[DATA DAN FAKTA]
29 posts by 6 authors
|
| M. Nauval Al - Ammary |
12/18/12
|
Ketakutan Barat akan Jumlah Umat Muslim di Dunia
https://groups.google.com/forum/#!topic/majelis-ilmu-114/-HzlQxKsh0U
Dunia sedang berubah, kebudayaan global, anak-anak
kita mewarisi kebudayaan yang sangat berbeda dibandingkan saat ini.
berikut ini akan saya paparkan sedikit mengenai perubahan demografi pada
dunia.
berdasarkan penelitian, untuk menjaga sebuah kebudayaan lebih dari 25
tahun, maka harus ada angka kelahiran anak lebih dari 2.11 anak
perkeluarga. jika kurang, maka kebudayaan tersebut akan mengalami
kemunduran. menurut penelitian, belum ada kebudayaan yang mengalami
kemunduran lebih dari angka kelahiran 2.11 anak perkeluarga. angka
kelahiran 1.3 tidak mungkin membalikkan keadaan kemunduran kebudayaan.
karena membutuhkan 80-100 tahun untuk mengembalikan kebudaayaan tersebut
dan tak ada potensi perekonomian yang cukup besar untuk membantu
pemulihannya.
jika 2 pasang orang tua memiliki masing-masing 1 orang anak, jumlah
mereka adalah setengah dari jumlah kedua orang tua mereka. jika anak
tersebut memiliki 1 orang anak, maka keturunannya hanya seperempat cucu
dari kakek nenek mereka. jika hanya 1 juta bayi lahir pada tahun 2006,
maka akan sulit untuk mendapatkan angka 2 juta orang dewasa pada tahun
2026. karena jumlah populasinya menyusut maka begitu juga dengan
kebudayaan ya.
pada tahun 2007, angka kelahiran di Prancis 1.8, inggris 1.6, yunani
1.3, jerman 1,3, italy 1.2, dan spanyol 1,1. di seluruh negara kesatuan
eropa, angka kelahiran mendekati 1.38. menurut penelitian sejarah, angka
tersebut tak akan mampu menopang kebudayaan mereka, dalam beberapa
tahun, eropa akan lenyap peradabannya. populasi di eropa tak akan
menyusut. mengapa ? imigrasi. imigrasi islam.
menurut pertumbuhan populasi di eropa semenjak 1990, 90% nya adalah
imigrasi Islam. Prancis 1.8 anak perkeluarga, islam 8.1 anak
perkeluarga. di bagian selatan prancis, salah satu populasi terpadat
gereja di dunia, kini di sana ada lebih banyak masjid dari pada jumlah
gerejanya. 30% anak usia 20 dan lebih muda adalah orang islam. dan
jumlah tersebut telah berkembang hingga 45% di kota-kota tertentu. pada
tahun 2027, 1 dari 5 orang di Prancis adalah orang Muslim.
hanya dalam kurun 39 tahun, Prancis akan menjadi Republik Islam. dalam
30 tahun terakhir, populasi muslim di Inggris meningkat dari 82000 jiwa
menjadi 2.5 juta jiwa. meningkat 30 kali lipat. ada lebih dari seribu
mesjid sebagian besarnya berasal dari gereja. di Belanda, 50% dari
kelahiran baru adalah muslim dan dalam kurun waktu 15 tahun setengah
dari populasi Belanda akan menjadi muslim. di Rusia, lebih dari 23 juta
adalah muslim yaitu 1 dari 5 orang rusia. 40% tentara di Rusia akan
menjadi muslim hanya dalam beberapa tahun yang singkat.
sekarang ini di Belgia, 25% dari populasi nya dan 50% dari seluruh
kelahiran baru adalah muslim. pemerintah Belgia telah menyatakan bahwa
1/3 anak dari Belgia akan terlahir dalam keadaan muslim hanya dalam
waktu 17 tahun. di Jerman, hal pertama yang yang harus diperbincangkan
adalah pernyataan baru-baru ini dari pemerintah Jerman yang menyatakan
“the fail in the (German) population can no longer be stopped. it’s downward spiral is no longer reversible …
it will be a moslem state by the year 2050.”
“there are signs that Allah will grant victory to Islam in Europe
without swords, without guns. we don’t need terrorists. we don’t need
homicide bombers. the 50+ million Muslims (in Europe) will turn into a
Muslim continent within a few decades.”
Moammar Ghadafy.
saat ini ada 52 juta muslim di Eropa. pemerintah jerman mengatakan bahwa
jumlah tersebut akan meningkat menjadi 104 juta jiwa pada beberapa
tahun ke depan. sam dengan sebelumnya. saat ini angka kelahiran di
Kanada adalah 1.6, berada 4 level lebih rendah dari angka yang
dibutuhkan untuk menopang kebudayaan. dan Islam adalah agama yang paling
pesat angka perkembangannya. antara tahun 2001 - 2006, populasi di
Kanada meningkat menjadi 1.6 juta jiwa. 1.2 nya adalah imigrasi. di AS,
angka kelahiran mereka saat ini adalah 1.6. dengan imigrasi dari bangsa
latin, angka kelahirannya meningkat menjadi 2.11, angka yang cukup untuk
menopang kebudayaan.
pada tahun 1970, ada 100.000 muslim di AS. kini ada lebih dari 9 juta. dunia sedang berubah.
SAATNYA UNTUK BANGKIT
beberapa tahun lalu, sebuah pertemuan 24 organisasi islam di
selenggarakan di Chicago. catatan dari pertemuan itu memberi penjelasan
kepada kita kalau mereka ingin mengislamisasi Amerika melalui
Jurnalisme, pendidikan, politik, dll.
“we must prepare ourselves for the reality that in 30 years there will be 50 million muslim livin in America”
Dunia yang kita tinggali bukanlah untuk anak cucu kita. sebuah gereja
katholik mengatakan kalau jumlah umat islam akan melampaui jumlah
penganut mereka. dan kajian-kajian ilmiah menyimpulkan bahwa dalam waktu
5-7 tahun, Islam akan menjadi agama yang mendominasi di Dunia.
sebagai umat yang peduli, kita harus siap mengahadapi perubahan dan ikut
berkontribusi serta melakukan upaya nyata untuk bangkit dan menyebar
pesan suci kepada saudara-saudara kita.
SEMANGAT BERKONTRIBUSI …..
dilansir dari berbagai sumber
Sumber:
email: majelis...@yahoo.com
Kamis, 15 Maret 2012
http://watirachma.blogspot.com/2012/03/pengertian-khilafah-dan-khalifah.html
PENGERTIAN KHILAFAH DAN KHALIFAH
Ada empat hal yang perlu dibahas mengenai Khilafah dan Khalifah sebagai berikut
- Pengertian Khilafah dan Khalifah
- Syarat-Syarat Khalifah
- Sistem Pemilihan Khalifah dan,
- Tugas dan Kewajiban Khalifah
- Struktur pemerintah Negara Kekhalifahan
- Karakter Kepepimpinan Kekhalifahan Islam
1. Pengertian Khilafah dan Khalifah
Khilafah dalam terminologi politik Islam ialah sistem pemerintahan
Islam yang meneruskan sistem pemerintahan Rasul Saw. Dengan segala
aspeknya yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Sedangkan
Khalifah ialah Pemimpin tertinggi umat Islam sedunia, atau disebut juga
dengan Imam A’zhom yang sekaligus menjadi pemimpin Negara Islam sedunia
atau lazim juga disebut dengan Khalifatul Muslimin.
Khalifah dan khilafah itu hanya terwujud bila :
- Adanya seorang Khalifah saja dalam satu masa yang diangkat oleh umat Islam sedunia. Khalifah tersebut harus diangkat dengan sistem Syura bukan dengan jalan kudeta, sistem demokrasi atau kerajaan (warisan).
- Adanya wilayah yang menjadi tanah air (wathan) yang dikuasai penuh oleh umat Islam.
- Diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh. Atau dengan kata lain, semua undang-undang dan sistem nilai hanya bersumber dari Syariat Islam yang bersumberkan dan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. seperti undang-undang pidana, perdata, ekonomi, keuangan, hubungan internasional dan seterusnya.
- Adanya masyarakat Muslim yang mayoritasnya mendukung, berbai’ah dan tunduk pada Khalifah (pemimpin tertinggi) dan Khilafah (sistem pemerintahan Islam).
- Sistem Khilafah yang dibangun bukan berdasarkan kepentingan sekeping bumi atau tanah air tertentu, sekelompok kecil umat Islam tertentu dan tidak pula berdasarkan kepentingan pribadi Khalifah atau kelompoknya, melainkan untuk kepentingan Islam dan umat Islam secara keseluruhan serta tegaknya kalimat Allah (Islam) di atas bumi. Oleh sebab itu, Imam Al-Mawardi menyebutkan dalam bukunya “Al-Ahkam As-Sulthaniyyah” bahwa objek Imamah (kepemimpinan umat Islam) itu ialah untuk meneruskan Khilafah Nubuwwah (kepemimpinan Nabi Saw.) dalam menjaga agama (Islam) dan mengatur semua urusan duniawi umat Islam.
2. Syarat-Syarat Khalifah
Karena Khalifah itu adalah pemimpin tertinggi umat Islam, bukan hanya pemimpin kelompok atau jamaah umat Islam tertentu, dan bertanggung jawab atas tegaknya ajaran Islam dan ururusan duniawi umat Islam, maka para ulama, baik salaf (generasi awal Islam) maupun khalaf (generasi setelahnya), telah menyepakati bahwa seorang Khalifah itu harus memiliki syarat atau kriteria yang sangat ketat. Syarat atau kriteria yang mereka jelaskan itu berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, Sunnah Rasul Saw. dan juga praktek sebagian Sahabat, khususnya Khulafaurrasyidin setelah Rasul Saw, yakni Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Menurut Syekh Muhammad Al-Hasan Addud Asy-Syangqiti, paling tidak ada
sepuluh syarat atau kriteria yang harus terpenuhi oleh seorang Khalifah
:
- Muslim. Tidak sah jika ia kafir, munafik atau diragukan kebersihan akidahnya.
- Laki-Laki. Tidak sah jika ia perempuan karena Rasul Saw bersabda : Tidak akan sukses suatu kaum jika mereka menjadikan wanita sebagai pemimpin.
- Merdeka. Tidak sah jika ia budak, karena ia harus memimpin dirinya dan orang lain. Sedangkan budak tidak bebas memimpin dirinya, apalagi memimpin orang lain.
- Dewasa. Tidak sah jika anak-anak, kerena anak-anak itu belum mampu memahami dan memenej permasalahan.
- Sampai ke derajat Mujtahid. Kerena orang yang bodoh atau berilmu karena ikut-ikutan (taklid), tidak sah kepemimpinannya seperti yang dijelaskan Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Bar bahwa telah ada ijmak (konsensus) ulama bahwa tidak sah kepemimpinan tertinggi umat Islam jika tidak sampai ke derajat Mujtahid tentang Islam.
- Adil. Tidak sah jika ia zalim dan fasik, karena Allah menjelaskan kepada Nabi Ibrahim bahwa janji kepemimpinan umat itu tidak (sah) bagi orang-orang yang zalim.
- Profesional (amanah dan kuat). Khilafah itu bukan tujuan, akan
tetapi sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang disyari’atkan seperti
menegakkan agama Allah di atas muka bumi, menegakkan keadilan, menolong
orang-orang yang yang dizalimi, memakmurkan bumi, memerangi kaum kafir,
khususnya yang memerangi umat Islam dan berbagai tugas besar lainnya.
Orang yang tidak mampu dan tidak kuat mengemban amanah tersebut tidak
boleh diangkat menjadi Khalifah.
Sebab itu, Imam Ibnu Badran, rahimahullah, menjelaskan bahwa pemimpin-pemimpin Muslim di negeri-negeri Islam yang menerapkan sistem kafir atau musyrik, tidaklah dianggap sebagai pemimpin umat Islam karena mereka tidak mampu memerangi musuh dan tidak pula mampu menegakkan syar’ait Islam dan bahkan tidak mampu melindungi orang-orang yang dizalimi dan seterusnya, kendatipun mereka secara formal memegang kendali kekuasaan seperti raja tau presiden. Lalu Ibnu Badran menjelaskan : Mana mungkin orang-orang seperti itu menjadi Khalifah, sedangkan mereka dalam tekanan Taghut (Sistem Jahiliyah) dalam semua aspek kehidupan?
Sedangkan para pemimpin gerakan dakwah yang ada sekarang hanya sebatas pemimpin kelompok-kelompok atau jamaah-jamaah umat Islam, tidak sebagai pemimpin tertinggi umat Islam yang mengharuskan taat fil mansyat wal makrah ( dalam situasi mudah dan situasi sulit), kendati digelari dengan Khalifah. - Sehat penglihatan, pendengaran dan lidahnya dan tidak lemah fisiknya. Orang yang cacat fisik atau lemah fisik tidak sah kepemimpinannya, karena bagaimana mungkin orang seperti itu mampu menjalankan tugas besar untu kemaslahatan agama dan umatnya? Untuk dirinya saja memerlukan bantuan orang lain.
- Pemberani. Orang-orang pengecut tidak sah jadi Khalifah. Bagaimana mungkin orang pengecut itu memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama Allah dan urusan Islam dan umat Islam? Ini yang dijelaskan Umar Ibnul Khattab saat beliau berhaji : Dulu aku adalah pengembala onta bagi Khattab (ayahnya) di Dhajnan. Jika aku lambat, aku dipukuli, ia berkata : Anda telah menelantarkan (onta-onta) itu. Jika aku tergesa-gesa, ia pukul aku dan berkata : Anda tidak menjaganya dengan baik. Sekarang aku telah bebas merdeka di pagi dan di sore hari. Tidak ada lagi seorangpun yang aku takuti selain Allah.
- Dari suku Quraisy, yakni dari puak Fihir Bin Malik, Bin Nadhir, Bin Kinanah, Bin Khuzai’ah. Para ulama sepakat, syarat ini hanya berlaku jika memenuhi syarat-sayarat sebelumhya. Jika tidak terpenuhi, maka siapapun di antara umat ini yang memenuhi persayaratan, maka ia adalah yang paling berhak menjadi Khalifah.
3. Sistem Pemilihan Khalifah
Dalam sejarah umat Islam, khususnya sejak masa Khulafaurrasyidin sepeninggalan sistem Nubuwah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. sampai jatuhnya Khilafah Utsmaniyah di bawah kepemimpinan Khalifah Abdul Hamid II yang berpusat di Istambul, Turkey tahun 1924, maka terdapat tiga sistem pemilihan Khalifah.
Pertama, dengan sistem Wilayatul ‘Ahd (penunjukan Khalifah sebelumnya), seperti yang terjadi pada Umar Ibnul Khattab yang ditunjuk oleh Abu Bakar.
Kedua, dengan sistem syura, sebagaimana yang terjadi pada Khalifah Utsman dan Ali. Mereka dipilih dan diangkat oleh Majlis Syura. Sedangkan anggota Majlis Syura itu haruslah orang-orang yang shaleh, faqih, wara’ (menjaga diri dari syubhat) dan berbagai sifat mulia lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan Khalifah itu tidak dibenarkan dengan cara demokrasi yang memberikan hak suara yang sama antara seorang ulama dan orang jahil, yang shaleh dengan penjahat dan seterusnya. Baik sistem pertama ataupun sistem kedua, persyaratan seorang Khalifah haruslah terpenuhi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kemudian, setelah sang Khalifah terpilih, maka umat wajib berbai’ah kepadanya.
Ketiga, dengan sistem kudeta (kekuatan) atau warisan, seperti yang terjadi pada sebagian Khalifah di zaman Umawiyah dan Abbasiyah. Sistem ini jelas tidak sah karena bertentangan dengan banyak dalil Syar’i dan praktek Khulafaurrasyidin.
Dalam sejarah umat Islam, khususnya sejak masa Khulafaurrasyidin sepeninggalan sistem Nubuwah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. sampai jatuhnya Khilafah Utsmaniyah di bawah kepemimpinan Khalifah Abdul Hamid II yang berpusat di Istambul, Turkey tahun 1924, maka terdapat tiga sistem pemilihan Khalifah.
Pertama, dengan sistem Wilayatul ‘Ahd (penunjukan Khalifah sebelumnya), seperti yang terjadi pada Umar Ibnul Khattab yang ditunjuk oleh Abu Bakar.
Kedua, dengan sistem syura, sebagaimana yang terjadi pada Khalifah Utsman dan Ali. Mereka dipilih dan diangkat oleh Majlis Syura. Sedangkan anggota Majlis Syura itu haruslah orang-orang yang shaleh, faqih, wara’ (menjaga diri dari syubhat) dan berbagai sifat mulia lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan Khalifah itu tidak dibenarkan dengan cara demokrasi yang memberikan hak suara yang sama antara seorang ulama dan orang jahil, yang shaleh dengan penjahat dan seterusnya. Baik sistem pertama ataupun sistem kedua, persyaratan seorang Khalifah haruslah terpenuhi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kemudian, setelah sang Khalifah terpilih, maka umat wajib berbai’ah kepadanya.
Ketiga, dengan sistem kudeta (kekuatan) atau warisan, seperti yang terjadi pada sebagian Khalifah di zaman Umawiyah dan Abbasiyah. Sistem ini jelas tidak sah karena bertentangan dengan banyak dalil Syar’i dan praktek Khulafaurrasyidin.
4. Tugas dan Kewajiban Khalifah
Sesungguhnya tugas dan kewajiban khalifah itu sangat berat. Wilayah kepemimpinannya bukan untuk sekelompok umat Islam tertentu, akan tetapi mecakup seluruh umat Islam sedunia. Cakupan kepemimpinannya bukan hanya pada urusan tertentu, seperti ibadah atau mu’amalah saja, akan tetapi mencakup penegakan semua sistem agama atau syari’ah dan managemen urusan duniawi umat. Tanggung jawabnya bukan hanya terhadap urusan dunia, akan tetpi mencakup urusan akhirat. Tugasnya bukan sebatas menjaga keamanan dalam negeri, akan tetapi juga mencakup hubungan luar negeri yang dapat melindungi umat Islam minoritas yang tinggal di negeri-negeri kafir. Kewajibannya bukan hanya sebatas memakmurkan dan membangun bumi negeri-negeri Islam, akan tetapi juga harus mampu meberikan rahmat bagi negeri-negeri non Muslim (rahmatan lil ‘alamin).
Secara umum, tugas Khalifah itu ialah :
Sesungguhnya tugas dan kewajiban khalifah itu sangat berat. Wilayah kepemimpinannya bukan untuk sekelompok umat Islam tertentu, akan tetapi mecakup seluruh umat Islam sedunia. Cakupan kepemimpinannya bukan hanya pada urusan tertentu, seperti ibadah atau mu’amalah saja, akan tetapi mencakup penegakan semua sistem agama atau syari’ah dan managemen urusan duniawi umat. Tanggung jawabnya bukan hanya terhadap urusan dunia, akan tetpi mencakup urusan akhirat. Tugasnya bukan sebatas menjaga keamanan dalam negeri, akan tetapi juga mencakup hubungan luar negeri yang dapat melindungi umat Islam minoritas yang tinggal di negeri-negeri kafir. Kewajibannya bukan hanya sebatas memakmurkan dan membangun bumi negeri-negeri Islam, akan tetapi juga harus mampu meberikan rahmat bagi negeri-negeri non Muslim (rahmatan lil ‘alamin).
Secara umum, tugas Khalifah itu ialah :
- Tamkin Dinillah (menegakkan agama Allah) yang telah diridhai-Nya dengan menjadikannya sistem hidup dan perundangan-undangan dalam semua aspek kehidupan.
- Menciptakan keamanan bagi umat Islam dalam menjalankan agama Islam dari ancaman orang-orang kafir, baik yang berada dalam negeri Islam maupun yang di luar negeri Islam.
- Menegakkan sistem ibadah dan menjauhi sistem dan perbuatan syirik (QS.Annur : 55).
- Menerapkan undang-undang yang ada dalam Al-Qur’an, termasuk Sunnah Rasul Saw. dengan Haq dan adil, kendati terhadap diri, keluarga dan orang-orang terdekat sekalipun. (QS. Annisa’ : 135, Al-Maidah : 8 & 48, Shad : 22 & 26)
- Berjihad di jalan Allah.
5. Struktur pemerintahan Negara Khilafah
Struktur pemerintahan Islam terdiri daripada 8 perangkat dan berdasarkan af’al (perbuatan) Rasulullah saw:- Khalifah
- Hanya Khalifah yang mempunyai kewenangan membuat UU sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang ditabbaninya (adopsi); Khalifah merupakan penanggung jawab kebijakan politik dalam dan luar negeri; panglima tertinggi angkatan bersenjata; mengumumkan perang atau damai; mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin, Wali, Qadi, amirul jihad; menolak atau menerima Duta Besar; memutuskan belanjawan negara.
- Mu'awin Tafwidh
- Merupakan pembantu Khalifah dibidang kekuasaan dan pemerintahan, mirip menteri tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin menjalankan semua kewenangan Khalifah dan Khalifah wajib mengawalnya.
- Mu'awin Tanfidz
- Pembantu Khalifah dibidang administrasi tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin Tanfidz membantu Khalifah dalam hal pelaksanaan, pemantauan dan penyampaian keputusan Khalifah. Dia merupakan perantara antara Khalifah dengan struktur di bawahnya.
- Amirul Jihad
- Amirul Jihad membawahi bidang pertahanan, luar negeri, keamanan dalam negeri dan industri.
- Wali
- Wali merupakan penguasa suatu wilayah (gubernur). Wali memiliki kekuasaan pemerintahan, pembinaan dan penilaian dan pertimbangan aktivitas direktorat dan penduduk di wilayahnya tetapi tidak mempunyai kekuasaan dalam Angkatan Bersenjata, Keuangan dan pengadilan.
- Qadi
- Qadi merupakan badan peradilan, terdiri dari 2 badan: Qadi Qudat (Mahkamah Qudat) yang mengurus persengketaan antara rakyat dengan rakyat, perundangan, menjatuhkan hukuman, dan lain-lain serta Qadi Mazhalim (Mahkamah Madzhalim) yang mengurus persengketaan antara penguasa dan rakyat dan berhak memberhentikan semua pegawai negara, termasuk memberhentikan Khalifah jika dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
- Jihaz Idari
- Pegawai administrasi yang mengatur kemaslahatan masyarakat melalui Lembaga yang terdiri dari Direktorat, Biro, dan Seksi, dan Bagian. Memiliki Direktorat di bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, industri, perdagangan, pertanian, dll). Mua’win Tanfidz memberikan pekerjaan kepada Jihaz Idari dan memantau pelaksanaannya.
- Majelis Ummat
- Majelis Ummat dipilih oleh rakyat, mereka cerminan wakil rakyat baik individu mahupun kelompok. Majelis bertugas mengawasi Khalifah. Majelis juga berhak memberikan pendapat dalam pemilihan calon Khalifah dan mendiskusikan hukum-hukum yang akan diadopsi Khalifah, tetapi kekuasaan penetapan hukum tetap di tangan Khalifah.
6. Karakter kepemimpinan Kekhalifahan Islam
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah
menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah
kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut.Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu dimana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.[1]
Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur
oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah
sebagai berikut:
"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah di hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif.
Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:
"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia."
Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan :
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan :
- Khilafah dan Khalifah dua hal yang saling terkait. Keduanya merupakan ajaran Islam yang fundamental. Menegakkan Khilafah dan memilih Khalifah hukumnya wajib. Semua umat Islam berdosa selama keduanya belum terwujud.
- Khilafah belum terbentuk atau belum dianggap ada sebelum diangkatny seorang Khallifah yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas, dipilih dan diangkat dengan sistem Syura umat Islam, dan mampu menunaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin tertinggi umat Islam sedunia.
- Khilafah bukan tujuan, akan tetapi adalah alat untuk menegakkan dan
menerapkan agama Allah secara menyeluruh dan orisinil. Allahu a’lamu
bish-shawab.
Dalil-Dalil yang Mewajibkan Khilafah
https://hukumallah.wordpress.com/dalil-dalil-yang-mewajibkan-khilafah/
Sejarah membuktikan bahwa kejayaan kaum muslimin di masa lampau dikarenakan umat Islam mampu mempertahankan keutuhan umat, dibawah satu sistem kepemimpinan Islam yaitu Khilafah Islamiyyah dengan pembuktian sam’an wa tha’atan kepada Ulil Amri mereka (Khalifah/Amirul Mukminin). Adapun kemunduran dan kehancuran kaum muslimin karena tidak mampu lagi mempertahankan sistem kekhalifahan tersebut, yang berakibat umat terpecah-belah menjadi beberapa golongan dan tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya sendiri (ashobiyah). Fenomena ini oleh Allah SWT dinyatakan dengan tegas sebagai suatu “kemusyrikan” sebagaimana firman-Nya yang artinya:“…dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-belah dien mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rum: 31-32).Khilafah adalah bentuk pemerintahan dalam Islam. Khilafah dan shalat adalah sama-sama kewajiban. Namun, jika kewajiban mendirikan shalat dengan mudah kita dapati dalilnya dengan fi’il amr (kata perintah) yang jelas, tidak demikian dengan kewajiban mendirikan khilafah. Titik ini yang sering disoroti oleh orang-orang yang meragukan kewajiban mendirikan khilafah. Mereka mengatakan bahwa kewajiban menegakkan khilafah tidak ada dalilnya.Padahal, terdapat dalil-dalil bernada fi’il amr tentang kewajiban menerapkan hukum Islam dalam negara, walaupun tidak jelas menyebut khilafah. Dan ada dalil-dalil lain yang menyebut “khalifah” walaupun tidak ber-fi’il amr. Lagi pula, bagi siapapun yang memahami ushul fiqh akan dengan mudah memahami bahwa suatu perbuatan dapat diberi status wajib walaupun dalil yang menunjuki perbuatan itu tidak bernada fi’il amr.Semoga penjelasan super-singkat berikut ini dapat membuka pemikiran kita. Untuk memudahkan pembahasan, ada tiga isu dalam hal ini, yaitu dalil, negara syariah, dan khilafah.Apa itu Dalil?
Dalam khazanah Sunni, yang dimaksud dengan dalil bukan hanya Qur’an dan Sunnah (Hadits), melainkan juga Ijma dan Qiyas. Ini disepakati oleh jumhur ulama. Perihal ijma ada dua pendapat, sebagian berpendapat harus ijma shahabat, sebagian lagi berpendapat bahwa ijma ulama juga termasuk kategori ijma. Yang jelas disepakati bahwa ijma harus bersumber pada Qur’an dan Sunnah.Dalil-Dalil Kewajiban Menegakkan Negara Syariah
Banyak dalil yang menunjukkan kewajiban menegakkan syariah. Di antaranya dalil tentang wajibnya mentaati Allah, Rasul-Nya dan pemimpin/Ulil Amri (QS. An-Nisaa: 59). Ayat ini mengharuskan adanya pemimpin yang menerapkan aturan Allah dan Rasul-Nya. Pada Qur’an surat Al-Maidah ayat 44, 45, 47, 48, dan 49 secara tegas mengandung perintah menerapkan syariah.Lalu mengapa kewajiban berhukum syariah ini diartikan menegakkan negara berdasarkan syariah? Hal ini didasarkan oleh kaidah fiqh:مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ“Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.”Kaidah ini disampaikan oleh Imam Al-Ghazali. Dan perlu diketahui bahwa setiap kaidah fiqh disusun oleh ulama ushul berdasarkan penelitiannya terhadap nash-nash Qur’an dan Sunnah.Sebagaimana diketahui bahwa kewajiban menghukumi segala hal dengan syariat Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya negara dan penguasa yang bertindak sebagai pelaksana (munaffidz), maka atas dasar kaidah ini, mewujudkan negara dan penguasa yang menerapkan syariat Islam itu menjadi wajib. Kalau pihak yang berwenang menghukumi dengan syariah itu tidak disebut negara, lalu mau disebut apa?Hanya saja, wajibnya menerapkan syariah oleh negara ternyata masih menyimpan pertanyaan: Jika memang intinya penerapan syariah oleh negara, mengapa harus bentuknya khilafah? Bukankah negaranya boleh apa saja, entah republik (demokrasi), monarki, dsb., yang penting menerapkan syariah? Berikut penjelasannya.Mengapa Harus Khilafah?
1. Dalil Qur’an
Dalil Qur’an tentang wajibnya menerapkan khilafah adalah dalil-dalil kewajiban berhukum dengan syariah sebagaimana dipaparkan di atas. Selain itu, ada juga dalil Qur’an yang mencantumkan kata “khalifah” di dalamnya, yaitu ayat berikuti ini:وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَIngatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30)Memang ada banyak penafsiran atas kata “khalifah”. At-Thabariy berpendapat bahwa “khalifah” yang dimaksud adalah pemimpin untuk kalangan jin. Sedangkan asy-Syaukani, an-Nasafi, dan al-Wahidi berpendapat bahwa maksudnya pemimpin untuk malaikat. Sedangkan Ibnu Katsir memaknai penyebutan “khalifah” karena manusia menjadi kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian yang lain (arti “khalifah” sendiri adalah pengganti).Namun, ada pendapat keempat, maksud ayat di atas adalah manusia diturunkan untuk menjadi khalifah bagi Allah di bumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Status ini bukan hanya disandang Adam AS, namun juga seluruh nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa mereka, dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia. Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Ajili, Ibnu Juzyi, dan asy-Syanqithi.2. Dalil Hadits
Perhatikan hadits-hadits ini:Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak.” Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab,’”Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka.” (HR. Muslim)Rasulullah SAW bersabda: “Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam. (HR. Ahmad dan al-Bazar)Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa para pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi SAW disebut sebagai khalifah. Memang ini sifatnya khabar bukan perintah. Namun, sebuah hadits ahad tidak mungkin dijadikan dasar aqidah, dan oleh karenanya menjadi dasar amal. Maknanya, hadits ini mengharuskan kita beramal untuk mewujudkan khilafah.3. Dalil Ijma Shahabat
Ijma (kesepakatan) shahabat adalah tafsir terbaik atas Qur’an dan Sunnah. Para shahabat adalah rujukan pertama sekaligus standar kebenaran tatkala kita ingin memahami Qur’an dan Sunnah. Fakta menunjukkan bahwa para shahabat sibuk memilih khalifah bahkan hingga menunda pemakaman Rasulullah SAW.Abu Bakar ra dibaiat sebagai khalifah, dengan sebutan yang memang “khalifah” lalu disepakati oleh para shahabat. Kesepakatan (ijma) mereka menjadi dalil bahwa khilafah itu wajib dan bahwa bentuk pemerintahan Islam adalah khilafah.Ijma shahabat tidak mungkin diganggu gugat. Rasulullah SAW menjamin bahwa mereka generasi terbaik. Mereka adalah manusia terbaik dengan pemahaman yang terbaik atas apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW.Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian mencaci maki para shahabatku! Janganlah kalian mencaci maki para shahabatku! Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud maka ia tidak akan dapat menandingi satu mud atau setengahnya dari apa yang telah diinfakkan para shahabatku.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)Dari Imran bin Husain ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik umatku adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (para shahabat) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka (tabi’in) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka (tabi’ut tabi’in). (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad dan lainnya)Kata Para Ulama Tentang Khilafah
Kaidah fiqh yang disebutkan di atas menjadi salah satu pendapat ulama yang mendukung kewajiban pendirian khilafah. Selain itu, seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya khilafah (atau imamah) ini. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, jilid V, hal. 362.Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahwa imamah (khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar dienullah serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya.Pendapat ulama lainnya tentang khilafah bisa dibaca di sini:
http://syabab1924.blogspot.com/2011/01/kewajiban-khilafah-dan-pandangan-ulama.htmlJelaslah bahwa mendirikan khilafah itu wajib hukumnya, dan berdosa meninggalkannya. Tanpa khilafah, banyak aspek syariah yang terbengkalai. Di samping itu, mendirikan khilafah adalah wujud ketaatan kita pada Allah SWT dan Rasul-Nya. Jadi, jika ada pendapat bahwa kewajiban mendirikan khilafah tidak ada landasan dalilnya, maka entah dalil apa lagi yang dimaksud.Sebarkan informasi ini sebagai amal ibadah dakwah anda. Wallahu a’lam.Maqalah Ulama-Ulama Sunni Tentang Wajibnya Nashbul/Pengangkatan Khalifah
http://harmoko1924.blogspot.com/2011/
Maqalah Ulama-Ulama Sunni Tentang Wajibnya Nashbul Khalifah
1. Hukum Nashbul khalifah adalah Fardhu Kifayah
Pada point pertama ini kami kompilasikan sebagian maqalah para ulama’ Mu’tabar dari berbagai madzhab, terutama madzhab Syafi’I yang merupakan madzhab kebanyakan kaum Muslimin di Indonesia, tentang wajibnya imamah atau khilafah. Tentu pernyataan mereka tersebut adalah merupakan hasil istimbath mereka dari dalil-dalil syara’, baik apakah mereka menjelaskan hal tersebut maupun tidak.
Syeikh Al-Islam Al-imam Al-hafidz Abu Zakaria An-nawawi berkata2:
الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …
…pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan metode (mewujudkan) nya. Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurus (untuk mewujudkan) imamah itu adalah fardhu kifayah.
Al-allamah Asy-syeikh Muhammad Asy-syarbini Al-khatib menjelaskan3:
فَقَالَ [ فَصْلٌ ] فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَبَيَانِ انْعِقَادِ طُرُقِ الْإِمَامَةِ .وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ، إذْ لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُومَ مِنْ الظَّالِمِ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا ، وَقَدَّمَا فِي الشَّرْحِ وَالرَّوْضَةِ الْكَلَامَ عَلَى الْإِمَامَةِ عَلَى أَحْكَامِ الْبُغَاةِ …
…maka (pengarang) berkata (pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode in’iqadnya imamah. Mewujudkan imamah yang agung itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan.
Syeikh Al-Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab berkata44
Syaikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2 hal 268:
(فصل) في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية كالقضاء (شرط الامام كونه أهلا للقضاء) بأن يكون مسلما حرا مكلفا عدلا ذكرا مجتهدا ذا رآى وسمع وبصر ونطق لما يأتي في باب القضاء وفي عبارتي زيادة العدل (قرشيا) لخبر النسائي الائمة من قريش فإن فقد فكناني، ثم رجل من بني إسماعيل ثم عجمي على ما في التهذيب أو جر همي على ما في التتمة، ثم رجل من بني إسحاق (شجاعا) ليغزو بنفسه، ويعالج الجيوش ويقوي على فتح البلاد ويحمي البيضة، وتعتبر سلامته من نقص يمنع استيفاء الحركة وسرعة النهوض، كما دخل في الشجاعة …
…(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode in’iqad imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah kavabel untuk peradilan). Maka hendaknya imam yang agung tersebut adalah muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, mendengar, melihat dan bisa bicara. Berdasar pada apa yang ada pada bab tentang peradilan dan pada ungkapan saya dengan penambahan adil adalah (dari kabilah Quraisy) berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa’I: “bahwa para Imam itu dari golongan Quraisy”. Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain orang Arab) berdasarkan apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau Jurhumi berdasarkan apa yang terdapat dalam (kitab) At-tatimmah. Kemudian pria dari keturunan Ishaq. Selanjutnya (pemberani) agar (berani) berperang dengan diri sendiri, mengatur pasukan serta memperkuat (pasukan) untuk menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian (Islam). Juga termasuk (sebagian dari syarat imamah) adalah bebas dari kekurangan yang akan menghalangi kesempurnaan serta cekatannya gerakan sebagaimana hal tersebut merupakan bagian dari keberanian …
Ketika Imam Fakhruddin Ar-razi, penulis kitab Manaqib Asy-syafi’i, menjelaskan firman-Nya Ta’ala pada Surah Al-maidah ayat 38, beliau menegaskan5:
…احتج المتكلمون بهذه الآية في أنه يجب على الأمة أن ينصبوا لأنفسهم إماماً معيناً والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه الآية إقامة الحد على السراق والزناة ، فلا بدّ من شخص يكون مخاطباً بهذا الخطاب ، وأجمعت الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة ، بل أجمعوا على أنه لا يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام ، فلما كان هذا التكليف تكليفاً جازماً ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام ، وما لا يتأتى الواجب إلا به ، وكان مقدوراً للمكلف ، فهو واجب ، فلزم القطع بوجوب نصب الإمام حينئذٍ
… para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula…
Imam Abul Qasim An-naisaburi Asy-syafi’i berkata6:
… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab (”maka jilidlah”) adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula.
Al-allamah Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani menyatakan7:
قوله: (هي فرض كفاية) إذ لا بد للامة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينصف المظلوم من الظالم ويستوفي الحقوق ويضعها موضعها…
…perkataannya: (mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah) karena adalah merupakan keharusan bagi umat adanya imam untuk menegakkan agama dan menolong sunnah serta memberikan hak orang yang didzalimi dari orang yang dzalim serta menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya…
Dalam kitab Hasyiyata Qalyubi wa Umairah dinyatakan8:
فَصْلٌ فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَمَا مَعَهُ وَالْإِمَامَةُ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ فَيَجْرِي فِيهَا مَا فِيهِ مِنْ جَوَازِ الْقَبُولِ وَعَدَمِهِ .
…pasal tentang syarat-syarat imam yang agung dan hal-hal yang menyertainya. Imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan maka berlaku di dalam imamah tersebut apa yang berlaku untuk peradilan baik dalam kebolehan menerima maupun tidaknya..
Al-allamah Asy-syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi berkata 9:
…فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ . كَالْقَضَاءِ فَشُرِطَ لِإِمَامٍ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ قُرَشِيًّا لِخَبَرِ : { الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ } شُجَاعًا لِيَغْزُوَ بِنَفْسِهِ وَتُعْتَبَرُ سَلَامَتُهُ مِنْ نَقْصٍ يَمْنَعُ اسْتِيفَاءَ الْحَرَكَةِ وَسُرْعَةَ النُّهُوضِ كَمَا دَخَلَ فِي الشَّجَاعَة…
…tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode sahnya in’iqad imamah. Dan mewujudkan imamah tersebut adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Maka disyaratkan untuk imam itu hendaknya layak untuk peradilan (menjadi hakim). (syarat) Quraisy, karena berdasarkan hadits: “bahwa para imam itu adalah dari Quraisy”. (syarat) Berani, agar berani berperang secara langsung. Begitu pula (dengan syarat) bebasnya dari kekurangan yang menghalangi kesempurnaan dan kegesitan gerakan dia sebagaimana masuknya keberanian sebagai salah satu syarat imamah…
Imam Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri mendokumentasikan ijma’ Ulama’ bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu10:
… واتفقوا أن الامامة فرض وانه لا بد من امام حاشا النجدات وأراهم قد حادوا الاجماع وقد تقدمهم واتفقوا انه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا امامان لا متفقان ولا مفترقان ولا في مكانين ولا في مكان واحد …
…Meraka (para ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An-najdat. Pendapat mereka sungguh telah menyalahi ijma’ dan telah lewat pembahasan (tentang) mereka. Mereka (para ulama’) sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu di seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat…
Berkata Imam ‘Alauddin Al-kasani Al-hanafi11:
… وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ - ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، …
…dan karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini) tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan—perbedaan dengan sebagian Qadariyyah—karena ijma’ shahabat ra atas hal tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelematkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatn yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya imam…
Imam Al-hafidz Abul Fida’ Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah surah Al Baqarah ayat 30 beliau berkata12:
…وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
…dan sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong atas yang didzalimi dari yang mengdzalimi, menegakkan had-had, dan menganyahkan kerusakan dsb. yang merupakan hal-hal penting yang memang tidak memungkinkan untuk menagakkan hal tersebut kecuali dengan imam, dan ãÇ áÇíÊã ÇáæÇÌÈ ÇáÇ Èå Ýåæ æÇÌÈ ( apabila suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu tersebut maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula).
Imam Al-qurthubi ketika menafsirkan Surah Al-baqarah ayat 30 berkata 13:
… هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما روي عن الاصم …
ثم قال القرطبي: فلو كان فرض الامامة غير واجب لا في قريش ولا في غيرهم لما ساغت هذه المناظرة والمحاورة عليها، ولقال قائل: إنها ليست بواجبة لا في قريش ولا في غيرهم، فما لتنازعكم وجه ولا فائدة في أمر ليس بواجب …
وقال, اي القرطبي, وإذا كان كذلك ثبت أنها واجبة من جهة الشرع لا من جهة العقل، وهذا واضح.
…ayat ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbadaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham …
Beliau berkata: …Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak wajib.
Kemudian beliau menegaskan: …Dengan demikian maka (telah) menjadi ketetapan bahwa imamah itu wajib berdasarkan syara’ bukan akal. Dan ini jelas sekali.
Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, yang dikenal dengan Ibnu Adil, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala surah Al-baqarah ayat 30 berkata14:
…وقال « ابن الخطيب » : الخليفة : اسم يصلح للواحد والجمع كما يصلح للذكر والأنثى … ثم قال: هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه …
… dan berkata Ibn Al-khatib khalifah itu isim yang cocok baik untuk tunggal maupun plural sebagaimana cocoknya untuk laki-laki dan wanita. Kemudian beliau berkata: ….ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti dia…
Berkata Imam Abu al-hasan Al-mirdawi Al-hambali dalam kitab Al-inshaf15:
…بَابُ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ فَائِدَتَانِ إحْدَاهُمَا : نَصْبُ الْإِمَامِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ . قَالَ فِي الْفُرُوعِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ . فَمَنْ ثَبَتَتْ إمَامَتُهُ بِإِجْمَاعٍ ، أَوْ بِنَصٍّ ، أَوْ بِاجْتِهَادٍ ، أَوْ بِنَصِّ مَنْ قَبْلَهُ عَلَيْهِ .
…bab memerangi orang yang Bughat, terdapat dua faedah. Pertama, mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah. Dia berkata di dalam al-furu’: fardhu kifayahlah yang paling tepat….
Imam Al-bahuti Al-hanafi berkata16:
…( نَصْبُ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ) عَلَى الْمُسْلِمِينَ ( فَرْضُ كِفَايَةٍ ) لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةٌ إلَى ذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ وَاسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَر…
…(mengangkat Imam yang agung itu) atas kaum Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar ma’ruf dan nahi munkar….
Dalam kitab Hasyiyyatul Jumal disebutkan 17:
…فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ، وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ( شَرْطُ الْإِمَامِ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ ) بِأَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا حُرًّا مُكَلَّفًا عَدْلًا ذَكَرًا مُجْتَهِدًا ذَا رَأَى وَسَمْعٍ وَبَصَرٍ وَنُطْقٍ لِمَا يَأْتِي فِي بَابِ الْقَضَاءِ…
…tentang syarat Imam yang agung dan tentang penjelasan metode in’iqad imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. (syarat Imam adalah yang layak untuk peradilan). Maka hendaknya dia muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, cerdas, mendengar, melihat dan bisa bicara, sebagaimana yang terdapat dalam pembahasan pada bab tentang peradilan…
Sedangkan dalam kitab Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha dinyatakan 18:
…( وَنَصْبُ الْإِمَامِ فَرْضُ كِفَايَةٍ ) ؛ لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً لِذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ ، وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ ، وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ ، وَابْتِغَاءِ الْحُقُوقِ ، وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَيُخَاطَبُ بِذَلِكَ طَائِفَتَانِ : أَحَدُهُمَا : أَهْلُ الِاجْتِهَادِ حَتَّى يَخْتَارُوا. الثَّانِيَةُ : مَنْ تُوجَدُ فِيهِمْ شَرَائِطُ الْإِمَامَةِ حَتَّى يَنْتَصِبَ لَهَا أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ فَيُعْتَبَرُ فِيهِمْ الْعَدَالَةُ وَالْعِلْمُ الْمُوَصِّلُ إلَى مَعْرِفَةِ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْإِمَامَةَ وَالرَّأْيُ وَالتَّدْبِيرُ الْمُؤَدِّي إلَى اخْتِيَارِ مَنْ هُوَ لِلْإِمَامَةِ أَصْلَحُ .
…(dan mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah) karena manusia memang membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara konsitensi (agama), menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf serta nahi munkar.
Berkata shahibu Al-husun Al-hamidiyyah, Syeikh Sayyid Husain Afandi19:
اعلم انه يجب على المسلمين شرعا نصب امام يقوم باقامة الحدود وسد الثغور وتجهيز الجيش …
“ketahuilah bahwa mengangkat Imam yang yang menegakkan had, memelihara perbatasan (negara), menyiapkan pasukan, … secara syar’i adalah wajib”.
Khulashatul qaul, dapat kita simpulkan bahwa para Ulama’ Mu’tabar dari berbagai madzhab diatas menegaskan bahwa hukum nasbu al-Imam atau al-Khalifah adalah wajib. Kifayah atau ain? Adalah Imam al-Hafidz an-Nawawi, antara lain, yang menjelaskan bahwa kwajiban tersebut masuk kategori fardhu kifayah.
2. Pelaksaan fardhu kifayah.
Suatu hal yang ma’lum bahwa fardhu itu ada dua macam. Fardhu kifayah dan fardhu ain. Sebagai kwajiban sebenarnya fardhu kifayah maupun fardhu ain sama, sama-sama fardhu, meski dari sisi pelaksanaannya berbeda. Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam menegaskan20:
المسألة الثانية لا فرق عند أصحابنا بين واجب العين، والواجب على الكفاية من جهة الوجوب، لشمول حد الواجب لهما
” masalah yang ke dua. Tidak ada perbedaan (menurut ashab kita) antara wajib ain dan wajib kifayah. Dari sisi kwajiban. Karena inklusinya batas kwajiban untuk keduanya”.
Untuk batasan kesempurnaan pelaksanaan fardhu kifayah Imam Asy-syirazi, dalam kitab Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh, menjelaskan 21:
فصل إذا ورد الخطاب بلفظ العموم دخل فيه كل من صلح له الخطاب ولا يسقط ذلك الفعل عن بعضهم بفعل البعض إلا فيما ورد الشرع به وقررة تعالى أنه فرض كفاية كالجهاد وتكفين الميت والصلاة عليه ودفنه فإنه إذا أقام به من يقع به الكفاية سقط عن الباقين …
” Fashal. Apabila terdapat khitab dengan lafadz umum maka masuk di dalamnya siapa saja yang kitab tersebut visible baginya dan perbuatan tersebut tidak gugur atas sebagian karena perbuatan sebagian (yang lain), kecuali atas apabila syara’ datang di dalamnya, dan Allah menetapkan bahwa khitab tersebut adalah fardhu kifayah. Seperti jihad, mengkafani jenazah, menshalatkan dan menguburkannya. Maka apabila kwajiban tersebut telah selesai ditunaikan (disini Imam sy-Syirazi menggunakan kata “aqaama”, bukan “qaama”; dalam bahasa arab kata “aqaama” artinya adalah “ja’alahu yaqumu”22) oleh siapa saja yang mampu, gugurlah (kwajiban) tersebut atas yang lain …”.
Artinya, menurut Imam Asy-syirazi, apabila fardhu kifayah itu jika belum selesai ditunaikan maka kwajiban tersebut masih tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf yang menjadi obyek khitab taklif.
Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, dalam kitab Al-majmu’ Syarh Al-muhadz-dzab menjelaskan 23:
… وغسل الميت فرض كفاية باجماع المسلمين ومعني فرض الكفاية انه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين وان تركوه كلهم اثموا كلهم واعلم ان غسل الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فروض كفاية بلا خلاف
“dan memandikan jenazah itu adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’ kaum Muslimin. Makna fardhu kifayah adalah apabila siapa saja yang pada dirinya ada kifayah (kecukupan untuk melaksanakan kwajiban tsb) telah melaksanakan maka akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun apabila mereka semua meninggalkan kwajiban tersebut, mereka semua berdosa. Ketahuilah bahwa memandikan mayyit, mengkafaninya, menshalatinya serta menguburkannya adalah fardhu kifayah, tidak ada perbedaan pendapat (dalam hal ini)”.
Disini Imam An-nawawi menegaskan, apabila fardhu tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki “kifayah” maka beban (kwajiban) tersebut gugur atas yang lain. Tapi, jika semua meninggalkan kwajiban tersebut, semuanya berdosa.
Al-allamah Asy-syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-malibari menegaskan 24:
باب الجهاد. (هو فرض كفاية كل عام) ولو مرة إذا كان الكفار ببلادهم، ويتعين إذا دخلوا بلادنا كما يأتي: وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية سقط الحرج عنه وعن الباقين. ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه وإن جهلوا.
“Bab Jihad. (jihad itu adalah fardhu kifayah setiap tahun) meski satu kali, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka, dan menjadi fardhu ‘ain apabila mereka (menyerang) masuk di negeri kita, sebagaimana yang akan datang (pembaha-sannya); dan hukum fardhu kifayah itu adalah apabila fardhu kifayah tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki “kifayah” maka akan gugurlah beban atas orang tersebut dan juga bagi yang lain. Dan berdosa atas setiap orang yang tidak udzur baginya dari kaum Muslimin apabila mereka meninggalkannya meski mereka bodoh”
Disini Shahibu Fathil Mu’in menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Beliau menambahkan catatan bahwa kaum Muslimin yang tidak ada udzur, tapi meninggalkan kwajiban tersebut berdosa.
Masih tentang fardhu kifayah, Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-zain menjelaskan hal yang senada dengan yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Namun beliau menambahkan bahwa yang melaksanakan kwajiban tersebut bisa jadi bukan orang yang terkena kwajiban. Beliau berkata 25:
باب الجهاد أي القتال في سبيل الله هو فرض كفاية كل عام إذا كان الكفار ببلادهم وأقله مرة في كل سنة فإذا زاد فهو أفضل ما لم تدع حاجة إلى أكثر من مرة وإلا وجب لبعض طلب الجهاد بأحد أمرين إما بدخول الإمام أو نائبه دارهم بالجيش لقتالهم وإما بتشحين الثغور أي أطراف بلادنا بمكافئين لهم لو قصدونا مع إحكام الحصون والخنادق وتقليد ذلك للأمراء المؤتمنين المشهورين بالشجاعة والنصح للمسلمين وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية وإن لم يكونوا من أهل فرضه كصبيان وإناث ومجانين سقط الحرج عنه إن كان من أهله وعن الباقين رخصة وتخفيفا عليهم بفرض العين أفضل بفرض الكفاية كما قاله الرملي وفروض الكفاية كثيرة
“Kitab Jihad. Maksudnya adalah (jihad) di jalan Allah. Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun, tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara. Dengan masuknya Imam atau wakilnya ke negeri mereka (orang-orang kafir) dengan tentara untuk memerangi mereka atau dengan memanaskan (situasi) perbatasan atau sudut-sudut (wilayah) negeri kita orang-orang yang kapabel untuk mereka, jika seandainya mereka, orang-orang kafir tersebut, bermaksud (menyerang) kita dengan adanya benteng atau parit dan dibawah kendali para pemimpin yang tidak diragukan yang masyhur dengan keberanian dan nasehatnya atas kaum Muslimin. Hukum jihad itu fardhu kifayah, karena apabila siapa saja yang memiliki kafa’ah mengerjakannya meski bukan yang termasuk yang diwajibkan seperti anak kecil, para wanita atau bahkan sukarelawan maka gugurlah beban (kwajiban) tersebut dari yang diwajibkan. Sedangkan yang lain mendapat rukhshah serta keringanan. Fardhu ‘ain itu lebih utama dibanding fardhu kifayah, sebagaimana yang dinyatakan oleh (Imam) Ar-ramli. Fardhu kifayah itu banyak …”
Alhasil, jika kita rangkum penjelasan para ulama’ diatas, fardhu kifayah itu meski tidak harus semua kaum Muslimin yang mukallaf wajib melaksanakan layaknya fardhu ‘ain tapi kwajiban tersebut harus dilaksanakan oleh jumlah yang memiliki “kifayah”. Itu pertama. Kedua, kwajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna apabila telah sempurna ditunaikan. Contoh kwajiban merawat jenazah seorang Muslim yang dibebankan pada suatu komunitas. Kwajiban yang sifatnya fardhu kifayah tersebut dikategorikan selesai dilaksanakan apabila jenazah tersebut telah selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan. Ketiga, bagi yang meninggalkan fardhu kifayah tanpa udzur berdosa, dan pelaksanaan fardhu kifayah itu tidak menutup kemungkinan dilaksanakan oleh yang diwajibkan.
Nashbul khalifah, berdasarkan ibarah para ulama’ diatas, adalah fardhu kifayah. Selama kwajiban tersebut belum ditunaikan secara sempurna maka kwajiban tersebut, tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf dari kaum Muslimin, dan meninggalkan kwajiban yang masuk kategori fardhu kifayah tanpa udzur adalah dosa.
3. Allah SWT tidak akan mentaklifkan sesuatu melebihi isthitha’ah hamba-Nya
Setelah kita simpulkan bahwa nashbul khalifah adalah fardhu kifayah atas kaum Muslimin, pembahasan berikutnya adalah isthitha’ah. Adalah suatu yang ma’ruf bahwa isthitha’ah kaum Muslimin itu berbeda satu dengan yang lain; pemahaman, tenaga maupun harta. Keberagaman ini kadang kala dijadikan hujjah oleh sebagian kaum Muslimin untuk menyatakan bahwa kaum Muslimin sekarang ini tidak mampu melaksanakan kwajiban tersebut. Benarkah?
Pengertian isthitha’ah (kemampuan). Allah Tabaraka wa Ta’ala ber-firman:لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا (البقرة :286)Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim menjelaskan26:
وقوله “لا يكلف الله نفسا إلا وسعها” أي لا يكلَّف أحد فوق طاقته …
” … dan firman-Nya “
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
adalah bahwa tidak dibebankan pada seseorang melebihi kemampuannya”.Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, men-jelaskan secara panjang lebar sebagai berikut 27:
التكليف هو الأمر بما يشق عليه وتكلفت الأمر تجشمته; حكاه الجوهري. والوسع: الطاقة والجدة. وهذا خبر جزم. نص الله تعالى على أنه لا يكلف العباد من وقت نزول الآية عبادة من أعمال القلب أو الجوارح إلا وهي في وسع المكلف وفي مقتضى إدراكه وبنيته; وبهذا انكشفت الكربة عن المسلمين في تأولهم أمر الخواطر.
“Taklif itu adalah perintah untuk hal-hal yang memberatkan padanya dan (ungkapan) suatu perintah itu membebani artinya bahwa perkara tersebut telah membebaninya. Itulah yang dikemukakan oleh al-Jauhari. Sedangkan al-wus’u adalah kemampuan dan kesungguhan. Ini adalah informasi yang sifatnya pasti. Allah Ta’ala menegaskan bahwa Allah tidak mentaklifkan hamba sejak turunnya ayat tersebut dengan ibadah baik yang merupakan aktifitas hati atau anggota tubuh kecuali dalam batas kemampuan seorang mukallaf dan dalam lingkup pengetahuan serta niatnya. Dengan ayat ini terangkatlah kesusahan atas kaum Muslimin dalam menjelaskan hal-hal yang membahayakan”.
Imam al-Baidhawi, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan 28:
{ لاَ يُكَلّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا } إلا ما تسعه قدرتها فضلاً ورحمةً ، أو ما دون مدى طاقتها بحيث يتسع فيه طوقها ويتيسر عليها كقوله تعالى : { يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العسر } وهو يدل على عدم وقوع التكليف بالمحال …
لاَ يُكَلّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Kecuali apa yang dalam cakupan kemampuannya, sebagai bentuk keutamaan dan merupakan rahmat (Allah), atau dengan pengertian lain apa yang tidak melebihi jangkauan kemampuannya, dalam arti bahwa taklif tersebut dalam lingkup kemampuan manusia serta memudahkannya, sebagaimana firman Allah:
يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ ب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar