Rabu, 28 Agustus 2013

MELURUSKAN KEMBALI....JALANNYA SEJARAH INDONESIA...

Penyimpangan di Sekitar Teks Proklamasi (1)

Redaksi – Senin, 12 Syawwal 1434 H / 19 Agustus 2013 10:15 WIB
http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/penyimpangan-di-sekitar-teks-proklamasi-1.htm#.Uh3wnlIxVkg
teks proklamasi 

Tidak banyak di antara generasi muda di Indonesia yang mengetahui bahwa sebenarnya ada problem mendasar di sekitar peristiwa proklamasi Republik Indonesia. Adalah seorang tokoh sejarah bernama KH Firdaus AN yang menyingkap terjadinya pengkhianatan terhadap Islam menjelang, saat, dan setelah kemerdekaan. Menurut beliau semestinya ada sebuah koreksi sejarah yang dilakukan oleh ummat Islam. Koreksi sejarah tersebut menyangkut pembacaan teks proklamasi yang setiap tahun dibacakan dalam upacara kenegaraan.

Dalam penjelasan ensiklopedia bebas wikipedia, naskah proklamasi ditulis tahun 05 karena sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605. Berikut isi teks proklamasi yang disusun oleh duet Soekarno-Hatta:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta
Teks tersebut merupakan hasil ketikan Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.

Proklamasi kemerdekaan itu diumumkan di Rumah Bung Karno, jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jum’at, bulan Ramadhan, pukul 10.00 pagi.

Kritik KH Firdaus AN terhadap teks Proklamasi diatas:
  1. Teks Proklamasi seperti tersebut diatas jelas melanggar konsensus, atau kesepakatan bersama yang telah ditetapkan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 22 Juni 1945.
  2. Yang ditetapkan pada 22 Juni 1945 itu ialah, bahwa teks Piagam Jakarta harus dijadikan sebagai Teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.
  3. Alasan atau dalih Bung Hatta seperti diceritakan dalam bukunya Sekitar Proklamasi hal. 49, bahwa pada malam tanggal 16 Agustus 1945 itu, ‘Tidak seorang di antara kami yang mempunyai teks yang resmi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta, ‘ tidak dapat diterima, karena telah melanggar kaidah-kaidah sejarah yang harus dijunjung tinggi. Mengapa mereka tidak mengambil teks yang resmi itu di rumah beliau di Jl. Diponegoro yang jaraknya cukup dekat, tidak sampai dua menit perjalanan? Mengapa mereka bisa ke rumah Mayjend. Nisimura, penguasa Jepang yang telah menyerah dan menyempatkan diri untuk bicara cukup lama malam itu, tapi untuk mengambil teks Proklamasi yang resmi dan telah disiapkan sejak dua bulan sebelumnya mereka tidak mau? Sungguh tidak masuk akal jika esok pagi Proklamasi akan diumumkan, jam dua malam masih belum ada teksnya. Dan akhirnya teks itu harus dibuat terburu-buru, ditulis tangan dan penuh dengan coretan, seolah-olah Proklamasi yang amat penting bagi sejarah suatu bangsa itu dibuat terburu-buru tanpa persiapan yang matang!
  4. Teks Proklamasi itu bukan hanya ditandatangani oleh 2 (dua) orang tokoh nasional (Soekarno-Hatta), tetapi harus ditanda-tangani oleh 9 (sembilan) orang tokoh seperti dicantum dalam Piagam Jakarta. Keluar dan menyimpang dari ketentuan tersebut tadi adalah manipulasi dan penyimpangan sejarah yang mestinya harus dihindari. Teks itu tidak otentik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Deklarasi Kemerdekaan Amerika saja ditandatangani oleh lebih dari 5 (lima) orang tokoh.
  5. Teks Proklamasi itu terlalu pendek, hanya terdiri dari dua alinea yang sangat ringkas dan hampa, tidak aspiratif. Ya, tidak mencerminkan aspirasi bangsa Indonesia; tidak mencerminkan cita-cita yang dianut oleh golongan terbesar bangsa ini, yakni para penganut agama Islam. Tak heran banyak pemuda yang menolak teks Proklamasi yang dipandang gegabah itu. Tak ada di dunia, teks Proklamasi atau deklarasi kemerdekaan yang tidak mencerminkan aspirasi bangsanya. Teks Proklamasi itu manipulatif dan merupakan distorsi sejarah, karena tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Dalam sejarah tak ada kata maaf, karena itu harus diluruskan kembali teks Proklamasi yang asli. Adapun teks Proklamasi yang otentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945 itu sesuai dengan teks atau lafal Piagam Jakarta.
Jelasnya, teks proklamasi itu haruslah berbunyi seperti di bawah ini:
PROKLAMASI
Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 22 Juni 1945
Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH. Wahid Hasjim, Mr. Muh Yamin.
KH Firdaus AN mengusulkan supaya dilakukan koreksi sejarah. Untuk selanjutnya, demi menghormati musyawarah BPUPKI yang telah bekerja keras mempersiapkan usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, maka semestinya pada setiap peringatan kemerdekaan RI tidak lagi dibacakan teks proklamasi “darurat” susunan BK-Hatta. Hendaknya kembali kepada orisinalitas teks proklamasi yang otentik seperti tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 diatas.

Benarlah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang mensinyalir bahwa dekadensi ummat terjadi secara gradual. Didahului pertama kali oleh terurainya ikatan Islam berupa simpul hukum (aspek kehidupan sosial-kenegaraan). Tanpa kecuali ini pula yang menimpa negeri ini. Semenjak sebagian founding fathers negeri ini tidak berlaku “amanah” sejak hari pertama memproklamirkan kemerdekaan maka diikuti dengan terurainya ikatan Islam lainnya sehingga dewasa ini kita lihat begitu banyak orang bahkan terang-terangan meninggalkan kewajiban sholat. Mereka telah mencoret kata-kata “syariat Islam” dari teks proklamasi. Bahkan dalam teks proklamasi “darurat” tersebut nama Allah ta’aala saja tidak dicantumkan, padahal dibacakan di bulan suci Ramadhan! Seolah kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak ada kaitan dengan pertolongan Allah ta’aala…!

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat.” (HR. Ahmad 45/134)

Penyimpangan di Sekitar Teks Proklamasi (Bagian 2)

Redaksi – Selasa, 13 Syawwal 1434 H / 20 Agustus 2013 07:56 WIB
http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/penyimpangan-di-sekitar-teks-proklamasi-bagian-2.htm#.Uh34aVIxVkg
coretan teks proklamasi 

Tidak banyak di antara generasi muda di Indonesia yang mengetahui bahwa sebenarnya ada problem mendasar di sekitar peristiwa proklamasi Republik Indonesia. Adalah seorang tokoh sejarah bernama KH Firdaus AN yang menyingkap terjadinya pengkhianatan terhadap Islam menjelang, saat, dan setelah kemerdekaan. Menurut beliau semestinya ada sebuah koreksi sejarah yang dilakukan oleh ummat Islam. Koreksi sejarah tersebut menyangkut pembacaan teks proklamasi yang setiap tahun dibacakan dalam upacara kenegaraan.

Kalau kita bandingkan antara teks proklamasi yang sudah dipersiapkan bahkan seharusnya dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan teks proklamasi hasil corat-coret Bung Karno, maka setidaknya ada dua masalah mendasar.

Pertama, dalam teks proklamasi otentik terdapat kalimat ”Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.” Sedangkan dalam teks teks proklamasi hasil corat-coret Bung Karno kalimat ini tidak ada.

Kedua, dalam teks proklamasi otentik terdapat kalimat ”…berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi 
pemeluknya”.  

Sedangkan dalam teks proklamasi hasil corat-coret Bung Karno kalimat ini tidak ada.

Kedua catatan di atas merupakan masalah mendasar, terutama bagi ummat Islam. Dihapusnya kalimat yang mencantumkan nama Allah subhaanahu wa ta’aala menyiratkan bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia merupakan hasil jerih payah tangan manusia semata. Seolah bangsa Indonesia tidak pernah membutuhkan Allah ta’aala dalam perjuangan merebut kemerdekaan. 

Padahal sejarah jelas mencatat bahwa semenjak para penjajah kafir Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang menginjakkan kaki di bumi Nusantara yang menjadi tulang punggung utama perlawanan terhadap mereka ialah para santri dan para kyai alias ummat Islam. Merekalah para mujahidin fi sabilillah yang dengan gagah berani memerdekakan negeri ini dari kehadiran para penjajah kafir tersebut. Dan selama mereka berjuang ratusan tahun seruan mereka tidak lain hanyalah ALLAH AKBAR…!

Para pendahulu kita menyadari bahwa satu-satunya tempat memohon pertolongan dalam mengusir para penjajah hanyalah Allah subhaanahu wa ta’aala. Ini berlaku sejak perjuangan Fatahillah, Imam Bonjol, Diponegoro hingga Bung Tomo di Surabaya. Dan ini pula yang telah menginspirasi para founding fathers dalam BPUPKI ketika merumuskan teks Proklamasi dan mukaddimah Undang-undang Dasar 1945. Sehingga dengan penuh ke-tawadhu-an mereka mencantumkan kalimat ”Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Sebab mereka menyadari bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat diraih tanpa bantuan dan pertolongan Allah ta’aala.

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
Laa haula wa laa quwwata illa billah (Tiada daya dan tiada kekuatan selain bersama Allah ta’aala).

Sejarah Islam juga mengajarkan hal ini. Ketika Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam memasuki kota Makkah dalam peristiwa fenomenal Fathu Makkah tercatat wajah beliau hampir menyentuh leher untanya karena tawadhu merendahkan diri di hadapan pemberi kemenangan sebenarnya, yakni Allah ta’aala. Berbeda dengan para pemimpin dunia yang biasanya saat merayakan kemenangan mereka membusungkan dada dan mengangkat kepala tinggi seolah ingin menunjukkan bahwa dirinyalah penyebab kemenangan yang diraihnya. Mereka tidak ingat kepada Allah ta’aala samasekali…!

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

”Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah ta’aala dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS AnNashr ayat 1-3)

Bahkan para founding fathers dalam BPUPKI memandang tidak cukup hanya mencantumkan asma Allah di dalam teks Proklamasi. Mereka malah kemudian mencantumkan jalan hidup seperti apa yang semestinya ditempuh ummat Islam di negeri ini agar tercermin rasa syukur semestinya kepada Allah ta’aala Yang memberikan kemerdekaan sebenarnya. Oleh karena itu tercantumlah di dalamnya kalimat ”…berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.”

Para pendahulu di negeri ini sadar bahwa sekedar menyatakan Allah subhaanahu wa ta’aala sebagai tuhan tidaklah cukup. Namun lebih jauh lagi harus ditegaskan bahwa jalan hidup komponen terbesar bangsa harus diikat dengan syari’at Islam yang digariskan tuhan Allah subhaanahu wa ta’aala. Hanya dengan mengikatkan diri kepada tali agama Allah ta’aala sajalah ummat Islam di negeri ini bakal terpelihara kesatuannya.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. (QS Ali Imran ayat 103)

KH Firdaus AN menulis di dalam catatannya sebagai berikut:
Tanpa disadari, mereka telah memperlihatkan belangnya sebagai nasionalis sekuler dan kolaborator penjajah yang anti Islam, yang membawa masyarakat dan negara ke arah yang dimurkai Allah, yaitu deIslamisasi (baca: menjauhkan diri dari Islam). Jelaslah, kaum nasionalis sekuler tidak tahu arti bersyukur, dan tidak tahu arti syukur nikmat kemerdekaan.

 

Masih perlukah kita merasa heran mengapa bangsa ini tidak kunjung selesai dirundung malang bila sejak hari-hari awal kemerdekaannya saja para pemimpinnya telah terlibat dalam pengkhianatan yang begitu fundamental…? Wallahu a’lam bish-showwaab.

PELURUSAN SEJARAH SYARIKAT ISLAM (SI) SEBAGAI PELOPOR KEBANGKITAN NASIONAL

 

Bismillahirrahmanirrahim
Kebangkitan sesungguhnya adalah peristiwa besar terlebih jika usia kebangkitan itu telah mencapai lebih dari satu abad, jikalau kita klias balik menjelang 20 Mei pada 2 tahun yang lalu demikian banyak komponen bangsa dan bahkan tokoh nasional yang seolah tak mau ketinggalan berupaya meraih momentum kebangkitan ini dengan meng-amini Satu abad kebangkitan (“1908 – 2008″) yang berarti secara sadar mengakui bahwa Boedi Oetomo adalah tonggak kebangkitan nasional ditengah desakan pelurusan sejarah kebangkitan nasional yang seolah teri”nafi”kan.

Secara Tradisional 20 Mei terlanjur diakui sebagai hari kebangkitan nasional dan proses reproduksi atas pengakuan tersebut tetap berjalan karena mendapat legitimasi yang lebih dari pembelajaran tekstual sejarah kebangsaan selama ini.
 Kecenderungan proses cetak ulang atas tradisi kebangkitan nasional ini berimplikasi pada dua hal, disatu sisi pengakuan tersebut adalah pengakuan paling populer dan semua pihak menginginkan meraih popularitas itu namun disisi yang lain seolah kita menutup rapat – rapat terhadap adanya fakta – fakta yang berbeda yang secara obyektif sesungguhnya memiliki keterkaitan erat dengan momentum kebangkitan nasional.

Fakta Sejarah Kebangkitan Nasional yang terpinggirkan

Sudah lazim kita dengar bahwa Boedi Oetomo diakui oleh belanda sebagai organisasi kebangsaan pertama dan warisan penjajahan tersebut secara “tradisional” berhasil meminggirkan kenyataan bahwa ada versi lain yang disuarakan oleh aktivis – aktivis pergerakan Islam khususnya Keluarga Besar Bulan Bintang bahwa hakikatnya SI (Syarikat Islam) yang berdiri 16 Oktober 1905 adalah motor kebangkitan nasional yang sesungguhnya. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh sesungguhnya media – media Penerbitan Islam seperti halnya Panji Masyarakat, Al Muslimun, Media Dakwah, Suara Masjid, Tabloid Abadi dan lain – lain sudah sejak lama menyuarakan pentingnya sikap “Kritis” atas fakta sejarah kebangkitan nasional yang selama ini terpinggirkan.

KH Firdaus AN adalah Tokoh dan Penulis Islam yang sepanjang hayat secara lantang menyerukan perlunya pembaharuan atas tradisi peringatan kebangkitan nasional, kritiknya melalui tulisan tersebar di berbagai media juga melalui buku – buku yang beliau tulis utamanya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan sejarah pergerakan bangsa”, sayangnya buku tersebut sekarang sudah langka dan sudah tentu sangat terpuji jika diantara kita yang “memilikinya” bersedia berbagi dan mempublikasikan buku tersebut secara terbuka melalui blog atau website sebagai bagian dari upaya pelurusan sejarah pergerakan bangsa.

Menurut KH Firdaus AN jika dipelajari dari Anggaran Dasarnya yang berbahasa belanda ternyata Budi Utomo secara terang mengadopsi semangat kedaerahan yang kental karena tujuan organisasi ini adalah menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan bangsa Madura secara harmonis. Budi Utomo menitik beratkan pada perbaikan taraf hidup orang – orang Jawa dan Madura di bawah kekuasaan Ratu Belanda sebaliknya Syarikat Islam patut dikedepankan bukan saja karena keanggotaannya yang bersifat terbuka melainkan karena sesungguhnya SI-lah cikal bakal lahirnya pergerakan kebangsaan modern.

Syarikat Islam dan Kebangkitan Pergerakan Modern Indonesia

Syarikat Islam (SI) tidak sebatas pergerakan Islam melainkan pergerakan nasional yang terbuka terbukti SI mewadahi berbagai latar belakang ideologi termasuk bergabungnya beberapa anggota yang ber-ideologi radikal seperti Semaun, Darsono dan Alimin yang kemudian dikenal sebagai SI Merah. Sebagai Bapak Pergerakan Nasional Rumah HOS Tjokroaminoto di Gang Peneleh 7 Surabaya menjadi tempat indekost bagi tokoh – tokoh pergerakan, disanalah tempat diskusi politik dan kebangsaan lintas ideologi.

3 orang tokoh pergerakan yang berguru dan indekost di rumah HOS Tjokroamnito adalah Ir. Soekarno, Kartosuwiryo dan Semaun. Ketiganya dikenal lantaran banyak memberikan warna bagi perjalanan pergerakan nasional, Bung Karno kemudian hijrah ke Bandung dan mendirikan partai nasional yang menjadi cikal bakal lahirnya PNI, Semaun dan kawan – kawannya kemudian mendirikan Partai Komunis Hindia Belanda pada tahun 1920 dan tidak lama berselang berubah menjadi Partai Komunis Indonesia yang diketuai oleh Semaun, sementara Kartosuwiryo kemudian dikenal sebagai Tokoh Islam yang berpengaruh luas dan sempat memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia.

Keengganan untuk meluruskan Sejarah
Pendek kata mengurai Syarikat Islam sebagai tonggak kebangkitan nasional menjadi menarik karena dipenuhi dengan catatan – catatan sejarah penting yang mengiringinya karena memang demikian adanya, karena Syarikat Islam adalah tonggak kebangkitan nasional yang sesungguhnya.

Pendek kata Budi Utomo sebagai pelopor kebangkitan nasional mungkin sebagian masih akan menilai demikian karena memang demikian adanya, karena pembaharuan atas krisis sejarah kebangkitan nasional masih menghadapi “tembok raksasa” yakni keengganan untuk meluruskan sejarah dengan dalih biarkan semuanya berjalan sebagaimana adanya… Wallahu A’lam

Sumber :
Dikutip oleh Laskar Hijau Lantang dari beberapa buah pena KH. Firdaus AN
dishare juga di http://www.facebook.com/pages/Komunitas-Islam-Ideologis-Penyambung-Lidah-Perjuangan-MASYUMI/104756132901964?v=app_2347471856&ref=search#!/note.php?note_id=121364331230435


Sabtu

20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional


Kelahiran organisasi Boedhi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 sesungguhnya amat tidak patut dan tidak pantas diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena organisasi ini mendukung penjajahan Belanda, sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, a-nasionalis, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya merupakan anggota Freemasonry Belanda (Vritmejselareen).

Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam yang dilakukan oleh para penguasa sekular. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.

Kongres Pertama Budi Utomo
Mengapa BO yang terang-terangan antek penjajah Belanda, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, a-nasionalis, tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, dan anti-agama malah dianggap sebagai tonggak kebangkitan bangsa? Ini jelas kesalahan yang teramat nyata.

Anehnya, hal ini sama sekali tidak dikritisi oleh tokoh-tokoh Islam kita. Bahkan secara menyedihkan ada sejumlah tokoh Islam dan para Ustadz selebritis yang ikut-ikutan merayakan peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei di berbagai event. Mereka ini sebenarnya telah melakukan sesuatu tanpa memahami esensi di balik hal yang dilakukannya. Rasulullah SAW telah mewajibkan umatnya untuk bersikap: “Ilmu qabla amal” (Ilmu sebelum mengamalkan), yang berarti umat Islam wajib mengetahui duduk-perkara sesuatu hal secara benar sebelum mengerjakannya.

Bahkan Sayyid Quthb di dalam karyanya “Tafsir Baru Atas Realitas” (1996) menyatakan orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup adalah sama dengan orang-orang jahiliyah, walau orang itu mungkin seorang ustadz bahkan profesor. Jangan sampai kita “Fa Innahu Minhum” (kita menjadi golongan mereka) terhadap kejahiliyahan.

Agar kita tidak terperosok berkali-kali ke dalam lubang yang sama, sesuatu yang bahkan tidak pernah dilakukan seekor keledai sekali pun, ada baiknya kita memahami siapa sebenarnya Boedhi Oetomo itu.

Pendukung Penjajahan Belanda
Akhir Februari 2003, sebuah amplop besar pagi-pagi telah tergeletak di atas meja kerja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun 1924. Di dalam amplop coklat itu, tersembul sebuah buku berjudul “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” karya si pengirim. Di halaman pertama, KH. Firdaus AN menulis: “Hadiah kenang-kenangan untuk Ananda Rizki Ridyasmara dari Penulis, Semoga Bermanfaat!” Di bawah tanda tangan beliau tercantum tanggal 20. 2. 2003.

KH. Firdaus AN telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun pertemuan-pertemuan dengan beliau, berbagai diskusi dan obrolan ringan antara penulis dengan beliau, masih terbayang jelas seolah baru kemarin terjadinya. Selain topik pengkhianatan the founding-fathers bangsa ini yang berakibat dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945, topik diskusi lainnya yang sangat konsern beliau bahas adalah tentang Boedhi Oetomo.

BO tidak memiliki andil sedikit pun unuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.

BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya, ” tegas KH. Firdaus AN.

BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda.

BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam VIII Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.
“Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka, ” papar KH. Firdaus AN.

Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.

Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya... Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.

Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938.

Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satu pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan chauvinisme sempit sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang dari BO.



Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Lodge Mataram sejak tahun 1895.

Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo.

Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr. Th. Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.
Dalam tulisan kedua akan dibahas mengenai organisasi kebangsaan pertama di Indonesia, Syarikat Islam, yang telah berdiri tiga tahun sebelum BO, dan perbandinganya dengan BO, sehingga kita dengan akal yang jernih bisa menilai bahwa Hari Kebangkitan Nasional seharusnya mengacu pada kelahiran SI pada tanggal 16 Oktober 1905, sama sekali bukan 20 Mei 1908. (Bersambung/Rizki Ridyasmara/eramuslim)

Kongres Raksasa SI

Sarekat Islam congress in 1913
On the podium sits the Pangeran Ngabei, a prince of the royal house of Solo.
(sumber : http://www.lowensteyn.com/indonesia/sarekat.html )
Children in the fourth class of a Kweekschool (teachers' training school) in Probolinggo, East Java, in 1913.
Sarekat Ra'yat School in Semarang, Central Java, 1917. Sarekat Ra'yat (The People's Union) was a radical offshoot of Sarekat Islam and the young Indonesian trade union movement. Education and organisation strengthened the nationalist movement
The Sarekat Islam represents an eman- cipatory movement for nationalist ideals.
The Surabaya Chapter of Sarekat Islam c. 1915. Joint meeting of Sarekat Islam and ISDV (Indies Social Democratic Union) in Surabaya, 1916.
sumber :
http://www.lowensteyn.com/indonesia/sarekat.html

Bagian II
Dalam tulisan bagian pertama, telah dipaparkan betapa organisasi Boedhi Oetomo (BO) sama sekali tidak pantas dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Karena BO tidak pernah membahas kebangsaan dan nasionalisme, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya ternyata anggota Freemasonry. Ini semua mengecewakan dua pendiri BO sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya akhirnya hengkang dari BO.

Tiga tahun sebelum BO dibentuk, Haji Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan Syarikat Islam (SI, awalnya Syarikat Dagang Islam, SDI) di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905. “Ini merupakan organisasi Islam yang terpanjang dan tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air Indonesia, ” tulis KH. Firdaus AN.

Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku.

Guna mengetahui perbandingan antara kedua organisasi tersebut—SI dan BO—maka di bawah ini dipaparkan perbandingan antara keduanya:

Perbandingan SI vs BO
Keterangan
SI BO
Tujuan SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya, BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan Jawa-Madura (Anggaran Dasar BO Pasal 2).
Sifat SI bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia, BO besifat kesukuan yang sempit, terbatas hanya Jawa-Madura,
Bahasa SI berbahasa Indonesia, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Indonesia, BO berbahasa Belanda, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Belanda
Sikap Terhadap Belanda SI bersikap non-koperatif dan anti terhadap penjajahan kolonial Belanda, BO bersikap menggalang kerjasama dengan penjajah Belanda karena sebagian besar tokoh-tokohnya terdiri dari kaum priyayi pegawai pemerintah kolonial Belanda,
Sikap Terhadap Agama SI membela Islam dan memperjuangkan kebenarannya, BO bersikap anti Islam dan anti Arab (dibenarkna oleh sejarawan Hamid Algadrie dan Dr. Radjiman)
Perjuangan Kemerdekaan SI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan, BO tidak pernah memper-juangkan kemerdekaan Indonesia dan telah mem- bubarkan diri tahun 1935, sebab itu tidak mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan,
Korban Perjuangan Anggota SI berdesak-desakan masuk penjara, ditembak mati oleh Belanda, dan banyak anggotanya yang dibuang ke Digul, Irian Barat, Anggota BO tidak ada satu pun yang masuk penjara, apalagi ditembak dan dibuang ke Digul,
Kerakyatan SI bersifat kerakyatan dan kebangsaan, BO bersifat feodal dan keningratan,
Melawan Arus SI berjuang melawan arus penjajahan, BO menurutkan kemauan arus penjajahan,
Kelahiran SI (SDI) lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905, BO baru lahir pada 20 Mei 1908,


Seharusnya 16 Oktober
Hari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 kadung diperingati setiap tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam. Hari Kebangkitan Nasional Indonesia seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei. Tidak ada alasan apa pun yang masuk akal dan logis untuk menolak hal ini.

Jika kesalahan tersebut masih saja dilakukan, bahkan dilestarikan, maka saya khawatir bahwa jangan-jangan kesalahan tersebut disengaja. Saya juga khawatir, jangan-jangan kesengajaan tersebut dilakukan oleh para pejabat bangsa ini yang sesungguhnya anti Islam dan a-historis.

Jika keledai saja tidak terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali, maka sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia seharusnya mulai hari ini juga menghapus tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dan melingkari besar-besar tanggal 16 Oktober dengan spidol merah dengan catatan “Hari Kebangkitan Nasional”. (Tamat/Rizki Ridyasmara/eramuslim)
 

Peristiwa Rengasdengklok & Rumah Bersejarah Babah Djiaw yang Terlupakan

http://bangsaku-dahulu.blogspot.com/ 


Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa "penculikan" yang dilakukan oleh sejumlah pemuda (a.l. Adam Malik dan Chaerul Saleh) dari Menteng 31 terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa atau lebih tepatnya diamankan ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi.

Menghadapi desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota PETA mendukung rencana tersebut.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong.

Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah itu. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka tahu esok harinya Indonesia akan merdeka.

Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya menemui Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur.

Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta.
Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang "dipinjam" (tepatnya sebetulnya "diambil") dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor Laut Dr. Kandeler.




naskah dibuat
di Rengasdengklok
Di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jl Imam Bonjol , Jakarta Pusat. Naskah proklamasi dirumuskan dan diketik oleh Sayuti Melik
Hasil naskah dibacakan di Pegangsaan timur no.56
 
Latar belakang
Pada waktu itu Soekarno dan Moh. Hatta, tokoh-tokoh menginginkan agar proklamasi dilakukan melalui PPKI, sementara golongan pemuda menginginkan agar proklamasi dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang.

Sebelumnya golongan pemuda telah mengadakan suatu perundingan di salah satu lembaga bakteriologi di Pegangsaan Timur Jakarta, pada tanggal 15 Agustus. Dalam pertemuan ini diputuskan agar pelaksanaan kemerdekaan dilepaskan segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang. Hasil keputusan disampaikan kepada Ir. Soekarno pada malam harinya tetapi ditolak Soekarno karena merasa bertanggung jawab sebagai ketua PPKI.

Para Pemuda Pejuang di Rengasdengklok
Beberapa orang pemuda yang terlibat dalam peristiwa Rengasdengklok ini antara lain:
  1. Soekarni
  2. Jusuf Kunto
  3. Chaerul Saleh
  4. Shodancho Singgih, perwira PETA dari Daidan I Jakarta sebagai pimpinan rombongan penculikan.
  5. Shodancho Sulaiman
  6. Chudancho Dr. Soetjipto
  7. Chudancho Subeno sebagai pemimpin Cudan Rengasdengklok (setingkat kompi). Chudan Rengasdengklok memiliki 3 buah Shodan (setingkat pleton) yaitu Shodan 1 dipimpin Shodancho Suharjana, Shodan 2 dimpimpin Shodancho Oemar Bahsan dan Shodan 3 dipimpin Shodancho Affan.
    Honbu (staf) yang dipimpin oleh Budancho Martono.
Babah Djiaw Ki Siong di Dusun Bojong Kec. Rengasdengklok Kab. Karawang
Tempat Penulisan Naskah Proklamasi : Rumah Bersejarah Babah Djiaw
SEJAK Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Soekarno-Hatta, 17 Agustus 1495, rumah alm. Babah Djiaw Ki Siong di Dusun Bojong Kec. Rengasdengklok Kab. Karawang diabadikan sebagai rumah bersejarah. Rumah seorang petani keturunan Tionghoa di pinggir Sungai Citarum itu pernah dipakai tempat tinggal para "Bapak Bangsa" dalam menyusun naskah proklamasi, sebelum naskah itu dikumandangkan di Jalan Pegangsaan Timur no 56 Jakarta.

Karena dinobatkan sebagai rumah bersejarah, seluruh bangunan rumah yang berdinding kayu jati, beratap genting tua, dan beralaskan batu bata itu dan sampai sekarang masih ditempati anak cucu Djiaw Ki Siong sebagai pemiliknya, tak boleh diperbaiki apalagi diubah seenaknya. Pelarangan itu muncul karena kekhawatiran nilai keaslian rumah itu punah.
Anehnya, dari dulu hingga sekarang, pemerintah hanya cukup memberikan nama rumah bersejarah yang harus dilestarikan. Di luar itu sama sekali tak pernah ada perhatian bagi si pemiliknya. Sementara itu, kondisi rumah kian tua dan terancam mengalami kerusakan. Andai rumah itu ambruk, bagaimana nasib keluarga yang sekarang menempati rumah itu? 

Ketika Babah Djiaw Ki Siong masih hidup, sejumlah perkakas rumah yang dulu pernah dipakai Bung Karno sekeluarga, Bung Hatta, dan tokoh proklamator lainnya diangkut ke museum di Jabar. Sayangnya, Djiaw Ki Siong -- yang pekerjaan sehari-harinya sebagai petani kecil -- tak sepeser pun mendapat ganti rugi saat barang-barang miliknya itu diboyong ke museum. 

"Meski demikian kedaannya, keluarga kami tetap bangga rumah ini telah dijadikan simbol rumah bersejarah bagi perjuangan bangsa. Bingungnya, rumah ini sudah lapuk dan sudah mengkhawatirkan bila dipakai tempat tinggal, sulit untuk diperbaiki karena dilarang pemerintah," kata Ny. Iin alias Djiaw Kwin Moy, cucu Djiaw Ki Siong yang sekarang menempati rumah tersebut. Di rumah itu pernah tinggal Bung Karno, Bung Hatta, Sukarni Yusuf Kunto, dr. Sucipto, Ny. Fatmawati, Guntur Soekarnoputra, dan lainnya selama tiga hari, pada 14-16 Agustus 1945.
Pada tahun 1958, rumah bersejarah itu pernah dipindahkan karena tergusur pelebaran pembangunan Sungai Citarum. Sebelum dipindahkan, dua perangkat tempat tidur terbuat dari kayu jati, tempat tidur Bung Karno dan Bung Hatta, seperangkat tempat minum dan seperangkat meja kursi tempat duduk para tokoh proklamator, diambil pihak museum Bandung.
"Engkong (kakek) Djiaw Ki Siong merelakan semua perkakas rumah untuk diabadikan sebagai benda bersejarah. Membangun rumah di tempat baru yang harus dipertahankan keasliannya pun semuanya dibiayai dari hasil jerih payah engkong, tanpa sepeser pun bantuan pemerintah," kata Yayang, suami Ny. Iin. Padahal, engkong hanyalah seorang petani kecil di Rengasdengklok.
Di antara para tokoh nasional yang memberi perhatian besar kepada keluarga Djiaw Ki Siong adalah Mayjen Ibrahim Adjie yang pada saat itu menjabat sebagai Pangdam III Siliwangi. Pangdam pernah memberi penghargaan kepada Babah Djiaw berupa selembar piagam nomor 08/TP/DS/tahun 1961.
Setelah Babah Djiaw meninggal pada tahun 1964 dan beberapa tahun berselang berganti kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto, rumah bersejarah diwariskan kepada anak pertama Babah Djiaw, yakni Ny. Tiaw Siong (ibunda Ny. Iin). Sekali lagi, tak ada perhatian apa pun dari pemerintah. Malah, Ny. Tiaw sempat tak dibolehkan menerima tamu siapa pun yang ingin tahu rumah bersejarah itu. 

Sekira tahun 1980-an, di Lapangan Rengasdengklok yang letaknya hanya beberapa puluh meter dari rumah alm. Djiaw, dibangun Tugu Perjuangan dengan biaya besar. Anehnya, pihak pemerintah sama sekali tak melirik keberadaan rumah Djiaw yang kondisinya sudah rusak termakan usia. Padahal, di rumah itu naskah proklamasi disusun sehari sebelum Indonesia merdeka.
"Anehnya lagi, tatkala rumah ini akan direhab karena banyak bagian yang rusak, keluarga kami malah harus lapor kesana-kemari. Akhirnya tak dibolehkan direhab, khawatir bagian rumah bersejarah berubah wujud. Karena dilarang itu ya... sampai sekarang beginilah keadaan rumah kami yang kalau terus-terusan tak dibolehkan direhab bisa-bisa ambruk," kata Ny. Iin. Ia menolak keras rumor bahwa rumahnya itu mendapat aliran sumbangan untuk biaya perawatan.
Babah Djiaw pernah berwasiat, keluarga yang menempati rumah bersejarah itu harus bersabar. Tak dibolehkan merengek minta-minta sesuatu kepada pihak mana pun. Bahkan, harus rela setiap hari menunggu rumah ini demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu yang ingin mengetahui sejarah perjuangan bangsa.
Karena manutnya akan wasiat engkong Djiaw, Ny. Tiaw yang kesehariannya berjualan kue di Pasar Rengasdengklok terpaksa harus berada di rumah. Begitu juga Ny. Iin yang sudah hampir tiga tahun setelah ibundanya meninggal selalu berada di rumah. Sementara itu, yang berjualan di toko adalah sang suami. Sayang, keluarga Yayang tak bisa berjualan kue di pasar, setelah tahun lalu Pasar Rengasdengklok habis dilalap api.
Berkat kesetiaan Ny. Tiaw dan Ny. Iin, sebagai ahli waris rumah bersejarah, setiap tamu dilayani dengan baik. Mereka pun mampu memberi keterangan sejarah tentang keberadaan rumah miliknya kepada setiap tamu yang datang. Memang, tak dimungkiri, di antara sekian puluh ribu tamu ada saja yang memberi uang alakadarnya.
"Tak apa-apalah rumah bersejarah ini tak diperhatikan siapa pun. Yang penting, kami pemiliknya punya kebanggaan tersendiri ikut menoreh perjuangan bangsa ini," kata Ny. Iin sambil menyatakan bahwa ia dan keluarganya sering bermimpi bertemu Bung Karno, Bung Hatta, dan sejumlah tokoh yang dulu pernah menginap di rumahnya.
Rumah bersejarah milik alm. Djiaw Ki Siong berada di sebuah perkampungan di lingkungan padat perumahan masyarakat Dusun Bojong. Dari lapangan Tugu Perjuangan ke rumah itu, ada jalan sempit belum beraspal. Bila hujan turun, jalan becek menyulitkan tamu berkunjung ke rumah itu.
Di ruang tamu berukuran 6 x 8 meter terdapat dua buah meja ukir jati. Di atasnya terpampang buku-buku sejarah perjuangan. Ada buku tamu tebal dan sudah penuh diisi tandatangan puluhan ribu tamu. Di dinding tembok kayu terpampang gambar alm. Djiaw Ki Siomg berdampingan dengan gambar Bung Karno terbingkai kaca.
"Di kamar inilah Bung Karno, Ibu Fatmawati dang putra ciliknya Guntur istirahat tidur. Di samping kiri kamar, tempat Bung Hatta dan tiga tokoh proklamator istirahat, sementara bangku dipan ini tempat para ajudan Bung Karno berjaga," kata Yayang sambil menunjuk dua buah kamar yang sudah lama tak pernah dipakai tempat tidur. Sementara itu, tempat istirahat keluarga Yayang berada di belakang ruang tamu yang sekarang sudah direnovasi secara permanen.
Pascareformasi, rumah Djiaw Ki Siong cukup sering dikunjungi para tamu. Sejumlah tokoh nasional seperti Akbar Tanjung, Roy B.B. Janis, Guntur Soekarnoputra, Gempar Soekarnoputra, Harmoko, dan sejumlah tokoh dari fungsionaris PDIP sering datang juga. Adapun Megawati Soekarnoputri baru berjanji saja, karena sampai sekarang belum berkunjung.
Tokoh pejuang yang juga seniman kondang Karawang, R.H. Tjetjep Supriyadi menyesalkan pemerintah yang sama sekali tak memerhatikan rumah sejarah Babah Djiaw Ki Siong. Termasuk juga, para pejuang Rengasdengklok yang dulunya ikut bergerilya, berjuang membela negara.
"Saya malu Tugu Pangkal Perjuangan Rengasdengklok amburadul. Jalan menuju Rengasdengklok rusak berat, apalagi jika melihat kondisi rumah Djiaw Ki Siong yang hampir roboh. Heran saya, kok jadi begini perhatian para pemimpin bangsa," tegas R.H. Tjetjep Supriyadi, yang mengaku ikut berjuang dalam perang gerilya di Rengasdngklok.
Tjejep membeberkan, sebetulnya Hari Proklamasi Kemerdekaan RI rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada Hari Kamis tanggal 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Ki Siong. Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah babah itu. Bendera merah putih sudah berani dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena tahu esok harinya Indonesia akan merdeka.
"Ketika naskah proklamasi mau dibacakan, tiba-tiba pada Kamis sore kedatangan Ahmad Subarjo. Ia mengundang Bung Karno dkk. berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56," kata Tjetjep Supriadi.(H. Undang Sunaryo/MD/Dodo Rihanto/"PR")

28 Oktober 1928 Sumpah pemuda dan jalan menuju Revolusi Kemerdekaan


Hendrikus Colijn mantan Menteri Urusan Daerah Jajahan, kemudian Perdana Menteri Belanda. Veteran perang Aceh dan bekas ajudan Gubernur Jenderal van Heutz. Sekitar tahun 1927 – 1928, pernah mengeluarkan pamflet yang menyebut Kesatuan Indonesia sebagai suatu konsep kosong. Katanya, masing-masing pulau dan daerah Indonesia ini adalah etnis yang terpisah-pisah sehingga masa depan jajahan ini tak mungkin tanpa dibagi dalam wilayah-wilayah.[1]

Bukan suatu kebetulan, bahwa pernyataan Colijn tersebut memunculkan Kongres Pemuda yang kedua pada tgl 28 Oktober 1928 di Batavia, dimana diikrarkan Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa. Peristiwa ini kita kenang sebagai hari Sumpah Pemuda.

Sejak tahun 1915 telah berdiri sejumlah besar organisasi kepemudaan bersifat kedaerahan, seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Islamieten bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun dan Pemuda Kaum Betawi. Namun semua organisasi tersebut bersifat kedaerahan dan kelompok khusus. Yang mungkin sedikit berbeda adalah Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang berdiri setelah selesai Kongres Pemuda I pada tahun 1926. PPPI merupakan wadah pemuda nasionalis radikal non kedaerahan. Tokoh-tokohnya adalah Sigit [2], Soegondo Djojopoespito, Suwirjo, S. Reksodipoetro, Muhammad Yamin, A. K Gani, Tamzil, Soenarko, Soemanang, dan Amir Sjarifudin. Atas prakarsa PPPI kongres ke II diadakan.

Dalam penerbitan P.I (koran Pemoeda Indonesia) no 8 tahun 1928, terdapat artikel dengan judul “KERAPATAN PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA”. Disitu dijelaskan :
sebagaimana yang telah diwartakan dalam P.I no.6 dan 7, di Jacatra telah diadakan kerapatan besar Pemoeda-pemoeda Indonesia pada tanggal 27 dan 28 Oktober. Pimpinan kerapatan ialah terdiri dari wakil-wakil, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemoeda Indonesia, Pemoeda Soematera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak Pemoeda Kaum Betawi, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Sekar Roekoen. Selanjutnya juga diberitakan bahwa kerapatan dikunjungi beratus-ratus orang, dimana bagi siapa yang menyaksikan sendiri akan berbesar hati karena pemoeda-pemoeda kita bukan baru mencita-citakan saja, tapi telah tegak berdiri dipusat persatuan dan kebangsaan . Dalam kesempatan inipun telah diperdengarkan untuk pertama kali kepada umum oleh Pemoeda W.R.Soepratman, lagu INDONESIA RAJA [3]

Dalam POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDI INDONESIA, tercatat bahwa Poetra dan Poetri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Poetra dan Poetri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Poetra dan Poetri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sebagai realisasi penyatuan ini, pada tanggal 31 Desember 1930 jam 12 malam, Jong Java, Perhimpunan Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Pemoeda Soematra (awalnya bernama Jong Sumatranen Bond) telah berfusi menjadi satu dan membentuk Perkoempoelan “INDONESIA MOEDA”.

Para anggota panitia Kongres Pemuda ke II [4] terdiri dari pemuda-pemudi Indonesia yang dikemudian hari amat berperan dalam gerakan pemuda yang memperjuangkan kebangsaan dan kemerdekaan. Diantaranya terdapat nama, Soegondo Djojopoespito dari PPPI (ketua), Djoko Marsaid dari Jong Java (wakil ketua), Muhammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond (Sekretaris), Amir Sjarifudin dari Jong Sumatranen Bond (bendahara), Djohan Mu.Tjai dari Jong Islamieten Bond. Kontjosoengkoeno dari P.I, Senduk dari Jong Celebes, J.Lemeina dari Jong Ambon dan Rohyani dari Pemoeda Kaum Betawi. Panitia didukung tokoh-tokoh senior seperti Mr.Sartono, Mr.Muh Nazif, A.I.Z Mononutu, Mr.Soenario. Dalam kongres ikut berbicara tokoh-tokoh besar kebangsaan lainnya seperti S. Mangoensarkoro, Ki Hadjar Dewantoro dan Djokosarwono .

Hadir sebagai undangan sekitar 750 orang dimana terdapat nama-nama yang kemudian terkenal seperti Kartakusumah (PNI Bandung), Abdulrachman (B.O Jakarta), Karto Soewirjo (P.B Sarekat Islam), Muh. Roem, Soewirjo, Sumanang, Masdani, Anwari, Tamzil, AK Gani, Kasman Singodimedjo, Saerun (wartawan Keng Po), WR Supratman. Dari Volksraad yang hadir adalah Soerjono dan Soekawati dan dari pihak Pemerintah Hindia Belanda yang hadir adalah Dr.Pyper dan Van der Plas [5].

Jelas bahwa kongres pemuda ke II dimana diikrarkan Sumpah Pemuda bukan pekerjaan dalam sedikit waktu saja, dan terang juga bukan hasil usaha dari beberapa gelintir orang saja[6]. Hal ini merupakan perjuangan panjang sejak Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908. Bahkan ada sebuah peristiwa lainnya yaitu ketika tahun 1904 Dr A,Rivai lulus ujian dokter sebagai Nederland Arts di Utrecht Belanda, pupus sudahlah anggapan jelek bahwa bangsa Indonesia itu “Laksheid”. Kata ini amat sakit didengar karena berarti pemalas, tidak punya kemauan bekerja atau berbuat sesuatu.

Setelah Indonesia muda terbentuk, berarti pemuda Indonesia memiliki organisasi kepemudaan nasional yang solid, kuat dan bercita-cita menuju kemerdekaan yang lebih pasti. Anggota IM terdiri dari semua pemuda seperti anak-anak SLP, SLA, sekolah khusus, kejuruan sederajat dan mahasiswa. Sejak tahun 1931 kongres demi kongres diadakan sehingga lebih menampakkan eksistensinya. Nyatanya memang IM tidak berafiliasi dengan partai politik.

Sejarah kemudian membuktikan bahwa modal kejuangan diatas amat penting artinya pasca penjajahan Jepang (1942-1945), dimana api Revolusi Kemerdekaan mulai dinyalakan dengan kesadaran adanya kesatuan dan persatuan kebangsaan yang bermotifkan pantang untuk dijajah kembali oleh kekuatan asing apapun bentuknya. Proklamasi Kemerdekaan mengawali "Revolusi Pemoeda", dan berahir ketika penjajah terahir di Indonesia yaitu Imperium Belanda menyatakan pengakuannya pada Kemerdekaan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Tidak sampai 1 tahun kemudian, RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk kembali pada tanggal 17 Agustus 1950.

Sumpah Pemuda Sumpah Pemuda merupakan sumpah setia hasil rumusan Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau dikenal dengan Kongres Pemuda II, dibacakan pada 28 Oktober 1928. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai "Hari Sumpah Pemuda".


ISIPERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.

KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.

KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.

Kongres Pemuda II
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.

Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, ketua PPI Soegondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan

Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.

Peserta
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie serta Kwee Thiam Hong sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond.

Museum
Di Gedung Sekretariat PPI di Jalan Kramat Raya 106, tempat diputuskannya rencana Kongres Pemuda Kedua saat ini dijadikan Museum Sumpah Pemuda.

Penyimpangan di Sekitar Teks Proklamasi


imageTidak banyak di antara generasi muda di Indonesia yang mengetahui bahwa sebenarnya ada problem mendasar di sekitar peristiwa proklamasi Republik Indonesia. Adalah seorang tokoh sejarah bernama KH Firdaus AN yang menyingkap terjadinya pengkhianatan terhadap Islam menjelang, saat, dan setelah kemerdekaan. Menurut beliau semestinya ada sebuah koreksi sejarah yang dilakukan oleh ummat Islam. Koreksi sejarah tersebut menyangkut pembacaan teks proklamasi yang setiap tahun dibacakan dalam upacara kenegaraan.

Dalam penjelasan ensiklopedia bebas wikipedia, naskah proklamasi ditulis tahun 05 karena sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.

Berikut isi teks proklamasi yang disusun oleh duet Soekarno-Hatta:

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta



Teks tersebut merupakan hasil ketikan Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.

Proklamasi kemerdekaan itu diumumkan di rumah Bung Karno, jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jum'at, bulan Ramadhan, pukul 10.00 pagi.

Kritik KH Firdaus AN terhadap teks Proklamasi di atas :

1. Teks Proklamasi seperti tersebut di atas jelas melanggar konsensus, atau kesepakatan bersama yang telah ditetapkan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 22 Juni 1945.

2. Yang ditetapkan pada 22 Juni 1945 itu ialah, bahwa teks Piagam Jakarta harus dijadikan sebagai Teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.


3. Alasan atau dalih Bung Hatta seperti diceritakan dalam bukunya Sekitar Proklamasi hal. 49, bahwa pada malam tanggal 16 Agustus 1945 itu, 'Tidak seorang di antara kami yang mempunyai teks yang resmi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta, ' tidak dapat diterima, karena telah melanggar kaidah-kaidah sejarah yang harus dijunjung tinggi. Mengapa mereka tidak mengambil teks yang resmi itu di rumah beliau di Jl. Diponegoro yang jaraknya cukup dekat, tidak sampai dua menit perjalanan? Mengapa mereka bisa ke rumah Mayjend.

Nisimura, penguasa Jepang yang telah menyerah dan menyempatkan diri untuk bicara cukup lama malam itu, tapi untuk mengambil teks Proklamasi yang resmi dan telah disiapkan sejak dua bulan sebelumnya mereka tidak mau? Sungguh tidak masuk akal jika esok pagi Proklamasi akan diumumkan, jam dua malam masih belum ada teksnya. Dan akhirnya teks itu harus dibuat terburu-buru, ditulis tangan dan penuh dengan coretan, seolah-olah Proklamasi yang amat penting bagi sejarah suatu bangsa itu dibuat terburu-buru tanpa persiapan yang matang!

4. Teks Proklamasi itu bukan hanya ditandatangani oleh 2 (dua) orang tokoh nasional (Soekarno-Hatta), tetapi harus ditanda-tangani oleh 9 (sembilan) orang tokoh seperti dicantum dalam Piagam Jakarta. Keluar dan menyimpang dari ketentuan tersebut tadi adalah manipulasi dan penyimpangan sejarah yang mestinya harus dihindari. Teks itu tidak otentik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Deklarasi Kemerdekaan Amerika saja ditandatangani oleh lebih dari 5 (lima) orang tokoh.

5. Teks Proklamasi itu terlalu pendek, hanya terdiri dari dua alinea yang sangat ringkas dan hampa, tidak aspiratif. Ya, tidak mencerminkan aspirasi bangsa Indonesia; tidak mencerminkan cita-cita yang dianut oleh golongan terbesar bangsa ini, yakni para penganut agama Islam. Tak heran banyak pemuda yang menolak teks Proklamasi yang dipandang gegabah itu. Tak ada di dunia, teks Proklamasi atau deklarasi kemerdekaan yang tidak mencerminkan aspirasi bangsanya. Teks Proklamasi itu manipulatif dan merupakan distorsi sejarah, karena tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Dalam sejarah tak ada kata maaf, karena itu harus diluruskan kembali teks Proklamasi yang asli. Adapun teks Proklamasi yang otentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945 itu sesuai dengan teks atau lafal Piagam Jakarta.

Jelasnya, teks proklamasi itu haruslah berbunyi seperti di bawah ini:

PROKLAMASI

Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 22 Juni 1945

Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH. Wahid Hasjim, Mr. Muh Yamin.


KH Firdaus AN mengusulkan supaya dilakukan koreksi sejarah. Untuk selanjutnya, demi menghormati musyawarah BPUPKI yang telah bekerja keras mempersiapkan usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, maka semestinya pada setiap peringatan kemerdekaan RI tidak lagi dibacakan teks proklamasi �darurat� susunan BK-Hatta. Hendaknya kembali kepada orisinalitas teks proklamasi yang otentik seperti tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 di atas.

Benarlah Nabi Muhammad shollallahu �alaih wa sallam yang mensinyalir bahwa dekadensi ummat terjadi secara gradual. Didahului pertama kali oleh terurainya ikatan Islam berupa simpul hukum (aspek kehidupan sosial-kenegaraan). Tanpa kecuali ini pula yang menimpa negeri ini. Semenjak sebagian founding fathers negeri ini tidak berlaku �amanah� sejak hari pertama memproklamirkan kemerdekaan maka diikuti dengan terurainya ikatan Islam lainnya sehingga dewasa ini kita lihat begitu banyak orang bahkan terang-terangan meninggalkan kewajiban sholat. Mereka telah mencoret kata-kata �syariat Islam� dari teks proklamasi. Bahkan dalam teks proklamasi �darurat� tersebut nama Allah ta�aala saja tidak dicantumkan, padahal dibacakan di bulan suci Ramadhan..! Seolah kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak ada kaitan dengan pertolongan Allah ta�aala...!

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
�Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat.� (HR Ahmad 45/134) (eramuslim)


imageTidak banyak di antara generasi muda di Indonesia yang mengetahui bahwa sebenarnya ada problem mendasar di sekitar peristiwa proklamasi Republik Indonesia. Adalah seorang tokoh sejarah bernama KH Firdaus AN yang menyingkap terjadinya pengkhianatan terhadap Islam menjelang, saat, dan setelah kemerdekaan.

Menurut beliau semestinya ada sebuah koreksi sejarah yang dilakukan oleh ummat Islam. Koreksi sejarah tersebut menyangkut pembacaan teks proklamasi yang setiap tahun dibacakan dalam upacara kenegaraan.

Kalau kita bandingkan antara teks proklamasi yang sudah dipersiapkan bahkan seharusnya dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan teks proklamasi hasil corat-coret Bung Karno, maka setidaknya ada dua masalah mendasar.

Pertama, dalam teks proklamasi otentik terdapat kalimat �Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.� Sedangkan dalam teks teks proklamasi hasil corat-coret Bung Karno kalimat ini tidak ada.

Kedua, dalam teks proklamasi otentik terdapat kalimat �...berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya�. Sedangkan dalam teks proklamasi hasil corat-coret Bung Karno kalimat ini tidak ada.

imageKedua catatan di atas merupakan masalah mendasar, terutama bagi ummat Islam. Dihapusnya kalimat yang mencantumkan nama Allah subhaanahu wa ta�aala menyiratkan bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia merupakan hasil jerih payah tangan manusia semata. Seolah bangsa Indonesia tidak pernah membutuhkan Allah ta�aala dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

Padahal sejarah jelas mencatat bahwa semenjak para penjajah kafir Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang menginjakkan kaki di bumi Nusantara yang menjadi tulang punggung utama perlawanan terhadap mereka ialah para santri dan para kyai alias ummat Islam. Merekalah para mujahidin fi sabilillah yang dengan gagah berani memerdekakan negeri ini dari kehadiran para penjajah kafir tersebut. Dan selama mereka berjuang ratusan tahun seruan mereka tidak lain hanyalah ALLAH AKBAR...!

Para pendahulu kita menyadari bahwa satu-satunya tempat memohon pertolongan dalam mengusir para penjajah hanyalah Allah subhaanahu wa ta�aala. Ini berlaku sejak perjuangan Fatahillah, Imam Bonjol, Diponegoro hingga Bung Tomo di Surabaya. Dan ini pula yang telah menginspirasi para founding fathers dalam BPUPKI ketika merumuskan teks Proklamasi dan mukaddimah Undang-undang Dasar 1945. Sehingga dengan penuh ke-tawadhu-an mereka mencantumkan kalimat �Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa�. Sebab mereka menyadari bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat diraih tanpa bantuan dan pertolongan Allah ta�aala.

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

Laa haula wa laa quwwata illa billah (Tiada daya dan tiada kekuatan selain bersama Allah ta�aala).

Sejarah Islam juga mengajarkan hal ini. Ketika Rasulullah shollallahu �alaih wa sallam memasuki kota Makkah dalam peristiwa fenomenal Fathu Makkah tercatat wajah beliau hampir menyentuh leher untanya karena tawadhu merendahkan diri di hadapan pemberi kemenangan sebenarnya, yakni Allah ta�aala. Berbeda dengan para pemimpin dunia yang biasanya saat merayakan kemenangan mereka membusungkan dada dan mengangkat kepala tinggi seolah ingin menunjukkan bahwa dirinyalah penyebab kemenangan yang diraihnya. Mereka tidak ingat kepada Allah ta�aala samasekali...!

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

�Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah ta�aala dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.� (QS AnNashr ayat 1-3)

Bahkan para founding fathers dalam BPUPKI memandang tidak cukup hanya mencantumkan asma Allah di dalam teks Proklamasi. Mereka malah kemudian mencantumkan jalan hidup seperti apa yang semestinya ditempuh ummat Islam di negeri ini agar tercermin rasa syukur semestinya kepada Allah ta�aala Yang memberikan kemerdekaan sebenarnya. Oleh karena itu tercantumlah di dalamnya kalimat �...berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya.�

Para pendahulu di negeri ini sadar bahwa sekedar menyatakan Allah subhaanahu wa ta�aala sebagai tuhan tidaklah cukup. Namun lebih jauh lagi harus ditegaskan bahwa jalan hidup komponen terbesar bangsa harus diikat dengan syari�at Islam yang digariskan tuhan Allah subhaanahu wa ta�aala. Hanya dengan mengikatkan diri kepada tali agama Allah ta�aala sajalah ummat Islam di negeri ini bakal terpelihara kesatuannya.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

�Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai�. (QS Ali Imran ayat 103)

KH Firdaus AN menulis di dalam catatannya sebagai berikut:
Tanpa disadari, mereka telah memperlihatkan belangnya sebagai nasionalis sekuler dan kolaborator penjajah yang anti Islam, yang membawa masyarakat dan negara ke arah yang dimurkai Allah, yaitu deIslamisasi (baca: menjauhkan diri dari Islam). Jelaslah, kaum nasionalis sekuler tidak tahu arti bersyukur, dan tidak tahu arti syukur nikmat kemerdekaan.


Masih perlukah kita merasa heran mengapa bangsa ini tidak kunjung selesai dirundung malang bila sejak hari-hari awal kemerdekaannya saja para pemimpinnya telah terlibat dalam pengkhianatan yang begitu fundamental...? Wallahu a�lam bish-showwaab.- (eramuslim)




Detail Artikel seputar Proklamasi dihalaman sejarah
Label:
diposkan oleh perjuangan pada | 0 Komentar Link ke posting ini


 

Daftar anggota BPUPKI-PPKI

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_anggota_BPUPKI-PPKI 
Daftar Anggota BPUPKI-PPKI adalah nama-nama yang ambil bagian dalam persiapan kemerdekaan Indonesia.

Daftar isi

Dokuritsu Zyunbi Tyoosa Kai

Dokuritu Zyunbi Tyoosa Kai atau yang sering dikenal dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah sebuah Badan yang dibentuk oleh Pemerintah Angkatan Darat XVI Jepang yang berkedudukan di Jakarta (selengkapnya baca artikel BPUPKI) ini beranggotakan 67 orang,terdiri dari 60 orang yang dianggap tokoh dari Indonesia dan 7 orang anggota Jepang dan ketrunan Indo lainnya tanpa hak suara. Pada sidang yang kedua (10 Juli-17Juli) Pemerintah [Jepang] menambah 6 orang anggota bangsa Indonesia.

Daftar Anggota BPUPKI

Nomor
Nama anggota dalam EYD
Nama anggota dalam ejaan asli
Tempat kelahiran
Tanggal kelahiran
Pekerjaan/Jabatan
Keterangan lainnya
1
Kaffar, Abdoel
Sampang, Jatim
14-05-1913
Bekas Kapten Mantan Barisan Madura
-
2
Moezakir, Abdoel Kahar
Gading, Yogyakarta
16-04-1907
Peg Kantor Kooti Zimu Kyoku Yogya bag Ekonomi
-
3
Dasaad, Agoes Moechsin
Sulu, Filipina
25-08-1905
Pemimpin NV Pabrik Tenun, Wa Ketua Jakarta Tokubetu Si Sangi Kai
-
4
Baswedan, AR.
Surabaya
11-09-1908
Angg Tyuuoo Sangi In
Angg KNIP 1946
5 *)
Bandoro Pangeran Hario Purubojo
Poeroebojo, Bandoro Pangeran Hario
Yogyakarta
25-06-1906
Pembesar Kawedanan Kori Kraton Yogyakarta, Angg Tyuuoo Sangi In
-
6 *) #)
Bendoro Kanjeng Pangeran Ario Suryohamijoyo.
Soerjohamidjojo, Bendoro Kanjeng Pangeran Ario
Solo
13-10-1905
Ajudan Sri Susuhunan Surakarta
-
7
Bendoro Pangeran Hario Bintoro
Bintoro', Bendoro Pangeran Hario
Yogyakarta
02-08-1914
Pejabat di Kesultanan Yogyakarta
-
8 *)
Dr. Kanjeng Raden Tumenggung Rajiman Wedyodiningrat
Wedyodiningrat, Radjiman, Kanjeng Raden Tumenggung, Dr
Yogyakarta
21-04-1879
Angg Tyuuoo Sangi In, Pertanian di Bulak Ngalaran Walikukun Kab Ngawi
-
9
Martoatmodjo, Boentaran, Raden, Dr.
Loano, Purworejo
11-01-1896
Ka RSU Negeri Semarang, Wa Ketua Syuu Hookoo Kai Semarang dan Tyuuoo Sangi In
Men Kes I
10
Koesoemaatmadja, Soleiman Effendi, Raden. Dr.
Purwakarta
08-09-1898
Ketua Tihoo Hooin Semarang, Kendal, Semarang Ken Kooto Hooin Kinmu
Ketua MA I
11
Sastrawidagda, Samsi, Dr.
Solo
13-03-1894
Ka Kantor Partikelir Tatausaha dan Pajak Surabaya, Angg Tyuuoo Sangi In
Men Keu I
12
Wirjosandjojo, Soekiman, Dr.
Sewor, Solo
19-06-1896
Dokter Partikelir di Yogyakarta
-
13
Drs. Kanjeng Raden Mas Hario Sosrodiningrat
Sosrodiningrat, Kanjeng Raden Mas Hario, Drs.
Solo
01-12-1902
Solo Kooti Soomuu Tyookan
-
14
Hatta, Mohammad, Drs.
Bukit Tinggi, Sumbar
12-08-1902
Angg Tyuuoo Sangi In, Wa Ketua Hookoo Kaigi Jawa Hookookai
Wakil Presiden I
15
Sanoesi, A.A., Haji
Cantayan, Sukabumi
18-09-1888
Angg Bogor Syuu Sangi Kai
-
16 *)
Hasjim, Abdoel Wachid, Haji.
Jombang
12-02-1913
Berniaga, Penasehat Kantor Penyelidikan Surabaya.
-
17
Salim, Agoes, Haji.
Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumbar
08-10-1884
N/A
-
18 #)
Ir. Pangeran Muhammad Nur
Noor, Mohammad, Pangeran, Ir.
Martapura, Banjarmasin
24-07-1901
Pemimpin Kantor Pengairan Bondowoso
Gubernur Kalimantan I
19
Moenandar, Ashar Soetedjo, Raden, Ir.
Siluwak Sawangan Batang
30-04-1914
Ingenieur Seibu Jawa Denki Zidyoo Koosya Bogor [versi: Suisin Taityoo Ngawi]
-
20
Ir. Raden Mas Panji Surahman Cokroadisuryo
Tjokroadisoerjo, Soerachman, Raden Mas Panji, Ir.
Wonosobo
30-08-1894
Pem Kantor Pusat Kerajinan dan Jawata Tera
Men Kemakmuran I
21
Soerjohadikoesoemo, Rooseno, Raden, Ir.
Madiun
08-08-1908
Ingenieur, Pem distrik II Pengairan Jatim Kediri, Angg Tyuuoo Sangi In, Wa Penasehat Syuu Sangi Kai Kediri
-
22 *)
Ir. Sukarno.
Soekarno, Ir.
Surabaya
06-06-1901
Penasehat Tyuuoo Sangi In, Sango Soomubu Jakarta
Presiden I
23
K.H. Abdul Halim (Muhammad Syatari)
Halim, Abdul (Mohammad Sjatari), K.H.
Majalengka
17-06-1887
Penasehat Perikatan Umat Islam Majalengka, Angg Tyuuoo Sangi In Jakarta.
-
24
Kanjeng Raden Mas Tumenggung Ario Wuryaningrat.
Woerjaningrat, Kanjeng Raden Mas Toemenggoeng Ario.
Solo
12-03-1885
Bupati Nayoko Kaprah Tengan di Kraton Solo
-
25 *)
Hadikoesoemo, Bagoes, Ki
Yogyakarta
xx-xx-1890
Angg Tyuuoo Sangi In, Ketua Muhammadiyah.
-
26 *)
Dewantara, Hajar, Ki
Paku Alaman, Yogyakarta
08-05-1889
Angg Tyuuoo Sangi In Soomu Jawa Hookookai Yogyakarta.
Menteri P&K I
27 #)
Hasan, Abdul Fatah, Kiai Haji.
Bojonegaro, Cilegon atau Menes (Banten Selatan) (?)
xx-xx-1912
Angg Banten Syuu Sangi Kai.
-
28
Kiai Haji Mas Mansoer.
Mansoer, Mas, Kiai Haji.
Surabaya
25-06-1896
Kamon Shuumubu, Masyumi Jakarta.
-
29
Kiai Haji Masjkur.
Masjkoer, Kiai Haji.
Singasari Malang
30-12-1902
Tokoh NU
-
30
Liem, Koen Hian.
Banjarmasin
xx-xx-1896
N/A
Pindah kewarga-negaraan
31
Mas Aris.
Aris, Mas.
Karanganyar, Kebumen
02-01-1901
Ketua Pati Syuu Sangi Kai, Angg Tyuuoo Sangi In.
-
32
Kartohadikoesoemo, Soetardjo. Mas
Kunduran, Blora
22-10-1892
Syuutyookan Jakarta.
Gubernur Jabar I
33
Maramis, A. A., Mr.
Manado
20-06-1897
Advokat Jakarta.
Meneg Kabinet I
34
Mr. Kanjeng Raden Mas Tumenggung Wongsonagoro.
Wongsonagoro, Kanjeng Raden Mas Toemenggoeng, Mr.
Solo
20-04-1897
Bupati Sragen
Residen
35 #)
Mr. Mas Besar Martokusumo.
Martokoesoemo, Mas Besar, Mr.
Brebes
08-07-1893
Walikota Tegal
-
36
Tirtoprodjo, Soesanto, Mas, Mr.
Solo
03-03-1900
Madiun Sityoo
-
37
Yamin, Muhammad, Mr.
Sawahlunto, Sumbar
23-08-1903
Penasehat Sendenbu-sendenka (Sanyoo-Sendenbu)
-
38 *)
Mr. Raden Ahmad Subarjo
Soebardjo, Ahmad, Raden, Mr.
Krawang
23-03-1897
Pem bag Informasi Gunseikanbu cabang I Jakarta
Men LN I
39
Mr. Raden Hindromartono,
Hindromartono, Raden, Mr.
Gunem, Rembang
31-12-1908
Shokuin Naimobu Roodo Kyoku
-
40
Mr. Raden Mas Sartono.
Sartono, Raden Mas. Mr.
Wonogiri
05-08-1900
Advokat, Angg Tyuuoo Sangi In
Men Neg Kabinet I
41
Mr. Raden Panji Singgih.
Singgih, Raden Panji, Mr.
Malang
17-10-1894
Pembesar Umum Naimuu Koseika Tyoo Jakarta
-
42
Mr. Raden Samsudin
Samsoedin, Raden, Mr.
Sukabumi
01-01-1908
N/A
-
43
Mr. Raden Suwandi.
Soewandi, Raden, Mr.
Ngawi
31-10-1898
Sanyo Bunkyoo Kyoku
-
44
Mr. Raden, Sastromulyono.
Sastromoeljono, Raden, Mr.
Kudus
16-10-1898
Hakim Kootoo Hooin dan Tihoo Hooin Jakarta Tangerang
-
45 *)
Latuharhary, Johanes. Mr.
Saparua, Ambon
06-07-1900
Peg. Somubu Jakarta
Gubernur Maluku I
46
Ny. Mr. Raden Ayu Maria Ulfah Santoso
Santoso, Maria Ulfah, Raden Ayu, Mr.
Semarang
18-08-1911
Peg Syhobu Jakarta
Men Sos 1946
47
Mangoenpoespito, Siti Soekaptinah Soenarjo, Raden Nganten
Yogyakarta
28-12-1907
Kabag Wanita Kantor Pus Jawa Hookoo Kai Jakarta
-
48
Oey, Tiang Tjoei.
Jakarta
xx-xx-1893
Angg Tyuuoo Sangi In, Presiden Hua Chiao Tong Hui
-
49
Oey, Tjong Hauw.
Semarang
xx-xx-1904
Angg Tyuuoo Sangi In
-
50
Dahler, P.F.
Semarang
21-02-1883
N/A
-
51
Harahap, Parada
Pargarutan, Sumut
15-12-1899
Direktur Percetakan dan Harian Sinar Baru Semarang
Gelar Maharaja Goenoeng Moeda
52 *)
Prof. Dr. Mr. Raden Supomo.
Soepomo, Raden, Prof. Mr. Dr.
Sukoharjo, Solo
22-01-1903
Pem. Hooki Kyoku, Angg Saikoo Hooin
Men Keh I
53
Prof. Dr. Pangeran Ario Husein Jayadiningrat
Djajadiningrat, Husein, Pangeran Ario, Prof. Dr.
Kramat Watu, Serang
08-12-1886
Syumubutyoo, Angg Tyuuoo Sangi In Jakarta.
-
54
Koesoema, Djenal Asikin Widjaja, Raden. Prof. Dr.
Mononjaya, Tasikmalaya
07-06-1891
Wa Pemimpin RSU Negeri, Guru Tinggi Ika Dai Gaku Jakarta
-
55 *)
Kadir, Abdul, Raden
Binjai, Sumut
06-06-1906
Opsir PETA
-
56
Pratalykrama, Abdoelrahim, Raden
Sumenep, Jatim
10-06-1898
Wa Residen Kediri
Residen Kediri
57
Tjokrosoejoso, Abikoesno, Raden
Ponorogo
16-06-1897
Architectparticulir, Ketua bag Umum kantor pusat Jawa Hookoo Kai
Men PU I
58
Raden Adipati Ario Purbonegoro Sumitro Kolopaking
Kolopaking, Poerbonegoro, Soemitro, Raden Adipati Ario.
Papringan, Banyumas
14-06-1887
Bupati Banjarnegara
-
59 *)
Raden Adipati Wiranatakusuma.
Wiranatakoesoema, Raden Adipati.
Bandung
08-08-1888
Bupati Bandung
Men Dagri I
60 #)
Natanegara, Asikin, Raden
Bogor
23-12-1902
Ikyu Keishi pada Keimubu
-
61
Djojohadikoesoemo, Margono, Raden Mas.
Purbolinggo
16-05-1894
Penulis Koperasi Kantor Pusat Koperasi Perdagangan Dagri Jakarta
Pendiri BNI 46
62
Raden Mas Tumenggung Ario Suryo
Soerjo, Raden Mas Toemenggoeng Ario
Magetan
09-07-1895
Residen Bojonegoro
Gubernur Jatim I
63 *)
Iskandardinata, Oto, Raden
Bojongsoang, Kab Bandung
31-03-1897
Angg Tyuuoo Sangi In, Zissenkyokutyoo Jawa Hookookai Jakarta
Meneg Kabinet I
64 *) ++)
Raden Panji Suroso
Soeroso, Raden Pandji
Porong, Sidoarjo
03-11-1893
Wa Ketua Syuu Hookoo Kai Malang
Gubernur Jateng I
65
Wongsokoesoemo, Roeslan, Raden
Tanah Merah, Sampang, Madura
15-10-1901
Wa Ketua Perseroan Tanggungan Jiwa Bumiputera Jatim, Pembantu kantor cab Asia Raya dan Jawa Shimbun
-
66
Raden Sudirman
Soedirman, Raden
Semarang
24-12-1890
Wa Ketua Syuu Hookoo Kai dan Penasehat Surabaya Syuu Sangi Kai
Residen Surabaya
67
Wirjopranoto, Soekardjo, Raden
Kasugihan, Cilacap
05-06-1903
Pem Surat Kabar Aria Raya
Jurubicara Negara
68
Tan, Eng Hoa
Semarang
xx-xx-1907
N/A
-
69
Ichibangase Yosio
N/A
N/A
N/A
-
67 ^) [1]
Mitukiyo, Matuura
N/A
N/A
Boo-e ki Kenkyushotyoo
-
68 ^)[1]
Syoozoo, Miyano
N/A
N/A
Tianbutyoo
-
69 ^)[1]
Minoru, Tanaka
N/A
N/A
Kenkoku Gakuintyoo
-
70 ^)[1]
Tokuzi, Tokonami
N/A
N/A
Nainubutyoo
-
71 ^)[1]
Masumitu ,Itagaki
N/A
N/A
Ika Daigo Kutyoo
-
72 ^)[1]
Toyohiko, Masuda
N/A
N/A
Jawa Shinbun Hensyukutyoo
-
73 ^)[1]
Teitiroo, Ide
N/A
N/A
Eks Anggota Panitia Adat dan Tata Negara
-

Catatan bagian ini:

  1. Tanda *) menunjukkan anggota tersebut juga menjadi anggota PPKI.
  2. Tanda #) menunjukkan anggota tersebut adalah tambahan yang mulai bersidang pada 10 Juli 1945.
  3. Tanda +) dan ++) berturut-turut menujukkan anggota tersebut adalah Ketua dan Ketua Muda (Wakil Ketua) BPUPKI.
  4. Tanda ^) menujukkan anggota tersebut adalah anggota istimewa bangsa Jepang (tanpa hak suara[?]).

Dokuritu Zyunbi Iin Kai

Dokuritu Zyunbi Iin Kai atau yang sering dikenal dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) adalah sebuah Panitia yang dibentuk oleh Pemerintah Angkatan Darat XVI Jepang yang berkedudukan di Jakarta (selengkapnya baca artikel PPKI) ini beranggotakan 21 orang bangsa Indonesia sebagai anggota biasa dan tanpa bangsa Jepang sebagai anggota luar biasa. Pada sidang 18 Agustus 1945 Sukarno sebagai ketua PPKI, dengan sepengetahuan dan persetujuan pemerintah [Militer Jepang (?)] (lihat keterangan di bawah), menambah 6 orang anggota bangsa Indonesia.

Daftar Anggota PPKI

Nomor
Nama anggota dalam EYD
Nama anggota dalam ejaan asli
Tempat kelahiran
Tanggal kelahiran
Pekerjaan/Jabatan
Keterangan lainnya
1
Anang Abdul Hamidan.
Hamidhan, Anang Abdul.
Rantau, Kalsel
25-02-1909
Penanggung jawab Kalimantan Raya kemudian Borneo Shimbun
-
2
Andi Pangeran Pettarani.
Pettarani, Pangeran, Andi.
Gowa, Sulsel
14-04-1903
Bontonompo (Gowa) dan Arung Macege (Bone)
-
3 *)
Bandoro Pangeran Hario Purubojo.
Poeroebojo, Bandoro Pangeran Hario.
Yogyakarta
25-06-1906
Pembesar Kawedanan Kori Kraton Yogyakarta, Angg Tyuuoo Sangi In
-
4 *)
Bendoro Kanjeng Pangeran Ario Suryohamijoyo.
Soerjohamidjojo, Bendoro Kanjeng Pangeran Ario.
Solo
13-10-1905
Ajudan Sri Susuhunan Surakarta
-
5
Dr. G.S.S.J. Ratulangie.
Ratulangie, G.S.S.J., Dr.
Tondano, Minahasa
05-11-1890
Peg Kantor Chosasitu Jakarta dan Makasar (Sw)
Gubernur Sulawesi I
6 *)
Dr. Kanjeng Raden Tumenggung Rajiman Wedyodiningrat.
Wedyodiningrat, Radjiman, Kanjeng Raden Tumenggung, Dr.
Yogyakarta
21-04-1879
Angg Tyuuoo Sangi In, Pertanian di Bulak Ngalaran Walikukun Kab Ngawi
-
7
Amir, M, Dr.
Talawi, Sawahlunto, Sumbar
27-01-1900
Dokter Pribadi Sultan Langkat Tanjungpura Sumut
Men Neg
8 *) ++)
Drs. Muhammad Hatta.
Hatta, Mohammad, Drs.
Bukit Tinggi, Sumbar
12-08-1902
Angg Tyuuoo Sangi In, Wa Ketua Hookoo Kaigi Jawa Hookookai.
Wakil Presiden I
9
Yap, Tjwan Bing, Drs.
Solo
31-10-1910
Pengelola Apotek Suniaraya
-
10 *)
Haji Abdul Wahid Hasyim.
Hasjim, Abdoel Wachid, Haji.
Jombang
12-02-1913
Berniaga, Penasehat Kantor Penyelidikan Surabaya.
-
11
Hasan, Moehammad, Teuku, Hadji.
Pidie, Aceh
04-04-1906
Peg Kantor Gubernur Medan
Gubernur Sumatera I
12 *) +)
Ir. Sukarno.
Soekarno, Ir.
Surabaya
06-06-1901
Penasehat Tyuuoo Sangi In, Sango Soomubu Jakarta
Presiden I
13 *)
Ki Bagus Hadikusumo.
Hadikoesoemo, Bagoes, Ki.
Yogyakarta
xx-xx-1890
Angg Tyuuoo Sangi In, Ketua Muhammadiyah.
-
14 *) #)
Ki Hajar Dewantara.
Dewantara, Hajar, Ki.
Paku Alaman, Yogyakarta
08-05-1889
Angg Tyuuoo Sangi In Soomu Jawa Hookookai Yogyakarta.
Menteri P&K I
15 *)
Mas Sutarjo Kartohadikusumo.
Kartohadikoesoemo, Soetardjo. Mas.
Kunduran, Blora
22-10-1892
Syuutyookan Jakarta.
Gubernur Jabar I
16
Mr. Abdul Abbas.
Abbas, Abdul, Mr.
Diskie, Binjai, Sumut
11-08-1906
Angg Tyuuoo Sangi In Sumatera
Residen Lampung I
17
Pudja, I Gusti Ketut, Mr
Singaraja, Bali
19-05-1908
Giyozei Komon (Sunda Minseibu)
Gubernur Sunda Kecil I
18 *) #)
Mr. Raden Ahmad Subarjo.
Soebardjo, Ahmad, Raden, Mr.
Krawang
23-03-1897
Pem bag Informasi Gunseikanbu cabang I Jakarta
Men LN I
19 #)
Soemantri, Iwa Koesoema, Raden, Mr.
Ciamis
31-05-1899
Bekas hakim Keizei Hooin Makassar
-
20 #)
Singodimedjo, Kasman, Raden, Mr.
Kalirejo, Purworejo
25-02-1908
Dai Dantyoo PETA Jakarta
Ketua BKR, Ketua KNIP, Jaksa Agung
21 *)
Mr. Yohanes Latuharhary.
Latuharhary, Johanes. Mr.
Saparua, Ambon
06-07-1900
Peg. Somubu Jakarta.
Gubernur Maluku I
22 #)
Melik, Mohammad Ibnu Sayuti.
Yogyakarta
25-11-1908
Pemred Surat Kabar Sinar Baru Semarang
-
23 *)
Prof. Dr. Mr. Raden Supomo.
Soepomo, Raden, Prof. Mr. Dr.
Sukoharjo, Solo
22-01-1903
Pem. Hooki Kyoku, Angg Saikoo Hooin
Men Keh I
24 *)
Raden Abdul Kadir.
Kadir, Abdul, Raden.
Binjai, Sumut
06-06-1906
Opsir PETA.
-
25 *) #)
Raden Adipati Wiranatakusuma.
Wiranatakoesoema, Raden Adipati.
Bandung
08-08-1888
Bupati Bandung
Men Dagri I
26 *)
Raden Oto Iskandardinata.
Iskandardinata, Oto, Raden.
Bojongsoang, Kab Bandung
31-03-1897
Angg Tyuuoo Sangi In, Zissenkyokutyoo Jawa Hookookai Jakarta.
Meneg Kabinet I
27 *)
Raden Panji Suroso.
Soeroso, Raden Pandji.
Porong, Sidoarjo
03-11-1893
Wa Ketua Syuu Hookoo Kai Malang
Gubernur Jateng I

Catatan bagian ini:

  1. Tanda *) menunjukkan anggota tersebut juga menjadi anggota BPUPKI
  2. Tanda #) menunjukkan anggota tersebut adalah tambahan (sepengetahuan dan mendapat persetujuan pemerintah [Jepang?] lihat Risalah hal 327 [edisi II] dan 445 [edisi III])
  3. Tanda +) dan ++) berturut-turut menujukkan anggota tersebut adalah Ketua dan Wakil Ketua PPKI

Keterangan dan Pertanggung jawaban

  1. Data bersumber pada Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei-22 Agustus Edisi ke-3 (Saafroedin et. al. [Ed], 1995) dan Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei-19 Agustus Edisi ke-2 Cetakan ke-4 (Saafroedin et. al. [Ed], 1993);selanjutnya disebut Risalah.
  2. Nama anggota dalam ejaan asli merupakan nama yang tertulis pada Biodata Anggota BPUPKI dan PPKI (buku bagian terakhir dan tanpa halaman), kecuali untuk anggota yang berkebangsaan Jepang diambilkan dari Sidang 11 Juli 1945 hal 201-204 Risalah edisi III dan hal 166-170 Risalah edisi II (lihat poin atas).
  3. Nama anggota dalam EYD adalah nama yang ejaannya disesuaikan dengan EYD dan disusun ulang, sebagian menyesuaikan dengan berbagai halaman pada Risalah, dan sebagian merupakan usaha penyusun sendiri. Penyusunan/pengurutan Anggota BPUPKI dan PPKI berdasarkan pada kolom ini.
  4. Untuk nama cetak tebal (bold) merupakan nama keluarga/marga (family name) atau nama yang dianggap nama keluarga/marga (family name).
  5. Untuk nama cetak miring (italic) merupakan gelar akademis, kebangsawanan, keagamaan, maupun gelar yang lain.
  6. Tempat tanggal lahir sebagian diperjelas dengan menunjukkan lingkungan Provinsi sekarang (2007)
  7. Tanggal lahir dan bulan lahir xx belum diketahui
  8. Pekerjaan/Jabatan adalah pekerjaan anggota di tahun 1944/1945 (saat menjabat sebagai anggota BPUPKI dan atau PPKI)
  9. N/A (Not Available) pada Kolom Nama, Tempat dan Tanggal Lahir serta Pekerjaan adalah belum terdapat data.
  10. Anggota BPUPKI pada sidang I (28 Mei – 1 Juni 1945) berjumlah 62 orang bangsa Indonesia dan 8 orang anggota Luar Biasa (Istimewa) Berkebangsaan Jepang (lihat di atas). Pada sidang ke II (10-17 Juli 1945) keanggotaan ditambah 6 orang bangsa Indonesia (lihat Risalah edisi III: xxv-xxvii, 86, 371-372 dan Risalah edisi II: 74).
  11. Anggota PPKI pada saat pembentukannya (7 Agustus 1945) berjumlah 21 orang bangsa Indonesia. Pada 18 Agustus 1945 ditambah 6 orang dengan sepengetahuan dan persetujuan Pemerintah [Jepang(?)] (Risalah edisi III: 445 dan Risalah edisi II, 1993: 327)

Referensi

  1. Saafroedin Bahar et. al. (Ed). (1993) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945. Edisi II. Cetakan 4. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
  2. __________________ (1995) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Edisi III Jakarta: Sekretariat Negara RI.
  1. ^ a b c d e f g Silalahi, Saing. 2001. Dasar-dasar INDONESIA MERDEKA: Versi Para Pendiri Bangsa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Artikel terkait ideologi Pancasila



Sejarah
Pancasila Perisai.svg


Tokoh terkait


Badan terkait


Hal terkait


1 komentar:

  1. Perubahan piagam Jakarta itu merupakan karunia Allah , coba renungkan jika Piagam Jakarta itu dibacakan saya cuplik :......"dengan berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, Coba kalimat diatas itu benar apa salah ? Ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab . apa Tuhan umat Islam itu menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab, apa ngak keliru ? bersegerahlah mohon ampun untuk panjenengan KH Firdaus AN yang telah mengatakan pengkhianatan terhadap Soekarno Hatta , sebab apa yang anda pahami belum tentu benar menurut Allah , justru tangan Allah turun untuk menyelamatan umat Islam melalui Soekarno Hatta .

    BalasHapus