Mantan Rektor UGM Heran Kenapa Keraton Pakai Cara PKI
Selasa, 14 Desember 2010 , 07:41:00 WIB
Laporan: Ujang Sunda
ICHLASUL AMAL/IST
RMOL. Ternyata tidak semua masyarakat Yogyakarta menginginkan agar Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX langsung ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta. Mantan Rektor Universitas Gajah Mada Ichlasul Amal misalnya.
Guru besar politik UGM ini menilai untuk konteks jaman saat ini, penetapan gubernur dan wakil gubernur sangat tidak tepat. Karena itu dia mengaku miris melihat aksi unjuk rasa dan sidang rakyat di Yogya kemarin siang yang menuntut penetapan.
“Saya kurang setuju dengan cara-cara seperti ini. Show of force seperti ini adalah cara-cara lama,” katanya kepada Rakyat Merdeka Online, Senin malam (13/12).
Dia menegaskan, kalau memang Sultan didukung oleh semua lapisan rakyat Yogya untuk jadi Gubernur DIY, seharusnya Sultan tidak usah takut untuk menghadapi pemilihan. Sebab, Sultan dipastikan akan menang dalam pemilihan itu. “Kalau ikut pemilihan, Sultan itu sudah pasti menang. Tidak akan ada yang bisa mengalahkan Sultan,” tukasnya.
Cara show of force atau menunjukkan kekuatan besar dengan mengerahkan ribuan massa, lanjut dia, adalah cara lama yang dilakukan PKI dulu dalam memetakonplikkan keputusan Keraton dengan masyarakat Yogya. Karena itu, dia merasa aneh kenapa cara lama ini kemudian malah dipakai Keraton untuk memetakonplikkan keputusan pemerintah.
Ichlasul mengakui, saat ini memang Sultan tidak mengajurkan rakyat Yogya untuk melakukan sidang rakyat dan unjuk rasa. Namun, dengan membiarkan semua ini, sama saja Sultan setuju bahkan menginginkan aksi itu untuk melanggengkan posisinya sebagai gubernur.
“Kalau dia tidak setuju, dia harusnya sudang ngomong. Ini kan tidak. Demo-demo ini dibiarkan saja berjalan,” tukasnya.
Kalau sudah ada show of force seperti ini, lanjutnya, DPRD DIY pun tidak akan bisa berbuat apa-apa. Dihadapkan dengan ribuan massa yang menjejalan Malioboro, mau tidak mau mereka juga harus setuju dengan penetapan.
“Kalau sudah dipetakonplikkan seperti ini, mereka nggak akan bisa berbuat apa-apa. Saat berhadapan dengan massa begitu banyak, mana mungkin mereka bisa menolak,” tukas Ichlasul.
Dia melanjutkan, Sri Sultan memang memiliki posisi yang sangat tinggi bagi masyarakat Yogya. Tapi, kalau Sultan ditetapkan sebagai gubernur seumur hidup, tidak akan bagus juga baik untuk Yogya maupun alam demokrasi Indonesia.
“Harus ada batasnya. Jabatan itu nggak boleh seumur hidup, apalagi turun temurun. Kalau seperti itu, enak banget nanti keluarganya,” cetusnya.
Di negara mana pun, tambahnya, tidak ada raja dan keturunannya secara otomatis langsung menduduki posisi puncak di pemerintahan. Raja ada hanya untuk meneruskan budaya. Kalau mau jadi pimpinan pemerintahan, maka harus ikut pemilihan.
“Masa kita mau bikin UU yang akan menetapkan gubernur seumur hidup. Ya nggak boleh seperti itulah. Di Inggris saja, raja tidak memimpin negara. Yang memimpin tetap harus melalui pemilihan,” tandasnya. [zul]
Selasa, 14 Desember 2010 , 07:41:00 WIB
Laporan: Ujang Sunda
ICHLASUL AMAL/IST
RMOL. Ternyata tidak semua masyarakat Yogyakarta menginginkan agar Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX langsung ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta. Mantan Rektor Universitas Gajah Mada Ichlasul Amal misalnya.
Guru besar politik UGM ini menilai untuk konteks jaman saat ini, penetapan gubernur dan wakil gubernur sangat tidak tepat. Karena itu dia mengaku miris melihat aksi unjuk rasa dan sidang rakyat di Yogya kemarin siang yang menuntut penetapan.
“Saya kurang setuju dengan cara-cara seperti ini. Show of force seperti ini adalah cara-cara lama,” katanya kepada Rakyat Merdeka Online, Senin malam (13/12).
Dia menegaskan, kalau memang Sultan didukung oleh semua lapisan rakyat Yogya untuk jadi Gubernur DIY, seharusnya Sultan tidak usah takut untuk menghadapi pemilihan. Sebab, Sultan dipastikan akan menang dalam pemilihan itu. “Kalau ikut pemilihan, Sultan itu sudah pasti menang. Tidak akan ada yang bisa mengalahkan Sultan,” tukasnya.
Cara show of force atau menunjukkan kekuatan besar dengan mengerahkan ribuan massa, lanjut dia, adalah cara lama yang dilakukan PKI dulu dalam memetakonplikkan keputusan Keraton dengan masyarakat Yogya. Karena itu, dia merasa aneh kenapa cara lama ini kemudian malah dipakai Keraton untuk memetakonplikkan keputusan pemerintah.
Ichlasul mengakui, saat ini memang Sultan tidak mengajurkan rakyat Yogya untuk melakukan sidang rakyat dan unjuk rasa. Namun, dengan membiarkan semua ini, sama saja Sultan setuju bahkan menginginkan aksi itu untuk melanggengkan posisinya sebagai gubernur.
“Kalau dia tidak setuju, dia harusnya sudang ngomong. Ini kan tidak. Demo-demo ini dibiarkan saja berjalan,” tukasnya.
Kalau sudah ada show of force seperti ini, lanjutnya, DPRD DIY pun tidak akan bisa berbuat apa-apa. Dihadapkan dengan ribuan massa yang menjejalan Malioboro, mau tidak mau mereka juga harus setuju dengan penetapan.
“Kalau sudah dipetakonplikkan seperti ini, mereka nggak akan bisa berbuat apa-apa. Saat berhadapan dengan massa begitu banyak, mana mungkin mereka bisa menolak,” tukas Ichlasul.
Dia melanjutkan, Sri Sultan memang memiliki posisi yang sangat tinggi bagi masyarakat Yogya. Tapi, kalau Sultan ditetapkan sebagai gubernur seumur hidup, tidak akan bagus juga baik untuk Yogya maupun alam demokrasi Indonesia.
“Harus ada batasnya. Jabatan itu nggak boleh seumur hidup, apalagi turun temurun. Kalau seperti itu, enak banget nanti keluarganya,” cetusnya.
Di negara mana pun, tambahnya, tidak ada raja dan keturunannya secara otomatis langsung menduduki posisi puncak di pemerintahan. Raja ada hanya untuk meneruskan budaya. Kalau mau jadi pimpinan pemerintahan, maka harus ikut pemilihan.
“Masa kita mau bikin UU yang akan menetapkan gubernur seumur hidup. Ya nggak boleh seperti itulah. Di Inggris saja, raja tidak memimpin negara. Yang memimpin tetap harus melalui pemilihan,” tandasnya. [zul]
http://forum.detik.com/mantan-rektor-ugm-heran-kenapa-keraton-pakai-cara-pki-t223935.html?nd991103frm
Yth. Bpk Ichlasul Amal,
BalasHapusSangat disayangkan komentar anda yang paham berkomunikasi namun sangat berlebihan. Seandainya ada pendapat seperti paham anda, saya kira hanya sedikit dan anda merasa risih. Coba bilamana pihak anda yang berbuat begitu, maka akan lain lagi suara anda. Namun suara rakyat lainnya kan boleh juga bersuara dgn cara mereka. Cara anda menggunakan kata2 "sepeti PKI" adalah sangat tendensius dan sangat berlebihan. Saya pribadi ingin tatacara kekeratonan dan kesatuan rahayat Yogya dan Sultan seperti selama ini, dan kenyataannya sudah mantap dan berjalan baek, karena itu seyogianya dilestarikan sebagai bagian dari Bhineka Tunggal Ikanya RI serta jalan sejarah yang tetap menjadi tolok ukur dan bandingan, mana yang lebih baik dan menyatu dengan rahayat. Tentu bukan rahayat seperti Anda yang sangat pintar memutar balik dan sangat licin berpolitik tinggi atau oportunis. Mungkin anda lupa sejarah RI dan karenanya anda lupa kacang sama kulit. Itu kan lazim saja dinegara yang menganut liberalisme seperti pahamnya para tokoh penjajah yang bertahun2 bahkan ratusan tahun menginjak-injak Negara dan rahayat kita.
Terima kasih atas ungkapan anda yang memang mungkin anda adalah bagian dari antek kolonialis. Wassalam