Kamis, 09 Desember 2010

PEMIMPIN DAN RAKYAT

PELAJARAN KESEMBILAN (SURAT AN NUR 47 – 57)

Ditulis oleh fauzi di/pada 21/11/2008
http://imamuna.wordpress.com/2008/11/21/pelajaran-kedelapan-surat-an-nur-47-57/#more-170

HUBUNGAN PEMIMPIN DAN RAKYAT


Pada bagian ini surah An Nur kembali pada tema awalnya, yaitu tentang akhlaq bermasyarkat dalam membangun hubungan harmonis antara pemimpin dan rakyat.
Permasalahan ini dibahas surah An Nur dalam ayat 47 sampai 57.
وَيَقُولُونَ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ (47) وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (48) وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (49) أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (50) إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (51) وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ (52) وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ أَمَرْتَهُمْ لَيَخْرُجُنَّ قُلْ لَا تُقْسِمُوا طَاعَةٌ مَعْرُوفَةٌ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (53) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (54) وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (55) وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (56) لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مُعْجِزِينَ فِي الْأَرْضِ وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَلَبِئْسَ الْمَصِيرُ (57)
Artinya: Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya)” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka bukanlah orang-orang yang beriman.
Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.
Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh.
Apakah ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau karena mereka ragu-ragu ataukah karena takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.
Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.
Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: “Janganlah kamu bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) keta’atan yang sudah dikenal. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Katakanlah: Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sunguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, setelah merka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan ta’atlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.
Janganlah kamu kira bahwa orang-orang kafir itu dapat melemahkan (Allah dari mengazab mereka) di bumi ini, sedang tempat tinggal mereka di (akhirat) adalah neraka. Dan sungguh amat jeleklah tampat kemabali itu.

Pada bagian ini akan dibahas tiga hal penting dalam rangka hubungan kemasyarakatan yaitu:
a. Sikap kaum munafiqin dalam bertahkim
b. Sikap kaum mukminin dalam bertahkim
c. Khilafah Islamiyah

1. Sikap Munafiqin dalam Bertahkim
Pada bagian ini akan dibahas tentang kaum munafiqin. Sebuah komunitas yang mengaku beriman tetapi tidak dapat dibimbing dengan ayat-ayat Allah. Mereka menampakkan Islam dalam formalitas zahirnya, akan tetapi ia tidak dapat berakhlak seperti kaum mu’minin dalam mentaati Allah dan rasul-Nya.
Ayat ini dilatarbelakangi oleh sikap kaum munafiqin yang bersikap setengah-setengah dalam penegakan hukum Islam. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa apabila seseorang bertengkar dengan yang lainnya dan ia merasa benar, ia akan minta diadili oleh Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena ia tahu bahwa Nabi akan mengadilinya dengan haq. Akan tetapi apabila ia bertengkar dan bermaksud berbuat zalim, ia aka menolak untuk diadili oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengajak untuk diadili oleh orang lain. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. [1] Firman Allah:
وَيَقُولُونَ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ (47) وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (48) وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (49) أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (50)
Artinya: Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya)” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau karena mereka ragu-ragu ataukah karena takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. An Nur/24: 47-50)

Islam adalah ajaran agama yang dinamis, tidak pasif. Iman yang benar ketika bersemayam dalam hati akan terlihat pengaruhnya pada sikap dan amal perbuatan. Keberadaan iman di alam rasa akan menggerakkan dinamika di alam nyata. Pendidikan Islam melakukan proses tranformasi akidah yang ada dalam hati menjadi amal perbuatan pada anggota badan. Amal perbuatan inilah yang dapat diukur dalam pembentukan masyarakat.
Kaum munafik ini mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kami mentaatinya…”. Mereka ucapkan itu dengan mulutnya, tetapi realisasinya tidak ada dalam amal perbuatannya.
Mereka berpaling dari realitas iman yang sesungguhnya. Amal perbuatannya mendustakan apa yang telah diucapkannya. Maka sesungguhnya mereka ini bukanlah orang-orang beriman, karena orang-orang beriman itu perbuatannya akan membenarkan ucapannya. Iman bukanlah permainan yang mudah diambil dan dibuang. Akan tetapi iman adalah kebenaran yang diyakini dalam hati, dinyatakan dengan ucapan dan dibuktikan dengan amal perbuatan.
Ridha terhadap kebenaran adalah tuntutan iman yang paling utama. Penolakan terhadap kebenaran dan sikap plin-plan dalam menghadapi kebenaran sesuai dengan kepentingan sesaat adalah iman yang cacat, yang tidak pantas dilakukan seorang mu’min. Hal ini merupakan bentuk kemunafikan. Firman Allah:
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ
Artinya: Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh.(QS. An Nur/24: 48)

Mereka sesungguhnya mengetahui bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya tidak akan bergeser dari kebenaran, tidak akan mengikuti subyektifitas nafsu, dan tidak akan terpengaruh oleh perasaan. Mereka ini adalah kelompok manusia yang tidak menghendaki al haq (kebenaran) dan keadilan.
Dari itulah mereka melakukan penolakan untuk bertahkim kepada Rasulullan shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika mereka berada di fihak yang benar dalam sebuah kasus, maka mereka akan segera mendatangi Rasulullah. Karena mereka yakin bahwa Rasulullah akan memutuskan kebenaran di fihak mereka.
Sikap ini sama seperti sikap yang ditunjukkan kaum Yahudi. Jabir bin Abdullah menceritakan: “Ada seorang Yahudi Fadak berzina, lalu orang Fadak ini meminta kepada orang Yahudi Madinah agar menanyakannya kepada Nabi Muhammad. Jika Muhammad mengatakan hukumannya cambuk, maka terimalah, tetapi jika menyatakan hukumannya rajam jangan kamu ambil”.[2]
Orang yang mengaku beriman kemudian bersikap aneh, menyimpang seperti ini adalah contoh orang-orang munafik yang akan tumbuh di setiap ruang dan zaman.
Ridha terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya adalah bukti keimanan yang nyata. Sikap itu merupakan perwujudan yang menggambarkan kemantangan iman di dalam hati. Ridha terhadap hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya adalah merupakan adab yang wajib dilakukan oleh setiap orang beriman. Tidak ada seorangpun yang menolak hukum Allah atau hukum Rasul-Nya kecuali orang yang tidak berakhlaq, karena hatinya tidak dicerahkan oleh cahaya iman.
Sikap kaum munafik ini mengundang tanda tanya besar. Firman Allah:
أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau karena mereka ragu-ragu ataukah karena takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. An Nur/24:50)

Pertanyaan pertama:
“Apakah dalam hati mereka ada penyakit, untuk itsbat (menetapkan) keberadaan sifat nifaq dalam hati mereka. Tidak ridha dengan keputusan Allah adalah buah dari hati yang sakit. Seseorang tidak akan pernah melakukan penyimpangan seperti ini dalam keadaan hati yang baik. Sikap kaum munafik adalah akibat dari penyakit yang menyerang hati mereka sendiri, sehingga tidak dapat istiqomah, dan tidak dapat merasakan hakekat iman. Sabda Nabi:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ : ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الْإِيمَانِ : أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا , وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ , وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Artinya: Diriwayatkan dari Anas bin Malik radliallaahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia bersabda : “Ada tiga hal, yang jika ada pada seseorang ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya, ia tidak akan mencintai seseorang kecuali karena Allah, ia menolak kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkannya, sebagaimana penolakannya jika dicampakkan ke dalam neraka. (H.R. Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)

Pertanyaan kedua:
“Atau karena mereka ragu-ragu, untuk ta’ajjub (keheranan). Bagaimana mereka meragukan hukum Allah padahal mereka mengaku beriman? Apakah mereka meragukan orisinilitas hukum itu dari Allah? Apakah mereka meragukan kelayakan hukum Allah itu dalam penegakan keadilan? Sikap yang demikian sangat jauh dari kamus orang-orang beriman.
Pertanyaan ketiga:
Ataukah karena takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka?” untuk istinkar (penolakan) dan ta’ajjub (keheranan) atas prilaku yang aneh ini. Apakah mereka merasa akan diperlakukan tidak adil oleh Allah dan Rasul-Nya? Aneh sekali, orang yang memiliki ketakutan seperti ini. Bukankah Allah Pencipta dan Pemilik semua alam ini? Bagaimana mungkin Allah berlaku curang dalam menetapkan hukum-Nya kepada seseorang karena kepentingan fihak lain?
Hukum Allah adalah satu-satunya hukum yang bersih dari subyektifitas. Karena Allah-lah Yang Maha Adil, tidak akan pernah menzalimi seorangpun dan menyuruh orang-orang beriman berlaku adil. Firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan….(QS. An Nahl/16: 90)

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. An Nisa/4: 58)

Sementara hukum selain hukum Allah berpeluang terjadinya subyektifitas. Dari itulah, orang-orang yang tidak ridha dengan keputusan Allah dan Rasul-Nya mereka itulah orang-orang zalim yang tidak menginginkan terjadinya keadilan di muka bumi, tidak menginginkan tersebarnya al haq (kebenaran).
Kemunafikan dalam masyarakat akan selalu ada. Walaupun mereka dapat menyembunyikan kebusukan hatinya, tetapi amal perbuatan dan sikap-sikapnya sering membuka dan menelanjangi dirinya sendiri. Firman Allah:
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ أَمَرْتَهُمْ لَيَخْرُجُنَّ قُلْ لَا تُقْسِمُوا طَاعَةٌ مَعْرُوفَةٌ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: “Janganlah kamu bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) keta’atan yang sudah dikenal. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An Nur/24: 53)

Kaum munafik bersumpah di hadapan Rasulullah bahwa kalau mereka disuruh perangpun ia akan berangkat. Tetapi Allah Maha Mengetahui bahwa sumpah mereka itu palsu. Maka Allah mengembalikan sumpah mereka itu, karena loyalitas mereka sudah diketahui umum, kosong tidak ada apa-apanya. Tidak diperlukan sumpah. Seperti komentar seseorang terhadap orang yang sudah dikenal sebagai pembohong : “Tidak usah bersumpah atas kejujuranmu”. Karena dusta pada orang itu sudah sangat jelas tidak memerlukan pembuktian ulang.
Masyarakat muslim diharuskam mengembangkan sensitiftas yang dapat mengenali macam-macam manusia ini dari sikap-sikapnya.
Masyarakat muslim sudah dibekali wahyu Allah, yang memungkinkannya mengenali orang munafik dan membedakanya dengan yang lain. Seperti hadits Nabi :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا , وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا : إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ , وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ , وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ, وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :Ada empat hal, barang siapa memiliki kesemuanya maka ia menjadi munafik tulen, dan jika ada salah satu darinya maka ia memiliki unsur kemunafikan hingga ia dapat meninggalkannya. Yaitu: Jika dipercaya berkhianat, jika berbicara dusta, jika berjanji inkar, dan jika berselisih curang. (Hadits Muttafaq alaih)

Jika terungkap tanda-tanda ini atau sebagiannya pada seseorang, maka seorang muslim harus mewaspadai. Tidak boleh mengumumkan bahwa si fulan adalah munafik, karena bukti yang memastikan bahwa si fulan itu munafik tidak akan dapat diketahui dengan pasti. Dan yang ada hanyalah alamat (tanda-tanda) dan petunjuk.
Sikap kaum muslimin yang demikian akan menambah kebencian kaum munafik terhadap Islam dan kaum muslimin. Dan semakin menambah upaya mereka untuk menyembunyikan kebusukan hatinya.
Kaum muslimin hanya diajarkan untuk mewaspadai mereka. Sebab siapa yang tahu jika di antara mereka ada kembali ke jalan yang benar, menyesali masa lalunya dan kembali bergabung dalam barisan kaum muslimin.
Prinsip bermuamalah dengan kaum munafiq adalah dengan melihat zahirnya saja, sementara isi hatinya hanya Allah yang mengetahuinya.
Abdullah ibnu Umar menceriterakan bahwa ketika Abdullah bin Ubay wafat, anaknya mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Ya Rasulallah berikanlah bajumu kepadaku agar saya mengkafaninya dengan baju itu”. Lalu Rasulullah memberikan bajunya itu. (Hadits Muttafaq alaih )

2. Sikap Mu’minin dalam Bertahkim
Akhlaq orang beriman sangat berbeda dengan orang munafik. Ketika mereka dipanggil untuk berhukum kepada Allah dan rasul-Nya, mereka menyambutnya dengan sambutan khas orang beriman, yang menunjukkan terangnya hati dan bersihnya jiwa mereka. Firman Allah:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An Nur/24:51)

Akhlak kaum mu’minin dalam berhukum kepada Allah dan rasul-Nya adalah, mendengar dan mentaati seruan itu tanpa keraguan dan perdebatan.
Sikap ini muncul dari :
1. Tsiqah (percaya) penuh bahwa hukum Allah dan rasul-Nya adalah hukum yang sesungguhnya.
2. Taslim (penyerahan diri) secara mutlak kepada Allah sebagai Pemberi kehidupan.
3. Thuma’ninah (ketenangan) bahwa kehendak Allah terhadap manusia adalah lebih baik dari pada kehendak manusia itu pada dirinya sendiri. Allah sebagai Pencipta semua makhluk, tentu paling mengetahui apa yang terbaik bagi makhluk-Nya.
Sikap inilah yang membawa keberuntungan. Allah menyebut kaum mu’minin ini sebagai al muflihun (orang-orang yang beruntung).
Mereka beruntung karena Allah-lah yang mengendalikan urusan mereka, menata hubungan mereka, memutuskan antara mereka dengan ilmu dan keadilan-Nya.
Maka tentulah mereka ini orang yang lebih beruntung jika dibandingkan dengan orang-orang yang mengatur, menata, dan memutuskan urusan mereka dengan hukum mereka sendiri, dengan keterbatasan ilmu dan subyektifitas manusia.
Mereka ini beruntung karena mereka berjalan di atas satu jalan istiqomah (lurus) , tidak ada belokan dan persimpangan. Mereka tenang dan berlalu dengan terang. Tidak terpecah konsentrasinya dan tidak pula terbagi potensinya oleh nafsu, mereka hanya melintas di atas jalan Allah. Firman Allah:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Artinya: Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS, An Nur/24: 52)

Ta’at kepada seluruh aturan Allah dan rasul-Nya baik terhadap suruhan maupun larangan adalah loyalitas mutlak (tanpa reserve). Taat yang dibarengi dengan khasyyah (rasa takut) dan taqwa.
Mentaati Allah dan rasul-Nya disertai dengan rasa takut dan taqwa adalah ciri akhlak mulia, menunjukkan suasana hati yang dipenuhi nur Ilahi, menunjukkan ketinggian jiwa seorang mu’min.
Seorang mu’min hakiki tidak akan pernah menundukkan kepalanya kecuali hanya kepada Allah Yang Maha Perkasa.
Adab dalam mentaati Allah yang disertai dengan rasa takut dan taqwa itu ialah: [3]
1. Beristighfar setiap selesai melakukan ibadah, sebagai cerminan rasa takut jika dalam pelaksanaannya terdapat kekurangan atau kekhilafan sehingga tidak sesuai dengan Keagungan Allah SWT. Demikianlah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beristighfar setiap usai menjalankan shalat,[4] dan beristighfar seratus kali setiap hari. [5]
2. Tidak tasyaddud (memilih cara yang berat) dalam mentaati Allah, tetapi menggunakan cara yang paling mudah selama hal itu tidak dilarang. Sabda Nabi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَلاَ هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ , ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia bersabda : “Binasalah orang-orang yang memberatkan diri”. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya tiga kali. (H.R. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad,)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ , وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
Artinya: Diirwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia bersabda : “Sesungguhnya agama ini mudah , dan tidak ada orang yang memperberat agama ini kecuali ia akan mampu mengatasinya”. (Al Bukhari dan Nasa’i)

3. Melakukan semua amal kebajikan itu dengan ikhlas. Firman Allah:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepadanya. (QS Al Bayyinah/98 : 5)

3. Khilafah Islamiyah
Allah SWT menjanjikan balasan dunia kepada kaum mu’minin yang ta’at, sebagai kompensasi dari amal saleh yang mereka lakukan dengan ikhlas, sebelum mereka mendapatkan balasan hari kiamat.
Ayat ini turun berkaitan dengan pertanyaan sahabat Nabi setelah mereka berada di Madinah dan harus terus menerus menenteng pedang, karena keamanan yang masih labil. Seperti yang diriwayatkan oleh Al Hakim dan Ath Thabrani dari Ubay bin Ka’b berkata:
“Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya sampai di Madinah dan disambut serta dijamin keperluannya oleh kaum Anshar, mereka tidak melepaskan busur panah, dan pedang baik siang maupun malam. Mereka bertanya kepada Nabi : “Kapan Engkau dapat menjamin kami tidur dengan aman dan tenang tidak takut kecuali kepada Allah”. Maka turunlah janji Allah ini.[6] Firman Allah :

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sunguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, setelah merka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An Nur.24: 55)

a. Hakekat Khilafah
Khilafah Islam tidaklah hanya bermakna kemenangan, penguasaan dan kepemilikan. Akan tetapi khilafah yang sesungguhnya itu ialah kessempatan untuk melakukan ishlah (perbaikan), ta’mir (pemakmuran), dan bina’ (pembangunan) dalam rangka realisasi program yang telah Allah tetapkan bagi perjalanan manusia di atas dunia ini.
Khilafah di muka bumi adalah kemampuan untuk membangun dan memakmurkan bumi, bukan untuk menghancurkan dan membinasakan. Khilafah di muka bumi adalah kesempatan untuk menegakkan keadilan dan ketenteraman bukan untuk menzalimi dan menindas lawan. Khilafah adalah peluang untuk menaikkan derajat kemanusiaan, bukan untuk menjatuhkan manusia kepada tingkatan hewan.
Khilafah semacam ini Allah janjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Seperti yang dilakukan Nabi Daud AS, Sulaiman AS, dan pemimpin-pemimpin dari kalangan Bani Israil. Firman Allah:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Artinya: Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. As Sajdah/32: 24)

Dan Allah telah meluluskan janji ini ketika menjadikan kaum muslimin mampu menguasai bangsa Arab, kemudian membuka wilayah-wilayah baru ke Timur dan Barat. Mampu mengalahkan Persia dan Romawi. Dan khilafah Islamiyah berkibar dari masa Khulafaurrasyidin di Madinah, Bani Umayyah di Syam maupun Andalusia, Bani Abbasiyah, dan Bani Utsmaniyah di Turki, dan baru berakhir pada seperempat pertama abad dua puluh ini.

b. Agama dan Khilafah
Keteguhan beragama berawal dari keteguhan hati dalam menegakkannya. Sehingga agama menjadi perubah kehidupan, bukan kehidupan merubah agama.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada ‘Adiy bin Hatim ketika mengunjunginya: “Apakah kamu tahu Hiyarah?” [7]
Jawab ‘Adiy: “Saya tidak tahu, tetapi saya pernah mendengarnya”.
Kata Nabi: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, Sesungguhnya Allah akan menyempurnakan agama ini sehingga seorang wanita dari Hiyarah dapat thawaf di Baitullah tanpa ada penjamin. Dan sesungguhnya istana Kisra bin Hurmuz akan dikuasai”.
Saya (‘Adiy) bertanya: “Kisra bin Hurmuz?
Jawab Nabi: “Ya, Kisra bin Hurmuz, dan harta kekayaan akan berlimpah sehingga tidak ada orang yang mau menerima (sedekah)”.
‘Adiy bin Hatim berkata: “Sekarang ini saya lihat wanita dari Hiyarah sudah thawaf di Baitullah tanpa jaminan siapapun, dan saya ikut pula menaklukkan benteng Kisra bin hurmuz. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangannya, pasti akan terjadi yang ketiga, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sudah menyatakannya.[8]

c. Keamanan
Generasi awal kaum muslimin selalu dihantui rasa tidak aman dari serangan lawan, sampai ketika hijrah ke Madinah perasaan tidak aman itu selalu mengancam. Sepertinya mereka tidak sempat menyarungkan pedangnya, sampai mereka mampu meletakkan dasar-dasar kemasyarakatan di Madinah. Firman Allah:
وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ مُسْتَضْعَفُونَ فِي الْأَرْضِ تَخَافُونَ أَنْ يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآَوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: Dan ingatlah (wahai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Makkah), kamu takut orang-orang (Makkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi kamu rizki yang baik-baik agar kamu bersyukur. (QS. Al Anfal/8: 26)

Rabi’ bin Anas menceritakan dari Abul-‘Aliyah tentang ayat ini: Rasulullah bersama para sahabatnya sekitar sepuluh tahun, menyeru manusia bertauhid dan menyembah Allah di Makkah dengan suasana cemas dan tegang karena tekanan kaum kafir Quraisy, sehingga datang izin melakukan hijrah ke Madinah.
Mulailah ada perintah perang, semula ada ketakutan karena kaum muslimin yang masih sangat lemah. Mulailah fase perang. Siang dan malam mereka selalu membawa senjata, mereka terus bersabar dengan keadaan itu. Sehingga ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Rasulallah apakah sepanjang masa kami mengalami ketakutan seperti ini? Apakah tidak ada hari di mana kami bisa meletakkan senjata? Rasulullah menjawab: “ Bersabarlah sejenak, sampai salah seorang di antaramu dapat duduk di sebuah forum besar tanpa ada senjata di sana”.[9]
Pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat menguasai seluruh jazirah Arab, mereka mulai merasa aman dan dapat meletakkan senjatanya, keadaan itu dipertahankan juga di masa Abu Bakar, Umar dan Utsman. Sampai pada suatu saat umat ini hidup dalam keadaan penuh fitnah, kembalilah ketakutan merasuk ke dalam umat ini. Polisi dan petugas keamanan semakin diperbanyak, namun tetap saja tidak ada jaminan keamanan.
Demikianlah janji Allah dan rasul-Nya pada orang-orang beriman dan beramal saleh dalam kehidupan dunianya.
Sesungguhnya janji Allah itu telah nyata. Dan akan terus teralisir selama umat Islam dapat memenuhi syaratnya, yaitu:
يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
Artinya: “Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku”.
Janji Allah ini akan terus berlaku pada siapapun yang memenuhi syarat ini sampai hari kiamat. Keterlamabatan peran kekhalifahan dan keteguhan agama Allah di muka bumi ini sangat tergantung pada keterlambatan pemenuhan syarat yang telah Allah tetapkan. Dan ketika mereka keluar dari jalur yang telah Allah tetapkan itu, maka ia dianggap keluar dari janji Allah.
Ketika para sahabat mampu menjadi orang yang paling taat dan istiqamah di jalan Allah sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka banyak memperoleh kemenangan. Mereka mampu menampilkan kalimah Allah di Timur maupun di Barat. Allah berikan pertolongan besar, sehingga mereka dapat menjadi hakim di seluruh bangsa di dunia.
Dan ketika umat sesudahnya mulai mengendurkan kepatuhannya dalam menjalankan perintah Allah, berkurang pula keberhasilan yang mereka peroleh.
Dan gerakan da’wah Islam tidak akan pernah padam, seperti yang telah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam katakan: “Akan selalu ada dari umatku ini sekolompok orang yang terus menampilkan kebenaran, tidak terganggu oleh orang-orang yang mengolok-oloknya, apalagi yang menentangnya sampai hari kiamat”.[10]
Dari itulah pada penutup janji ini Allah akhiri dengan perintah menjalankan ibadah-ibadah pokok yaitu: mendirikan shalat, membayar zakat, mentaati rasul, tidak merasa kecil karena kebesaran kaum kafir. Firman Allah:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (56) لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مُعْجِزِينَ فِي الْأَرْضِ وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَلَبِئْسَ الْمَصِيرُ (57)
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah rasul, supaya kamu diberi rahmat. Janganlah kamu kira bahwa orang-orang yang kafir itu dapat melemahkan (Allah dari mengazab mereka) di bumi ini, sedang tempat tinggal mereka (di akhirat) adalah neraka. Dan sungguh amat buruk tempat kembali itu. (QS. An Nur/24: 56-57)

Inilah bekal untuk berkomunikasi dengan Allah. Meluruskan hati dengan mendirikan shalat. Mengalahkan sifat pelit, mensucikan jiwa dan membangun rekatan sosial dengan menunaikan zakat, mentaati rasul, ridha dengan hukum-hukumnya, yang kecil maupun besar, menerapkan sistem yang Allah letakkan untuk menata khidupan.
. Kekuatan fisik kaum kafir tidak akan dapat menghentikan gerakan moral kaum muslimin. Kekuatan umat ini adalah keimanan dan kepatuhannya kepada Allah. Jiwa orang beriman akan melahirkan keajaiban-keajaiban.

[1] ibid,
[2] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adhim, op cit, Jilid II h. 82
[3] Mahmud, Abdul Halim, Silsilah Tarbiyah Al Islamiyah fi Al Qur’an Al Karim 2, (Kairo: Mathabi’ Dar Ath Thiba’ah wan nasyr Al Islamiyah, 1994) Cet. I h. 296
[4] Al Asqalani, Bulughul-Maram, op cit, h. 96

[5] An Nawawi, Riyadhushshalihin, h. 34
[6] As Suyuthi, op cit,
[7] Sebuah kota di Iraq terletak di antara Najaf dan Kufah. Terdapat puing-puing kerajaan Al Lahmiyyin, dikenal dengan kegiatan satera dan seni.Lihat: Al Munjid fil -A’lam, (Beirut: Darul Masyriq, 1987) Cet XV h. 227
[8] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adhim, op cit, Juz III h. 403
[9] Quthb, Sayyid, Fi Zhilal Al Qur’an, op cit, Jilid IV h. 2529
[10] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adhim, op cit, Jilid III h. 403

1 komentar:

  1. Analisa 1)Sikap Mu’minin dalam Bertahkim yi antara lain dalam Ayat 51 dan 52 dar Surat Annur ini: Dalam bermasyarakat dan bernegara maka perlu pegangan hukum yang tidak vested dan memberikan rasa Keadilan secara mendasar. Untuk itu hanya dengan menggunakan Hukum Allah saja yang dapat dipastikan sangat minimal kepentingan vestednya dan manfaat keadilannya sangat besar. Sebab apabila menggunakan hukum yang dibuat manusia, maka dapat dipastikan mengandung vestednya para pembuat UU itu yang akan tercermin dalam produk UU itu dan juga dalam operasional pelaksanaannya. Oleh karena itu sangat penting dalam menentukan sikap, bhw hanya dengan produk UU yang berdasarkan wahyu Allah itulah pengaruh vested akan seminimal mungkin, dan hukum keadilan akan lebih tegak dan lebih bersih... Inilah makna statement ayat2 ini...
    Bersamaan dengan itu Allah menjanjikan bahwa dengan mengamalkan dan menerapkan UU dan hukum Allah itu, maka masyarakatnya akan diberikan keadilan, kemenangan dan kejayaan. Insya Allah... sesuai dengan ayat2 yang Allah sampaikan dengan wahyuNya kepada Rasulullah.yang tercantum sebagai berikut:..
    51)Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
    52)Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.

    Maka seyogianya kita merenungkan dan memikirkan dengan bening dan bijaksana...Dan tentu kitapun dapat menggunakan segala akal sehat dan pemikiran yang lurus..dalam aplikasi... Hukum2 Allah itu agar masyarakat benar2 mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya... Karena Hukum Allah adalah Kebenaran dan Keadilan....Wassalam

    BalasHapus