Keripik Pedas Untuk Para Pencari Kebenaran
Posted on September 28, 2015 by secondprince
https://secondprince.wordpress.com/2015/09/28/keripik-pedas-untuk-para-pencari-kebenaran/#more-4243
Keripik Pedas Untuk Para Pencari Kebenaran
.
.
Kita ini sebenarnya tahu kalau kita hidup
bersama-sama dalam dunia yang mengandung banyak perbedaan. Tetapi
menyedihkan masing-masing kita seolah-olah bersikap bahwa dunia ini
adalah miliknya. Perbedaan kita anggap seperti penyakit yang harus
diberantas dan tidak layak hidup bertengger [bahkan cuma nyangkut] dalam
dunia kita.
Saya tidak sedang bicara politik lho,
saya bicara soal keyakinan baik itu agama atau mazhab atau apapun lah
[sebenarnya bisa diperluas ke perkara apapun]. Saya juga tidak sedang
bicara tentang orang awam [saya sudah bosan menyindir mereka], sekarang
yang saya sindir adalah orang-orang yang mengaku sebagai pencari kebenaran.
.
.
.
Menggelikan kalau melihat orang yang ngakunya “pencari kebenaran”
tetapi berlagak seolah ia telah mendekap kebenaran dengan begitu nafsu
sampai kebenaran itu tidak bisa lepas dari pangkuannya. Sejak kapan
kebenaran itu cuma milik kita dan orang lain pasti tidak punya.
- Seorang pencari itu tidak anti dengan perbedaan, justru semakin banyak perbedaan maka ia semakin penasaran dalam pencariannya.
- Seorang pencari itu tidak anti kritik, justru semakin banyak kritik maka semakin bersemangat ia melangkah.
- Seorang pencari itu tidak pengecut, ia tidak perlu takut kalau ada yang menguliti keyakinannya.
- Seorang pencari itu selalu menjunjung tinggi kebenaran bukan kebenaran harus diperturutkan dengan keinginan dan keyakinannya.
Entah mengapa saya sering mendengar kabar
di luar sana, banyak orang mengaku pencari kebenaran tetapi bersikap
tidak mau dikritik, tidak mau berdiskusi karena takut dikuliti
keyakinannya, dan suka marah kalau keyakinannya diserang. Please bro,
jangan membuat malu nama “Pencari Kebenaran”. Pencari kebenaran itu berbeda dengan Pembela kebenaran
[itu mah satria baja hitam]. Orang yang tujuannya mencari maka
seyogianya menerima semua masukan untuk dipilah-pilah mana yang benar
dan mana yang tidak. Orang yang tujuannya mencari seharusnya
berterimakasih [bukan marah-marah] jika ditunjukkan lubang-lubang dalam
keyakinannya.
Nah kalau Pembela kebenaran itu wajar
suka marah atau sedikit-sedikit tersinggung ketika dikritik
keyakinannya. Ia akan membela kebenaran [baca : apa yang ia anggap
benar] sekuat tenaga dengan cara apapun sampai titik darah penghabisan.
Mana ada dalam pikirannya sedikit saja kalau apa yang ia yakini bisa
keliru. Tidak ada itu, haram bagi mereka merasa ada yang bisa salah dalam keyakinannya. Ya bagus kalau keyakinannya itu memang sudah benar tetapi kalau hakikatnya ternyata keyakinannya itu keliru
maka orang ini tidak lain telah diperbudak oleh kekeliruannya. Mau jadi
seperti ini?. Saya pribadi tidak akan mau diperbudak seperti ini
apalagi perbudakan yang dibungkus dengan baju “membela kebenaran”.
Lebih baik saya berkali-kali salah atau menyalahkan apa yang sebelumnya saya anggap benar [kalau memang terbukti salah] dibandingkan saya harus menanggung resiko membela mati-matian sesuatu yang hakikatnya salah.
Jadi “Pencari Kebenaran” itu bukan sekedar label, bukan gelar
membanggakan, bukan atribut spesial. Itu adalah manhaj orang-orang yang
senantiasa menggunakan Akal-nya. Orang-orang yang mendengarkan berbagai
hujjah dan mengambil yang paling baik diantaranya.
Tidak masalah apapun mazhab anda. Silakan yakini apa yang menurut anda benar tetapi ingatlah jauh lebih penting anda belajar “bagaimana mencapai kebenaran” dibandingkan anda bersusah-susah [mati-matian] membela “apa yang anda anggap benar”.
Bukan berarti para pencari kebenaran tidak akan membela kebenaran,
bukan jangan salah paham tetapi mereka tidak membela dalam perbudakan.
Mereka melakukan pembelaan karena cinta kepada kebenaran. Mereka tidak
takut membela kebenaran jika kebenaran itu ada pada orang yang mereka
benci. Mereka tidak takut menyalahkan apa yang sebelumnya mereka anggap
benar jika ternyata sudah terbukti salah.
.
.
Maka dari itu wahai para pencari
kebenaran sebelum anda mempelajari mazhab ini mazhab itu, sebelum anda
menyibukkan mencari mazhab yang benar tolong sibukkan diri anda dengan
mempelajari “bagaimana mencapai kebenaran”. Cuma dua hal yang anda
perlukan “Logika yang benar” dan “Informasi yang benar”
Masalahnya sering saya lihat, mereka yang mengaku “pencari kebenaran” itu seolah sudah paham kedua hal tersebut padahal hakikatnya cuma berasa-rasa paham.
- Berapa banyak dari mereka yang mempelajari ilmu tentang Berpikir yang benar?.
- Berapa banyak dari mereka yang mempelajari ilmu tentang Berpikir yang salah?.
- Berapa banyak dari mereka yang belajar ilmu Logika?.
- Berapa banyak dari mereka yang belajar ilmu Epistemologi?.
- Berapa banyak dari mereka yang bisa membedakan informasi yang benar [valid] dan informasi yang salah?
- Berapa banyak dari mereka yang memahami begitu banyaknya informasi yang tidak punya nilai hujjah [karena tidak bisa dipastikan benar salahnya]?.
Dan jauh lebih penting berapa banyak dari
mereka yang sudah belajar itu memang betul-betul menerapkannya?.
Percuma sudah belajar tetapi tidak pernah dipraktekkan. Bagaimana
mempraktekkannya?. Cara sederhana dan murah yaitu “Diskusi”.
Diskusi,
ya bahasa kerennya Metode Dialektis. Dalam pencarian kebenaran metode
ini termasuk metode yang paling kuno. Sudah ada sejak zaman Mbah
Socrates dan Mbah Plato, terus membudaya sampai ke zaman ini. Diskusi
itu bukan ajang pamer kebolehan, bukan ajang pamer ilmu, bukan ajang
pamer kepintaran.
- Diskusi itu untuk mendapatkan kebenaran yang terkadang tersembunyi saat kita belajar sendiri.
- Diskusi dapat menunjukkan kepada kita kelemahan atau lubang yang tidak bisa kita lihat sendiri.
- Diskusi dapat menunjukkan kepada kita warna-warna lain selain hitam putih.
- Diskusi dapat menunjukkan kepada kita hal-hal yang kurang dan hal-hal yang harus kita cari.
- Diskusi dapat menunjukkan kepada kita hal-hal penting yang awalnya kita anggap tidak penting
- Diskusi dapat membantu kita menemukan kegunaan dari hal-hal yang awalnya kita anggap tidak berguna.
Para “pencari kebenaran” yang gemar
berdiskusi dan dengan baik menjalaninya [banyak juga yang cuma asal
diskusi], mereka akan mendapatkan kebenaran yang berlipat-lipat
dibandingkan “pencari kebenaran” yang hanya gemar membaca buku [kitab].
Dalam diskusi itu sejatinya tidak ada
menang dan kalah. Yang ada adalah siapa yang mendapat banyak perolehan,
sedikit perolehan atau malah tidak ada perolehan. Ketika mendiskusikan
keyakinan, kita boleh saja gagal mempertahankan keyakinan kita dan tidak
perlu marah-marah, rugi sekali. Renungkan perolehan apa yang kita
dapatkan, apa yang membuat kita gagal mempertahankan keyakinan kita?.
- Kita mendapati kelemahan argumen dan cara berpikir kita maka bagaimana mengatasinya. Ya perbaiki cara berpikirnya.
- Kita kekurangan informasi dalam mempertahankan keyakinan kita maka bagaimana mendapatkan informasi tersebut. Ya perbanyak baca buku dan kitab untuk mencarinya.
- Kita melihat dan memikirkan berulang-ulang bahwa kelemahan argumen kita tidak bisa diperbaiki dan informasi yang selama ini kita andalkan keliru, maka bukankah sudah saatnya memutuskan bahwa kita harus meninggalkan keyakinan tersebut dan beralih mencari mana yang benar.
Gunanya diskusi adalah Memberikan jalan
apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Jadi hal ini bukan soal
semata-mata membela keyakinan tetapi menguji dan menguatkan keyakinan
kita. Apakah kita memiliki logika yang mantap dan apakah informasi yang
selama ini kita andalkan sudah benar [valid]?. Diskusi akan menunjukkan
kemiskinan logika dan kemiskinan informasi yang kita miliki. Sayangnya
kebanyakan orang selesai diskusi [mana sambil marah-marah lagi] terus
ditinggal tidur dan lupakan, “kali ini saya kalah besok bakal menang”. Mana ada gunanya diskusi seperti itu.
.
.
.
Kemiskinan “logika yang mantap” dan kemiskinan “informasi yang benar [valid]” tidak jarang diiringi dengan kekayaaan “emosi yang berlebihan”.
Akibatnya sering kita lihat dalam diskusi orang yang suka marah-marah
menghina ini itu ketika dikuliti argumennya. Ini kebiasaan buruk yang
harus diubah. Tidak ada gunanya marah-marah, ngambek,
emosian, lompat-lompat koprol dan sebagainya. Hal itu tidak akan membuat
keyakinan anda benar. Justru hal itu akan menjadi penghalang bagi anda
untuk melihat secara objektif. Mengapa banyak orang emosi gara-gara ada Cewek cantik salah mengartikan Tut wuri handayani?.
Lha kok ketawa, serius saya masih bisa objektif melihat kalau sekedar
salah itu mudah sekali dikoreksi tetapi watak orang-orang yang suka
mencaci dan menghina itu tidak mudah diperbaiki. Uuups kok ngelantur,
balik lagi. Intinya orang yang berdiskusi dengan baik akan mendapatkan
bonus “emosinya jadi terkontrol dan terlatih”.
Orang yang asal-asalan diskusi bisa
diajarkan cara berdiskusi dengan baik. Orang yang diskusi pakai emosian
bisa dilatih untuk mengontrol emosinya. Nah yang paling susah itu
menghadapi orang yang takut berdiskusi. Ya tidak bisa diapa-apain,
diajak diskusi saja tidak bisa. Mengapa kita harus takut berdiskusi?.
Biasanya bisikan-bisikan kegelapan bermain dengan hebatnya.
- Jangan diskusi dengannya nanti kamu bakal terkena syubhat.
- Jangan diskusi dengannya nanti kamu bakal tersesat.
- Jangan diskusi dengannya karena dia itu orang sesat.
- Jangan diskusi dengannya karena kamu belum mampu.
- Jangan diskusi dengannya nanti hasilnya cuma marah-marah, emosian dan memutuskan tali silaturahmi.
Biasanya orang yang hatinya dipenuhi dengan bisikan-bisikan seperti ini adalah mereka yang tidak sadar hidup dalam “perbudakan”. Kami berlindung kepada Allah SWT dari bisikan-bisikan kegelapan.
Tetapi ada juga sebagian kecil Orang yang takut atau tidak suka diskusi
adalah manusia langka yang sudah bertahun-tahun di jalan yang lurus
mengasingkan diri dari perkara duniawi dan fokus pada kehidupan setelah
mati. Orang-orang ini takut menyisihkan waktunya untuk berdiskusi yang
dapat memancing keributan lawan diskusinya. Daripada bikin orang emosi
lebih baik beribadah dan hidup tenang. Ya kalau ini kan kualitas
orangnya memang lain jadi no komenlah.
Akhir kata, jadilah “orang yang memaklumi”.
Harap maklum kalau anda melihat masih banyak saudara, teman atau
kenalan yang sok sok “pencari kebenaran” tetapi bergaya “pembela
kebenaran”. Harap maklum kalau anda melihat masih banyak saudara, teman
atau kenalan yang suka emosian kalau diskusi soal keyakinan. Harap
maklum kalau anda melihat diri anda ternyata tidak jauh berbeda dengan
mereka. Dan yang paling penting, Harap maklum kalau anda melihat saya
ini cuma banyak bicara. Mari lupakan apa yang saya bicarakan dan lebih
baik kita “tidur panjang”. Salam Damai
.
Note : Gambar diambil dari Mbah Google
dan tidak ada hubungannya sama isi tulisan. Btw jangan salah sambung ya,
saya bukan fans JKT 48
Adakah Ayat Al Qur’an Tentang Nikah Mut’ah?
Posted on Maret 12, 2011 by secondprince
https://secondprince.wordpress.com/2011/03/12/adakah-ayat-al-qur%E2%80%99an-tentang-nikah-mut%E2%80%99ah/
Adakah Ayat Al Qur’an Tentang Nikah Mut’ah?
Syiah menyatakan kalau nikah mut’ah
dihalalkan dan terdapat ayat Al Qur’an yang menyebutkannya yaitu An
Nisaa’ ayat 24. Salafy yang suka sekali mengatakan nikah mut’ah sebagai
zina berusaha menolak klaim Syiah. Mereka mengatakan ayat tersebut bukan
tentang nikah mut’ah.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan [diharamkan juga kamu mengawini]
wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah
menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari istri-istri dengan
hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka wanita [istri] yang telah kamu nikmati [istamta’tum] di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,
sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana [An Nisaa’ ayat 24]
Telah diriwayatkan dengan sanad yang
shahih bahwa “penggalan” An Nisaa’ ayat 24 ini berbicara tentang nikah
mut’ah. Hal ini telah diriwayatkan dari sahabat dan tabiin yang dikenal
sebagai salafus salih [menurut salafy sendiri]. Alangkah lucunya kalau
sekarang salafy membuang jauh-jauh versi salafus salih hanya karena
bertentangan dengan keyakinan mereka [kalau nikah mut’ah adalah zina].
.
.
Riwayat Para Shahabat Nabi
حدثنا ابن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن أبي مسلمة عن أبي نضرة قال قرأت هذه الآية على ابن عباس “ فما استمتعتم به منهن ” قال ابن عباس “ إلى أجل مسمى ” قال قلت ما أقرؤها كذلك! قال والله لأنزلها الله كذلك! ثلاث مرات
Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far
yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Maslamah
dari Abi Nadhrah yang berkata : aku membacakan ayat ini kepada Ibnu
Abbas “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum]”, Ibnu Abbas berkata “sampai batas waktu tertentu”. Aku berkata “aku tidak membacanya seperti itu”. Ibnu Abbas berkata “demi Allah, Allah telah mewahyukannya seperti itu” [ia mengulangnya tiga kali] [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]
Riwayat ini sanadnya shahih.
Para perawinya tsiqat atau terpercaya. Riwayat ini juga disebutkan Al
Hakim dalam Al Mustadrak juz 2 no 3192 dan Ibnu Abi Dawud dalam Al
Masahif no 185 semuanya dengan jalan dari Syu’bah dari Abu Maslamah dari Abu Nadhrah dari Ibnu Abbas.
- Muhammad bin Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Adz Dzahiliy berkata “hujjah”. Abu Hatim berkata shalih al hadits shaduq”. Abu Arubah berkata “aku belum pernah melihat di Bashrah orang yang lebih tsabit dari Abu Musa [Ibnu Mutsanna] dan Yahya bin Hakim”. An Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Khirasy berkata “Muhammad bin Mutsanna termasuk orang yang tsabit”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Khatib berkata “tsiqat tsabit”. Daruquthni berkata “termasuk orang yang tsiqat”. Amru bin ‘Ali menyatakan tsiqat. Maslamah berkata “tsiqat masyhur termasuk hafizh” [At Tahdzib juz 9 no 698]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit” [At Taqrib 2/129]. Adz Dzahabi berkata tsiqat wara’ [Al Kasyf no 5134]
- Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129]
- Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]
- Abu Maslamah adalah Sa’id bin Yazid bin Maslamah Al Azdi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Al Ijli, Al Bazzar menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 168]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/367]
- Abu Nadhrah adalah Mundzir bin Malik perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Ahmad bin Hanbal menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 528]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/213]
حدثنا حميد بن مسعدة قال حدثنا بشر بن المفضل قال حدثنا داود عن أبي نضرة قال سألت ابن عباس عن متعة النساء قال أما تقرأ ” سورة النساء ” ؟ قال قلت بلى! قال فما تقرأ فيها ( فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ) ؟ قلت لا! لو قرأتُها هكذا ما سألتك! قال : فإنها كذا
Telah menceritakan kepada kami Humaid
bin Mas’adah yang berkata telah menceritakan kepada kami Bisyr bin
Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud dari Abi
Nadhrah yang berkata : aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang nikah
mut’ah. Ibnu Abbas berkata : tidakkah engkau membaca surah An Nisaa’?.
Aku berkata “tentu”. Tidakkah kamu membaca “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum] sampai batas waktu tertentu”?. Aku berkata “tidak, kalau aku membacanya seperti itu maka aku tidak akan bertanya kepadamu!. Ibnu Abbas berkata “sesungguhnya seperti itulah” [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini juga shahih sanadnya. Humaid bin Mas’adah
termasuk perawi Ashabus Sunan dan Muslim. Abu Hatim berkata “shaduq”.
Ibnu Hibban memasukkanya dalam Ats Tsiqat. Nasa’i menyatakan tsiqat [At
Tahdzib juz 3 no 83]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/246]. Adz
Dzahabi berkata “shaduq” [Al Kasyf no 1257]. Bisyr bin Mufadhdhal adalah
perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Abu Hatim, Abu Zur’ah,
Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli, Ibnu Sa’ad dan Al Bazzar menyatakan ia
tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 844]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit ahli
ibadah” [At Taqrib 1/130]. Dawud bin Abi Hind adalah
perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad bin
Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibnu Khirasy, Ibnu
Sa’ad, Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 3 no
388]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat mutqin [At Taqrib 1/283].
حدثنا عبد الله حدثنا نصر بن علي قال أخبرني أبو أحمد عن عيسى بن عمر عن عمرو بن مرة عن سعيد بن جبير ” فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ” وقال هذه قراءة أبي بن كعب
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Ali
yang berkata telah mengabarkan kepadaku Abu Ahmad dari Isa bin ‘Umar
dari ‘Amru bin Murrah dari Sa’id bin Jubair “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum] sampai batas waktu tertentu” ia berkata “ini adalah bacaan Ubay bin Ka’ab” [Al Masahif Ibnu Abi Dawud no 130]
Riwayat ini shahih para perawinya tsiqat. Abdullah adalah Abdullah bin Sulaiman bin Al Asy’at As Sijistani atau yang dikenal dengan Abu Bakar bin Abi Dawud, ia adalah seorang hafizh yang tsiqat dan mutqin [Irsyad Al Qadhi no 576]. Nashr bin Ali Al Jahdhamiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/243]. Abu Ahmad Az Zubairi
adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair perawi kutubus sittah yang
tsiqat tsabit hanya saja sering salah dalam hadis dari Ats Tsawriy [At
Taqrib 2/95]. Isa bin Umar Al Asdiy adalah perawi Tirmidzi dan Nasa’i yang tsiqat [At Taqrib 1/773]. ‘Amru bin Murrah Abu Abdullah Al Kufiy perawi kutubus sittah yang tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/745]. Sa’id bin Jubair Al Asdiy adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih [At Taqrib 1/349]
Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Ka’ab ini dengan jalan sanad dari Abu Kuraib dari Yahya bin Isa dari Nushair bin Abi Al Asy’at dari Ibnu Habib bin Abi Tsabit dari ayahnya dari Ibnu Abbas. [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Para perawinya tsiqat kecuali Yahya bin Isa Ar Ramliy
Yahya bin Isa Ar Ramliy
adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi
dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal telah menta’dilnya. Al Ijli menyatakan
ia tsiqat tasyayyu’. Abu Muawiyah telah menulis darinya. Nasa’i berkata
“tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata dhaif atau tidak ada apa-apanya atau
tidak ditulis hadisnya. Maslamah berkata “tidak ada masalah padanya
tetapi di dalamnya ada kelemahan”. Ibnu Ady berkata “kebanyakan
riwayatnya tidak memiliki mutaba’ah” [At Tahdzib juz 11 no 428]. Ibnu
Hajar berkata “jujur sering salah dan tasyayyu’” [At Taqrib 2/311-312].
Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Man Tukullima Fihi Wa Huwa Muwatstsaq
no 376]. Ibnu Hibban menyatakan kalau ia jelek hafalannya banyak salah
sehingga meriwayatkan dari para perawi tsiqat riwayat bathil tidak
berhujjah dengannya [Al Majruhin no 1221]. Kesimpulannya Yahya bin Isa
Ar Ramliy adalah perawi yang hadisnya bisa dijadikan syawahid dan
mutaba’ah.
Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Ka’ab ini dengan jalan sanad dari Ibnu Basyaar dari Abdul A’la dari Sa’id dari Qatadah [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Ibnu Basyaar adalah Muhammad bin Basyaar seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 2/58]. Abdul A’la bin Abdul A’la adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/551]. Sa’id bin Abi Arubah adalah
perawi kutubus sittah seorang hafizh yang tsiqat mengalami ikhtilat dan
orang yang paling tsabit riwayatnya dari Qatadah [At Taqrib 1/360]. Qatadah As Sadusiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/26].
Secara keseluruhan riwayat-riwayat ini
saling menguatkan dan menunjukkan kalau bacaan tersebut shahih dari Ubay
bin Ka’ab. Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas membaca bacaan tersebut dengan
“Famastamta’tum bihi minhunna ila ajali musamma”. Adapun perkataan Ibnu Jarir yang menafikan bacaan kedua sahabat ini merupakan kecerobohan yang nyata
وأما ما روي عن أبيّ بن كعب وابن عباس من قراءتهما ( فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ) ، فقراءة بخلاف ما جاءت به مصاحف المسلمين وغير جائز لأحد أن يلحق في كتاب الله تعالى شيئًا لم يأت به الخبرُ القاطعُ العذرَ عمن لا يجوز خلافه
Adapun apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas dari bacaan mereka berdua [Famastamta’ tum bihi min hunna ila ajalin musamma],
bacaan ini menyelisihi mushhaf kaum muslimin. Tidak diperbolehkan bagi
siapapun untuk menambahkan dalam kitab Allah sesuatu yg tidak datang
dari khabar yang qath’i dan tidak diperbolehkan menyelisihinya [Tafsir Ath Thabari 6/589 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]
Komentar Ibnu Jarir ini jika diperhatikan dengan baik jelas mengandung keanehan. Beliau mengesankan kalau Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab memiliki bacaan Al Qur’an yang menyelisihi bacaan kaum muslimin dan mengesankan kalau mereka berdua menambahkan sesuatu dalam Kitab Allah.
Jika telah shahih dari Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab soal bacaan itu
maka tidak ada gunanya menafikan tanpa dalil. Yang harus dilakukan
bukannya menolak riwayat tersebut tetapi bagaimana menafsirkannya agar
tidak berkesan “menambahkan sesuatu dalam kitab Allah” atau mengesankan “terjadinya tahrif Al Qur’an” versi Ibnu Abbas dan Ubay.
Masalah seperti ini bukan barang baru bagi para ulama, bacaan tentang nikah mut’ah ini bukan satu-satunya bacaan yang diriwayatkan secara shahih oleh sahabat tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin. Sebut saja yang paling populer adalah ayat rajam.
Telah diriwayatkan oleh sahabat mengenai ayat rajam atau bacaan yang
mengandung hukum rajam tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin.
Apakah ada ulama yang mengatakan bahwa bacaan itu menyelisihi mushaf
kaum muslimin dan mesti ditolak?. Tidak, para ulama menafsirkan kalau
bacaan tersebut sudah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak.
Lantas apa susahnya mengatakan hal yang
sama untuk bacaan Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab di atas. Kita dapat
mengatakan kalau bacaan “ila ajalin musamma”
telah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak. Buktinya Ibnu
Abbas mengakui bahwa ayat ini memang diturunkan oleh Allah SWT dan ia
berdalil dengannya ketika ada yang bertanya tentang “nikah mut’ah”.
.
.
Syubhat Para Pengingkar
Kemudian ada yang berusaha mementahkan
ayat nikah mut’ah ini dengan berbagai hadis yang katanya “mutawatir”
tentang haramnya mut’ah. Usaha ini pun termasuk sesuatu yang aneh.
Karena pada akhirnya apa yang mereka maksud mutawatir itu saling
kontradiktif satu sama lain. Mereka sendiri dengan usaha yang “melelahkan”
akhirnya menggeser satu demi satu hadis-hadis tersebut hingga tersisa
satu hadis pengharaman mut’ah pada saat Fathul Makkah yang hanya
diriwayatkan oleh satu orang sahabat. Jadi apanya yang mutawatir? Dan
mereka menutup mata dengan berbagai hadis yang diriwayatkan sahabat
dimana mereka membolehkan nikah mut’ah.
Syubhat yang paling lucu adalah pernyataan bahwa An Nisaa’ ayat 24 di atas menggunakan kata istimtaa’ bukannya kata mut’ah dan istimtaa’ menurutnya bukan diartikan mut’ah.
Sungguh orang seperti ini patut dikasihani, seharusnya ia membuka dulu
berbagai riwayat atau hadis untuk melihat bagaimana Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] dan para sahabat telah menggunakan kata
istimtaa’ untuk menyebutkan nikah mut’ah. Berikut diantaranya
حدثنا عمرو بن علي قال نا يحيى بن سعيد عن إسماعيل عن قيس عن عبد الله قال كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء فاستأذنه بعضنا أن يستخصي أو قال لو أذنت لنا لاختصينا فلم يرخص لنا ورخص لنا في الاستمتاع بالثوب
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru
bin ‘Ali yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id
dari Ismail dari Qais dari ‘Abdullah yang berkata “kami berperang
bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami tidak membawa
wanita maka sebagian kami meminta zini untuk mengebiri atau berkata
sekiranya diizinkan kepada kami untuk mengebiri maka Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengizinkan kami dan Beliau
[shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan kami untuk Istimtaa’ dengan pakaian [Musnad Al Bazzar 5/294 no 1671 dengan sanad yang shahih]
Apakah maksud dari kata Istimtaa’ dengan
pakaian di atas. Apakah maksudnya menikahi wanita secara permanen? Atau
maksudnya menikahi wanita secara mut’ah?. Penjelasannya ada dalam hadis
berikut.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن بن أبي خالد عن قيس عن عبد الله قال كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ونحن شباب فقلنا يا رسول الله ألا نستخصي فنهانا ثم رخص لنا في ان ننكح المرأة بالثوب إلى الأجل ثم قرأ عبد الله { لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم }
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Ibnu Abi Khalid dari Qais dari
Abdullah yang berkata “kami bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
dan kami masih muda, kami berkata “wahai Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] tidakkah kami dikebiri?. Beliau [shallallahu ‘alaihi
wasallam] melarang kami melakukannya kemudian Beliau [shallallahu
‘alaihi wasallam] memberi keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan pakaian sampai waktu yang ditentukan.
Kemudian ‘Abdullah membaca [Al Maidah ayat 87] “janganlah kalian
mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian” [Musnad Ahmad 1/432 no 4113, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim]
Maka arti kata Istimtaa’ yang digunakan oleh para sahabat adalah “menikahi seorang wanita sampai batas waktu yang ditentukan”.
Tidak hanya di hadis ini, bahkan di hadis-hadis yang dijadikan hujjah
pengharaman mut’ah, kata yang digunakan untuk menyebutkan “nikah mut’ah” juga dengan lafal istimtaa’.
.
.
Riwayat Para Tabi’in
Tafsir An Nisaa’ ayat 24 sebagai dalil
bagi nikah mut’ah bukanlah mutlak milik syi’ah tetapi termasuk pemahaman
sahabat [Ibnu ‘Abbas dan Ubay] dan tabiin seperti halnya Mujahid
[seorang imam dalam tafsir], As Suddiy dan Al Hakam bin Utaibah.
حدثني محمد بن عمرو قال حدثنا أبو عاصم عن عيسى عن ابن أبي نجيح عن مجاهد فما استمتعتم به منهن قال : يعني نكاح المتعة
Telah menceritakan kepadaku Muhammad
bin ‘Amru yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim dari
‘Isa dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid “maka wanita [istri] yang kamu nikmati [istimta’] diantara mereka”, ia berkata yaitu Nikah Mut’ah [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini sanadnya shahih sampai Mujahid. Muhammad bin ‘Amru bin ‘Abbas Al Bahiliy adalah syaikh [guru] Ibnu Jarir Ath Thabari, dan dia seorang yang tsiqat [Tarikh Baghdad 4/213 no 1411]. Abu ‘Aashim adalah Dhahhak bin Makhlad Asy Syaibani seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/444]. Isa bin Maimun Al Jurasiy Abu Musa adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/776]. Abdullah bin Abi Najih Yasaar Al Makkiy
adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat dan dikakatan melakukan tadlis
[At Taqrib 1/541] tetapi periwayatannya dari Mujahid juga diriwayatkan
oleh Bukhari Muslim. Mujahid bin Jabr Al Makkiy adalah perawi kutubus sittah seorang yang tsiqat dan Imam dalam tafsir dan ilmu [At Taqrib 2/159]
حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن الحكم قال سألته عن هذه الآية والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم إلى هذا الموضع فما استمتعتم به منهن أمنسوخة هي ؟ قال لا قال الحكم وقال علي رضي الله عنه لولا أن عمر رضي الله عنه نهى عن المتعة ما زنى إلا شقي
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah
dari Al Hakam [Syu’bah] berkata aku bertanya kepadanya tentang ayat “dan
[diharamakan juga menikahi] wanita yang bersuami kecuali budak-budak
yang kamu miliki” sampai pada ayat “maka wanita [sitri] yang telah kamu nikmati [istimta’] diantara mereka”
apakah telah dihapus [mansukh]?. [Al Hakam] berkata “tidak” kemudian Al
Hakam berkata dan Ali radiallahu ‘anhu telah berkata seandainya Umar
radiallahu ‘anhu tidak melarang mut’ah maka tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini sanadnya shahih sampai Al Hakam. Muhammad bin Al Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/129]. Muhammad bin Ja’far Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat shahih kitabnya kecuali pernah keliru [At Taqrib 2/63]. Syu’bah bin Hajjaj adalah
perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang
yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin
dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Al Hakam bin Utaibah
seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih dikatakan
melakukan tadlis [At Taqrib 1/232]. Riwayat Al Hakam menunjukkan kalau
ia sendiri menafsirkan bahwa An Nisaa’ ayat 24 itu berkaitan dengan
nikah mut’ah sehingga ketika ditanya apakah ayat tersebut telah dihapus
ia menjawab “tidak” dan mengutip perkataan Imam Ali tentang mut’ah.
.
.
Kesimpulan
Yang dapat disimpulkan pada pembahasan
kali ini adalah memang terdapat ayat Al Qur’an yang menghalalkan nikah
mut’ah yaitu An Nisaa’ ayat 24 dan telah diriwayatkan dari sahabat dan
tabiin [sebagai salafus salih] bahwa ayat tersebut memang berkenaan
dengan nikah mut’ah. Kalau begitu bagaimana dengan hadis-hadis
pengharaman mut’ah? Ada yang mengatakan kalau hadis-hadis ini telah
menasakh ayat tentang nikah mut’ah tetapi tentu pernyataan ini masih
perlu diteliti kembali, insya Allah akan dibahas hadis-hadis tersebut
didalam thread khusus. Kami ingatkan kepada pembaca jika ada yang
menganggap penulis menghalalkan nikah mut’ah berdasarkan postingan ini
maka orang tersebut jelas terburu-buru. Pembahasan tentang dalil nikah
mut’ah ini masih akan berlanjut dan sampai saat itu selesai kami harap
jangan ada yang mengatasnamakan penulis soal hukum nikah mut’ah.
Catatan : Terkait dengan musibah yang
menimpa saudara kita di Jepang mari kita sama-sama berdoa agar mereka
diberikan kesabaran dan bisa melewati masa sulit ini dengan baik.
Kedustaan Muhammad Abdurrahman Al Amiry Terhadap Syi’ah Dalam Dialog Dengan Emilia Renita
Posted on November 29, 2014 by secondprince
https://secondprince.wordpress.com/2014/11/29/kedustaan-muhammad-abdurrahman-al-amiriy-terhadap-syiah-dalam-dialog-dengan-emilia-renita/
Kedustaan Muhammad Abdurrahman Al Amiry Terhadap Syi’ah Dalam Dialog Dengan Emilia Renita
Sungguh menggelikan ketika seseorang
menuduh suatu mazhab sebagai ajaran yang penuh kedustaan dan kedunguan
ternyata terbukti dirinyalah yang sebenarnya dusta dan dungu. Mungkin
saja sebelumnya ia tidak berniat menjadi dusta dan dungu hanya saja
kebenciannya terhadap mazhab tersebut telah membutakan akal dan hatinya
sehingga dirinya tampak sebagai pendusta
Inilah yang terjadi pada Muhammad
Abdurrahman Al Amiry dalam tulisannya yang memuat dialog dirinya dengan
pengikut Syi’ah yaitu Emilia Renita. Dialog tersebut membicarakan
tentang nikah mut’ah, dimana para pembaca dapat melihatnya disini http://www.alamiry.net/2014/03/dialog-tuntas-bersama-emila-renita-az.html
.
.
.
Kedustaan Pertama
Al Amiry menanyakan kepada Emilia
pernahkah ia melakukan mut’ah atau sudah berapa kali ia melakukan
mut’ah. Pertanyaan ini dijawab oleh Emilia bahwa dalam mazhab Syi’ah
hukum nikah mut’ah itu halal tetapi tidak semua yang halal itu wajib
atau harus dilakukan.
Kemudian Al Amiry menjawab bahwa dalam
Syi’ah nikah mut’ah itu bukan sekedar halal tetapi wajib karena ada
riwayat Syi’ah yang mengancam orang yang tidak melakukan nikah mut’ah.
Berikut riwayat yang dimaksud sebagaimana dikutip oleh Al Amiry
مَنْ خَرَجَ مِنَ الدُّنْيَا وَلَمْ يَتَمَتَّعْ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهُوَ أَجْدَعُ
Barang siapa yang keluar dari dunia (wafat) dan dia tidak nikah mut’ah maka dia datang pada hari kiamat sedangkan kemaluannya terpotong” Tafsir manhaj ash shadiqin 2/489
Kami tidak memiliki kitab Tafsir Manhaj
Ash Shadiqiin Al Kasyaaniy [dan kami ragu kalau si Amiry memiliki kitab
tersebut] tetapi riwayat di atas dapat dilihat dari scan kitab tersebut
yang dinukil oleh salah satu situs pembenci Syi’ah disini http://jaser-leonheart.blogspot.com/2012/05/sekilas-tentang-keutamaan-kawin-kontrak.html
Nampak bahwa riwayat tersebut dinukil
oleh Al Kasyaaniy dalam kitabnya tanpa menyebutkan sanad. Artinya
riwayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah sampai ditemukan sanad
lengkapnya dan dibuktikan dengan kaidah ilmu mazhab Syi’ah bahwa sanad
tersebut shahih.
Salah seorang ulama Syi’ah yaitu Syaikh
Aliy Alu Muhsin dalam kitabnya Lillah Wa Lil Haqiiqah 1/193 pernah
berkomentar mengenai salah satu riwayat lain dalam kitab Tafsir Manhaj
Ash Shadiqqin
Nukilan di atas menyebutkan bahwa hadis
yang disebutkan Al Kasyaaniy tidak disebutkan dalam kitab hadis Syi’ah
yang ma’ruf [dikenal] dan Al Kasyaniy menukilnya tanpa menyebutkan
sanadnya dari Risalah tentang Mut’ah oleh Syaikh Aliy Al Karkiy.
Jika situasinya dibalik misalkan Emilia
berhujjah dengan riwayat tanpa sanad dalam salah satu kitab tafsir ahlus
sunnah maka saya yakin Al Amiry akan membantah dengan sok bahwa riwayat
tersebut tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak ada sanadnya. Maka
tidak diragukan bahwa pernyataan Al Amiry kalau Syi’ah mewajibkan
penganutnya melakukan mut’ah dan mengancam yang tidak melakukannya
adalah kedustaan atas nama Syi’ah.
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن علي بن يقطين قال: سألت أبا الحسن موسى (عليه السلام) عن المتعة فقال: وما أنت وذاك فقد أغناك الله عنها، قلت: إنما أردت أن أعلمها، فقال: هي في كتاب علي (عليه السلام)، فقلت: نزيدها وتزداد؟ فقال: وهل يطيبه إلا ذاك
‘Aliy bin Ibrahim dari Ayah-nya dari
Ibnu Abi ‘Umair dari ‘Aliy bin Yaqthiin yang berkata aku bertanya kepada
Abul Hasan Muusa [‘alaihis salaam] tentang mut’ah. Maka Beliau berkata “ada apa kamu terhadapnya [mut’ah], sungguh Allah telah mencukupkanmu darinya [hingga tidak memerlukannya]”.
Aku berkata “sesungguhnya aku hanya ingin mengetahui tentangnya”.
Beliau berkata “itu [mut’ah] ada dalam kitab Aliy [‘alaihis salaam].
Maka aku berkata “apakah kami dapat menambahnya [mahar] dan wanita dapat
menambah [waktunya]”. Beliau berkata “bukankah ditetapkannya [aqad
mut’ah] kecuali dengan hal-hal tersebut” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/452]
Riwayat di atas dapat para pembaca lihat di link berikut. Riwayat tersebut sanadnya shahih di sisi mazhab Syi’ah, para perawinya tsiqat sebagaimana berikut
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
- Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
- ‘Aliy bin Yaqthiin seorang yang tsiqat jalil memiliki kedudukan yang agung di sisi Abu Hasan Muusa [‘alaihis salaam] [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 154 no 388]
Matan riwayat justru mengsiyaratkan tidak
ada kewajiban dalam melakukan mut’ah dan tidak ada ancaman bagi yang
tidak melakukannya. Hujjahnya terletak pada lafaz “ada apa kamu terhadapnya [mut’ah], sungguh Allah telah mencukupkanmu darinya”
artinya si penanya tidak perlu melakukannya karena Allah telah
mencukupkan dirinya [sehingga ia tidak memerlukan mut’ah]. Maksud
mencukupkannya disini adalah telah memiliki istri. Kalau memang mut’ah
itu wajib bagi setiap penganut Syi’ah dan mendapat ancaman bagi yang
tidak melakukannya maka bagaimana mungkin Imam Syi’ah tersebut
mengatakan lafaz yang demikian.
Berdasarkan riwayat di atas maka dalam
mazhab Syi’ah hukum nikah mut’ah itu halal atau mubah dan tidak ada
masalah bagi mereka yang tidak melakukannya karena memang tidak
memerlukannya. Tidak ada dalil shahih di sisi Syi’ah mengenai kewajiban
mut’ah dan ancaman bagi yang tidak melakukannya.
Memang Al Amiry bukan orang pertama yang
berdusta atas nama Syi’ah dengan riwayat Al Kasyaniy dalam Tafsir Manhaj
Ash Shaadiqin tersebut, sebelumnya sudah ada ustad salafiy [yang sudah
cukup dikenal] yang melakukannya yaitu Firanda Andirja dalam salah satu tulisannya disini.
Mungkin dengan melihat link tersebut, Al Amiriy akan merasa terhibur
bahwa orang yang lebih baik darinya ternyata melakukan kedustaan yang
sama.
Orang boleh saja bertitel ustad, alim
ulama, berpendidikan S3 dalam ilmu agama tetapi yang namanya hawa nafsu
dapat menutupi akal pikiran sehingga melahirkan kedunguan dan kedustaan.
Biasanya orang-orang model begini sering dibutakan oleh bisikan syubhat
bahwa mereka adalah pembela sunnah penghancur bid’ah jadi tidak perlu
bersusah payah kalau ingin membantah Syi’ah, Syi’ah sudah pasti sesat
maka tidak perlu tulisan ilmiah dan objektif untuk membantah kelompok
sesat. Jadi jangan heran kalau para pembaca melihat dalam tulisannya
yang membahas hadis mazhabnya akan nampak begitu ilmiah dan objektif
tetapi ketika ia menulis tentang mazhab yang ia sesatkan maka akan
nampak begitu dungu dan dusta.
.
.
.
Kedustaan Kedua
Dalam dialog antara Al Amiriy dan Emilia,
Emilia mengatakan bahwa ia tidak melakukan mut’ah [bahkan haram
baginya] karena secara syar’i nikah mut’ah tidak bisa dilakukan oleh
istri yang sudah bersuami. Al Amiry kemudian menjawab dengan ucapan
berikut
Maka tanggapan kami: “Justru, ulama anda sepakat akan kebolehan nikah mut’ah bagi seorang wanita yang sudah nikah alias sudah punya suami”. Disebutkan dalam kitab syiah:يجوز للمتزوجة ان تتمتع من غير أذن زوجها ، وفي حال كان بأذن زوجها فأن نسبة الأجر أقل ،شرط وجوب النية انه خالصاً لوجه الله
“Diperbolehkan bagi seorang istri untuk bermut’ah (kawin kontrak dengan lelaki lain) tanpa izin dari suaminya, dan jika mut’ah dengan izin suaminya maka pahala yang akan didapatkan akan lebih sedikit, dengan syarat wajibnya niat bahwasanya ikhlas untuk wajah Allah” Fatawa 12/432
Ucapan Al Amiry di atas adalah kedustaan
atas mazhab Syi’ah. Tidak ada kesepakatan ulama Syi’ah sebagaimana yang
diklaim oleh Al Amiry. Begitu pula referensi yang ia nukil adalah dusta.
Kita tanya pada Al Amiry, kitab Al Fatawa siapa yang dinukilnya di
atas?. Ulama Syi’ah mana yang menyatakan demikian?. Silakan kalau ia
mampu tunjukkan scan kitab tersebut atau link yang memuat kitab Syi’ah
tersebut.
Saya yakin Al Amiry tidak akan mampu
menjawabnya karena ucapan dusta tersebut sebenarnya sudah lama populer
di media sosial dan sumbernya dari twitter atau facebook majhul yang
mengatasnamakan ulama Syi’ah. Ia sendiri menukilnya dari akun twitter
yang mengatasnamakan ulama Syi’ah Muhsin Alu ‘Usfur sebagaimana dapat
para pembaca lihat dalam tulisan Al Amiry disini
Dan sudah pernah saya sampaikan bantahan mengenai kepalsuan twitter tersebut atas nama ulama Syi’ah dalam tulisan disini.
Petunjuk lain akan kepalsuannya adalah jika para pembaca mengklik link
tersebut yang dahulu mengatasnamakan ulama Syi’ah Muhsin Alu ‘Usfur maka
sekarang sudah berganti menjadi Kazim Musawiy.
Dan di tempat yang lain para pembaca akan melihat seseorang mengaku Ayatullah Khumainiy yang juga menukil ucapan dusta tersebut.
Mungkin kalau Al Amiriy melihatnya ia akan menyangka kalau akun
facebook tersebut memang milik ulama Syi’ah Ayatullah Khumainiy.
Alangkah dungunya jika seorang alim
menuduh mazhab Syi’ah begini begitu hanya berdasarkan akun akun media
sosial yang tidak bisa dipastikan kebenarannya, dimana siapapun bisa
seenaknya berdusta atas nama orang lain atau memakai nama orang lain.
.
.
.
Kedustaan Ketiga
Ketika Al Amiry membantah Emilia dengan
menyebutkan riwayat yang melaknat orang yang tidak nikah mut’ah, Al
Amiry menukilnya dari kitab Jawahir Al Kalam
Maka kami tanggapi: “Thoyyib, akan kami buktikan riwayat yang melaknat orang yang tidak melakukan nikah mut’ah” Disebutkan dalam salah satu kitab syiah:أن الملائكة لا تزال تستغفر للمتمتع وتلعن من يجنب المتعة إلى يوم القيامة
“Bahwasanya malaikat akan selalu meminta ampun untuk orang yang melakukan nikah mutah dan melaknat orang yang menjauhi nikah mutah sampai hari kiamat” Jawahir Al kalam 30/151
Riwayat yang sebenarnya dalam Jawahir Al Kalam lafaznya tidaklah seperti yang ia sebutkan, melainkan sebagai berikut [dapat dilihat disini]
ما من رجل تمتع ثم اغتسل إلا خلق الله من كل قطرة تقطر منه سبعين ملكا يستغفرون له إلى يوم القيامة، ويلعنون مجتنبها إلى أن تقوم الساعة
Setiap orang yang melakukan nikah
mut’ah, kemudian ia mandi junub maka Allah akan menciptakan dari setiap
tetesan air mandinya sebanyak tujuh puluh malaikat yang akan memohonkan
ampunan baginya sampai hari kiamat. Dan para malaikat itu akan melaknat
orang yang menjauhinya [mut’ah] sampai hari kiamat [Jawahir Al Kalam
30/151, Syaikh Al Jawaahiriy]
Jadi sisi kedustaannya adalah lafaz
riwayat yang ia nukil tidak sama dengan apa yang tertulis dalam kitab
Jawahir Al Kalam. Kedustaan ini masih tergolong ringan dan masih bisa
untuk diberikan uzur misalnya Al Amiry menukil riwayat dengan maknanya
walaupun lafaznya tidak sama persis [biasanya kalau orang menukil bil
ma’na (dengan makna) maka ia tidak akan repot menuliskan lafaz dalam
bahasa arab] atau Al Amiry tidak membaca langsung kitab Jawahir Al Kalam
dan ia menukil dari kitab lain yang tidak ia sebutkan tetapi seolah
disini ia mengesankan bahwa ia mengambilnya langsung dari kitab Jawahir
Al Kalam.
Sesuai dengan kaidah ilmu mazhab Syi’ah,
riwayat tersebut dhaif. Sanad lengkapnya dapat dilihat dalam kitab
Wasa’il Syi’ah sebagaimana berikut [dapat dilihat disini]
وعن ابن عيسى، عن محمد بن علي الهمداني، عن رجل سماه عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: ما من رجل تمتع ثم اغتسل إلا خلق الله من كل قطرة تقطر منه سبعين ملكا يستغفرون له إلى يوم القيامة ويلعنون متجنبها إلى أن تقوم الساعة
Dan dari Ibnu Iisa dari Muhammad bin
‘Aliy Al Hamdaaniy dari seorang laki-laki yang ia sebutkan dari Abi
‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata Barang siapa yang melakukan
nikah mut’ah, kemudian ia mandi junub maka Allah akan menciptakan dari
setiap tetesan air mandinya sebanyak tujuh puluh malaikat yang akan
memohonkan ampunan baginya sampai hari kiamat. Dan para malaikat itu
akan melaknat orang yang menjauhinya [mut’ah] sampai hari kiamat
[Wasa’il Syi’ah 21/16, Al Hurr Al Aamiliy]
Sanad di atas dhaif karena terdapat
perawi yang majhul dalam sanadnya yaitu pada lafaz sanad “seorang
laki-laki yang ia sebutkan”. Adapun riwayat lainnya yang dinukil Al
Amiry dari Tafsir Manhaj Ash Shaadiqin
أن المتعة من ديني ودين آبائي فالذي يعمل بها يعمل بديننا والذي ينكرها ينكر ديننا بل إنه يدين بغير ديننا. وولد المتعة أفضل من ولد الزوجة الدائمة ومنكر المتعة كافر مرتد
“Nikah mutah adalah bagian dari agamku dan dagama bapak-bapakku dan orang yang melakukan nikah mutah maka dia mengamalkan agama kami, dan yang mengingkari nikah mutah dia telah mengingkari agama kami, dan anak mutah lebih utama dari anak yang nikah daim dan yang mengingkari mutah kafir murtad” Minhaj Ash Shodiqin hal. 356.”
Maka riwayat di atas sama seperti riwayat
sebelumnya yang dinukil Al Kasyaaniy tanpa sanad dalam kitabnya
sehingga tidak bisa dijadikan hujjah..
.
.
Penutup
Secara pribadi saya menilai dialog antara
Al Amiry dan Emilia tersebut tidak banyak bermanfaat bagi orang-orang
yang berniat mencari kebenaran. Keduanya baik Al Amiry dan Emilia nampak
kurang memahami dengan baik hujjah-hujjah yang mereka diskusikan.
Apalagi telah kami buktikan di atas bahwa Al Amiry telah berdusta atas
mazhab Syi’ah. Saya tidak berniat secara khusus membela saudari Emilia,
saya sudah lama membaca dialog tersebut hanya saja baru sekarang saya
menuliskan kedustaan Al ‘Amiry karena saya lihat semakin banyak
orang-orang awam [baca : situs- situs] yang disesatkan oleh tulisan
dialog Al ‘Amiry tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar