehan Al Saud terhadap kesucian makam para sahabat Nabi dan
situs-situs keagamaan dan sejarah, yang puncaknya adalah menghancurkan
makam-makam dari keluarga Nabi saw di Baqi, sebagaimana disinggung
oleh Nasrallah dalam pidatonya.
Nasrallah menambahkan, “Setelah Raja Abdulaziz Al-Saud, Raja
pertama, menguasai tanah Hijaz, para pengikutnya dari kalangan Wahabi,
bertolak dari budaya dan ideologi mereka, telah membongkar hampir semua
situs keagamaan dan sejarah Rasulullah.
Dan itu menciptakan bahaya yang sebenarnya, tatkala rencana untuk
menghapus situs-situs peninggalan Islam dengan dalih perluasan Masjidil
Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah, yang meliputi tiga masjid,
dan tidak tersisa dari tujuh masjid yang dibangun untuk merayakan
perang Khandaq selain dua saja, di samping pula bagian barat, di mana
terdapat makam Nabi Muhammad saw dan makam sejumlah sahabat serta masjid
al-Ghamamah.
Sebuah Institute di Washington telah menaksir operasi penghancuran
peninggalan bersejarah Islam dan kemanusiaan di Arab Saudi, mencapai
95 % dari peninggalan bersejarah Mekkah dan Madinah, yang kembali ke
masa seribu tahun silam.
Di antara tindakan-tindakan penghancuran adalah penghancuran benteng
“generasi” Ottoman, tempat Nabi saw dilahirkan, rumah istrinya Khadijah
ra dan rumah tempat Fatimah dilahirkan dan Ali bin Abi Thalib serta
Hasan dan Husein. Begitu juga rumah Hamzah, paman Nabi saw dan rumah
al-Arqam. Selain itu, Wahabi telah merusak makam para syahid Badr dan
pemakaman Baqi’ di Madinah yang disemayamkan para sahabat Muhajirin dan
Anshar. (ms)
Salafynews.com – Kejahatan para ekstrimis salafy
bukanlah hal yang baru. Kekejian seperti membantai rakyat sipil tak
berdosa, memenggal kepala bahkan dengan pisau tumpul, membakar
hidup-hidup rakyat sipil yang ditawan, menggantungkan kepala-kepala para
ulama dan kaum tak berdosa di jalan-jalan, meledakkan masjid-masjid
kaum Muslimin, meledakkan makam para nabi dan wali dan berbagai
kejahatan yang tak terbayangkan oleh pikiran sehat itu memiliki akar
sejarah yang panjang.
Mustahil kelompok ekstrim itu tiba-tiba muncul dan melakukan
kekejaman tanpa ada “tokoh teladan” yang mereka contoh kebengisan dan
kebiadabannya.
Kali ini kita akan menyimak ulasan dari Syeikh Hasan bin Farhan
Al-Maliky yang membongkar “Asal Usul Kebiadaban Kelompok Teroris Abad
ini” yang ternyata telah dicontohkan oleh Tuan Tuan Bani Umayyah sebagai
idola mereka sejak lebih dari 10 abad yang lalu.
Perhatikan daftar list kejahatan Bani Umayah yang diungkap Syekh
Hasan bin Farhan Al Maliky dibawah ini dan bandingkan dengan kejahatan
yang dipertotonkan terhadap dunia oleh ekstrimis salafy wahabi al Qaedah
dan semua afiliasinya, Kelompok ISIS, Jabhat Nushrah, Anshar Tauhid,
Boko Haram, al Shabab Somalia dan lain sebagainya.
1). Hujur bin Adi
Beliau seorang sahabat yang mulia, Mereka (Bani Umayah) membunuhnya.
Sebab Pembunuhan: Menurut penguasa (Bani Umayah)
karena ia telah kafir. Sebagian dari kita pun ikut meyakini tuduhan para
penguasa itu hingga hari ini.
Sebab sebenarnya adalah beliau menolak pelaknatan kepada khalifah keempat, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib.
2). Ghailan ad Dimasyqi
Mereka membunuhnya setelah memotong lidah dan kedua tangannya!
Sebab Pembunuhan: Menurut para penguasa (Bani
Umayah) ia telah kafir! Sebagian dari kita pun masih ada yang meyakini
tuduhan para penguasa itu hingga hari ini.
Sebab sebenarnya: adalah Khalifah Umar bin Abdul
Aziz menugasinya untuk memeriksa kekayaan Bani Umayyah dan mengeluarkan
harta simpanan mereka lalu di jual di pasar bebas. Ia berkata: “Saya
berlepas diri dari menganggap mereka sebagai para pemimpin pembawa
hidayah.” Maksudnya adalah Bani Umayyah.
Kemudian setelah Hisyam bin Abdul Malik berkuasa, ia menggelar
pengadilan formalitas untuk menghukum Ghailan. Ia ajukan tiga pertanyaan
tentang Allah, penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya dan tentang takdir.
Beliau pun menjawab: Saya tidak tau. Maka mereka berkata: Ia telah
kafir! Kemudian mereka membunuhnya.
3). Abdullah bin Zubair
Setelah tewas, mereka menyalibnya dalam keadaan terbalik bersama jasad seekor anjing, padahal ia seorang sahabat Nabi saw.
4). Muhammad bin Abu Bakar. Putra Khalifah Abu Bakar.
Amr bin Ash memasukkannya ke dalam perut seekor keledai lalu membakarnya hidup-hidup.
Dalam surah Al Qur’an yang mana Amr bin Ash menemukan hukuman kejam
seperti itu? Kaum Nashibi pun bertepuk tangan, bersorak gembira dan
wajah mereka dihiasi senyum riang.
5). Al Hakim penulis Kitab Al Mustadrak.
Beliau dikeroyok Ekstrimis Salafi dengan pukulan agar beliau sudi
meriwayatkan hadis pujian atas Mu’awiyah, beliau tetap menolak dan gigih
bertahan.
Dalam Syari’at mana Anda temukan hukuman sadis semacam ini?
6). Imam An Nasa’i penulis kitab As-Sunan.
Kaum Nashibi kota Syam mengeroyok beliau dengan pukulan bertubi-tubi
hingga beliau tewas. Hanya karena beliau tidak sependapat dengan mereka
untuk meriwayatkan hadis pujian atas Mu’awiyah?
7). Rasyid al Hajari.
Beliau seorang Sahabat yang hadir dan ikut serta dalam perang Uhud (seperti terbukti setelah diteliti).
Dan Ziyad bin Abihi memutilasinya.
Dan mereka pun berkata: Rasyid telah kafir !
Sebab sebenarnya: adalah kesetiaannya kepada Imam Ali bin Abi tholib. Dan atas pembunuhan keji itu kaum Nashibi pun bergembira.
8). Ja’ad bin Dirham.
Mereka menyembelihnya di hari raya kurban (iedul adha). Menurut para penguasa (Bani Umayah), sebab ia dibunuh karena ia telah kafir!
Dan kita pun hingga hari ini mengikuti para penguasa dan
mendendangkan bait-bait syair di kitab-kitab akidah yang memuji dan
menjunjung mulia para pelaku kezaliman dan kejahatan yang telah
menyembelihnya.
Sebab sebanarnya: adalah karena ia punya hubungan
politik dengan Yazid bin Muhallab. Maka Khalid al Qasari menyembelihnya
tanpa mengadilinya dan tanpa mendengar esepsi pembelaan dirinya.
Semua informasi yang kita percayai adalah yang disampaikan oleh si
jagal yang menyembelihnya. Mereka berkata: Ia telah kafir! Dan kita pun
mengamininya.
9). Yazid bin Na’amah adh Dhabbi. Seorang sahabat agung Nabi saw.
Para penguasa tiran memenjarakannya selama dua puluh tahun hanya
karena ia berkata kepada Gubernur Bashrah ketika ia menunda-nunda
pelaksanaan shalat berjama’ah: “Shalat! Shalat, Semoga Allah merahmatimu!”
Dalam ayat manakah mengingatkan shalat dianggap sebagai kejahatan yang harus dijatuhi hukuman seperti itu?
10). Maitsam at Tammar.
Bani Umayyah menyalibnya di batang pohon kurma dan memotong lidah
beliau semata-mata karena kesetiannya yang tulus kepada Imam Ali bin Abi
tholib.
Para penguasa Bani Umayyah mengatakan bahwa Maitsam telah kafir. Dan kaum dungu pun bertepuk tangan mendukungnya.
11). Amr bin al Hamaq al Khuza’i
Beliau seorang sahabat agung yang ikut berhijrah dan bergabung bersama Nabi saw.
Kepala beliau dipenggal atas perintah Mu’awiyah lalu dilemparkan ke
hadapan istri tercintanya yang sedang ditahan di penjara Mu’awiyah. Kaum
Nashibi bersuka cita atas kekejian ini.
Sementara label “sahabat” dan perjuangannya dalam berhijrah bersama Nabi saw hilang begitu saja hingga hari ini.
(Apakah ini bukan termasuk penghinaan dan kekejaman kepada para sahabat Nabi saw? -Red-)
12). Tsaja’, seorang wanita shalihah.
Ia dibunuh dengan keji oleh Ibnu Ziyad di masa kekuasaan Mu’awiyah
lalu jasadnya disalib dalam keadaan telanjang bulat dengan kepala di
bawah dan kakinya di atas! Dan kaum Nashibi diam seribu bahasa terhadap
kejahatan pemimpin mereka.
Ini adalah hukuman kaum Nashibi dan bukan hukum Islam. Kami
berlindung kepada Allah dari menisbatkan kejahatan hukuman itu kepada
Syari’at Allah.
Perhatikan Kekejaman ISIS.
13). Abdurrahman bin Hassan al Bakri
Ia dikubur hidup-hidup atas perintah Mu’awiyah, hanya karena ia bersama Sahabat Hujur bin Adi.
14). Shaleh Abdul Quddus.
Beliau Seorang penyair yang hidup zuhud.
Mereka salah paham terhadap dua bait syair yang digubahnya maka
“Khalifah” al Mahdi membunuhnya dengan tuduhan Zindiq. Ia dipotong dari
tengah badannya.
Di mana kita dapat temukan hukuman sadis seperti ini dalam Syari’at Allah?
15). Ibnu As Sikkit -seorang pakar bahasa Arab terkemuka-
Al Mutawakkil membunuhnya dengan sangat sadis atas saran seorang
ulama yaitu dengan cara menarik lidahnya dari belakang tengkuknya lalu
dipotong, Seketika beliau tewas.
Mengapa ia dibunuh dengan cara sadis seperti itu? Karena ia menolak
untuk merestui pendapat al Mutawakkil bahwa kedua putranya lebih mulia
dari Al-Hasan dan Al-Husein, cucu Baginda Nabi Muhammad saw.
Inilah 15 nama yang kami kutip dari Syeikh Hasan bin Farhan Al
Maliky, dan masih banyak lagi nama-nama korban kekejian leluhur Salafy
Wahabi bahkan kepada para sahabat nabi sekalipun.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa hukuman dan kekejaman mereka
sama sekali tidak sejalan dengan Syariat Islam. Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang tak pernah merestui kebengisan bahkan kepada orang kafir sekalipun.
Pertanyaannya, mereka para ekstrimis itu mengikuti siapa?
Mengikuti agama rahmat yang dibawa Nabi Muhammad saw atau mengikuti agama bengis yang diusung oleh Bani Umayah?
Karena itu, jangan heran jika Ekstrimis Masa Kini meniru perbuatan
para leluhurnya dalam kekejian dan kebengisan terhadap kaum muslimin.
Perbuatan biadab Teroris salafy wahhabi menggantung kepala-kepala manusia di jalanan di Suriah.
Hukuman keji juga diteladani oleh ekstrimis/teroris salafy di Suriah
dengan melempar hidup-hidup penduduk sipil tak berdosa di Suriah dari
gedung yang tinggi.
Mari membuka mata, mari membuka hati untuk menerima kebenaran sejarah yang sebenarnya.
Sumber: http://almaliky.org/news.php?action=view&id=77
“Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar dari Rasulullah dalam menggambarkan sifat-sifat orang Khawarij bahwa mereka mengutip ayat-ayat yang turun tentang orang-orang kafir dan memberlakukannya bagi orang-orang mukmin. Dalam Hadits lain dari riwayat Abdullah ibn Umar pula bahwa Rasulullah telah bersabda: “Hal yang paling aku takutkan di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah seseorang yang membuat-buat takwil al-Qur’an, ia meletakan -ayat-ayat al-Qur’an tersebut- bukan pada tempatnya”. Dua riwayat Hadits ini benar-benar telah terjadi pada kelompok Wahabiyah ini” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 68).
Salafynews.com –
Kebencian para pengikut wahabi kepada nabi dan keluarganya semakin
tampak, hal itu di ungkapkan oleh Mufti Makkah Syekh as-Sayyid Ahmad
Zaini Dahlan menuliskan bahwa “Mereka (kaum Wahabiyah) melarang
bacaan shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan adzan di atas
menara-menara. Bahkan disebutkan ada seorang yang saleh yang tidak
memiliki penglihatan, beliau seorang pengumandang adzan. Suatu ketika
setelah mengumandangkan adzan ia membacakan shalawat atas Rasulullah,
ini setelah adanya larangan dari kaum Wahabiyyah untuk itu. Orang saleh
buta ini kemudian mereka bawa ke hadapan Muhammad ibn Abdil Wahhab,
selanjutnya ia memerintahkan untuk dibunuh.
Jika
saya ungkapkan bagimu seluruh apa yang diperbuat oleh kaum Wahhabiyyah
ini maka banyak jilid dan kertas dibutuhkan untuk itu, namun setidaknya
sekedar inipun cukup” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 77). Di antara
bukti kebenaran apa yang telah ditulis oleh Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini
Dahlan dalam pengkafiran kaum Wahhabiyyah terhadap orang yang
membacakan shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan adzan adalah
peristiwa yang terjadi di Damaskus Suriah (Syam). Suatu ketika
pengumandang adzan masjid Jami’ al-Daqqaq membacakan shalawat atas
Rasulullah setelah adzan, sebagaimana kebiasaan di wilayah itu, ia
berkata: “as-Shalât Wa as-Salâm ‘Alayka Ya Rasûlallâh…!”, dengan nada
yang keras. Tiba-tiba seorang Wahhabi yang sedang berada di pelataran
masjid berteriak dengan keras: “Itu perbuatan haram, itu sama saja dengan orang yang mengawini ibunya sendiri…”.
Kemudian terjadi pertengkaran antara beberapa orang Wahhabi dengan
orang-orang Ahlussunnah, hingga orang Wahhabi tersebut dipukuli.
Akhirnya perkara ini dibawa ke mufti Damaskus saat itu, yaitu Syekh Abu
al-Yusr Abidin. Kemudian mufti Damaskus ini memanggil pimpinan kaum
Wahhabiyyah, yaitu Nashiruddin al-Albani, dan membuat perjanjian
dengannya untuk tidak menyebarkan ajaran Wahhabi. Syekh Abu al-Yusr
mengancamnya bahwa jika ia terus mengajarkan ajaran Wahhabi maka ia akan
dideportasi dari Suriah. Baca Asal Usul Kebengisan Ajaran Wahabi Salafy
Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan masih
dalam buku tersebut menuliskan pula: “Di antara yang telah menulis
karya bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab adalah salah seorang
guru terkemukanya sendiri, yaitu Syekh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi,
penulis kitab Hâsyiah Syarh Ibn Hajar Alâ Matn Bâ Fadlal. Di antara
tulisan dalam karyanya tersebut Syekh Sulaiman mengatakan: Wahai Ibn
Abdil Wahhab, saya menasehatimu untuk menghentikan cacianmu terhadap
orang-orang yang beragama Islam” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, juz 2, hal.
69).
Berikut berita-berita yang berhubungan dengan pembredelan buku-buku Wahabi Mesir Bersihkan Masjid dan Perpustakan dari Buku-Buku Wahabi, media televisi mereka juga juga ditutup Kuwait Hentikan Siaran Televisi Wesal Pasca Serangan Bom, bahayanya doktrinisasi wahabi yang menyebabkan munculnya terorisme dan radikalisme Video Khotib Jum’at New York; Baca Buku Wahabi Bisa Jadi Teroris, serta penutupan masjid-masjid mereka yang mengajarkan radikalisme dan anti nasionalisme 80 Masjid Wahabi Ditutup Pemerintah Tunisia, serta keinginan wahabi untuk menghilangkan dan menghancurkan situs-situs sejarah dan tempat suci umat Islam Intelejen Rusia Ungkap Rencana Saudi Mengebom Masjidil Haram
(SFA/MM/Pondoktauhid)
Salafynews.com,
JAKARTA – Dukungan terhadap ISIS dan atheis adalah dua fenomena yang
bertolak belakang namun semakin menguat di Negeri Saudi Arabia saat ini.
Menurut laporan al-Hayat (21 Juli 2014), media massa milik Saudi, dalam
sebuah survei oleh As-Sakinah terhadap media-media sosial di Saudi
menunjukkan 92% responden berpendapat “ISIS sesuai dengan nilai-nilai
dan syariat Islam”. Demikian pula dalam survei yang dilakukan oleh
Brooking Institute terhadap twitter, pada tahun 2015 dukungan kicauan
(twit) yang mendukung ISIS mayoritas berasal dari Saudi Arabia. Hal ini
menunjukkan dukungan terhadap radikalisme dan terorisme semakin menguat
di Saudi, khususnya dari kalangan muda, kelas menengah dan terpelajar
yang akrab dengan media sosial. (Baca Wahabi Agama rekayasa monarki saudi)
Namun
atheisme juga menguat di Saudi bahkan tertinggi di negeri-negeri yang
penduduknya mayoritas Islam berdasarkan polling dari WIN-Gallup
International di Zurich Swiss, 27 Juli 2012 yang memberikan laporan
seluruh penduduk dunia mengaku religius (59%), tidak religius (23%) dan
atheis (13%). Atheis di Saudi (5%) sama dengan Amerika Serikat, Maldiv,
Polandia, di atas India (3%) dan Pakistan, Libanon, Uzbekistan, Turki
(masing-masing 2%), Nigeria (1%). Sedangkan untuk tingkat negara yang
“religius” Saudi hanya 75%, di bawah Nigeria (93%), Iraq (88%), Pakistan
(84%), Afghanistan (83%) dan Malaysia (81%). ( Baca Komunisme dan Wahabisme Lahir dari Rahim Yahudi)
Melihat laporan ini, Pemerintah Saudi
buru-buru membuat lembaga baru Pusat Pemberantasan Atheisme (Markaz li
Mukafahah Ilhad) di Universitas Islam Madinah, namun pada awal tahun
2015 justeru publik Saudi dikejutkan dengan adanya Perkumpulan Para
Atheis Makkah (Multaqa Mulhidin Makkah). Laporan ini juga dilengkapi
sebuah foto yang menunjukkan tulisan di atas secaik kertas putih “Proud
to be Atheist” (Bangga menjadi Atheis)” yang di belakang kertas tampak
Ka’bah dan Masjidil Haram. Angka atheis di Saudi berkisar 145-260 ribu
orang dan lebih banyak daripada negeri-negeri yang disebut “sekular”
seperti Tunisia, Libanon, Mesir dan Turki.
Mengapa dukungan terhadap terorisme dan
atheisme meningkat di Saudi Arabia? Inilah pertanyaan yang menjadi tema
diskusi dalam tahun-tahun terakhir ini di media-media Arab, yang
rata-rata memberikan jawaban pada satu masalah: fenomena ekstrimisme
dalam pemikiran keagamaan (al-ghuluww fil fikr al-dini) yang berasal
dari ideologi Wahabi. Bagaimana satu ideologi bisa menghasilkan dua hal
yang bertentangan? Penjelasannya adalah, pihak yang mengamini ideologi
Wahabi akan ekstrim, berhaluan garis keras, bersimpati hingga menjadi
aktor terorisme. Sedangkan pihak yang menolak, atau menjadi korban
ideologi garis keras ini akan melawan dengan bentuk ekstrim yang lain,
menjadi atheis. (Baca Ideologi Wahabi Picu Demam Atheis di Timur Tengah)
Tahun 2004, Syaikh Hasan bin Farhan
al-Maliki seorang penulis dan pemikir di Riyadh, Saudi Arabia, menulis
kitab Qira’aah fi Kitabit Tauhid (Pembacaan Ulang terhadap Kitab Tauhid
Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah catatan kritis terhadap ideologi
Wahabi. Bagi dia, kitab Muhammad bin Abd Wahhab yang sangat tipis itu
(hanya 122 halaman dan 65 bab) namun menyebabkan meningkatnya
ekstrimisme (al-ghuluww) dan pengkafiran di Arab Saudi karena dipakai
sebagai buku ajar di sekolah-sekolah.
Menurut Syaikh Hasan saat Muhammad bin
Abd Wahhab menulis tentang syirik zaman Nabi merupakan kebenaran, namun
yang tidak benar ketika kemusyrikan dituduhkan kepada orang Islam di
zamannya. Menurutnya pula, Muhammad bin Abd Wahhab sangat pandai
menyarikan ayat-ayat tentang mencegah syirik, namun sayangnya ia banyak
lupa soal larangan membunuh manusia yang tidak bersalah. Sehingga saat
itu Wahabi banyak membunuh orang Islam bahkan ketika mereka shalat di
dalam masjid. Sayangnya pada tahun 2014, Syaikh Hasan bin Farhan pernah
diinterogasi dan dijebloskan ke penjara, karena kritik-kritiknya
terhadap pemikiran Ibn Taimiyah dan Muhammad bin Abd Wahhab. Ia dilepas
setelah protes dari dunia internasional, khususnya organisasi HAM di
Jenewa.
Sebelum dia, ada tokoh Wahabi yang
menjadi atheis, bernama Abdullah Al-Qashimi (1907-1996) yang lahir
Buraidah, di Saudi Arabia menulis kitab Ats-Tsaurah al-Wahabiyah
(Revolusi Wahabi) yang memuj-muji ideologi Wahabi dan keberhasilan
Dinasti Saudi. Namun akhirnya Abdullah Al-Qashimi menjadi seorang
atheis, tinggal dan wafat di Cairo, Mesir.
Tokoh salafi lain yang menjadi atheis
adalah Ahmad Husein al-Harqan dari Mesir yang pernah menjadi murid
Syaikh Ahmad Al-Burhami, seorang tokoh salafi dan wakil pemimpin
tertinggi Partai Nur, Salafi di Iskandaria, Mesir. Ahmad yang pernah
menjadi imam di masjid salafi, pada tahun 2014 mendeklarasikan sebagai
atheis karena kecewa dengan kekerasan dan pandangan sempit ideologi
salafi di Mesir. Setelah sebelumnya dia dan istrinya menjadi korban
kekerasan itu. (Baca ISIS dan Sistem Negara Khalifah Bukan Tegakkan Islam)
Tokoh lain, Ayaan Hirsi Ali, kelahiran
Mongadisu Somalia yang hidup di tengah keluarga salafi wahabi dan
menerima kekerasan, baik saat pindah ke Saudi Arabia, Etiopia dan Kenya.
Ia pun akhirnya pindah ke Belanda dan terakhir di Amerika Serikat.
Karena ia hanya mengenal Islam ala Wahabi dan menerima kekerasan yang
bertubi-tubi dari kelompok ini, ia sangat kecewa dan keluar dari Islam,
hingga sekarang aktif menulis buku-buku yang menyerang Islam. (Baca Rasul Peringatkan Gerakan Radikalisme Wahabi)
Inilah dua fenomena yang berolak
belakang sebagai dampak dari ideologi Wahabi, bersimpati dan bisa ikut
ISIS, atau menjadi atheis. (SFA/MM/Digiumm)ou are at:Home»Editorial»Wahabi Agama rekayasa monarki saudi
Salafynews.com,
JAKARTA – Raja Kerajaan Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz wafat dalam
usia 90 tahun pada 23 Januari 2015. Para ulama di negara itu dikenal
sebagai penyebar ajaran Wahabi. Mereka pun gencar propaganda
menghilangkan tradisi turun-temurun di kalangan umat Islam yang menurut
mereka syirik atau bid’ah, seperti membuat bangunan di kuburan,
peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, dan percaya kepada kiai yang
dianggap bisa menjadi perantara mengobati penyakit.
Dalam aspek tauhid, para ulama Arab
Saudi juga gencar menyebarkan kitab ajaran tauhid versi Wahabi. Di
dalamnya, antara lain, mengajarkan tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma
wa al-shifah. Sebagaimana di Indonesia, kini terjadi kontestasi
kitab-kitab tersebut dengan kitab tauhid menurut versi ulama Ahlussunnah
wal jamaah. Di dalamnya antara lain berisi ajaran sifat 20 yang wajib
diketahui bagi Allah, yaitu wujud, qidam, baqa, dan seterusnya.
Berbagai kajian pun telah dilakukan
terkait penyebaran ajaran Wahabi dan ajaran dari Timur Tengah lainnya ke
Indonesia. Salah satunya hasil penelitian Abdul Munip melalui
disertasinya di UIN Yogyakarta. Disertasi itu telah dikemas ke dalam
buku berjudul Transmisi Pengetahuan Timur Tengah Ke Indonesia: Studi
Tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia, 1950-2004.
Dalam buku yang diterbitkan oleh
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan tahun 2010 ini dijelaskan
penyebaran ajaran Wahabi melalui buku-buku terjemahan berbahasa
Indonesia. Penerbit buku terjemahan itu tidak hanya dari Indonesia, juga
Kedutaan Besar Arab Saudi yang dibagikan gratis kepada jamaah haji.
Dalam perkembangannya, ajaran Wahabi
semakin banyak diterima di Indonesia. Bahkan ajaran itu juga disebarkan
oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Sebagaimana hasil penelitian Tim
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan tentang peta lektur keagamaan
pada 2013.
Melalui penelitian ini diperoleh buku
berjudul Mustasyar MWC NU Menggugat Maulid Nabi karya Buchari. Ia mantan
anggota Pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tahun 1965
saat kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah cabang Serang, dan Wakil Ketua
Persatuan Guru NU Kabupaten Lebak 1969-1974. Jabatan terakhirnya Hakim
Tinggi Pengadilan Tinggi Agama, Serang, Banten (2008-2009).
Perubahan keyakinan Buchari dari pro dan
kontra terhadap acara ritual yang dipraktikkan NU bermula sejak ia dan
istrinya berangkat haji pada 2007. Selama di sana, ia membaca buku-buku
karya ulama berpaham Wahabi ( Baca Video Khotib Jum’at New York; Baca Buku Wahabi Bisa Jadi Teroris ),
antara lain, Kasyfusy Syubuhat fit Tauhid (Menyingkap Kesalahpahaman
dalam Tauhid) karya Muhammad bin Abdul Wahhab, Al-Aqidah ash-Shahihah wa
Ma Yudladhuha (Aqidah Yang Benar dan Hal-Hal yang Membatalkannya) karya
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dan Haji, Umrah, dan Ziarah
Menurut Kitab dan Sunnah, juga karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz. Baca Wahabi Lakukan Penistaan Terhadap Al-Quran dan Sunnah
Berdasarkan bacaannya dari buku-buku
karya ulama Wahabi ini, Buchari menyatakan, seorang Muslim yang
konsisten mengikuti Al-Qur’an dan as-Sunnah tidak akan mengikuti upacara
peringatan ‘Maulid Nabi SAW’, Isra Miraj Nabi SAW, dan Nuzulul Quran.
Sebab, tradisi ini tidak bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah
as-Shohihah. Baca Agil Siradj: Mustahil Memahami Islam Hanya dengan Qur’an-Hadits
Ia juga menegaskan peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal adalah mencangkok penganut agama
Nasrani dalam menyambut perayaan Hari Natal (Hari Lahirnya Yesus
Kristus) setiap 25 Desember (halaman 117 dan 211).
‘Maulid’ Arab Saudi
Di kalangan pendukung ajaran Wahabi
terjadi dinamika perbedaan pemahaman terhadap ajaran yang dinisbatkan
kepada Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut. Hal ini sebagaimana
dituturkan KH Shiddiq Amien saat menjabat ketua umum Persatuan Islam
(Persis), organisasi yang didirikan dengan spirit memberantas takhayul,
bid’ah, dan khurafat.
Dinamika penganut paham Wahabi lainnya
juga muncul dalam 10 tahun terakhir. Sejak kepemimpinan Raja Abdullah,
Arab Saudi mulai menyelenggarakan hari nasional. Peringatan ini digelar
setiap 23 September, awal mula berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Pada
mulanya acara ini mendapatkan tentangan dari para ulama di sana.
Meskipun, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tetap melangsungkan tanggal itu
sebagai hari jadi negara.
Karena itu, terjadi hal yang paradoks. Ulama-ulama Saudi mengharamkan gambar (fotografi), tapi pada saat yang sama foto-foto raja dan pejabat kerajaan banyak dipasang di pinggir jalan. Paradoks lainnya adalah penyelenggaraan acara hari jadi negara ini berpatokan pada tanggal Masehi bukan tanggal Hijriyah (AM Waskito, 2014, halaman 194-195).
Berkenaan dengan masa kecil salah
seorang cucu pendiri Kerajaan Arab Saudi Muhammad Ibnu Saud lainnya yang
juga bernama Abdullah, Buya Hamka menceritakan pengalamannya saat
ibadah haji yang kedua pada 1950. Menurutnya, suatu hari Amir Abdullah
putra Amir Faisal putra Ibnu Saud jatuh dari atas kuda hingga kakinya
patah. Dokter-dokter di Makkah pun memeriksa dan menyatakan kaki anak
itu harus dipotong. Kabar ini sampai ke dukun anak dari Palembang yang
sedang bermukim di Arab.
Ia pun mengurut sekerat rotan sambil
memejamkan matanya dan mulutnya komat-kamit membaca mantera hingga kaki
anak itu sembuh. Raja Arab Saudi pun bertanya, “Apakah itu sihir?” Dia
menjawab, “Tidak. Saya tidak ahli sihir.” “Mengapa rotan yang engkau
urut bukan kaki Amir?” “Amir seorang mulia, tanganku tidak boleh
menyentuhnya.”
“Apakah yang engkau baca?” “Doa kepada
Tuhan, dengan iktikad yang putus, dengan tauhid yang khalis (murni),
tidak mengharap pertolongan dari yang lain.” Raja dan amir-amir pun
heran. “Tamanna! Katakanlah apa yang engkau suka!” “Kesukaanku hanya
satu.” “Apa?” tanya Raja. “Semoga Baginda Raja diberi umur yang
panjang.”
Hamka pun menjelaskan, konon Raja
memerintahkan tukang urut dari Palembang itu mengepalai rumah sakit
kerajaan di Makkah. “Anta tabib, gairak musy tabib (Engkau yang dokter,
yang lain itu bukan dokter).” Namun, perintah Raja itu ditolaknya.
Sementara, banyak orang Arab mengatakan dukun itu bodoh. Sebab, ia tidak
menyahut “tamanna” dengan baik.
Ia tidak meminta rumah, mobil, uang, dan
sebagainya melainkan hanya mengatakan supaya usia Raja dipanjangkan.
Menurut Hamka, itu bukan kebodohan, melainkan jiwa asli bangsa Indonesia
(Henry Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam, jilid II, 2013, halaman
852).
Karena itu, kemampuan dan akhlak dukun
beranak asal Indonesia ini dapat diasumsikan diperoleh para ulama
terdahulu secara turun-temurun. Dakwah mereka pun membuahkan hasil yang
ajaib. Nusantara yang sangat jauh dari Arab dan terdiri dari berbagai
macam pulau, suku, dan bahasa, mayoritas penduduknya menjadi Muslim.
Para penduduk berbagai suku, pulau, dan bahasa ini dapat bersatu dalam
wilayah melalui terjalinnya silaturahim antarsultan dan antarulama
berbagai daerah.
Karena itu, apakah pendirian bangunan
berikut nisan dan nama yang di kubur itu bid’ah yang sesat? Hal ini
tetap menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. Namun, tradisi ini bagi
sebagian besar Muslim di Nusantara telah memberikan manfaatnya,
sebagaimana setelah gelombang tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004.
Jika di kompleks makam Sultan Malikus Saleh tidak terdapat batu nisan
dan nama beliau, maka tidak diketahui jasad siapa yang Allah selamatkan
dari amukan tsunami. Baca Menjawab Kritikan Ust Felix Siauw “Wahabi-Salafy” Tentang Dakwah Para Wali dan Habaib
Daripada terus berdebat tentang syirik atau bid’ahnya tradisi secara turun-temurun itu, umat Islam saat ini sebaiknya bersatu. Dengan sama-sama melihat dalam perspektif sunnah, apakah bangsa Arab yang satu daratan, satu bahasa, serta umumnya satu agama, tapi pecah jadi belasan negara sejak berdirnya Arab “Saudi” pada 1932 adalah bid’ah atau sunah?
Sebaliknya, Nusantara yang sejak zaman
para sultan dulu meski beda pulau, suku, dan bahasa, tapi bisa bersatu
dalam satu wilayah di nusantara mendekati sunah atau mendekati bid’ah?
Pertanyaan ini harus dimunculkan. Sebab, di dalam Al-Qur’an dan hadis
yang ditulis dalam bahasa Arab, umat Islam diperintahkan untuk bersatu.
(SFA/MM/Republika)
Wahabi Lakukan Penistaan Terhadap Al-Quran dan Sunnah
Arrahmahnews.com - Berbekal
slogan jihad teriakan “takbir”, dunia terkesima ketika sekelompok
manusia mampu mempertontonkan aksi eksekusi sadis penyembelihan kepala
puluhan bahkan ratusan manusia dipublish ke dumay. Dari mana akar
pembenaran kekejaman ini berasal ?
Bagaimana kita bisa memahami basis
pemikiran sekelompok orang yang menganut Takfirisme bisa mengamalkan
agama teror, berdarah dingin dalam membunuh, memenggal kepala,
memperkosa wanita, meledakkan situs sejarah & membom masjid
orang-orang yang berbeda pandangan dengan mereka?
Kaum Salafi Wahabi sangat terkenal
memiliki yel-yel: “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Mereka mengajak
umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Kita muslimin semua
tahu kenapa demikian? Karena, sebagai muslim sangat meyakini 100%
tentunya bahwa al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang
utama yang diwariskan oleh Rasulullah Saw, sehingga siapa saja yang
menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada
ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan. Bukankah
Rasulullah Saw. menyuruh yang sedemikian itu kepada umatnya?
Prinsip “Kembali kepada al- Qur’an dan
Sunnah” adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang
yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa
yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang
kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami
al-Qur’an & Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan,
kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur’an atau Sunnah yang dihasilkan oleh
seorang ‘alim yang menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang
menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan
kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang mengandalkan
buku-buku “terjemah” al-Qur’an atau Sunnah.
Adalah sebuah keteledoran besar jika
upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara “kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah” dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama
tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi Wahabi.
Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang
rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau
bulan dari bayangannya di permukaan air.
Sesungguhnya, “pemurnian” yang dilakukan
oleh kaum Salafi Wahabi adalah penistaan dan pencemaran terhadap
al-Qur’an dan Sunnah. Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh kaum
Salafi Wahabi terhadap al-Qur’an dan Sunnah adalah saat mereka
mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur’an
dan Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang
mereka vonis sebagai bid’ah dan sesat atas nama Allah dan Rasulullah
Saw., padahal Allah tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur’an dan
Rasulullah Saw. dan tidak pernah menyatakannya di dalam Sunnah
(hadis)nya.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa orang
yang “kembali kepada al- Qur’an dan Sunnah” itu belum tentu dapat
dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid
kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Amat ironis
bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang
al-Qur’an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi Wahabi sebagai
kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dali.,Sementara kaum
Salafi Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara
harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang
paling sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah. [ARN]
Arkeolog Khalid Asaad Tewas dalam Perang Budaya dan Kebodohan ISIS
http://www.salafynews.com/2015/08/22/arkeolog-khalid-asaad-tewas-dalam-perang-budaya-dan-kebodohan-isis/
Salafynews.com,
PETERSBURG – Direktur Jenderal Museum Negara Hermitage Saint Petersburg,
Rusia, menyatakan belasungkawa kepada keluarga korban KhalId Asaad yang
tewas dibunuh oleh Milisi dari organisasi teroris ISIS.
ISIS membunuh seseorang yang berperan penting dalam pelestarian Kompleks Kuno Palmyra yang tercatat sebagai salah satu warisan dunia UNESCO pada Selasa (18/8) itu, diduga karena ia tidak mau membocorkan dimana letak harta karun yang tersembunyi disana.
Direktur Hermitage di Sankt Petersburg
berkomentar tentang eksekusi seorang arkeolog terkemuka Suriah,
sekaligus pengawas Kompleks Kuno di Palmyra berusia 82 tahun yang
disandera oleh ISIS. (Baca ISIS Penggal Pakar Arkeologi Suriah Karen Tolak Tunjukkan Harta Karun)
“Selama sejarahnya yang panjang, Palmyra
telah menyaksikan banyak kematian, tetapi kali ini adalah yang
terburuk. Sebelum kematiannya, Khalid Asaad telah disiksa selama
beberapa minggu sampai akhirnya dieksekusi. Tak diragukan lagi bahwa
kasus pengeksekusian bagi peneliti berita tersebut bisa mengakibatkan
pembongkaran monumen budaya pada wilayah kekuasaan ISIS,” tulis Mikhail
Piotrovsky dalam blognya yang dipasang pada situs web museum pada Rabu
(19/8). (Baca ISIS Eksekusi Arkeolog Terkemuka Palmyra)
“Apa yang berbahaya dari Khalid Asaad
bagi kelompok militan tersebut? Ancaman apa yang dapat ditimbulkan oleh
seorang peneliti sekaligus penulis sejumlah karya ilmiah berusia 82
tahun ini bagi ISIS? Tampaknya bahwa bahaya dan ancaman bagi ISIS
berasal dari pekerjaan Khalid Asaad itu sendiri yang melestarikan,
mempelajari, dan mendeskripsikan monumen budaya kuno. Pekerjaan ini
memungkinkan orang-orang dari berbagai negara dapat menengok ke belakang
dan memverifikasi apa yang terjadi pada zaman ini berdasarkan monumen
budaya yang masih tersisa hingga saat ini dan mulai memikirkan banyak
hal,” tulis Piotrovsky. (Baca Arab Saudi Hancurkan 95 % Tempat-Tempat Suci dan Situs-Situs Bersejarah)
“Ini bukan pertama kalinya sejarah
manusia menjadi saksi radikal suatu bangsa, suatu kepercayaan dan
ideologi yang awalnya menghancurkan materi monumen budaya, seperti
monumen arsitektur, patung, buku, dan kemudian berujung pada
pengeksekusian orang-orang yang menjaga peradaban manusia. Kedengarannya
memang menakutkan, tapi kami merasa bahwa Khalid Asaad telah berkorban
demi Palmyra. Ia dibunuh dan tewas dalam perang antara budaya dan
kebodohan.” (Baca Kesamaan Wahabi, Zionis, ISIS Suka Hancurkan Situs Sejarah Islam)
Khalid Asaad (82) adalah seorang penulis
sejumlah publikasi ilmiah. Ia telah bekerja di Palmyra lebih dari 50
tahun. Anggota keluarga mengatakan bahwa setelah dikesekusi, tubuh
Asaad diikat di menara kuno di alun-alun pusat Palmyra tanpa kepala.
(SFA/RBTH/LM)
Situs Sejarah Islam di Makkah Punah
Minggu, 17 Maret 2013, 21:46 WIB
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/13/03/17/mjt7q7-situs-sejarah-islam-di-makkah-punah
Antara
REPUBLIKA.CO.ID, MEKKAH -- Beberapa situs paling suci bagi umat
Islam, Mekkah, di Arab Saudi terancam punah. Pemerintah Kerajaan di
Riyadh setuju dengan pembangunan Masjidil Haram menjadi kawasan
megapolitan. Akibatnya, beberapa peninggalan sejarah Rasul Muhammad saw
dinyatakan hilang.
The Independent baru-baru ini mengatakan upaya penyulapan kawasan Masjidil Haram menjadi kawasan elitis telah berlangsung sejak sepekan lalu.
Sebuah dokumentasi yang dilansir beberapa media internasional menunjukkan aktivitas pengerukan tanah di sebalah timur Ka'bah. Jejeran eskavator melubangi lahan dan membumihanguskan beberapa situs-situs bersejarah umat Islam.
Dikatakan, situs yang telah hancur adalah tempat Rasul Muhammad mengawali perjalanan Isra' Mi'raj (620 M). Situs lain yang ikut dihancurkan adalah kolom peninggalan Dinasti Ottoman dan Dinasti Abbasiyah.
Di tempat-tempat tersebut, dikatakan menyimpan segudang peninggalan kejayaan Islam berupa dokumentasi kaligrafi (seni menulis ayat-ayat suci Al-quran) tertua di dunia. Tempat-tempat yang babak belur itu juga mengandung sejarah bagi masa Khulafaur Rasyidin (632 - 661 M).
Press Television mengatakan, Kerajaan Saudi mengklaim penghancuran situs-situs tersebut adalah bagian dari rencana pembangunan multi-miliar dolar. Pembangunan dikatakan untuk peningkatan kapasitas peziarah yang singgah ke Masjidil Haram.
Raja Saudi Abdullah juga menunjuk ulama Wahabi dan Imam Masjidil Haram, Abdul Rahman al-Sudais sebagai penanggungjawab pembangunan kali ini. Tercatat dalam kesepakatan, konsorsium bernama Binladin Group adalah sebagai pemenang tender pembangunan tersebut.
Binladin Group adalah salah satu anggota utama dalam lingkaran ekonomi terbesar di Arab Saudi. Konsorsium itu dikatakan menjadi pintu lebar bagi investor asing yang hendak menanamkan modalnya di Tanah Arab.
Binladen Group juga menjadi kontraktor utama perluasan kompleks Masjid Nabawi di Madinah pada 2012 lalu. Pemerintah Kerajaan Saudi memang gemar meremajakan kompleks Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah.
Saban tahunnya, miliaran dolar digelontorkan untuk ekspansi dan perluasan. Kerajaan berdalih ekspansi tersebut adalah untuk peningkatan layanan dan daya tampung peziarah.
Memang, saban tahunnya jutaan umat muslim melangsungkan ritual keagamaan wajib di Makkah dan Madinah. Perluasan diperlukan lantaran semakin membludaknya jumlah jemaah.
Tahun lalu, pembangunan dan perluasan di Masjid Nabawi, sempat mendapat kecaman luas dari kelompok muslim dunia. Sebab konsorsium ini menyulap rumah Rasul Muhammad di kompleks masjid sebagai toilet umum.
Makam manusia tersuci bagi Umat Islam itu juga pernah terancam akan dibongkar untuk tujuan serupa. Bagi keluarga kerajaan dan Wahabi, situs-situs relijius tersebut berpotensi melunturkan nilai-nilai keagamaan, dan mendekati kemusyrikan.
Direktur Islamic Heritage Research Foundation, Irfan al-Alawi, mengatakan Kerajaan Saudi melakukan kecerobohan dalam pembangunan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Perluasan kawasan semestinya tidak menjadikan situs-situs sejarah tersebut sebagai objek penghancuran.
Kata dia, penghancuran tiga situs penting Umat Islam kali ini adalah langkah signifikan menuju penghancuran situs-situs Islam berikutnya. Al-Alawi menuding Kerajaan Saudi sedang menghapus catatan sejarah Umat Muslim.
Kritikus sejarah peradaban islam lainnya mengatakan, penghancuran situs-situs Islam adalah penghinaan. Press Television menggolongkan aktivitas penghancuran tersebut sebagai bagian dari agenda terselubung untuk menghilangkan rekam sejarah agama samawi terbesar ini.
The Independent baru-baru ini mengatakan upaya penyulapan kawasan Masjidil Haram menjadi kawasan elitis telah berlangsung sejak sepekan lalu.
Sebuah dokumentasi yang dilansir beberapa media internasional menunjukkan aktivitas pengerukan tanah di sebalah timur Ka'bah. Jejeran eskavator melubangi lahan dan membumihanguskan beberapa situs-situs bersejarah umat Islam.
Dikatakan, situs yang telah hancur adalah tempat Rasul Muhammad mengawali perjalanan Isra' Mi'raj (620 M). Situs lain yang ikut dihancurkan adalah kolom peninggalan Dinasti Ottoman dan Dinasti Abbasiyah.
Di tempat-tempat tersebut, dikatakan menyimpan segudang peninggalan kejayaan Islam berupa dokumentasi kaligrafi (seni menulis ayat-ayat suci Al-quran) tertua di dunia. Tempat-tempat yang babak belur itu juga mengandung sejarah bagi masa Khulafaur Rasyidin (632 - 661 M).
Press Television mengatakan, Kerajaan Saudi mengklaim penghancuran situs-situs tersebut adalah bagian dari rencana pembangunan multi-miliar dolar. Pembangunan dikatakan untuk peningkatan kapasitas peziarah yang singgah ke Masjidil Haram.
Raja Saudi Abdullah juga menunjuk ulama Wahabi dan Imam Masjidil Haram, Abdul Rahman al-Sudais sebagai penanggungjawab pembangunan kali ini. Tercatat dalam kesepakatan, konsorsium bernama Binladin Group adalah sebagai pemenang tender pembangunan tersebut.
Binladin Group adalah salah satu anggota utama dalam lingkaran ekonomi terbesar di Arab Saudi. Konsorsium itu dikatakan menjadi pintu lebar bagi investor asing yang hendak menanamkan modalnya di Tanah Arab.
Binladen Group juga menjadi kontraktor utama perluasan kompleks Masjid Nabawi di Madinah pada 2012 lalu. Pemerintah Kerajaan Saudi memang gemar meremajakan kompleks Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah.
Saban tahunnya, miliaran dolar digelontorkan untuk ekspansi dan perluasan. Kerajaan berdalih ekspansi tersebut adalah untuk peningkatan layanan dan daya tampung peziarah.
Memang, saban tahunnya jutaan umat muslim melangsungkan ritual keagamaan wajib di Makkah dan Madinah. Perluasan diperlukan lantaran semakin membludaknya jumlah jemaah.
Tahun lalu, pembangunan dan perluasan di Masjid Nabawi, sempat mendapat kecaman luas dari kelompok muslim dunia. Sebab konsorsium ini menyulap rumah Rasul Muhammad di kompleks masjid sebagai toilet umum.
Makam manusia tersuci bagi Umat Islam itu juga pernah terancam akan dibongkar untuk tujuan serupa. Bagi keluarga kerajaan dan Wahabi, situs-situs relijius tersebut berpotensi melunturkan nilai-nilai keagamaan, dan mendekati kemusyrikan.
Direktur Islamic Heritage Research Foundation, Irfan al-Alawi, mengatakan Kerajaan Saudi melakukan kecerobohan dalam pembangunan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Perluasan kawasan semestinya tidak menjadikan situs-situs sejarah tersebut sebagai objek penghancuran.
Kata dia, penghancuran tiga situs penting Umat Islam kali ini adalah langkah signifikan menuju penghancuran situs-situs Islam berikutnya. Al-Alawi menuding Kerajaan Saudi sedang menghapus catatan sejarah Umat Muslim.
Kritikus sejarah peradaban islam lainnya mengatakan, penghancuran situs-situs Islam adalah penghinaan. Press Television menggolongkan aktivitas penghancuran tersebut sebagai bagian dari agenda terselubung untuk menghilangkan rekam sejarah agama samawi terbesar ini.
n
ISIS Penggal Pakar Arkeologi Suriah Karen Tolak Tunjukkan Harta Karun
http://www.salafynews.com/2015/08/20/isis-penggal-pakar-arkeologi-suriah-karen-tolak-tunjukkan-harta-karun/
SURIAH, Salafynews.com – Kelompok
militan ISIS mengeksekusi mati pakar arkeologi di kota Palmyra, Suriah,
Selasa lalu. Alasannya, korban menolak menunjukkan lokasi harta karun
di kota bersejarah tersebut.
Seperti diberitakan SANA, Rabu (19/8)
tubuh Khaled al-As’ad tergantung di jalanan kota Palmyra, dan kepalanya
diletakkan di antara kedua kakinya. Pria 82 tahun itu dipenggal di depan
umum, seperti disebutkan oleh Rami Abdulrahman dari lembaga Syrian
Observatory for Human Rights.
As’ad adalah professor arkeologi dan
mantan manajer umum museum barang antik di Palmyra. Menurut Maamoun
Abdulkarim, direktur Departemen Antik dan Museum Suriah pada SANA, As’ad
tewas karena melindungi harta karun bersejarah peninggalan masa lampau
di Palmyra. Baca (
Abdulkarim mengatakan, selain tidak
ingin berbaiat pada ISIS, As’ad menolak memberitahu lokasi harta karun
arkeologi dan dua peti emas yang diduga berada di kota itu.
“Dia menolak. Dia bilang ‘Apa pun yang terjadi, terjadilah. Saya tidak
bisa menentang hati nurani.’ Dia memiliki kepribadian yang kuat dan
menolak tunduk pada siapa pun,” ujar Abdulkarim.
Mantan wakil menteri urusan kebudayaan
dan sejarah Suriah Abdulrazzaq Moaz mengatakan bahwa kematian As’ad
adalah sebuah bencana.
“Khaled Al’As’ad adalah Palmyra di hati
semua orang. Dia adalah orang yang hebat, salah satu cendekiawan paling
senior yang dimiliki Suriah,” ujar Moaz.
Kota Palmyra yang terletak di timurlaut
Damaskus dijuluki sebagai “pengantin dari gurun” karena koleksi
reruntuhan bersejarahnya yang luar biasa. Kota ini merupakan rute
perdagangan yang menghubungkan Persia, India dan China di masa
Kekaisaran Romawi.
Sejarawan Inggris dan penulis novel Tom
Holland menggambarkan Palmyra sebagai “campuran yang menakjubkan dari
pengaruh Iran dan klasik yang berpadu dengan Arab.”
ISIS menguasai kota yang masuk dalam
situs Warisan Dunia UNESCO itu sejak Mei lalu. Di kota ini ISIS
menghancurkan benda-benda bersejarah yang dianggap berhala, termasuk
makam-makam tokoh-tokoh Islam.
Diduga juga, ISIS menjual barang-barang
antik di pasar gelap, menjadi salah satu sumber pemasukan besar bagi
operasional mereka di Timur Tengah. [SANA/SFA]
Tulisan yang judul aslinya tentang “Ja’fari Mazhab Resmi Islam ke-5” saya ambil dengan tujuan sebagai penambah khazanah pengetahuan bagi umat muslim pada umumnya dan Nahdliyin pada khususnya. Semoga bermanfaat!! Jazakumullah Khoiron Katsiro kepada majalah Syi’ar.
Bicaranya lugas khas kiai pesantren. Namun data dan istilah yang rancak terselip dalam kalimat-kalimatnya menunjukkan bahwa dia bukan sekadar kiai pesantren biasa, melainkan juga intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi dan mempunyai pergaulan yang luas. Kyai Said, demikian sapaan akrab DR. KH. Said Aqiel Siradj.
Ditemui SYI’AR di ruangannya di kantor PBNU, ulama asal Palimanan, Cirebon, ini cerita banyak tentang kunjungannya ke Qatar, sikapnya tentang kerukunan antar-mazhab, kultur Syiah dalam NU dan penjabarannya tentang kondisi umat Islam.
TENTANG SUNNI-SYIAH.
Anda bisa ceritakan tentang pertemuan Qatar?
Saya diundang dalam pertemuan Suni-Syiah di Doha, ibukota Qatar, pada 20-22 Januari 2007. Tujuannya mempersempit atau memperkecil sudut pandang Suni-Syiah yang sudah barang tentu penting sekali.
Pertemuan pada hari pertama memang panas. Terutama pihak Suni. Yusuf Qardhawi, Syekh Wahbah Zuhaili dan Syekh Ali Syabuni punya syarat bahwa mereka bisa bertemu apabila pihak Syiah menghentikan caci maki terhadap sabahat. Mereka tidak akan mau bertemu apabila Syiah masih mengatakan misalnya ‘laknat Allah’ kepada Aisyah karena Suni mengatakan ‘Semoga Allah meridhainya’.
Kemudian yang sangat disayangkan dan juga dikritik oleh Syekh Yusuf Qaradhawi adalah penyebaran Syiah di kalangan Suni. Dia juga bilang Indonesia sebagai salah satu basis penyebaran Syiah dengan menyebarkan buku-buku terjemahan dan lain sebagainya.
Lebih seru lagi, Syekh Qaradhawi di forum ini meminta Ali Taskhiri mengucapkan Aisyah radhiya Allahu anha (ra). Dan Syekh Ali Taskhiri mau melakukannya. Tidak berhenti di situ, dia juga minta semua utusan Iran mengucapkan hal yang sama seperti Ali Taskhiri. Ini kejadian yg sangat disayangkan dan sesungguhnya tidak perlu terjadi di forum yang mulia ini. Tetapi pada hari kedua sudah mulai cair.
Hasil dari seminar itu, pada intinya, masing-masing pihak menghargai peranan masing-masing dan mengendalikan kalangan ekstrim dari masing-masing mazhab.
Menurut Ali Taskhiri, di kalangan Syiah memang ada juga orang-orang yang ekstrim dan fanatik dan dengan tidak bertanggungjawab mencaci maki sahabat dan Suni. Demikian pula di Suni. Sementara NU sendiri tidak pernah mencaci maki Syiah. Tapi di kalangan Wahabi memang banyak yang ekstrim.
Pada pertemuan itu, saya diberi kesempatan berbicara dua kali. Pada forum tersebut, saya mengajak kedua pihak untuk masing-masing menulis buku tentang pengakuan dan penghargaan Suni terhadap Syiah dalam membangun peradaban. Begitu juga Syiah, menulis buku tentang peranan Suni dalam membangun peradaban.
Sebenarnya hal (pertemuan Suni-Syiah) ini sudah lama dilakukan oleh Syekh Syaltut dan Ayatullah Burujerdi. Hasil dari kesepakatan kedua tokoh tersebut adalah bahwa mazhab Ja’fari diajarkan secara resmi di al-Azhar. Bahkan salah satu keberhasilan tersebut adalah diakuinya mazhab Ja’fari sebagai mazhab resmi dalam Islam sebagaimana empat mazhab lainnya. Bahkan rektor Al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, mengatakan banyak kaidah hukum yang diambil dari mazhab Ja’fari adalah sah, ketika tidak ditemukan pada empat mazhab. Walhasil, mazhab Ja’fari adalah setara dengan empat mazhab lainnya.
Hal apakah yang mendorong terselenggaranya pertemuan tersebut?
Saya kira pertemuan itu didorong oleh kondisi di Irak. Masing-masing menuduh. Suni menuding Iran menyuplai senjata. Demikian pula Syiah menuding kelompok Suni Irak mendapat senjata dari Saudi. Lepas dari masalah itu semua, perpecahan di Irak harus dihentikan. Para ulama di sana harus mengendalikan umatnya, karena bukan hanya sekadar perbedaan pendapat tapi juga sudah ribuan nyawa melayang di sana.
Apakah benar Iran di belakang konflik sektarian itu?
Saya tahu ini rekayasa Amerika. Saya tahu sengaja dibangun opini bahwa ini adalah konflik mazhab Suni-Syiah. Padahal ini murni politik, toh dulu tidak pernah terjadi konflik seperti ini.
Saya bisa tegaskan di sini bahwa Iran, selalu dan selamanya, membela Palestina. Padahal di Palestina tidak ada Syiah, semuanya Suni. Tapi Iran matian-matian sampai berkorban dan rela ditekan Amerika karena perjuangannya bagi Palestina. Karena itu harus dipahami Iran berdiri bukan hanya untuk Syiah, bukan hanya untuk partai, tapi juga untuk Islam.
Apakah pertemuan Doha itu memang khusus untuk masalah sektarian di Irak atau memang pertemuan reguler?
Pertemuan Doha ini terdorong karena keadaan di Irak. Kalau yang reguler adalah yang di Iran dan semua pihak diundang dalam pertemuan itu.
Walhasil, masing-masing pihak selalu ada yang ekstrim, dan itu salah. Di Syiah ada yang ekstrim mencaci maki Suni dan di Sunni juga tidak kurang atau kelewatan.
Waktu Imam Khomeini pulang ke Iran, terbit sebuah buku yg menghujat beliau kira-kira judulnya Ja’a Daurul Majus ‘Tibalah Saatnya Majusi Kembali’. Itu sudah keterlaluan.
Sebenarnya bila bicara masalah perbedaan mazhab, itu bukan konsumsi pasar. Bukan obrolan orang awam. Tapi kalau masing-masing sudah menyebarkan buku murahan dan saling caci maki dan menjadi konsumsi awam akan berbahaya sekali. Bahaya terhadap Islam.
Jadi siapa yang berhak menetralisir segala macam isu yang bisa memecah belah persatuan umat ini?
Ulama, dong. Seperti yang saya katakan tadi, Syekh Al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut, mengadakan pendekatan dengan Ayatullah Burujerdi yang kemudian berdampak besar, sampai akhirnya Mazhab Ja’fari resmi dianggap sebagai mazhab kelima, selevel dengan mazhab yang empat.
Apa isu Suni-Syiah demikian krusialnya sampai-sampai diadakan pertemuan Doha? Apa tidak ada isu lain?
Kenyataannya, sekarang (di Irak) sudah saling bunuh. Faktanya begitu. Dalang di belakang kejadian ini kita semua tahu. Juga isu senjata Syiah disuplai Iran dan senjata Sunni disuplai Saudi. Kita semua tahu siapa dalang sesungguhnya. Ini adalah kerjaan Amerika untuk memecah belah Irak. Tapi kan, beberapa ulama terpengaruh. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Syekh Qardhawi, Wahbah Zuhaili dan Ali Syabuni barangkali terpengaruh juga oleh isu ini.
Seandainya kita bisa berbicara dengan jernih, kembali pada dasar yang paling prinsip, semua mazhab hakikatnya sama kecuali pada hal-hal yang furu’ (parsial). Kenapa kita bisa dialog dengan non-Muslim tapi tidak bisa dengan Syiah kalau tidak dibesar-besarkan oleh kepentingan politik?.
TENTANG TEOLOGI KERUKUNAN.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil seiring dengan berkembangan Pluralitas dan Multikultural saat ini?
Satu, kita harus memahami watak orang Irak. Sejak dulu mereka susah dipersatukan. Masyarakat Irak pernah bersatu ketika ia dipimpin oleh seorang diktator yaitu Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi. Setelah itu selalu saja ada ajang pertikaian.
Irak modern sekarang ini adalah mayoritas Suni kalau dilihat dari Kurdi non-Arab dan mayoritas Syiah kalau dilihat dari Arabnya saja. Jadi (mayoritas) Arab Irak itu Syiah, sedangkan Arab Irak Suni sedikit. Tapi kalau menghitung Kurdi yang non-Arab maka Suni menjadi mayoritas.
Kita berkata terus terang: ayo, Anda mau berangkat dari mana, yang mau ditilik darimana? Bila qaumiah Arabiah (Nasionalisme Arab), maka yang akan jadi mayoritas adalah mayoritas Syiah. Untuk Suni sendiri, dia harus memasukkan suku Kurdi. Masalahnya, suku Kurdi sendiri mazlum (tertindas) selama kekuasaan Saddam Hussain.
Satu-satunya presiden yang membunuh rakyatnya sendiri dengan senjata massal, terlepas adanya oposisi atau tidak, hanyalah Saddam Hussain. Di Halabja, jangankan suku Kurdi, ayam, bebek dan unggas lain yang tak tahu menahu pun, semuanya pada musnah.
Banyak juga presiden yang membunuh rakyatnya sendiri secara massal tapi tidak dengan senjata pemusnah massal seperti yang dilakukan oleh Saddam Hussain.
Jadi Saddam Hussain lah yang pertama kali menggunakan senjata pemusnah massal untuk membunuh rakyatnya sendiri. Korbannya ada yang menyong mulutnya, ada yang kulitnya terkelupas dan lain sebagainya. Yang selamat pun mengalami cacat.
NU dikenal sebagai kelompok konservatif dan Muhammadiyah modernis. Sehingga NU bisa dikatakan memiliki ikatan emosional dengan tradisi-tradisi atau agama-agama lokal seperti Islam waktu telu dan Sunda wiwitan. Bagaimana pendapat Anda ?
Kita tetap harus berdakwah tentang Islam yang sebenarnya kepada mereka. Ada prinsip-prinsip ma’lum min ad-din bidh-darûrah (yaitu ada prinsip agama yang tidak bisa ditawar), seperti rukun Islam itu ada lima, rukun iman itu ada enam, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, al-Quran itu wahyu terakhir. Masalah rincian yang parsialnya silakan berbeda.
Kalau begitu, dari berbagai mazhab di Indonesia yang keras dan yang lunak itu, kira-kira perekatnya apa?
Tetap. Kalau mereka mereka masih meyakini rukun Iman dan rukun Islam, mereka masih dikategorikan Islam.
Soalnya masih ada kelompok yang masih mempermasalahkan masalah-masalah yang kecil-kecil begitu.
Gak apa-apa, masalah-masalah itu justru merupakan dinamika kita dalam bermasyarakat. Yang tahlil, yang nggak tahlil, yang salat tarawih 20 atau 8 rakaat itu dipersilakan.
Masih ada yang menyesatkan dan mengafirkan orang tanpa dasar. Padahal mereka tahu bahwa kelompok yang mereka kafirkan itu masih mengimani Allah, al-Quran dan sebagainya?
Kalau begitu nggak akan pernah ketemu. Jangankan dengan non-Muslim, dengan sesama Muslim pun, baik yang Persis, NU, Muhammadiyah, atau pun Syiah, tidak akan ketemu kalau itu masih dipersoalkan.
Ada kalangan yang berpendapat bahwa karena mayoritas Indonesia itu Islam dan tradisinya adalah tradisi Muslim itu maka formalisasi syariat Islam melalui Perda-perda syariat Islam akan semakin menguatkan posisi Islam Indonesia. Pandangan Anda?
Pertama-tama, yang Anda harus ketahui, berapa persen masyarakat Indonesia yang familiar dengan al-Quran? Yang melek sejarah Islam saja, berapa persen? Paling-paling Cuma 12% yang bisa baca dan familiar dengan al-Quran. Kita ini masih dalam marhalah (fase) dakwah, masih jauh dari Islam yang sebenarnya kita inginkan.
TENTANG MAULID NABI SAW
Kenapa perayaan Maulid Nabi di masyarakat NU itu lebih meriah dan lebih simbolis ketimbang di masyarakat Muhammadiyah?
Karena di sini ada budaya Syiah. NU menerima budayanya, bukan fikih atau teologinya. Budaya Syiah itu ya mencintai Nabi dan Ahlulbait. Di dalam bait-bait syair Barzanji tidak ada yang memuja dan nyanjung Abu Bakar, Umar dan Usman. Nggak ada.
Contohnya, “Kami mempunyai bapak yang sangat kami cintai, yaitu Muhammad, kami punya Ali al-Murtadha, kami punya as-Sibthain (Hasan dan Husain), kam Imam min ba’da khalafu (dan imam-imam setelahnya) seperti Ali Zainal Abidin, anaknya Muhammad al-Baqir, sebaik-baiknya wali, dan putranya ash-Shadiq (Imam Ja’far Shadiq) dan putranya Ali Ridha, begitu lho.
Jadi budaya Syiah masuk ke NU. Bahkan budaya Syiah pun masuk pesantren. Contohnya penghormatan kepada kyainya. Kalau kyainya meninggal maka yang menggantikannya adalah anaknya sekalipun secara kualitas sangat jauh berbeda. Soalnya keilmuannya, ya dia akan bisa mendapatkan dari guru-gurunya yang lain.
Kalau banyak berasal dari kultur Syiah, apakah masyarakat yang sadar akan beralih ke gaya mencintai Nabi ala Muhammadiyah?
Nggak. Silakan Maulid Nabi dan Dibaan itu dikritik, tetap saja nggak bisa hilang dari kami. Malah yang kritik itu sendiri yang terpental.
Mengapa?
Sebab Allah Swt sendiri yang memuji beliau. Dalam al-Quran, “Innaka la’alâ khuqin azhîm”. Dan kita punya keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah pemberi syafaat sebagaimana yang tercantum di dalam hadis-hadis sahih. Orang-orang yang banyak dosanya, kalau mereka berziarah kepada Nabi Muhammad dan beristigfar, dan Nabi sendiri memintakan ampunan, pasti mereka akan diampuni dosa-dosanya. “Walau annahum zhalamû anfusahum jâ’ûka fastagfaruhumullah wastagfaruhumur- rasul. Lawajadûllaha tawwabar-rahima.”.
Ada yang bertanya, apakah Nabi Muhammad saw masih hidup sampai sekarang? Jawabannya, ya. Nabi masih hidup sampai sekarang. Buktinya, “Assalamu ‘alaika” dalam tahiyat salat, “‘alaika” berarti beliau masih hidup.
Jadi, mereka yang datang ke kuburan jasad Nabi (di Madinah) lalu dia beristigfar dan Nabi memantau istigfar kita kepada Allah, maka Allah akan pasti akan mengampuni dosa-dosanya.
TENTANG KULTUR SYIAH dan NU.
Suni plus kultur Syiah ini, apa hanya khas di NU saja ataukah ada di tempat lain juga?
Tidak. di Mesir Maulid Nabi semarak sekali, ada tahlilan dan tawasulan. Begitu pula di Maroko. Di Saudi nggak semua (mengharamkan) , hanya Najd dan Riyadh saja. Orang-orang Hijaz dan Madinah masih (membaca) Barzanji segala macam.
Pada dasarnya umat Islam yang ada di Nusantara ini pada umumnya, terutama NU, berhutang budi banyak terutama kepada Ahlulbait yang telah menyebarkan Islam di Nusantara sejak dahulu kala. Kita semua tahu bahwa beberapa Wali Songo itu rata-rata keturunan Ahlulbait. Karena itu budaya Ahlulbait, budaya Syiah, mempunyai kesamaan dengan budaya Islam Indonesia. Seperti tawassul kepada Sayidina Ali dan Ahlulbait lainnya. Doa-doa seperti hizib yang dibaca oleh orang-orang kampung itu dimulai dengan (mengirim) surah Al-Fatihah kepada Rasulullah dan Ahlulbait.
Tapi tradisi-tradisi seperti itu mulai menghilang dengan datangnya Wahabisme dan modernitas?
Di Indonesia ada syair yang dibacakan kalau ada yang tertimpa musibah atau penyakit menular, yaitu: “li khamsatun utfi biha harral wabai hatimah, al-Mustafa wal murtadha wabna huma wa Fathimah” (Saya mempunyai lima orang yang bisa menolak bala yaitu yang pertama, al-Mustafa Muhammad, yang kedua al-Murtahda Ali, dan kedua anakanya Hasan dan Husain, serta yang kelima Fathimah).
Itu dibacakan oleh orang-orang kampung. Luar biasa. Selama itu masih dibaca, selama itu pula budaya Syiah masih ada di Indonesia.
Dengan kata lain, Anda ingin mengatakan bahwa Wahabisme tidak bisa masuk ke dalam tradisi NU?
Ya. Silahkan mereka membuat yayasan di mana-mana, tetapi karena sudah jadi budaya itu tidak akan lepas dari NU.
Bagaimana kasus komunitas Syiah di Bondowoso yang diisukan dekat dengan NU?
NU tidak pernah memusuhi Syiah. Mungkin malah sayang Syiah. Tapi bagaimanapun NU kan Suni yang beraliran Asy’ari dan di bidang tasawufnya adalah al-Ghazali.
Hubungan kita dengan Ahlulbait (Syiah) sudah sangat indah sekali, tidak bisa dilepaskan atau dijauhkan antara keduanya.
Orang-orang awam belum mengetahui sejauh mana budaya Syiah itu. Hanya kita-kita yang berpendidikan sajalah yang memahami semua hal itu.
Bagaimana dengan transfer khazanah keilmuan dari Persia ke budaya Indonesia?
Sangat luar biasa. Contohnya, huruf terakhir kata Arab yang diserap dalam Bahasa Indonesia yang berakhiran “h” dibaca “t”, seperti “surat”. Ini adalah budaya Persia.
Ada lagi budaya Persia yang masuk ke dalam budaya Indonesia. Kalau kita membaca al-Quran, misalnya “Hudan lil-muttaqin” , maka (di akhir ayat pendengar) akan dijawab dengan “Allah” (dengan nada panjang dan lembut). Itu merupakan budaya Iran yang mencirikan kelembutan khas Iran.
Mesir tidak begitu. Kalau mereka mendengar kata “Hudan lil-muttaqin” dibacakan maka mereka akan menjawab “Allahu Akbar” (dengan suara lantang). Kalau mereka mendengar orang membaca al-Quran dengan merdu kemudian tersentuh hatinya, seperti bacaan Syekh Abdul Basith, maka mereka akan berucap “Allah” (dengan keras).
Konflik antar mazhab semakin mengeras semenjak Wahabisme muncul.
Bagaimana NU memahami Wahabi?
Saya memahami Wahabi bagian dari Suni, tetapi Suni versi Mazhab Hambali. Hambali sendiri adalah di antara empat (mazhab) yang paling keras. Hambali ini pun kemudian ditafsirkan oleh Ibnu Taimiyah sehingga menjadi lebih keras. Operasionalnya dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menjadi semakin keras lagi dibandingkan dengan kepala induk dari mazhab ini sendiri. Salah seorang imam yang paling keras adalah Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab lebih keras lagi daripada Ibnu Taimiyah.
Apakah yang Anda bisa simpulkan dari fenomena ini?
Kesimpulannya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Islam datang ke Indonesia dulu bil hikmah wal mau’izhah wal mujadalah. Dengan penuh hikmah (wisdom), akhlakul karimah, budaya, mauizhah (ceramah yang bagus), dengan diskusi dan debat yang ideal dan bagus. Semua itu dilakukan oleh Ahlulbait dan diteruskan oleh para mubalig dan para Kyai.
Konon ada beberapa kyai yang keturunan Ahlulbait, tapi gelarnya dikesampingkan dan ditutupi. Saya sendiri, katanya, ada (garis) keturunan dari Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Kyai Sahal Mahfudz keturunan Sunan Kudus. Dan apalagi Gus Dur keturunan Sunan Ampel. Semua itu kembali kepada Ahlulbait. Orangtua-orangtua kita menghapus atau tidak menyebutkan al-Haddad, al-Habsyi dan sebagainya. Semua leluhur saya bliang begitu. Kakek saya semuanya keturunan Ahlulbait.
Kesimpulan kedua, karena dakwahnya bil hikmah, maka budaya itu menyatu dengan kehidupan kita sebagai orang Islam melalui salawatan, puji-pujian dan melalui doa-doa. Jadi kita tidak bisa dipisahkan dengan budaya Ahlulbait. Sekali lagi, budayanya lho, bukan akidah atau politiknya.
Cara berpikir Syiah boleh kita ambil meskipun kita berfikih Syafi’i dan berakidah Asy’ari. Lama-lama ini akan menjadi sebuah budaya dan nggak usah ditutup-tutupi.
Di Indonesia juga ada tradisi Asyura (seperti upacara Tabut di Padang dan itu adalah budaya Syiah) juga tradisi mencintai Imam Ali. Semua orang tahu bahwa Sayidina Ali adalah seorang yang hebat dan mulia. Semua ini sudah menjadi sebuah budaya yang turun temurun yang diciptakan di komunitas masyarakat Islam Indonesia
.
Salah satu menanamkan nilai-nilai adalah lewat peringatan-peringat an, dan itu juga menjadi momentum persatuan umat.
Ya. Dulu Maulid Nabi dimulai pertama kali oleh Khalifah Mu’idz Lidinillah, khalifah Fathimiah, salah satu khalifah keturunan Abdullah dari Tunisia tahun 363 H. Dia lalu masuk Kairo dan mengalahkan Ahmad bin Thulun. Khalifah Mu’idz kemudian menyatukan umat untuk merayakan Maulid Nabi secara besar-besaran.
Dia kemudian mendirikan sekolah al-Azhar dengan nama Jauhar ath-Thaqul, lalu membangun kota Qahirah (Kairo) hingga kemudian dikalahkan oleh Dinasti Mamalik dan kemudian oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Artinya, seremonial-seremoni al seperti itu bisa menyatukan umat, dan menyatakan kepada umat bahwa kita memiliki seorang pemimpin yang namanya Muhammad dan kita harus mengikuti ajaran dan dakwahnya. Hal ini, sama halnya dengan kita memperingati hari 17 Agustus, untuk memperingati bahwa dulu bapak-bapak dan orangtua-orangtua kita telah mengorbankan nyawa, harta dan pikirannya demi kemerdekaan dan membangun Negara Indonesia yang tercinta ini. Adapun bentuk seremonialnya bisa disesuaikan dengan aneka kebudayaan umat yang ada, seperti di Yogyakarta misalnya dengan cirinya sendiri, di Cirebon dengan cirinya sendiri dan di Mesir pun akan lain lagi.
kata Quraish, banyak di antara umat yang terjebak pada sikap yang picik, tanpa wawasan akal yang memadai. Tanpa menelaah kitab-kitab secara benar, banyak yang merasa dirinya paling benar dan tiba-tiba saja mengkafirkan yang lain. Ia tidak menampik fakta banyak ulama masa silam yang juga terjebak kebodohan, sehingga mempengaruhi umat di masa kini. Makanya, sikap kritis mesti diperlukan untuk menelaah kembali semua pemikiran di masa silam demi menemukan titik-titik kesamaan di masa kini.
Dalam hadis-hadis pun kita temukan angka 40 itu. Sekian banyak ulama, baik dari mazhab apapun, mengakui sabda Nabi yang menyatakan, “Barang siapa yang menghafal 40 hadis dan memeliharanya, ia akan dibangkitkan kelak dalam kelompok orang-orang alim.” Karena itu dari kalang Sunni misalnya, kita menemukan Imam Nawawi menyusun Al- Arba’în An-Nawawiah. Dalam kalangan Syiah kontemporer Imam Khomeini menulis 40 hadis pilihan. Kita menemukan di dalam hadis misalnya, ada hadis yang menyatakan “Barang siapa yang shalat 40 kali— dalam riwayat lain 40 hari —di Madinah Rasul, maka ia terbebas dari kemunafikan.”.
Kita menemukan misalnya dalam hukum, 2,5% zakat harta atau 1 bagi setiap 40 ekor binatang; juga menggunakan angka 40. Kelihatannya 40 ini adalah angka kesempurnaan. Jika demikian kalau kita memperingati tokoh yang telah berlalu, yang kita ingin teladani pada masa keempatpuluhnya, maka sebenarnya salah satu yang diharapkan adalah kesempurnaan keteladan kita kepada beliau. Hal kedua yang ingin saya garis bawahi adalah, Allah SWT memerintahkan kita untuk merenung. Berulang-ulang dalam Al- Quran, tidak kurang 200 kali, kata “merenung”, “mengingat” terulang di dalamnya.
Banyak hal yang perlu direnungkan. Sejak dulu misalnya, Allah berpesan kepada Nabi Musa agar mengingatkan kaummya: Wa dzakkirhum bi ayyâmillâh. Ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah (QS. Ibrâhîm [14] : 5), maka kita dapat berkata, bahwa salah satu hari Allah adalah hari gugurnya Sayyidina Husain. Saya terkadang berpikir, kalau unta atau sapi dijadikan Allah min sya’âirillâhsya’âirillâh? Kalau Ka’bah, al-hadya, al- qalâid (binatang yang dibawa ke Ka’bah untuk disembelih saat haji), semua dinamai Allah sebagai sya’âirillâh, maka heran rasanya kalau ada tokoh, baik yang disebut di dalam Al-Quran maupun yang tidak, selama dia tokoh, heran kalau dia tidak dapat dinilai sebagai salah satu dari sya’âirillâh. (bagian dari syiar-syiar Allah), maka apakah tokoh tidak dapat menjadi salah satu dari sya’airillah?.
Menurutnya, Mereka yang tidak mau tahlilan keluar saja dari Muhammadiyah dan Aisyiyah. Tahlilan sendiri merupakan amalan baik yang selalu dipelihara oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Mantan Ketua Umum Muhammadiyah Bapak KH. Din Syamsudin juga beberapa kali terlihat mengikuti tahlilan.
Tahlilan menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah kebiasaan baik yang merupakan perkara furu’ atau cabang dalam agama. Seorang muslim tidak akan menuduh kafir muslim yang lain hanya karena melaksanakan ‘tahlilan’. Karena ini bukan perkara yang berhubungan dengan Ushuluddin.
Jika di zaman sekarang ini masih ada golongan yang mengkafirkan dan membid’ahkan kaum muslimin hanya karena tahlilan maka orang tersebut tidak paham mana furu’ cabang dalam agama dan mana ushul dalam agama. Dan sudah dapat dipastikan mereka yang mudah mengkafirkan perkara furu’ hanyalah golongan sekte khawarij. Na’uzdubillah.
Wallahu Alam
Fakta Syi’ah Indonesia tidak didanai Iran, wahabi salafi didanai Saudi + AS + Israel
http://ahlulbaitnabisaw.blogspot.in/2014/07/fakta-syiah-indonesia-tidak-didanai.html
Warga yang menamakan diri Lembaga Persatuan Umat Islam
(LPUI) mendatangi kantor PMI Pusat untuk menemui sang ketua yang juga mantan
Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pertemuan itu dimaksudkan untuk mendapat naungan
agar konflik Sampang, Madura segera berakhir.
Ketua LPUI
Nurut Tamam Bukhori menjelaskan, pihaknya telah melakukan mediasi antara warga
Sunni dan Syiah di Sampang. Mereka telah membuat kesepakatan damai atau
islah.
"Kami semua sudah menyatakan islah. Warga Sunni
telah menyadari kalau apa yang dilakukan terhadap saudaranya itu salah. Bahkan
mereka datang ke rusun tempat warga Syiah mengungsi dan untuk meminta maaf dan
saling berjabat tangan," kata Nurut di hadapan JK, Jumat (4/10/2013).
Dia
menjelaskan, piagam perdamaian itu kemudian dibawa ke Pemda Sampang. Namun
piagam itu ditolak. Pemda menganggap, piagam itu palsu dan tidak berdasar.
"Kami
sudah datang menunjukkan piagam islah yang telah disepakati. Tapi dianggap
palsu oleh pemerintah," lanjut Nurut.
Sikap seperti inilah
yang ingin dikonsultasikan kepada JK. Mereka mengeluhkan sikap Pemda Sampang
yang malah terkesan tidak terima dengan perdamaian ini. Padahal warga sendiri
sudah berdamai.
"Di bawahnya sudah damai, nah tinggal
yang di atasnya ini kok terasa sangat sulit," ujar Nurut.
Menanggapi
hal itu, Jusuf Kalla yang karib disapa JK ini menilai, masalah tersebut tidak
terlalu berat apabila benar-bemar ingin diselesaikan. Hanya butuh yang baik
dari berbagai pihak.
"Jadi ini masalahnya tidak terlalu
berat memang kalau mau diselesaikan. Tapi harus kerja sama dengan masyarakat
sendiri, pemda setempat dan kita menghargai usaha masyarakat itu. Pemerintah
kan sudah mengarah ke positif. Walaupun seperti yang dikeluhkan tadi, masih ada
pihak pemerintah yang belum 100 persen mendukung," ucap JK.
Menurut
dia, apa yang telah diperbuat warga dalam bentuk perdamaian harus didukung.
Termasuk pemerintah, baik daerah maupun pusat.
"Kita
harap apa yang diprakarsai masyarakat kita dukung bersama agar terjadi
perdamaian," tambah JK.
Meski begitu, pria yang
terkenal apik (baik) dalam mendamaikan konflik ini belum menentukan sikap apa yang
akan dilakukan atas keluhan yang diterimanya.
"Saya
ingin pelajari dulu laporannya dan konsultasikan ke pemerintah setempat,"
tandas Jusuf Kalla. (Riz) (Rizki
Gunawan) http://news.liputan6.com/read/711587/pendamai-sampang-minta-bantuan-jusuf-kalla
Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj Membolehkan Syiah.
Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj Membolehkan Syiah
Dibawah ini adalah sebuah tulisan yang diambil sepenuhnya dari majalah SYI’AR yang kebetulan memuat wawancara dengan DR. KH. Said Aqiel Siradj (sekarang Ketua Umum PBNU). Tulisan ini memberikan gambaran singkat namun jelas tentang Syi’ah dan budayanya serta relasinya terhadap tradisi NU. Sebagai seorang cendekiawan muslim, ulasan beliau cukup memberikan wawasan tentang bagaimana seharusnya sikap umat nahdliyin terhadap tudingan golongan tertentu.
Dibawah ini adalah sebuah tulisan yang diambil sepenuhnya dari majalah SYI’AR yang kebetulan memuat wawancara dengan DR. KH. Said Aqiel Siradj (sekarang Ketua Umum PBNU). Tulisan ini memberikan gambaran singkat namun jelas tentang Syi’ah dan budayanya serta relasinya terhadap tradisi NU. Sebagai seorang cendekiawan muslim, ulasan beliau cukup memberikan wawasan tentang bagaimana seharusnya sikap umat nahdliyin terhadap tudingan golongan tertentu.
Tulisan yang judul aslinya tentang “Ja’fari Mazhab Resmi Islam ke-5” saya ambil dengan tujuan sebagai penambah khazanah pengetahuan bagi umat muslim pada umumnya dan Nahdliyin pada khususnya. Semoga bermanfaat!! Jazakumullah Khoiron Katsiro kepada majalah Syi’ar.
Bicaranya lugas khas kiai pesantren. Namun data dan istilah yang rancak terselip dalam kalimat-kalimatnya menunjukkan bahwa dia bukan sekadar kiai pesantren biasa, melainkan juga intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi dan mempunyai pergaulan yang luas. Kyai Said, demikian sapaan akrab DR. KH. Said Aqiel Siradj.
Ditemui SYI’AR di ruangannya di kantor PBNU, ulama asal Palimanan, Cirebon, ini cerita banyak tentang kunjungannya ke Qatar, sikapnya tentang kerukunan antar-mazhab, kultur Syiah dalam NU dan penjabarannya tentang kondisi umat Islam.
TENTANG SUNNI-SYIAH.
Anda bisa ceritakan tentang pertemuan Qatar?
Saya diundang dalam pertemuan Suni-Syiah di Doha, ibukota Qatar, pada 20-22 Januari 2007. Tujuannya mempersempit atau memperkecil sudut pandang Suni-Syiah yang sudah barang tentu penting sekali.
Pertemuan pada hari pertama memang panas. Terutama pihak Suni. Yusuf Qardhawi, Syekh Wahbah Zuhaili dan Syekh Ali Syabuni punya syarat bahwa mereka bisa bertemu apabila pihak Syiah menghentikan caci maki terhadap sabahat. Mereka tidak akan mau bertemu apabila Syiah masih mengatakan misalnya ‘laknat Allah’ kepada Aisyah karena Suni mengatakan ‘Semoga Allah meridhainya’.
Kemudian yang sangat disayangkan dan juga dikritik oleh Syekh Yusuf Qaradhawi adalah penyebaran Syiah di kalangan Suni. Dia juga bilang Indonesia sebagai salah satu basis penyebaran Syiah dengan menyebarkan buku-buku terjemahan dan lain sebagainya.
Lebih seru lagi, Syekh Qaradhawi di forum ini meminta Ali Taskhiri mengucapkan Aisyah radhiya Allahu anha (ra). Dan Syekh Ali Taskhiri mau melakukannya. Tidak berhenti di situ, dia juga minta semua utusan Iran mengucapkan hal yang sama seperti Ali Taskhiri. Ini kejadian yg sangat disayangkan dan sesungguhnya tidak perlu terjadi di forum yang mulia ini. Tetapi pada hari kedua sudah mulai cair.
Hasil dari seminar itu, pada intinya, masing-masing pihak menghargai peranan masing-masing dan mengendalikan kalangan ekstrim dari masing-masing mazhab.
Menurut Ali Taskhiri, di kalangan Syiah memang ada juga orang-orang yang ekstrim dan fanatik dan dengan tidak bertanggungjawab mencaci maki sahabat dan Suni. Demikian pula di Suni. Sementara NU sendiri tidak pernah mencaci maki Syiah. Tapi di kalangan Wahabi memang banyak yang ekstrim.
Pada pertemuan itu, saya diberi kesempatan berbicara dua kali. Pada forum tersebut, saya mengajak kedua pihak untuk masing-masing menulis buku tentang pengakuan dan penghargaan Suni terhadap Syiah dalam membangun peradaban. Begitu juga Syiah, menulis buku tentang peranan Suni dalam membangun peradaban.
Sebenarnya hal (pertemuan Suni-Syiah) ini sudah lama dilakukan oleh Syekh Syaltut dan Ayatullah Burujerdi. Hasil dari kesepakatan kedua tokoh tersebut adalah bahwa mazhab Ja’fari diajarkan secara resmi di al-Azhar. Bahkan salah satu keberhasilan tersebut adalah diakuinya mazhab Ja’fari sebagai mazhab resmi dalam Islam sebagaimana empat mazhab lainnya. Bahkan rektor Al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, mengatakan banyak kaidah hukum yang diambil dari mazhab Ja’fari adalah sah, ketika tidak ditemukan pada empat mazhab. Walhasil, mazhab Ja’fari adalah setara dengan empat mazhab lainnya.
Hal apakah yang mendorong terselenggaranya pertemuan tersebut?
Saya kira pertemuan itu didorong oleh kondisi di Irak. Masing-masing menuduh. Suni menuding Iran menyuplai senjata. Demikian pula Syiah menuding kelompok Suni Irak mendapat senjata dari Saudi. Lepas dari masalah itu semua, perpecahan di Irak harus dihentikan. Para ulama di sana harus mengendalikan umatnya, karena bukan hanya sekadar perbedaan pendapat tapi juga sudah ribuan nyawa melayang di sana.
Apakah benar Iran di belakang konflik sektarian itu?
Saya tahu ini rekayasa Amerika. Saya tahu sengaja dibangun opini bahwa ini adalah konflik mazhab Suni-Syiah. Padahal ini murni politik, toh dulu tidak pernah terjadi konflik seperti ini.
Saya bisa tegaskan di sini bahwa Iran, selalu dan selamanya, membela Palestina. Padahal di Palestina tidak ada Syiah, semuanya Suni. Tapi Iran matian-matian sampai berkorban dan rela ditekan Amerika karena perjuangannya bagi Palestina. Karena itu harus dipahami Iran berdiri bukan hanya untuk Syiah, bukan hanya untuk partai, tapi juga untuk Islam.
Apakah pertemuan Doha itu memang khusus untuk masalah sektarian di Irak atau memang pertemuan reguler?
Pertemuan Doha ini terdorong karena keadaan di Irak. Kalau yang reguler adalah yang di Iran dan semua pihak diundang dalam pertemuan itu.
Walhasil, masing-masing pihak selalu ada yang ekstrim, dan itu salah. Di Syiah ada yang ekstrim mencaci maki Suni dan di Sunni juga tidak kurang atau kelewatan.
Waktu Imam Khomeini pulang ke Iran, terbit sebuah buku yg menghujat beliau kira-kira judulnya Ja’a Daurul Majus ‘Tibalah Saatnya Majusi Kembali’. Itu sudah keterlaluan.
Sebenarnya bila bicara masalah perbedaan mazhab, itu bukan konsumsi pasar. Bukan obrolan orang awam. Tapi kalau masing-masing sudah menyebarkan buku murahan dan saling caci maki dan menjadi konsumsi awam akan berbahaya sekali. Bahaya terhadap Islam.
Jadi siapa yang berhak menetralisir segala macam isu yang bisa memecah belah persatuan umat ini?
Ulama, dong. Seperti yang saya katakan tadi, Syekh Al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut, mengadakan pendekatan dengan Ayatullah Burujerdi yang kemudian berdampak besar, sampai akhirnya Mazhab Ja’fari resmi dianggap sebagai mazhab kelima, selevel dengan mazhab yang empat.
Apa isu Suni-Syiah demikian krusialnya sampai-sampai diadakan pertemuan Doha? Apa tidak ada isu lain?
Kenyataannya, sekarang (di Irak) sudah saling bunuh. Faktanya begitu. Dalang di belakang kejadian ini kita semua tahu. Juga isu senjata Syiah disuplai Iran dan senjata Sunni disuplai Saudi. Kita semua tahu siapa dalang sesungguhnya. Ini adalah kerjaan Amerika untuk memecah belah Irak. Tapi kan, beberapa ulama terpengaruh. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Syekh Qardhawi, Wahbah Zuhaili dan Ali Syabuni barangkali terpengaruh juga oleh isu ini.
Seandainya kita bisa berbicara dengan jernih, kembali pada dasar yang paling prinsip, semua mazhab hakikatnya sama kecuali pada hal-hal yang furu’ (parsial). Kenapa kita bisa dialog dengan non-Muslim tapi tidak bisa dengan Syiah kalau tidak dibesar-besarkan oleh kepentingan politik?.
TENTANG TEOLOGI KERUKUNAN.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil seiring dengan berkembangan Pluralitas dan Multikultural saat ini?
Satu, kita harus memahami watak orang Irak. Sejak dulu mereka susah dipersatukan. Masyarakat Irak pernah bersatu ketika ia dipimpin oleh seorang diktator yaitu Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi. Setelah itu selalu saja ada ajang pertikaian.
Irak modern sekarang ini adalah mayoritas Suni kalau dilihat dari Kurdi non-Arab dan mayoritas Syiah kalau dilihat dari Arabnya saja. Jadi (mayoritas) Arab Irak itu Syiah, sedangkan Arab Irak Suni sedikit. Tapi kalau menghitung Kurdi yang non-Arab maka Suni menjadi mayoritas.
Kita berkata terus terang: ayo, Anda mau berangkat dari mana, yang mau ditilik darimana? Bila qaumiah Arabiah (Nasionalisme Arab), maka yang akan jadi mayoritas adalah mayoritas Syiah. Untuk Suni sendiri, dia harus memasukkan suku Kurdi. Masalahnya, suku Kurdi sendiri mazlum (tertindas) selama kekuasaan Saddam Hussain.
Satu-satunya presiden yang membunuh rakyatnya sendiri dengan senjata massal, terlepas adanya oposisi atau tidak, hanyalah Saddam Hussain. Di Halabja, jangankan suku Kurdi, ayam, bebek dan unggas lain yang tak tahu menahu pun, semuanya pada musnah.
Banyak juga presiden yang membunuh rakyatnya sendiri secara massal tapi tidak dengan senjata pemusnah massal seperti yang dilakukan oleh Saddam Hussain.
Jadi Saddam Hussain lah yang pertama kali menggunakan senjata pemusnah massal untuk membunuh rakyatnya sendiri. Korbannya ada yang menyong mulutnya, ada yang kulitnya terkelupas dan lain sebagainya. Yang selamat pun mengalami cacat.
NU dikenal sebagai kelompok konservatif dan Muhammadiyah modernis. Sehingga NU bisa dikatakan memiliki ikatan emosional dengan tradisi-tradisi atau agama-agama lokal seperti Islam waktu telu dan Sunda wiwitan. Bagaimana pendapat Anda ?
Kita tetap harus berdakwah tentang Islam yang sebenarnya kepada mereka. Ada prinsip-prinsip ma’lum min ad-din bidh-darûrah (yaitu ada prinsip agama yang tidak bisa ditawar), seperti rukun Islam itu ada lima, rukun iman itu ada enam, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, al-Quran itu wahyu terakhir. Masalah rincian yang parsialnya silakan berbeda.
Kalau begitu, dari berbagai mazhab di Indonesia yang keras dan yang lunak itu, kira-kira perekatnya apa?
Tetap. Kalau mereka mereka masih meyakini rukun Iman dan rukun Islam, mereka masih dikategorikan Islam.
Soalnya masih ada kelompok yang masih mempermasalahkan masalah-masalah yang kecil-kecil begitu.
Gak apa-apa, masalah-masalah itu justru merupakan dinamika kita dalam bermasyarakat. Yang tahlil, yang nggak tahlil, yang salat tarawih 20 atau 8 rakaat itu dipersilakan.
Masih ada yang menyesatkan dan mengafirkan orang tanpa dasar. Padahal mereka tahu bahwa kelompok yang mereka kafirkan itu masih mengimani Allah, al-Quran dan sebagainya?
Kalau begitu nggak akan pernah ketemu. Jangankan dengan non-Muslim, dengan sesama Muslim pun, baik yang Persis, NU, Muhammadiyah, atau pun Syiah, tidak akan ketemu kalau itu masih dipersoalkan.
Ada kalangan yang berpendapat bahwa karena mayoritas Indonesia itu Islam dan tradisinya adalah tradisi Muslim itu maka formalisasi syariat Islam melalui Perda-perda syariat Islam akan semakin menguatkan posisi Islam Indonesia. Pandangan Anda?
Pertama-tama, yang Anda harus ketahui, berapa persen masyarakat Indonesia yang familiar dengan al-Quran? Yang melek sejarah Islam saja, berapa persen? Paling-paling Cuma 12% yang bisa baca dan familiar dengan al-Quran. Kita ini masih dalam marhalah (fase) dakwah, masih jauh dari Islam yang sebenarnya kita inginkan.
TENTANG MAULID NABI SAW
Kenapa perayaan Maulid Nabi di masyarakat NU itu lebih meriah dan lebih simbolis ketimbang di masyarakat Muhammadiyah?
Karena di sini ada budaya Syiah. NU menerima budayanya, bukan fikih atau teologinya. Budaya Syiah itu ya mencintai Nabi dan Ahlulbait. Di dalam bait-bait syair Barzanji tidak ada yang memuja dan nyanjung Abu Bakar, Umar dan Usman. Nggak ada.
Contohnya, “Kami mempunyai bapak yang sangat kami cintai, yaitu Muhammad, kami punya Ali al-Murtadha, kami punya as-Sibthain (Hasan dan Husain), kam Imam min ba’da khalafu (dan imam-imam setelahnya) seperti Ali Zainal Abidin, anaknya Muhammad al-Baqir, sebaik-baiknya wali, dan putranya ash-Shadiq (Imam Ja’far Shadiq) dan putranya Ali Ridha, begitu lho.
Jadi budaya Syiah masuk ke NU. Bahkan budaya Syiah pun masuk pesantren. Contohnya penghormatan kepada kyainya. Kalau kyainya meninggal maka yang menggantikannya adalah anaknya sekalipun secara kualitas sangat jauh berbeda. Soalnya keilmuannya, ya dia akan bisa mendapatkan dari guru-gurunya yang lain.
Kalau banyak berasal dari kultur Syiah, apakah masyarakat yang sadar akan beralih ke gaya mencintai Nabi ala Muhammadiyah?
Nggak. Silakan Maulid Nabi dan Dibaan itu dikritik, tetap saja nggak bisa hilang dari kami. Malah yang kritik itu sendiri yang terpental.
Mengapa?
Sebab Allah Swt sendiri yang memuji beliau. Dalam al-Quran, “Innaka la’alâ khuqin azhîm”. Dan kita punya keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah pemberi syafaat sebagaimana yang tercantum di dalam hadis-hadis sahih. Orang-orang yang banyak dosanya, kalau mereka berziarah kepada Nabi Muhammad dan beristigfar, dan Nabi sendiri memintakan ampunan, pasti mereka akan diampuni dosa-dosanya. “Walau annahum zhalamû anfusahum jâ’ûka fastagfaruhumullah wastagfaruhumur- rasul. Lawajadûllaha tawwabar-rahima.”.
Ada yang bertanya, apakah Nabi Muhammad saw masih hidup sampai sekarang? Jawabannya, ya. Nabi masih hidup sampai sekarang. Buktinya, “Assalamu ‘alaika” dalam tahiyat salat, “‘alaika” berarti beliau masih hidup.
Jadi, mereka yang datang ke kuburan jasad Nabi (di Madinah) lalu dia beristigfar dan Nabi memantau istigfar kita kepada Allah, maka Allah akan pasti akan mengampuni dosa-dosanya.
TENTANG KULTUR SYIAH dan NU.
Suni plus kultur Syiah ini, apa hanya khas di NU saja ataukah ada di tempat lain juga?
Tidak. di Mesir Maulid Nabi semarak sekali, ada tahlilan dan tawasulan. Begitu pula di Maroko. Di Saudi nggak semua (mengharamkan) , hanya Najd dan Riyadh saja. Orang-orang Hijaz dan Madinah masih (membaca) Barzanji segala macam.
Pada dasarnya umat Islam yang ada di Nusantara ini pada umumnya, terutama NU, berhutang budi banyak terutama kepada Ahlulbait yang telah menyebarkan Islam di Nusantara sejak dahulu kala. Kita semua tahu bahwa beberapa Wali Songo itu rata-rata keturunan Ahlulbait. Karena itu budaya Ahlulbait, budaya Syiah, mempunyai kesamaan dengan budaya Islam Indonesia. Seperti tawassul kepada Sayidina Ali dan Ahlulbait lainnya. Doa-doa seperti hizib yang dibaca oleh orang-orang kampung itu dimulai dengan (mengirim) surah Al-Fatihah kepada Rasulullah dan Ahlulbait.
Tapi tradisi-tradisi seperti itu mulai menghilang dengan datangnya Wahabisme dan modernitas?
Di Indonesia ada syair yang dibacakan kalau ada yang tertimpa musibah atau penyakit menular, yaitu: “li khamsatun utfi biha harral wabai hatimah, al-Mustafa wal murtadha wabna huma wa Fathimah” (Saya mempunyai lima orang yang bisa menolak bala yaitu yang pertama, al-Mustafa Muhammad, yang kedua al-Murtahda Ali, dan kedua anakanya Hasan dan Husain, serta yang kelima Fathimah).
Itu dibacakan oleh orang-orang kampung. Luar biasa. Selama itu masih dibaca, selama itu pula budaya Syiah masih ada di Indonesia.
Dengan kata lain, Anda ingin mengatakan bahwa Wahabisme tidak bisa masuk ke dalam tradisi NU?
Ya. Silahkan mereka membuat yayasan di mana-mana, tetapi karena sudah jadi budaya itu tidak akan lepas dari NU.
Bagaimana kasus komunitas Syiah di Bondowoso yang diisukan dekat dengan NU?
NU tidak pernah memusuhi Syiah. Mungkin malah sayang Syiah. Tapi bagaimanapun NU kan Suni yang beraliran Asy’ari dan di bidang tasawufnya adalah al-Ghazali.
Hubungan kita dengan Ahlulbait (Syiah) sudah sangat indah sekali, tidak bisa dilepaskan atau dijauhkan antara keduanya.
Orang-orang awam belum mengetahui sejauh mana budaya Syiah itu. Hanya kita-kita yang berpendidikan sajalah yang memahami semua hal itu.
Bagaimana dengan transfer khazanah keilmuan dari Persia ke budaya Indonesia?
Sangat luar biasa. Contohnya, huruf terakhir kata Arab yang diserap dalam Bahasa Indonesia yang berakhiran “h” dibaca “t”, seperti “surat”. Ini adalah budaya Persia.
Ada lagi budaya Persia yang masuk ke dalam budaya Indonesia. Kalau kita membaca al-Quran, misalnya “Hudan lil-muttaqin” , maka (di akhir ayat pendengar) akan dijawab dengan “Allah” (dengan nada panjang dan lembut). Itu merupakan budaya Iran yang mencirikan kelembutan khas Iran.
Mesir tidak begitu. Kalau mereka mendengar kata “Hudan lil-muttaqin” dibacakan maka mereka akan menjawab “Allahu Akbar” (dengan suara lantang). Kalau mereka mendengar orang membaca al-Quran dengan merdu kemudian tersentuh hatinya, seperti bacaan Syekh Abdul Basith, maka mereka akan berucap “Allah” (dengan keras).
Konflik antar mazhab semakin mengeras semenjak Wahabisme muncul.
Bagaimana NU memahami Wahabi?
Saya memahami Wahabi bagian dari Suni, tetapi Suni versi Mazhab Hambali. Hambali sendiri adalah di antara empat (mazhab) yang paling keras. Hambali ini pun kemudian ditafsirkan oleh Ibnu Taimiyah sehingga menjadi lebih keras. Operasionalnya dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menjadi semakin keras lagi dibandingkan dengan kepala induk dari mazhab ini sendiri. Salah seorang imam yang paling keras adalah Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab lebih keras lagi daripada Ibnu Taimiyah.
Apakah yang Anda bisa simpulkan dari fenomena ini?
Kesimpulannya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Islam datang ke Indonesia dulu bil hikmah wal mau’izhah wal mujadalah. Dengan penuh hikmah (wisdom), akhlakul karimah, budaya, mauizhah (ceramah yang bagus), dengan diskusi dan debat yang ideal dan bagus. Semua itu dilakukan oleh Ahlulbait dan diteruskan oleh para mubalig dan para Kyai.
Konon ada beberapa kyai yang keturunan Ahlulbait, tapi gelarnya dikesampingkan dan ditutupi. Saya sendiri, katanya, ada (garis) keturunan dari Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Kyai Sahal Mahfudz keturunan Sunan Kudus. Dan apalagi Gus Dur keturunan Sunan Ampel. Semua itu kembali kepada Ahlulbait. Orangtua-orangtua kita menghapus atau tidak menyebutkan al-Haddad, al-Habsyi dan sebagainya. Semua leluhur saya bliang begitu. Kakek saya semuanya keturunan Ahlulbait.
Kesimpulan kedua, karena dakwahnya bil hikmah, maka budaya itu menyatu dengan kehidupan kita sebagai orang Islam melalui salawatan, puji-pujian dan melalui doa-doa. Jadi kita tidak bisa dipisahkan dengan budaya Ahlulbait. Sekali lagi, budayanya lho, bukan akidah atau politiknya.
Cara berpikir Syiah boleh kita ambil meskipun kita berfikih Syafi’i dan berakidah Asy’ari. Lama-lama ini akan menjadi sebuah budaya dan nggak usah ditutup-tutupi.
Di Indonesia juga ada tradisi Asyura (seperti upacara Tabut di Padang dan itu adalah budaya Syiah) juga tradisi mencintai Imam Ali. Semua orang tahu bahwa Sayidina Ali adalah seorang yang hebat dan mulia. Semua ini sudah menjadi sebuah budaya yang turun temurun yang diciptakan di komunitas masyarakat Islam Indonesia
.
Salah satu menanamkan nilai-nilai adalah lewat peringatan-peringat an, dan itu juga menjadi momentum persatuan umat.
Ya. Dulu Maulid Nabi dimulai pertama kali oleh Khalifah Mu’idz Lidinillah, khalifah Fathimiah, salah satu khalifah keturunan Abdullah dari Tunisia tahun 363 H. Dia lalu masuk Kairo dan mengalahkan Ahmad bin Thulun. Khalifah Mu’idz kemudian menyatukan umat untuk merayakan Maulid Nabi secara besar-besaran.
Dia kemudian mendirikan sekolah al-Azhar dengan nama Jauhar ath-Thaqul, lalu membangun kota Qahirah (Kairo) hingga kemudian dikalahkan oleh Dinasti Mamalik dan kemudian oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Artinya, seremonial-seremoni al seperti itu bisa menyatukan umat, dan menyatakan kepada umat bahwa kita memiliki seorang pemimpin yang namanya Muhammad dan kita harus mengikuti ajaran dan dakwahnya. Hal ini, sama halnya dengan kita memperingati hari 17 Agustus, untuk memperingati bahwa dulu bapak-bapak dan orangtua-orangtua kita telah mengorbankan nyawa, harta dan pikirannya demi kemerdekaan dan membangun Negara Indonesia yang tercinta ini. Adapun bentuk seremonialnya bisa disesuaikan dengan aneka kebudayaan umat yang ada, seperti di Yogyakarta misalnya dengan cirinya sendiri, di Cirebon dengan cirinya sendiri dan di Mesir pun akan lain lagi.
kata Quraish, banyak di antara umat yang terjebak pada sikap yang picik, tanpa wawasan akal yang memadai. Tanpa menelaah kitab-kitab secara benar, banyak yang merasa dirinya paling benar dan tiba-tiba saja mengkafirkan yang lain. Ia tidak menampik fakta banyak ulama masa silam yang juga terjebak kebodohan, sehingga mempengaruhi umat di masa kini. Makanya, sikap kritis mesti diperlukan untuk menelaah kembali semua pemikiran di masa silam demi menemukan titik-titik kesamaan di masa kini.
“Kalau kita mau cari perbedaan supaya kita konflik, akan banyak
sekali ditemukan. Namun, apa tujuannya kita berkonflik? Kita semakin
membatasi diri kita. Lebih baik kita mencari titik kesamaan supaya kita
bersatu sebagai sesama umat Islam,“ katanya.
Prof. DR. Quraish Shihab : “Siapa yang tidak mengagungkan Imam Husain maka diragukan keimanannya.”.
DR. Quraish Shihab saat menerima tamu dari Iran yang bermadzab Syiah.
Jakarta - Kita tidak dapat menjangkau seluruh makna arba’în. Kita tidak tahu
persis mengapa angka 40 hari itu yang dipilih; bukan 30, bukan 20, bukan
juga 100. Tapi yang jelas angka 40 disebut di dalam Al-Quran sebanyak
empat kali. Nabi Musa AS tadinya dijanjikan untuk “bertemu” dengan
Allah, tapi kemudian Allah menyempurnakannya: … Maka sempurnalah waktu
yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam (QS. Al-A’râf [7] :
142). Seorang manusia oleh Al-Quran juga dinyatakan bahwa manusia
mencapai kesempurnaannya. Hatta idzâ balagha asyuddahu wa balagha
arba’în sannah (QS. Al-Ahqâf [46] : 15). Bani Israil pun yang dihukum
Tuhan, disebutkan bahwa mereka dihukum Tuhan tersesat selama 40 tahun..Dalam hadis-hadis pun kita temukan angka 40 itu. Sekian banyak ulama, baik dari mazhab apapun, mengakui sabda Nabi yang menyatakan, “Barang siapa yang menghafal 40 hadis dan memeliharanya, ia akan dibangkitkan kelak dalam kelompok orang-orang alim.” Karena itu dari kalang Sunni misalnya, kita menemukan Imam Nawawi menyusun Al- Arba’în An-Nawawiah. Dalam kalangan Syiah kontemporer Imam Khomeini menulis 40 hadis pilihan. Kita menemukan di dalam hadis misalnya, ada hadis yang menyatakan “Barang siapa yang shalat 40 kali— dalam riwayat lain 40 hari —di Madinah Rasul, maka ia terbebas dari kemunafikan.”.
Kita menemukan misalnya dalam hukum, 2,5% zakat harta atau 1 bagi setiap 40 ekor binatang; juga menggunakan angka 40. Kelihatannya 40 ini adalah angka kesempurnaan. Jika demikian kalau kita memperingati tokoh yang telah berlalu, yang kita ingin teladani pada masa keempatpuluhnya, maka sebenarnya salah satu yang diharapkan adalah kesempurnaan keteladan kita kepada beliau. Hal kedua yang ingin saya garis bawahi adalah, Allah SWT memerintahkan kita untuk merenung. Berulang-ulang dalam Al- Quran, tidak kurang 200 kali, kata “merenung”, “mengingat” terulang di dalamnya.
Banyak hal yang perlu direnungkan. Sejak dulu misalnya, Allah berpesan kepada Nabi Musa agar mengingatkan kaummya: Wa dzakkirhum bi ayyâmillâh. Ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah (QS. Ibrâhîm [14] : 5), maka kita dapat berkata, bahwa salah satu hari Allah adalah hari gugurnya Sayyidina Husain. Saya terkadang berpikir, kalau unta atau sapi dijadikan Allah min sya’âirillâhsya’âirillâh? Kalau Ka’bah, al-hadya, al- qalâid (binatang yang dibawa ke Ka’bah untuk disembelih saat haji), semua dinamai Allah sebagai sya’âirillâh, maka heran rasanya kalau ada tokoh, baik yang disebut di dalam Al-Quran maupun yang tidak, selama dia tokoh, heran kalau dia tidak dapat dinilai sebagai salah satu dari sya’âirillâh. (bagian dari syiar-syiar Allah), maka apakah tokoh tidak dapat menjadi salah satu dari sya’airillah?.
Seperti kita baca dalam Al-Quran: Barang siapa yang mengagungkan
sya’âirillâh (syiar-syiar Allah) maka sesungguhnya itu adalah tanda
ketakwaan dari hati (QS. Al-Hajj [22] : 32). Itu sebabnya kita merayakan
maulid Nabi, itu sebabnya kita mengagungkan tokoh-tokoh. Itu sebabnya
sebagaimana kita bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad, sebagaimana
kita menyambut tokoh- tokoh yang kita agungkan, kita pun wajar bersedih
dalam batas-batas yang dibenarkan agama, dengan kepergian siapa yang
mesti kita cintai..
Syi’âr – sya’âir – sya’irah seakar dengan kata syu’ûr, rasa. Setiap
yang menjadi syiar mesti menimbulkan rasa. Ketika pada hari Idul Adhha
misalnya, kita melihat kambing, domba atau sapi yang dijadikan syiar
oleh Allah, maka ketika itu dia tidak menjadi syiar kalau dia tidak
menjadi tanda kebesaran Allah dan tidak timbul di dalam hati Anda rasa
kekaguman akan kebesaran Allah. Ketika kita menjadikan seorang tokoh
sebagai syiar, maka harus timbul rasa di dalam hati Anda. Rasa hormat,
rasa kagum dan boleh jadi rasa menyesal kenapa kita tidak hidup pada
masa beliau (Imam Husain) dan ikut berjuang bersama beliau.
.
Hal ketiga yang ingin saya kemukakan, mengapa kita mengagungkan
Sayyidina Husain? Tentu akan sangat panjang uraian kalau kita berbicara
tentang beliau. Kita hanya bisa menunjuk dengan jari telunjuk; kita
tidak dapat merangkul semua dari keistimewaan beliau. Untung kata orang
menunjuk ke suatu gunung yang tinggi terkadang lebih mampu untuk
menggambarkannya dari pada usaha kedua lengan untuk merangkul dunia ini.
Kita hanya ingin menunjuk dan menyinggung sedikit dari banyak yang
diakui oleh seluruh muslim, apapun mazhabnya baik Sunni atau Syiah, dan
yang terdapat dalam semua kitab menyangkut Sayyidina Husain.
.
Pertama, beliau dan Sayyidina Hasan adalah Sayyid Syabâb Ahli Jannah
(Pemimpin Pemuda Penghuni Surga), semua mengakui. Ada hal yang menarik
dari dua sosok agung ini. Sepintas terlihat bahwa kepribadiannya
bertolak belakang. Sayyidina Hasan mau damai, Sayyidina Husain
revolusioner. Kelihatannya bertolak belakang, tapi sebenarnya tidak
bertolak belakang. Semua bersumber dari didikan ayah beliau, Sayyidina
Ali bin Abi Thalib, dan semua yang dari Imam Ali bersumber dari
Rasulullah SAW. Semua diajarkan untuk membela agama dan
mempertahankannya sambil melihat kondisi yang sedang dialami..
Kondisi yang dihadapi oleh Imam Hasan sudah berbeda dengan kondisi
yang dialami oleh Imam Husain. Ketika masa Sayyidina Hasan diperlukan
kedamaian yang bersyarat. Tetapi ketika kedamaian yang bersyarat itu
ternodai, situasi berubah dan tampillah Sayyidina Husain. Kalau begitu,
ketika Sayyidina Husain bersedia gugur walau dengan memberi pilihan
kepada pengikutnya untuk mundur ketika dikepung, beliau juga dalam
perjuangannya bukan menuntut kekuasaan. Yang beliau inginkan ketika itu
adalah syu’ûr, rasa, kepekaan terhadap ajaran agama dan nilai-nilainya.
Yang beliau inginkan ketika itu adalah tumbuh suburnya ajaran ini yang
sejak masa ayah beliau sudah mulai menjauh dari nilai-nilai yang
diajarkan Rasul.
Abbas Al-Aqqad, seorang ulama Mesir yang diakui otoritas
keilmuannya, menulis dalam buku Abqarîyat ‘Ali mengatakan bahwa kendati
Sayyidina Ali merasa bahwa beliau wajar untuk menjadi khalifah setelah
Rasul, tetapi beliau tidak ingin menuntut itu sebelum umat
menyerahkannya kepada beliau. Ditulis oleh ulama-ulama Syiah, salah
satunya di dalam buku Ashlu Syî’ah wa Ushulihâ, bahwa Sayyidina Ali
menerima kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar dan Umar, kepimpinan dalam
urusan kenegaraan karena beliau melihat bahwa apa yang dilakukannya
sudah sesuai dengan jalan Rasulullah. Walaupun dalam buku itu dikatakan
beliau tidak menyerahkan soal imamah keagamaan. Sekali lagi saya ingin
katakan, ketika Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain dan sebelumnya
Sayyidina Ali, beliau tidak pernah berpikir untuk duduk sebagai
penguasa. Ini ‘kan suatu ajaran yang perlu kita camkan sekarang ini.
Hal terakhir yang saya ingin kemukakan dalam konteks berbicara
tentang Imam Husain adalah bahwa beliau, menurut Nabi SAW, adalah Sayyîd
Asy-Syuhadâ, penghulu, tokoh yang terutama dari para syuhada. Saya
tidak ingin membatasi pengertian syuhada itu hanya dalam arti orang yang
gugur membela agama. Syuhada adalah bentuk jamak dari syahîd. Syahid
itu kata yang patronnya bisa berarti objek dan bisa berarti subjek.
Syahâdah adalah kesaksian. Kalau dia berarti subjek maka syahîd berati
yang menyaksikan, kalau dia berarti objek berarti bahwa beliau yang
disaksikan.
Keguguran dan darah yang terpancar memang menjadi saksi akan
ketulusan perjuangan beliau. Tapi karena kita tidak ingin membatasi arti
syahadah hanya pada pengertian gugur di medan juang, itu juga berarti
ketika kita menjadikan beliau sebagai syahîd (yang disaksikan), berarti
kita ikut menyaksikan dihadapan Allah berdasarkan pada pengetahuan kita
bahwa beliau tokoh dan di sisi lain kita menyaksikan beliau sebagai
teladan kita dalam hidup. Itu sebabnya dalam Quran disebutkan: Wa
kadzâlika ja’alnâkum ummatan wasatha litakûnû syuhadâ ‘alâ an-nâs wa
yakûna ar- rasûl ‘alaikum syahîda. Dan Kami telah menjadikan kalian umat
pertengahan agar kamu menjadi teladan-teladan atas manusia, sedang
Rasul adalah teladan kamu (QS. Al-Baqarah [2] : 143).
Mengapa saya berkata begitu? Karena kita tidak pernah berkata bahwa
hidup ini hanya di dunia; kita berkata hidup di dunia ini adalah
perjuangan sepanjang masa. Kita perlu teladan- teladan yang baik, dan
keteladan Imam Husain itu berlanjut hingga sekarang. Itu sebabnya tadi
dikatakan sampai sekarang masih jutaan orang berkunjung ke Karbala,
sampai sekarang saya tahu persis di Mesir, Masjid Imam Husain itu
dikunjungi orang; yang berkunjung bukan hanya orang Syiah tapi juga
Sunni yang mengelilingi bagaikan bertawaf di sana. Mengagungkan Imam
Husain karena perjuangannya sehingga kita dapat berkata, “Siapa yang
tidak mengagungkan beliau (Imam Husain) maka diragukan keimanannya.”
Aqûlu qauli hadzâ wastaghfirullâh lî walakum.
(Deleteisrael/ICC.doc).
(Deleteisrael/ICC.doc).
Sumber: Ceramah disampaikan oleh Prof. DR. M. Quraish Shihab dalam
acara Peringatan Arbain Imam Husain di Islamic Cultural Center, Jakarta,
pada tanggal 16 Februari 2009 (20 Shafar 1430 H).
*****
Konflik Syiah yang terjadi pekan lalu di Sampang, Madura, membuat
banyak orang mulai bertanya ada apa sebenarnya dengan Syiah. Siapa
mereka dan kenapa bisa berlanjut konfliknya hingga bersimbah darah?
Menteri Agama Indonesia ke-15, Muhammad Quraish Shihab, membedah dua
kelompok ini dalam buku yang berjudul Sunnah-Syiah, Bergandengan Tangan, Mungkinkah?
Pria 68 tahun ini mengawali kisah dua kelompok besar ini dengan menjelaskan apa itu perbedaan dalam Islam. Ia kemudian membedah perbedaan umum antara Sunnah dan Syiah. Menurut lelaki kelahiran Sulawesi selatan ini, secara umum ada dua kelompok umat Islam dengan jumlah pengikut yang besar yaitu kelompok Ahlussunnah wa al-Jamaah dan kelompok Syiah.
Kelompok pertama secara harfiah dari kata Ahl as-sunnah adalah orang-orang yang konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad. Baik dalam tuntunan lisan maupun amalan serta sahabat mulia beliau. Golongan ini percaya perbuatan manusia diciptakan Allah dan baik buruknya karena qadha dan qadar-Nya. Kelompok Ahlussunah juga memperurutkan keutamaan Khulafa”ar-Rasyidin sesuai dengan urutan dan masa kekuasaan mereka.
Shihab mengaku kesulitan untuk menjelaskan siapa saja yang dinamai Ahlussunah dalam pengertian terminologi. Secara umum, melalui berbagai pendapat, golongan ini adalah umat yang mengikuti aliran Asy”ari dalam urusan akidah dan keempat imam Mahzab (Malik, Syafi”i, Ahmad bin Hanbal, dan Hanafi).
“Sebelum memulai dengan siapa Syiah, perlu digarisbawahi, kelompok Syiah pun menamai diri Ahlussunah,” ujar dia. Tapi definisinya tentu berbeda. Syiah memang mengikuti tuntunan sunah Nabi, tapi ada sejumlah perbedaan bentuk dukungan dan tuntunan itu.
Muhammad Jawad Maghniyah, ulama beraliran Syiah, mendefinisikan tentang kelompoknya. Syiah yang secara kebahasaan berarti pengikut, pendukung, pembela, dan pecinta ini adalah kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan dengan nash (pernyataan yang pasti) tentang khalifah beliau dengan menunjuk Imam Ali.
“Definisi ini hanya mencerminkan sebagian dari golongan Syiah, tapi untuk sementara dapat diterima,” kata Shihab.
Perbedaan antara Syiah dan Ahlusunnah yang menonjol adalah masalah imamah atau jabatan Ilahi. Khususnya ada tiga hal pokok yang diyakini Syiah dan ditentang Ahlussunnah. Ketiganya adalah pandangan tentang Nabi belum menyampaikan seluruh ajaran/hukum agama kepada umat, imam-imam berwenang mengecualikan apa yang telah disampaikan Nabi Muhammad SAW, dan imam-imam mempunyai kedudukan yang sama dengan Nabi dalam segi kemaksuman (keterpeliharaan dari perbuatan dosa, bahkan tidak mungkin keliru dan lupa).
Keberatan itu, tulis Shihab, tertuang dalam buku karangan Syaikh Abu Zahrah berjudul Tarikh al-Maadzahib al-Islamiyah. Bagi kaum Syiah, imam yang mereka percayai ada dua belas orang jumlahnya. Mulai dari Imam Ali hingga Imam Mahdi. Mereka adalah manusia pilihan Tuhan yang kekuasaannya bersumber dari Allah.
Sebagai negara induk aliran Syiah, Iran tak memiliki banyak pengaruh dengan penganut Syiah di Indonesia. Malah ada kecenderungan mereka cuek. Begitulah anggapan cendekiawan Jalaluddin Rakhmat yang juga Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI).
Iran dengan pengikut Syiah di Indonesia, kata Kang Jalal, sapaan Jalaluddin Rakhmat, hanya memiliki ikatan ideologi saja. Namun, secara hubungan, pemerintah Iran hampir tak pernah memberikan bantuan ke Indonesia. “Kami bangun sekolah di berbagai tempat, pemerintah Iran tak pernah membantu,” kata Kang Jalal, Kamis, 30 Agustus 2012.
Tapi, tiap ada pujian soal Syiah di Indonesia, yang menerima adalah pemerintah Iran. Mereka dianggap berhasil memajukan Syiah di Indonesia. “Saya pun protes ke Kedutaan Besar Iran di Indonesia. Kami yang capek, mereka yang dapat penghargaan,” ujarnya.
Bantuan pemerintah Iran ke pemeluk Syiah di Indonesia hanya berupa buku atau penyelenggaraan seminar. Menurut Kang Jalal, bantuan dana itu pun tak secara utuh. Hanya setengah dari biaya yang diperlukan. “Karena dana dari Iran kurang, IJABI pun sering nombok. Jadi kami kapok kerja sama dengan mereka lagi,” kata dia.
Bila dilihat dari segi ideologi, tak ada perbedaan antara Syiah di Indonesia dan Iran. Keduanya menganut agama Syiah Itsna Asyariyah atau Imamah. Yakni ajaran yang mengutamakan masalah kepemimpinan. “Ajaran itu tercantum dalam undang-undang Iran, dan kami juga Syiah Itsna Asyariyah,” ujar Kang Jalal.
(ABNS)
Pria 68 tahun ini mengawali kisah dua kelompok besar ini dengan menjelaskan apa itu perbedaan dalam Islam. Ia kemudian membedah perbedaan umum antara Sunnah dan Syiah. Menurut lelaki kelahiran Sulawesi selatan ini, secara umum ada dua kelompok umat Islam dengan jumlah pengikut yang besar yaitu kelompok Ahlussunnah wa al-Jamaah dan kelompok Syiah.
Kelompok pertama secara harfiah dari kata Ahl as-sunnah adalah orang-orang yang konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad. Baik dalam tuntunan lisan maupun amalan serta sahabat mulia beliau. Golongan ini percaya perbuatan manusia diciptakan Allah dan baik buruknya karena qadha dan qadar-Nya. Kelompok Ahlussunah juga memperurutkan keutamaan Khulafa”ar-Rasyidin sesuai dengan urutan dan masa kekuasaan mereka.
Shihab mengaku kesulitan untuk menjelaskan siapa saja yang dinamai Ahlussunah dalam pengertian terminologi. Secara umum, melalui berbagai pendapat, golongan ini adalah umat yang mengikuti aliran Asy”ari dalam urusan akidah dan keempat imam Mahzab (Malik, Syafi”i, Ahmad bin Hanbal, dan Hanafi).
“Sebelum memulai dengan siapa Syiah, perlu digarisbawahi, kelompok Syiah pun menamai diri Ahlussunah,” ujar dia. Tapi definisinya tentu berbeda. Syiah memang mengikuti tuntunan sunah Nabi, tapi ada sejumlah perbedaan bentuk dukungan dan tuntunan itu.
Muhammad Jawad Maghniyah, ulama beraliran Syiah, mendefinisikan tentang kelompoknya. Syiah yang secara kebahasaan berarti pengikut, pendukung, pembela, dan pecinta ini adalah kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan dengan nash (pernyataan yang pasti) tentang khalifah beliau dengan menunjuk Imam Ali.
“Definisi ini hanya mencerminkan sebagian dari golongan Syiah, tapi untuk sementara dapat diterima,” kata Shihab.
Perbedaan antara Syiah dan Ahlusunnah yang menonjol adalah masalah imamah atau jabatan Ilahi. Khususnya ada tiga hal pokok yang diyakini Syiah dan ditentang Ahlussunnah. Ketiganya adalah pandangan tentang Nabi belum menyampaikan seluruh ajaran/hukum agama kepada umat, imam-imam berwenang mengecualikan apa yang telah disampaikan Nabi Muhammad SAW, dan imam-imam mempunyai kedudukan yang sama dengan Nabi dalam segi kemaksuman (keterpeliharaan dari perbuatan dosa, bahkan tidak mungkin keliru dan lupa).
Keberatan itu, tulis Shihab, tertuang dalam buku karangan Syaikh Abu Zahrah berjudul Tarikh al-Maadzahib al-Islamiyah. Bagi kaum Syiah, imam yang mereka percayai ada dua belas orang jumlahnya. Mulai dari Imam Ali hingga Imam Mahdi. Mereka adalah manusia pilihan Tuhan yang kekuasaannya bersumber dari Allah.
Sebagai negara induk aliran Syiah, Iran tak memiliki banyak pengaruh dengan penganut Syiah di Indonesia. Malah ada kecenderungan mereka cuek. Begitulah anggapan cendekiawan Jalaluddin Rakhmat yang juga Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI).
Iran dengan pengikut Syiah di Indonesia, kata Kang Jalal, sapaan Jalaluddin Rakhmat, hanya memiliki ikatan ideologi saja. Namun, secara hubungan, pemerintah Iran hampir tak pernah memberikan bantuan ke Indonesia. “Kami bangun sekolah di berbagai tempat, pemerintah Iran tak pernah membantu,” kata Kang Jalal, Kamis, 30 Agustus 2012.
Tapi, tiap ada pujian soal Syiah di Indonesia, yang menerima adalah pemerintah Iran. Mereka dianggap berhasil memajukan Syiah di Indonesia. “Saya pun protes ke Kedutaan Besar Iran di Indonesia. Kami yang capek, mereka yang dapat penghargaan,” ujarnya.
Bantuan pemerintah Iran ke pemeluk Syiah di Indonesia hanya berupa buku atau penyelenggaraan seminar. Menurut Kang Jalal, bantuan dana itu pun tak secara utuh. Hanya setengah dari biaya yang diperlukan. “Karena dana dari Iran kurang, IJABI pun sering nombok. Jadi kami kapok kerja sama dengan mereka lagi,” kata dia.
Bila dilihat dari segi ideologi, tak ada perbedaan antara Syiah di Indonesia dan Iran. Keduanya menganut agama Syiah Itsna Asyariyah atau Imamah. Yakni ajaran yang mengutamakan masalah kepemimpinan. “Ajaran itu tercantum dalam undang-undang Iran, dan kami juga Syiah Itsna Asyariyah,” ujar Kang Jalal.
(ABNS)
http://www.nugarislurus.com/2015/10/amien-rais-jika-tidak-mau-tahlilan-keluar-dari-muhammadiyah-dan-aisyiyah.html#axzz3qyCjFVMe
NUGarisLurus.Com – Tokoh dan mantan ketua umum
Muhammadiyah Bapak H. Amien Rais adalah salah satu sesepuh yang paling
berpengaruh dalam organisasi ini. Saat ini foto -foto pernyataannya soal
tahlilan tersebar di jejaring sosial.Menurutnya, Mereka yang tidak mau tahlilan keluar saja dari Muhammadiyah dan Aisyiyah. Tahlilan sendiri merupakan amalan baik yang selalu dipelihara oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Mantan Ketua Umum Muhammadiyah Bapak KH. Din Syamsudin juga beberapa kali terlihat mengikuti tahlilan.
Tahlilan menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah kebiasaan baik yang merupakan perkara furu’ atau cabang dalam agama. Seorang muslim tidak akan menuduh kafir muslim yang lain hanya karena melaksanakan ‘tahlilan’. Karena ini bukan perkara yang berhubungan dengan Ushuluddin.
Jika di zaman sekarang ini masih ada golongan yang mengkafirkan dan membid’ahkan kaum muslimin hanya karena tahlilan maka orang tersebut tidak paham mana furu’ cabang dalam agama dan mana ushul dalam agama. Dan sudah dapat dipastikan mereka yang mudah mengkafirkan perkara furu’ hanyalah golongan sekte khawarij. Na’uzdubillah.
Wallahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar