Tafsir Al-Quran, Surat Yusuf Ayat 50-52
Ayat ke 50
 وَقَالَ
 الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ فَلَمَّا جَاءَهُ الرَّسُولُ قَالَ ارْجِعْ 
إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ مَا بَالُ النِّسْوَةِ اللَّاتِي قَطَّعْنَ 
أَيْدِيَهُنَّ إِنَّ رَبِّي بِكَيْدِهِنَّ عَلِيمٌ (50)
Artinya:
 Raja
 berkata: "Bawalah dia kepadaku". Maka tatkala utusan itu datang kepada 
Yusuf, berkatalah Yusuf: "Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakanlah 
kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. 
Sesungguhnya Tuhanku, Maha Mengetahui tipu daya mereka". (12: 50)
 Dalam penjelasan sebelumnya telah disebutkan bahwa Yusuf as ketika 
diminta untuk menjelaskan mimpi raja Mesir, tanpa syarat apapun beliau 
menjelaskan arti mimpi tersebut, bahkan beliau juga memberikan solusi 
dari bencana kekeringan. Akan tetapi beliau menolak untuk menghadap raja
 dan dengan alasan dirinya dipenjara. Beliau juga menjelaskan kelakuan 
para wanita istana yang menipu beliau dalam sebuah pertemuan yang 
direkayasa oleh mereka.
 
 Meskipun ini adalah perkara 
yang sudah lama, tetapi hal ini dilakukan oleh beliau untuk mencegah 
raja dan para pembesar istana menganggap bahwa Yusuf as benar-benar 
bersalah hingga dipenjara. Lebih dari itu, Yusuf as tidak ingin hutang 
budi dan lewat pengampunan raja dibebaskan dari penjara. Akan tetapi, 
ingin menjelaskan kepara raja bahwa dalam pemerintahannya berapa banyak 
kezaliman terhadap rakyat yang tidak berdosa, kerusakan dan 
ketidakadilan merajalela.
 
 Seperti dijelaskan dalam 
sebuah riwayat, Rasul Saw bersabda, "Aku sangat kagum dengan kesabaran 
Yusuf. Ketika raja Mesir meminta untuk dijelaskan arti mimpinya, Yusuf 
as tidak berkata, "Selama saya tidak dibebaskan dari penjara, saya tidak
 akan menjelaskan mimpi tersebut," tetapi ketika akan dibebaskan dari 
penjara, dia berkata, "Selama belum terbukti saya tidak bersalah, saya 
tidak akan keluar dari penjara."
 
 Dari ayat tadi terdapat duapelajaran yang dapat dipetik:
 
 1. Sebuah negara harus memanfaatkan pemikiran dan nasehat 
orang-orang                                                 pandai  
meskipun mereka berada dalam penjara, yang pasti kesempatan untuk bebas 
harus diberikan kepada mereka.
 
 2. Kebebasan dengan segala cara 
tidak ada nilainya.Mengembalikan harga diri dan pembuktian 
ketidakbersalahan adalah paling pentingnya kebebasan.
Ayat ke 51
 قَالَ
 مَا خَطْبُكُنَّ إِذْ رَاوَدْتُنَّ يُوسُفَ عَنْ نَفْسِهِ قُلْنَ حَاشَ 
لِلَّهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ قَالَتِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ 
الْآَنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ أَنَا رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنَّهُ 
لَمِنَ الصَّادِقِينَ (51)
Artinya:
 Raja
 berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu 
menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: 
"Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari 
padanya". Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, 
akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan 
sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar". (12: 51)
 Salah satu sunnahilahi dalam al-Quran adalah berlapang dada dalam 
segala urusan dengan dasar takwa. Pada mulanya isteri al-Aziz Mesir 
menuduh Yusuf as berkhianat kemudian mempersiapkan alasan untuk 
memasukkan Yusuf ke penjara, tetapi kemudian dia mengakui kejujuran dan 
kebenaran Yusuf as, dan pengakuannya ini menyebabkan Yusuf as bebas dari
 penjara dengan penuh keagungan dan kemuliaan.
 Ini 
adalah kehendak Allah Swt bahwa penjahat sebenarnya mengakui 
kesalahannya sehingga ketidakbersalahan Yusuf as menjadi jelas bagi 
semuanya. Meskipun kejelasan sebagian hakikat membutuhkan waktu dan 
kesabaran.
 Dari ayat tadi terdapat duapelajaran yang dapat dipetik:
 1.Kebenaran tidak akan tertutupi untuk selamanya, sama seperti kebatilan juga tidak akan langgeng untuk selamanya.
 2.Kesucian dan ketakwaan dalam perkara gender dan hubungan sosial 
adalah perkara yang juga diakui dan dianggap penting oleh para penjahat.
Ayat ke 52
 ذَلِكَ لِيَعْلَمَ أَنِّي لَمْ أَخُنْهُ بِالْغَيْبِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ (52)
 Artinya:
 (Yusuf
 berkata): "Yang demikian itu agar dia (Al Aziz) mengetahui bahwa 
sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan 
bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat. 
(12: 52)
 Berkenaan dengan ayat ini ahli tafsir 
mempunyai dua pendapat; kelompok pertama mufassir berpendapat bahwa 
perkataan dalam ayat di atas adalah kelanjutan dari ucapan Zulaikha 
isteri pembesar Mesir yang mengatakan saya ingin melakukan dosa tersebut
 tetapi tidak terjadi dan Yusuf as tetap suci. Akan tetapi kebanyakan 
ahli tafsir berpendapat bahwa ayat di atas adalah ucapan Yusuf as yang 
ingin mengatakan, "Kalau saya memberikan syarat kebebasan dari penjara 
adalah memperjelas perkara atas kelakuan para wanita istana, hal ini 
saya lakukan supaya isteri pembesar tersebut dan raja Mesir mengetahui 
bahwa saya tidak melakukan pengkhianatan dan saya tidak berdosa. Saya 
tidak bermaksud untuk mengungkit permasalahan tersebut dan  membalas 
dendam terhadap isteri pembesar Mesir, tetapi saya ingin mengembalikan 
harga diri dan menghilangkan kesalah pahaman atas diri saya.
 Yang sangat menarik adalah Yusuf as menisbatkan kejelasan perkara ini 
kepada Allah Swt supaya raja Mesir mengetahui bahwa kehendak Allah Swt 
yang berperan dalam kejadian ini.
 Dari ayat tadi terdapat duapelajaran yang dapat dipetik:
 1.Khianat adalah hal yang tidak baik, baik kafir maupun zalim.
 2.Jika kita suci, Allah Swt tidak akan membiarkan orang-orang jahat 
menghancurkan harga diri kita, tetapi justeru harga diri mereka yang 
hilang dan kehormatan kita tetap langgeng.(IRIB Indonesia)
Keadilan Dalam Penegakan Hukum    (1)
http://www.muhammadiyah.or.id/9-content-190-det-tafsir-alquran.html
PROF. DR. H MUHAMMAD CHIRZIN, M.AG.
GURU BESAR UIN SUNAN KALIJAGA DAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
 
GURU BESAR UIN SUNAN KALIJAGA DAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Makna Keadilan Keadilan adalah nilai 
universal. Islam mengakui dan menghormati hakhak yang sah dari setiap 
orang dan melindungi  kebebasannya, kehormatannya, darah dan harta 
bendanya dengan jalan menegakkan kebenaran dan keadilan di antara 
sesama. Tegaknya kebenaran dan keadilan dalam suatu masyarakat 
membuahkan ketenangan dan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari dan 
kepercayaan yang timbal balik antara pemerintah dan rakyat, di samping 
menumbuhkan kemakmuran dan kesejahteraan. Dalam suasana aman, tertib dan
 tenang masing-masing pihak dapat bekerja sepenuh tenaga, pikiran dan 
hati mengabdikan diri bagi kepentingan negara dan penduduknya tanpa 
kuatir dihalangi usahanya atau dirintangi aktivitasnya. (Sayyid Sabiq, 
Sumber Kekuatan Islam, terjemah Salim Bahreisy dan Said Bahreisy 
[Surabaya: Bina Ilmu, 1980], 198.)
Keadilan adalah salah satu nilai kemanusiaan yang asasi. Memperoleh keadilan adalah hak asasi bagi setiap manusia. Adil ialah tidak berat
sebelah, jujur, tidak berpihak dan sama rata. Keadilan mengandung unsur kejujuran, kelurusan, keikhlasan yang tidak berat sebelah. (J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia [Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996], 8.)
Keadilan ialah sesuatu yang dirasakan seimbang, pantas, sehingga semua orang atau sebagian besar orang yang mengalami merasa pantas.
Salah satu ciri keadilan yang terpenting ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Adil ialah berdiri di tengah-tengah antara dua perkara; memberi tiap-tiap orang apa yang ia berhak menerimanya. (Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, 157).
Allah SwT memerintahkan manusia berlaku adil, termasuk dalam memutuskan suatu perkara dan memberikan kesaksian. Keadilan dalam hukum adalah keadilan yang dapat mewujudkan ketenteraman, kebahagiaan dan ketenangan secara wajar bagi masyarakat. Keadilan dalam hukum dapat dilihat secara nyata dalam praktik, antara lain apabila keputusan hakim yang dijatuhkan oleh aparat penegak hukum telah mampu memberikan rasa ketentraman, kebahagiaan dan ketenangan bagi masyarakat dan mampu menumbuhkan opini masyarakat bahwa putusan hakim yang dijatuhkan sudah adil dan wajar. Hal ini akan memberikan kepercayaan pada masyarakat akan adanya lembaga pengadilan yang membela hak dan menghukum yang melanggar. Apabila kondisi demikian ini telah tercapai, hal itu akan membantu mencegah timbulnya praktik main hakim sendiri yang sering dilakukan oleh masyarakat yang tidak puas akan keputusan hakim. (Baharuddin
Lopa, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, 121).
Keadilan adalah sebuah istilah yang menyeluruh, dan termasuk juga segala sifat hati yang bersih dan jujur. Tetapi agama menuntut yang lebih hangat dan lebih manusiawi, melakukan pekerjaan yang baik, meskipun ini tidak diharuskan secara ketat oleh keadilan, seperti kejahatan yang dibalas dengan kebaikan, atau suka membantu mereka yang dalam bahasa duniawi “tak mempunyai suatu tuntutan” kepada kita; dan sudah tentu pula memenuhi segala tuntutan yang tuntutannya dibenarkan oleh kehidupan sosial. Begitu juga yang sebaliknya hendaknya dihindari: segala yang diakui sebagai perbuatan munkar, dan segala yang benar-benar tidak adil, kekejaman, dan segala kekufuran dan kefasikan terhadap Hukum Allah, atau terhadap kesadaran batin kita sendiri dalam bentuknya yang paling peka. (Abdullah Yusuf Ali, Qur’an terjemahan dan Tafsirnya, terjemah Ali Audah [Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993], 681 footnote 2127).
Menetapkan hukum di antara manusia harus diputuskan dengan adil, sesuai dengan apa yang diajarkan Allah subhanahu wata’ala; tidak memihak kecuali kepada kebenaran dan tidak pula menjatuhkan sanksi kecuali kepada yang melanggar, tidak menganiaya walau terhadap lawan, dan tidak pula memihak walau kepada teman. Tetapi menetapkan hukum bukanlah wewenang setiap orang. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk tampil melaksanakannya, antara lain pengetahuan tentang hukum dan tatacara menetapkannya serta kasus yang dihadapi. Bagi yang memenuhi syarat-syaratnya dan bermaksud tampil menetapkan hukum, kepadanyalah ditujukan perintah untuk menetapkan dengan adil. (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 2 [Jakarta: Lentera Hati, 2000], 456-457).
Setiap Mukmin diseru untuk menjadi penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya, menjadi saksi karena Allah, yakni selalu merasakan kehadiran Ilahi, memperhitungkan segala langkah dan menjadikannya demi karena Allah. Persaksian yang ditunaikan juga hendaknya demi karena Allah, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi yang tidak sejalan dengan nilai- nilai Ilahi. Didahulukannuya perintah penegakan keadilan atas kesaksian karena Allah, karena tidak sedikit orang yang hanya pandai memerintahkan yang ma’ruf, tetapi ketika tiba gilirannya untuk melaksanakan makruf yang diperintahkannya itu ia lalai. Setiap mukmin niscaya melaksanakan keadilan atas dirinya baru menjadi saksi yang mendukung atau memberatkan orang lain. (M. Quraish Shihab, Al-Misbah, Volume 2, 591-593).
Menegakkan Keadilan dalam Hukum
Adil adalah sifat Allah SwT. Untuk menegakkan keadilan orang harus menjadi saksi demi Allah, sekalipun itu akan mengganggu kepentingan kita sendiri, seperti yang dapat kita bayangkan, atau kepentingan mereka yang dekat kepada kita atau yang kita sayangi. Peribahasa Latin menyatakan, “Keadilan harus berjalan sekalipun langit akan runtuh.” Keadilan Islam lebih tinggi daripada keadilan formal menurut hukum Romawi itu atau hukum yang mana pun yang dibuat manusia. Ia menembus sampai ke lubuk perasaan yang paling dalam, karena kita melakukannya seolah kita berada di hadapan Allah, Yang mengetahui segala benda, segala kerja dan gerak hati. (Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, h. 223 footnote 644).
Ada setengah orang yang mungkin cenderung mau membantu pihak yang kaya, karena mengharapkan sesuatu dari pihaknya. Ada pula yang
cenderung mau membantu pihak yang miskin, karena umumnya mereka orang-orang yang tak berdaya. Sikap memihak ke mana pun tidak benar. Bersikap adillah, tanpa harus merasa takut atau terbawa oleh perasaan. Baik yang kaya atau yang miskin keduanya berada di bawah perlindungan Allah, sepanjang kepentingan mereka sah; tetapi mereka tidak dapat mengharapkan keuntungan dengan mengorbankan pihak lain. Dan Dia akan melindungi urusannya itu lebih baik daripada yang dapat dilakukan manusia. (Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, h. 223 footnote 645).
Dalam penegakan keadilan bukan hakim saja yang dituntut untuk menjatuhkan putusan yang adil, tetapi undang- undang itu sendiri atau hukum itu haruslah mengandung rasa keadilan, sekaligus dapat mengubah keadaan sosial, seperti hukum yang memungkinkan rakyat kecil memperoleh peluang untuk mencapai kehormatan yang lebih baik. (Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia,124).l Bersambung
Keadilan adalah salah satu nilai kemanusiaan yang asasi. Memperoleh keadilan adalah hak asasi bagi setiap manusia. Adil ialah tidak berat
sebelah, jujur, tidak berpihak dan sama rata. Keadilan mengandung unsur kejujuran, kelurusan, keikhlasan yang tidak berat sebelah. (J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia [Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996], 8.)
Keadilan ialah sesuatu yang dirasakan seimbang, pantas, sehingga semua orang atau sebagian besar orang yang mengalami merasa pantas.
Salah satu ciri keadilan yang terpenting ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Adil ialah berdiri di tengah-tengah antara dua perkara; memberi tiap-tiap orang apa yang ia berhak menerimanya. (Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, 157).
Allah SwT memerintahkan manusia berlaku adil, termasuk dalam memutuskan suatu perkara dan memberikan kesaksian. Keadilan dalam hukum adalah keadilan yang dapat mewujudkan ketenteraman, kebahagiaan dan ketenangan secara wajar bagi masyarakat. Keadilan dalam hukum dapat dilihat secara nyata dalam praktik, antara lain apabila keputusan hakim yang dijatuhkan oleh aparat penegak hukum telah mampu memberikan rasa ketentraman, kebahagiaan dan ketenangan bagi masyarakat dan mampu menumbuhkan opini masyarakat bahwa putusan hakim yang dijatuhkan sudah adil dan wajar. Hal ini akan memberikan kepercayaan pada masyarakat akan adanya lembaga pengadilan yang membela hak dan menghukum yang melanggar. Apabila kondisi demikian ini telah tercapai, hal itu akan membantu mencegah timbulnya praktik main hakim sendiri yang sering dilakukan oleh masyarakat yang tidak puas akan keputusan hakim. (Baharuddin
Lopa, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, 121).
Allah memerintahkan berbuat adil, mengerjakan amal kebaikan, bermurah 
hati kepada kerabat, dan Ia melarang melakukan perbuatan keji, munkar 
dan kekejaman. Ia mengajarkan kepadamu supaya menjadi pengertian bagimu. (Q.S. An-Nahl [16]: 90).
Keadilan adalah sebuah istilah yang menyeluruh, dan termasuk juga segala sifat hati yang bersih dan jujur. Tetapi agama menuntut yang lebih hangat dan lebih manusiawi, melakukan pekerjaan yang baik, meskipun ini tidak diharuskan secara ketat oleh keadilan, seperti kejahatan yang dibalas dengan kebaikan, atau suka membantu mereka yang dalam bahasa duniawi “tak mempunyai suatu tuntutan” kepada kita; dan sudah tentu pula memenuhi segala tuntutan yang tuntutannya dibenarkan oleh kehidupan sosial. Begitu juga yang sebaliknya hendaknya dihindari: segala yang diakui sebagai perbuatan munkar, dan segala yang benar-benar tidak adil, kekejaman, dan segala kekufuran dan kefasikan terhadap Hukum Allah, atau terhadap kesadaran batin kita sendiri dalam bentuknya yang paling peka. (Abdullah Yusuf Ali, Qur’an terjemahan dan Tafsirnya, terjemah Ali Audah [Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993], 681 footnote 2127).
Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak 
menerimanya. Apabila kamu mengadili di antara manusia bertindaklah 
dengan adil. Sungguh Allah mengajar kamu dengan sebaik-baiknya, karena 
Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (Q.s. An-Nisaa‘ [4]: 58).
Menetapkan hukum di antara manusia harus diputuskan dengan adil, sesuai dengan apa yang diajarkan Allah subhanahu wata’ala; tidak memihak kecuali kepada kebenaran dan tidak pula menjatuhkan sanksi kecuali kepada yang melanggar, tidak menganiaya walau terhadap lawan, dan tidak pula memihak walau kepada teman. Tetapi menetapkan hukum bukanlah wewenang setiap orang. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk tampil melaksanakannya, antara lain pengetahuan tentang hukum dan tatacara menetapkannya serta kasus yang dihadapi. Bagi yang memenuhi syarat-syaratnya dan bermaksud tampil menetapkan hukum, kepadanyalah ditujukan perintah untuk menetapkan dengan adil. (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 2 [Jakarta: Lentera Hati, 2000], 456-457).
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi 
saksi karena Allah, meskipun terhadap diri kamu sendiri, ibu bapamu dan 
kaum kerabatmu, baik ia kaya atau miskin; Allah lebih tahu 
kemaslahatannya. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, supaya kamu tidak 
menyimpang. Dan jika kamu memutarbalikkan atau menyimpang dari keadilan,
 maka Allah Mahatahu atas segala perbuatanmu. (Q.s. An-Nisaa‘ [4]: 135). 
Setiap Mukmin diseru untuk menjadi penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya, menjadi saksi karena Allah, yakni selalu merasakan kehadiran Ilahi, memperhitungkan segala langkah dan menjadikannya demi karena Allah. Persaksian yang ditunaikan juga hendaknya demi karena Allah, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi yang tidak sejalan dengan nilai- nilai Ilahi. Didahulukannuya perintah penegakan keadilan atas kesaksian karena Allah, karena tidak sedikit orang yang hanya pandai memerintahkan yang ma’ruf, tetapi ketika tiba gilirannya untuk melaksanakan makruf yang diperintahkannya itu ia lalai. Setiap mukmin niscaya melaksanakan keadilan atas dirinya baru menjadi saksi yang mendukung atau memberatkan orang lain. (M. Quraish Shihab, Al-Misbah, Volume 2, 591-593).
Menegakkan Keadilan dalam Hukum
Adil adalah sifat Allah SwT. Untuk menegakkan keadilan orang harus menjadi saksi demi Allah, sekalipun itu akan mengganggu kepentingan kita sendiri, seperti yang dapat kita bayangkan, atau kepentingan mereka yang dekat kepada kita atau yang kita sayangi. Peribahasa Latin menyatakan, “Keadilan harus berjalan sekalipun langit akan runtuh.” Keadilan Islam lebih tinggi daripada keadilan formal menurut hukum Romawi itu atau hukum yang mana pun yang dibuat manusia. Ia menembus sampai ke lubuk perasaan yang paling dalam, karena kita melakukannya seolah kita berada di hadapan Allah, Yang mengetahui segala benda, segala kerja dan gerak hati. (Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, h. 223 footnote 644).
Ada setengah orang yang mungkin cenderung mau membantu pihak yang kaya, karena mengharapkan sesuatu dari pihaknya. Ada pula yang
cenderung mau membantu pihak yang miskin, karena umumnya mereka orang-orang yang tak berdaya. Sikap memihak ke mana pun tidak benar. Bersikap adillah, tanpa harus merasa takut atau terbawa oleh perasaan. Baik yang kaya atau yang miskin keduanya berada di bawah perlindungan Allah, sepanjang kepentingan mereka sah; tetapi mereka tidak dapat mengharapkan keuntungan dengan mengorbankan pihak lain. Dan Dia akan melindungi urusannya itu lebih baik daripada yang dapat dilakukan manusia. (Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, h. 223 footnote 645).
Hai orang-orang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, sebagai 
saksi-saksi karena Allah, dan janganlah kebencian orang kepadamu membuat
 kamu berlaku tidak adil. Berlakulah adil. Itu lebih dekat kepada takwa.
 Dan bertakwalah kepada Allah. Allah tahu benar apa yang kamu kerjakan. (Q.s. Al-Maidah [5]: 8).
Dalam penegakan keadilan bukan hakim saja yang dituntut untuk menjatuhkan putusan yang adil, tetapi undang- undang itu sendiri atau hukum itu haruslah mengandung rasa keadilan, sekaligus dapat mengubah keadaan sosial, seperti hukum yang memungkinkan rakyat kecil memperoleh peluang untuk mencapai kehormatan yang lebih baik. (Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia,124).l Bersambung
Keadilan Dalam Penegakan Hukum    (2)
http://www.muhammadiyah.or.id/10-content-190-det-tafsir-alquran.html
PROF. DR. H MUHAMMAD CHIRZIN, M.AG.
GURU BESAR UIN SUNAN KALIJAGA DAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
 
Komponen yang memungkinkan penegakan 
hukum dan keadilan di tengah-tengah masyarakat: (1) Peraturan hukum yang
 sesuai dengan aspirasi masyarakat; (2) Aparat penegak hukum yang 
profesional dan memiliki integritas moral yang terpuji; (3) Kesadaran 
hukum masyarakat yang memungkinkan pelaksanaan penegakan hukum. Komponen
 yang terakhir itulah yang sesungguhnya paling dominan, karena baik 
peraturan maupun aparat penegak hukum itu dipengaruhi bahkan ditentukan 
oleh kesadaran hukum. Peraturan yang baik hanya dapat diciptakan oleh 
orang-orang yang memiliki kesadaran hukum yang baik. (Baharuddin Lopa, 
Al-Quran dan Hak-hak Asasi Manusia, 126).GURU BESAR UIN SUNAN KALIJAGA DAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Hukum bertujuan menegakkan keadilan sehingga ketertiban dan ketenteraman masyarakat dapat diwujudkan. Putusan-putusan hakim pun harus mengandung rasa keadilan, agar dipatuhi oleh masyarakat. Warga masyarakat pun harus ditingkatkan kecintaannya terhadap hukum sekaligus mematuhi hukum itu sendiri. (Baharuddin Lopa, Al-Quran dan Hak-hak Asasi Manusia, 126). Allah SwT berfirman dalam Q.s. An-Nisa‘ [4]: 65,
Tetapi tidak, demi
 Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka memintamu menjadi penengah
 atas segala persengketaan di antara mereka, kemudian dalam hati mereka 
tak terdapat keberatan atas keputusanmu dan mereka menerima dengan 
sepenuh hati. (Q.s. An-Nisa‘ [4]: 65)
Setiap orang harus berlaku adil dalam memberikan kesaksian. Itu adalah bagian dari tanggung jawab sosial dalam rangka menjaga keselamatan dan kemaslahatan bersama, dan setiap orang akan mempertanggungjawabkan segala tindakannya, termasuk dalam memberikan kesaksian.
Hai orang 
yang beriman! Jika salah seorang kamu menghadapi maut, adakanlah dua 
orang saksi yang adil di antara kamu ketika ia berwasiat, dan dua orang 
dari luar kamu jika kamu berada dalam perjalanan lalu kamu ditimpa 
kematian.Tahanlah kedua saksi itu sesudah shalat dan supaya keduanya 
bersumpah demi Allah jika kamu ragu, “Kami tidak bermaksud dengan sumpah
 ini mencari keuntungan sekalipun ia kerabat kami. Kami tidak 
menyembunyikan kesaksian Allah; Jika kami berbuat demikian kami termasuk
 orang yang berdosa”. (Q.s. Al-Maidah [5]: 106).
Janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali untuk memperbaikinya dengan cara yang lebih baik, sampai ia mencapai usia dewasa. Penuhilah takaran dan neraca dengan adil. Kami tidak membebani sesesorang kecuali menurut kemampuannya; dan bila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun mengenai kerabat; dan penuhilah janji dengan Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kamu supaya kamu ingat. (Q.s. Al-An’am [6]: 152).
Dan di antara kaum Musa ada suatu umat yang memberi petunjuk dengan dasar kebenaran; dan dengan itu mereka menjalankan keadilan. (Q.s. Al-A’raf [7]: 159). Di antara orang-orang yang Kami ciptakan, ada suatu umat yang memberi petunjuk dengan dasar kebenaran, dan dengan itu mereka menjalankan keadilan. (Q.s. Al- A’raf [7]: 181).
Janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali untuk memperbaikinya dengan cara yang lebih baik, sampai ia mencapai usia dewasa. Penuhilah takaran dan neraca dengan adil. Kami tidak membebani sesesorang kecuali menurut kemampuannya; dan bila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun mengenai kerabat; dan penuhilah janji dengan Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kamu supaya kamu ingat. (Q.s. Al-An’am [6]: 152).
Dan di antara kaum Musa ada suatu umat yang memberi petunjuk dengan dasar kebenaran; dan dengan itu mereka menjalankan keadilan. (Q.s. Al-A’raf [7]: 159). Di antara orang-orang yang Kami ciptakan, ada suatu umat yang memberi petunjuk dengan dasar kebenaran, dan dengan itu mereka menjalankan keadilan. (Q.s. Al- A’raf [7]: 181).
Hukum adalah skema yang dibuat untuk menata perilaku manusia, tetapi manusia itu sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya. Ini disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia. Maka, dalam usaha untuk membenahi hukum orang perlu menaruh perhatian saksama terhadap perilaku bangsa. (Satjipto Rahardjo, “Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri” dalam Kompas, 23 September 2002, 4).
Hukum memimpin semua program kehidupan rakyat dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk program sosial politiknya. (A. Hamid S. Attamimi, “Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia” dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Ed.), Pancasila Sebagai Ideologi, 62). Hukum merupakan wadah dan sekaligus merupakan isi dari peristiwa penyusunan diri kemerdekaan kebangsaan Indonesia atau kekuasaan kedaulatannya itu. Ia menjadi dasar bagi kehidupan kenegaraan Bangsa dan Negara Indonesia. (Ibid., 66).
Penegakan hukum di Indonesia merupakan agenda perjuangan yang serius. Masalah penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan suap-menyuap merupakan masalah yang menonjol dan menuntut penanganan yang sungguh-sungguh. “Memberantas penyalahgunaan kekuasaan merupakan satu perjuangan yang berat dan memakan waktu”. (dikutip oleh Majalah Intisari Nomor 216, Juli 1981, 169 dari Kompas, 12 Oktober 1967).
Korupsi ialah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Orang yang melakukan korupsi disebut koruptor. (Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), 462). Fenomena sosial menunjukkan bahwa korupsi di sekitar kekuasaan ternyata kian marak saja dan para penguasa itu tidak merasa risi dengan praktik korupsi. Mereka merasa memiliki hak untuk mendapatkan upeti atas kekuasaannya. Karena itu, sakralisasi kekuasaan menjadi tempat berlindung yang aman bagi seorang penguasa atas kelemahan dan kekurangan dirinya. (Musa Asy’arie, “Konstitusi dan Kemandekan Budaya Politik”, Kompas, 24 September 2002, 4).
Di belahan bumi mana pun, senantiasa terdapat kecenderungan pejabat tinggi negara yang tersangkut perkara korupsi sulit dijerat hukum, apa lagi sampai dijatuhi pidana. Terlebih- lebih bila pejabat-pejabat tersebut tengah menduduki posisi-posisi strategis. Berbagai macam power yang dipegangnya akan menjadi batu sandungan serius bagi penegakan hukum atas dirinya. (TB Ronny Rahman Nitibaskara, “Super White Collar Crime” dalam Kompas, 1 Oktober 2002, 4).
Dakwaan korupsi terhadap beberapa petinggi negara memiliki kesamaan prinsipiil, yakni bahwa tindak pidana yang didakwakan tersebut berkaitan erat dengan jabatan yang disandang tatkala kejahatan itu dilakukan. Jabatan yang mengandung sejumlah power and authority (kekuasaan dan kewenangan) menjadi instrumen utama dimungkinkannya kejahatan yang dituduhkan itu dapat dilaksanakan pelaku. Dominannya peran jabatan dalam tindak pidana ini, menyebabkan pelaku tindak pidana korupsi tergolong sulit dilacak secara yuridis dibandingkan dengan ratarata pelaku tindak pidana lain, karena ia memiliki kedudukan yang ditopang oleh berbagai ketentuan yang memungkinkan dijalankannya kekuasaan diskresional. Dengan kekuasaan itu, korupsi yang dilakukan dapat dibungkus dengan kebijakan yang sah, sehingga dari segi hukum dapat dinilai sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi jabatan resmi. (Kompas, 3 Oktober 2002, 6).
Allah adalah Hakim Yang terbaik, Yang Maha Adil. Setiap mukmin niscaya berusaha menjadi pribadi yang terbaik dan adil dalam segala sikap, keputusan dan tindakannya. Jika ada segolongan di antara kamu yang beriman kepada ajaran yang aku diutus menyampaikannya, dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah, sampai Allah menetapkan keputusan di antara kita. Dialah Hakim yang terbaik. (Q.s. Al-A’raf [7]: 87)
Dan Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.” (Hud [11]: 45). Datangnya sebagian keputusan Allah mungkin terjadi dalam kehidupan kita ini, baik pada generasi yang sama atau pada generasi berikutnya, karena adanya peristiwaperistiwa yang terjadi di luar dugaan. Tetapi, bagaimanapun juga, dalam arti rohani pasti yang demikian ini akhirnya akan terjadi juga, dalam tingkat yang lebih tinggi, bila orang yang beriman mendapat kesenangan dan orang yang berdosa mendapat hukuman yang dijatuhkan oleh batin mereka sendiri, karena perbuatan dosa yang mereka lakukan sendiri pula. (Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan, 366 footnote 1057).
Hukum itu milik Allah dan manusia di hadapan Allah adalah setara, maka manusia sama hak dan kewajibannya di depan hukum. SUARA MUHAMMADIYAH 16 / 95 | 16 - 31 AGUSTUS 2010 19 Katakanlah, “Aku bertindak atas dasar yang nyata dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Apa yang hendak kamu percepat, bukanlah kekuasaanku; penentuan hukum hanya pada Allah. Ia menyampaikan yang sebenarnya dan Dialah Pemberi keputusan yang terbaik.” (Al- An’am [6]: 57)
Penegakan hukum merupakan sesuatu yang niscaya, demi terwujudnya keadilan di tengah-tengah masyarakat. Allah SwT memerintahkan agar manusia menetapkan hukum dengan adil. Mereka gemar mendengarkan berita bohong dan banyak melahap segala yang haram. Jika mereka datang kepadamu berilah keputusan di antara mereka atau hindari mereka; kalau engkau menghindari mereka, sedikit pun mereka tidak akan mengganggumu. Dan jika engkau memutuskan perkara mereka, putuskanlah antara mereka dengan adil. Allah mencintai orang yang berlaku adil. (Al-Maidah [5]: 42)
Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang layak menerimanya. Apabila kamu mengadili di antara manusia, bertindaklah dengan adil. Sungguh, Allah mengajar kamu dengan sebaikbaiknya, karena Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (An-Nisa‘ [4]: 58)
Acuan dan pedoman hukum orang-orang beriman adalah Kitabullah. Mukmin 
niscaya mentaati Allah SwT dan Rasul-Nya dan ulul amri yang bertanggung 
jawab atas urusan mereka. Hai orang-orang beriman! Taatilah Allah 
dan taatilah Rasulullah dan mereka yang memegang kekuasaan di antara 
kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu, kembalikanlah kepada Allah 
dan Rasul-Nya, kalau kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itulah
 yang terbaik dan penyelesaian yang tepat. (Q.s. An-Nisa‘ [4]: 59) 
Ulul amri ialah orang yang memegang kekuasaan atau orang yang bertanggung jawab, yang dapat mengambil keputusan; mereka yang menangani pelbagai macam persoalan. Sungguhpun begitu, keputusan terakhir di tangan Tuhan. Dari Dialah para Nabi itu mendapat wewenang. Oleh karena di dalam Islam tidak ada pemisahan yang tajam antara soalsoal yang sakral dengan yang sekular, maka adanya suatu pemerintah biasa diharapkan dapat berjalan di atas kebenaran, dan dapat bertindak sebagai Imam yang saleh (benar) dan bersih pula. Kita harus menghormati dan mematuhi kekuasaan yang demikian. Kalau tidak segala ketertiban dan disiplin takkan ada artinya. (Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan, 198, footnote 580).
Pada dasarnya satu umat, lalu Allah mengutus para Nabi untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan bersama mereka Allah menurunkan kitab yang membawa kebenaran, untuk memberi keputusan antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanya mereka yang beroleh Kitab setelah kemudian datang bukti-bukti yang nyata karena kedengkian antar sesama mereka. Maka dengan karunia-Nya Allah telah memberi petunjuk orang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan. Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki ke jalan yang lurus. (Al-Baqarah [2]: 213).l Bersambung
Saya adalah masyarakat awam dan juga tdk faham tafsir2 hukum..?? Namun ajaran al Qur'an menunjukkan kesederhanaan bahasa dan memudahkan untuk dimengerti oleh awam sesuai kapasitasnya..
BalasHapusSaya melihat betapa makna sejatinya... tentang hukum-pengadilan-perlakuan adil- dan fakta2 kebenaran..dimana .. nabi Yusuf AS harus menunggu ber-tahun dan melalui jalan penderitaan akibat kelalaian dan zholiman yang di rekayasa.. melalui jaringan2..kekuasaan.saat itu.. yang konon terjadi . pd setiap zaman yang ternyata selalu saja ada... Padahal kisah Nabi Yusuf adalah kisah2.. yang sangat tua.. dan diluar jangkauan kita2.. dimasa kini..
Namun kisah tersebut tetap aktual.. karena kebenaran dan keadilan sejati tidak pernah berubah..
itulah tuntutan nurani kemanusiaan yang sejati.. termasuk yang dirasakan seorang Nabi Ysyf yang hidup ribuan tahu yang lalu...
Masya Allah.. kita bersykur.. Furqon memberikan arahan dan pelajaran yang sangat benar..dan faktual.. Benarlah al Qur'an adalah Firman Kebenaran... Al Haq- Allah Swt..