Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW – Seringkali di kalangan masyarakat kita,
dalam mendefinisikan isra dan mi’raj, mereka menggabungkan Isra Mi’raj
menjadi satu peristiwa yang sama. Padahal sebenarnya Isra dan Mi’raj
merupakan dua peristiwa yang berbeda. Dan untuk meluruskan hal tersebut,
pada kesempatan ini duniabaca.com bermaksud mengupas tuntas pengertian
isra dan mi’raj, sejarah isra mi’raj nabi muhammad SAW serta hikmah dari
perjalanan isra’ mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW.
Isra Mi’raj adalah dua bagian dari perjalanan yang dilakukan oleh
Muhammad dalam waktu satu malam saja.
Kejadian ini merupakan salah satu
peristiwa penting bagi umat Islam, karena pada peristiwa ini Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mendapat perintah untuk menunaikan
salat lima waktu sehari semalam.
Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah. Menurut
al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama
sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M.
Menurut al-Allamah
al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10
kenabian, dan inilah yang populer. Namun demikian, Syaikh Shafiyurrahman
al-Mubarakfuri menolak pendapat tersebut dengan alasan karena Khadijah
radhiyallahu anha meninggal pada bulan Ramadan tahun ke-10 kenabian,
yaitu 2 bulan setelah bulan Rajab.
Dan saat itu belum ada kewajiban
salat lima waktu. Al-Mubarakfuri menyebutkan 6 pendapat tentang waktu
kejadian Isra Mi’raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan
demikian, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra
Mi’raj.
Peristiwa Isra Mi’raj terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. Dalam
Isra, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam “diberangkatkan” oleh
Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi’raj
Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang
merupakan tempat tertinggi. Di sini Beliau mendapat perintah langsung
dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga,
karena ketika inilah salat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi
lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini.
Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai macam hal
yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Sejarah / Kisah Perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW [Kembali ke
daftar isi]
Perjalanan dimulai Rasulullah mengendarai buraq bersama Jibril. Jibril
berkata, “turunlah dan kerjakan shalat”.
Rasulullahpun turun. Jibril berkata, “dimanakah engkau sekarang ?”
“tidak tahu”, kata Rasul.
“Engkau berada di Madinah, disanalah engkau akan berhijrah “, kata
Jibril.
Perjalanan dilanjutkan ke Syajar Musa (Masyan) tempat penghentian Nabi
Musa ketika lari dari Mesir, kemudian kembali ke Tunisia tempat Nabi
Musa menerima wahyu, lalu ke Baitullhmi (Betlehem) tempat kelahiran Nabi
Isa AS, dan diteruskan ke Masjidil Aqsha di Yerussalem sebagai kiblat
nabi-nabi terdahulu.
Jibril menurunkan Rasulullah dan menambatkan kendaraannya. Setelah rasul
memasuki masjid ternyata telah menunggu Para nabi dan rasul. Rasul
bertanya : “Siapakah mereka ?”
“Saudaramu para Nabi dan Rasul”.
Kemudian Jibril membimbing Rasul kesebuah batu besar, tiba-tiba Rasul
melihat tangga yang sangat indah, pangkalnya di Maqdis dan ujungnya
menyentuh langit. Kemudian Rasulullah bersama Jibril naik tangga itu
menuju kelangit tujuh dan ke Sidratul Muntaha.
“Dan sesungguhnya nabi Muhammad telah melihatJibril itu (dalam rupanya
yang asli) pada waktu yang lain, yaitu di Sidratul Muntaha. Di dekatnya
ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratull
Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dariyang dilihatnya itu dan tidakpula
melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm : 13 – 18).
Selanjutnya Rasulullah melanjutkan perjalanan menghadap Allah tanpa
ditemani Jibril Rasulullah membaca yang artinya : “Segala penghormatan
adalah milikAllah, segala Rahmat dan kebaikan“.
Allah berfirman yang artinya: “Keselamatan bagimu wahai seorang nabi,
Rahmat dan berkahnya“.
Rasul membaca lagi yang artinya: “Keselamatan semoga bagi kami dan
hamba-hamba Allah yang sholeh. Rasulullah dan ummatnya menerima perintah
ibadah shalat“.
Berfirman Allah SWT : “Hai Muhammad Aku mengambilmu sebagai kekasih
sebagaimana Aku telah mengambil Ibrahim sebagai kesayanagan dan Akupun
memberi firman kepadamu seperti firman kepada Musa Akupun menjadikan
ummatmu sebagai umat yang terbaik yang pernah dikeluarkan pada manusia,
dan Akupun menjadikan mereka sebagai umat wasath (adil dan pilihan),
Maka ambillah apa yang aku berikan kepadamu dan jadilah engkau termasuk
orang-orang yang bersyukur“.
“Kembalilah kepada umatmu dan sampaikanlah kepada mereka dari Ku”.
Kemudian Rasul turun ke Sidratul Muntaha.
Jibril berkata : “Allah telah memberikan kehormatan kepadamu dengan
penghormatan yang tidak pernah diberikan kepada seorangpun dari makhluk
Nya baik malaikat yang terdekat maupun nabi yang diutus. Dan Dia telah
membuatmu sampai suatu kedudukan yang tak seorangpun dari penghuni
langit maupun penghuni bumi dapat mencapainya. Berbahagialah engkau
dengan penghormatan yang diberikan Allah kepadamu berupa kedudukan
tinggi dan kemuliaan yang tiada bandingnya. Ambillah kedudukan tersebut
dengan bersyukur kepadanya karena Allah Tuhan pemberi nikmat yang
menyukai orang-orang yang bersyukur”.
Lalu Rasul memuji Allah atas semua itu.
Kemudian Jibril berkata : “Berangkatlah ke surga agar aku perlihatkan
kepadamu apa yang menjadi milikmu disana sehingga engkau lebih zuhud
disamping zuhudmu yang telah ada, dan sampai lah disurga dengan Allah
SWT. Tidak ada sebuah tempat pun aku biarkan terlewatkan”. Rasul melihat
gedung-gedung dari intan mutiara dan sejenisnya, Rasul juga melihat
pohon-pohon dari emas. Rasul melihat disurga apa yang mata belum pernah
melihat, telingan belum pernah mendengar dan tidak terlintas dihati
manusia semuanya masih kosong dan disediakan hanya pemiliknya dari
kekasih Allah ini yang dapat melihatnya. Semua itu membuat Rasul kagum
untuk seperti inilah
mestinya manusia beramal.
Kemudian Rasul diperlihatkan neraka sehingga
rasul dapat melihat belenggu-belenggu dan rantai-rantainya selanjutnya
Rasulullah turun ke bumi dan kembali ke masjidil haram menjelang subuh.
Mandapat Mandat Shalat 5 waktu
Agaknya yang lebih wajar untuk dipertanyakan, bukannya bagaimana Isra’
Mi’raj, tetapi mengapa Isra’ Mi’raj terjadi ? Jawaban pertanyaan ini
sebagaimana kita lihat pada ayat 78 surat al-lsra’, Mi’raj itu untuk
menerima mandat melaksanakan shalat Lima waktu. Jadi, shalat inilah yang
menjadi inti peristiwa Isra’Mi’raj tersebut.
Shalat merupakan media untuk mencapai kesalehan spiritual individual
hubungannya dengan Allah. Shalat juga menjadi sarana untuk menjadi
keseimbangan tatanan masyarakat yang egaliter, beradab, dan penuh
kedamaian. Makanya tidak berlebihan apabila Alexis Carrel menyatakan :
“Apabila pengabdian, sholat dan do’a yang tulus kepada Sang Maha
pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, hal itu
berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat
tersebut“. Perlu diketahui bahwa A. Carrel bukanlah orang yang memiliki
latar belakang pendidikan agama, tetapi dia adalah seorang dokter dan
pakar Humaniora yang telah dua kali menerima nobel atas hasil
penelitiannya terhadap jantung burung gereja dan pencangkokannya. Tanpa
pendapat Carrel pun, Al – Qur’an 15 abad yang lalu telah menyatakan
bahwa shalat yang dilakukan dengan khusu’ akan bisa mencegah perbuatan
keji dan mungkar, sehingga tercipta tatanan masyarakat yang harmonis,
egaliter, dan beretika.
Hikmah Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW [Kembali ke daftar isi]
Perintah sholat dalam perjalanan isra dan mi’raj Nabi Muhammad SAW,
kemudian menjadi ibadah wajib bagi setiap umat Islam dan memiliki
keistimewaan tersendiri dibandingkan ibadah-ibadah wajib lainnya.
Sehingga, dalam konteks spiritual-imaniah maupun perspektif
rasional-ilmiah, Isra’ Mi’raj merupakan kajian yang tak kunjung kering
inspirasi dan hikmahnya bagi kehidupan umat beragama (Islam).
Bersandar pada alasan inilah, Imam Al-Qusyairi yang lahir pada 376
Hijriyah, melalui buku yang berjudul asli ‘Kitab al-Mikraj’ ini,
berupaya memberikan peta yang cukup komprehensif seputar kisah dan
hikmah dari perjalanan agung Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, beserta
telaahnya. Dengan menggunakan sumber primer, berupa ayat-ayat Al-Quran
dan hadist-hadits shahih, Imam al-Qusyairi dengan cukup gamblang
menuturkan peristiwa fenomenal yang dialami Nabi itu dengan runtut.
Selain itu, buku ini juga mencoba mengajak pembaca untuk menyimak dengan
begitu detail dan mendalam kisah sakral Rasulullah SAW, serta rahasia
di balik peristiwa luar biasa ini, termasuk mengenai mengapa mikraj di
malam hari? Mengapa harus menembus langit? Apakah Allah berada di atas?
Mukjizatkah mikraj itu hingga tak bisa dialami orang lain? Ataukah ia
semacam wisata ruhani Rasulullah yang patut kita teladani?
Bagaimana dengan mikraj para Nabi yang lain dan para wali? Bagaimana
dengan mikraj kita sebagai muslim? Serta apa hikmahnya bagi kehidupan
kita? Semua dibahas secara gamblang dalam buku ini.
Dalam pengertiannya, Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan
sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul. Sehingga peristiwa ini
menjadi perjalanan bersejarah yang akan menjadi titik balik dari
kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. John Renerd dalam buku ”In the
Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” seperti
pernah dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu
dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW,
selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya,
benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan
dunia spiritual.
Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi
permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang
menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj
menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta
(al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani
(insan kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah
perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf.
Sedangkan menurut Dr Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen penting dari
peristiwa Isra Mi’raj yakni ketika Rasulullah SAW “berjumpa” dengan
Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata, “Attahiyatul
mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah”; “Segala penghormatan,
kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah SWT pun
berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh”.
Mendengar percakapan ini, para malaikat serentak mengumandangkan dua
kalimah syahadat. Maka, dari ungkapan bersejarah inilah kemudian bacaan
ini diabadikan sebagai bagian dari bacaan shalat.
Selain itu, Seyyed Hossein Nasr dalam buku ‘Muhammad Kekasih Allah’
(1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah SAW
saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat yang di jalankan
umat islam sehari-hari. Dalam artian bahwa shalat adalah mi’raj-nya
orang-orang beriman. Sehingga jika kita tarik benang merahnya, ada
beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah SAW ini.
Pertama, adanya penderitaan dalam perjuangan yang disikapi dengan
kesabaran yang dalam.
Kedua, kesabaran yang berbuah balasan dari Allah
berupa perjalanan Isra Mi’raj dan perintah shalat. Dan ketiga, shalat
menjadi senjata bagi Rasulullah SAW dan kaum Muslimin untuk bangkit dan
merebut kemenangan.
Ketiga hal diatas telah terangkum dengan sangat
indah dalam salah satu ayat Al-Quran, yang berbunyi “Jadikanlah sabar
dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu)
orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa
mereka akan kembali kepada-Nya.”
Mengacu pada berbagai aspek diatas, buku setebal 178 halaman ini
setidaknya sangat menarik, karena selain memberikan bingkai yang cukup
lengkap tentang peristiwa Isra’ mikraj Nabi saw, tetapi juga memuat
mi’rajnya beberapa Nabi yang lain serta beberapa wali. Kemudian
kelebihan lain dalam buku ini adalah dipaparkan juga mengenai kisah
Mikrajnya Abu Yazid al-Bisthami. Mikraj bagi ulama kenamaan ini
merupakan rujukan bagi kondisi, kedudukan, dan perjalanan ruhaninya
menuju Allah.
Ia menggambarkan rambu-rambu jalan menuju Allah, kejujuran dan ketulusan
niat menempuh perjalanan spiritual, serta keharusan melepaskan diri
dari segala sesuatu selain Allah. Maka, sampai pada satu kesimpulan,
bahwa jika perjalanan hijrah menjadi permulaan dari sejarah kaum
Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum
Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi “puncak”
perjalanan seorang hamba menuju kesempurnaan ruhani.
| ||||
ISRA' MI'RAJ: Mu'jizat, Salah Tafsir, dan Makna Pentingnya
Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa,
LAPAN, Bandung
http://media.isnet.org/isnet/Djamal/isra.html
Dalam memperingati isra' dan mi'raj sering kita diajak
oleh pembicara pengajian akbar melanglang buana sampai ke
langit, dan kadang-kadang dibumbui dengan analisis yang
nampaknya berdasar sains. Bagi saya, aspek astronomis sama
sekali tidak ada dalam kajian isra' mi'raj.
Tulisan ini saya maksudkan untuk mendudukkan masalah
isra' mi'raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam
Al-Qur'an dan hadits-hadits sahih. Untuk itu pula akan saya
ulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan
isra' mi'raj dengan kajian astronomi. Makna penting isra'
mi'raj yang mestinya kita tekankan.
Kisah dalam Al-Qur'an dan Hadits
Di dalam QS. Al-Isra':1 Allah menjelaskan tentang
isra':
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Dan tentang mi'raj Allah menjelaskan dalam QS.
An-Najm:13-18:
"Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar."
Sidratul muntaha secara harfiah berarti 'tumbuhan sidrah
yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak
seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih
jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh
dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an
dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana
sidratul muntaha itu.
Kejadian-kejadian sekitar isra' dan mi'raj dijelaskan di
dalam hadits- hadits nabi. Dari hadits-hadits yang sahih,
didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat
Jibril datang dan membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi
dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah.
Kemudian didatangkan buraq, 'binatang' berwarna putih yang
langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi
melakukan isra' dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil
Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina.
Nabi SAW salat dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu
dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan
segelas susu; Nabi SAW memilih susu. Kata malaikat Jibril,
"Engkau dalam kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah
ummat engkau."
Dengan buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan
memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang
dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para
ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua
sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan
Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris
dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan
Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam,
dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh
dilihatnya baitul Ma'mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap
harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak
akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul
Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari sidratul
muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik
(bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia:
sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril membawa tiga gelas
berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun
berkomentar, "Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau
dan ummat engkau." Jibril mengajak Nabi melihat surga yang
indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur'an surat
An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud
Jibril yang sebenarnya.
Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah
salat wajib. Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali
sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta
keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh- sepuluh setiap
meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi
enggan meminta keringanan lagi, "Saya telah meminta keringan
kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah." Maka Allah
berfirman, "Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya
atas hamba-Ku."
Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma'mur sampai
menerima perintah salat tidak sama dalam beberapa hadits,
mungkin menunjukkan kejadian- kajadian itu serempak dialami
Nabi. Dalam kisah itu, hal yang fisik (dzhahir) dan
non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di
dalamnya. Nabi SAW yang pergi dengan badan fisik hingga bisa
salat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan
Jibril, tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti
pertemuan dengan ruh para Nabi yang telah wafat jauh sebelum
kelahiran Nabi SAW dan pergi sampai ke surga. Juga
ditunjukkan dua sungai non-fisik di surga dan dua sungai
fisik di dunia. Dijelaskannya makna perlambang pemilihan
susu oleh Nabi Muhammad SAW, dan menolak khamr atau madu.
Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang mu'min semua
kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa
atas segalanya.
"Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: "Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia". Dan Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia...." (QS. 17:60). "Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai saya (kata Nabi SAW), saya berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, saya dapatkan apa yang saya inginkan dan saya jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, saya memperhatikannya...." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya). Hakikat Tujuh Langit
Peristiwa isra' mi'raj yang menyebut-nyebut tujuh langit
mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit,
khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering
disebut-sebut dalam Al-Qur'an.
Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah
biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud
langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis
sebanyak tujuh lapisan? Warna biru hanyalah semu, yang
dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh
partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa' atau samawat)
berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula
angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan,
debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang
melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali
tidak ada.
Bilangan 'tujuh' sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur'an
tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal.
Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh'
sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di
dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
"Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya...."
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
"Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah...."
Jadi 'tujuh langit' lebih mengena bila difahamkan sebagai
tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya,
bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit
ke tiga, ... sampai langit ke tujuh dalam kisah isra'
mi'raj? Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan
dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat
bulan di langit pertama, matahari di langit ke empat, dan
planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan
planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi,
mungkin masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan,
dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui, dua
planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya
--termasuk bumi-- mengorbit jauh dari matahari. Nah, orang
mungkin akan berfikir langit dunia itulah orbit bumi, langit
ke dua orbit Mars, ke tiga orbit Jupiter, ke empat orbit
Saturnus, ke lima Uranus, ke enam Neptunus, dan ke tujuh
Pluto. Kok, klop ya. Kalau begitu, Masjidil Aqsha yang
berarti masjid terjauh dalam QS. 17:1, ada di planet Pluto.
Dan Sidratul Muntaha adalah planet ke sepuluh yang tak
mungkin terlampaui. Jadilah, isra' mi'raj dibayangkan
seperti kisah Science Fiction, perjalanan antar planet dalam
satu malam. Na'udzu billah mindzalik.
Saya berpendapat, pengertian langit dalam kisah isra'
mi'raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena,
fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik,
seperti perjumpaan dengan ruh para Nabi. Langit dan Sidratul
Muntaha dalam kisah isra' mi'raj adalah alam ghaib yang tak
bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu
manusia. Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan
mengetahuinya. Isra' mi'raj adalah mu'jizat yang hanya
diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Makna pentingnya
Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan
hakikat perjalanan isra' mi'raj. Allah hanya memberikan ilmu
kepada manusia sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya
dengan iman kita mempercayai bahwa isra' mi'raj benar-benar
terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya,
begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya
(QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah salat wajib
secara langsung kepada Rasulullah SAW.
Makna penting isra' mi'raj bagi ummat Islam ada pada
keistimewaan penyampaian perintah salat wajib lima waktu.
Ini menunjukkan kekhususan salat sebagai ibadah utama dalam
Islam. Salat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia
kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari
ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang
mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya,
atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.
Salat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di
sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu
membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah
mengingatkan:
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45) |
masalah nuklir, finansial keuangan negara, tata negara, politik internasional, perselisihan mazhab, persatuan umat islam, nasionalisme, pembangunan bangsa, ketahanan nasional, hutang negara, perang dunia, timur tengah, new world order
Tidak ada komentar:
Posting Komentar