Berhukum dengan Syariah
1. Definisi Syariah Islam
* Secara Bahasa :
Kata asy syari’at secara bahasa berarti madzhab (aliran, isme, pemikiran) dan jalan yang lurus. Dikatakan syir’atul ma’ artinya sumber air yang dituju untuk diminum. Dikatakan Syara’a artinya nahaja (menempuh) wa audhoha (menerangkan) wa bayyana al masalika (menjelaskan jalan yang ditempuh). Syara’ayasyra’u- syar’an lahum artinya sanna (membuat ketetapan). [Tafsir Al Qurthubi 16/10].
* Secara Istilah :
(a) Dien yang Allah syariatkan (tetapkan) kepada hamba-hambaNya, maksudnya hukum yang bermacam-macam. [Tafsir Al Qurthubi 16/163, Al Madkhalu li dirasati Syari'ah Al Islamiyah hal. 34].
(b) Apa yang Allah tetapkan atas hamba-hambaNya berupa aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah dan nudzumul hayah (aturan-aturan kehidupan) dalam berbagai aspeknya yang bermacam-macam untuk merealisasikan kemaslahatan-kemaslahatan hamba-hamba Allah baik di dunia maupun di akhirat. [Tarikhu Tasyri' Al Islami hal. 15].
Hukum-hukum ini disebut syariah karena keistiqamahan dan permisalannya (kemiripannya) dengan sumber air. Dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah Ta’ala ini akan hiduplah jiwa dan akal sebagaimana dalam sumber air terdapat kehidupan bagi badan.
Kata syariah, dien dan milah mempunyai makna yang sama, yaitu hukum-hukum yang ditetapkan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Hukum-hukum ini disebut syariah dengan melihat pada proses penetapan dan penjelasan Allah Ta’ala serta kelurusannya. Hukum-hukum ini disebut dien dengan melihat kepada ketundukan dan peribadahan hamba kepada Allah Ta’ala dengan mentaatinya. Hukum-hukum ini disebut milah dengan melihat kepada imla’ (pendikteannya) kepada hamba
Dengan demikian, yang dimaksud dengan syariah Islam menurut pengertian syar’i adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, baik dengan Al Qur’an maupun dengan sunah Rasulullah. [Al Madkhal Ila Dirasati Syari'ah Islamiyah hal. 34-35].
2. Ruang Lingkup Syariah Islam
Syariah Islam adalah aturan hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Hukum-hukum Islam yang diatur dalam Al Qur’an dan As Sunah meliputi :
1. Aspek aqidah.
2. Aspek akhlaq.
3. Aspek hukum-hukum ‘amaliyah (praktis).
Aspek ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu aspek ibadah yang mengatur hubungan hamba dengan Kholiq seperti sholat, zakat, shoum , haji dan seterusnya, serta aspek mu’amalah yang mengatur hubungan sesama hamba. Dalam istilah kontemporer, aspek mu’amalah ini meliputi aturan hidup yang sangat luas, yaitu :
a]. Ahkamul Akhwal Syakhsiah yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan rumah tangga, Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 70 ayat yang membahas masalah ini.
b]. Al Ahkamul Madaniyah yaitu hukum-hukum yang mengatur transaksi ekonomi sesama anggota masyarakat, seperti jual beli, pegadaian, sewa menyewa, hutang piutang, syirkah dan seterusnya. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 70 ayat yang membahas masalah ini.
c]. Al Ahkamul Jinaiyah (hukum-hukum pidana), mengatur segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan serta hukumannya. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 30 ayat yang membahas masalah ini.
d]. Al Ahkamul Dusturiyah (hukum ketatanegaraan): mengatur mekanisme penyelenggaraan negara berikut hubungan antara penguasa dan rakyat. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 10 ayat yang membahas masalah ini.
e]. Ahkamul Murafa’at (hukum perdata): mengatur hal-hal yang berkaitan dengan dunia peradilan, kesaksian dan sumpah. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 13 ayat yang membahas ini.
f]. Al Ahkamul Iqtishodiyah wal Maliyah (ekonomi dan moneter) ; mengatur pendapatan dan belanja negara serta interaksi antara kaum kaya dan miskin sertanegara dan warga negara dalam masalah ekonomi. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 10 ayat yang membahas masalah ini.
g]. Al Ahkam Ad Duwaliyah : mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara lain dan hubungan negara dengan warga negara kafir dzimmi dalam negara Islam. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 10 ayat yang membahas masalah ini.
[Tarikhu Al Tasyri' Al Islami hal. 84-86, Al Madkhal Ila Dirasati Syari'ah Islamiyah hal. 49-53 dan 156-158, Ilmu Ushulil Fiqhi hal. 32-33 ].
Hukum-hukum ini dibukukan dan diatur lagi secara detail dalam As Sunah An Nabawiyah yang jumlahnya sangatlah banyak. Demikianlah, syariah Islam merupakan aturan hidup dan perundangundangan paling lengkap dan sempurna yang Allah Ta’ala turunkan untuk umat manusia sampai akhir zaman nanti.
3. Prinsip-prinsip syariah Islam dan tabiat hukum-hukumnya :
Menurut tabiat (sifat) nya, hukum-hukum syariah bisa dikelompokkan dalam dua kategori :
(a) Hukum-hukum terperinci : yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah, atau ibadah atau akhlaq atau beberapa masalah khusus yang berkaitan dengan hubungan antar individu. Aqidah hadir secara terperinci menerangkan hakekat-hakekat yang bersifat pasti. Ibadah mengatur hubungan antara hamba dengan Kholiq, sedangkan akhlaq berperan penting dalam meluruskan perilaku masyarakat. Ketiga unsur yang diterangkan secara terperinci ini berjalan seiring membentuk masyarakat yang bertauhid dan lurus serta sholeh. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antara individu juga bersifat tsabat (baku) dan terperinci karena keberadaannya dan hajat manusia kepadanya akan tetap berlangsung sepanjang masa dan di segala tempat, sementara aturan lain tidak ada yang bisa menggantikan perannya dan merealisasika maslahat bagi umat manusia . Yang termasuk dalam hukum ini adalah ; hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga, pernikahan dan warisan, pengharaman riba dalam aspek mu’amalah (interaksi ekonomi), hukuman atas berbagai tindak kriminal (qishosh, diyat, rajam, potong tangan, hukuman atas orang murtad dll). Semuanya bersifat baku karena hanya aturan inilah yang sesuai dengan segala tempat dan zaman serta merealisasikan maslahat bagi umat manusia.
(b) Hukum yang bersifat global, hanya menyebutkan kaedah-kaedah pokok dan prinsip-prinsip umum. Hukum-hukum ini tidak menyebabkan kesempitan bagi umat manusia, sebagaimana juga tidak akan pernah ketinggalan dengan perkembangan tekhnologi dan peradaban umat manusia. Hukum-hukum yang termasuk dalam kategori ini menjadi ruang ijtihad bagi para ulama mujtahidin. Di antara contohnya adalah : kaedah (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain), prinsip syuro dalam bidang hukum dan prinsip keadilan.
[Al Madkhal Ila Dirasati Syari'ah Islamiyah hal. 43-49 dan 157-158, Ilmu Ushulil Fiqhi hal. 33-34, Al Imamatu Al 'Udzma 'Inda Ahli Sunah wal Jama'ah hal. 93-100 ].
4. Peran Imam dan Negara dalam Penerapan Syariah
Syariah Islam yang begitu sempurna dan paripurna ini tidaklah mungkin bisa dilaksanakan secara kaafah oleh individu-individu semata. Memang benar, setiap individu muslim wajib melaksanakan syariat Islam. Namun penerapan syariat Islam secara kaafah menuntut adanya prasarana yang mengatur, melindungi dan memberi sangsi bagi para pelangar syariah Islam, baik dalam aspek aqidah, akhlak maupun hukum.
Tujuan luhur ubudiyah (pengabdian dan penghambaan diri kepada Allah Ta’ala) dengan meniti jalan syariah-Nya memerlukan wasilah (sarana) yang menjamin kelancaran ubudiyah tersebut. Di sinilah arti penting adanya negara Islam dan imam (khalifah).
Sesungguhnya negara Islam ditegakkan dan imam diangkat adalah untuk menegakkan perintah Allah di muka bumi ini sesuai dengan yang disyariatkan Allah Ta’ala serta mar ma’ruf nahi munkar. Memerintahkan segala yang ma’ruf, menyebarkan segala kebajikan d a n meninggikannya semaksimal mungkin, dan mencegah segala yang mungkar, memberantas dan menghukum pelakunya. Inilah tujuan utama diangkatnya imam, sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah Ta’ala :
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (41) (yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (TQS. Al Hajj :40-41).
Tujuan agung ini diwujudkan melalui dua tugas pokok yang besar, yaitu :
A. Iqomatu dien : Menegakkan dien Islam dengan melakukan dua hal :
1). Hifdzuhu (menjaganya) : Yaitu menjaga aqidah Islam dalam dada kaum muslimin, menjaga tashowur kaum muslimin terhadap dien Islam ini agar senantiasa bersih dari segala keraguan dan kerancuan serta racun dan virus, menjaga kemurnian hakekat dan makna dien Islam sebagaimana saat diturunkan Allah Ta’ala, disampaikan oleh Rasulullah, para shahabat dan generasi Islam sesudahnya serta merealisasikan dienul Islam dalam alam nyata.
Dalam hal ini, tugas imam adalah :
a). Menyebarkan dienul Islam dan mendakwahkannya dengan lisan, tulisan dan senjata. Dakwah ini meliputi dakwah kepada kaum muslimin dan dakwah kepada non muslim, baik di dalam negara Islam maupun di luar negara Islam. Sebagai wakil dari keseluruhan umat Islam, imamlah pihak yang paling bertanggung jawab atas tugas ini. Imam berkewajiban menyebarkan dakwah kepada non muslim dengan tiga opsi : masuk Islam, atau membayar jizyah atau perang.
b). Membantah dan memerangi segala bentuk bid’ah, syubhat dan kebatilan. Imam berkewajiban mengerahkan segala sarana untuk membendung, membantah dan memerangi segala bentuk syubhat, bid’ah, kebatilan dan tuduhan-tuduhan palsu musuh-musuh Islam yang merusak dan mengaburkan kemurnian Islam.
c). Menjaga seluruh wilayah negara Islam dan membentengi daerah-daerah rawan (tsughur). Dalam aspek militer imam berkewajiban menjaga keamanan dari gangguan yang mengancam wilayah baik yang datang dari dalam maupun dari luar negara Islam sehingga agama, nyawa, akal, kehormatan dan harta umat Islam terlindungi dan aman.
2. Tanfidzuhu (merealisasikannya)
1). Menegakkan hukum-hukum syariat dan melaksanakan hukuman bagi pelanggarnya. Hukum pemungutan zakat, pembagian fai, pembentukan ketentaraan yang berjihad, amar ma’ruf nahi munkar dan penegakkan hudud merupakan kewajiban imam dan pihak yang ditunjuk sebagai pembantu dan wakilnya, seperti para gubernur wilayah, komandan militer dan para qadhi syar’i. Hukum-hukum ini tidak mungkin ditegakkan oleh individu-individu, karena justru akan menimbulkan fitnah dan kekacauan.
2). Menghasung manusia untuk melaksanakan dan mentaati hukum-hukum syariah dengan cara lunak (targhib) maupun keras (tarhib). Sebagian rakyat mau melaksankan syariat Islam dengan ajakan-ajakan dan dakwah, namun ada juga pihak-pihak yang tetap melanggar dan tidak bias disadarkan kecuali hukuman-hukuman syariat. Imam menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas tugas penyadaran ini.
Uraian sekilas ini paling tidak cukup menggambarkan bahwa tahkimu syariah secara kaafah tidak mungkin terlaksana tanpa adanya negara Islam dan imam. Wallahu A’lam bish Shawab wal Hamdu Lillahi Rabbil ‘Alamien
majalahtauhid.wordpress.com
0 Responses to Berhukum dengan Syariah