Restu Jendral Sudirman untuk Kartosuwiryo
Posted on
islampos.com—TERNYATA
Kartosoewiryo memiliki hubungan yang dekat dengan Jendral Sudirman. Hal
ini terjadi ketika pasukan Siliwangi dari Jawa Barat hijrah ke
Yogyakarta, akibat dari penandatanganan perjanjian Renville pada 17
Januari 1947 oleh pihak Indonesia dan Belanda. Tentu saja perjanjian itu
sangat merugikan Republik Indonesia.
Saat Jendral Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di
Stasiun Tugu Yogyakarta, seorang wartawan Antara yang dipercaya sang
jendral diajak naik mobil. Dalam perjalanan sang wartawan bertanya pada
Jendral Sudirman, “Apakah siasat ini tidak merugikan kita?” Pak Dirman
menjawab, “saya telah menyiapkan orang kita (Kartosuwiryo) di sana.”
“Bung Tomo, bapak pahlawan perjuangan Surabaya pada 10 Nopember dan
mantan menteri dalam negeri kabinet Burhanuddin Harahap. Dalam sebuah
buku kecil berjudul “Himbauan” yang ditulis Bung Tomo pada tanggal 7
September 1977, mengatakan bahwa Kartosuwiryo telah mendapat restu dari
Panglima Besar Jendral Sudirman,” tulis seorang penulis buku.
Dalam keterangan itu, jelas bahwa saat Kartosuwiryo meninggalkan
Yogyakarta sebelum pergi ke Jawa Barat, beliau pamit dan minta restu
kepada Jendral Sudirman, dan akhirnya diberi restu seperti keterangan
Bung Tomo tersebut.
Tidak ada lagi orang yang dipercaya oleh Jendral Sudirman yang
berangkat ke Jawa Barat selain Kartosuwiryo. Pada saat itu Kartosuwiryo
adalah orang penting dalam kementerian pertahanan RI yang pernah
ditawari menjadi menteri muda pertahanan, tetapi ia tolak. Jabatan
menteri muda pertahanan tersebut kemudian diduduki oleh sahabat beliau
sendiri yaitu Arudji Kartawinata. Dapatlah dimengerti kenapa Jendral
Sudirman tidak memerintahkan untuk menumpas DI/TII, justru yang
menumpasnya adalah Jendral Nasution dan Ibrahim Adji. Kedua jendral
inilah yang menyebabkan banyaknya umat Islam yang terbunuh.
[sm/islampos/berbagaisumber]
https://www.google.com/search?q=image+laskar+hizbullah+indonesia&client=firefox-b&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwih5_mQw6TOAhWHvY8KHaj8BQkQsAQIIA&biw=1024&bih=639
Bung Karno Memandangi Selembar Foto Kartosuwiryo
Posted on
BUNG Karno gelisah. Batinnya
berperang. Sejak Kartosuwiryo ditangkap hingga tiga bulan kemudian, Bung
Karno selalu menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri
Kartosoewirjo. Keesokan hari, manakala di antara berkas yang harus
ditandatangani bertumpuk di atas meja kerja, dan ia dapati kembali
berkas vonis mati bagi Kartosoewirjo, ia pun menyingkirkannya.
BUNG Karno gelisah. Batinnya berperang. Sejak Kartosuwiryo ditangkap
hingga tiga bulan kemudian, Bung Karno selalu menyingkirkan berkas
kertas vonis mati atas diri Kartosoewirjo. Keesokan hari, manakala di
antara berkas yang harus ditandatangani bertumpuk di atas meja kerja,
dan ia dapati kembali berkas vonis mati bagi Kartosoewirjo, ia pun
menyingkirkannya. Begitu berulang-ulang, hingga klimaksnya Bung Karno
begitu frustrasi dan ia lempar berkas vonis tadi ke udara dan bercecer
di lantai ruang kerjanya.
Menelusuri Perjalanan Jihad Kartosoewirjo (1)
Posted on
DALAM
sejarah politik nasional, nama S.M. Kartosuwiryo diguratkan dengan
tinta agak gelap. Bahkan ia diidentikkan dengan gambar kelam yang ada
kalanya bernuansa mistis. Buku-buku sejarah nasional memosisikan
Kartosuwiryo sebagai orang yang “bermimpi’ mendirikan negara baru. Hal
ini berlangsung hingga sekarang.
Padahal Kartosuwiryo bukanlah tokoh yang garang atau misterius. Ia
lahir dari keluarga yang jelas. Begitu juga pendidikan formal, profesi,
dan keterkait-annya dengan tokoh-tokoh nasional seperti Abikusno,
Panglima Besar Jenderal Sudirman, Agus Salim, H.O.S. Cokroaminoto, dan
bahkan Soekarno.
Gambaran kelam soal Kartosuwiryo ini, muncul dari situasi yang
disemaikan pemerintahan Soekarno. Sebab utamanya karena Soekarno yang
berpaham komunis merasa terancam kedudukannya. Maka dia mencari dukungan
dengan memperalat umat Islam untuk menghadapi saudaranya sesama muslim
dalam Negara Islam Indonesia (NII).Konspirasi Soekarno dengan ulama NU
sehingga ia menerima julukan “waliyyul amri ad-dharuri bisy-syaukah”,
juga merupakan rekayasa Soekarno untuk meredam kecenderungan masyarakat
kepada konsep negara Kartosuwiryo.
Untuk memenuhi syarat sebagai “waliyyul amri”, Bung Karno mendirikan
masjid Baiturrahim di Istana Negara. Prakteknya, masjid itu didirikan
sebagai simbol semata agar rakyat menilainya sebagai pemimpin yang taat
menjalankan ajaran-ajaran Islam Sikap permusuhan terhadap Islamisme
seperti itu terus berkembang dan meluas, tidak saja di kalangan sipil
tapi juga di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7
Januari 1905 – meninggal 5 September 1962 pada umur 57 tahun) adalah
seorang ulama karismatik yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia
(NII) di Tasikmalaya pada tahun 1949.
Sejarah hidup
Pada tahun 1901, Belanda menetapkan politik etis (politik balas
budi). Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang
dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah salah seorang anak
negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini
disebabkan karena ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai
seorang pribumi saat itu.
Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School
der Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi
kalangan bumiputera. Empat tahun kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro
(sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS
adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi.
Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama
Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran
Muhammadiah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam
pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi
sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam.
Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan
studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen
School. Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan organisasi
Syarikat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Ia sempat
tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris
pribadi H. O. S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sangat memengaruhi
perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo. [Sumber :
Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. KARTOSUWIRYO, oleh Irfan S.Awwas,
Wihdah Press, Yogyakarta, 1999].
Ketertarikan Kartosoewirjo untuk mempelajari dunia politik semakin
dirangsang oleh pamannya yang semakin memengaruhinya untuk semakin
mendalami ilmu politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
nanti Kartosoewirjo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas
keIslaman yang kuat dan kesadaran politik yang tinggi.
Semasa kuliah di Surabaya inilah Kartosoewirjo banyak terlibat dalam
organisasi pergerakan nasional seperti Jong Java dan Jong Islamieten
Bond (JIB), dua organisasi pemuda yang berperan penting dalam Sumpah
Pemuda 1928. Selain itu ia juga masuk Sjarikat Islam (SI) dan banyak
dipengaruhi oleh pemikiran politik HOS Tjokroaminoto yang sangat
mengangan-angankan berdirinya sebuah baldatun thoyyibatun wa robbun
ghofur (negeri yang makmur dan diridhoi Allah SWT). Ketika Syarikat
Islam berubah menjadi Partai Sjarikat Islam Hindia Timur (PSIHT),
Kartosoewirjo dipercaya memegang jabatan sekretaris jenderal. Saat itu
usianya masih sangat muda, baru 22 tahun.
Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai
Serikat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat
Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam
(Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan
Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar
dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam
Indonesia (KPKPSII).
Kartosoewirjo amat kritis. Ia banyak menulis kritikan baik bagi
penguasa pribumi maupun pemerintah kolonial di Harian Fadjar Asia, surat
kabar tempatnya bekerja sebagai wartawan dan beberapa saat kemudian
diangkat sebagai redaktur. Ketika Jepang menguasai Hindia Timur, seluruh
organisasi pergerakan dibubarkan. Jepang hanya memperbolehkan beberapa
organisasi yang dianggap tidak membahayakan kedudukan Jepang. Oleh
karena itu PSIHT dibubarkan dan berganti menjadi Madjlis Islam ‘Alaa
Indonesia (MIAI) pimpinan Wondoamiseno. Kala itu Kartosoewirjo menjabat
sebagai sektretaris Majelis Baitul-Mal, organisasi di bawah MIAI.
Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar
lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu
penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII
harus menolak segala bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa mengenal
kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya
saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap
Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya, walaupun berbagai
rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri,
rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan
pemerintah Kolonial.
BERSAMBUNGMenelusuri Perjalanan Jihad S.M. KARTOSUWIRYO
April 27, 2012https://ruangjuang.wordpress.com/2012/04/27/menelusuri-perjalanan-jihad-s-m-kartosuwiryo/
oleh : Irfan S Awwas
Dalam sejarah politik nasional, nama S.M.
Kartosuwiryo diguratkan dengan tinta agak gelap. Bahkan ia diidentikkan
dengan gambar kelam yang ada kalanya bernuansa mistis. Buku-buku
sejarah nasional memosisikan Kartosuwiryo sebagai orang yang “bermimpi’
mendirikan negara baru. Hal ini berlangsung hingga sekarang
Padahal Kartosuwiryo bukanlah tokoh yang garang atau misterius. Ia
lahir dari keluarga yang jelas. Begitu juga pendidikan formal, profesi,
dan keterkait-annya dengan tokoh-tokoh nasional seperti Abikusno,
Panglima Besar Jenderal Sudirman, Agus Salim, H.O.S. Cokroaminoto, dan
bahkan Soekarno.
Gambaran kelam soal Kartosuwiryo ini, muncul dari situasi yang
disemaikan pemerintahan Soekarno. Sebab utamanya karena Soekarno yang
berpaham komunis merasa terancam kedudukannya. Maka dia mencari dukungan
dengan memperalat umat Islam untuk menghadapi saudaranya sesama muslim
dalam Negara Islam Indonesia (NII).Konspirasi Soekarno dengan ulama NU
sehingga ia menerima julukan “waliyyul amri ad-dharuri bisy-syaukah”,
juga merupakan rekayasa Soekarno untuk meredam kecenderungan masyarakat
kepada konsep negara Kartosuwiryo.
Untuk memenuhi syarat sebagai “waliyyul amri”, Bung Karno mendirikan
masjid Baiturrahim di Istana Negara. Prakteknya, masjid itu didirikan
sebagai simbol semata agar rakyat menilainya sebagai pemimpin yang taat
menjalankan ajaran-ajaran Islam Sikap permusuhan terhadap Islamisme
seperti itu terus berkembang dan meluas, tidak saja di kalangan sipil
tapi juga di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
(lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 – meninggal 5 September 1962
pada umur 57 tahun) adalah seorang ulama karismatik yang
memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya pada tahun
1949.
Sejarah hidup
Pada tahun 1901, Belanda menetapkan politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah salah seorang anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan karena ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu.Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera. Empat tahun kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi.
Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam.
Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School. Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi H. O. S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo.
Ketertarikan Kartosoewirjo untuk mempelajari dunia politik semakin dirangsang oleh pamannya yang semakin memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila nanti Kartosoewirjo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas keIslaman yang kuat dan kesadaran politik yang tinggi.
Semasa kuliah di Surabaya inilah Kartosoewirjo banyak terlibat dalam organisasi pergerakan nasional seperti Jong Java dan Jong Islamieten Bond (JIB), dua organisasi pemuda yang berperan penting dalam Sumpah Pemuda 1928. Selain itu ia juga masuk Sjarikat Islam (SI) dan banyak dipengaruhi oleh pemikiran politik HOS Tjokroaminoto yang sangat mengangan-angankan berdirinya sebuah baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur (negeri yang makmur dan diridhoi Allah SWT). Ketika Syarikat Islam berubah menjadi Partai Sjarikat Islam Hindia Timur (PSIHT), Kartosoewirjo dipercaya memegang jabatan sekretaris jenderal. Saat itu usianya masih sangat muda, baru 22 tahun.
Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).
Kartosoewirjo amat kritis. Ia banyak menulis kritikan baik bagi penguasa pribumi maupun pemerintah kolonial di Harian Fadjar Asia, surat kabar tempatnya bekerja sebagai wartawan dan beberapa saat kemudian diangkat sebagai redaktur. Ketika Jepang menguasai Hindia Timur, seluruh organisasi pergerakan dibubarkan. Jepang hanya memperbolehkan beberapa organisasi yang dianggap tidak membahayakan kedudukan Jepang. Oleh karena itu PSIHT dibubarkan dan berganti menjadi Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia (MIAI) pimpinan Wondoamiseno. Kala itu Kartosoewirjo menjabat sebagai sektretaris Majelis Baitul-Mal, organisasi di bawah MIAI.
Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya, walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan pemerintah Kolonial.
Pada masa perang kemerdekaan, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Perintah long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri.
Ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, sebuah sumber menyatakan bahwa sebenarnya Kartosoewirjo sudah terlebih dahulu memproklamirkan kemerdekaan sebuah negara Islam. Namun atas pertimbangan kebangsaan dan kesatuan ia mencabut kembali proklamasi tersebut dan bersedia turut menegakkan Republik Indonesia dengan syarat umat Islam Indonesia diberi kesempatan untuk menjalankan syariat Islam.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam sila pertama Piagam Jakarta yang kemudian dihapus sehingga hanya menyisakan kalimat “Ketuhanan yang Maha Esa” saja.
Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut merupakan awal retaknya hubungan Kartosoewirjo dan Soekarno, teman seperguruannya semasa masih dididik oleh HOS Tjokroaminoto. Keduanya memang menunjukkan sikap dan prinsip politik berbeda.
Kartosoewirjo adalah seorang muslim taat yang mencita-citakan berdirinya negara berdasarkan syariat Islam, sedangkan Soekarno nasionalis sekuler yang lebih mementingkan persatuan dan kesatuan Indonesia dengan Pancasila-nya. Hal ini membuat Kartosoewirjo selalu berseberangan dengan pemerintah RI. Ia bahkan menolak jabatan menteri yang ditawarkan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.
Ketika wilayah Republik Indonesia hanya tinggal Yogyakarta dan beberapa karesidenan di Jawa Tengah sebagai hasil kesepakatan dalam Perjanjian Renville, Kartosoewirjo melihat peluang untuk mendirikan negara Islam yang dicita-citakannya. Maka iapun memprokamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Malangbong, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 7 Agustus 1949. Jawa Barat waktu itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda, sehingga klaim sejarah yang menyatakan bahwa Kartosoewirjo merupakan pemberontak Republik Indonesia seharusnya dipelajari kembali.
Pada tanggal 27 Desember 1949 pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Dalam negara federasi yang diakui kedaulatannya oleh Kerajaan Belanda itu, Republik Indonesia di Yogyakarta merupakan salah satu dari 16 negara federal anggota RIS. Soekarno terpilih sebagai presiden RIS, sedangkan jabatan presiden RI diserahkan pada Mr. Asa’at. Terbentuknya RIS secara otomatis membenturkan NII dengan RIS karena Negara Pasundan bentukan Belanda yang menguasai wilayah Jawa Barat merupakan anggota federasi RIS. Konfrontasi memperebutkan Jawa Baratpun meletus. RIS merasa berhak atas Jawa Barat berdasarkan hasil KMB, sedangkan NII bersikeras mereka lebih berhak karena telah lebih dulu memproklamasikan diri sebelum dibentuknya Negara Pasundan dan RIS.
Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949. Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewirjo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962.
Perang NII-RIS berlangsung selama 13 tahun. Dalam masa 13 tahun itu RIS berubah bentuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Negara Pasundan menjadi provinsi Jawa Barat. Hal ini membuat NII semakin terpojok karena dengan bentuk baru RIS tersebut NII seperti negara dalam negara
Pada akhirnya tentara NKRI berhasil menghabisi perlawanan NII, ditandai dengan tertangkapnya SM Kartosoewirjo selaku Imam Besar (presiden) NII di wilayah Gunung Geber pada 4 Juni 1962. Mahkamah militer menyatakan Kartosoewirjo bersalah dan menjatuhkan hukuman mati. Mantan aktivis, jurnalis, sekaligus ulama kharismatik itupun menghembuskan napas terakhirnya di depan regu tembak NKRI pada September 1962.
Pada masa Orde Baru (orde militerisme), Islamisme agaknya dipandang lebih berbahaya daripada sekularisme, komunisme atau misionaris Kristen dan Yahudi. Bahkan Seminar TNI Angkatan Darat (Agustus 1966) di Bandung malah bersikap antipati, menganggap gerakan Darul Islam (DI) atau NII sebagai musuh bangsa nomor satu, baru menyusul PKI.
Sikap istiqamah yang ditunjukkan
Kartosuwiryo terhadap cita-cita perjuangan yang telah digariskannya
patut diteladani oleh siapa saja (para aktivis) yang menyebut dirinya
sebagai orang pergerakan, apa pun ideologinya, dengan terlebih dahulu
mengenyampingkan naluri sektarian yang ada pada dirinya.
.Ooo
Sumber : Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. KARTOSUWIRYO, oleh Irfan S.
Awwas, Wihdah Press, Yogyakarta, 1999.
Kezaliman dalam Penulisan Sejarah Islam
Posted on
Oleh Y. Herman Ibrahim, Penulis, pengamat politik dan militer
Saya harus minta maaf kepada ilmuwan sejarah untuk mengatakan bahwa
sejarah adalah ilmu yang paling tidak ilmiah. Argumen saya adalah bahwa
sesuatu dikatakan ilmiah
pertama-tama harus objektif.
Kedua, proses dan
hasilnya harus terukur secara kuantitatif ataupun kualitatif.
Ketiga,
kebenarannya dapat dibuktikan secara empiris atau paling tidak secara
laboratoris.
Sejarah menjadi tidak objektif karena sejarah ditulis oleh
penguasa dan disebarluaskan lewat kekuasaannya itu. Ukuran kebenarannya
paling-paling hanya pada “waktu terjadinya peristiwa” bukan pada
substansi. Juga ada kesulitan dalam menguji kebenaran sejarah secara
empiris maupun laboratoris karena metodologinya sarat kepentingan
kekuasaan.
Dalam penulisan sejarah nasional yang paling dirugikan dan dizalimi
adalah Islam. Nyaris semua produk sejarah Indonesia yang diajarkan
kepada anak sekolah sejak SD sampai perguruan tinggi adalah sejarah yang
anti dan menegasikan Islam. Para pemuda kita dibutakan atas sejarah
masa lalu dari kebesaran Islam. Para ilmuwan sejarah pun bisu atau
membisukan diri atas penulisan sejarah yang tidak berpihak kepada
kebenaran. Determinasi kekuasaan sejak zaman penjajahan Belanda sampai
pemerintahan sendiri sangat kuat, tetapi mereka paranoid terhadap Islam.
Tengok kisah kebohongan sejarah ihwal pertemuan Kartosoewiryo dengan
Westerling di Gedung Pakuan Bandung. Kisah ini sangat keji karena sumber
sejarahnya adalah pengadilan sandiwara atas kasus Schmidt dan
Jungschlaeger. Hal ini ditulis ulang oleh Her Suganda di Pikiran Rakyat
(5/2). Tentu saja Her Suganda mengambil dari sumber resmi yang dalam hal
ini dibuat penguasa pada saat itu. Haris bin Suhaemi yang dijadikan
saksi dan dikutip kesaksiannya dalam tulisan itu digambarkan sebagai
orang yang dekat dengan Imam Negara Islam Indonesia (NII), S.M.
Kartosoewiryo as syahid. Padahal, nama Haris bin Suhaemi tidak dikenal
di kalangan pimpinan tinggi maupun menengah NII.
Di pengadilan dia membual pernah menyaksikan pertemuan antara S.M.
Kartosoewiryo dan wali negara Pasundan R.A.A. Wiranatakusumah dan bekas
kapten Westerling. Dia juga berkisah melihat kapal selam menurunkan
perlengkapan perang, senjata, dan munisi, serta droping dari pesawat
terbang asing untuk melengkapi mesin perang DI/TII. Anehnya, di tulisan
Her Suganda dikatakan bahwa Kartosoewiryo gagal melaksanakan ambisinya
karena lemahnya persenjataan dan kesulitan komunikasi. Menurut Her
Suganda, Kartosoewiryo hanya bisa mengacau di daerah Sukaraja dan
Cikalong, Tasikmalaya Selatan.
Kebohongan dan fitnah yang dilansir oleh saksi lain di pengadilan
tersebut sangat memojokkan perjuangan Islam NII. Meskipun demikian,
harus diakui bahwa NII memang mengalami fragmentasi yakni NII
pro-Proklamasi 17 Agustus 1945 pimpinan H. Zainal Abidin dan Ajengan
Patah, NII pro-Belanda yang dipimpin Sultan Hamid II yang bersekutu
dengan Westerling, serta NII pimpinan S.M. Kartosoewiryo yang menajiskan
berhubungan dengan kaum kafir. Dalam pernyataan bantahan yang dilansir
oleh Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII No. IX/7/1955, dinyatakan
bahwa usaha merangkaikan dan mencampuradukkan (samansmelten) perjuangan
Islam NII dengan gerakan subversif yang dilakukan oleh Westerling dan
sekelompok orang Indonesia adalah sangat absurd dan sama sekali tidak
mengandung kebenaran sedikit pun. Bantahan ini tidak memperoleh tempat
di media karena bias kekuasaan.
Rakyat Indonesia selalu dicekoki tuduhan seakan-akan gerakan Islam
identik dengan pemberontakan.
Kehadiran dan deklarasi NII sebenarnya
tidak berada pada posisi ada negara di dalam negara karena Republik
Indonesia berdasarkan Perjanjian Renville hanya berada di Yogyakarta dan
sekitarnya. Lebih tepat dikatakan kehadiran NII adalah sebuah negara
dengan negara yang sejajar jika disandingkan dengan RI. Lain halnya
dengan negara Pasundan yang benar-benar merupakan produk Belanda.
Orang-orang nasionalis bisa tidak sependapat dalam perkara ini, tetapi
kebenaran sejarah tidak bisa ditutupi terus-menerus.
Menurut Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.A., M.Phil., sejarah Islam perlu
dipaparkan dengan jujur dan diinternalisasi terus-menerus untuk
membangun semangat perjuangan dan peradaban. Orang Yahudi sangat
berkepentingan memalsukan sejarah Islam karena mereka paham bahwa
sejarah bisa menjadi sumber inspirasi yang tiada habisnya bagi kemajuan
umat manusia. Dengan segala cara mereka melakukan manipulasi sejarah
seakan-akan sumbangan Barat terhadap peradaban manusia lebih hebat
daripada Islam. Banyak contoh, betapa sejarah Islam bukan saja
ditutup-tutupi, tetapi dikisahkan dalam bentuk kekalahan dan
ketertinggalan.
Pembodohan bisa direkayasa lewat sejarah. Lihat sejarah Islam
Nusantara yang tidak pernah sungguh-sungguh menggambarkan kejayaan
Samudera Pasai, Ternate, dan Tidore serta pengislaman Papua oleh
Kerajaan Islam Bacan. Anehnya, yang selalu dibanggakan adalah kisah
kejayaan Majapahit dan Sriwijaya yang konon bisa mempersatukan
nusantara. Para ulama yang oleh pujangga Mataram Ronggowarsito pada abad
XIX disebut Walisongo sebenarnya adalah penyebar dan penegak syariat
Islam lewat kekuasaan yang dibangunnya dari mulai Giri, Demak, dan
Cirebon. Di masa Mataram yang telah meramu Islam dengan sinkretisme,
para ulama tersebut dimistifikasi sebagai tokoh-tokoh keramat dan
digjaya tetapi pada saat yang sama direduksi menjadi para pengembang
ajaran tasawuf.
Krisis sejarah berikutnya adalah pengaburan Kebangkitan Nasional yang
dimanipulasi seakan-akan berawal dari berdirinya paguyuban Boedi
Oetomo. Bandingkan dengan Syarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan 25
tahun lebih tua daripada Boedi Oetomo. Organisasi ini menjelma menjadi
Syarikat Islam yang terbuka untuk seluruh rakyat Indonesia dari segala
lapisan yang mayoritas beragama Islam. Faktanya, pendiri Syarikat Islam
H.O.S. Cokroaminoto dan murid-muridnya adalah kaum pergerakan yang
menjadi pejuang politik dan militer.
Hizbullah adalah laskar Islam yang menjadi inti peristiwa heroik 10
November di Surabaya. Di Jawa Tengah tatkala TNI di bawah pimpinan
Soedirman mengalahkan sekutu sebenarnya terdiri atas elemen-elemen
tentara Islam. Peristiwa yang dikenal Palagan Ambarawa 15 Desember 1945
dan dijadikan Hari Kartika Eka Paksi (hari TNI AD) itu sama sekali tidak
mengisahkan keterlibatan laskar santri. Menjadi catatan penting bahwa
pemberontakan PKI Madiun lebih banyak dihancurkan oleh Hizbullah, namun
yang ditonjolkan dalam sejarah adalah prestasi Divisi Siliwangi.
Akhirnya di hari-hari kehidupan bangsa yang konon telah merdeka
selama 63 tahun ini, umat Islam selalu terpinggirkan. Bangsa ini memilih
pendidikan sekuler dan mengikuti strategi Yahudi yang memisahkan agama
dengan politik. Mayoritas umat Islam terbawa arus pemikiran yang menolak
nilai-nilai agama menjadi sumber hukum positif. Sekarang dengan
kecanggihan media yang dikontrol asing, perlawanan Islam politik pada
tingkat tertentu dikategorikan sebagai tindak terorisme. Hasbunallah wa
nimal wakil. Amin. ***
sumber : Koran PR/Opini/18 Februari 2009Penyimpangan di Sekitar Teks Proklamasi RI
Ihsan Tandjung – Minggu, 10 Agustus 2008 16:12 WIB
Tidak banyak di antara generasi muda di Indonesia yang mengetahui
bahwa sebenarnya ada problem mendasar di sekitar peristiwa proklamasi
Republik Indonesia. Adalah seorang tokoh sejarah bernama KH Firdaus AN
yang menyingkap terjadinya pengkhianatan terhadap Islam menjelang,
saat, dan setelah kemerdekaan. Menurut beliau semestinya ada sebuah
koreksi sejarah yang dilakukan oleh ummat Islam. Koreksi sejarah
tersebut menyangkut pembacaan teks proklamasi yang setiap tahun
dibacakan dalam upacara kenegaraan.
Dalam penjelasan ensiklopedia bebas wikipedia, naskah proklamasi
ditulis tahun 05 karena sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah
tahun 2605. Berikut isi teks proklamasi yang disusun oleh duet
Soekarno-Hatta:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta
Teks tersebut merupakan hasil ketikan Sayuti Melik (atau Sajoeti
Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan
proklamasi.
Proklamasi kemerdekaan itu diumumkan di Rumah Bung Karno, jl.
Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jum’at,
bulan Ramadhan, pukul 10.00 pagi.
Kritik KH Firdaus AN terhadap teks Proklamasi diatas:
- Teks Proklamasi seperti tersebut diatas jelas melanggar konsensus, atau kesepakatan bersama yang telah ditetapkan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 22 Juni 1945.
- Yang ditetapkan pada 22 Juni 1945 itu ialah, bahwa teks Piagam Jakarta harus dijadikan sebagai Teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.
- Alasan atau dalih Bung Hatta seperti diceritakan dalam bukunya Sekitar Proklamasi hal. 49, bahwa pada malam tanggal 16 Agustus 1945 itu, ‘Tidak seorang di antara kami yang mempunyai teks yang resmi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta, ‘ tidak dapat diterima, karena telah melanggar kaidah-kaidah sejarah yang harus dijunjung tinggi. Mengapa mereka tidak mengambil teks yang resmi itu di rumah beliau di Jl. Diponegoro yang jaraknya cukup dekat, tidak sampai dua menit perjalanan? Mengapa mereka bisa ke rumah Mayjend. Nisimura, penguasa Jepang yang telah menyerah dan menyempatkan diri untuk bicara cukup lama malam itu, tapi untuk mengambil teks Proklamasi yang resmi dan telah disiapkan sejak dua bulan sebelumnya mereka tidak mau? Sungguh tidak masuk akal jika esok pagi Proklamasi akan diumumkan, jam dua malam masih belum ada teksnya. Dan akhirnya teks itu harus dibuat terburu-buru, ditulis tangan dan penuh dengan coretan, seolah-olah Proklamasi yang amat penting bagi sejarah suatu bangsa itu dibuat terburu-buru tanpa persiapan yang matang!
- Teks Proklamasi itu bukan hanya ditandatangani oleh 2 (dua) orang tokoh nasional (Soekarno-Hatta), tetapi harus ditanda-tangani oleh 9 (sembilan) orang tokoh seperti dicantum dalam Piagam Jakarta. Keluar dan menyimpang dari ketentuan tersebut tadi adalah manipulasi dan penyimpangan sejarah yang mestinya harus dihindari. Teks itu tidak otentik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Deklarasi Kemerdekaan Amerika saja ditandatangani oleh lebih dari 5 (lima) orang tokoh.
- Teks Proklamasi itu terlalu pendek, hanya terdiri dari dua alinea yang sangat ringkas dan hampa, tidak aspiratif. Ya, tidak mencerminkan aspirasi bangsa Indonesia; tidak mencerminkan cita-cita yang dianut oleh golongan terbesar bangsa ini, yakni para penganut agama Islam. Tak heran banyak pemuda yang menolak teks Proklamasi yang dipandang gegabah itu. Tak ada di dunia, teks Proklamasi atau deklarasi kemerdekaan yang tidak mencerminkan aspirasi bangsanya. Teks Proklamasi itu manipulatif dan merupakan distorsi sejarah, karena tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Dalam sejarah tak ada kata maaf, karena itu harus diluruskan kembali teks Proklamasi yang asli. Adapun teks Proklamasi yang otentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945 itu sesuai dengan teks atau lafal Piagam Jakarta.
Jelasnya, teks proklamasi itu haruslah berbunyi seperti di bawah ini:
PROKLAMASI
Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 22 Juni 1945
Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH. Wahid Hasjim, Mr. Muh Yamin.
KH Firdaus AN mengusulkan supaya dilakukan koreksi sejarah. Untuk
selanjutnya, demi menghormati musyawarah BPUPKI yang telah bekerja keras
mempersiapkan usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, maka semestinya
pada setiap peringatan kemerdekaan RI tidak lagi dibacakan teks
proklamasi “darurat” susunan BK-Hatta. Hendaknya kembali kepada
orisinalitas teks proklamasi yang otentik seperti tercantum dalam Piagam
Jakarta 22 Juni 1945 diatas.
Benarlah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang
mensinyalir bahwa dekadensi ummat terjadi secara gradual. Didahului
pertama kali oleh terurainya ikatan Islam berupa simpul hukum (aspek
kehidupan sosial-kenegaraan). Tanpa kecuali ini pula yang menimpa negeri
ini. Semenjak sebagian founding fathers negeri ini tidak berlaku
“amanah” sejak hari pertama memproklamirkan kemerdekaan maka diikuti
dengan terurainya ikatan Islam lainnya sehingga dewasa ini kita lihat
begitu banyak orang bahkan terang-terangan meninggalkan kewajiban
sholat. Mereka telah mencoret kata-kata “syariat Islam” dari teks
proklamasi. Bahkan dalam teks proklamasi “darurat” tersebut nama Allah
ta’aala saja tidak dicantumkan, padahal dibacakan di bulan suci
Ramadhan! Seolah kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak ada
kaitan dengan pertolongan Allah ta’aala…!
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً
فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا
وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap
satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul
berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir
adalah sholat.” (HR. Ahmad 45/134)
~ Tragedi 18 Agustus
April 27, 2012https://ruangjuang.wordpress.com/2012/04/27/tragedi-18-agustus/
oleh : Endang Saefudin Anshari MA
Mohammad Natsir menyebut Piagam Jakarta
sebagai tonggak sejarah bagi tercapainya cita-cita Islam di bumi
Indonesia. Sayang, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia
dibacakan, ikhtiar umat Islam Indonesia untuk menegakkan syariat Islam
lewat Piagam Jakarta yang sebelumnya disepakati oleh tokoh-tokoh
nasional, ditelikung di tengah jalan. Natsir menyebut penghapusan
tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan
kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam
diproklamirkan. Terhadap peristiwa pahit itu, Natsir mengatakan,” insya
Allah umat Islam tidak akan lupa!”
Jakarta, Jalan Pegangsaan 65, 17 Agustus 1945. Para aktivis dan pejuang kemerdekaan berkumpul. Naskah proklamasi yang masih berbentuk tulisan tangan siap dibacakan. Soekarno berdiri di depan mikropon didampingi Mohammad Hatta, membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat menyambut gegap gempita. Menyemut di jalan-jalan sambil meneriakkan secara serempak satu kata: Merdeka!
Jakarta, Jalan Pegangsaan 65, 17 Agustus 1945. Para aktivis dan pejuang kemerdekaan berkumpul. Naskah proklamasi yang masih berbentuk tulisan tangan siap dibacakan. Soekarno berdiri di depan mikropon didampingi Mohammad Hatta, membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat menyambut gegap gempita. Menyemut di jalan-jalan sambil meneriakkan secara serempak satu kata: Merdeka!
Tetapi tahukah Anda? Ada peristiwa penting yang tidak diketahui oleh
sebagian orang, terutama generasi bangsa saat ini, bahwa detik-detik
jelang pembacaan naskah proklamasi, upacara dimulai dengan pembacaan UUD
1945 yang berlandaskan Piagam Jakarta. Pembacaan itu dilakukan oleh Dr
Moewardi yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Panitia
Suwirjo, kemudian setelah diawali pidato singkat, barulah Soekarno
membacakan naskah proklamasi. Keterangan ini dikutip oleh Ridwan Saidi
dari buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis oleh
Sidik Kertapati.
Dan tahukah Anda? Ketika proklamasi dibacakan, tak ada satupun tokoh
Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Seharusnya, dalam
suasana kemerdekaan dan untuk menunjukkan rasa persatuan, mereka hadir
dalam acara tersebut.
Ada dugaan, ketidakhadiran kelompok Kristen itu dikarenakan
keberatan mereka terhadap Piagam Jakarta yang diduga bakal dibacakan
Soekarno dalam proklamasi kemerdekaan. Sementara tokoh-tokoh yang hadir
ketika itu adalah: Mohammad Hatta, KH A Wahid Hasyim, Abikoesno
Tjokrosoejoso, Soekarjo Wirjopranoto, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Dr
Radjiman Wedyoningrat, Soewirjo, Ny. Fatmawati, Ny. SK Trimurti, Abdul
Kadir (PETA), Daan Jahja (PETA), Latif Hendraningrat (PETA), Dr.
Sutjipto (PETA), Kemal Idris (PETA), Arifin Abdurrahman (PETA), Singgih
(PETA), Dr Moewardi, Asmara Hadi, Soediro Soehoed Sastrokoesoemo, Djohar
Noer, Soepeno, Soeroto (Pers), S.F Mendoer (Pers), Sjahrudin (Pers).
Kenapa kalangan Kristen tak menghadiri acara penting dan sangat
bersejarah itu? Belakangan diketahui, para aktivis Kristen itu sibuk
kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta
penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan
pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai
proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa
Prapatan 10, yang mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB
(tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr
Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama
mereka dengan ditemani dua orang aktivis. Kepada mahasiswa, mereka
keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi
mereka sangat menusuk perasaan golongan Kristen.
Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ktut Pudja,
dan dua orang aktivis asal Kalimantan Timur, agar seolah-olah suara
mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah Timur. Mereka juga sengaja
melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan
menekan, dan berharap isu ini juga menjadi tanggungjawab mahasiswa.
Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para
mahasiswa untuk datang menemuinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan
itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit, dan Imam Slamet. Setelah
berdialog, Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam
Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta, malam itu juga para mahasiswa
menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen
Indonesia Timur.
Singkat kata, keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan rapat
dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta.
Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan
dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30
WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB. Belakangan diketahui, mulur-nya
rapat tersebut disebabkan terjadinya perdebatan yang sengit dalam
lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam
Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman Singodimejo,
Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A Wahid Hasyim.
Pertemuan dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang.
Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno
memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan
menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum
Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan
Piagam Jakarta. Soekarno kemudian hanya mengirim seorang utusan untuk
turut dalam lobi yang bernama Teuku Muhammad Hassan.
Seperti dikutip dalam buku R.M.A.B Kusuma Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik
Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Ki Bagus Hadikusumo bahkan lebih tegas
lagi meminta kata-kata ”bagi pemeluk-pemeluknya” ditiadakan,sehingga
berbunyi:”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Artinya, dalam
pandangan Ki Bagus, syariat Islam harus berlaku secara umum di
Indonesia.
Lobi yang berlangsung sengit tak juga meluluhkan pendirian Ki Bagus
Hadikusumo. Lobi-lobi dan bujukan dari utusan Soekarno Teuku Muhammad
Hassan dan tokoh sekaliber KH A Wahid Hasyim pun tak mampu mengubah
pendiriannya. Di sinilah peran Kasman Singodimejo yang sesama orang
Muhammadiyah, melakukan pendekatan secara personal dengan Ki Bagus.
Dalam memoirnya yang berjudul Hidup Adalah Perjuangan, Kasman
menceritakan aksinya melobi Ki Bagus. Dengan bahasa Jawa yang sangat
halus, ia mengatakan kepada Ki Bagus:
“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari
ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita
bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya
untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia,
terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?! Kiai, sekarang
ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang
tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang
masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang
tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen) adalah sekutu
termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern
juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol. Kiai, di dalam rancangan
Undang-undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum
satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar
yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan
Undang-undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang
sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!
Kiai, tidakkah bijaksanaan jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang
mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud
demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia
Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram,
diridhai Allah SWT.”
(Hidup Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1982)
Kepada Ki Bagus Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan
oleh Hatta, bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha
Esa.” KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi
itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah SWT, bukan yang
lainnya.Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti
Ketuhanan dalam Pancasila.”Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang
Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa,”kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang
mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti
kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam. Soekarno
ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-undang Dasar
sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau kita telah bernegara
di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan
kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang
yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
Para tokoh Islam saat itu menganggap ucapan Soekarno sebagai “janji”
yang harus ditagih. Apalagi, ucapan Soekarno itulah setidaknya yang
membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukan ajaran-ajaran
Islam dalam Undang-undang yang lengkap dan tetap nantinya.”Hanya dengan
kepastian dan jaminan 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan
dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat
Undang-undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam
undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu
untuk menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.
Selain itu soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan
pada suatu situasi terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular selalu
mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan membutuhkan
persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut Kasman dalam memoirnya bahwa
kalangan sekular pintar memanfaatkan momen psikologis, dimana bangsa ini
butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu perpecahan
harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari
awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu
legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata
tersebut, meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara
kalangan sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat move politik yang
memaksakan kehendak mereka.
Alkhulasah, dalam hitungan kurang dari 15 menit seperti diceritakan
oleh Hatta, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Setelah itu Hatta
masuk ke dalam ruang sidang Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia
(PPKI) dan membacakan empat perubahan dari hasil lobi tersebut. Berikut
hasil perubahan kemudian disepakati sebagai preambule dan batang tubuh
UUD1945 yang saat ini biasa disebut dengan UUD 45:
Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata “Pembukaan”.
Kedua, anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan,” negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketiga, kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
Keempat, terkait perubuahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi
“Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai ganti dari,
“Negara berdasarkan atas Ketuhan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Inilah musibah terbesar bagi umat Islam di negeri ini. Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dengan sedih dan perih mengatakan,
Kedua, anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan,” negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketiga, kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
Keempat, terkait perubuahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi
“Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai ganti dari,
“Negara berdasarkan atas Ketuhan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Inilah musibah terbesar bagi umat Islam di negeri ini. Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dengan sedih dan perih mengatakan,
”Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras
otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka bangsa ini,
kemudian di dalam rapat ”Panitia Persiapan Kemerdekan” pada tanggal 18
Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa
sebabnya? Kekuatan apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan
itu terjadi?”
Selain Prawoto, tokoh Masyumi lainnya seperti KH M. Isa Anshari dan
Mohammad Natsir juga merasakan keperihan serupa. Isa Anshari menyebut
peristiwa itu sebagai kejadian yang mencolok mata, yang dirasakan
seperti ”permainan sulap” dan pat-gulipat politik yang diliputi kabut
rahasia. Sementara Natsir mengatakan, penghapusan tujuh kata tersebut
sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada
umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam
diproklamirkan. Natsir menegaskan, peristiwa tanggal 18 Agustus 1945
adalah peristiwa sejarah yang tak bisa dilupakan. ”Menyambut proklamasi
tanggal 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, tanggal 18
Agustus, kita istighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa,” kata
Natsir.
Siapa orang yang paling bertanggungjawab dalam penghapusan tujuh
kata tersebut? R.M.A.B Kusuma dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar
1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2
Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004) mengatakan,
”Bung Hatta adalah orang yang paling bertanggungjawab terhapuskannya
”tujuh kata” dari Piagam Jakarta. Beliau konsisten mengikuti ajaran
yang dianutnya. Beliau menghapus ”tujuh kata” tanpa berunding dengan
tokoh-tokoh Islam yang menyusun ”perjanjian luhur” Piagam Jakarta,
yakni: K.H Wachid Hasjim, K.H Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan
Abikusno Tjokrosujoso. Beliau hanya berunding dengan Ki Bagus Hadikusumo
yang bukan penyusun Piagam Jakarta dengan janji bahwa hal itu akan
dibahas lagi di sidang MPR yang akan dibentuk. Pertimbangan beliau hanya
didasarkan pada pendapat orang Jepang yang mengaku utusan dari
Indonesia Timur. Beliau tidak menyatakan berunding dengan utusan
Indonesia Timur yang resmi, yakni D.G Ratulangie, M.r J. Latuharhary,
Andi Pangeran Petta Rani, Andi Sultan Daeng Raja, dan Mr Ketut Pudja.”
Dalam buku tersebut Kusuma juga mengatakan, ikhtiar penghapusan
tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dilakukan Hatta, yang mengaku
mendapat desakan dari kelompok Kristen di Indonesia Timur, tak lain
makin memperlihatkan sikap dan keyakinan politik Hatta yang sekular,
yang berusaha memisahkan ”urusan agama” dan ”urusan negara”. Hatta, kata
Kusuma, bahkan tidak pernah mengucapkan kata-kata yang identik dengan
Islam, seperti Allah subhana wa Ta’ala, Alhamdulillah, dan sebagainya.
Kusuma juga menuliskan keterangan yang berbeda dengan buku-buku
sejarah dan pernyataan Kaman Singodimejo yang menyebut KH A Wahid Hasyim
ikut dalam lobi untuk menghapuskan tujuh kata tersebut. Kusuma
mengatakan, saat lobi terjadi KH A Wahid Hasyim sedang berpergian ke
Surabaya. ”Keterangan Bung Hatta bahwa pada tanggal 18 Agustus 1945
beliau telah berunding dengan KH A Wahid Hasyim tidak sesuai dengan
kenyataan,” tegas Kusuma. Selain itu, tokoh Masyumi Prawoto
Mangkusasmito juga menyangsikan kehadiran KH A Wahid Hasyim dalam lobi
tersebut.
Sikap Hatta yang mengambil ikhtiar sendiri melakukan lobi-lobi
politik dengan tokoh-tokoh yang bukan penandantangan Piagam Jakarta juga
dipertanyakan dengan keras oleh KH Isa Anshari,
”Benarkah langkah Hatta tersebut dilakukan atas keberatan kalangan
Kristen dari Indonesia bagian Timur sebagaimana disampaikan melalui
opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang)? Tapi kenapa Hatta sendiri tidak
melibatkan A.A Maramis yang Kristen dan menjadi salah satu penandatangan
Piagam Jakarta, juga tidak mengajak serta minta persetujuan K.H Wachid
Hasyim dan H. Agus Salim yang juga penandatangan Piagam Jakarta yang
mewakili kalangan Islam? Kenapa Hatta malah melobi Ki Bagus Hadikusumo
yang tidak menjadi penandatangan Piagam Jakarta?”
Untuk menepis segala tudingan itu, belakangan Hatta menceritakan
kronologis peristiwa penghapusan tujuh kata tersebut dalam buku Sekitar
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia:
”Pada sore hari (Tanggal 17 Agustus 1945) aku menerima telepon dari
Tuan Nishijima, pembantu Admiral Maeda menanyakan dapatkah aku menerima
seorang Opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu
hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishijima sendiri akan menjadi
juru bahasanya. Aku persilahkan mereka datang. Opsir itu, yang aku lupa
namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh,
bahwa wakil Protestan dan Katholik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut
Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat pembukaan
Undang-undang Dasar yang berbunyi: Kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya.
Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka,
hanya mengikat rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan
seperti itu dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar,
berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika
”diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar
Republik Indonesia…
Opsir tadi mengatakan, bahwa itu adalah pendirian dan perasaan
pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun.
Mungkin waktu itu Mr AA Maramis cuma memikirkan, bahwa bagian kalimat
itu hanya untuk Rakyat Islam yang 90% jumlahnya dan tidak mengikat
rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasakan bahwa penetapan
itu adalah suatu diskriminasi…
Karena Opsir Angkatan laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai
Indonesia merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada semoboyan
yang selama ini didengung-dengungkan ”Bersatu kita teguh dan berpecah
kita jatuh”, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandanganku.
Tergambar di mukaku perjuanganku yang lebih dari 25 tahun lamanya,
dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia merdeka,
bersatu dan tidak berbagi-bagi. Apakah Indonesia merdeka yang baru saja
dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena suatu hal
yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di
luar Jawa dan Sumatra akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan
menjalankan politik divide et impera, politik memecah dan menguasa.
Setelah aku terdiam sebentar, kukatakan kepadanya, bahwa esok hari dalam
sidang panitia persiapan kemerdekaan akan ku kemukakan masalah yang
sangat penting itu. Aku minta ia menyabarkan sementara pemimpin Kristen
yang berhati panas dan berkeras kepala itu, supaya mereka jangan
terpengaruh oleh propaganda Belanda…”
Benarkah keterangan Hatta yang mengatakan ada opsir Jepang, yang
datang membawa pesan penting dari kelompok Kristen di Indonesia Timur?
Kenapa pesan dan peristiwa penting dalam pertemuan Hatta dengan opsir
Jepang itu memunculkan pengakuan Hatta yang sangat naif bahwa dirinya
lupa tentang nama opsir tersebut? Sebuah logika sederhana akan
mengatakan, jika ada seorang yang membawa pesan penting, apalagi ini
menyangkut masalah bangsa dan akan mempengaruhi sejarah bangsa ke depan,
tentu Anda akan bertanya nama dari pembawa pesan tersebut. Sebagai
sebuah bukti adanya pertemuan itu, seharusnya Hatta mencatat nama Opsir
Jepang itu!
Karena Hatta mengaku lupa nama Opsir itu, padahal peristiwa sejarah
yang sangat penting membutuhkan detil peristiwa yang valid, maka tak
heran jika ada yang meragukan keterangan Hatta soal opsir Jepang itu?
Menurut Ridwan Saidi, seperti dikutip dari Dr Sujono Martosewojo
dkk, dalam buku ”Mahasiswa ’45 Prapatan 10”, anggapan bahwa ada opsir
Jepang yang datang ke rumah Hatta pada petang hari tanggal 18 Agustus
1945 kemungkinan karena kesalahpahaman saja. Iman Slamet, mahasiswa
kedokteran yang menemani Piet Mamahit menemui Hatta memang berpostur
tinggi, rambut pendek, mata sipit, dan suka berpakaian putih-putih. Iman
Slamet inilah yang kemungkinan dikira sebagai opsir Jepang oleh Hatta.
Seperti ditulis di atas, bahwa Dr Sam Ratulangi mendatangi kelompok
mahasiswa Prapatan pada pukul 12.00, tanggal 17 Agustus 1945, dan
meminta mereka untuk terlibat dalam usaha penghapusan tujuh kata dalam
Piagam Jakarta. Kemudian mahasiswa itu menghubungi Hatta, dan Hatta
mengatur pertemuan pada sore harinya, maka keterangan Hatta soal adanya
pertemuan dengan opsir Jepang, yang ia lupa namanya, diragukan. Karena
itu dalam sebuah diskusi tentang Piagam Jakarta, Ridwan Saidi
mengatakan, ”dengan segala hormat saya pada Bung Hatta, dia seorang yang
bersahaja, tapi dalam kasus Piagam Jakarta saya harus mengatakan bahwa
dia berdusta.”
Penelitian Ridwan Saidi dikuatkan dengan sebuah buku yang
diterbitkan di Cornell University AS, yang mengatakan bahwa dalang
dibalik sosok misterius opsir Jepang itu adalah Dr Sam Ratulangi, yang
disebut dalam buku itu sebagai an astute Christian politician from
Manado, North Sulawesi (Seorang politisi Kristen yang licik dari
Sulawesi Utara).
Umat Islam dan bangsa ini sampai saat ini masih menyimpan pertanyaan
besar, kenapa Hatta memilih berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang
bukan penandatangan Piagam Jakarta? Kenapa pula Hatta tidak berunding
dengan tokoh Kristen penandantangan Piagam Jakarta, dan lebih memilih
mendengarkan ”pesan” yang menurutnya disampaikan opsir Jepang tersebut?
Selubung kabut sejarah ini harus diungkap, demi sebuah kejujuran
sejarah, demi kebenaran sesungguhnya!
Kisah Kasman Singodimejo dan Terhapusnya Piagam Jakarta
Seperti diceritakan di atas, karena lobi personal ala Kasman
Singodimejo yang diminta untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo,
Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu yang tetap keukeuh dengan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta, diktum soal kewajiban menjalankan syariat Islam
dihapuskan.
Kasman, seperti ditulis dalam memoirnya mengatakan, sikap itu
diambil karena tokoh-tokoh saat itu tidak mau negeri yang baru saja
diprokalmirkan kemerdekaannya pecah karena perdebatan soal tujuh kata
dalam Piagam Jakarta. Apalagi, ada konsesi, tujuh kata itu diganti
dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang dalam pengertian Kasman identik
dengan Islam.
Dalam memoirnya Hidup Adalah Perjuangan: 75 Tahun Kasman
Singodimejo, ia menceritakan, kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta
dan diminta sebagai anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia adalah atas permintaan Soekarno. Padahal, ketika itu ia sedang
bertugas di Jawa barat. Sebagai Panglima Tentara saat itu, ia
ditugaskan mengamankan senjata dan mesiu untuk tidak jatuh ke tangan
Jepang
Setelah sukses melobi Ki Bagus Hadikusumo dan rapat memutuskan
penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, malam harinya
Kasman gelisah tak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tak bicara, diam
membisu:
”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief
Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon telah mengepung Daidan, dan
kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan.Selesai
laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak
kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni.
Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah
meminta maaf terlebih dahulu.
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari
kesalah pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini
adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai
militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung
Karno!?
….malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu
sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara,
sayapun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa
yang harus saya marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini
ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang
menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua,
hilangnya sejumlah senjata dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu
itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh
dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno
yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu.
Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang
perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah
mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat
baik, ingin bangsa ini bersatu. “Sayalah yang bertanggung jawab dalam
masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman
sambil menetaskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah
Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus
itu.
Seolah ingin mengobati rasa bersalah penyesalannya pada peristiwa 18
Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957,
Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimejo” tetapi berubah menjadi
“Singa di Podium” yang menuntut kembalinya tujuh kata dalam Piagam
Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Berikut kutipan pidatonya:
“Saudara ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan
Undang-undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara yang
tent-tentu itu ialah Dewan Kosntituante ini! Justru itulah yang menjadi
way out daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan
kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidati saya
dalam pandangan umum babak pertama.
Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki
Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu
itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan
Undang-undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung
Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putera Aceh
menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan
kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan
bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat
Undang-undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo
untuk menanti.
Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah
meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke
rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6
bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya
menanti sampai dengan wafatnya…
Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada
“janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut.
Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr.
T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih
hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini….
Suadara ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang
terhormat ini, saudara ketua, dimanakah kami golongan Islam menuntut
penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof. Mr
Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara
Prof Mr. Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!
Saudara ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami
golongan Islam telah difait-a complikan dengan suatu janji dan/atau
harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan
yang permanen, saudara ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan
Konstituante sekarang ini difait-a complikan lagi dengan
anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar
Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu
gugat! Sebab fait-a compli semacam itu sekali ini, saudara ketua, hanya
akan memaksa dada meledak!”
Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat berapi-api
mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan
kesalahan yang sangat luar biasa. Dalam pidato tersebut, Kasman secara
detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar
negara, dan mempersilakan golongan lain untuk mengemukakan
alasan-alasannya terhadap Pancasila.
Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan
tak akan ada habisnya untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika
negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan
dasar negara tak lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil
diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang universal itu, yaitu
Islam.
Kasman mengatakan,
“Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, “si penggali,” air
dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir
seperti nabi atau lebih daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat.
Sedang air dalam tempayan itu, lama kelamaan, secara tidak terasa
mungkin, dianggapnya sebagai air yang keramat, ya sebagai supergeloof
yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh
didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”
Dekrit Presiden dan Status Piagam Jakarta
Perdebatan dalam Sidang Majelis Konstituante memang berjalan sengit.
Inilah sidang yang memakan waktu cukup lama, dari tahun 1956 sampai
dengan 1959.Masing-masing kelompok tanpa tedeng aling-aling mengemukakan
gagasan-gagasannya. Mohammad Natsir menyebut suasana saat itu dengan
istilah masa-masa konfrontasi dalam suasana toleransi.
Kelompok Islam dimotori oleh M Natsir, Hamka, Kasman Singodimejo,
dan lain-lain, serta para tokoh NU, sepakat mengajukan Islam sebagai
dasar negara.Kelompok Islam mempersilakan kelompok lain untuk
menyampaikan gagasannya secara terbuka, jika memang mereka mempunyai
konsep yang jelas soal kenegaraan.
Pada 22 April 1959, Soekarno yang menganggap sidang konstituante
terlalu bertele-tele dan alot. Ia kemudian menyampaikan pidato berjudul
“Res Publica, Sekali Lagi Res Publica” di Majelis Konstituante yang
meminta para anggota majelis untuk segera kembali kepada UUD 1945,
seperti yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945.
Kemudian pada 2 Juni 1959 majelis mengadakan pemungutuan suara dalam
rangka kembali ke UUD 45, dengan dua pilihan yang diajukan: Pertama,
kembali kepada UUD 1945 seperti dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Kedua,
kembali pada UUD 1945 dengan memasukkan anak kalimat Piagam Jakarta ke
dalamnya. Voting itu menghasilkan 263 suara setuju kembali ke UUD 1945
seperti dirumuskan tanggal 18 Agustus 1945 dan 203 mendukung UUD 1945
yang di dalamnya berisi tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi.
Dekrit dirumuskan di Istana Bogor, pada 4 Juli 1959, dan dibacakan
di Istana Merdeka, Jakarta, pada Ahad 5 Juli 1959, pukul 17.00 WIB
dengan isi sebagai berikut:
DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
ANGKATAN PERANG
Dengan ini menyatakan dengan khidmat;
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada
Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat
Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak
memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota Sidang
Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang,
Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan
oleh rakyat kepadanya.
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang
membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta
merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur.
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong
oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan negara proklamasi.
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945
menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian
kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/
PANGLIMATERTINGGI ANGKATAN PERANG
PANGLIMATERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari
tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang
Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri
atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan utusan-utusan daerah
dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
sementara, akan diselenggaerakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959
Atas nama rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno.
Atas nama rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno.
Profesor A Sanusi, seperti dikutip Endang Saifudin Anshari,
mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang disebut dalam dekrit 5 Juli 1959
adalah kembalinya gentlement agreement dalam rangka persatuan dan
perjuangan nasional. Karena itu posisi Piagam Jakarta senapas dengan
konstitusi 1945. Sanusi mengatakan kata “menjiwai” dalam dekrit tersebut
berarti memberi jiwa. Sedang memberi jiwa berarti memberi kekuatan.
Kata “menjiwai” yang kemudian dirangkaikan dengan kata-kata “Suatu
rangkaian kesatuan” menunjukan bahwa Piagam Jakarta merupakan satu
rangkaian yang tak terpisah dengan UUD 1945.
Profesor Notonagoro, seorang ahli yang banyak melakukan penelitian
tentang Pancasila mengatakan, pengakuan tentang Piagam Jakarta dalam
dekrit itu berarti pengakuan akan pengaruhnya dalam UUD 1945, tidak
hanya pengaruh terhadap pasal 29, pasal yang harus menjadi dasar bagi
kehidupan hukum di bidang keagamaan.
Dengan demikian, perkataan “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945 bisa
berarti “Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan
syariatnya”, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan
atau peraturan pemerintah lain. Dengan syariat Islam, ketetapan pasal
29 ayat 1 tetap berlaku bagi agama lain untuk mendasarkan aktivitas
keagamaanya
KH. Saifuddin Zuhri, dalam sebuah peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, mengatakan,
“Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka hapuslah segala selisih
dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22
Juni 1945. Piagam yang pernah menjadi pengobar dan bebuka Revolusi
Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan
ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian
kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata
terhadap setiap perundang-undangan negara dan kehidupan ideologi seluruh
bangsa”
Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Studi Tentang Percaturan dalam
Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:LP3ES, 1985)
mengatakan konsideran dalam dekrit tersebut merupakan kompromi antara
pendukung Pancasila dan Islam. Menurut Maarif, konsideran tersebut
mempunyai makna konstitusional, meskipun implisit, namun gagasan
melaksanakan syariat Islam tidak dimatikan. “Inilah barangkali tafsiran
yang akurat dan adil terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam
Jakarta. Penafsiran yang lain dari ini, disamping tidak punya makna,
juga bersifat ahistoris,” jelasnya.
Pendapat serupa ditulis oleh Prof Hazairin, yang mengatakan bahwa
Piagam Jakarta yang dikatakan dalam Dekrit 5 Juli 1959 sebagai
“menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” bagi UUD 1945 adalah maha
penting bagi penafsiran pasal 29 1 UUD 1945, yang tanpa perangkaian
tersebut maknanya menjadi kabur dan dapat menimbulkan penafsiran yang
beragam dan absurd, karena penjelasan yang resmi mengenai pasal tersebut
tidak mencukupi, karena desakan waktu.
Penghapusn tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agutus 1945
merupakan toleransi dari umat Islam yang menuntut diberlakukannya
syariat Islam bagi pemeluknya. Dekrit Soekarno jelas menegaskan soal
keberadaan Piagam Jakarta, yang “menjiwai” dan menjadi “rangkaian
kesatuan” konstitusi bangsa ini.
Siapa yang menggagas ide untuk kembali ke konstitusi 1945 dan
menyebut soal Piagam Jakarta dalam dekrit presiden tersebut? Ide
tersebut ternyata datang dari kalangan militer, yaitu Jenderal AH
Nasution. Mengenai hal ini bisa dilihat dalam buku Islam di Mata Para
Jenderal, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1997, hal 20), yang memuat hasil
wawancara dengan Jenderal Nasution.
Keterangan ini dikuatkan oleh pengakuan tokoh NU, KH Saifudin Zuhri
yang menceritakan bahwa suatu hari di awal bulan Juli 1959 pada pukul
01.30 dini hari ia ditelepon KH Idham Chalid. Kepada Zuhri, Kiai Idham
Chalid memintanya datang ke rumahnya di jalan Jogja 51 dini hari itu
juga, terkait dengan rencana kedatangan dua orang pejabat amat penting.
Pukul 02.00 lebih sedikit, Zuhri sudah tiba di rumah Kiai Chalid. Tak
berapa lama datang dua orang pejabat penting itu, yang tak lain adalah
Jenderal A. H Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat/ Menteri Keamanan dan
Pertahanan, dan Letkol CPM R. Rusli, Komandan CPM (Corp Polisi Militer)
seluruh Indonesia.
Kedua orang pejabat tentara itu meminta saran kepada dua orang tokoh
NU tersebut terkait rencana keberangkatan mereka untuk menemui Soekarno
yang sedang berobat di Jepang. Dari kalangan tentara saat itu ingin
mengusulkan kepada presiden Soekarno agar UUD 1945 diberlakukan kembali
lewat Dekrit Presiden. Terkait hal itu, dua orang petinggi militer itu
meminta saran kepada tokoh NU untuk memberikan materi apa saja yang akan
dimasukan dalam dekrit.
“Isinya terserah pemerintah, tetapi hendaklah memperhatikan
suara-suara golongan Islam dalam Konstituante,” kata Kiai Idham Chalid.
“Apa kongkretnya tuntutan golongan Islam itu,” tanya Jenderal Nasution.
“Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai menjiwai UUD 1945,” jawab Saifudin Zuhri.
“Bagaimana sikap NU apabila presiden menempuh jalan dekrit?” Tanya Nasution.
“Kami tidak bisa katakan, itu hak presiden untuk menempuh jalan
menyelamatkan negara,” jawab Kiai Idham Chalid. (Lihat M. Ali Haidar,
Nahdatul Ulama dan Islam Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik,
Jakarta:PT Gramedia Pustakan Utama, 1998, cet. Kedua, hal. 286).
Soal keterlibatan Jenderal Nasution dalam menggagas upaya kembali ke
UUD 1945 dengan syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dan
rangkaian kesatuan dari UUD, dan sikap NU yang menerima usulan tersebut
dengan syarat Piagam Jakarta diposisikan seperti itu, juga ditulis oleh
pengamat NU, Andree Feillard dalam buku ”NU vis-a-vis Negara.”
Andree Feillard menggambarkan sikap NU terhadap Piagam Jakarta ketika itu seperti berikut:
”Pada tahun 1959, NU bersedia kembali ke Undang-undang Dasar 1945
dengan syarat Piagam Jakarta diakui ”menjiwai” dan ”satu rangkaian”
dengan Undang-Undang Dasar tersebut. Meskipun Pengurus Besar NU merasa
puas dengan kompromi ini, namun tidaklah demikian halnya dengan beberapa
cabang daerah. PBNU terpaksa menyebarkan edaran yang menjelaskan
usaha-usaha mendukung Piagam Jakarta. Dan usaha itu tidak berhenti di
situ. Pada tahun 1962, Nahdlatul Ulama meminta pemerintah supaya
mengupayakan ”seluruh perundang-undangan organik dari UUD secara
otomatis dijiwai oleh Piagam Jakarta. Muktamar itu juga mengusulkan
pembentukan Mahkamah Agung Islam. Dalam pandangannya, Piagam Jakarta
dasar kehidupan hukum positif negara RI.”
Sikap para aktivis NU terhadap Piagam Jakarta, kata Andree Feillard,
juga terlihat dalam pawai-pawai di Jakarta ketika memperingati 40 tahun
hari lahirnya Nahdlatul Ulama. Dalam pawai-pawai tersebut, tuntutan
untuk mengembalikan Piagam Jakarta sebagai bagian dari UUD 1945
bertebaran dalam spanduk yang dibawa di jalan-jalan.
Pada bulan April 1966, para aktivis NU yang berkumpul di Bogor, Jawa
Barat, kembali menegaskan dukungannya terhadap Piagam Jakarta sebagai
berikut:
Karena negara dilandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, yang tidak dapat dipisahkan dari Piagam Jakarta, jalan terbuka
untuk mewujudkan cita-cita partai. Sebab bila Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 benar-benar dijalankan dalam masyarakat,
hasilnya adalah masyarakat yang sesuai dengan cita-cita partai.
Dengan demikian, perjuangan partai harus ditujukan untuk mempertahankan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Piagam Jakarta yang mengilhaminya.
Sikap para aktivis NU dulu dan sekarang tentu saja berbeda. Sejak NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid hingga kini, sikap NU terhadap Piagam Jakarta, bahkan secara umum terhadap penegakkan syariat Islam, terkesan anti dan melakukan penentangan yang keras. Apalagi, sejak virus Sepilis (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) mewabah di kalangan anak-anak muda NU dan sebagian oknum kiai NU, Piagam Jakarta justru dianggap sebagai ancaman terhadap NKRI dan pluralisme.
Belakangan, para aktivis NU yang tergabung dalam jajaran para
pengasong paham Sepilis bahkan menerbitkan sebuah buku propaganda yang
sangat tendensius mengadu-domba antar elemen umat Islam dan antar elemen
umat Islam dengan bangsa Indonesia umumnya, yang berjudul Ilusi Negara
Islam. Buku tersebut, menyerang upaya umat Islam untuk mengembalikan
Piagam Jakarta.
Bahkan, berkolaborasi dengan kelompok Kristen, para pengasong
Sepilis itu juga menyerang Perda-perda Anti Maksiat yang secara
konstitusional lahir dari upaya yang legal dan demokratis. Mereka
menyebut perda-perda tersebut sebagai upaya menegakkan semangat Piagam
Jakarta dan syariat Islam secara umum.
Dari kalimat dekrit yang disampaikan Presiden Soekarno, sampai saat
ini, fakta hukum Piagam Jakarta sebenarnya masih berlaku. Status hukum
Piagam Jakarta sampai saat ini adalah sesuatu yang ”menjiwai” dan
sebagai ”rangkaian kesatuan” dari UUD 1945. Jadi, tinggal kita umat
Islam meminta kepada pemerintah untuk mengumumkan kepada masyarakat
bahwa Piagam Jakarta adalah hak konstitusional umat Islam yang sampai
saat ini masih berlaku.Sebagai sebuah fakta hukum, pemerintah harus
memberlakukan Piagam Jakarta tersebut bagi umat Islam!
Sumber : Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945
Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar negara Republik Indonesia
(1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997, Edisi Ketiga, cet.
Pertama
Proklamasi NII vs Proklamasi RI
Posted by abuqital1 under Proklamasi NII vs Proklamasi RI
https://abuqital1.wordpress.com/2009/06/02/102/
Inilah PERANG IDEOLOGI, PERANG NEGARA dan PERANG ANTARA ISLAM DENGAN KAFIR.
Bila kita sama-sama BERTAFAKKUR dan
memahami masing-masing teks proklamasi tersebut, maka hasilnya TEKS
PROKLAMASI NII SEMPURNA dan JELAS arah tujuannya. Sebagai bahan
perbandingan cobalah ajukan pertanyaan dibawah ini kepada masing-masing
teks proklamasi tersebut:
- Apa judul proklamasi tersebut ?
- Apa yang dinyatakan dalam proklamasi tersebut ?
- Manakah menurut anda yang menyatakan proklamasi berdirinya suatu negara ?
- Apa hukum yang berlaku pada proklamasi negara tersebut ?
- Siapakah pemimpin pada proklamasi tersebut ?
- Tahun berapakah proklamasi tersebut dikumandangkan ?
- Sampai sejauh manakah wilayah kekuasaan yang diproklamirkan menurut masing-masing teks proklamasi tersebut ?
Jawabannya:
Dari segi PROKLAMASI NII:
Sebelum menjawabnya perhatikan teks Proklamasi NII berikut ini:
PROKLAMASI BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA
Bismillahirrohmanirrohim
Dengan nama Alloh yang Maha Pemurah dan yang Maha Asih
Asyhadu anlaa ilaaha illalloh wa asyhadu anna Muhammadan Rosulululloh
Kami ummat Islam bangsa Indonesia
menyatakan BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA maka hukum yang berlaku
atas Negara Islam Indonesia itu ialah HUKUM ISLAM.
Allohu Akbar! Allohu Akbar! Allohu Akbar!
Atas nama ummat Islam bangsa Indonesia
Imam Negara Islam Indonesia
S.M. Kartosuwiryo
Madinah – Indonesia, 12 Syawal 1368/ 7 Agustus 1949
Jawabannya:
- Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia
- Pernyataan berdirinya Negara Islam Indonesia dan hukum yang berlaku atas negara tersebut
- Jelas dong proklamasi NII
- Hukum Islam
- S.M. Kartosuwiryo
- Tahun 1368 H bertepatan dengan tahun 1949 M
- Seluruh Indonesia karena disebutkan madinah Indonesia
Dari segi PROKLAMASI RI:
Sebelum menjawabnya perhatikan teks Proklamasi RI berikut ini (diambil dari naskah yang diketik):
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, Hari 17 Bulan 08 Tahun 05
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/ Hatta
Jawabannya:
- Tidak ada judul proklamasi (tidak jelas proklamasi apaan), kalo disebut proklamasi kemerdekaan RI, pada teks tersebut diatas tidak ada.
- Pernyataan kemerdekaan Indonesia, bukan pernyataan kemerdekaan RI.
- Jelas dong proklamasi NII
- Tidak ada pernyataan hukum, wajar saja karena yang dinyatakan bukan kemerdekaan negara RI tetapi kemerdekaan bangsa Indonesia
- Tidak ada pemimpinnya, yang ada sih pengatas namaan bangsa Indonesia yaitu Soekarno/ Hatta
- Tahun 05, sebenarnya tahun ini masih rancu apakah tahun 05, 1905 atau 2005. Lho itu kan tahun jepang…, kalo memang tahun jepang mestinya tanggal dan bulan juga menurut tahun jepang. Mungkin karena kemerdekaannya dikasih oleh JEPANG melalui BPUPKI maka yang ingat tahun jepang.
- Hanya sekitar Jakarta saja, bukan se-Indonesia. Buktinya tanggal ditetapkannya di Jakarta.
KESIMPULAN:
- Proklamasi NII sempurna dan jelas arahnya, ada maksud dan tujuan. Tetapi pada proklamasi RI tidak jelas arahnya, tergesa-gesa/ darurat (dhorurot, dhiror – dlm bhs. Arab). Buktinya pada proklamasi RI yang asli tersebut terdapat 3 kata yang dicoret yang menggambarkan tergesa-gesa dan tidak punya arah.
- Pada proklamasi NII diawali dengan “basmalah” yang merupakan perintah dalam Islam untuk mengawali perbuatan baik. Ya betul, dengan proklamasi NII tersebut maka ummat Islam bangsa Indonesia telah mengawali pendirian bangunan Negara sebagai tempat sujud (Masjid) setiap hari 24 jam, tidak hanya sujud ketika sholat saja.
- Pada proklamasi RI, tidak diawali dengan “basmalah”, wajar saja bunyinya tidak karuan, tergesa-gesa, banyak coretan sehingga hasilnya juga tidak karuan. Buktinya sekarang kemaksiatan, kehinaan, kerendahan dimana saja marak. Pezina “di pekerjakan” dan “dikawinkan” oleh hukum negara tersebut. Pemabuk dan Pedagang Miras di “tertibkan” bukan sebaliknya “dilarang”. Itu contoh kecilnya. Itu semuanya disebabkan kufur terhadap ayat Alloh, membunuh para pembawa risalah-Nya, berbuat durhaka dan melampaui batas.
- Wahai kaum muslimin di Indonesia camkanlah firman Alloh SWT. dibawah ini:
- “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” Qs. Ali Imron (3):112)
- (107) dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (108) Janganlah kamu berdiri dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu berdiri di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (109) Maka Apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan Dia ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim. Qs. At Taubah (9):107-109
5. Setelah anda paham lalu bertindaklah dengan cara MENINGGALKAN KEMAKSIATAN dan TEMPAT KEMAKSIATAN TERSEBUT
- “dan perbuatan dosa tinggalkanlah.” Qs. Al Mudatstsir (74):5
- “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,” Qs. An Nisa (4):89.
Jenderal Gatot Subroto 1907-1962 (II)
http://sejarahtni.org/sejarah-161-jenderal-gatot-subroto-19071962-ii.html
Gatot
Subroto ditunjuk sebagai komandan sektor front Ambarawa. Pertempuran
ini berlangsung sejak pasukan Serikat mundur dari Magelang tanggal 2l
November 1945 dan berakhir tanggal 15 Desember 1945. Sementara itu
Kolonel Sudirman, Panglima Divisi V Purwokerto diangkat sebagai Panglima
Besar TKR. Kedudukan Panglima Divisi V Purwokerto yang dijabat oleh
Kolonel Sutirto, digantikan oleh Gatot Subroto. la ditetapkan memangku
jabatan itu dengan pangkat Kolonel. Sebagai komandan divisi ia giat
mengadakan inspeksi dan sering berkeliling mengendarai kuda dengan
didampingi beberapa orang perwira muda.
Selaku pemimpin Gatot selalu terbuka untuk didekati dan mendekati bawahannya. Hal itu tercermin diantaranya dalam hubungannya dengan tentara pelajar yang disediakan kompi depot tempat latihan dengan instruktur bekas prajurit KNIL berpengalaman. Sifat kebapakannya sangat dihargai oleh pasukan pelajar Banyumas. Menjelang Agresi Militer Belanda Pertama, markas divisi dikawal oleh sepeleton pasukan tentara pelajar. Saat itu, pesawat pengintai Belanda sering terbang di atas kota Purwokerto. Pada suatu malam, ia menunggang kuda tanpa memakai baju dengan tetap memakai sepatu boot. Di depan pos penjagaan ia berhenti, dan sambil bertolak pinggang ia bertanya kepada pasukan jaga: "Apakah anak-anak takut?" Dijawab oleh kepala jaga: "Takut, Pak". Sambil manggut-manggut Gatot Subroto berkata : "Ya, baik! Orang yang mengatakan tidak takut itu berbohong. Pak Gatot juga takut".
Selaku pemimpin Gatot selalu terbuka untuk didekati dan mendekati bawahannya. Hal itu tercermin diantaranya dalam hubungannya dengan tentara pelajar yang disediakan kompi depot tempat latihan dengan instruktur bekas prajurit KNIL berpengalaman. Sifat kebapakannya sangat dihargai oleh pasukan pelajar Banyumas. Menjelang Agresi Militer Belanda Pertama, markas divisi dikawal oleh sepeleton pasukan tentara pelajar. Saat itu, pesawat pengintai Belanda sering terbang di atas kota Purwokerto. Pada suatu malam, ia menunggang kuda tanpa memakai baju dengan tetap memakai sepatu boot. Di depan pos penjagaan ia berhenti, dan sambil bertolak pinggang ia bertanya kepada pasukan jaga: "Apakah anak-anak takut?" Dijawab oleh kepala jaga: "Takut, Pak". Sambil manggut-manggut Gatot Subroto berkata : "Ya, baik! Orang yang mengatakan tidak takut itu berbohong. Pak Gatot juga takut".
Pada
tahun 1948 Gatot Subroto menikah dengan seorang gadis yang bertugas di
bidang kesehatan, bernama Soepiah. Mereka, dikaruniai enam orang anak,
dua perempuan dan empat laki-laki. Menjelang meletusnya pemberontakan
PKI di Madiun pada 1948, Gatot Subroto diangkat menjadi Panglima Corps
Polisi Militer. Pada waktu itu situasi dalam negeri mulai dilanda
kekacauan yang dilakukan pihak Komunis dalam rangka mematangkan situasi
pemberontakan. Kota Solo. dijadikan daerah wild west (daerah tak
bertuan) oleh PKI. Bentrokan bersenjata terjadi antara pasukan Siliwangi
dengan pasukan Panembahan Senopati yang beberapa anggotanya telah
dipengaruhi PKI. Bentrokan itu jelas sangat merugikan perjuangan.
Dalam upaya mengatasi keadaan tersebut, Panglima Besar beserta Kepala Staf Markas Besar Angkatan Perang dan Panglima Corps Polisi Militer mengadakan rapat di MBAP (Markas Besar Angkatan Perang) yang bersepakat mengusulkan kepada pemerintah untuk mengangkat Kolonel Gatot Subroto menjadi Gubernur Militer untuk daerah Surakarta, Madiun dan Pati. Usul itupun diterima. Sebagai Gubernur Militer tugas utamanya ialah mengembalikan keamanan di daerah Surakarta dan melaksanakan penertiban pasukan. Dalam pelaksanaan tugas tersebut ia harus mematahkan kekuatan yang bertujuan hendak menghancurkan Pemerintah. Tugas ini telah dilaksanakannya dengan baik.
Di tengah tercapainya keamanan daerah Surakarta, pada 18 September 1948 PKI melakukan pemberontakan di Madiun. Pemerintah segera bertindak untuk menumpasnya. Gubernur Militer Gatot Subroto mempersiapkan pasukan-pasukan yang akan digerakkan untuk melaksanakan operasi penumpasan dari arah barat. Dalam waktu singkat pemberontakan PKI Madiun berhasil ditumpas. Namun, tiga bulan kemudian, pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua. Selaku Gubernur Militer, Gatot Subroto segera mengatur siasat untuk melaksanakan perang gerilya.
Kolonel Gatot Subroto dengan Jenderal Soedirman memiliki hubungan yang baik. Soedirman menganggap Gatot sebagai kakak, walaupun pangkat Gatot lebih rendah. Setelah Perjanjian Roem-Royen ditandatangani pada 1949, Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta. Tetapi Jenderal Soedirman masih berada di daerah gerilya memimpin anak buahnya dan saat itu ia memutuskan tidak kembali ke Yogya. Hanya surat pribadi Gatot Subrotolah yang berhasil melemahkan pendirian Panglima Besar ini, sehingga pada 10 Juli 1949 Jenderal Soedirman kembali ke Yogya.
Dalam upaya mengatasi keadaan tersebut, Panglima Besar beserta Kepala Staf Markas Besar Angkatan Perang dan Panglima Corps Polisi Militer mengadakan rapat di MBAP (Markas Besar Angkatan Perang) yang bersepakat mengusulkan kepada pemerintah untuk mengangkat Kolonel Gatot Subroto menjadi Gubernur Militer untuk daerah Surakarta, Madiun dan Pati. Usul itupun diterima. Sebagai Gubernur Militer tugas utamanya ialah mengembalikan keamanan di daerah Surakarta dan melaksanakan penertiban pasukan. Dalam pelaksanaan tugas tersebut ia harus mematahkan kekuatan yang bertujuan hendak menghancurkan Pemerintah. Tugas ini telah dilaksanakannya dengan baik.
Di tengah tercapainya keamanan daerah Surakarta, pada 18 September 1948 PKI melakukan pemberontakan di Madiun. Pemerintah segera bertindak untuk menumpasnya. Gubernur Militer Gatot Subroto mempersiapkan pasukan-pasukan yang akan digerakkan untuk melaksanakan operasi penumpasan dari arah barat. Dalam waktu singkat pemberontakan PKI Madiun berhasil ditumpas. Namun, tiga bulan kemudian, pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua. Selaku Gubernur Militer, Gatot Subroto segera mengatur siasat untuk melaksanakan perang gerilya.
Kolonel Gatot Subroto dengan Jenderal Soedirman memiliki hubungan yang baik. Soedirman menganggap Gatot sebagai kakak, walaupun pangkat Gatot lebih rendah. Setelah Perjanjian Roem-Royen ditandatangani pada 1949, Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta. Tetapi Jenderal Soedirman masih berada di daerah gerilya memimpin anak buahnya dan saat itu ia memutuskan tidak kembali ke Yogya. Hanya surat pribadi Gatot Subrotolah yang berhasil melemahkan pendirian Panglima Besar ini, sehingga pada 10 Juli 1949 Jenderal Soedirman kembali ke Yogya.
Menegakkan Keamanan Dalam Negeri
Setelah
Pengakuan Kedaulatan yang berlangsung pada 27 Desember 1949, Kolonel
Gatot Subroto diangkat menjadi Panglima Teritorium Jawa Tengah
berkedudukah di Semarang. Walaupun Perang Kemerdekaan telah selesai,
selaku Panglima Jawa Tengah Gatot Subroto masih melaksanakah operasi
miiter untuk memulihkan keamanan dari gangguan DI/TII.
Selanjutnya pada 1952 Gatot Subroto diangkat sebagai Panglima tentara dan Teritorium VII Wirabuana yang berkedudukan di Ujungpandang. Tugasnya ialah menyelesaikan gangguan keamanan yang disebabkan oleh gerombolan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Ia menggariskan suatu kebijaksanaan rangkap. Di samping operasi tempur dilakukan pada kampanye menyadarkan mereka. Caranya dengan menarik mereka kembali ke dalam TNI secara bertahap. Ia beranggapan bahwa mereka itu adalah bekas pejuang kemerdekaan yang disesatkan oleh pimpinannya. Hasil kebijaksanaan ini menjadikan banyak gerombolan yang sadar. Mereka kemudian dilantik kembali sebagai anggota TNI atau disalurkan ke pekerjaan yang mereka pilih.
Walaupun demikian, tidak semua orang setuju dengan kebijaksanaan ini. Dua orang anggota DPR, yaitu Bebasa Daeng Lalo dan Rondonuwu mencela dengan keras kebijaksanaan itu. Mereka mengirim laporan ke DPR bahwa Kolonel Gatat Subroto menyalahi kebijaksanaan Pemerintah Pusat.
Sesudah peristiwa 17 Oktober 1952, di Jakarta, pada tanggal 18 November 1952 Panglima T & T VII di “daulat” oleh Kepala Stafnya Letnan Kolonel Warrouw. Kekuasaannya diambil alih, karena Gatot Subroto dianggap secara terang-terangan mendukung peryataan pimpinan Angkatan Darat. Sebagai "orang tua" Gatot Subroto memilih mundur dari pada ikut bermain politik yang tidak menentu. Sejak itu, ia menetap di Semarang sebagai orang sipil dan memilih hidup di Ungaran.
Selanjutnya pada 1952 Gatot Subroto diangkat sebagai Panglima tentara dan Teritorium VII Wirabuana yang berkedudukan di Ujungpandang. Tugasnya ialah menyelesaikan gangguan keamanan yang disebabkan oleh gerombolan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Ia menggariskan suatu kebijaksanaan rangkap. Di samping operasi tempur dilakukan pada kampanye menyadarkan mereka. Caranya dengan menarik mereka kembali ke dalam TNI secara bertahap. Ia beranggapan bahwa mereka itu adalah bekas pejuang kemerdekaan yang disesatkan oleh pimpinannya. Hasil kebijaksanaan ini menjadikan banyak gerombolan yang sadar. Mereka kemudian dilantik kembali sebagai anggota TNI atau disalurkan ke pekerjaan yang mereka pilih.
Walaupun demikian, tidak semua orang setuju dengan kebijaksanaan ini. Dua orang anggota DPR, yaitu Bebasa Daeng Lalo dan Rondonuwu mencela dengan keras kebijaksanaan itu. Mereka mengirim laporan ke DPR bahwa Kolonel Gatat Subroto menyalahi kebijaksanaan Pemerintah Pusat.
Sesudah peristiwa 17 Oktober 1952, di Jakarta, pada tanggal 18 November 1952 Panglima T & T VII di “daulat” oleh Kepala Stafnya Letnan Kolonel Warrouw. Kekuasaannya diambil alih, karena Gatot Subroto dianggap secara terang-terangan mendukung peryataan pimpinan Angkatan Darat. Sebagai "orang tua" Gatot Subroto memilih mundur dari pada ikut bermain politik yang tidak menentu. Sejak itu, ia menetap di Semarang sebagai orang sipil dan memilih hidup di Ungaran.
Menjabat Sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat
Pada
1955 Gator Subroto pindah kerumah yang berencana menetap di Ungaran
untuk hari tuanya, mendapat panggilan pemerintah dan mengangkatnya
menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat dengan tugas mengurus urusan
dalam Angkatan Darat. Urusan pimpinan umum berada di tangan KSAD (Kepala
Staf Angkatan Darat) Kolonel A.H. Nasution.
Perhatiannya terhadap dunia pendidikan cukup besar. Pendidikan Akademi Militer Nasional (sekarang Akabri) sebagai tempat penggodokan calon pimpinan, tidak luput dari perhatiannya. la sendiri merasakan betapa pentingnya pendidikan militer formil yang tidak pernah dialaminya sendiri. la mempunyai perhatian besar terhadap perwira-perwira-muda yang berbakat. Diantara perwira muda yang dekat dengannya ialah Ahmad Yani.
Selama menjabat Wakil KSAD, ia telah mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat, Uni Sovyet, Yugoslavia, Mesir, RRC dan beberapa negara di Asia. Kunjungan itu dilakukan untuk mendapatkan bahan perbandingan dalam rangka membina Angkatan Darat. Dalam kunjungannya itu ia selalu menarik perhatian karena pribadinya yang khas. Seorang perwira Amerika Serikat pernah membandingkan Gatot Subroto dengan Jenderal Patton, seorang Jenderal Amerika Serikat dalam Perang Dunia II yang menjalankan tugasnya dengan cara-cara yang wajar dan praktis, tetapi tetap dapat menimbulkan inspirasi bagi bawahannya.
Perhatiannya terhadap dunia pendidikan cukup besar. Pendidikan Akademi Militer Nasional (sekarang Akabri) sebagai tempat penggodokan calon pimpinan, tidak luput dari perhatiannya. la sendiri merasakan betapa pentingnya pendidikan militer formil yang tidak pernah dialaminya sendiri. la mempunyai perhatian besar terhadap perwira-perwira-muda yang berbakat. Diantara perwira muda yang dekat dengannya ialah Ahmad Yani.
Selama menjabat Wakil KSAD, ia telah mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat, Uni Sovyet, Yugoslavia, Mesir, RRC dan beberapa negara di Asia. Kunjungan itu dilakukan untuk mendapatkan bahan perbandingan dalam rangka membina Angkatan Darat. Dalam kunjungannya itu ia selalu menarik perhatian karena pribadinya yang khas. Seorang perwira Amerika Serikat pernah membandingkan Gatot Subroto dengan Jenderal Patton, seorang Jenderal Amerika Serikat dalam Perang Dunia II yang menjalankan tugasnya dengan cara-cara yang wajar dan praktis, tetapi tetap dapat menimbulkan inspirasi bagi bawahannya.
Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
Menjelang
akhir masa jabatan sebagai wakil KSAD, pemerintah merencanakan untuk
memberikan jabatan Penasehat Militer Presiden kepada Gatot Subroto.
Namun, pada 11 Juni 1962 Letnan Jenderal Gatot Subroto meninggal dunia
akibat serangan jantung. Sesuai pesannya, ia dimakamkan di Ungaran. Ia
memiliki bintang jasa sebanyak tujuh belas. Untuk menghargai
jasa-jasanya, pemerintah menaikkan pangkatnya menjadi Jenderal Anumerta.
Penghargaan tertinggi diberikan Pemerintah berupa gelar Pahlawan
Nasional pada tanggal 18 Juni 1962.
BENDERA LASYKAR PEJUANG
RAKYAT INDONESIA
https://www.google.com/search?q=IMAGE+BENDERA+LASKAR+HIZBULLAH+INDONESIA&client=firefox-b&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwigmoLwo7HOAhVLMI8KHTx5DHsQsAQIIA
BUKAN BENDERA TERORIS
TETAPI
CIKAL BAKAL TNI /POLRI
FAKTA PALING FENOMENAL : Indonesia...Namanya Tersirat di dalam Al Qur'an
http://www.updategeh.com/2016/08/fakta-paling-fenomenal-indonesianamanya.html?m=1
Peta Indonesia versi Kerajaan Samudra Pasai |
Pernahkah anda bertanya, kenapa negeri yang indah, subur dan makmur ini diberi nama INDONESIA ?
Pernahkah anda bertanya kenapa para pendiri bangsa memilih tahun 1945 sebagai tahun dideklarasikannya kemerdekaan negara kita ?
Pernahkah anda bertanya kenapa para pendiri bangsa memilih bulan agustus dan tanggal 17 sebagai tanggal dilahirkannya negeri ini ?
Semua pertanyaan tersebut diatas akan terjawab...kalau kita menggunakan Al Qur'an dan Hadist sebagai pedoman.
Kata Indonesia Yang Unik
Mari kita hitung abjad yang merangkai kata Indonesia dengan nilai bobot urutan abjad : A = 1, B = 2, C =3 dan seterusnya...
I : 9, N : 14, D : 4, O : 15, N : 14, E : 5, S : 19, I : 9, A : 1
Dari semua angka yang ada ternyata hanya muncul angka 1-9-4-5
Tidak ada angka lain dan tentu ini bukan sebuah kebetulan Ini adalah Kehendak dan Karunia dari Allah SWT
Indonesia adalah Mekah Yang dijanjikan
Nah Coba Kita Jumlahkan semua Angka dari Kata "INDONESIA", jumlahnya "90"
dan mari kita buka kitab AL QURAN, kitab suci Agama Islam yang penganutnya sampai rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk merebut kemerdekaan RI, tidak sedikit Ulama dan Kyai menjadi penggerak perjuangan dalam melawan penjajah.
Tadi jumlah angka yang membentuk kata Indonesia adalah 90 dan angka 90 dalam Al Qur'an adalah nomor urut dari surat Al Balad yang berarti NEGERI atau NEGARA yang terdapat pada ayat pertama surah ini. Yang dimaksud dengan kota dalam ayat ini ialah kota Mekkah.
Tentu ini Bukan Suatu, Kebetulan ini semua Karunia yang Luar Biasa !!
Dan keberadaan Negeri ini sudah diprediksi oleh para ulama jama dulu dengan berdasarkan kepada sebuah nubuwah yang dianggap sebagai Hadist Nabi bagi sebagian kalangan ulama
" Bahwa akan Ada Negeri di atas Awan Bernama Samudra, yang diKelilingi Air dan Menghasilkan Banyak Ulama, dan Ternyata Negeri itu adalah INDONESIA
Keberadaannya Telah Disebut oleh Rasulullah SAW
Di dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai, terdapat sebuah hadits yang menyebutkan Rasulullah menyuruh para sahabat untuk berdakwah di suatu tempat bernama Samudra, yang akanterjadi tidak lama lagi di kemudian hari.
“…Pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat yang maha mulia itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda Nabi: “Bahwa sepeninggalku ada sebuah negeri di atas angin samudera namanya. Apabila ada didengar khabar negeri itu maka kami suruh engkau (menyediakan) sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa orang dalam negeri (itu) masuk Islam serta mengucapkan dua kalimah syahadat. Syahdan, (lagi) akan dijadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanyak daripada segala Wali Allah jadi dalam negeri itu“….
Catatan Ahli Sejarah, biasanya meng-informasikan…
– Rasulullah wafat, sekitar tahun 632 M…
– Sriwijaya berdiri, sekitar tahun 500 M s.d 670 M,
– Samudra Pasai berdiri, sekitar tahun 1267 M…
Sriwijaya yang usianya 600 tahun lebih tua daripada
Untuk sama dipahami, di wilayah Aceh sebelum Kerajaan Samudra Pasai, kita mengenal keberadaan Kerajaan Jeumpa, dan dipesisir Barat pulau Sumatera, kita mengenal Kota Pelabuhan Barus…
Kemungkinan wilayah Jeumpa, Barus dan Sriwijaya merupakan negeri-negeri awal masuknya Islam di Nusantara
Akan tetapi, dari ketiga negeri ini, yang dikenal memiliki wilayah yang cukup luas dan disebut sebagai Nagara Maritim (Samudra) terbesar adalah Kerajaan Sriwijaya…
2. Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 M sesuai dengan catatan I Tsing, sementara dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 M diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa.
Diperkirakan pada sekitar tahun 500 M, akar cikal bakal Kerajaan Sriwijaya sudah mulai berkembang di sekitar wilayah Bukit Siguntang.
Dan masa ke-emasan Sriwijaya, sebagai negara maritim terbesar di Asia Tenggara, terjadi pada abad ke-9 M. Pada masa itu, Sriwijaya telah menguasai di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam dan Filipina.
Sriwijaya juga men-dominasi Selat Malaka dan Selat Sunda, yang menjadikan-nya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal.
Baca Lebih Lanjut Blog kanzunqalam
CATATAN...CATATAN...CATATAN...??
Jejak CIA di Indonesia, Kontra Intelijen, Operasi Intelijen, Robert Marshall Read
April 27, 2012https://ruangjuang.wordpress.com/2012/04/27/jejak-cia-di-indonesia-kontra-intelijen-operasi-intelijen-robert-marshall-read/
DIA
jauh dari sosok agen rahasia dalam film spy Amerika yang kerap kita
tonton. Robert Marshall Read tidaklah gagah. Usianya 56 tahun. Badannya
ringkih, dan rambutnya putih perak. Hidungnya khas: tinggi berlengkung
tajam. Sudah sepekan lelaki itu meringkuk di
sel pojok kanan lantai satu gedung Badan Reserse Kriminal Polri di Jalan
Trunojoyo, Jakarta Selatan. Tapi dia memang agak istimewa. Selama
ditahan, selnya kerap dikunjungi warga asing.
Siapa Marshall?
Dua informasi berbeda mencuat tentang
lelaki ini. Ada yang bilang dia agen Central Intelligence Agency (CIA)
yang bermarkas di Washington DC, Amerika. Sebaliknya, dia disebut-sebut
buronan lembaga mata-mata kelas wahid itu.
Tapi mari berpegang pada keterangan resmi Mabes Polri, bahwa
Marshall adalah bekas CIA, dan sekaligus buronan lembaga mata-mata itu.
Dia dituduh terlibat perdagangan senjata api gelap, dan sejumlah
kejahatan lain di Amerika, Inggris, dan Rusia.
Kata polisi, Marshall agen yang licin. CIA memburunya sejak 1974.
Mengantongi 50 paspor berbagai negara, dia bisa melanggang ke pelbagai
penjuru dunia.
Pada Agustus 2007, dari Johor, Malaysia, dia menyeberang ke Batam.
Di Indonesia, petualangannya lebih seru. Dia jatuh cinta dengan Lisna
Herawati saat berada di Jakarta. Dia pun menikah dengan gadis 32 tahun
itu. Mereka menetap di Cianjur. Lengkap dengan KTP dan paspor setempat.
Enam bulan kemudian, Marshall hendak meninggalkan Indonesia. Bersama
Lisna, dia mengurus paspor di Kota Bogor, pada Januari 2008. Tapi,
entah salah pada bagian apa, petugas Imigrasi di Bogor curiga. Kepala
Imigrasi Bogor meneruskan informasi ini ke Kedutaan Besar Amerika. Lalu
kedutaan itu mengutus tiga petugasnya. Di sinilah pertama kali muncul
cerita Marshall adalah buronan CIA itu.
Setelah penangkapan itu, tak jelas di mana Marshall berada. Cerita
soal dia simpang-siur. Informasi dari petugas Imigrasi saat itu,
Marshall segera dideportasi ke Amerika.
***
Senin 14 Januari 2010. Seorang calo paspor, R. Simbolon, datang ke
kantor Imigrasi Bogor di Jalan Ahmad Yani, Tanah Sareal, Kota Bogor.
Simbolon membawa dokumen atas nama Robert Marshall Reid. Tujuannya
mengurus paspor. “Dia menempuh prosedur normal,” kata Kepala Imigrasi
Bogor, Ahmad Hasaf.
Petugas pun meminta Simbolon membawa Marshall pada Selasa 15 Januari
2010. Lelaki itu tiba pukul 10.30 WIB, bersama istrinya Lisna Herawati.
Petugas mewawancarainya kembali. Aneh memang. Petugas imigrasi seperti
tak punya data pemeriksaan Marshall dua tahun silam.
Tapi toh tetap ada yang mencurigakan. Marshal mengaku warga
Indonesia keturunan Inggris. Namun gagap bicara Indonesia. “Padahal
seluruh dokumennya menunjukkan dia Indonesia asli,” kata Ahmad.
Marshall punya kartu tanda penduduk bernomor 09.5005020352.0248 yang
diteken Lurah Cempaka Putih Timur, Rugan M. Faisal. Di dalam KTP itu
tertulis Robert beragama Islam, lahir di Jakarta, dan beralamat di Jalan
Cempaka Putih Tengah XV/6 RT 01/08, Jakarta Pusat.
Selain KTP, ada juga buku nikah bernomor 134/52/III/2006, diteken H.
Damar yang disebut petugas Kantor Urusan Agama Mampangprapatan, Jakarta
Selatan. Di kolom isteri tertera nama Lisna dengan wali nikah Badang,
seorang purnawirawan TNI.
Dokumen itu diduga palsu. Untuk kedua kalinya Marshall digiring ke
ruang Pengawas dan Penindak Keimigrasian. Sayangnya, si calo Simbolon
yang hendak diperiksa sudah kabur duluan. Lisna juga tak bisa menjawab
soal status kewarganegaraan Marshall. ”Selanjutnya, saya melaporkannya
ke Kedutaan Amerika,” kata Ahmad.
Hari itu juga tiga petugas Kedutaan Amerika datang ke Bogor. Setelah
berbicara dengan Marshall dan meneliti data-datanya, tiga petugas itu
mengakui Marshall warga negara mereka. “Disebutkan, Marshall pelaku
tindak kriminal dan buronan tiga negara yakni AS, Inggris dan Rusia,”
katanya.
Menurut informasi dari Kedutaan Amerika yang masuk ke Ahmad,
Marshall terlibat kasus cek kosong, pemalsuan dokumen, dan senjata
illegal. Cerita ini persis seperti disampaikan petugas Kedutaan Amerika
dua tahun lalu.
Sehari kemudian, Marshall dititipkan ke tahanan Mabes Polri. Di
sinilah muncul informasi Marshall adalah agen CIA. “Kami mencari tahu
apa motifnya berada di Indonesia,” kata Kepala Badan Reserse dan
Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Ito Sumardi.
***
Jejak CIA di Indonesia, sepertinya juga bukan hal baru. Setidaknya,
cerita itu sudah muncul sejak lembaga intel berdiri 1947. Pada masa itu,
Harry S. Truman memimpin Amerika (1945-1953), dan dia membuat doktrin
mengisolasi Uni Sovyet secara politik dan ideologi. Amerika lalu rajin
menghadang komunisme di seluruh dunia.
Pada masa Sukarno, yang anti imperialisme, dan condong ke Partai
Komunis Indonesia, Indonesia menjadi intaian CIA. Tercatat sejumlah
pemberontakan dalam negeri, disebut-sebut berkait dengan intelijen
Amerika. Sepak terjang lembaga intel Abang Sam ini pernah diulas tajam
dalam Legacy of Ashes, the History of CIA, karya Tim Weiner, wartawan
The New York Times, pemenang Pulitzer.
Setelah Sukarno tumbang, cerita soal intel Amerika beraksi di
Indonesia muncul samar-samar. Layaknya organisasi intel, tak tercium
geraknya. Paling banter, tudingan diarahkan ke jaringan Amerika di
lingkaran elit teknokrat. Pada awal orde baru, sempat mencuat sebutan
Mafia Berkeley, semacam koneksi elit pendukung orde baru, yang dididik
di Universitas Berkeley, California, Amerika.
Nama CIA juga timbul tenggelam. Terakhir, misalnya, ada tudingan
Laboratorium Namru-2 di Departemen Kesehatan bekerja untuk kepentingan
intelijen Amerika. Namru adalah kerjasama Departemen Kesehatan RI dan
Angkatan Laut Amerika sejak 1975.
Dua lembaga swadaya masyarakat, An Nashr Institute dan Medical
Emergency Rescue Committee menuding lab itu bekerja untuk intelijen
Amerika. Para peneliti Namru, kata mereka, boleh membawa penelitian ke
luar Indonesia tanpa diperiksa.
Terakhir, nama CIA mencuat tatkala penangkapan Umar al Faruq di
Bogor pada 2002. Dicokoknya al-Faruq adalah bagian “perang melawan
teror” yang digelorakan George W Bush setelah serangan al-Qaidah
pimpinan Usamah bin Ladin, ke dua menara WTC di New York, 11 September
2001.
Amerika menuding Al-Faruq kaki tangan jaringan bin Ladin di Asia
Tenggara. Persembunyian Umar terbongkar setelah polisi mendapat bisikan
informasi dari CIA. Al-Faruq lalu dijebloskan ke penjara Amerika Serikat
di Bagram, Afghanistan. Memang, ada cerita dia berhasil kabur, dan
kembali ke Irak, negara kelahirannya. Lalu, Al-Faruq diberitakan tewas
dalam pertempuran di Basra, Irak Selatan, pada Oktober 2006.
Sejak itu, nama intel Amerika kerap muncul dalam aksi anti teroris
di nusantara. Tentu saja, semua dalam format kerjasama
Amerika-Indonesia.
***
Lalu apa tugas si ‘agen’ Marshall yang tertangkap di Bogor ini?
Pemeriksaan pun dilakukan intensif oleh berbagai lembaga. Selain polisi,
Marshall juga ditelisik oleh aparat Kementerian Politik Hukum dan
Keamanan, Kementerian Luar Negeri, dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Tapi jawabannya toh sama. Kepada penyidik, Marshal menampik bahwa
dirinya adalah CIA. Sayangnya, tak banyak informasi keluar dari
mulutnya. Dari Kedutaan Besar Amerika juga tak ada komentar soal ini.
Sampai lelaki berhidung tinggi dengan lengkung tajam itu dipaksa
pulang ke negerinya, Marshall hanya dinyatakan bersalah karena satu hal:
melanggar aturan imigrasi. “Soal intelijen saya belum tahu,” kata Ito
Sumardi.
Bahaya Bermain Agen Ganda
Badan intelijen Amerika Serikat (CIA) untuk kesekian kalinya
mendapat tamparan yang memalukan. Kali ini sumbernya datang dari insiden
yang menyebabkan tujuh agen lapangan CIA dan seorang intel Yordania
tewas. Peristiwa naas itu bahkan terjadi di kantor perwakilan CIA di
Afganistan, akhir Desember 2009 lalu.
Kendati dibantah oleh CIA dan pihak berwenang Amerika, banyak
pengamat meyakini bahwa insiden itu terjadi akibat gegabahnya CIA dalam
merekrut agen ganda.
Alkisah, seorang simpatisan al-Qaidah bernama Humam Khalil Abu-Mulal
al-Balawi berhasil mengelabui para agen CIA di Afganistan. Caranya, dia
berpura-pura sudah beralih kiblat ke Amerika dan berhasil meyakinkan
mereka bahwa dia memiliki informasi tentang keberadaan pimpinan
al-Qaidah.
Melalui perantara seorang intel dari Yordania, CIA lalu mengundang
al-Balawi datang ke markas mereka. Yang fatal, al-Balawi dipersilakan
masuk tanpa melalui pemeriksaan keamanan.
Para agen lapangan CIA sudah hakulyakin bahwa al-Balawi termasuk
orang yang bisa dipercaya berkat rekomendasi agen dari Yordania itu,
yang telah menangkap dan mengindoktrinasi al-Balawi sejak tahun lalu.
Alhasil, bukan informasi penting yang didapat, nyawa mereka yang
melayang. Buat al-Balawi, undangan dari CIA ini adalah peluang emas yang
tak dia sia-siakan untuk menunaikan misi penting dari pimpinan
al-Qaidah: menjadi pengebom bunuh diri.
Para pejabat tinggi Amerika, termasuk Presiden Barack Obama, diam
seribu bahasa tentang insiden itu. Apalagi, tak lama kemudian Amerika
kembali diteror upaya pengeboman pesawat Northwest Airlines yang gagal
dilakukan seorang penumpang asal Nigeria, pada 25 Desember lalu. Sama
seperti al-Balawi dia juga merupakan simpatisan al-Qaidah di Yaman.
***
Menurut sejumlah pengamat, mengoperasikan agen ganda merupakan salah
satu taktik andalan CIA dalam beroperasi di wilayah-wilayah yang sulit
ditembus. Dengan mengandalkan tenaga lokal, CIA berharap bisa
mendapatkan informasi intelijen yang lebih akurat dan lengkap. Itulah
pula harapan CIA kepada al-Balawi, yang dikenal memiliki jaringan yang
cukup luas di Afganistan.
Namun, seperti diakui CIA, bermain agen ganda memiliki resiko
tersendiri. Menurut buku panduan CIA yang ditulis pada 1960an, itu
merupakan operasi kontra intelijen yang rumit dan membutuhkan perhatian
khusus.
Amerika dan Inggris pernah dengan cemerlang memanfaatkan agen ganda
saat berperang dengan Nazi di Perang Dunia Kedua. Mereka mengetahui
bahwa Nazi menempatkan seorang intel asal Spanyol di Inggris bernama
Juan Pujol Garcia, yang memiliki kode sandi “Garbo.”
Garcia berhasil diciduk, namun penangkapannya tidak diketahui dinas
intelijen Jerman, Abwehr. Berkat imbalan dan ampunan dari pimpinan
intelijen Amerika dan Inggris, Garcia sepakat bekerja sama dan sengaja
dibiarkan bekerja untuk Abwehr.
Sembari mengumpulkan data-data intelijen dari Jerman, Garcia lalu
ditugasi menyuplai informasi sesat kepada Nazi mengenai kekuatan dan
pergerakan pasukan sekutu di Inggris.
Operasi pengecohan Garcia yang terkenal terjadi saat Sekutu
mempersiapkan penyerbuan ke Prancis. Garcia berhasil meyakinkan para
penghubungnya dari Jerman bahwa Sekutu akan melancarkan serangan menuju
Norwegia. Mendengar, informasi itu,
Nazi menumpuk kekuatan di Norwegia sekaligus mengurangi kekuatannya
di Prancis. Hitler dan pimpinan militer Jerman termakan informasi sesat
yang dikirim Garbo. Sekutu tidak pernah menyerang Norwegia, melainkan
menggempur Prancis di Pantai Normandy, pada 6 Juni 1944, yang menjadi
titik balik kemenangan pasukan Sekutu.
Berkat informasi yang didapat Garcia dari Jerman, Sekutu berhasil
mengantisipasi serangan roket Nazi. Garbo pun terus menyuplai informasi
sesat kepada Jerman hingga berakhirnya Perang Dunia II.
Atas jasanya itu, Garcia mendapat penghargaan Iron First Class dari
pemerintah Inggris. Padahal, penghargaan prestisius itu selama ini hanya
diberikan kepada mereka yang bertempur di medan perang. Menyusul
kesuksesan Garbo, pada Perang Dingin Amerika gencar mengerahkan
agen-agen ganda mereka.
***
Kolonel John Hughes-Wilson, mantan pejabat intelijen Inggris,
mewanti-wanti agen ganda harus terus dikendalikan dan selalu diawasi
dengan ketat. Lengah sedikit, kata Hughes-Wilson bayarannya adalah
insiden fatal seperti di Afganistan itu.
“Di sinilah kesalahan Yordania. Mereka merekrut seseorang yang pada
dasarnya adalah jihadis dan berpikir bisa dengan gampang mengubah
pendiriannya selama di penjara.”
oOo
opas cuplikan pidato kasman di sidang konstituante:
BalasHapusPidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat berapi-api mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang sangat luar biasa. Dalam pidato tersebut, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan mempersilakan golongan lain untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila.
Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada habisnya untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang universal itu, yaitu Islam.
Kasman mengatakan,
“Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, “si penggali,” air dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti nabi atau lebih daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu, lama kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang keramat, ya sebagai supergeloof yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”
sangat rasional-berprinsip-dan mendorong berfikir maju...>> sayang orang2 kita seperti sdh terkesima ...n kehilangan akal sehatnya..
Hapusmemang dapat difahami thn 1945 sudah jauh otoritas islamnya yang telah berakhir thn 1924
BalasHapuskekuatan islamnya di dunia telah lemah tanpa pemimpin
BalasHapusselama otoritas dunia di pimpin kafir islam takakan punya kekuatan di dunia ini
BalasHapusIN SYAA ALLAH AKAN SEGERA BANGKIT ISLAM MUDA.... YG LEBIH BERSIH DAN BERCITA2 LUHUR...>> MEMERLUKAN WAKTU.. KRN MEMERLUKAN PENDIDIKAN.. DAN PEMBANGUNAN JIWA..>>
BalasHapus