PARIS_DAKTACOM:
http://www.dakta.com/2014/01/perdamaian-palestina-israel-yang-digagas-john-kerry-menemui-jalan-buntu/
Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki
mengatakan Senin (13/1/14), di Paris, tidak ada kemajuan yang dicapai
oleh upaya perdamaian yang digagas Menteri Luar Negeri Amerika Serikat
John Kerry baru-baru ini.
Berbicara kepada Voice of Palestine, stasiun radio di Paris,
al-Maliki mengatakan sejumlah isu yang beredar terus menggagalkan
kesepakatan antara Palestina dan Israel.
Di paris, al-Maliki berpartisipasi dalam pertemuan tentang perdamaian
Timur Tengah dengan Kerry dan menteri luar negeri Arab lainnya,
demikian Anadolu Agency.
Menurutnya, Kerry masihmemerlukan beberapa upaya “kerja keras” dengan
Israel untuk mencapai kesepakatan yang bisa diterima Palestina.
Al-Maliki menambahkan, apa yang disebut “karakter Yahudi” Israel
menjadi poin utama dalam diskusi antara Kerry dan Menteri Luar Negeri
Arab .
Menurutnya, sikap Arab dalam masalah ini sama dengan Palestina, yaitu
menolak “karakter Yahudi” Israel. Palestina bersikeras menuntut
Yerusalem sebagai ibukota negara Palestina di masa depan.
Al-Maliki menekankan bahwa pihak Palestina berkomitmen dengan batas waktu 29 April untuk menutup negosiasi.
Pekan lalu, Kerry melakukan perjalanan kesepuluhnya ke Timur Tengah
untuk pembicaraan damai dengan mengunjungi Israel, Palestina, Yordania
dan Arab Saudi dalam upaya segar mempromosikan pembicaraan damai.
Negosiasi yang disponsori Washington dilanjutkan Juli lalu setelah absen selama tiga tahun.***
Redaktur : Imran Nasution
Sumber : Mi’raj Islamic News Agency (Mina)
Sumber : Mi’raj Islamic News Agency (Mina)
Mengapa Palestina Menolak Prakarsa Perundingan Kerry?
Berbagai pemberitaan mengkonfirmasikan meluasnya penentangan program miring Amerika Serikat dalam menyikapi krisis di Palestina, yang diusulkan dan ditindaklanjuti oleh Menteri Luar Negeri Amerika, John Kerry.
Disebutkan bahwa putaran terbaru perundingan damai antara pemerintah Otorita Ramallah dan rezim Zionis Israel melalui mediasi Amerika Serikat setelah bertahun-tahun terhenti karena berlanjutnya pembangunan permukiman Zionis, dimulai kembali pada Juli 2013 lalu.
Sementara pada putaran perundingan kali ini, sama seperti sebelumnya, rezim Zionis dan Otorita Ramallah tidak dapat mengenyampingkan perbedaan mengingat kerakusan Israel dan juga dukungan Washington terhadap Tel Aviv. Perundingan itu sendiri juga ditentang luas opini umum.
Dalam hal ini, Yaser Abdrabbuh, sekjen komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyatakan bahwa para pejabat Palestina tidak setuju dengan usulan John Kerry dalam perundingan damai tersebut.
"Pasalnya dalam usulan Kerry, akan dibentuk sebuah negara Palestina yang tidak memiliki perbatasan jelas, jalur penyeberangan atau ibukota, dan bahkan permukiman-permukiman Zionis juga tetap berada di dalam wilayah Palestina."
Menurut Abdrabuh, selain itu, pihak Palestina juga harus mengakui rezim Zionis sebagai sebuah negara Yahudi.
Dijelaskannya bahwa usulan John Kerry terkait pengakuan rezim Zionis sebagai negara Yahudi itu berarti berlanjutnya penjajahan Israel terhadap wilayah dan jalur penyeberangan Palestina, perluasan pembangunan permukiman Zionis, serta berbagai masalah lain.
Ismail Haniyeh, PM Palestina di Gaza, Kamis (16/1) menyatakan usulan Menlu AS itu merupakan makar baru untuk menghancurkan masalah Palestina.
Pemaparan perincian usulan Kerry dalam mengupayakan perundingan damai antara Palestina dan Israel itu menunjukkan bahwa bangsa Palestina sedang menghadapi propaganda dan makar berbahaya baru dari AS. Terlambat atau lengah dalam menyikapi masalah ini akan mengancam musnahnya masalah Palestina yang akan menguntungkan Israel dan membinasakan seluruh hak dan cita-cita bangsa Palestina.
Selain berbagai gerakan, opini umum Palestina juga menentang usulan tersebut dan mereka memperingatkan dampak bahaya dari usulan Kerry. Prakarsa Kerry bukan dinilai sebagai upaya perdamaian, melainkan pemaksaan atas bangsa Palestina untuk mengakui Israel yang pada akhirnya akan menggilas seluruh krisis di Palestina. Dengan kata lain, prakarsa itu tidak lain adalah realisasi ketamakan Israel dan kepentingan AS saja, tidak lebih. Karena poros utama dalam prakarsa itu adalah penguasaan lebih banyak wilayah Palestina oleh rezim Zionis. (IRIB Indonesia/MZ)
Abbas: Kami Tak Akan Akui Israel
Islam Times - http://www.islamtimes.org/vdcbwgbf5rhba5p.qnur.html
Abbas menambahkan, "Kami tak akan menerima dan itu hak kami untuk tidak mengakui negara Yahudi."
Al Quds
Ketua Otoritas Palestina (PA), Mahmoud Abbas mengatakan dia tak akan mengakui Israel sebagai negara Yahudi.
Abbas menyatakan hal itu dalam pidato di hadapan ratusan warga Palestina di kota Ramallah, Tepi Barat hari Sabtu (11/1/14). Abbas menambahkan, Palestina tak akan melepaskan tuntutan agar Timur al-Quds (Yerusalem) menjadi ibukota Palestina.
"Tanpa Jerusalem timur sebagai ibukota negara Palestina, tidak akan ada perdamaian antara kami dan Israel," katanya. Abbas menambahkan, "Kami tak akan menerima dan itu hak kami untuk tidak mengakui negara Yahudi."
Pernyataan Abbas muncul setelah Tel Aviv mengumumkan rencana pembangunan 1.400 unit pemukiman ilegal meski pejabat Palestina dan Israel tengah melangsungkan pembicaraan damai.
Putaran baru pembicaraan damai dimulai bulan Juli tahun lalu untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel.[IT/r]
Ulama Palestina Kecam Tawaran Baru AS
Islam
Times - http://www.islamtimes.org/vdcbssbfgrhbffp.qnur.html
Sheikh Sabri juga menyerukan penyelesaian masalah pengungsi
Palestina antara PA dan negara-negara Arab sambil menegaskan bahwa
solusi yang disodorkan Amerika tak lain bertujuan melikuidasi hak warga
Palestina untuk kembali ke rumah-rumah mereka.
Sheikh Sabr (al-Alam)
Ulama Masjid al-Aqsa, Sheikh Ikrima Sabr mengecam tawaran terbaru AS pada Otoritas Palestina (PA) sambil menegaskan bahwa penjajah Israel terus berusaha mengambilalih tanah dan memperluas permukiman, al-Alam melaporkan, Sabtu (28/12/13).
Dalam khotbah shalat Jumat di Masjid al-Aqsa, Sheikh Sabri mengatakan bahwa salah satu tuntutan Amerika pada PA adalah agar PA tak memperhatikan masalah pembangunan pemukiman. Itu berarti, pemukiman Israel akan tetap menjadi kanker dalam tubuh Palestina.
Sheikh Sabri juga menyerukan penyelesaian masalah pengungsi Palestina antara PA dan negara-negara Arab sambil menegaskan bahwa solusi yang disodorkan Amerika tak lain bertujuan melikuidasi hak warga Palestina untuk kembali ke rumah-rumah mereka.
Sheikh Sabri juga menggarisbawahi bahwa rakyat Palestina tak akan pernah menerima usulan AS itu.
Ulama al-Aqsa yang terkenal itu juga berbicara tentang pelanggaran yang dilakukan polisi Israel dan pemukim Yahudi di Yerusalem terutama di kompleks Masjid al-Aqsa.[IT/AAL/NAT]]
Abbas: Tak Ada Perdamaian sampai Semua Tahanan Dibebaskan
Islam Times - http://www.islamtimes.org/vdcbwsbf8rhbf9p.qnur.html
Pembebasan itu merupakan prasyarat pembicaraan damai yang sedang berlangsung antara Israel dan Palestina.
Mahmoud Abbas (al-Alam)
Ketua Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas bersumpah pada 18 tahanan yang dibebaskan dan tiba di Ramallah bahwa dia tak akan istirahat sampai semua tahanan Palestian dibebaskan, Al-Alam melaporkan, Selasa (31/12/13).
Pagi itu, Abbas disambut dan dipeluk ketika para tahanan yang dibebaskan itu tiba di kompleks Presiden.
Pembebasan itu merupakan prasyarat pembicaraan damai yang sedang berlangsung antara Israel dan Palestina.
Sebelumnya, 26 tahanan Palestina juga dibebaskan pada awal Agustus dan Oktober 2013.
Tel Aviv mengatakan, sebanyak 104 warga Palestina akan dibebaskan secara bertahap setelah negosiasi dimulai 30 Juli lalu.
Saat ini, 4.500 warga Palestina mendekam di penjara-penjara Israel. Mayoritas mereka dipenjara tanpa tuduhan atau proses pengadilan apapun.[IT/AAL/NAT]
MoI Palestina: Inggris Harus Minta Maaf Atas Kejahatan 'Deklarasi Balfour'
teifidancer-teifidancer.blogspot.com
http://www.republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/13/11/04/mvqdds-moi-palestina-inggris-harus-minta-maaf-atas-kejahatan-deklarasi-balfour
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA --
Kementrian Informasi (MoI) Palestina mengatakan pemerintah Inggris harus bertanggung jawab penuh atas kejahatan politik Balfour terhadap rakyat Palestina.
Kementrian, dalam sebuah pernyataan pers yang dirilis Sabtu 2 November lalu dan yang bertepatan dengan ulang tahun ke-96 Deklarasi itu, menuntut pemerintah Inggris secara terbuka meminta maaf kepada rakyat Palestina atas kejahatan yang ditimbulkan.
Kementrian menekankan hak bersejarah rakyat Palestina atas tanah dari laut sampai sungai.
Palestina juga menyerukan lembaga-lembaga PBB dan dunia untuk menempatkan kepentingan rakyat Palestina dan hak-hak mereka sebagai agenda utama.
Kementrian itu juga menyerukan untuk menuntut para pejabat pendudukan Israel yang terlibat kejahatan dan pembantaian sepanjang sejarah dan menekankan bahwa perlawanan adalah pilihan strategis rakyat Palestina dalam perjuangan melawan penjajahan.
"Palestina juga menekankan komitmennya untuk mengadakan rekonsiliasi nasional, mengulangi panggilan terbuka kepada Fatah dan semua gerakan Palestina menyepakati agenda politik bersama yang melindungi hak-hak rakyat Palestina terhadap kebijakan kriminalitas pendudukan," kata pernyataan itu dilansir Alray.
Palestina juga meminta media dan kalangan jurnalis untuk menyoroti kejahatan berturut-turut pendudukan, dan mencerahkan opini publik di tingkat lokal dan internasional dengan apa yang pelaku Zionis telah dilakukan terhadap warga Palestina sebagai akibat dari perjanjian itu.
"Menteri Luar Negeri Inggris [Arthur James] Balfour berjanji pada 2 November 1917 untuk memberikan kepada Yahudi sebuah tanah air nasional yang akan didirikan di atas tanah Palestina, sebuah janji yang tidak layak diberikan untuk orang-orang yang tidak legal memilikinya," tambah penyataan itu.
Deklarasi Balfour bertanggal 2 November 1917 merupakan surat dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour ke konglomerat Baron Rothschild (Walter Rothschild, Baron kedua keluarga Rothschild) yang merupakan bankir ternama dan kakek buyut para miliarder Rothschild saat ini. Saat itu ia merupakan, pemimpin komunitas Yahudi Inggris.
Surat itu dimaksudkan diteruskan kepada Federasi Zionis Inggris dan Irlandia yang saat itu bukan warga Palestina.
"Pemerintahan Yang Mulia dengan ini mendukung pendirian sebuah tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan upaya terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, itu menjadi jelas dipahami bahwa tidak akan dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak sipil dan agama dari komunitas-komunitas non-Yahudi di Palestina, atau hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara lain," demikian sebagian bunyi surat itu.
Naskah surat itu diterbitkan ke pers satu minggu kemudian, pada tanggal 9 November 1917.
Surat yang kemudian disebut "Deklarasi Balfour" itu kemudian dimasukkan ke dalam perjanjian damai Sèvres dengan Kekaisaran Utsmaniyah, leluhur negara Turki sekarang, dan Pemerintahan Inggris Mandat Palestina yang diakui Liga Bangsa-bangsa.
Dokumen asli surat ini disimpan di British Library.
Sebelumnya, tahun 1914, perang pecah di Eropa antara Inggris dengan sekutu dan Jerman, Austria-Hungaria dan kemudian Kekaisaran Utsmaniyah. Perjanjian damai Sèvres bertanggal 10 August 1920 dibuat saat Kekaisaran Utsmaniyah kalah oleh sekutu dan berakhirnya perang dunia I.
Cikal bakal untuk mencaplok tanah Palestina dimulai tahun 1896 saat Theodor Herzl, seorang jurnalis Yahudi yang tinggal di Austria-Hungaria, menerbitkan sebuah pamplet Der Judenstaat, "Negara Yahudi", di mana ia menegaskan bahwa satu-satunya solusi untuk mencegah perlakuan buruk atau antisemitisme terhadap orang Yahudi oleh masyarakat Eropa atau dikenal dengan istilah Jewish Question, adalah melalui pembentukan Negara Yahudi.
Sikap orang Eropa saat itu terhadap Yahudi melahirkan organisasi politik Zionisme. Setahun kemudian, Herzl mendirikan Organisasi Zionis (ZO), yang pada kongres pertama menyerukan pembentukan sebuah rumah bagi orang-orang Yahudi Eropa di Palestina yang saat itu masih merupakan wilayah Utsmaniyah.
Sebelumnya, antara tahun 1881-1888, melihat persekusi Yahudi di Eropa, Kekaisaran Utsmaniyah mengumumkan memberi ijin kepada orang Yahudi yang bukan warga Utsmaniyah untuk tinggal di seluruh wilayah negara itu kecuali Palestina, karena di sana sudah ada orang Palestina dan Yahudi lokal.
Saat itu konglomerat Baron Edmund the Rothschild dari Prancis mendanai pengungsian warga Yahudi ke Palestina dan pembelian tanah-tanah warga. Ini membuat friksi dengan pemerintah.
Sementara itu beberapa negara di Eropa juga mulai mencari solusi untuk mendirikan sebuah negara bagi Yahudi. Ada yang di Uganda, Australia, Rusia bahkan sampai ke Amerika Selatan.
Percaturan politik setelah itu, apalagi setelah bangkitnya Nazisme Jerman yang anti-Yahudi, membuat nasionalisme diaspora Yahudi berhasil mendirikan negara di Palestina tahun 1948, tanpa persetujuan seluruh warga Palestina yang sudah ada di sana ratusan tahun sebelumnya.
Inggris memikul tanggung jawab sejarah atas penjajahan Israel terhadap Palestina.
Gerakan Zionis tidak akan mampu mencapai tujuan mereka mengorbankan kemerdekaan dan hak menentukan nasib bangsa Palestina tanpa bantuan dari Kerajaan Inggris. Israel pernah dan masih menjadi pusat dari proyek-proyek Barat di Timur Tengah. Israel berutang terhadap Inggris yang memberi kesempatan mereka hidup dan berkembang di Palestina.
Ketika Kekhalifahan Usmaniyah masih berkuasa, para pemukim Yahudi Zionis asal Eropa sangat sedikit dan tidak pernah diberi kebebasan di Palestina. Kalau saja kerajaan ini masih berdiri setelah Perang Dunia Pertama berakhir, sangat mungkin negara Israel khusus bagi kaum Yahudi tidak akan pernah bisa terbentuk.
Situasi berubah total setelah Inggris mencaplok Palestina pada 1917. Masih di tahun itu, sebelumnya pada 2 November Zionisme mendapat jaminan hidup di Palestina lewat Dekalarasi Balfour dan akhirnya mengakibatkan petaka bagi rakyat Palestina hingga saat ini.
Surat itu dikirim oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour ke Federasi Zionis melalui pemuka Yahudi di Inggris Baron Walter Rothschild. Dalam risalah ini, pemerintah Inggris mengumumkan komitmennya terhadap Zionisme: “Pemerintah Yang Mulia memandang perlu membentuk sebuah negara bagi kaum Yahudi di Palestina dan akan memberikan upaya terbaik buat mencapai tujuan ini…”
Perkembangan paling penting adalah cita-cita mendirikan Israel seperti ditulis dalam Deklarasi Balfour juga dimasukkan ke dalam dokumen Mandat Inggris atas Palestina pada 1922 dan disetujui Liga Bangsa-Bangsa. Ini sebuah capaian politik dan propaganda spektakuler bagi gerakan Zionis. Padahal di masa itu, mereka merupakan minoritas di kalangan Yahudi.
Menariknya, dokumen ini dikritik oleh Sir Edwin Montagu, satu-satunya orang Yahudi dalam kabinet Perdana Menteri Inggris Lloyd George. Menteri Luar Negeri Urusan India ini menegaskan Yudaisme berbeda dengan Zionisme. Dia prihatin soal kemungkinan loyalitas ganda orang-orang Yahudi di negara itu. Dia mempertanyakan hak Federasi Zionis berbicara atas nama seluruh bangsa Yahudi.
Pada 1917 jumlah warga Yahudi di Palestina di bawah sepuluh persen dari total penduduk. Isi dari Deklarasi Balfour berakar dari politik kolonial rasis karena tidak menyebut soal rakyat Palestina, apakah muslim atau Nasrani, yang ketika itu berjumlah lebih dari 90 persen.
Apalagi mereka memiliki di atas 97 persen dari wilayah yang ingin diberikan Inggris kepada imigran-imigran Yahudi. Balfour malah menyebut rakyat Palestina ini sebagai masyarakat non-Yahudi di Palestina. Deklarasi Balfour juga bungkam mengenai hak-hak bangsa Palestina.
Didorong oleh Deklarasi Balfour, pada Januari 1919 tokh Zionis Inggris Chaim Weizmann menghadiri Konferensi Perdamaian paris di Prancis. Dia menyerukan Palestina adalah hak sejati bangsa Yahudi. Seruan ini muncul di saat prinsip ‘Penentuan Nasib Sendiri’ disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson bergema ke seluruh dunia. Lloyd George mendukung prinsip itu, namun di sisi lain dia menolak mengakui hak bangsa Palestina.
Deklarasi Balfour terbit saat Jenderal Edmund Allenby berusaha menguasai Yerusalem pada Perang Dunia Pertama. Di tahun itu pual terjadi perundingan intensif antara kelompok logi Zionis dengan para pejabat Kementerian Luar negeri Inggris dan anggota kabinet Lloyd George.
Pada 11 Desember 1917 Allenby menjejakkan kaki di Yerusalem dan berparade keliling Kota Tua. Dia merupakan orang Kristen pertama menguasai Yerusalem sejak Perang Salib di abad pertengahan. Allenby dan Lloyd George menyebut keberhasilan menguasai Yerusalem ini sebagai hadiah Natal bagi rakyat Inggris. “Perang Salib telah berakhir sekarang,” kata Allenby.
Allenby dan Balfour adalah dua orang Inggris begitu dihormati dan dipuja oleh Israel. Allenby dijadikan nama jembatan di atas Sungai Yordan dibangun oleh Allenby pada 1918 buat menggantikan jembatan tua peninggalan Kekhalifahan Usmaniyah. Allenby juga menjadi nama sebuah jalan di Ibu Kota Tel Aviv. Balfuria (merujuk pada nama Balfour) merupakan nama sebuah koloni Yahudi di selatan Nazareth dibentuk pada 1922. Permukiman Yahudi ketiga di Palestina juga diberi nama Balfour.
Pada 1917, Weizmann mengatakan, “Negara Yahudi di Palestina bakal menjadi pelindung Inggris, khususnya bagi terusan Suez.” Weizmann bersahabat karib dengan Perdana Menteri Afrika Selatan Jenderal Jan Smuts. penganjur pemisahan ras ini banyak terlibat dalam menyusun Deklarasi Balfour. Lloyd George dan Balfour dari kalangan Kristen Protestan meyakini bangsa Yahudi harus kembali ke Palestina sebelum kedatangan Sang Penyelamat.
Alkitab telah menjadi teks kunci buat menebus kolonisasi pemukim Yahudi Eropa di Palestina. Alkitab (agama) dan pedang (kekuatan), dua alat warisan Perang Salib dan kolonialisme Inggris, juga menjadi strategi utama Zionis sejak Israel berdiri pada 1948.
Sejak akhir abad ke-19, gerakan Zionis telah menikmati pengaruh luar biasa dalam koridor kekuatan Barat. Untuk pelbagai alasan, Israel menjadi kebijakan sentral negara-negara Barat di Timur Tengah. negara Zionis ini menjadi begitu amat penting bagi kebijakan Barat selepas Perang Dunia Kedua. Sokongan dana, militer, dan politik melimpah buat Israel seolah menjadi penebus atas genosida dilakukan pasukan Nazi Jerman.
Zionisme muncul di Eropa di akhir abad ke-19. Gerakan ini lahir saat imperialisme Eropa mencapai puncak dan dipengaruhi langsung oleh pan-Jermanisme. Zionisme berhasil menggabungkan nasionalisme Eropa Timur dan Eropa Tengah dengan kolonisasi pemukim Eropa serta Alkitab.
Dari awal sudah jelas, proyek restorasi Yahudi hanya bisa digapai lewat dukungan aktif dari negara-negara besar Eropa. Mulai Theodor Herzl hingga Chaim Weizmann dan David Ben Gurion, mereka menyadari gerakan Zionis tidak bisa berkembang tanpa sokongan kekuatan imperialis Eropa. “Jika Yang mulia Sultan memberikan Palestina kepada kami, kami akan membalas itu dengan mengatur seluruh keuangan Turki. Kami harus membangun sebagian tembok pertahanan bagi Eropa di Asia,” tulis Herzl.
Dalam pidatonya di depan komite bentukan Inggris diketuai Lord Peel pada 1936, Ben Gurion mengumumkan, “Alkitab adalah mandat kami.” Bagi Ben Gurion, Alkitab adalah teks utama dari Zionisme dan menjadi dasar pembentukan negara Israel. Alkitab telah menjadi alat bagi Zionisme buat melenyapkan bangsa Palestina.
Sejarawan asal Inggris Arnold Toynbee menggambarkan Balfour sebagai lelaki nakal. Dia yakin Balfour dan Lloyd George sadar Deklarasi Balfour bakal menjadi petaka bagi rakyat Palestina. Namun Inggris mendorong gelombang imigran Yahudi berkulit putih ke Palestina.
Tentu saja Inggris tidak berwenang secara hukum atau moral untuk menyerahkan wilayah bukan milik mereka kepada orang-orang tidak bermukim di sana. Deklarasi Balfour telah menyiapkan panggung bagi perjuangan Zionis mengambil alih wilayah Palestina dan masih berlangsung sampai sekarang. Selama 1914-1948, Inggris mengizinkan gerakan Zionis membawa ratusan ribu pemukim Yahudi dari Eropa, mendirikan ratusan permukiman, termasuk sejumlah kota besar, untuk meletakkan dasar politik, militer-keamanan, ekonomi, industri, demografi, budaya, dan akademik bagi negara Israel.
Setengah abad sebelum keluar Deklarasi Balfour, koloni kulit putih pertama disebut Kerem Avraham berdiri di Palestina, kini bagian dari Yerusalem. Permukiman ini dibangun oleh Konsul Inggris di Yerusalem James Finn bersama istrinya, Elizabeth Anne, pada 1855.
Finn berteman dekat dengan Anthony Ashley Cooper alias Earl of Shaftesbury, anggota parlemen terkemuka dari kelompok konservatif. Shaftesbury mengatakan restorasionisme Yahudi ke Palestina akan membawa keuntungan politik dan ekonomi bagi Kerajaan Inggris.
Dengan dukungan Lord Palmerston (kemudian menjabat menteri luar negeri Inggris), Shaftesbury mulai mempromosikan restorasi Yahudi ke Palestina di Inggris pada 1830-an. Dia juga membantu proses pembukaan Konsulat Inggris di Yerusalem pada 1839.
Restorasionisme Yahudi kian mendapat dukungan setelah PEF (Dana Eksplorasi Palestina) – lembaga dibentuk pada 1865 oleh ahli Alkitab, ahli geografi, pejabat militer dan intelijen, para pendeta – melakukan survei dan pemetaan. Mereka menyimpulkan di bawah kompleks Masjid Al-Aqsa pernah berdiri Kuil Bukit tempat suci umat Yahudi di zaman Sulaiman. Peta dan hasil survei itu kini menjadi pegangan bagi para ahli purbakala Israel buat terus menggali di bawah Al-Aqsa untuk mnecari bukti Kuil Suci pernah berdiri di sana sebelumnya.
Ketika para pemukim Yahudi kulit putih pindah ke Palestina, sikap dan perilaku mereka terhadap penduduk asli seperti kaum kolonial terhadap bangsa jajahan. Orang-orang Palestina dianggap rendahan dan tidak beradab. Jumlah permukiman Yahudi awalnya sangat sedikit sampai akhirnya Inggris mencaplok Palestina pada 1917. Sejak saat itu, permukiman Yahudi berkembang sangat cepat.
Di masa ini, Zionis menyebut Palestina sebagai Tanah Suci Israel. Pemerintah kolonial Inggris menggunakan nama Eretz Israel (Tanah Israel) untuk semua dokumen resmi, seperti mata uang, perangko, buat menggantikan nama Palestina.
Hingga 1930-an, Deklarasi Balfour mempengaruhi gerakan Zionis untuk menerapkan prinsip kolonialisme terhadap Palestina dan memusnahkan etnis asli Palestina. Pada 1930, Weizmann (kemudian memimpin Organisasi Zionis Dunia dan the Jewish Agency Executive) mulai aktif mengkampanyekan gagasan mengusir orang-orang Arab dari wilayah Palestina.
Kolonisasi pemukim Yahudi kulit putih mencapai puncak dengan berdirinya negara Israel pada 1948. Sebuah harga kelewat mahal harus dibayar bangsa Palestina hingga kini.
Middle East Monitor/Faisal Assegaf
Kementrian Informasi (MoI) Palestina mengatakan pemerintah Inggris harus bertanggung jawab penuh atas kejahatan politik Balfour terhadap rakyat Palestina.
Kementrian, dalam sebuah pernyataan pers yang dirilis Sabtu 2 November lalu dan yang bertepatan dengan ulang tahun ke-96 Deklarasi itu, menuntut pemerintah Inggris secara terbuka meminta maaf kepada rakyat Palestina atas kejahatan yang ditimbulkan.
Kementrian menekankan hak bersejarah rakyat Palestina atas tanah dari laut sampai sungai.
Palestina juga menyerukan lembaga-lembaga PBB dan dunia untuk menempatkan kepentingan rakyat Palestina dan hak-hak mereka sebagai agenda utama.
Kementrian itu juga menyerukan untuk menuntut para pejabat pendudukan Israel yang terlibat kejahatan dan pembantaian sepanjang sejarah dan menekankan bahwa perlawanan adalah pilihan strategis rakyat Palestina dalam perjuangan melawan penjajahan.
"Palestina juga menekankan komitmennya untuk mengadakan rekonsiliasi nasional, mengulangi panggilan terbuka kepada Fatah dan semua gerakan Palestina menyepakati agenda politik bersama yang melindungi hak-hak rakyat Palestina terhadap kebijakan kriminalitas pendudukan," kata pernyataan itu dilansir Alray.
Palestina juga meminta media dan kalangan jurnalis untuk menyoroti kejahatan berturut-turut pendudukan, dan mencerahkan opini publik di tingkat lokal dan internasional dengan apa yang pelaku Zionis telah dilakukan terhadap warga Palestina sebagai akibat dari perjanjian itu.
"Menteri Luar Negeri Inggris [Arthur James] Balfour berjanji pada 2 November 1917 untuk memberikan kepada Yahudi sebuah tanah air nasional yang akan didirikan di atas tanah Palestina, sebuah janji yang tidak layak diberikan untuk orang-orang yang tidak legal memilikinya," tambah penyataan itu.
Deklarasi Balfour bertanggal 2 November 1917 merupakan surat dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour ke konglomerat Baron Rothschild (Walter Rothschild, Baron kedua keluarga Rothschild) yang merupakan bankir ternama dan kakek buyut para miliarder Rothschild saat ini. Saat itu ia merupakan, pemimpin komunitas Yahudi Inggris.
Surat itu dimaksudkan diteruskan kepada Federasi Zionis Inggris dan Irlandia yang saat itu bukan warga Palestina.
"Pemerintahan Yang Mulia dengan ini mendukung pendirian sebuah tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan upaya terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, itu menjadi jelas dipahami bahwa tidak akan dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak sipil dan agama dari komunitas-komunitas non-Yahudi di Palestina, atau hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara lain," demikian sebagian bunyi surat itu.
Naskah surat itu diterbitkan ke pers satu minggu kemudian, pada tanggal 9 November 1917.
Surat yang kemudian disebut "Deklarasi Balfour" itu kemudian dimasukkan ke dalam perjanjian damai Sèvres dengan Kekaisaran Utsmaniyah, leluhur negara Turki sekarang, dan Pemerintahan Inggris Mandat Palestina yang diakui Liga Bangsa-bangsa.
Dokumen asli surat ini disimpan di British Library.
Sebelumnya, tahun 1914, perang pecah di Eropa antara Inggris dengan sekutu dan Jerman, Austria-Hungaria dan kemudian Kekaisaran Utsmaniyah. Perjanjian damai Sèvres bertanggal 10 August 1920 dibuat saat Kekaisaran Utsmaniyah kalah oleh sekutu dan berakhirnya perang dunia I.
Cikal bakal untuk mencaplok tanah Palestina dimulai tahun 1896 saat Theodor Herzl, seorang jurnalis Yahudi yang tinggal di Austria-Hungaria, menerbitkan sebuah pamplet Der Judenstaat, "Negara Yahudi", di mana ia menegaskan bahwa satu-satunya solusi untuk mencegah perlakuan buruk atau antisemitisme terhadap orang Yahudi oleh masyarakat Eropa atau dikenal dengan istilah Jewish Question, adalah melalui pembentukan Negara Yahudi.
Sikap orang Eropa saat itu terhadap Yahudi melahirkan organisasi politik Zionisme. Setahun kemudian, Herzl mendirikan Organisasi Zionis (ZO), yang pada kongres pertama menyerukan pembentukan sebuah rumah bagi orang-orang Yahudi Eropa di Palestina yang saat itu masih merupakan wilayah Utsmaniyah.
Sebelumnya, antara tahun 1881-1888, melihat persekusi Yahudi di Eropa, Kekaisaran Utsmaniyah mengumumkan memberi ijin kepada orang Yahudi yang bukan warga Utsmaniyah untuk tinggal di seluruh wilayah negara itu kecuali Palestina, karena di sana sudah ada orang Palestina dan Yahudi lokal.
Saat itu konglomerat Baron Edmund the Rothschild dari Prancis mendanai pengungsian warga Yahudi ke Palestina dan pembelian tanah-tanah warga. Ini membuat friksi dengan pemerintah.
Sementara itu beberapa negara di Eropa juga mulai mencari solusi untuk mendirikan sebuah negara bagi Yahudi. Ada yang di Uganda, Australia, Rusia bahkan sampai ke Amerika Selatan.
Percaturan politik setelah itu, apalagi setelah bangkitnya Nazisme Jerman yang anti-Yahudi, membuat nasionalisme diaspora Yahudi berhasil mendirikan negara di Palestina tahun 1948, tanpa persetujuan seluruh warga Palestina yang sudah ada di sana ratusan tahun sebelumnya.
Gebrakan Zionis Lewat Deklarasi Balfour
Gerakan Zionis tidak akan mampu mencapai tujuan mereka mengorbankan kemerdekaan dan hak menentukan nasib bangsa Palestina tanpa bantuan dari Kerajaan Inggris. Israel pernah dan masih menjadi pusat dari proyek-proyek Barat di Timur Tengah. Israel berutang terhadap Inggris yang memberi kesempatan mereka hidup dan berkembang di Palestina.
Ketika Kekhalifahan Usmaniyah masih berkuasa, para pemukim Yahudi Zionis asal Eropa sangat sedikit dan tidak pernah diberi kebebasan di Palestina. Kalau saja kerajaan ini masih berdiri setelah Perang Dunia Pertama berakhir, sangat mungkin negara Israel khusus bagi kaum Yahudi tidak akan pernah bisa terbentuk.
Situasi berubah total setelah Inggris mencaplok Palestina pada 1917. Masih di tahun itu, sebelumnya pada 2 November Zionisme mendapat jaminan hidup di Palestina lewat Dekalarasi Balfour dan akhirnya mengakibatkan petaka bagi rakyat Palestina hingga saat ini.
Surat itu dikirim oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour ke Federasi Zionis melalui pemuka Yahudi di Inggris Baron Walter Rothschild. Dalam risalah ini, pemerintah Inggris mengumumkan komitmennya terhadap Zionisme: “Pemerintah Yang Mulia memandang perlu membentuk sebuah negara bagi kaum Yahudi di Palestina dan akan memberikan upaya terbaik buat mencapai tujuan ini…”
Perkembangan paling penting adalah cita-cita mendirikan Israel seperti ditulis dalam Deklarasi Balfour juga dimasukkan ke dalam dokumen Mandat Inggris atas Palestina pada 1922 dan disetujui Liga Bangsa-Bangsa. Ini sebuah capaian politik dan propaganda spektakuler bagi gerakan Zionis. Padahal di masa itu, mereka merupakan minoritas di kalangan Yahudi.
Menariknya, dokumen ini dikritik oleh Sir Edwin Montagu, satu-satunya orang Yahudi dalam kabinet Perdana Menteri Inggris Lloyd George. Menteri Luar Negeri Urusan India ini menegaskan Yudaisme berbeda dengan Zionisme. Dia prihatin soal kemungkinan loyalitas ganda orang-orang Yahudi di negara itu. Dia mempertanyakan hak Federasi Zionis berbicara atas nama seluruh bangsa Yahudi.
Pada 1917 jumlah warga Yahudi di Palestina di bawah sepuluh persen dari total penduduk. Isi dari Deklarasi Balfour berakar dari politik kolonial rasis karena tidak menyebut soal rakyat Palestina, apakah muslim atau Nasrani, yang ketika itu berjumlah lebih dari 90 persen.
Apalagi mereka memiliki di atas 97 persen dari wilayah yang ingin diberikan Inggris kepada imigran-imigran Yahudi. Balfour malah menyebut rakyat Palestina ini sebagai masyarakat non-Yahudi di Palestina. Deklarasi Balfour juga bungkam mengenai hak-hak bangsa Palestina.
Didorong oleh Deklarasi Balfour, pada Januari 1919 tokh Zionis Inggris Chaim Weizmann menghadiri Konferensi Perdamaian paris di Prancis. Dia menyerukan Palestina adalah hak sejati bangsa Yahudi. Seruan ini muncul di saat prinsip ‘Penentuan Nasib Sendiri’ disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson bergema ke seluruh dunia. Lloyd George mendukung prinsip itu, namun di sisi lain dia menolak mengakui hak bangsa Palestina.
Deklarasi Balfour terbit saat Jenderal Edmund Allenby berusaha menguasai Yerusalem pada Perang Dunia Pertama. Di tahun itu pual terjadi perundingan intensif antara kelompok logi Zionis dengan para pejabat Kementerian Luar negeri Inggris dan anggota kabinet Lloyd George.
Pada 11 Desember 1917 Allenby menjejakkan kaki di Yerusalem dan berparade keliling Kota Tua. Dia merupakan orang Kristen pertama menguasai Yerusalem sejak Perang Salib di abad pertengahan. Allenby dan Lloyd George menyebut keberhasilan menguasai Yerusalem ini sebagai hadiah Natal bagi rakyat Inggris. “Perang Salib telah berakhir sekarang,” kata Allenby.
Allenby dan Balfour adalah dua orang Inggris begitu dihormati dan dipuja oleh Israel. Allenby dijadikan nama jembatan di atas Sungai Yordan dibangun oleh Allenby pada 1918 buat menggantikan jembatan tua peninggalan Kekhalifahan Usmaniyah. Allenby juga menjadi nama sebuah jalan di Ibu Kota Tel Aviv. Balfuria (merujuk pada nama Balfour) merupakan nama sebuah koloni Yahudi di selatan Nazareth dibentuk pada 1922. Permukiman Yahudi ketiga di Palestina juga diberi nama Balfour.
Pada 1917, Weizmann mengatakan, “Negara Yahudi di Palestina bakal menjadi pelindung Inggris, khususnya bagi terusan Suez.” Weizmann bersahabat karib dengan Perdana Menteri Afrika Selatan Jenderal Jan Smuts. penganjur pemisahan ras ini banyak terlibat dalam menyusun Deklarasi Balfour. Lloyd George dan Balfour dari kalangan Kristen Protestan meyakini bangsa Yahudi harus kembali ke Palestina sebelum kedatangan Sang Penyelamat.
Alkitab telah menjadi teks kunci buat menebus kolonisasi pemukim Yahudi Eropa di Palestina. Alkitab (agama) dan pedang (kekuatan), dua alat warisan Perang Salib dan kolonialisme Inggris, juga menjadi strategi utama Zionis sejak Israel berdiri pada 1948.
Sejak akhir abad ke-19, gerakan Zionis telah menikmati pengaruh luar biasa dalam koridor kekuatan Barat. Untuk pelbagai alasan, Israel menjadi kebijakan sentral negara-negara Barat di Timur Tengah. negara Zionis ini menjadi begitu amat penting bagi kebijakan Barat selepas Perang Dunia Kedua. Sokongan dana, militer, dan politik melimpah buat Israel seolah menjadi penebus atas genosida dilakukan pasukan Nazi Jerman.
Zionisme muncul di Eropa di akhir abad ke-19. Gerakan ini lahir saat imperialisme Eropa mencapai puncak dan dipengaruhi langsung oleh pan-Jermanisme. Zionisme berhasil menggabungkan nasionalisme Eropa Timur dan Eropa Tengah dengan kolonisasi pemukim Eropa serta Alkitab.
Dari awal sudah jelas, proyek restorasi Yahudi hanya bisa digapai lewat dukungan aktif dari negara-negara besar Eropa. Mulai Theodor Herzl hingga Chaim Weizmann dan David Ben Gurion, mereka menyadari gerakan Zionis tidak bisa berkembang tanpa sokongan kekuatan imperialis Eropa. “Jika Yang mulia Sultan memberikan Palestina kepada kami, kami akan membalas itu dengan mengatur seluruh keuangan Turki. Kami harus membangun sebagian tembok pertahanan bagi Eropa di Asia,” tulis Herzl.
Dalam pidatonya di depan komite bentukan Inggris diketuai Lord Peel pada 1936, Ben Gurion mengumumkan, “Alkitab adalah mandat kami.” Bagi Ben Gurion, Alkitab adalah teks utama dari Zionisme dan menjadi dasar pembentukan negara Israel. Alkitab telah menjadi alat bagi Zionisme buat melenyapkan bangsa Palestina.
Sejarawan asal Inggris Arnold Toynbee menggambarkan Balfour sebagai lelaki nakal. Dia yakin Balfour dan Lloyd George sadar Deklarasi Balfour bakal menjadi petaka bagi rakyat Palestina. Namun Inggris mendorong gelombang imigran Yahudi berkulit putih ke Palestina.
Tentu saja Inggris tidak berwenang secara hukum atau moral untuk menyerahkan wilayah bukan milik mereka kepada orang-orang tidak bermukim di sana. Deklarasi Balfour telah menyiapkan panggung bagi perjuangan Zionis mengambil alih wilayah Palestina dan masih berlangsung sampai sekarang. Selama 1914-1948, Inggris mengizinkan gerakan Zionis membawa ratusan ribu pemukim Yahudi dari Eropa, mendirikan ratusan permukiman, termasuk sejumlah kota besar, untuk meletakkan dasar politik, militer-keamanan, ekonomi, industri, demografi, budaya, dan akademik bagi negara Israel.
Setengah abad sebelum keluar Deklarasi Balfour, koloni kulit putih pertama disebut Kerem Avraham berdiri di Palestina, kini bagian dari Yerusalem. Permukiman ini dibangun oleh Konsul Inggris di Yerusalem James Finn bersama istrinya, Elizabeth Anne, pada 1855.
Finn berteman dekat dengan Anthony Ashley Cooper alias Earl of Shaftesbury, anggota parlemen terkemuka dari kelompok konservatif. Shaftesbury mengatakan restorasionisme Yahudi ke Palestina akan membawa keuntungan politik dan ekonomi bagi Kerajaan Inggris.
Dengan dukungan Lord Palmerston (kemudian menjabat menteri luar negeri Inggris), Shaftesbury mulai mempromosikan restorasi Yahudi ke Palestina di Inggris pada 1830-an. Dia juga membantu proses pembukaan Konsulat Inggris di Yerusalem pada 1839.
Restorasionisme Yahudi kian mendapat dukungan setelah PEF (Dana Eksplorasi Palestina) – lembaga dibentuk pada 1865 oleh ahli Alkitab, ahli geografi, pejabat militer dan intelijen, para pendeta – melakukan survei dan pemetaan. Mereka menyimpulkan di bawah kompleks Masjid Al-Aqsa pernah berdiri Kuil Bukit tempat suci umat Yahudi di zaman Sulaiman. Peta dan hasil survei itu kini menjadi pegangan bagi para ahli purbakala Israel buat terus menggali di bawah Al-Aqsa untuk mnecari bukti Kuil Suci pernah berdiri di sana sebelumnya.
Ketika para pemukim Yahudi kulit putih pindah ke Palestina, sikap dan perilaku mereka terhadap penduduk asli seperti kaum kolonial terhadap bangsa jajahan. Orang-orang Palestina dianggap rendahan dan tidak beradab. Jumlah permukiman Yahudi awalnya sangat sedikit sampai akhirnya Inggris mencaplok Palestina pada 1917. Sejak saat itu, permukiman Yahudi berkembang sangat cepat.
Di masa ini, Zionis menyebut Palestina sebagai Tanah Suci Israel. Pemerintah kolonial Inggris menggunakan nama Eretz Israel (Tanah Israel) untuk semua dokumen resmi, seperti mata uang, perangko, buat menggantikan nama Palestina.
Hingga 1930-an, Deklarasi Balfour mempengaruhi gerakan Zionis untuk menerapkan prinsip kolonialisme terhadap Palestina dan memusnahkan etnis asli Palestina. Pada 1930, Weizmann (kemudian memimpin Organisasi Zionis Dunia dan the Jewish Agency Executive) mulai aktif mengkampanyekan gagasan mengusir orang-orang Arab dari wilayah Palestina.
Kolonisasi pemukim Yahudi kulit putih mencapai puncak dengan berdirinya negara Israel pada 1948. Sebuah harga kelewat mahal harus dibayar bangsa Palestina hingga kini.
Middle East Monitor/Faisal Assegaf
KEJAHATAN ZIONIS DAN KERAJAAN INGGRIS..SEBAGAI KAKI TANGANNYA BUKAN SAJA TERHADAP RAKYAT DAN BANGSA PALESTINA DAN NEGARA PALESTINA.. TETAPI JUGA TERHADAP RAKYAT INGGRIS DAN RAJA2 INGGRIS YANG ASLI... DIMANA MEREKA GRUP ROTHSCHILD ..YANG MENGGUNAKAN TANGAN PEMBERONTAKAN CROMWELL DAN MEMANCING KESALAHAN YANG DIREKAYASA TERHADAP RAJA INGGRIS [ASLI] ..YANG SEBENARNYA.. DENGAN PERMAINAN INTELIGEN DAN POLITIK CURANG..
BalasHapusSAYANG SEJARAWAN INGGRIS BELUM SEPENUHNYA JUJUR TERHADAP BANGSA DAN RAKYAT INGGRIS...
SEMOGA DOKUMEN2 TERSEBUT TIDAK HILANG DARI ARSIP2 DUNIA.. DAN HARUS DIBONGKAR...
DALAM SEJARAH MAGNA CARTA JUGA ADA TERBERSIT..KISAH KECURANGAN2 ITU...